Anda di halaman 1dari 19

ASUHAN

KEPERAWATAN

PELAYANAN PALIATIF PADA


PASIEN STROKE

KELOMPOK 3 :

REINALDY A. MANGAPU

NONGKI KARI

CHLARISA J. NGALA

NIKADEK E. MEGASARI

IVANA E. PONGSUMBEN
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa kadar fibrinogen plasma yang tinggi merupakan
faktor risiko utama dari penyakit kardiovaskuler (penyakit jantung koroner, stroke, dan
penyakit pembuluh darah tepi. Kadar fibrinogen ditentukan oleh, faktor genetik dan
lingkungan (seperti merokok, obesitas, diabetes melitus, menopause, infeksi , dan lain-lain).
Kadar fibrinogen juga dapat dipakai untuk meramalkan kejadian risiko penyakit
kardiovaskuler; terutama bagi populasi yang tergolong resiko tinggi (kadar. fibrinogen
plasma > 3 gll).

Paling sedikit ada empat mekanisme bagaimana fibrtinogen berperan dalam patogenesis
penyakit kardiovaskuler yaitu: aterogenesis, agregasi trombosit dan pembentukan trombus,
pembentukan trombus fibrin. dan peningkatan viskositas plasma dalam darah. Penurunan
kadar fibrinogen dapat dicapai dengan memperbaiki pola hidup (seperti tidak merokok,
latihan. pengendalian gula darah yang baik bagi penderita diabetes), dan bila perlu dapat
diberikan obat golongan fibrat.

Di Indonesia masih belum terdapat epidemiologi tentang insidensi dan prevalensi penderita
stroke secara nasional. Dari beberapa data penelitia yang minim pada populasi masyarakat
didapatkan angka prevalensi penyakit stroke pada daerah urban sekitar 0,5% (Darmojo ,
1990) dan angka insidensi penyakit stroke pada darah rural sekitar 50/100.000 penduduk
(Suhana, 1994). Sedangkan dari data survey Kesehatan Rumah Tangga (1995) DepKes RI,
menunjukkan bahwa penyakit vaskuler merupakan penyebab kematian pertama di Indonesia.

Dari data diatas, dapat disimpulkan bahwa pencegahan dan pengobatan yang tepat pada
penderita stroke merupakan hal yang sangat penting, dan pengetahuan tentang patofisiologi
stroke sangat berguna untuk menentukan pencegahan dan pengobatan tersebut, agar dapat
menurunkan angka kematian dan kecacatan.

Berdasarkan gejala klinis, Infark serebri dapat dibagi menjadi 3, yaitu Infark aterotrombotik
(aterotromboli), Infark kardioemboli, dan Infark lakuner. Menurut Warlow, dari penelitia
pada populasi masyarakat, Infark aterotrombotik merupakan penyebab stroke yang paling
sering terjadi, yaitu ditemukan pada 50% penderita aterotrombotik bervariasi antara 14-40%.
Infark aterotrombotik terjadi akibat adanya proses aterotrombotik pada arteri ekstra dan
intrakranial.
B. Tujuan Umum

1. Untuk memberikan pengalaman nyata tentang asuhan keperawatan dengan kasus


stroke pada pasien Paliatif

2. Tujuan khusus :

a. Mampu mengidentifikasi data yang menunjang

b. Mampu menentukan diagnosa keperawatan

c. Mampu menulis definisi diagnosa keperawatan

d. Mampu menjelaskan rasional diagnosa keperawatan

e. Mampu memprioritaskan diagnosa keperawatan

f. Mampu menyusun rencana keperawatan untuk masing-masing diagnose keperawatan

g. Mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada klien

h. Mampu melaksanakan evaluasi

i. Mampu mengidentifikasi faktor penghambat dan penunjang dalam melaksanakan


asuhan keperawatan

j. Mampu mengidentifikasi dalam pemberian penyelesaian masalah (solusi).


BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian

Stroke atau cedera cerebrovaskular (CVA) adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan
oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak (Smeltzer & Bare, 2002). Stroke adalah sindrom
klinis yang awal timbulnya mendadak, progesi cepat, berupa defisit neurologis fokal dan/
atau global, yang berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian, dan
semata–mata disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik (Mansjoer,
2000).

Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang cepat akibat
gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24
jam atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain
vaskuler. (Hendro Susilo, 2000)

Menurut Price & Wilson (2006) pengertian dari stroke adalah setiap gangguan neurologik
mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui sistem suplai
arteri otak. Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian stroke adalah
gangguan sirkulasi serebral yang disebabkan oleh sumbatan atau penyempitan pembuluh
darah oleh karena emboli, trombosis atau perdarahan serebral sehingga terjadi penurunan
aliran darah ke otak yang timbulnya secara mendadak.

Stroke diklasifikasikan menjadi dua :

1. Stroke Non Hemoragik

Suatu gangguan peredaran darah otak tanpa terjadi suatu perdarahan yang ditandai dengan
kelemahan pada satu atau keempat anggota gerak atau hemiparese, nyeri kepala, mual,
muntah, pandangan kabur dan dysfhagia (kesulitan menelan). Stroke non haemoragik dibagi
lagi menjadi dua yaitu stroke embolik dan stroke trombotik (Wanhari, 2008).

2. Stroke Hemoragik

Suatu gangguan peredaran darah otak yang ditandai dengan adanya perdarahan intra serebral
atau perdarahan subarakhnoid. Tanda yang terjadi adalah penurunan kesadaran, pernapasan
cepat, nadi cepat, gejala fokal berupa hemiplegi, pupil mengecil, kaku kuduk (Wanhari,
2008).
Anatomi fisiologi

a. Otak

Berat otak manusia sekitar 1400 gram dan tersusun oleh kurang lebih 100 triliun neuron.
Otak terdiri dari empat bagian besar yaitu serebrum (otak besar), serebelum (otak kecil),
brainstem (batang otak), dan diensefalon. (Satyanegara, 1998)

Serebrum terdiri dari dua hemisfer serebri, korpus kolosum dan korteks serebri. Masing-
masing hemisfer serebri terdiri dari lobus frontalis yang merupakan area motorik primer yang
bertanggung jawab untuk gerakan-gerakan voluntar, lobur parietalis yang berperanan pada
kegiatan memproses dan mengintegrasi informasi sensorik yang lebih tinggi tingkatnya,
lobus temporalis yang merupakan area sensorik untuk impuls pendengaran dan lobus
oksipitalis yang mengandung korteks penglihatan primer, menerima informasi penglihatan
dan menyadari sensasi warna.

Serebelum terletak di dalam fosa kranii posterior dan ditutupi oleh duramater yang
menyerupai atap tenda yaitu tentorium, yang memisahkannya dari bagian posterior serebrum.
Fungsi utamanya adalah sebagai pusat refleks yang mengkoordinasi dan memperhalus
gerakan otot, serta mengubah tonus dan kekuatan kontraksi untuk mempertahankan
keseimbangan sikap tubuh.

Bagian-bagian batang otak dari bawak ke atas adalah medula oblongata, pons dan
mesensefalon (otak tengah). Medula oblongata merupakan pusat refleks yang penting untuk
jantung, vasokonstriktor, pernafasan, bersin, batuk, menelan, pengeluaran air liur dan
muntah. Pons merupakan mata rantai penghubung yang penting pada jaras kortikosereberalis
yang menyatukan hemisfer serebri dan serebelum. Mesensefalon merupakan bagian pendek
dari batang otak yang berisi aquedikus sylvius, beberapa traktus serabut saraf asenden dan
desenden dan pusat stimulus saraf pendengaran dan penglihatan.

b. Sirkulasi darah otak

Otak menerima 17 % curah jantung dan menggunakan 20 % konsumsi oksigen total tubuh
manusia untuk metabolisme aerobiknya. Otak diperdarahi oleh dua pasang arteri yaitu arteri
karotis interna dan arteri vertebralis. Da dalam rongga kranium, keempat arteri ini saling
berhubungan dan membentuk sistem anastomosis, yaitu sirkulus Willisi.(Satyanegara, 1998)

Arteri karotis interna dan eksterna bercabang dari arteria karotis komunis kira-kira setinggi
rawan tiroidea. Arteri karotis interna masuk ke dalam tengkorak dan bercabang kira-kira
setinggi kiasma optikum, menjadi arteri serebri anterior dan media. Arteri serebri anterior
memberi suplai darah pada struktur-struktur seperti nukleus kaudatus dan putamen basal
ganglia, kapsula interna, korpus kolosum dan bagian-bagian (terutama medial) lobus frontalis
dan parietalis serebri, termasuk korteks somestetik dan korteks motorik. Arteri serebri media
mensuplai darah untuk lobus temporalis, parietalis dan frontalis korteks serebri. Darah di
dalam jaringan kapiler otak akan dialirkan melalui venula-venula (yang tidak mempunyai
nama) ke vena serta di drainase ke sinus duramatris. Dari sinus, melalui vena emisaria akan
dialirkan ke vena-vena ekstrakranial. (Satyanegara, 1998)
B. Etiologi

Menurut Smeltzer & Bare (2002) stroke biasanya diakibatkan dari salah satu empat kejadian
yaitu:

1. Thrombosis yaitu bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher.

2. Embolisme serebral yaitu bekuan darah atau material lain yang di bawa ke otak dari
bagian tubuh yang lain.

3. Iskemia yaitu penurunan aliran darah ke area otak

4. Hemoragi serebral yaitu pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahan ke dalam
jaringan otak atau ruang sekitar otak.

Akibat dari keempat kejadian diatas maka terjadi penghentian suplai darah ke otak, yang
menyebabkan kehilangan sementara atau permanen gerakan, berpikir, memori, bicara, atau
sensasi.

Faktor resiko terjadinya stroke menurut Mansjoer (2000) adalah:

1. Yang tidak dapat diubah: usia, jenis kelamin, ras, riwayat keluarga, riwayat stroke,
penyakit jantung koroner, dan fibrilasi atrium.

2. Yang dapat diubah: hipertensi, diabetes mellitus, merokok, penyalahgunaan alkohol dan
obat, kontrasepsi oral, dan hematokrit meningkat.

C. Patofisiologi

Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriola mengalami perubahan patologik


pada dinding pembuluh darah tersebut berupa hipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta
timbulnya aneurisma tipe Bouchard. Arteriol-arteriol dari cabang-cabang lentikulostriata,
cabang tembus arteriotalamus dan cabang-cabang paramedian arteria vertebro-basilar
mengalami perubahan-perubahan degeneratif yang sama . Kenaikan darah yang “abrupt” atau
kenaikan dalam jumlah yang secara mencolok dapat menginduksi pecahnya pembuluh darah
terutama pada pagi hari dan sore hari.

Jika pembuluh darah tersebut pecah, maka perdarahan dapat berlanjut sampai dengan 6 jam
dan jika volumenya besar akan merusak struktur anatomi otak dan menimbulkan gejala klinik

Jika perdarahan yang timbul kecil ukurannya, maka massa darah hanya dapat merasuk
dan menyela di antara selaput akson massa putih tanpa merusaknya. Pada keadaan ini
absorbsi darah akan diikuti oleh pulihnya fungsi-fungsi neurologi. Sedangkan pada
perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peninggian tekanan intrakranial dan yang
lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada falk serebri atau lewat foramen magnum.
Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer otak, dan perdarahan
batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak. Perembesan darah ke ventrikel
otak terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak di nukleus kaudatus, talamus dan pons.
Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relatif banyak akan
mengakibatkan peningian tekanan intrakranial dan menebabkan menurunnya tekanan perfusi
otak serta terganggunya drainase otak.

Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat menurunnya
tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di daerah yang terkena darah dan sekitarnya
tertekan lagi. Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Apabila volume darah lebih
dari 60 cc maka resiko kematian sebesar 93 % pada perdarahan dalam dan 71 % pada
perdarahan lobar. Sedangkan bila terjadi perdarahan serebelar dengan volume antara 30-60 cc
diperkirakan kemungkinan kematian sebesar 75 % tetapi volume darah 5 cc dan terdapat di
pons sudah berakibat fatal. (Jusuf Misbach, 1999).

D. Tanda dan Gejala

Menurut Smeltzer & Bare (2002) dan Price & Wilson (2006) tanda dan gejala penyakit stroke
adalah kelemahan atau kelumpuhan lengan atau tungkai atau salah satu sisi tubuh, hilangnya
sebagian penglihatan atau pendengaran, penglihatan ganda atau kesulitan melihat pada satu
atau kedua mata, pusing dan pingsan, nyeri kepala mendadak tanpa kausa yang jelas, bicara
tidak jelas (pelo), sulit memikirkan atau mengucapkan kata-kata yang tepat, tidak mampu
mengenali bagian dari tubuh, ketidakseimbangan dan terjatuh dan hilangnya pengendalian
terhadap kandung kemih.

Stroke bisa menjadi bertambah buruk dalam beberapa jam sampai 1-2 hari akibat bertambah
luasnya jaringan otak yang mati (stroke in evolution).
Perkembangan penyakit bisasanya (tetapi tidak selalu) diselingi dengan periode stabil,
dimana perluasan jaringan yang mati berhenti sementara atau tejadi beberapa perbaikan.

Gejala yang terjadi tergantung kepada daerah otak yang terkena:

- Hilangnya rasa atau adanya sensasi abnormal pada lengan atau tungkai atau salah
satu sisi tubuh

- Kelemahan atau kelumpuhan lengan atau tungkai atau salah satu sisi tubuh

- Hilangnya sebagian penglihatan atau pendengaran

- Penglihatan ganda

- Pusing

- Bicara tidak jelas (rero)

- Sulit memikirkan atau mengucapkan kata-kata yang tepat


- Tidak mampu mengenali bagian dari tubuh

- Pergerakan yang tidak biasa

E. Penatalaksanaan Medis

Secara umum, penatalaksanaan pada pasien stroke adalah:

1. Posisi kepala dan badan atas 20-30 derajat, posisi miring jika muntah dan boleh
dimulai mobilisasi bertahap jika hemodinamika stabil

2. Bebaskan jalan nafas dan pertahankan ventilasi yang adekuat, bila perlu diberikan
ogsigen sesuai kebutuhan

3. Tanda-tanda vital diusahakan stabil

4. Bed rest

5. Koreksi adanya hiperglikemia atau hipoglikemia

6. Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit

7. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, bila perlu lakukan kateterisasi

8. Pemberian cairan intravena berupa kristaloid atau koloid dan hindari penggunaan
glukosa murni atau cairan hipotonik

9. Hindari kenaikan suhu, batuk, konstipasi, atau suction berlebih yang dapat
meningkatkan TIK

10. Nutrisi per oral hanya diberikan jika fungsi menelan baik. Jika kesadaran menurun
atau ada gangguan menelan sebaiknya dipasang NGT

11. Penatalaksanaan spesifik berupa:

- Stroke non hemoragik: asetosal, neuroprotektor, trombolisis, antikoagulan, obat hemoragik

- Stroke hemoragik: mengobati penyebabnya, neuroprotektor, tindakan pembedahan,


menurunkan TIK yang tinggi

F. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit stroke menurut Smeltzer & Bare (2002) adalah:

1. Hipoksia serebral, diminimalkan dengan memberi oksigenasi darah adekuat ke otak.


Fungsi otak bergantung pada ketersediaan oksigen yang dikirimkan ke jaringan. Pemberian
oksigen suplemen dan mempertahankan hemoglobin serta hematokrit pada tingkat dapat
diterima akan membantu dalam mempertahankan oksigenasi jaringan.
2. Penurunan aliran darah serebral, bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan
integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan intrvena) harus menjamin
penurunan viskositas darah dan memperbaiki aliran darah serebral. Hipertensi dan hipotensi
ekstrim perlu dihindari untuk mencegah perubahan pada aliran darah serebral dan potensi
meluasnya area cedera.

3. Embolisme serebral, dapat terjadi setelah infark miokard atau fibrilasi atrium atau dapat
berasal dari katup jantung prostetik. Embolisme akan menurunkan aliran darah ke otak dan
selanjutnya akan menurunkan aliran darah serebral. Disritmia dapat mengakibatkan curah
jantung tidak konsisten dan penghentian trombus lokal. Selain itu, disritmia dapat
menyebabkan embolus serebral dan harus diperbaiki

G. Pemeriksaan Diagnostik

Menurut (Doenges dkk, 1999) pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada penyakit
stroke adalah:

1. Angiografi serebral: membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti


perdarahan, obstruksi arteri atau adanya titik oklusi/ ruptur.

2. CT-scan: memperhatikan adanya edema, hematoma, iskemia, dan adanya infark.

3. Pungsi lumbal: menunjukkan adanya tekanan normal dan biasanya ada thrombosis,
emboli serebral, dan TIA (Transient Ischaemia Attack) atau serangan iskemia otak sepintas.
Tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukkan adanya hemoragik
subarakhnoid atau perdarahan intra kranial. Kadar protein total meningkat pada kasus
thrombosis sehubungan dengan adanya proses inflamasi.

4. MRI (Magnetic Resonance Imaging): menunjukkan daerah yang mengalami infark,


hemoragik, dan malformasi arteriovena.

5. Ultrasonografi Doppler: mengidentifikasi penyakit arteriovena.

6. EEG (Electroencephalography): mengidentifikasi penyakit didasarkan pada gelombang


otak dan mungkin memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.

7. Sinar X: menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang berlawanan


dari massa yang meluas, kalsifikasi karotis interna terdapat pada thrombosis serebral.

H. Dampak Masalah

1. Gangguan perfusi jaringan otak

Akibat adanya sumbatan pembuluh darah otak, perdarahan otak, vasospasme serebral, edema
otak
2. Gangguan mobilitas fisik

Terjadi karena adanya kelemahan, kelumpuhan dan menurunnya persepsi / kognitif

3. Gangguan komunikasi verbal

Akibat menurunnya/ terhambatnya sirkulasi serebral, kerusakan neuromuskuler, kelemahan


otot wajah

4. Gangguan nutrisi

Akibat adanya kesulitan menelan, kehilangan sensasi (rasa kecap) pada lidah, nafsu makan
yang menurun

5. Gangguan eliminasi uri dan alvi

Dapat terjadi akibat klien tidak sadar, dehidrasi, imobilisasi dan hilangnya kontrol miksi

6. Ketidakmampuan perawatan diri

Akibat adanya kelemahan pada salah satu sisi tubuh, kehilangan koordinasi / kontrol otot,
menurunnya persepsi kognitif.

I. Pencegahan

Pencegahan stroke yang efektif dengan cara menghindari faktor resikonya,banyak faktor
resiko stroke yang bisa di modifikasi. Sebagian dari pencegahan stroke caranya :

 Kontrol tekanan darah. hipertensi merupakan penyebab serangan stroke.


 Kurangi atau hentikan merokok. Karena nikotin dapat menempel di pembuluh darah
dan menjadi plak, jika plaknya menumpuk bisa menyumbat pembuluh darah.
 Olahraga teratur. Olahraga teratur bisa meningkatkan ketahanan jantung dan
menurunkan berat badan
 Perbanyak makan sayur dan buah. Sayur dan buah mengandung banyak antioksidan
yang bisa menangkal radikal bebas, selain itu sayur dan buah rendah kolesterol
 Suplai Vitamin E yang cukup. Para peneliti dari Columbia Presbyterian Medical
Center melaporkan bahwa konsumsi vitamin E tiap hari menurunkan resiko stroke
sampai 50% vitamin E juga menghaluskan kulit.

J. Penatalaksanaan

Untuk mengobati keadaan akut perlu diperhatikan faktor-faktor kritis sebagai berikut:
Berusaha menstabilkan tanda-tanda vital dengan:

a) Mempertahankan saluran nafas yang paten yaitu lakukan pengisapan lendir yang sering,
oksigenasi, kalau perlu lakukan trakeostomi, membantu pernafasan
b) Mengontrol tekanan darah berdasarkan kondisi pasien, termasuk usaha memperbaiki
hipotensi dan hipertensi

1. Berusaha menemukan dan memperbaiki aritmia jantung.


2. Merawat kandung kemih, sedapat mungkin jangan memakai kateter.
3. Menempatkan pasien dalam posisi yang tepat, harus dilakukan secepat mungkin
pasien harus dirubah posisi tiap 2 jam dan dilakukan latihan-latihan gerak pasif.
BAB III

KONSEP PELAYANAN PALIATIF

Konsep Perawatan Paliatif Pada Pasien Dengan Stroke Kronis

A. Konsep Kehilangan

a) Pengertian

Kehilangan pribadi adalah segala kehilangan signifikan yang membutuhkan adaptasi


melalui proses berduka. Kehilangan terjadi ketika sesuatu atau seseorang tidak lagi ditemui
atau diraba, didengar, diketahui, atau dialami. Namun demikian, setiap individu berespon
terhadap kehilagan secara berbeda. Kematian seorang anggota keluarga mungkin
menyebabkan distress lebih besar dibandingkan kehilangan hewan peliharaan, tetapi bagi
seseorang yang hidup sendiri kematian hewan peliharaan menyebabkan distress emosional
lebih besar dibandingkan dengan saudaranya yang tidak pernah bertemu selama bertahun-
tahun.

Kehilangan dapat bersifat aktual atau dirasakan. Makin dalam makna dari apa yang
hilang maka akan makin besar perasaan kehilangan tersebut. Klien mungkin mengalami
kehilangan maturasional (kehilangan yang diakibatkan oleh transisi kehidupan normal
untuk pertama kalinya), kehilangan situsional (kehilangan yang terjadi secara tiba-tiba
dalam merespon kejadian eksternal seperti kematian mendadak dari orang yang dicintai), atau
keduanya.

1) Kehilangan obyek eksternal, yaitu mencakup segala kepemilikan yang telah menjadi
usang, berpindah tempat, dicuri, atau rusak karena bencana alam.

2) Kehilangan lingkungan yang telah dikenal, yaitu meninggalkan lingkungan yang telah
dikenal selama periode tertentu atau perpindahan secara permanen.

3) Kehilangan orang terdekat, yaitu mencakup kehilangan orang tua, pasangan, anak-anak,
dan orang-orang yang dikenal.

4) Kehilangan aspek diri dapat mencakup bagian tubuh, fungsi fisiologis, dan psikologis.
Kehilangan bagian tubuh dapat mencakup anggota gerak, mata, rambut, gigi, atau payudara.
Kehilangan fungsi fisiologis mencakup kehilangan kontrol kandung kemih atau usus,
mobilitas, kekuatan, atau fungsi sensoris. Kehilangan fungsi psikologis termasuk kehilangan
ingatan, rasa humor, harga diri, percaya diri, kekuatan repspect atau cinta. Orang tersebut
tidak hanya mengalami kedukaan akibat kehilangan tetapi juga dapat mengalami perubahan
permanen dalam citra tubuh dan konsep diri.

5) Kehilangan hidup. Seseorang yang menghadapi kematian menjalani hidup, didasarkan


berpikir dan merespon terhadap kejadian dan orang sekitarnya sampai terjadi kematian.
Sebagian menganggap kematian menjadi jalan masuk ke dalam kehidupan setelah kematian
yang akan mempersatukannya dengan orang yang akan dicintai di surga. Sedangkan orang
lain takut berpisah, dilalaikan, kesepian, atau takut cedera. Ketakutan terhadap kematian
sering menyebabkan individu lebih tergantung. Klien dihadapkan pada serangkaian
keputusan, termasuk keputusan medis, interpersonal, psilkologis, seperti halnya dalam
menghadapi awal krisis penyakit. Dalam fase kronis, klien bertempur dengan penyakit dan
pengobatannya. Akhirnya terdapat pemulihan atau fase terminal. Kadang dalam fase akut
atau kronis seseorang dapat mengalami pemulihan. Klein yang mencapai fase terminal ketika
kematian bukan lagi hanya kemungkinan, tetapi bisa terjadi.

b) Duka, Bergabung dan Kehilangan karena Kematian

Kehilangan karena kematian adalah suatu keadaan pikiran,perasaan dan aktifitas yang
mengikuti kehilangan.keadaan ini mencangkup dukacita dan berkabung.dukacita adalah
proses mengalami reaksi psikologis ,sosial, fisik terhadap kehilangan yang dipersepsikan.
Respon ini termasuk keputusan,kesepian, ketidakberdayaan ,kesedihan, rasa bersalah dan
marah. Berkabung adalah proses yang mengikuti suatu kehilanmgan dan mencangkup
berupaya untuk melewati dukacita. Proses dukacita dan berkabung bersifat
mendalam,internal, menyedihkan, berkepanjangan. Tujuan dukacita adalah untuk mencapai
fungsi yang lebih efektif dengan mengintregasikankehilangan kedalam pengalaman hidup
klien.

c) Respon dukacita khusus, dukacita adaptif dan dukacita terselubung

Dukacita adaptif termasuk proses berkabung, koping, interaksi, perencanaan dan


pengenalan psikososial. Dukacita yang adaptif terjadi pada mereka yang menerima diagnosis
yang mempunyai efek jangka panjang terhadap fungsi tubuh, seperti pada lupus
eriktomatosus sistemik,klien mungkin merasa sangat sehat tetapi mulai berduka dalam
merespon informasi tentang kehilangan dimasa mendatang yang berkaitan dengan
penyakit.dukacita adaptif bagi klien menjelang ajal mencangkup melepas harapan, impian
dan harapan terhadap masadepan jangka panjang.

Dukacita terselubung terjadi ketika seseorang mengalami kehilangan yang tidak atau tidak
dapat dikenali,rasa berkabung yang luas,atau didukung secara sosial. Konsep mengenali
bahwa masyarakat mempunyai serangkaian norma mengenai aturan berduka yang berupaya
untuk mengkhususkan siapa,kapan, dimana, bagaimana, berapa lama dan kepada siapa
oranmg itu harus berduka. Keunikan dari dukacita terselubung menimbulkan situasi dimana
perawat sering menjadi pengganti sosial dan kekeluargaan bagi klien.

B. Konsep Dan Teori Berduka

a. Pengertian

Dukacita adalah respons normal terhadap setiap kehidupan. Perilaku dan perasaan yang
berkaitan dengan proses berduka terjadi pada individu menderita kehilangan seperti
perubahan fisik atau kematian teman dekat. Proses ini juga terjadi ketika individu yang
menghadapi kematian mereka sendiri. Seseorang yang mengalami kehilangan, keluarganya,
dan dukungan sosial lainnya juga mengalami duka cita.

Tidak terdapat cara yang tepat untuk berduka. Konsep dan teori berduka hanya cara yang
dapat digunakan untuk mengantisipasi kebutuhan emosional klien dan keluarganya dan
merencanakan intervensi untuk membantu mereka memahami duka cita dan menghadapinya.
Penting artinya untuk mempertimbangkan beberapa teori tentang kedukaan. Ketika
mendiskusikan tentang tahapan, fase,atau tugas, penting artinya untuk mengingat bahwa hal
ini tidak terjadi dengan urutan yang kaku, tetap dapat diperkirakan. Tujuannya bukan untuk
mengklasifikasi duk cita klien, dengan demikian perawat tidak harus mengidentifikasi klien
sebagai mengalami tahapan khusus duka cita. Peran perawat adalah mengamati prilaku
berduka, mengenali pengaruh berduka terhadap prilaku, dan memberikan dukungan yang
empatik.

b. Tahapan Menjelang Ajal Menurut Kubler-Ross

Kerangka kerja yang diberikan oleh Kubler –Ross (1969) berfokus pada prilaku dan
mencakup 5 tahapan. Pada tahap menyangkal individu bertindak seperti tidak terjadi sesuatu
dan dapat menolak untuk menpercayai bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan seperti
“tidak, tidak mungkin seperti itu,” atau “tidak akan terjadi tyidak akan terjadi pada saya!”
umum dilontarkan klien.

Pada tahap marah individu melawan kehilangan dan dapat bertindak pada seseorang dan
segala sesuatu dilingkungan sekitarnya. Dalam tahap tawar menawar terdapat punundaan
realitas kehilangan. Individu mungkin berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang
halus atau jelas untuk mencegah kehilangan. Klien sering kali mencari pendapat orag lain
selama tahapan ini. Klien yang dirawat di rumah sakit mungkin menunjukkan model prilaku
karena percaya bahwa staf perawatan akan menemukan penyembuhan jika mereka menjadi
“klien yang baik.”

Tahap defresi terjadi ketika kehilangan didasari dan timbul dampak nyata dari makna
kehilangan tersebut timbul. Seseorang terlalu merasa sangat kesepian dan menarik diri.
Tahapan defresi member kesempatan untuk berupaya melewati kehilangan dan mulai
memecahkan masalah.

2. Konsep Perawatan Paliatif

a. Pengkajian

Selama pengkajian perawat tidak boleh berasumsi tentang bagaimana atau klien atau
keluarganya mengalami duka cita. Perawat harus menghindari membuat asumsi bahwa
perilaku tertentu menandakan duka cita, sebaliknya perawat harus memberi kesempatan pada
klien untuk menceritakan apa yang sedang terjadi dengan cara mereka sendiri. Pengkajian
tentang klien dan keluarganya dimulai dengan menggali makna kehilangan bagi mereka.
Perawat mewawancarai klien dengan keluarga dengan menggunakan komunikasi yang tulus
dan terbuka, dengan menekankan keterampilan mendengar dan mengamati respond an
perilaku mereka. Perawat mengkaji bagaimana klien bereaksi dan bukan bagaimana klien
seharusnya bereaksi. Pertimbangan terhadap variable ini memberi perawat data dasar yang
luas sehingga dari data tersebut dapat dibuat perawatan yang sifatnya individual bagi klien.

b. Diagnosa Keperawatan

Perawat mengumpulkan data untuk membuat diagnose keperawatan mengenai duka cita atau
reaksi klien terhadap duka cita. Mengidentifikasi batasan karakteristik yang membentuk dasar
untuk mendiagnosa akurat juga mengembangkan intervensi dalam rencana
perawatan.Perilaku yang menandakan duka cita maladaptive termasuk yang berikut ini:

1. Aktivitas berlebihan tanpa rasa kehilangan


2. Perubahan dalam hubungan dengan teman dan keluarga
3. Permusuhan terhadap orang tertentu
4. Depresi, agitasi dengan ketenangan, agitasi, insomnia, perasaan tidak berharga, rasa
bersalah yang berlebihan, dan kecenderungan untuk bunuh diri
5. Hilang keikutsertaan dalam aktivitas keagamaan dan ritual yang berhubungan dengan
budaya klien.
6. Ketidakmampuan untuk mendiskusikan kehilangan tanpa menangis (terutama lebih
dari 1 tahun) serta terjadi kehilangan.
7. Rasa kesejahteraan yang salah.

Contoh diagnose keperawatan Nanda yang berhubungan dengan duka cita:

1. Duka cita adaptif yang berhubungan dengan :

– Potensial kehilangan orang terdekat yang dirasakan

– Petensial kehilangan kesejahteraan bisiopsikososial yang dirasakan

– Potensial kehilangan kepemilikan pribadi yang dirasakan

2. Duka cita maladaptive yang berhubungan dengan:

– Kehilangan obyek potensial atau actual

– Rintangan respons berduka

– Tidak ada antisipasi terhadap berduka

– Penyakit terminal kronik

– Kehilangan orang terdekat

3. Gangguan persediaan yang berhubungan dengan:

– Berduka yang tidak sesuai


4. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang b.d.:

– Respon duka cita yang bertahap

5. Perubahan koping keluarga yang b.d.:

– Preokupasi sementara oleh orang terdekat yang mencoba untuk menangani konflik
emosional dan personal

– Penderita (antisipasi berduka) dan tidak mampu untuk menerima atau bertindak secara
efektif dalam kaitannya dengan kebutuhan klien

6. Perubahan proses keluarga b.d. :

– Transisi atau krisis situasi

7. Keputusan b.d. :

– Kekuarangan atau penyimpangan kondisi fisiologis

– Stress jangka panjang

– Kehilangan keyakinan nilai luhur atau yang maha kuasa

8. Isolasi sosial b.d. :

– Sumber pribadi tidak akurat

9. Distress spiritual (distress jiwa manusia) b.d. :

– Perpisahan dari ikatan keagamaan dan kultural

10. Gangguan pola tidur b.d. :

– Stress karena respon berduka

C. Perencanaan

Tujuan bagi klien dengan kehilangan mencakup akomudasi duka cita, menerima realitas
kehilangan, mencapai kebali rasa harga diri, dan mempebarui aktivitas atau hbungan norma.
Kebutuhan fisiologis, perkembangan, dan spiritual juga harus di penuhi. Perawat harus lebih
toleran dan rela untuk meluangkan waktu lebih lama bersama klien menjelang ajal untuk
mendengarkan klien dalam mengekspresikan duka cita dan untuk mempertahankan kualitas
hidup mereka. Tujuan tambahan bagi klien menjelang ajal antara lain:

1. Mencapai kembali dan mempertahankan kenyamanan


2. Mempertahankan kemandirian dalam aktivitas sehari-hari
3. Mempertahankan harapan
4. Mencapai kenyamanan spiritual
5. Meraih kelegaan akibat kesepian dan isolasi

d. Implementasi

Sensitivitas terhadap klien adalah yang paling penting agar perawat dapat berfungsi
secara afektif. Perawat juga harus sensitive terhadap budaya, etnisitas, gaya hidup, atau kelas
sosial klien dan keluarganya. Mereka harus sensitive terhadap keterbatasan dan sifat peran
mereka sendiri. Jika klien ingin menghindari perasaan emosional yang dapat diekspresikan
ketika seseorang membentuk ikatan dengan klien yang sedang melawan hidup dan mati ,
maka perawat harus sensitive terhadap kebutuhan mereka sendiri.

. Merawat klien menjelang ajal dan keluarganya

Asuhan keperawatan klien dengan penyakit terminal sangat menuntut dan menegangkan.
Namun demikian, membantu klien menjelang ajal untuk meraih kembali martabatnya dapat
menjdi salah satu penghargaan terbesar keperawatan. Klien mungkin mengalami banyak
gejala selama berbulan – bulan sebelum terjadi kematian. Perawat dapat berbagi penderitaan
klien menjelang ajal dan mengintervensi dalam cara yang meningkatkan kulitas hidup. Klien
menjelang ajal harus dirawat dengan respek dan perhatian.

Peningkatan kenyamanan

Kenyamanan bagi klien menjelang ajal termasuk pengenalan dan peredaan psikobiologis.
Perawat member berbagai tindakan penenangan bagi klien sakit terminal. Control nyeri
terutama penting karena nyeri menganggu tidur, nafsu makan, mobilitas dan fungsi
psikologis. Ketakutn terhadap nyeri umum terjadi pada klien kanker. Makin cepat klien
menjelang ajal mendapat peredaan nyeri, makin banyak energy yang mereka miliki untuk
berprtisipasi dalam aktivitas kualitas hidup. Pemberian kenyamanan bagi klien sakit terminal
juga mencakup pengendalian gejala penyakit atau pemberian terapi yang didapat klien.

Pemeliharaan Kemandirian

Pilihan yang penting bagi klien yang menjelang ajal adalah memilih tempat perawatan.
Bnyak pilihan selain dari perawatan akut dirumah sakit. Perawatan hospice memungkinkan
perawatan komprehensif dirumah. Perawat harus menginformasikan klien tentang pilihan ini.

Pencegahan Kesepian dan Isolasi

Jika perawat tidak terikat atau menghindari pembahasan tentang situasi yang dialami klien,
maka klien menjelang dapat mengalami kesepian yang mendalam. Perawat membutuhkan
kesabaran dan pengalaman untuk merespon secara efektif terhadap klien menjelng ajal.
Kematian menimbulkan kegagalan bagi banyk pemberi perawatan kesehatan. Dirumah sakit,
seseorang menjelang ajal sering ditempatkan diruang tersendiri untuk menghindari
pemajanan terhadap orang lain tentang penderitaan. Tanpa stimulasi sensori yang bermakna,
orang menjelang ajal mungkin merasa diabaikan dan di isolasi. Untuk mencegah kesepian
dan penyimpangan sensori, perawat mengintervensi untuk meningkatkan kualitas lingkungan.
Memberikan stimulasi lingkungan yang bermakna dengan menenangkan klien. Klien harus
ditemani oleh seseorang ketika terjadi kematian. Perawat tidak boleh merasa bersalah jika
tidak dapat selalu memberikan dukungan ini. Untuk memberikan perawatan yang diperlukan
oleh klien menjelang ajal, mungkin ada baiknya untuk memberi dorongan dan dukungan pada
keluarga klien atau orang terdekat untuk tetap bersama.

Peningkatan Ketenangan spiritual

Memberikan ketenangan spiritual mempunyai arti yang lebih besar dari sekedar meminta
kunjungan rohaniawan. Perawat dapat member dukungan kepada klien dalam
mengekspresikan filosofi kehidupan. Perawat dan keluarga dapat membantu klien dengan
mendengarkan dan mendorong klien untuk mengekspresikan tentang nilai dan keyakinan.
Klien menjelang ajal dapat merasa bersalah jika hidup mereka dianggap sebagi tidak
bermakna. Selain kebutuhan spiritual ada juga harapan dan cinta. Cinta dapat dengan baik
diekspresikan melalui perawatan yang tulus dan penuh simpati. Perawat dan keluarga dapat
memberikan ketenangan spiritual dengan menggunakan ketrampilan komunikasi,
mengekspresikan empati, berdoa dengan klien, membaca literature yang member inspirasi
dan memainkan music. ( Stepnick & Perry, 1992 )

Dukungan untuk keluarga yang berduka

Anggota keluarga harus mendukung melewati waktu menjelang ajal dan kematian dari orang
yang mereka cintai. Perawat harus mengenali niali anggota keluarga sebagi sumber dan
membantu mereka untuk tetap berada dengan klien menjelang ajal. Menghargai dukacita
adalah langkah pertama perawat dalam mengembangkan hubungan sportif dengan keluarga.
Sebelum menggunakan anggota keluarga sebagai sumber, perawat harus menetapkan apakah
mereka ingin dilibatkan. Perawat mengkaji peran keluarga sebagai pengamat, pendengar, atau
pemberi perawatan. Penyakit terminal menempatkan tuntutan yang besar pada sumber social
dan financial. Ketegangan emosional sering mengganggu saluran komunikasi normal.
Benolil (1985) menggambarkan situasi yang membuat sulit bagi keluarga untuk mengatasi
tuntutan penyakit terminal.

Perawatan hospice

Program hospice adalah perawatan yang berpusat pada keluarga yang dirancang untuk
membantu klien sakit terminal untuk dapat dengan nyaman dan mempertahankan gaya
hidupnya senormal mungkin sepanjang proses menjelang ajal. Terdapat berbagai tipe
program hospice. Komponen perawatan rumah dari program hospice dioperasikan oleh
rumah sakit atau lembaga perawatan kesehatan yang terpisah. Program hospice menekankan
pengobatan paliatif yang mengontrol gejala ketimbang pengobatan penyakit. Perawatn klien
di koordinasikan antar lingkungan rumah dan klien. Keluarga menjadi pemberi perawatan
primer, pemberian medikasi dan pengobatan.

F. Perawatan Setelah Kematian

Perawat mungkin menjadi orang yang paling tepat untuk merawat tubuh klien setelah
kematian karena hubungan terapeutik perawat-klien yang telah terbina selama fase sakit,
dengan demikian perawat mungkin lebih sensitife dalam menangani tubuh klien dengan
martabat dan sensitifitas. Setelah kematian tubuh mengalami berbagai perubahan fisik. Tubuh
klien harus ditagani secepat mungkin setelah kematian untuk mencegah kerusakan jaringan
atau perubahan bentuk tubuh. Jika keluarga meminta donasi organ, maka tindakan yang
sesuai harus dilakukan dengan segera.

Perawat memberi kesempatan pada keluarga untuk melihat tubuh klien. Kesempatan ini
membantu untuk menunjukkan bahwa inilah kesempatan untuk “mengucapkan selamat
tinggal pada orang yang mereka cintai, terutama selaki keluarga tidak ada ketika terjadi
kematian. Jika keluarga ragu-ragu, perawat harus member kesempatan bagi mereka untuk
memikirkan hal tersebut. jika mereka memutuskan untuk tidak melihat tubuh klien, perawat
menerima keputusan mereka tanpa menghakimi. Jika keluarga memutuskan untuk melihat
tubuh klien, mereka harus ditengangkan bahwa mereka tidak akan sendiri. Perawat akan
dengan senang hati menemani mereka atau akan mengatur siapa saja yang ingin bersama
mereka. Perawat harus meluangkan waktu sebanyak mungkin dalm membantu keluarga yang
berduka dan memberi tawaran untuk menghubungi pelayangn lingkungan lainnya seperti
pelayanan social dan penasehat spiritual. Keluarga kini menjadi klien.

Sebelum keluarga melihat tubuh klien, perawat menyiapkan tubuh klien dan ruangan untuk
meminimalkan stress dari pengalaman ini. Perawat menyingkirkan benda dan peralatan dari
pandangan. Perawat menyipkan tubuh klien dengan membuatnya tampak sealamiah dan
senyaman mungkin. Tubuh klien diletakan dalam posisi terlentang dengan lengan disamping,
telapak tangan menghadap kebawah, ataumelipat badan diatas dada. Perawat meletakkan
bantal atau gulungan handuk di bawah kepala untuk mencegah perubahan warna akibat
penimbunan darah. Kelopak mata biasanya tetap tertutup jika ditahann selama beberapa
detik. Jika hal ini tidak berhasil, bola kapas lembab akan menahan kelopak mata menutup.
Perawat membersikan bagian tubuh yang basah dan membalut tubuh dengan gaun yang
bersih, menyisir atau menyikat ranbut dan menutupi tubuh sampai bahu dengan linen bersih.
Keluarga mungkin ikut berpartisipasi dalm proses ini dan harus diberika kesempatan.

Setelah tubuh disiapkan, keluaga diundang ke dalam ruangan. Umumnya anggota keluaraga
dapat mengatasi lebih baik jika mereka tidak sendiri. Perawat atau anggota keluarga yang lain
harus hadir untuk memberikan dukungan motivasi kepada anggota lainnya. Perawat dapat
memberi contoh kepada keluarga bagaimana menunjukkan rasa kasih sayang kepada jenasah.
Penting artinya untuk tidak memburu-buru keluarga ketika mereka melakukan waktu bersama
jenasah. Setelah keluarga pergi, sesuai dengan kebijakan tertentu rumah sakit, perawat
mamasang tanda yang menyebutkan nama dan informasi lain pada pergelangan tangan
jenasah klien dan pergelangan kaki atau ibu jari kakinya. Gaun dilepaskan dan tubuh
dibungkus rapat dengan kain katun, dalam kantung besar dari pelastik atau katun. Tanda
identivikasi lainnya dipasang pada kantung tersebut. Jika klien mempunyai penyakit infeksi
menular, pelebelan khusus digunakan unruk mewaspadakan mereka yang memindahkan atau
menyimpan peralatan lain. Jenasah kemudian dipindahkan kekamar mayat. Perawat
bertanggung jawab untuk melepaskan kepemilikan pribadi jenasah dan mencatat semua ini
dalam catatan medis .

Anda mungkin juga menyukai