Anda di halaman 1dari 29

PAPER PEREKONOMIAN INDONESIA

KEBIJAKSANAAN MONETER
Nama Dosen: Anak Agung Ketut Ayuningsasi, SE., M.Si

Diusulkan oleh Kelompok 4:


Kadek Virginiawan Permana Putra (1707532064)/03
Gusti Ayu Intan Puspita Dewi (1707532088)/11
I Putu Artha Satria Wibawa (1707532099)/18
I Made Gilang Jhuniantara (1707532104)/22
I Gusti Ayu Ngurah Pradnyadevi Utami (1707532111)/28

PROGRAM STUDI AKUNTANSI REGULER DENPASAR


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN 2019
BALI
I. Pilihan Kebijaksanaan Moneter (Kadek Virginiawan Permana Putra)
A. Pengertian Kebijaksanaan Moneter
Yang dimaksud dengan kebijaksanaan moneter adalah setiap kebijaksanaan
yang diambil oleh pemerintah atau oleh Bank Indonesia atau bersama-sama di
dalam bidang keuangan atau bidang moneter dengan harapan mempengaruhi sektor
riil, khususnya menunjang pembangunan ekonomi.

B. Tujuan Kebijaksanaan Moneter


Tujuan kebijakan moneter mestinya untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat melalui pembangunan ekonomi. Tujuan akhir ini mungkin dapat
dicapai dengan berbagai kebijaksanaan disektor moneter maupun kebijaksanaan
disektor rill.Kebijaksanaan di sektor moneter itu sendiri berupa mengendalikan
jumlah uang yang beredar (likuiditas perekonomian), atau menjaga stabilitas nilai
rupiah, menstabilkan tingkat bunga, melaksanakan kebijaksanaan untuk
mengurangi atau menghapus pencucian uang (Money Laundering), laju
pertumbuhan pendapatan nasional, stabilitas kurs valuta asing, dan sebagainya,
dimana Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk menetapkan sasaran-sasaran
moneter tersebut berdasarkan undang-undang.
Tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah ini
tercantum dalam UU tentang Bank Indonesia. Yang dimaksud dengan kestabilan
nilai rupiah adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin
pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 bank Indonesia
menerapkan kerangka kebijaksanaan moneter dengan inflasi sebagai sasaran
utamanya (inflation targeting framework) dengan manganut sistem nilai tukar yang
mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam
mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia
juga menjalankan kebijaksanaan nilai tukar untuk mengurangi perubahan nilai tukar
yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.
Bank Indonesia secara eksplisit mengumumkan sasaran inflasi kepada
publik dan kebijaksanaan moneter diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang
ditetapkan oleh pemerintah tersebut. Untuk mencapai sasaran inflasi, kebijaksanaan
moneter dilakukan secara melihat kedepan (forward looking),artinya moneter

1
dilakukan melalui evaluasi apakah perkembangan inflasi ke depan masih sesuai
dengan sasaran inflasi yang telah dicanangkan. Dalam kerangka kerja ini,
kebijaksanaan moneter juga ditandai oleh transparansi dan akuntabilitas kebijakan
kepada publik. Secara operasional, kebijaksanaan moneter dicerminkan oleh
penetapan suku bunga kebijakan (BI Rate) yang diharapkan akan memengaruhi
suku bunga pasar uang dan suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan.
Perubahan suku bunga ini pada akhirnya akan memengaruhi output dan inflasi.

C. Alat Kebijaksanaan Moneter


Secara operasional, pengendalian sasaran kebijaksanaan moneter dapat
menggunakan instrument-instrumen berikut :
1. Operasi Pasar Terbuka (OPT)
Pada instrumen Operasi Pasar Terbuka , Bank Indonesia bertindak sebagai
pembeli atau penjual di pasar surat berharga atau di pasar devisa. Instrumen
yang digunakan dalam OPT meliputi : sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan SBI
syariah (SBIS), surat-surat berharga, penempatan berjangka ( term deposit )
oleh Bank dan /atau pihak lain di BI, dan valuta asing.
Kalau pada satu ketika Bank Indonesia atau pemerintah memperkirakan
akan terjadi kelebihan likuiditas perekonomian, yang salah satu indikatornya
adalah tingkat bunga dipasar uang antar bank (PUAB) turun dengan drastis,
maka Bank Indonesia akan melaksanakan operasi pasar terbuka kontraksi,
yakni menyerap likuiditas dari bank dan pihak lain (broker dibursa surat
berharga) yang mengalami kelebihan likuiditas.
Sebaliknya kalau Bank Indonesia atau pemerintah memperkirakan akan
terjadi kekurangan likuiditas perekonomian, yang salah satu indikatornya
adalah tingkat bunga dipasar uang antar bank ( PUAB) naik dengan drastis,
maka Bank Indonesia akan melaksanakan operasi pasar terbuka ekspansi, yakni
memompakan likuiditas kepada bank dan pihak lain ( broker di bursa surat
berharga ) yang mengalami kekurangan likuiditas.
2. Penetapan Cadangan Wajib Minimum
Instrumen lain yang dapat digunakan untuk mempengaruhi likuiditas di
pasar adalah melalui penetapan cadangan wajib minimum dalam bentuk giro

2
sehingga dikenal juga dengan nama Giro Wajib Minimum (GWM), yang tidak
lain dari pada simpanan minimum yang harus dipelihara oleh bank dalam
bentuk saldo rekening giro pada Bank Indonesia yang besarnya ditetapkan oleh
Bank Indonesia. Cara kerja dari alat kebijaksanaan moneter ini adalah sebagai
berikut: apabila Bank Indonesia atau pemerintah memperkirakan akan terjadi
kekurangan likuiditas perekonomian, yang salah satu indikatornya adalah
tingkat bunga dipasar uang antar bank (PUAB) naik dengan drastis, maka Bank
Indonesia akan menurunkan GWM. Dengan turunnya GWM maka bank umum
mampu memberikan kredit lebih besar atau likuiditas perekonomian akan
meningkat. Sebaliknya apabila Bank Indonesia atau pemerintah memperkirakan
akan terjadi kelebihan likuiditas perekonomian, maka Bank Indonesia akan
meningkatkan GWM sehingga bank-bank harus menambah gironya dan dengan
demikian kelebihan likuiditas terserap.
GWM diatur dalam peraturan Bank Indonesia No.6/15/PBI/2005 yang
menggantikan Peraturan Bank Indonesia No.6/15/PBI/2004 tentang Giro Wajib
Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah dan Valuta Asing.
3. Politik Diskonto
Selain kebijaksanaan pasar terbuka dan GWM , Bank Indonesia juga
menerapkan kerangka kebijakan moneter melalui pengendalian suku bunga
(target suku bunga). Suku bunga, yang dikenal dengan istilah BI Rate,
ditetapkan melalui Rapat Dewan Gubenur (RDG) Bank Indonesia setiap bulan.
Dalam tataran operasional, BI Rate tercermin dari pergerakan suku bunga
(PUAB) overight(O/N). Pergerakan ini diharapkan akan diikuti oleh
perkembangan suku bunga deposito, dan pada giilirannya suku bunga kredit
perbankan.
PUAB adalah kegiatan pinjam meminjam dana antara satu bank dengan
bank lainnya. Suku bunga PUAB merupakan harga yang terbentuk dari
kesepakatan pihak yang meminjam dan meminjamkan dana. Kegiatan PUAB
dilakukan melalui mekanisme kesepakatan antara peminjam dan pemilik dana
yang dilakukan tidak melalui lantai bursa dan dikenal dengan istilah over the
counter (OTC). Jangka waktu PUAB yaitu antara satu hari kerja (overnight )
sampai dengan satu tahun.

3
Dengan mempertimbangkan pula faktor-faktor lain dalam perekonomian,
Bank Indonesia pada umumnya akan menaikkan BI Rate apabila inflasi
kedepan diperkirakan melampaui sasaran yang telah ditetapkan, sebaliknya
Bank Indonesia akan menurunkan BI Rate apabila inflasi kedepan diperkirakan
berada dibawah sasaran yang telah ditetapkan. Agar pergerakan suku bunga
PUAB O/N tidak terlalu melebar/ jauh dari BI Rate , Bank Indonesia selalu
berusaha untuk menjaga dan memenuhi kebutuhan likuiditas perbankan secara
seimbang sehingga terbentuk suku bunga yang wajar dan stabil.
4. Pengaturan Kredit atau Pembiayaan
Alat kebijaksanaan yang juga dapat dilaksanakan oleh Bank Indonesia
adalah pengaturan kredit. Kredit adalah aktivita utama dari lembaga keuangan
bank, sehingga manajemen kredit merupakan hal yang sangat penting. Tujuan
dari pengaturan kredit adalah untuk tindakan berhati-hati (prudent banking),
menghindari penyalahgunaan kredit dengan tujuan akhir meminimumkan kredit
macet. Misalnya, kredit atau bantuan likuiditas Bank Indonesia yang dikenal
dengan BLBI dengan bunga yang rendah(karena bersubsidi) diatur sedemikian
rupa sehingga hanya sebagian tertentu saja yang boleh disalurkan kepada anak
perusahaan dari bank penerima. Kesulitan yang bagaimana yang dihadapi oleh
bank sehingga dia berhak mendapat bantuan kredit dari Bank Indonesia, hal-
hal yang demikian ini dan masalah manajemen kredit sehari-hari harus diatur
dengan baik sehingga sistem moneter dapat berjalan dengan baik dan tujuan
untuk menstabilkan nilai uang dapat tercapai.
5. Kebijaksanaan lain
Disampaing alat kebijaksanaan diatas masih ada lagi alat kebijaksanaan
yang dapat dan pernah dilaksanakan oleh bank indonesia. Alat kebijaksanaan
tersebut antara lain :
a) Bujukan moral ( moral suasion). Alat kebijaksanaan ini sangat biasa ditemui
diliteratur ekonomi uang dan bank atau ekonomi moneter di dunia barat,
dan masalah S. grenville, dalam tulisannya yang berjudul ‘kebijaksanaan
moneter dan sektor keuangan formal’ dalam buku ekonomi orde baru oleh
A. Booth dan P.McCawley (eds) mengatakan bahwa, karena adanya
hubungan pribadi dan saling kenal antar para manajer bank ( terutama antara

4
Bank Indonesia dengan bank-bank pemerintah lainnya) dan dengan para
nasabah besar, bujukan moral dari Bank Indonesia merupakan alat
kebijaksanaan moneter yang efektif pada waktu itu.
b) Sanering. Ini adalah kebijakan moneter yang dilakukan pada zaman
pemerintahan Sukarno, sekitar tahun 1950. Caranya adalah dengan
menggunting uang kertas yang beredar menjadi dua bagian. Satu bagian atau
setengah dari nilai nominal uang itu diganti dengan uang kertas baru,
sedangkan setengah lainnya diganti dengan obligasi negara ( pinjaman
pemerintah jangka panjang dengan bunga tetap). Pada masa itu bursa surat-
surat berharga (efek) belum maju seperti sekarang. Kalau tindakan tersebut
diambil sekarang ini, barangkali pemerintah tinggal mengeluarkan obligasi
negara, kemudian menjualnya di bursa, sehingga kebijakan tersebut
merupakan kebijakan yang biasa saja.
c) Pergantian uang. Kebijaksanaan ini adalah mengganti uang lama dengan
uang baru dengan perbandingan uang lama dengan nilai Rp.1.000,- diganti
dengan uang baru dengan nominal satu rupiah. Ini dilaksanakan pada akhir
pemerintahan Sukarno atau awal pemerintahan Suharto. Pada waktu itu,
masyarakat yang mempunyai uang kertas pecahan sepuluh ribuan merasa
bingung, dan bersedia melepasnya seberapa pun mendapat barang atau jasa
sebagai tukarannya. Akibat dari kebijaksanaan ini bukannya inflasi
berkurang , malah bertambah cepat.
d) Devaluasi. Istilah devaluasi berkaitan dengan kebijaksanaan pemerintah
untuk menurunkan nilai uang dalam negeri ( rupiah ) terhadap nilai uang
luar negeri. Indonesia telah melaksanakan kebijaksanaan devaluasi berkali-
kali, dimana kurs devisa dipertahankan tetap (harga resmi) sedangkan
dipasar kurs tersebut telah berubah. Misalnya, sampai pada tanggal 25
agustus 1959 pemerintah telah mempertahankan harga dolar AS sebesar
Rp11,40 dari sejak februari 1952. Namun dipasar, harga dolar amerika
serikat telah mengalami kenaikan. Akhirnya, baru pada tanggal 25 agustus
1959 pemerintah mengumumkan bahwa harga resmi dolar AS sejak itu
menjadi Rp45,- kebijaksanaan pemerintah menaikkan harga dolar AS pada
25 agustus 1959 menjadi Rp45,- itu dikatakan kebijaksanaan devaluasi.

5
Devaluasi tidak perlu lagi dilaksanakan sejak oktober 1997, karena rupiah
dibiarkan mengambang bebas ( free floating ) sesuai pasar.

D. Sifat Kebijaksanaan Moneter Dan Hasilnya


Bekerja nya transmisi kebijakan moneter ini memerlukam waktu ( time lag).
Tenggang waktu masing-masing jalur berbeda dengan yang lain. Jalur niali tukar
biasanya berkerja lebih cepat karena dampak perubahan suku bunga kepada nilai
tukar bekerja sangat cepat. Kebijaksanaan moneter yang kurang kuat memerlukan
waktu yang lebih lama dibandingkan dengan kebijaksanaan yang kuat. Misalnya
penurunan tingkat bunga yang tidak banyak akan memakan waktu yang lebih lama
dibandingkan penurunan tingkat Bunga yang besar. Demikian juga misalnya
kenaikan bunga yang hanya 1 persen setahun , akan memakan waktu yang jauh
lebih lama dibandingkan kenaikkan tingkat bunga besar 80 persen setahun seperti
pada akhir pemerintahan Sukarno, atau sebesar 60 persen setahun pada akhir
pemerintahan Suharto.
Kondisi sektor keuangan dan perbankan juga sangat berpengaruh pada
kecepatan transmisi kebijakan moneter. Apabila perbankan melihat risiko
perekonomian cukup tinggi, respons perbankan terhadap penurunan suku bunga BI
Rate biasanya sangat lambat. Juga, apabila perbankan sedang melakukan
konsilidasi untuk memperbaiki permodalan, penurunan suku bunga kredit dan
meningkatnya permintaan kredit belum tentu direspons dengan menaikkan
penyaluran kredit. Di sisi permintaan, penurunan suku bunga kredit perbankan juga
belum tentu direspons oleh meningkatnya permintaan kredit dari masyarakat
apabila prospek perekonomian sedang lesu. Kesimpulannya, kondisi sektor
keuangan, perbankan, dan kondisi sektor rill sangat berperan dalam menentukan
efektif atau tidaknya proses transimisi kebijakan moneter. Kesimpulannya adalah
bahwa kebijaksaan moneter yang kurang kuat mungkin kurang atau tidak efektif
sedangkan kebijaksanaan moneter yang kuat sering bersifat malapetaka bagi
perekonomian. Oleh karena itu kebijaksanaan harus bersifat sedang dan sesuai
dengan kondisi perekonomian.

6
E. Kelembagaan Kebijaksanaan Moneter
Sektor perbankan atau sektor keuangan formal di Indonesia dalam tahun-
tahun pertama kemerdekan terdiri dari sebuah bank sentral (yang juga beroperasi
sebagai bank umum), 5 bank umum yang besar (4 diantaranya bank-bank dagang
warisan jaman penjajahan, dan yang kemudian dinasionalisasi dalam tahun 1950
an) sebuah bank pembangunan (investment bank) milik negara, sekitar 100 bank-
bank swasta domestic kecil dan 4 buah bank asing. Orientasi perbankan pada waktu
itu terutama tertuju pada pembiayaan dan kelancaran perdagangan internsional,
disamping terbuka kesempatan untuk memperluas ruang lingkup kegiatan
perbankan. Misalnya pada tahun 1952, telah ada perdagangan saham-saham luar
negeri, meskipun dalam jumlah yang kecil, dan selama tahun 1950an pemerintah
mengeluarkan obligasi-obligasi. Namun, lembaga-lembaga keuangan hanya dapat
berkembang dengan baik dalam keadaan harga-harga yang relatife stabil. Dengan
terjerembabnya Indonesia ke dalam keadaan hiperinflasi, lembaga-lembaga
keuangan yang ada mengalami masa surut. Mejelang tahun 1965 bank-bank umum
tidak dapat lagi menjalankan fungsi-fungsinya yang normal : inflasi telah
merongrong kemampuan bank umum menarik dana dari masyarakat, dan akibatnya
kegiatan perbankan dibidang peminjaman menjadi tidak berarti. Seluruh sektor
perbankan hanya berperan sebagai saluran pembiayaan defisit APBN. Banyak
bank-bank umum swasta tutup, dan hanya bank-bank milik pemerintah yang masih
dapat bertahan karena telah berubah fungsinya menjadi salah satu saluran
penciptaan uang; mereka sesungguhnya hanya menjadi semacam cabang dari bank
sentral dan diawasi langsung oleh pengusaha moneter. Pada tahun 1964 semua bank
asing ditutup.
Struktur perbankan yang demikian inilah yang diwarisi oleh pemerintahan
orde baru pada tahun 1965. Menyadari adanya kegagalan kebijaksanaan yang
mengandalkan campur tangan langsung pemerintah di masa lalu, pemerintah orde
baru berusaha mengurangi peran negara di dalam kehidupan ekonomi, dengan lebih
mengandalkan kekutan-kekuatan pasar dan memberi kesempatan kepada sektor
swasta untuk mengambil peran lebih besar di dalam perekonomian. Pada jaman itu
konglomerasi bank milik negara yang merupakan peleburan bank-bank pemerintah
kedalam satu unit administrasi dihapuskan, dan satu tingkat kebebasan bertindak

7
tertentu dikembangkan kepada masing-masing bank pemerintah. Pemberian izin
usaha bank baru diberhentikan sejak tahun 1971
Bank-bank pemerintah ini merupakan unsur pokok dari sistem perbankan di
indoneisa pada saat itu. Bank-bank ini mempunyai hubungan khusus dengan bank
sentral sehingga simpanan-simpanan yang ada pada mereka terjamin, dan kadang-
kadang dengan hubungan ini mereka dapat menawarkan bunga deposito yang
cukup tinggi karena memperoleh subsidi. Dengan makin berkembangnya bank-
bank umum, Bank Indonesia (yang sebelumnya bertindak sebagi bank sentral dan
sekaligus sebagai bank umum) menghentikan fungsi bank umumnya. Perubahan ini
secara resmi dicantumkan dalam undang-undang bank sentral tahun 1968.
Banyak bank swasta tidak berfungsi sebagai bank dalam arti yang
sesungguhnya dan hanya merupakan alat perusahaan swasta untuk memperlancar
kegiatan keuangannya. Namun sejak awal tahun 1970an , bank bank ini muncul
sebagai bank dalam arti sesungguhnya, dan menerima simpanan dari perusahaan-
perusahaan nasabah mereka dan juga memberikan kredit kepada mereka. Setelah
1972 bank-bank asing telah membuka kantor perwakilan dan kantor-kantor bank
asing ini juga membawa pengaruh-pengaruh positif terhadap perkembangan sektor
keuangan indonesia, dengan makin erat hubungan pusat-pusat keungan
internasional, para peminjam kredit yang bonafide(misalnya perusahaan negara dan
perusahaan patungan) mulai menyadari bahwa mereka dapat memperoleh dana
yang lebih murah di luar negeri.
Pada tahun 1983 pemerintah mengeluarkan deregurasi perbankan untuk
pertama kalinya, yang dikenal dengan Paket Juni (Pakjun). Paket ini memberikan
kemudahan bagi bank untuk menentukan sendiri suku bunga deposito dan
dihapuskannya campur tangan Bank Indonesia terhadap bank dalam penyaluran
kredit. Pakjun tersebut berhasil “menarik” dana masyarakat ke bank secara drastis,
dan diharapkan bisa merangsang pertumbuhan perbankan.
Lima tahun setelah Pakjun itu, pemerintah mengeluarkan paket 27 oktober
1988 yang dikenal dengan Pakto 88. Paket ini adalah aturan paling liberl sepanjang
sejarah perbankan indonesia. Hanya dengan modal Rp 10 miliar, siapa saja bisa
mendirikan bank baru. Pakto 88 dianggap telah banyak mengubah kehidupan
perbankan nasional.

8
Pada tahun 1991 pemerintah meluncurkan paket kebijaksanaan yang
mengatur syarat bahwa modal sendiri dari sebuah bank seharusnya sebesar 8% dari
seluruh asset, karena diyakini bahwa pada saat itu banyak bank yang mempunyai
kecukupan modal( dikenal dengan istilah capital adequacy ratio atau CAR,
perbandingan antara modal sendiri dengan asset) sangat rendah, di bawah 5% malah
ada yang negatif. Kemudian maret 1992 pemerintah mengeluarkan undang-undang
perbankan no 7 yang mengatur berbagai syarat untuk mendirikan bank baru, seperti
susunan organisasi, permodalan, kepemilikan, keahlian dibidang perbankan,
kelayakan kerja dan lain-lain. Pada bulan juli 1997 ditentukan pembatasan
pemberian kredit oleh bank umum kepada perusahaan pengembang properti dan
kebijaksanaan penundaan terhadap ,mega proyek,karena banyaknya kredit macet
dibidang tertentu.
Krisis perbankan yang terjadi di indonesia tergolong yang paling parah
dibandingkan yang terjadi dinegara lain, Malaysia, Korea selatan, Thailand.
Kemelut perbankan dinegara-negara amerika latin pun tidak separah yang di
Indonesia. Babak berikutnya secara alamiah adalah bahwa jumlah bank kian
menyusut. Lalu muncul sosok bank-bank besar yang jumlahnya relatif sedikit,
jumlah bank swasta nasional terpangkas dari 160 buah sebelum krisis menjadi 81
buah per juni 2000. Banyak peraturan Bank Indonesia yang telah dikeluarkan
misalnya saja tahun 2005 dikeluarkan peraturan Bank Indonesia mengenai
perubahan Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam rupiah
dan valuta asing.

II. Kelembagaan / Perbankan (Gusti Ayu Intan Puspita Dewi)


Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang dimaksud dengan
bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya ke masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-
bentuk lainnya dalam rangkah meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 31,
pengertian Bank adalah lembaga yang berperan sebagai perantara keuangan
(financial intermediary) antara pihak yang memiliki dana dan pihak yang

9
memerlukan dana, serta sebagai lembaga yang berfungsi memperlancar lalu lintas
pembayaran.
Menurut Dictionary of Banking an Services by Jerry Rosenbeg bahwa :
Bank adalah lembaga yang menerima simpanan giro, deposito, dan membayar atas
dokumen yang tertarik pada satu orang atau lembaga tertentu, mendiskonto surat
berharga, memberikan pinjaman dan menanamkan dananya dalam surat berharga.
Menurut Kasmir, SE, MM (2008:25), secara sederhana bank dapat diartikan
sebagai lembaga keuangan yang kegiatan usahanya adalah menghimpun dana dari
masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat serta
memberikan jasa-jasa bank lainnya.
Menurut Lukman Dendawijaya (2005:14), mengemukakan “ Bank adalah
suatu badan usaha yang tugas utamanya sebagai lembaga perantara keuangan
(financial intermediaries), yang menyelurkan dana dari pihak yang kelebihan dana
(surplus unit) kepada pihak yang membutuhkan dana atau kekurangan dana (deficit
unit) pada waktu yang ditentukan.”
Menurut berbagai pendapat mengenai pengertian bank yang telah dijelaskan
di atas, dapat disimpulkan bahwa bank adalah lembaga/perusahaan yang
aktivitasnya menghimpun dana berupa giro, deposito, tabungan, dan simpanan yang
lain dari pihak yang kelebihan dana (surplus spending unit) kemudian melemparkan
kembali kepada masyarakat yang membutuhkan dana (deficit spending unit) dalam
bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangkah meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak.
Menurut Sigit Triandaru dan Totok Budisantoso (2006:9), “fungsi utama bank
adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada
masyarakat untuk berbagai tujuan atau sebagai financial intermediary”. Secara
lebih spesifik bank dapat berfungsi sebagai agent of trust, agent of development,
dan agent of services.
a. Agent of trust
Dasar utama kegiatan perbankan adalah kepercayaan (trust), baik dalam hal
menghimpun dana maupun penyaluran dana.
b. Agent of Development

10
Kegiatan bank berupa menyalurkan dana sangat diperlukan bagi lancarnya
kegiatan perekonomian di sektor riil. Kegiatan bank tersebut
memungkinkan masyarakat melakukan kegiatan investasi, kegiatan
distribusi, serta kegiatan konsumsi barang dan jasa. Mengingat bahwa
kegiatan investasi-distribusi-konsumsi tidak dapat dilepaskan dari adanya
penggunaan uang. Kelancaran kegiatan investasi-distribusi-konsumsi ini
tidak lain adalah kegiatan pembangunan perekonomian suatu masyarakat.
c. Agent of service
Selain melakukan penghimpunan dan penyaluran dana bank juga
memberikan penawaran jasa perbankan lain kepada masyarakat. Jasa yang
ditawarkan ini erat kaitannya dengan kegiatan perekonomian masyarakat
secara umum. Jasa ini antara lain dapat berupa jasa penitipan uang,
penitipan barang-barang berharga, pemberian jaminan bank, dan
penyelesaian tagihan.

III. Mencegah Capital Flight (I Putu Artha Satria Wibawa)


Capital Flight merupakan seluruh aliran modal keluar yang dilakukan oleh
penduduk dari suatu Negara, sedangkan apabila modal yang dimaksud
diinvestasikan pada perekonomian domestik akan meningkatkan tingkat
pengembalian sosial (return social) dan potensi pertumbuhan ekonomi, Hal
tersebut merupakan definisi yang paling luas (broad definition). Broad definition
mendefinisikan Capital Flight hanya dari dari satu sisi aliran modal saja, yakni
aliran modal keluar. Dalam definisi ini dimasukkan seluruh peningkatan asset asing
baik dari sektor domestik dan publik serta seluruh nilai yang tercatat maupun yang
tidak tercatat dalam perekonomian sehingga dimungkinkan adanya overestimasi
angka dari nilai yang sebenarnya.
Meski arus modal masuk (capital inflow) tengah deras-derasnya ke
Indonesia, namun pemerintah juga mewaspadai terjadinya pembalikan arus modal
ke luar negeri (capital flight). Pemerintah pun memikirkan berbagai langkah
termasuk wacana mempersiapkan anggaran untuk menjaga stabilisasi keuangan
dalam negeri (Bond Stabilitation Fund). Tujuannya, agar krisis ekonomi yang
pernah melanda Indonesia tidak terjadi lagi pada kondisi ekonomi terburuk

11
sekalipun. Untuk itu ada tiga pilar yang tengah disiapkan pemerintah untuk
mencegah terjadinya capital flight yakni:
1. Pilar pertamanya, pemerintah akan terus berkordinasi dengan Bank
Indonesia (BI) tentang bagaimana cara memanfaatkan arus modal yang
masuk agar bisa terkendali.
2. Pilar kedua, dilakukan upaya untuk menjaga agar capital inflow tidak
masuk dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Menurut Hartadi, SBI bukan
instrumen yang baik untuk investasi.
3. Sedangkan pilar ketiga adalah bond stabilitation fund. Dana ini bisa
dikumpulkan bersama Perbankan untuk mencegah terjadinya sesuatu yang
tidak diinginkan pada ekonomi dalam negeri.
Sejauh ini, Pemerintah Indonesia sudah cukup baik dalam mengelola dana
yang masuk. Hal ini bisa dilihat dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang
cenderung membaik dan terus menerus meningkat setiap tahunnya. Yang penting
adalah bagaimana menjaga sisi demand dan supply bisa seimbang. Karena jika
demand tinggi dan supply rendah, maka bisa terjadi inflasi.
Selain itu, juga diperlukannya metode-metode yang digunakan dalam
pengukuran Capital Flight untuk mendukung segala tindakan yang diambil oleh
pemerintah.

IV. Devaluasi (I Made Gilang Jhuniantara)


Beberapa pengertian dari devaluasi adalah sebagai berikut:
a. Menurunnya nilai mata uang dalam negeri terhadap mata uang luar negeri.
b. Pemangkasan sebuah mata uang agar nilainya dapat meningkat
dibandingkan mata uang lain (terapresiasi).
c. Kebijakan pemerintah untuk menurunkan nilai mata uang dalam negeri
terhadap valuta asing dengan sengaja.
d. Penurunan nilai mata uang terhadap mata uang lainnya, biasanya Dollar AS,
yang besarnya ditentukan oleh pemerintah.
Jika hal tersebut terjadi biasanya pemerintah melakukan intervensi agar nilai
mata uang dalam negeri tetap stabil. Istilah devaluasi lebih sering dikaitkan dengan
menurunnya nilai uang satu negara terhadap nilai mata uang asing. Devaluasi juga

12
merujuk kepada kebijakan pemerintah menurunkan nilai mata uang sendiri terhadap
mata uang asing. Atau lebih singkatnya, pengertian devaluasi adalah keadaan
dimana mata uang lokal memiliki kurs atau harga yang semakin murah secara
internasional. Devaluasi ini sangat mempengaruhi perekonomian suatu negara
terutama dalam kegiatan perdagangan internasional. Tujuan dari devaluasi adalah
untuk meningkatkan ekspor baarng dan membuat neraca pembayaran menjadi
surplus.
Beberapa kondisi yang harus dipenuhi sebelum sebuah mata uang
didevaluasi, yaitu:
1. Tingkat inflasi super tinggi > 200%.
2. Cadangan devisa sangat minim.
3. Hutang luar negeri yang sangat besar.
4. Instabilitas ekonomi yang dapat mengguncang negara.
Isu devaluasi selalu bertiup ketika mata uang sebuah negara ambruk. Tapi
perlu dipahami efek negatif devaluasi itu sendiri. Dengan mata uang yang lebih
kuat, ekspor otomatis akan turun (barang menjadi lebih mahal di luar negeri).
Ongkos produksi akan menjadi lebih tinggi jika dinilai menggunakan mata uang
asing. Investasi asing akan mandeg jika bukan minus karena banyak yang
hengkang. Industri domestik akan terancam karena impor akan menjadi sangat
murah.
A. Tujuan Devaluasi
Adapun tujuan dilakukan kebijakan devaluasi oleh pemerintah, yaitu:
a. Untuk meningkatkan ekspor dan menekan jumlah impor. Hal tersebut
diharapkan akan memperbaiki Balance of Payment.
b. Untuk meningkatkan pemakaian produksi dalam negeri. Ini dapat dicapai
jika barang impor harganya lebih mahal dari barang lokal.
c. Tercapainya kesetimbangan Balance of Payment, sehingga kurs mata uang
asing menjadi relatif stabil.

B. Faktor Penyebab Devaluasi


Devaluasi sangat dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan faktor utama
penyebab devaluasi yaitu kegiatan import. Volume impor yang tinggi terhadap

13
barang dari luar negeri, terutama jika tidak diimbangi dengan kegiatan ekspor yang
cukup akan mengakibatkan semakin meningkatnya permintaan konversi nilai mata
uang lokal menjadi mata uang asing, misalnya dari rupiah ke dollar.
Apabila permintaan tersebut semakin tinggi, maka kurs beli dollar akan naik dan
nilai rupiah semakin turun yang juga akan berdampak pada terjadinya inflasi. Untuk
itu, kebijakan devaluasi dikeluarkan pemerintah sebagai salah satu bentuk cara
mengatasi devaluasi dan menstabilkan perekonomian suatu negara.
Secara ringkas, penyebab devaluasi mata uang diantaranya yaitu:
1. Kegiatan impor yang tinggi (bahan pokok, elektronik, dan kebutuhan
lainnya).
2. Kegiatan ekspor hanya pada bahan pangan dan biota laut.
3. Tingginya tingkat pengangguran di suatu negara.

C. Dampak Devaluasi
Adapun dampak devaluasi diantaranya yaitu:
a. Berkurangnya Volume Impor
Devaluasi menyebabkan harga barang luar negeri semakin mahal sehingga
masyarakat akan semakin kesulitan dan terbebani untuk membelinya. Hal tersebut
secara bertahap akan mengubah pola pikir masyarakat untuk membeli barang dalam
negeri sehingga volume impor semakin berkurang. Di sisi lain, penggunaan barang
lokal akan semakin meningkat yang nantinya bisa mempengaruhi pendapatan
perkapita suatu negara.
b. Bertambahnya Volume Ekspor
Jika nilai mata uang lokal rendah di dunia internasional, maka harga barang
lokal juga akan dirasa murah oleh warga asing. Hal tersebut akan mendorong
permintaan barang dari masyarakat luar negeri sehingga volume ekpor bisa
bertambah.Peningkatan ekspor bisa meningkatkan jumlah peredaran mata uang
asing seperti dollar dalam suatu negara sehingga bisa memperbaiki posisi BOP
(balance of payment) dan BOT (balance of trade).
c. Barang Lokal Semakin Bersaing
Kondisi devaluasi bisa menjadi salah satu hal yang memicupengusaha lokal
untuk bersaing di pasar internasional. Barang lokal yang ditawarkan kepada

14
masyarakat luar negeri akan semakin beragam. Bahkan harga barang lokal yang
dianggap murah di luar negeri mengubah pola pikir masyarakat asing sehingga
mereka lebih memilih barang impor yang murah daripada barang lokal yang ada di
negara mereka yang cenderung lebih mahal. Selain itu, hal tersebut juga akan
menyebabkan pengusaha lokal di luar negeri menurunkan harganya.
d. Meningkatnya Devisa
Ketidakseimbangan antara kegiatan ekspor-impor dimana volume ekspor
lebih tinggi dibandingkan volume impor akan memberi keuntungan dalam
perdagangan internasional sehingga cadangan devisa meningkat. Kemudian,
cadangan devisa tersebut bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan ataupun
mendirikan suatu perusahaan yang bisa menyediakan lapangan kerja guna
mengurangi pengangguran.
Dari penelitian Edwards (1986) terhadap 12 negara sedang berkembang,
tidak termasuk Indonesia, yang meliputi rentang waktu tahun 1965-1980, dalam
jangka pendek devaluasi akan berdampak negatif terhadap output. Namun, setelah
satu tahun devaluasi akan bersifat ekspansif, dan dalam jangka panjang devaluasi
akan bersifat netral. Dalam penelitiannya. Edwards juga mengungkapkan beberapa
alasan terjadinya devaluasi yang bersifat kontraktif. Devaluasi dapat mengurangi
permintaan agregat sehingga menutupi dampak expenditure switching. Devaluasi
juga dapat berakibat buruk bagi permintaan agregat. melalui dampaknya terhadap
distribusi pendapatan. Devaluasi dapat menyebabkan redistribusi pendapatan dari
kelompok dengan propensity to save yang rendah ke kelompok dengan propensity
to save yang tinggi, yang akhirnya menurunkan permintaan agregat dan output. Jika
negara yang menerapkan kebijakan devaluasi memiliki elastisitas harga impor dan
ekspor yang rendah, maka neraca perdagangannya akan memburuk.

D. Contoh Kasus Devaluasi Di Indonesia


Adapun devaluasi yang pernah terjadi di Indonesia, diantaranya yaitu:
 21 Agustus 1971
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto (Orde Baru) melalui Menkeu
Ali Wardhana. Pada 15 Agustus 1971, Amerika Serikat harus menghentikan
pertukaran dolar dengan emas. Presiden Richard Nixon cemas dengan terkurasnya

15
cadangan emas AS jika dolar dibolehkan terus ditukar emas, sedang nilai waktu itu
US$34,00 sudah bisa membeli 1 ons emas. Soeharto tidak dapat mengelak dari
dampak gebrakan Nixon dan pada 21 Agustus 1971, Indonesia mendevaluasi
Rupiah dari Rp378,00 menjadi Rp415,00 per 1 US$.
 15 November 1978
Masa Pemerintahan Presiden Soeharto melalui Menkeu Ali Wardhana.
Meski Indonesia mendapat rezeki kenaikan harga minyak akibat Perang Arab-Israel
1973, namun Pertamina justru nyaris bangkrut dengan hutang sebesar US$10 miliar
dan Ibnu Sutowo mengundurkan diri sebagai dirut pada 1976. Kemudian pada 15
November 1978, dilakukan devaluasi rupiah dari Rp415,00 menjadi Rp625,00 per
1 US$.
 30 Maret 1983
Masa Pemerintahan Presiden Soeharto melalui Menkeu Radius Prawiro.
Saat itu, Menkeu Radius Prawiro mendevaluasi rupiah 48%, jadi hampir sama
dengan menggunting nilai separuh. Kurs 1 dolar AS naik dari Rp702,50 menjadi
Rp970,00.
 12 September 1986
Masa Pemerintahan Presiden Soeharto melalui Menkeu Radius Prawiro.
Pada 12 September 1986 Radius Prawiro kembali mendevaluasi rupiah sebesar
47%, dari Rp1.134,00 ke Rp1.664,00 per 1 dolar AS.
Sejak devaluasi yang terakhir dilakukan pada September 1986,
perekonomian Indonesia sangat rentan terhadap desas-desus devaluasi. Kebijakan
ini seringkali dianggap merupakan solusi terbaik untuk menghadapi berbagai krisis,
misalnya jika terjadi tekanan terhadap neraca perdagangan (balance of trade)
maupun neraca transaksi berjalan (balance of current account), serta menipisnya
cadangan devisa (international reserve). Namun kenyataannya, hingga 1996
pemerintah tidak sekalipun melakukan devaluasi rupiah. Dalam teori konvensional,
kebijakan devaluasi diberlakukan untuk memenuhi dua tujuan utama (Arif, 1990,
hlm. 86-89).
Pertama, mendapatkan posisi neraca pembayaran yang baik, melalui proses
expenditure switching. Proses ini berjalan setelah terjadi penurunan harga relatif
barang-barang testik, sehingga meningkatkan ekspor dan menurunkan impor.

16
Bergesernya permintaan ke arah barang-barang domestik ini selanjutnya akan
menaikkan output agregat.
Kedua, mempertahankan momentum pertumbuhan melalui rangsangan
ekspor dan perluasan kesempatan kerja. Pada dasarnya, devaluasi diharapkan untuk
menggiatkan perekonomian dengan mendorong peningkatan output. Sebuah negara
yang mengalami ketidakseimbangan dalam nilai kurs riilnya (real exchange rate
disequilibrium), misalnya real exchange rate overvaluation (mata uangnya dihargai
terlalu tinggi di pasar valuta asing), maka negara tersebut akan menerapkan
kebijakan devaluasi.
Sejak 1969, rupiah dapat dikonversikan secara bebas, dan sejak 1971
perpindahan kapital, baik ke dalam maupun ke luar negeri, tidak dibatasi
pemerintah. Sampai dengan 1978, Indonesia menganut sistem kurs tetap (fixed
exchange rate). Setelah devaluasi 1978, Indonesia menganut sistem managed
floating, yaitu sistem kurs yang diintervensi oleh bank sentral dengan cara membeli
atau menjual mata uang negara tersebut di pasar valuta asing (Abel dan Bernanke,
1992, hlm. 502). Devaluasi kembali diterapkan pada 30 Maret 1983 sebesar 37
persen, dan setelah itu sistem managed floating yang diterapkan bersifat lebih
fleksibel (Prasctiantono dan Herani, 1996). Dengan dampak devaluasi yang tidak
jarang bertentangan (ambivalen), dapat dimengerti bila pemerintah negara-negara
berkembang enggan untuk menerapkan kebijakan ini.
Ada beberapa alasan yang memperkuat alasan penolakan pemerintah
terhadap kebijakan ini. Pertama, jika devaluasi telah diantisipasi oleh masyarakat,
bisa mendorong tindakan spekulatif berupa pemborongan devisa dan melarikannya
ke luar negeri (capital flight). Kedua, dampak penerapan devaluasi di negara yang
mengalarni real exchange rate overvaluation dan krisis neraca pembayaran, tidak
selalu sejalan dengan teori tradisional yang menyebutkan bahwa devaluasi akan
sangat menguntungkan bagi negara tersebut. Devaluasi dalam kasus ini, walaupun
dapat memperbaiki posisi eksternal negara tersebut, dapat berakibat pada
penurunan output, peningkatan jumlah pengangguran, dan distribusi pendapatan
yang semakin tidak merata.

17
V. Kebijaksanaan Moneter Orde Lama dan Orde Baru (I Gusti Ayu
Ngurah Pradnyadevi Utami)
A. Kebijakan Moneter di Masa Orde Lama
Kebijaksanaan pemerintah pada masa ini lebih diarahkan kepada proses
perbaikan dan pembersihan semua faktor dari unsur-unsur peninggalan orde lama,
tertama dari paham komunis. Selain itu kebijaksanaan pemerintahan dalam
mengupayakan penurunan tingkat inflansi yang masih sangat tinggi. Kebijakan
ini cukup berhasil menekan inflasi dari +/- 650% menjadi hanya +/- 10% saja,
suatu prestasi ekonomi yang tidak kecil.
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk,
antara lain disebabkan oleh:
a. Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu
mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu
pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu
mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan
mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946,
Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan
sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang
dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga
mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia)
sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya
jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
b. Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk
menutup pintu perdagangan luar negeri RI.
c. Kas negara kosong.
d. Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi,
antara lain :
a. Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir.
Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.

18
b. Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan
kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade
Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
c. Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh
kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi
yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah
sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
d. Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
e. Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan
tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
f. Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan
beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis.

1. Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)


Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem
ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan
pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez
passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan
pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya
memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
a) Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret
1950, untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
b) Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan
wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa
bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang
tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi
serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar
nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional.
Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung
konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi.

19
c) Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember
1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank
sirkulasi.
d) Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai
Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha
cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan
memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah
menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program
ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang
berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan
kredit dari pemerintah.
e) Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar, termasuk
pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda
yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi
belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.

2. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)


Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia
menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia
menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan
sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan
dalam sosial, politik,dan ekonomi (mengikuti Mazhab Sosialisme). Akan tetapi,
kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu
memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :
a) Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang
sebagai berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas
pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang
melebihi 25.000 dibekukan.
b) Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi
sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru
mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-
1962 harga barang-baranga naik 400%.

20
c) Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai
Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000
kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya
dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk
menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
d) Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah
karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada
masa ini banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah,
dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-
negara Barat. Sekali lagi, ini juga salah satu konsekuensi dari pilihan
menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa
Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, eonomi, maupun
bidang-bidang lain.

B. Kebijakan Moneter di Masa Orde Baru


Di awal Orde Baru, Soeharto berusaha keras membenahi ekonomi Indonesia
yang terpuruk, dan berhasil untuk beberapa lama. Kondisi ekonomi Indonesia
ketika Pak Harto pertama memerintah adalah keadaan ekonomi dengan inflasi
sangat tinggi, 650% setahun,” kata Emil Salim, mantan menteri pada
pemerintahan Soeharto.
Untuk menekan inflasi yang begitu tinggi, Soeharto membuat kebijakan
yang berbeda jauh dengan kebijakan Soekarno, pendahhulunya. Hal ini beliau
lakukan dengan menertibkan anggaran, menertibkan sektor perbankan,
mengembalikan ekonomi pasar, memperhatikan sektor ekonomi, dan merangkul
negara-negara barat untuk menarik modal.
Setelah itu di keluarkan ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1996 tentang
Pembaruan Kebijakan ekonomi, keuangan dan pembangunan. Lalu Kabinet
AMPERA membuat kebijakan mengacu pada Tap MPRS tersebut adalah sebagai
berikut.
a. Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang
menyebabkan kemacetan, seperti rendahnya penerimaan Negara, tinggi dan
tidak efisiennya pengeluaran Negara, terlalu banyak dan tidak produktifnya

21
ekspansi kredit bank, terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri
penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang berorientasi pada
kebutuhan prasarana.
b. Debirokratisasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian.
c. Berorientasi pada kepentingan produsen kecil.
Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut maka
ditempuh cara:
a. Mengadakan operasi pajak.
b. Cara pemungutan pajak baru bagi pendapatan perseorangan dan kekayaan
dengan menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang.
c. Memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan, seperti
rendahnya penerimaan Negara, tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran
Negara, terlalu banyak dan tidak produktifnya ekspansi kredit bank, terlalu
banyak tunggakan hutang luar negeri penggunaan devisa bagi impor yang
sering kurang berorientasi pada kebutuhan prasarana
d. Debirokratisasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian.
e. Berorientasi pada kepentingan produsen kecil.
Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut maka
ditempuh cara :
a. Mengadakan operasi pajak.
b. Cara pemungutan pajak baru bagi pendapatan perseorangan dan kekayaan
dengan menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang.
Jadi Pada masa Orde Baru, Indonesia melaksanakan pembangunan dalam
berbagai aspek kehidupan. Dengan tujuannya untuk terciptanya masyarakat adil
dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila.
Pelaksanaan pembangunan bertumpu pada Trilogi Pembangunan, yang isinya
meliputi hal-hal berikut.
a. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
b. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
c. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

22
Pembangunan nasional pada hakikatnya adalah pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia
seluruhnya. Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang
bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal
(keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro,
yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja,
kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila
kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter
dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan
moneter pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian
ditransfer pada sektor riil.

VI. Krisis Moneter dan Cara Mengatasinya (I Gusti Ayu Ngurah


Pradnyadevi Utami)
1. Kebijakan Operasi Pasar Terbuka
Operasi pasar terbuka adalah salah satu kebijakan yang diambil bank sentral
untuk mengurangi atau menambah jumlah uang beredar. Kebijakan ini
dilakukan dengan cara menjual Sertifikat Bank Indonesia (SBI) atau
membeli surat berharga di pasar modal.
2. Kebijakan Diskonto
Diskonto adalah pemerintah mengurangi atau menambah jumlah uang
beredar dengan cara mengubah diskonto bank umum. Jika bank sentral
memperhitungkan jumlah uang beredar telah melebihi kebutuhan (gejala
inflasi), bank sentral mengeluarkan keputusan untuk menaikkan suku
bunga. Dengan menaikkan suku bunga akan merangsang keinginan orang
untuk menabung.
3. Kebijakan Cadangan Kas
Bank sentral dapat membuat peraturan untuk menaikkan atau menurunkan
cadangan kas (cash ratio). Bank umum, menerima uang dari nasabah dalam
bentuk giro, tabungan, deposito, sertifikat deposito, dan jenis tabungan

23
lainnya. Ada persentase tertentu dari uang yang disetorkan nasabah dan
tidak boleh dipinjamkan.
4. Kebijakan Kredit Ketat
Kredit tetap diberikan bank umum, tetapi pemberiannya harus benar-benar
didasarkan pada syarat 5C, yaitu Character, Capability, Collateral, Capital,
dan Condition of Economy. Dengan kebijakan kredit ketat, jumlah uang
yang beredar dapat diawasi. Langkah kebijakan ini biasa diambil pada saat
ekonomi sedang mengalami gejala inflasi.
5. Kebijakan Dorongan Moral
Bank sentral dapat juga memengaruhi jumlah uang beredar dengan berbagai
pengumuman, pidato, dan edaran yang ditujukan pada bank umum dan
pelaku moneter lainnya. Isi pengumuman, pidato, dan edaran dapat berupa
ajakan atau larangan untuk menahan pinjaman tabungan atau pun
melepaskan pinjaman.

24
Studi Kasus

“Memori Krisis Moneter Krisis Moneter yang Dialami Indonesia pada


Tahun 1997-1998”

Krisis Moneter atau dalam sebutan orang Indonesia Krismon, ini terjadi
pada tahun 1997-1998 pada saat itu para mahasiswa bentrok dengan aparat
kepolisian dan militer Indonesia. Keadaan Indonesia saat itu sangat kacau, dimana
banyak orang tidak bersalah menjadi korban luka-luka, menipisnya bahan pokok
dan biaya hidup semakin tinggi, meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja
dll.
Pada Agustus 1997, mata uang rupiah mulai bergerak di luar pakem normal.
Rupiah tidak saja bergeliat negatif, tapi lebih dari itu. Rupiah bergerak
sempoyongan. Kemudian September 1997, Bursa Efek Jakarta (saat ini Bursa Efek
Indonesia) bersujud di titik terendahnya. Perusahaan yang meminjam dalam dolar
harus menghadapi biaya yang lebih tinggi untuk membayar utang.
Padahal beberapa bulan sebelumnya, tepatnya Juni 1997, nilai tukar rupiah
terhadap dolar masih sangat adem, hanya Rp 2.380 per dolar. Mendadak pada
Januari 1998, dolar menguat menyentuh level Rp 11.000. Kemudian pada Juli 1998,
rupiah terus merosot , US$1 setara dengan Rp 14.150. Pada 31 Desember 1998,
rupiah menguat perlahan, tapi hanya mampu meningkat hingga Rp 8.000 untuk
US$1.
Pada Juni 1997, banyak yang berpendapat bahwa Indonesia masih jauh dari
krisis. Karena beberapa pandangan ketika itu menyatakan bahwa Indonesia berbeda
dengan Thailand. Indonesia memiliki inflasi yang rendah, surplus neraca
perdagangan lebih dari US$900 juta, cadangan devisa cukup besar, lebih dari
US$20 miliar, dan sektor perbankan masih baik-baik saja. Walaupun sebenarnya di
tahun-tahun sebelumnya, cukup banyak perusahaan Indonesia yang meminjam
dalam bentuk dolar. Karena sebelum 1997 memang tercatat bahwa rupiah menguat
atas dolar Amerika. Jadi, pinjaman dalam bentuk dolar dianggap jauh lebih murah.
Faktor yang mempercepat efek bola salju krisis moneter adalah rontoknya
kepercayaan pasar dan masyarakat, ditambah kondisi kesehatan Presiden Soeharto
saat memasuki tahun 1998 yang kian memburuk sehingga melahirnya

25
ketidakpastian terkait suksesi kepemimpinan nasional. Yang tak kalah penting
adalah sikap plin-plan pemerintah dalam pengambilan kebijakan. Kondisi tersebut
berkelindan dengan besarnya utang luar negeri yang segera jatuh tempo, situasi
perdagangan internasional yang kurang menguntungkan, dan bencana alam La Nina
yang membawa kekeringan terburuk dalam 50 tahun terakhir.
Tercatat, dari total utang luar negeri per Maret 1998 yang mencapai 138
miliar dolar AS, sekitar 72,5 miliar dolar AS adalah utang swasta yang dua
pertiganya jangka pendek, di mana sekitar 20 miliar dolar AS akan jatuh tempo
pada 1998. Sementara pada saat itu cadangan devisa tinggal sekitar 14,44 miliar
dolar AS. Terpuruknya kepercayaan ke titik nol membuat rupiah yang ditutup pada
level Rp 4.850/dolar AS pada 1997, meluncur dengan cepat ke level sekitar Rp
17.000/dolar AS pada 22 Januari 1998, atau terdepresiasi lebih dari 80 persen sejak
mata uang tersebut diambangkan 14 Agustus 1997.
Risikonya, rupiah yang melayang, selain akibat meningkatnya permintaan
dolar untuk membayar utang, juga sebagai reaksi terhadap angka-angka RAPBN
1998/1999 yang diumumkan 6 Januari 1998. RAPBN dinilai tak realistis. Krisis
yang menandakan kerapuhan fundamental ekonomi tersebut dengan cepat
merambah ke semua sektor. Anjloknya rupiah secara dramatis, menyebabkan pasar
uang dan pasar modal juga rontok, bank-bank nasional mendadak terlilit kesulitan
besar. Peringkat internasional bank-bank besar tersebut memburuk, tak terkecuali
surat utang pemerintah, peringkatnya ikut lengser ke level di bawah "junk" atau
menjadi sampah.
Tak sampai di situ, kemudian ratusan perusahaan, mulai dari skala kecil
hingga konglomerat bertumbangan. Sekitar 70 persen lebih perusahaan yang
tercatat di pasar modal mendadak berstatus insolvent alias bangkrut. Sektor
konstruksi, manufaktur, dan perbankan adalah sektor yang terpukul cukup parah.
Sehingga risiko lanjutannya adalah lahirnya gelombang besar pemutusan hubungan
kerja (PHK). Pengangguran melonjak ke level yang belum pernah terjadi sejak
akhir 1960-an, yakni sekitar 20 juta orang atau 20 persen lebih dari angkatan kerja.
Akibat PHK dan melesatnya harga-harga barang, jumlah penduduk di
bawah garis kemiskinan juga meningkat. Ketika itu, angkanya tercatat mencapai
sekitar 50 persen dari total penduduk. Pendapatan per kapita yang mencapai 1.155

26
dolar/kapita pada 1996 dan 1.088 dolar/kapita pada 1997 menciut menjadi 610
dollar/kapita pada 1998. Dua dari tiga penduduk Indonesia, sebagaimana dicatat
oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO), berada dalam kondisi yang sangat
miskin pada 1999 jika ekonomi tak segera diperbaiki.
Data Badan Pusat Statistik juga menunjukkan, perekonomian yang masih
mencatat pertumbuhan positif 3,4 persen pada kuartal ketiga 1997 berubah menjadi
nol persen kuartal terakhir 1997. Angkanya terus menciut tajam menjadi kontraksi
sebesar 7,9 persen pada kuartal I/1998, kontraksi 16,5 persen kuartal II/1998, dan
terus terkontraksi 17,9 persen kuartal III/1998. Demikian pula laju inflasi hingga
Agustus 1998 sudah mencapai 54,54 persen, dengan angka inflasi Februari
mencapai 12,67 persen.
Di sisi lain, sektor ekspor yang diharapkan bisa menjadi penyelamat di
tengah krisis, ternyata sama terpuruknya alias tak mampu memanfaatkan
momentum depresiasi rupiah. Karena dunia bisnis sudah tercekik akibat beban
utang, ketergantungan besar pada komponen impor, kesulitan trade financing, dan
persaingan ketat di pasar global. Selama periode Januari-Juni 1998, ekspor migas
anjlok sekitar 34,1 persen dibandingkan periode sama 1997, sementara ekspor
nonmigas hanya tumbuh 5,36 persen

27
DAFTAR PUSTAKA

Amalia, Dina. 2017. Pengertian, Tujuan, dan Instrumen Kebijakan Moneter (Tersedia
di: https://www.jurnal.id). Diakses pada: 05.09.2019

Arif, Sritua, 1990. Dari Prestasi Pembangunan Sampai Ekonomi Politik, Ul-Press,
Jakarta,

Budisantoso, Totok dan Sigit Triandaru. 2006. Bank dan Lembaga Keuangan. Lain.
Edisi 2. Salemba Empat : Jakarta

Dendawijaya, Lukman. 2005. Manajemen Perbankan. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Edwards, Sebastian (a), 1986 "Are Devaluations Contractionary?", The Review of


Economics and Statistics, Vol. LXVIII No. 3.

Hasan, Zulkifli. 2018. Memori Krisis Moneter 1997/1998. (Tersedia di:


www.news.detik.com). Diakses pada: 05.09.2019

JPPN. 2010. Pemerintah Waspadai Capital Flight. (Tersedia di:


https://www.jpnn.com). Diakses pada: 05.09.2019

Kasmir. 2008. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Edisi Revisi 2008. Jakarta:
PT. Rajagrafindo Persada.

Nehen, Ketut. 2016. Perekonomian Indonesia. Denpasar: Udayana University Press

Prasctiantono, A.Tony dan Amelin Herani. 1996. Evaluasi Terhadap Devaluasi


Dalam Perekonomian Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol
11 No.1.

Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 31

Sugi, 2018. Kebijakan Moneter – Arti, Tujuan, Jenis dan Instrumennya (Tersedia
di: https://cpssoft.com) Diakses pada: 04.09.2019

Virgantari, Kus.2010. Analisis Faktor Tinjauan. (Tersedia di: http://lib.ui.ac.id).


Diakses pada: 05.09.2019

www.maxmanroe.com

28

Anda mungkin juga menyukai