Pada masa - masa awal era kesultanan di Indonesia, hubungan antar kesultanan, terutama
yang berbatasan darat. Masing - masing kesultanan maupun kadipaten berusaha untuk
mendominasi. Tidak terlepas dengan Kesultanan Demak.
Dalam hal invasi ke Malaka, yang dipimpin Pati Unus, tidak semua kadipaten dan kesultanan
mendukung invasi tersebut dengan sepenuh hati. Misalnya Kadipaten Tuban, yang dengan
sengaja memperlambat armada lautnya sehingga praktis selamat dari kahancuran akibat
kekalahan dari Portugis. Adipati Tuban pada saat itu, yang notabene adalah Ayah Sunan
KaliJogo merasa khawatir apabila Tuban mengirim kekuatan tempurnya secara penuh, Demak
akan dengan mudah membokong dan menduduki Tuban yang praktis kosong.
Ancaman juga muncul dari wilayah - wilayah di tanah Jawa yang belum sepenuhnya memeluk
Islam. Kemungkinan besar (analisis pribadi) tidak mendukung invasi ke Malaka. Wilayah -
wilayah tersebut bagaimanapun juga, yang notabene penduduknya masih menganut Hindu
atau Budha, menganggap Islam sebagai ancaman yang akan menggeser agama tua.
Selanjutnya, masalah peralatan. Salah satu suku bangsa yang mampu membangun kapal yang
baik adalah Bugis, dan suku - suku di Sulawesi dan Maluku. Pada saat Majapahit menguasai
wilayah tersebut, akses teknologi perkapalan, baik sumber daya manusia maupun kayu bisa
mengalir dengan lancar sehingga menjadi modal yang besar bagi ekspansi Majapahit, bahkan
perjalannya sampai ke Tanjung Harapan di Afrika. Akan tetapi, pendudukan Majapahit atas
wilayah Sulawesi dan Maluku tetap dianggap sebagai penjajahan oleh masyarakat lokal. Oleh
karena itu, bukan hal yang mustahil bahwa akses teknologi perkapalan yang didapat oleh
Demak tidak sepenuhnya karena masyarakat Maluku dan Sulawesi tetap menganggap Demak
sebagai kelanjutan dari Majapahit.