Anda di halaman 1dari 11

TRANFORMASI AKUNTANSI MENUJU AKUNTANSI BERKELANJUTAN

ISU KRUSIAL
1. Pada Juli 2007, DPR telah mengesahkan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.
 Pasal 74 menyatakan Perseroan Terbatas yang bergerak dalam bidang usaha
/kegiatan usahanya berkaitan dengan sumberdaya alam wajib melaksanakan
tanggungjawab sosial dan lingkungan (TJSL).
 Pada Pasal 66 : semua perseroan wajib menyajikan informasi kinerja TJSL
dalam Laporan Tahunan Direksi kepada RUPS.
 Pada April 2012, Pemerintah sudah menerbitkan Peraturan Pemerintah
No.47/2012 tentang Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
Perseroan (TJSLP) sehingga mulai tahun 2012 TJSL telah menjadi kewajiban
perseroan.
Diwajibkannya TJSLP sebagai kewajiban perseroan membawa konsekuensi serius
pada pengakuan, pengukuran, pencatatan, pelaporan dan pengungkapan akuntansi.
Pasal 74 UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan
sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
2. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai
biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan
dan kewajaran.
3. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Isu Krusial TJSL / CSR (Corporate Social Responsibility) Menurut UU PT
1. Merupakan komitmen perseroan untuk berperan serta mewujudkan pembangunan
ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat
(people) dan lingkungan (planet) maupun perusahaan itu sendiri (profit).
2. Diwajibkan bagi Perseroan yang kegiatan usahanya di bidang atau berkaitan
dengan sumber daya alam.
3. Dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan (costs/expenses) sesuai
kepatutan dan kewajaran.
4. Ada sanksi hukum bagi perseroan yang tidak melaksanakannya.
5. Informasi pelaksanaannya disajikan dalam Laporan Tahunan Direksi kepada
RUPS (Pasal 66).
2. Setelah disahkannya UU Perseroan Terbatas (UUPT) pada Juli 2007, isu CSR
(Corporate Sosial Responsibility) kian menggema di Indonesia hingga saat ini.
1. Banyak perusahaan publik dan privat dengan beragam motif mulai sadar, peduli
dan melakukan investasi CSR serta mengungkapkan informasinya dalam Laporan
Tahunan Direksi.
2. Luas pengungkapan CSR (CSR Index) kian meningkat.
3. TJSL/CSR menjadi bagian dari good corporate governance.
Respon profesi akuntansi, khususnya IAI KAPd, terhadap Akuntansi TJSL atau
Akuntansi CSR masih konservatif. Investasi CSR umumnya diperlakukan sebagai
beban periodic.
Konsepsi TJSLP (CSR) yang ada dalam UUPT 2007 berbeda dengan konsepsi CSR
yang difahami secara umum/Internasional.
 Konsepsi CSR menurut UU PT
1. Merupakan komitmen berkelanjutan perseroan untuk mewujudkan pembangunan
berkelanjutan.
2. Diwajibkan bagi Perseroan yang kegiatan usahanya di bidang/terkait SDA.
3. Dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan.
4. Ada sanksi hukum.
5. Informasi pelaksanaannya disajikan dalam laporan tahunan direksi kepada RUPS.
6. Diatur dalam UU dan peraturan pemerintah.
 Konsepsi CSR secara umum
1. Bukan merupakan suatu komitmen berkelanjuatan perseroan untuk mewujudkan
pembangunan berkelanjutan.
2. Bersifat sukarela dan bisa untuk semua perusahaan.
3. Tergantung pada komitmen dan kemampuan finansial perusahaan.
4. Tidak ada saksi hukum bagi yang tidak melaksanakannya.
5. Informasinya bisa disajikan dalam Laporan Tahunan Direksi.
6. Tidak diatur khusus dalam UU, tapi bersifat himbauan
3. Dalam beberapa tahun terakhir jumlah perusahaan Indonesia yang mengadopsi dan
menerapkan Sustainability Reporting (SR), yaitu pelaporan yang memadukan
pelaporan sosial, lingkungan, keuangan, dan tatakelola secara integral terus
meningkat. Tetapi dukungan kerangka konseptual, prinsip akuntansi dan standar
akuntansi untuk mendukung praktik pelaporan berkelanjutan masih lemah/ belum ada.
a. Model SR di kembangkan Global Reporting Inisiatives (GRI) sejak tahun
2001. Kebanyakan korporasi global sudah menerapkan SR.
b. Pada 2020, model Sustainability Reporting yang dikembangkan Global
Reporting Inisiatives (GRI) akan menjadi mandatory bagi korporasi global.
c. Saat ini, sedang difinalisasi draft International Sustainability Reporting
Standards (ISRS).
Trends is Sustainability Reporting

Pada akhir 2012, sudah ada sekitar 100 perusahaan Indonesia yang menerapakan
Sustainability Reporting.
4. Seiring dengan kian seriusnya krisis sosial, lingkungan global, bisnis, dan akuntansi,
akuntan dituding sebagai penyebab ( pemicu dan pemacu) terjadinya krisis tersebut.
Akuntansi dan Akuntan diminta turut bertanggungjawab memberi solusinya karena
Laporan keuangan yang dihasilkan dari proses Akuntansi dan dikerjakan oleh para
Akuntan hanya menyajikan informasi keuangan kepara para pemakai, sedangkan
informasi sosial dan lingkungan diabaikan dalam proses akuntansi. Selain itu Laporan
Keuangan hanya menyajikan sinyal-sinyal atau indikator “kesuksesan keuangan”
sementara dampak-dampak sosial-ekologi yang ditimbulkan oleh aktivitas ekonomi
negara atau aktivitas bisnis korporasi diabaikan.
5. Seiring meningkatnya eskalasi kerusakan lingkungan, perubahan iklim dan
pemanasan global, tekanan politik dan pasar kepada para pemimpin negara dan
pebisnis untuk menerapkan konsep Green Economy dan Green Business dalam
pembangunan ekonomi/bisnis Nasional kian meningkat.

GREEN BUSINESS DAN GREEN ACCOUNTING


1. Green Business adalah Paradigma bisnis yang menganjurkan bahwa dalam berbisnis
untuk meraup laba (profit), korporasi perlu peduli dan bertanggung jawab melestarikan
lingkungan (planet) dan meningkatkan kesejahteraan sosial (people) dengan
mengelolanya secara baik.
Motif Green business
1. Patuh terhadap regulasi.
2. Mengurangi tekanan para stakeholder eksternal.
3. Untuk keberlanjutan bisnis dan laba dalam jangka panjang.
4. Mendapatkan akses politik, kredit, investasi dan bisnis.
5. Menurunkan risiko keuangan, risiko bisnis, risiko sosial dan risiko politis.
6. Meningkatkan reputasi dan nama baik perusahaan.
7. Meningkatkan apresiasi stakeholder.
8. Melindungi perusahaan.
2. Green Accounting adalah Paradigma baru Akuntansi yang menganjurkan bahwa focus
dari proses Akuntansi tidak hanya pada transaksi-transaksi atau peristiwa keuangan
(financial/profit), tapi juga pada transaksi-transaksi atau peristiwa sosial (people) dan
lingkungan (planet). Selain itu, laporan akuntansi tidak hanya terbatas pada pelaporan
keuangan, tapi juga pada pelaporan sosial dan pelaporan lingkungan.
Alasan Munculnya Green Accounting
1. Terjadi krisis lingkungan yang kian parah dan Akuntansi dituding sebagai salah satu
penyebabnya karena tidak menyajikan informasi akuntansi lingkungan sehingga
Green Accounting sebagai solusi Akuntansi untuk ikutserta mengatasi krisis
lingkungan.
2. Adanya demand dari korporasi/stakeholder terhadap Green Reporting/Sustainability
Reporting sehingga Korporasi (akuntan) mau tak mau harus menyediakan (supply)
Laporan Akuntansi Hijau (Green Accounting Reporting).
3. Adanya keinginan kuat dari para akuntan untuk menjadikan Akuntansi sebagai ilmu
sosial dan teknologi yang kian berperan strategis dan vital dalam kehidupan sosial,
ekonomi, politik, bisnis dan budaya umat manusia, sehingga Akuntansi
dikembangkan menjadi ilmu pengetahuan dan teknologi yang responsif dan adaptif
terhadap dinamika lingkungan eksternal.
4. Munculnya keinginan kuat dari para Akuntan untuk memajukan Akuntansi dan profesi
Akuntan agar semakin berperan penting dalam kehidupan umat manusia, sehingga
Para akuntan sengaja mengembangkan isu, konsep, prinsip, standar dan praktik Green
Accounting untuk memperluas cakupan Akuntansi.

TRANSFORMASI MENUJU SUSTAINABILITY ACCOUNTING AND REPORTING


Lako (2011) mengusulkan agar perlu segera dilakukan reformasi akuntansi
konvensional menuju akuntansi berkelanjutan (Sustainability Accounting) untuk mendukung
pelaporan berkelanjutan (Sustainability Reporting).
Akuntansi berkelanjutan lebih mudah diterima dan difahami publik, karena memiliki
penalaran logis dan basis teoritis yang kuat, dan relevan dengan realitas akuntansi.
a. Teori Coorporate Governance, yaitu salahsatu mekanisme yang dilakukan dalam
upaya manjemen laba yang ditujukan untuk meminimalisir manajemen yang
dianggap tidak efektif dan tidak efisien sehingga berpotensi merugikan pihak lain.
Hal ini membuat perusahaan menjadi lebih baik.
b. Teori Tripple buttom Line of Business, yaitu pilar yang mengukur nilai
kesuksesan suatu perusahaan dengan tiga kriteria. yaitu ekonomi, lingkungan dan
sosial.
c. Teori Coorporate Stakeholder, yaitu semua pihak baik internal, maupun eksternal
mempunyai hubungan yang bersifat mempengaruhi maupun dipengaruhi oleh
perusahaan.
Sustainability Accounting Adalah Suatu paradigma baru dalam bidang akuntansi yang
menyatakan bahwa fokus dari pengakuan, pengukuran, pencatatan, peringkasan, pelaporan,
pengungkapan, akuntabilitas dan transparansi akuntansi tidak hanya tertuju pada transaksi-
transaksi atau informasi keuangan, tapi juga pada transaksi-transaksi atau peristiwa sosial
(People) dan lingkungan (Planet) yang mendasari informasi keuangan.

Fokus Akuntansi Berkelanjutan


Fokus dari proses Akuntansi Berkelanjutan adalah pada transaksi-transaksi atau
peristiwa keuangan, sosial dan lingkungan sehingga output pelaporannya berisi informasi
keuangan, sosial dan lingkungan.

Tujuan Akuntansi Berkelanjutan


1. Tujuan umum:
Agar para pemangku kepentingan dapat mengetahui secara utuh informasi tentang
kualitas manajemen dan perusahaan dalam pengelolaan bisnis yang ramah lingkungan.
2. Tujuan khusus:
a. Agar para stakeholderbisa mengetahui dan menilai kinerja dan nilai korporasi
serta risiko dan prospek suatu korporasi secara utuh sebelum mengambil suatu
keputusan.
b. Untuk keberlanjutan bisnis dan laba, keberlanjutan sosial dan kelestarian
lingkungan sebagai suatu ekosistem.

Tantangan Implementasi Akuntansi Berkelanjutan


1. Akuntansi hanya memfokuskan pada kebutuhan informasi dari stakeholder dominan
yang memberi kontribusi dalam penciptaan nilai perusahaan.
2. Akuntansi hanya memproses dan melaporkan informasi yang salahsaji informasi
akuntansi yang apabila diketahui akan memberikan pengaruh pada pengambilan
keputusan oleh pengguna “materiality”.
3. Akuntansi mengadopsi Asumsi “entity” sehingga perusahaan diperlakukan sebagai
entitas yang terpisah dari pemilik dan stakeholder lainnya. Jika suatu transaksi tidak
secara langsung berdampak pada nilai entitas maka diabaikan dalam pelaporan
akuntansi.
4. Masyarakat dan lingkungan adalah sumber daya yang tidak berada dalam “area
kendali” dan tidak terikat dalam kewajibannya sesuai kontrak “Exsecutory contract”
dengan perusahaan sehingga diproses akuntansi.

Ada 3 asfek yang perlu di reformasi :


1. Reformasi Conceptual Framework akuntansi dan GAAP (Generally Accepted
Accounting Principels) akuntansi konvensional kearah yang progresif yaitu menuju
akuntansi berkelanjutan.
2. Reformasi format pelaporan akuntansi menuju format pelaporan berkelanjutan
(Integrasi pelaporan keuangan, sosial lingkungan dan tatakelola) atau pelaporan
terintegrasi (Integrated Reporting).
3. Reformasi Standar Akuntansi keuangan menuju standar akuntansi berkelanjutan
PELUANG BAGI PROFESI AKUNTANSI
Implementasi Akuntansi Berkelanjutan dan pelaporan berkelanjutan akan
memberikan dampak positif yang signifikan bagi :
1. Pengembangan akuntansi baik sebagai ilmu maupun sebagai teknologi rekayasa.
2. Profesi akuntansi atau lulusan akuntansi dalam pengembangan lapangan pekerjaan
atau profesi.
3. Meningkatkan peran strategis informasi akuntansi dalam keputusan bisnis, ekonomi,
politik, sosial, hukum, lingkungan dan lainnya untuk para pihak pemakai.

REKOMENDASI
Perlu dibentuk tim satgas khusus yang bertugas untuk :
1. Mengkaji dan mengembangkan kerangka teori dan prinsip prinsip akuntansi
berkelanjutan.
2. Mengembangkan mata kuliah mata kuliah baru akuntansi untuk mendukung
akuntansi berkelanjutan dan pelaporan berkelanjutan.
3. Menyusun modul atau buku ajar mata kuliah mata kuliah yang relevan dengan
akuntansi berkelanjutan dan pelaporan berkelanjutan.

Contoh Kasus

PENCEMARAN LIMBAH PABRIK : Menggugat Tanggung Jawab Korporasi


Belum lama ini, pengusaha pertekstilan di Provinsi Jawa Tengah sedang dilanda keresahan
akibat salah satu pabrik pengolahan kain rayon menghentikan kegiatan operasinya di
Kabupaten Sukoharjo beberapa waktu lalu. Padahal, industri pertekstilan di Jateng sedang
berkembang pesat karena beberapa produknya sudah menjadi andalan ekspor dan kontributor
utama pemasukan daerah.
redaksi@bisnis.com redaksi@bisnis.com - Bisnis.com
09 Maret 2018 - 02:00 WIB
Belum lama ini, pengusaha pertekstilan di Provinsi Jawa Tengah sedang dilanda keresahan
akibat salah satu pabrik pengolahan kain rayon menghentikan kegiatan operasinya di
Kabupaten Sukoharjo beberapa waktu lalu. Padahal, industri pertekstilan di Jateng sedang
berkembang pesat karena beberapa produknya sudah menjadi andalan ekspor dan kontributor
utama pemasukan daerah.
Menurut data yang diperoleh oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jateng, produk
pertekstilan menyumbang 45% dari seluruh total ekspor yang ada di provinsi ini.
Kontribusi yang cukup signifikan tersebut tentunya berdampak positif bagi kemajuan
perekonomian daerah serta naiknya daya beli masyarakat yang segala aktivitasnya
berhubungan dengan sektor pertekstilan.
Namun, apakah kontribusi yang sedemikian signifikan terhadap perekonomian tersebut juga
berbanding lurus dengan tanggung jawab para pengusaha pertekstilan dalam melakukan
kegiatan produksi yang taat asas dan akrab lingkungan?
Beberapa masalah justru terus mencuat, terutama yang terkait dengan isu pengelolaan
lingkungan. Sejumlah perusahaan tekstil justru masih ada yang mengabaikan prosedur
standar mengenai pengolahan limbah tekstil. Jika limbah tak dikelola dengan baik dan tak
ditampung di tempat yang semestinya, sudah pasti pencemaran lingkungan bakal terjadi.
Akibat masalah itu pula, pada 24 Februari 2018, PT Rayon Utama Makmur (RUM) yang
berada di Desa Plesan Kecamatan Ngunter, Kabupaten Sukoharjo, Jateng, terpaksa shut
down. Perusahaan dituding tak mampu mengelola residu industri sehingga limbah dari pabrik
tersebut menimbulkan aroma yang tidak sedap. Warga di sekitar pabrik pun merasa
terganggu.
Warga Desa Plesan yang tak terima pun menggelar demonstrasi besar-besaran di depan
kantor Bupati Sukoharjo untuk menggugat tanggung jawab perusahaan terhadap pengelolaan
lingkungan.
Mereka mendesak kepala daerahnya untuk segera menindak perusahaan pencemar
lingkungan tersebut karena warga desa sudah tidak tahan lagi mencium bau busuk limbah
pabrik yang dibuang ke sungai. Kesehatan warga pun dikhawatirkan ikut terdampak jika
pemda tak segera mengambil tindakan.
Penutupan atas pabrik tersebut dilakukan karena dalam sebulan semenjak audiensi dengan
warga Desa Plesan pada 19 Januari 2018, PT RUM tidak dapat mengatasi permasalahan
limbah yang mencemari sungai.
Dengan demikian, PT RUM diminta segera menghentikan operasional pabrik sampai
perusahaan itu menemukan solusi mengatasi permasalah limbahnya. Untuk sementara waktu,
masyarakat di desa tersebut sedikit merasa lega karena proses produksi rayon di pabrik sudah
berhenti.
PENDAPAT API
Perwakilan Asosiasi Pertextilan Indonesia (API) Jateng, Dedi Mulyadi mengatakan
seharusnya PT RUM sebelum menjalankan proses produksi meninjau dulu potensi dampak
negatif lingkungan dari proses produksinya. Hal tersebut tentu merupakan prosedur paling
dasar yang wajib dijalankan perusahaan pertekstilan.
Ini juga termasuk kesadaran perusahaan dalam mempersiapkan instalasi pengelolaan air
limbah (IPAL) yang memadai. Mengingat bahan baku produk rayon dari serat kayu, limbah
yang dihasilkan bisa sangat berbahaya dan dapat dengan mudah mencemari lingkungan di
sekitar pabrik.
Dampak limbah dari pabrik rayon dipandang amat merugikan masyarakat terutama jika
limbah cair sampai mengalir ke sungai dan dipakai untuk mandi bisa membuat badan terasa
gatal-gatal.
Selain itu, limbah rayon juga mengandung merkuri yang berbahaya jika sampai mencemari
lahan pertanian di sekitar lokasi pabrik.
“Rayon itu bahan bakunya dari bubur kayu sehingga membuat limbah yang dihasilkan cukup
berbahaya. Di beberapa daerah, seperti pabrik rayon di Pulau Sumatra juga ditutup akibat
pencemaran limbah yang sulit untuk diatasi. Seharusnya, pabrik rayon berada di dekat hutan
dan jauh dari pemukiman warga sehingga tidak menggangu lingkungan sekitar,” kata Dedi.
Menurutnya, penutupan PT RUM tidak berdampak negatif pada beberapa perusahaan
pertekstilan di Jateng. Hal ini karena kebanyakan industri pertekstilan di Jateng tidak terlalu
membutuhkan banyak kain rayon untuk pembuatan beberapa produk hilirnya seperti celana
dan jenis garmen lainnya.
Dedi mengatakan para pengusaha biasanya tidak menggunakan kain rayon karena mereka
lebih pilih mengimpor kain katun sebagai bahan pengganti rayon karena cenderung aman dan
mudah diperoleh. Menurut para pengusaha pertekstilan, kain katun dirasa lebih sejuk
ketimbang kain rayon.
“Kami biasanya menggunakan kain katun ketimbang menggunakan kain rayon meskipun
[kain katun] harus impor dari luar negeri. Meski demikian, [impor] cenderung lebih ekonomis
dibandingkan dengan [membeli] rayon. Biasanya, pabrik berskala besar yang memproduksi
rayon digunakan pada bagian dalam celana,” ujarnya.
Dedi menambahkan, jika ingin mendirikan pabrik rayon, instalasi pengolahan limbah
seharusnya sudah terpasang secara terintegrasi agar dampak lingkungannya dapat
ditanggulangi sejak awal. Di Indonesia, sudah ada 3 pabrik pembuatan kain rayon yang tutup
akibat pencemaran lingkungan.
Para pengusaha yang ingin mendirikan pabrik pembuatan kain rayon, ucapnya, seharusnya
memilih tempat yang jauh dari pemukiman warga. Jika memungkinkan, pembangunan pabrik
harus dekat dengan hutan sehingga tidak menganggu aktivitas warga sekitar.
Ketika disingung apakah penutupan pabrik rayon berpengaruh pada industri tekstil lainnya,
Dedi mengatakan bahwa penutupan pabrik tersebut tidak memengaruhi industri pertekstilan
di Jateng. Hal ini karena pelaku industri di luar tekstil tidak terlalu memedulikan penutupan
pabrik tersebut.
“Pelaku industri selain tekstil tidak merasa dirugikan oleh penutupan pabrik rayon di
Kabupaten Sukoharjo. Hanya beberapa industri seperti pembuatan sarung yang sedikit
mengalami dampak penutupan pabrik rayon tersebut,” tuturnya.
PUNYA IPAL
Menurut Dedi, setiap pabrik pertekstilan seharusnya dilengkapi dengan instalasi pengolahan
limbah (IPAL) sendiri yang sudah ditetapkan oleh peraturan pemerintah setempat. IPAL yang
baik amat penting untuk mengurangi pencemaran limbah pada sebuah pabrik.
Limbah cair maupun padat seharusnya dipisahkan terlebih dahulu kemudian baru masuk ke
IPAL untuk dilakukan proses pengolahan. Dengan proses IPAL yang sudah sesuai dengan
standar yang ditetapkan, maka limbah yang terbuang tidak akan mencemari lingkungan
sekitar.
“Pengelolaan limbah yang baik bisa menjadi solusi bagi para pengusaha tekstil untuk
meminimalisir pencemaran yang dihasilkan dari residu proses produksi pabrik. Sebab, jika
limbah mencemari lingkungan akan menimbulkan penyakit bagi warga yang tinggal di
wilayah sekitar pabrik,” katanya.
Dedi berharap agar semua pengusaha pertekstilan di Jateng bisa memerhatikan dampak
lingkungan terlebih dahulu, supaya kejadian penutupan pabrik seperti yang terjadi di
Kabupaten Sukoharjo tidak terulang lagi.
“Saya minta kepada setiap perusahaan pertekstilan di Jateng memahami lingkungan sekitar
dengan membangun IPAL sesuai standar yang sudah ditetapkan pemerintah agar
permasalahan tidak terjadi lagi," ucapnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Sukoharjo Joko Daryono
mengatakan bahwa penutupan pabrik kain rayon sudah sesuai dengan aturan yang disepakati
oleh warga Desa Plesan dan manajemen PT RUM.
Joko menjelaskan, pabrik tersebut terbukti menyalahi aturan karena limbah yang dihasilkan
mencemari lingkungan sekitar. Aroma bahan kimia yang menyengat di sekitar lokasi pabrik
membuat warga merasa terganggu.
Menurutnya, ada tiga kesepakatan yang dibuat antara warga dan perusahaan. Pertama, PT
RUM bersedia menghilangkan bau menyengat dan segala dampak tak menyenangkan yang
dihasilkan dari limbah berdasarkan prinsip baku mutu lingkungan.
Kedua, untuk melaksanakan upaya tersebut, PT RUM akan melibatkan tim independen dari
Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), dan
tim independen lain yang bersedia bergabung serta perwakilan masyarakat dalam rangka
monitoring pencemaran limbah.
“Sudah sejak tahun lalu kami memberikan peringatan kepada PT RUM untuk segera
memberikan laporan terkait dengan IPAL buatannya. Namun, masih saja limbah yang
dihasilkan menganggu lingkungan terutama bau dan limbah cair,” kata Joko.
Oleh karena itu, dia meminta PT RUM segera memperbaiki manajemen IPAL agar tidak
terjadi lagi pencemaran dan kegiatan produksi dapat berlangsung lagi dengan aman. Jangan
sampai tanggung jawab perusahaan terhadap pelestarian lingkungan terabaikan.

Anda mungkin juga menyukai