Anda di halaman 1dari 3

Tata Cara Shalat Jenazah sesuai tuntunan Nabi

oleh: Al-Ustadzah
Ummu Ishaq Zulfa
Husein Al Atsariyyah
Bahasan selanjutnya setelah tatacara memandikan jenazah adalah shalat jenazah. Barangkali
sebagian kita telah berulang kali mengamalkannya.
Namun kajian ini insya Allah tetap memiliki nuansa lain karena kita diajak untuk menyelami
dalil-dalilnya.
Purna sudah tugas memandikan dan mengafani jenazah. Yang tertinggal sekarang adalah
menshalati, mengantarkannya ke pekuburan dan memakamkannya. Untuk mengantarkan
ke pekuburan dan memakam-kannya merupakan tugas laki-laki, karena Rasulullah n
telah melarang wanita untuk mengikuti jenazahsebagaimana diberitakan Ummu ‘Athiyyah
x:
“Kami dilarang (dalam satu riwayat: Rasulullah n melarang kami) untuk mengikuti jenazah
namun tidak ditekankan (larangan tersebut) terhadap kami.”1
Al-Imam Ibnul Daqiqil ‘Ied t berkata:“Hadits ini mengandung dalil dibencinya wanita
mengikuti jenazah, namun tidak sampai pada keharaman. Demikian yang dipahami dari ucapan
Ummu ‘Athiyyah x: (namun tidak ditekankan larangan tersebut terhadap kami) karena ‘azimah
menunjukkan ta`kid (penekanan).” (Ihkamul Ahkam fi Syarhi ‘Umdatil Ahkam, kitab Al-
Jana`iz, hal. 199)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani tberkata: “Seakan-akan Ummu ‘Athiyyah xhendak
menyatakan bahwa: ‘Beliau n benci bila kami mengikuti jenazah, namun beliau tidak
mengharamkannya’.” Al-Qurthubi t berkata: “Yang tampak dari konteks ucapan Ummu
‘Athiyyahxadalah larangan tersebut merupakan nahi tanzih (larangan makruh, bukan haram).
Demikian pendapat jumhur ahlul ilmi2.” (Fathul Bari, 3/186).

Shalat Jenazah
Menshalati jenazah seorang muslim hukumnya fardhu/ wajib kifayah4, karena adanya
perintah Nabi n dalam beberapa hadits. Di antaranya hadits Abu Qatadahz, ia menceritakan:
Didatangkan jenazah seorang lelaki dari kalangan Anshar di hadapan Rasulullah n agar beliau
menshalatinya, ternyata beliau n, bersabda: “Shalatilah teman kalian ini, (aku tidak mau
menshalatinya) karena ia meninggal dengan menanggung hutang.” Mendengar hal itu berkatalah
Abu Qatadah: “Hutang itu menjadi tanggunganku.” Nabi n bersabda: “Janji ini akan disertai
dengan penunaian?”. “Janji ini akan disertai dengan penunaian,“ jawab Abu Qatadah. Maka
Nabi pun menshalatinya.”5
Dikecualikan dalam hal ini dua jenis jenazah yang tidak wajib dishalati, yaitu:
1. Anak kecil yang belum baligh, karena Nabi n tidak menshalati putra beliau Ibrahim ketika
wafatnya sebagaimana diberitakan ‘Aisyahx:
“Ibrahim putra Nabi n meninggal dunia dalam usia 18 bulan, beliau n tidak menshalatinya.”6
2. Orang yang gugur fi sabilillah (syahid) karena Nabi n tidak menshalati syuhada perang
Uhud dan selain mereka.Anas bin Malik z mengabarkan:
“Syuhada perang Uhud tidak dimandikan, dan mereka dimakamkan dengan darah-darah mereka,
juga tidak dishalati kecuali jenazah Hamzah.”7
Kedua golongan di atas, kalaupun hendak dishalati maka tidak menjadi masalah bahkan
hal ini disyariatkan. Namun pensyariatannya tidaklah wajib. Kenapa kita katakan hal ini
disyariatkan? Karena Nabi n pernah pula menshalati jenazah anak kecil seperti tersebut dalam
hadits Aisyah x:
“Didatangkan kepada Rasulullah n jenazah anak kecil dari kalangan Anshar, beliau pun
menshalatinya…”8
Sebagaimana Nabi n pernah menshalati jenazah seorang A‘rabi (Badui) yang gugur di medan
jihad. Syaddad ibnul Haad berkisah:
“Seorang lelaki dari kalangan A‘rabi datang menemui Nabi n . Ia pun beriman dan mengikuti
beliau. Kemudian ia berkata: “Aku berhijrah bersamamu.” Nabi n berpesan kepada beberapa
shahabatnya untuk memperhatikan A‘rabi ini. Ketika perang Khaibar, Nabi n mendapatkan
ghanimah, beliau membaginya, dan memberikan bagian kepada A‘rabi tersebut dengan
menyerahkannya lewat sebagian shahabat beliau. Saat itu si A‘rabi ini sedang menggembalakan
tunggangan mereka. Ketika ia kembali, mereka menyerahkan bagian ghanimah tersebut
kepadanya.
“Apa ini ?” tanya A’rabi tersebut.
“Bagian yang diberikan Nabi n untukmu,” jawab mereka.
A‘rabi ini mengambil harta tersebut lalu membawanya ke hadapan Nabi n, seraya bertanya:
“Harta apa ini?”
“Aku membaginya untukmu,” sabda Nabi n .
“Bukan untuk ini aku mengikutimu, akan tetapi aku mengikutimu agar aku dipanah di sini – ia
memberi isyarat ke tenggorokannya– hingga aku mati, lalu masuk surga,” kata A’rabi.
Nabi n bersabda: “Bila engkau jujur terhadap Allah (dengan keinginanmu tersebut), niscaya Dia
akan menepatimu.”
Mereka tinggal sejenak. Setelahnya mereka bangkit untuk memerangi musuh (A‘rabi turut serta
bersama mereka, akhirnya ia gugur di medan laga, –pent.) Ia dibopong ke hadapan Nabi n,
setelah sebelumnya ia terkena panah pada bagian tubuh yang telah diisyaratkannya.
“Apakah ini A’rabi itu?” tanya Nabi n.
“Ya,“ jawab mereka yang ditanya.
“Dia jujur kepada Allah maka Allah pun menepati keinginannya,” kata Nabi n. Kemudian Nabi
n mengafaninya dengan jubah beliau. Setelahnya, beliau meletakkannya di hadapan beliau untuk
dishalati. Di antara doa Nabi n dalam shalat jenazah tersebut: “Ya Allah, inilah hamba-Mu, dia
keluar dari negerinya untuk berhijrah di jalan-Mu, lalu ia terbunuh sebagai syahid, aku menjadi
saksi atas semua itu.”9
Ibnul Qayyim t berkata: “Yang benar dalam masalah ini, seseorang diberi pilihan antara
menshalati mereka atau tidak, karena masing-masing ada atsarnya. Demikian salah satu riwayat
dari pendapat Al-Imam Ahmad t. Dan pendapat inilah yang paling men-cocoki ushul dan
madzhabnya.” (Tahdzibus Sunan , 4/295 sebagaimana dalam Ahkamul Jana`iz , hal. 108)
Shalat Jenazah Dilakukan Secara Berjamaah

Disyariatkan shalat jenazah secara berjamaah sebagaimana shalat lima waktu, dengan
dalil:
1. Nabi senantiasa melaksanakannya secara berjamaah.
2. Nabi telah bersabda:
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.” 11
Namun bila mereka mengerjakannya sendiri-sendiri maka telah tertunaikan kewajiban,
sebagaimana kata Al-Imam An-Nawawi t: “Tidak ada perbedaan pendapat bahwa
shalat jenazah boleh dilakukan sendiri-sendiri. Namun yang sunnah, shalat jenazah itu
dilakukan secara berjamaah. Karena demikianlah yang ditunjukkan dalam hadits-hadits
masyhur yang ada dalam kitab Ash-Shahih, bersamaan dengan adanya ijma’ kaum
muslimin dalam masalah ini.” (Al-Majmu’, 5/172)
Semakin banyak jamaah yang menshalati jenazah tersebut, semakin afdhal dan ber-
manfaat bagi si mayat12, karena Nabi n bersabda:
“Tidak ada satu mayat pun yang dishalati oleh suatu umat dari kaum muslimin yang
mencapai jumlah 100 orang, di mana mereka memberikan syafaat kepada si mayat,
melainkan mayat tersebut disyafaati.”13
Bahkan jumlah yang kurang dari 100 pun bermanfaat bagi si mayat, dengan syarat
mereka yang menshalatinya itu dari kalangan muwahhidin (orang-orang yang bertauhid
dengan tidak mencampurinya dengan kesyirikan sedikit pun). Seperti tersebut dalam
sabda Nabi n:
“Tidak ada seorang muslimpun yang meninggal, lalu 40 orang yang tidak berbuat syirik
terhadap Allah sedikit pun menshalati jenazahnya, melainkan Allah memberikan syafaat
mereka itu terhadapnya.”14
Disunnahkan makmum yang ikut shalat jenazah tersebut membentuk tiga shaf atau lebih
di belakang imam15, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits dari Abu Umamah t, ia
berkata:
“Rasulullah n pernah shalat jenazah bersama tujuh orang, maka beliau menjadikan tiga
orang berada dalam satu shaf, dua orang yang lain dalam satu shaf dan dua orang
yang tersisa dalam satu shaf.”16
Yang afdhal pelaksanaan shalat jenazah itu di luar masjid, di tempat yang memang
khusus disiapkan untuk shalat jenazah, sebagaimana hal ini dilakukan di masa Nabi n
(Ahkamul Jana`iz, hal. 135).

Anda mungkin juga menyukai