Anda di halaman 1dari 7

Analisis Perbedaan Cara Edukasi Ibu Kasus Abortus

Spontan pada Primigravida dan Multigravida

Izzah Sabila
Prodi Kedokeran, Fakultas Kedokteran,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia
izzahsabila@students.uns.ac.id

Abstract. Pregnant is a natural event that most waited for married couple. Being pregnant
women is not easy. Pregnancy has it own challenges in physical and emotions. Ones of both
challenges in pregnancy is abortion. Woman with abortion has a sensitive emotion through
their experience. Doctors must using the right method to educate the patiens and their family
due to their sensitive emotions. This study aims to determine the differences and similarity in
spontaneous abortion education between first pregnancy and next preganancy. The
information gathered from three participants (a doctor and two womens with spontaneous
abortion history). And this research found that there is no difference in giving education
between first pregnancy and next pregnancy in single abortion case. Besides, differences
found in education for repeated abortion.

Keywords: spontaneous abortion, education, pregnancy

1. PENDAHULUAN

Kehamilan adalah sutu peristiwa alami yang bayak diidamkan wanita yang sudah menikah.
Kehamilan diawali dengan bertemunya sel telur (ovum) dan sel mani (spermatozoa). Walaupun
kehamilan adalah suatu peristiwa yang sangat didambakan, namun nyatanya banyak tantangna yang
dihadapi ibu hamil. Peristiwa kehamilan mengakibatkan banyak perubahan baik fisiologis maupun
psikologis ibu.
Menurut Suminem 2006 terjadi tujuh perubahan fisik ibu hamil, diantaranya (1)
Hiperpigmentasi pada kulit terutama di wajah, pipi, hidung, daerah disekitar palila mamae,
munculnya linea nigra serta terjadi stria gravidarum. (2) Terjadinya perubahan kelenjar parotis ibu.
(3) Perubahan payudara menjadi lebih besar, vena membesar, hiperpigmentasi, pengeluaran cairan
apabila dipijat. (4) Perubahan ukuran perut ibu. (5) Alat kelamin eksternal yang berubah warna
menjadi kehitaman. (6) Perubahan pada ekstremitas bawah terutama edema pada tungkai. (7)
Perubahan postur tubuh sebagai konpensasi perubahan perut.
Peubahan juga terjadi pada proses fisiologis yang terjadi pada ibu hamil. Sistem pencernaan
ibu menjadi lebih sensitif karena hipersekresi kelenjar. Akibatnya ibu mengalami mual dan muntah.
Sistem kardiovaskular ibu bekerja lebih keras untuk menopang kebutuhan ibu dan janin. Sistem
pernapasan danperkemihan terganggu akibat desakan dari janin. Serta perubahan sistem sistem lain
yang mempengaruhi kehidupan ibu hamil.
Perubahan mental ibubanyak dipengaruhi oleh status hormonal ibu. Dalam kehamilan terjadi
peningkatan hormon estrogen dan progesteron dalan jumlah yang cukup signifikan. Perubahan
hormon dalam kehamilan menyebabkan perubahan emosi yang tidak menentu. Sehingga seringkali
ibu hamil cepat merasa bahagia, sedih, cemas, dan sebagainya (Munthe 2000). Teori Rubin
menyatakan perubahan psikologis ibu hamil berubah pada periode 3 trimester. Psikologis Ibu pada
trimester I meliputi perasaan takut, suka berimajinasi, sering khawatir dan amivalen. Psikologis ibu
kemudian berubah menjadi lebih bahagia, nyaman, dan lebih memperhatikan janin pada Trimester
II. Sedangkan padaTrimester III psikologisibu menjadi lebih introvert dan lebih sering
mengenangmasa lalu.
Tantangan ibu hamil selain terjadinya perubahan fisik dan mental, tapi juga tantangan
kehamilan lain yaitu tantangan keberhasilan kehamilan. Kecemasan ibu hamil paling besar
diakibatkan karena ketakutan akan kejadian abortus dan kejadiankejadian tidak diinginkan dalam
persalinan. Abortus adalah berhentinya kehamilan sebelum janin berumur 20 minggu atau berat
kurang dari 500 gram ketika janin belum dapat hidup di luar rahim. ( Chrisdiono, 2003). Terdapat
dua jenis abortus, yaitu abortus spontan dan abortus provokatus. Abortus spontan adalah berhentinya
kehamilan akibat sebab sebab alami. Sedangkan abortus provokatus adalah abortus yang terjadi
akibat pemberian perlakuan tertentu (Mochtar, 1998).
Terdapat beberapa jenis abortus spontan yang sering dialami oleh ibu hamil, diantaranya
missed abortion, abortus emminens, abortus insipiens, abortus habitualis, abortus inkomplet, abortus
komplet ,dan abortus septik. Angka kejadian abortus spontan yang pernah dilaporkan oleh
purwaningsih, yaitu abortus inkomplet sebanyak 28,8% dan abortus komplet sebanyak 2,5%.
Perbedaan tersebut terjadi karena abortus komplet sering terjadi pada ibu yang belum mengetahui
kehamilannya karena umur kehamilan masih terlalu muda(Purwaningrum, Fibriana, Biostatistika,
Ilmu, & Masyarakat, 2017).
Presentase keguguran di Indonesia tahun 2010 sebesar 4% pada kelompok usia pernah kawin
(Riskesdas, 2010). Riset yang dilakukan oleh Parnata pada wanita yang sudah menikah di seluruh
Indonesia tahun 2012 dalam kurun waktu 5 tahun menyebutkan bahwa presentase tertinggi kejadian
abortus spontan terjadi pada usia diatas 35 tahun (Pranata & Sadeo, 2012). Menurut Kemenkes RI
tahun 2015, besarnya kemungkinan keguguran pada wanita usia subur mencapai 10%-25%. Di Jawa
Tengah, kasus abortus spontan mencapai angka 3,6%.
Risiko abortus spontan meningkat pada kehamilan usia tua. Hal tersebut dikarenakan adanya
penurunan fungsi reproduksi sejalan dengan berambahnya usia. Beberapa studi menyebutkan bahwa
ada banyak faktor risiko yang meneyebabkan terjadinya abortus spontan, antara lain usia menikah,
beban kerja yang ditanggung, paparan asap rokok, serta riwayat pemerikasaan kehamilan
(Purwaningrum &Fibriana, 2017). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi angka kejadian
abortus spontan, antara lain keadaan janin, kesehatan ibu, dan faktor penunjang dari luar (Realita,
Octavia, Himayani, & Darmawati, 2016).
Wanita yang mengalami keguguran sangat rentan mengalami gangguan psikologis,
salahsatunya sindroma pasca abortus (Ningtyas, Nani, & Swasti, 2010). Maka dari itu, diperlukan
pendekatan tertentu untuk memberikan edukasi ibu pada kasus abortus spontan.

2. METODE
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Menurut Croswell penelitian kualitatif
adalah penelitian yang melibatkan partisipan untuk mngetahui suatu keadaan dan mengeksplorasi
suatu fenomena secara sentral (Raco, 2010). Dalam penelitian kualitatif peran partisipan adalah
narasumber informasi. Informasi yang didapatkan dari partisipan menjadi jawaban yang dapat
mengubah arah penelitian.

Partisipan yang dipilih adalah seorang dokter (partisipan I), wanita dengan riwayat abortus
spontan pada primigravida dan multigravida (partisipan II) dan wanita dengan riwayat abortus
spontan primigravida (partisipan III). Pemilihan ketiga partisipan dimaksudkan untuk menggali
informasi dari kedua belah pihak, baik dokter maupun pasien. Partisipan kedua dipilih didapatkan
informasi mengenai perbandingan edukasi yang dilakukan dokter pada primigravida maupun
multigravida. Sedangkan partisipan ketiga dipilih unruk mengetahui sudut pandang wanita dengan
riwayat abortus pontan tunggal pada kehamilan pertama.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengalaman abortus memberikan dampak besar bagi kehidupan sebagian besar ibu. Partisipan
II dan III mengaku mendapatkan tekanan mental dan fisik pasca kejadian abortus spontan. Dampak
fisik yang didapatkan wanita pasca abortus adalah penurunan kondisi fisik akibat pendarahan dan
nyeri perut (Supriyadi, Gunawan, 1994). Kedua partisipan pasien mengaku pada pengalaman
keguguran yang pertama beliau mengalami tekanan fisik diseluruhtubuh akibat pendarahan.
Respon psikologis pada ibu dengan abortus spontan diantaranya sedih, merasa kehilangan dan panik.
Ibu dengan kasus abortus spontan mengalami perubahan perilaku, fisik, emosi, dan kognitif sebagai
akibat dari kondisi yang penuh ketegangan (Ningtyas et al., 2010). Dampak psikologis ibu
kebanyakan mengalami kesedihan baik pada kehamilan yang pertama, kedua, dan ketiga. Patisipan II
mengaku merasa semua kehamilan yang mereka alami adalah suatu rezeki. Partisipan dokter juga
mengkonfirmasi bahwa kebanyakan pasien yang datang tidak memberikan perlakuan yang berbeda
kepada janinnya baik pada primigravida maupun multigravida.

Dokter mengatakan bahwa beliau tidak memberi perbedaan pelakuan untuk edukasi ibu dengan
abortus spontan pada kehamilan pertama, kedua, ketiga dan seterusnya pada kasus abortus tunggal.
Namun, beliau mengaku memberikan perlakuan yang berbeda pada ibu dengan kejadian abortus
berulang. Edukasi yang dilakukan kepada ibu dengan kasus abortus berulang harus disampaikan
secara hati-hati, pemberian pengertian kemudahan pembentukan janin tidak selalu sejalan dengan
perkembangan janin. Selain itu, pemberian saran untuk menindaklanjuti penyebab kejadian abortus
berulang juga perlu dilakukan untuk mendukung ibu dari sisi psikologis.

Terdapat sebuah kesamaan dalam pengedukasian ibu pada kasus abortus spontan. Dokter hampir
selalu memberikan edukasi berupa motivasi kepada ibu. Motivasi yang diberikan selalu menyertakan
sisi spiritual, bahwa anak bukan semata mata buatan manusia tapi merupakan pemberian dari tuhan
YME. Partisipan II memberikan kesaksian bahwa salahsatu pesan doker ketika dirinya hamil yaitu
mendapat nasihat berupa dorongan spiritual. Dukungan yang diberikan oleh suami, keluarga maupun
dokter yang menangani memberikan kekuatan kepada ibu dalam menghadapi kesedihan pasca
abortus. Faktor eksternal seperti dukungan dari keluarga, suami, maupun orang orang disekitar
berpengaruh sebanyak 81,1 % terhadap pemulihan sisi psikologis ibu pasca abortus. Sedangkan 18,9
% lainnya berasal dari harapan ibu(Cathlin, Anggreany, & Dewi, 2019).

Masalah psikologis yang paling sering dialami oleh ibu hamil adalah kecemasan. Kecemasan dapat
terjadi pada primigravida maupun multigravida. Namun, tingkat kecemasanyang diderita juga
dipengaruhi oleh pengalaman masing masing ibu. Bergner, 2008 menyatakan bahwa pengalaman
abortus pada ibu mempengaruhi kecemasan pada kehamilan selanjutnya. Kecemasan tentang
keberhasilan kehamilan pada primigravida cenderung lebih tinggi dibandingkan multigravida. Hal
tersebut dikarenakan oleh faktor pengalaman ibu (Kusumawati, 2010).

Tingkat kecemasan ibu dapat dikelompokkan berdasarkan tingkat graviditas ibu. Primigravida
maupun multigravida sama sama memiliki tingkat kecemasan dalam menghadapi persalinan ringan
hingga berat, dengan presentase terbanyak pada primigravida adalah pada tingkat kecemasan sedang
yaitu mencapai 45,4 %. Sedangkan pada multigravida presentase terbesar pada kecemasan ringan
sebesar 71,4% (Shodiqoh, Roisa, Syahrul, & Fahriani, 2014)

Ibu dengan kejadian abortus berulang cenderung lebih menyalahkan dirinya atas kejadian abortus
yang menimpanya. Padahal, sejatinya abortus spontan kebanyakan diakibatkan oleh faktor sperma dan
ovum dari kedua pasangan. Menurut Mitayani, penyebab terjadinya abortus spontan yaitu dikarenakan
kelainan pertumbuhan janin seperti kelainan pada kromosom serta kondisi dinding rahim yang
kurang sempurna.

Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kondisi psikologis ibu terhadap pengalaman abortus
ibu (Fidiyanty, 2006). Koresponden II mengaku bahwa saat dirinya hamil pasca abortus beliau tidak
merasakan kecemasan yang berlebihan dan lebih berkonsentrasi pada kehamilan berikutnya. Namun,
beberapa studi sebelumnya menyatakan bahwa wanita hamil yang pernah mengalami keguguran
cenderung lebih khawatir akan keberhasilan kehamilan yang dialaminya(Aziz,N & Margaretha,
2017).

4. SIMPULAN
Setelah dilakukan wawancara dan analis terhadap jawaban partisipan, dapat disimpulkan bahwa tidak
ada perbedaan edukasi antara kasus abortus spontan pada ibu primigravida maupun multigravida.
Namun, dari studi ini ditemukan adanya perbedaan edukasi pada kasus abortus berulang serta terdapat
ciri khas metode edukasi yangdikakukan dokter kepada pasien abortus spontan secara umum, yaitu
pendekatan spiritual.

5. SARAN
Tekanan fisik dan mental hampir selalu terjadi pada kasus abortus spontan. Maka dari itu, diperlukan
dukungan dari orang orang disekitar pasien,baik dari keluarga maupun dokter. Pendekatan secara
spiritual patut dicoba untuk memberikan edukasi dan motivasi kepada ibu dengan abortus spontan.
Penelitian ini tidak memiliki indikator untuk menentukan metode terbaik yang bisa dilakukan dokter
kepada pasien. Sehingga, masih diperlukan studi lanjut untuk mengetaui secara spesifik metode yang
paling tepat digunakan dalam pemberian edukasi kepada ibu dengan abortus spontan.

6. DAFTAR PUSTAKA
Buku
Saminem SKM. (2006). Kehamilan Normal: Seri Asuhan Kebidanan. Jakarta : EGC
Chrisdiono, A. (2003). Prosedur Tetap Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: EGC
Munthe, M.G; Pasaribu, B; Widyastuti. (2000). Pengalaman Ngidam dan Hamil Pertama:
Dilengkapi Tinjauan Psiko- logis. Jakarta: Penerbit Papas Sinar Sinanti
Raco, J (2010). Metode Penelitian Kualitatif Jenis, Karakteristik dan Keunggulannya. Jakarta :
Grasindo
Supriyadi T, Gunawan J. (1994). Kapita Selekta Kedaruratan Obstretri dan Ginekologi. Jakarta :
EGC

Jurnal
Aziz, N. & Margaretha. (2017). Strategi Coping terhadap Kecemasan pada Ibu Hamil dengan Riwayat
Keguran di Kehamilan Sebelumnya. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan. 5(12) 144-157
Cathlin, C. A., Anggreany, Y., & Dewi, W. P. (2019). Pengaruh Harapan Terhadap Resiliensi Wanita
Dewasa Muda Yang Pernah Mengalami Abortus Spontan. Jurnal Psikologi Ulayat, 6, 1–13.
https://doi.org/10.24854/jpu02019-106
Fidianty, Indrian (2006). Kecemasan pada Wanita Hamil Pasca Abortus. Retrieved from
http://eprints.undip.ac.id/22092/
Kusumawati, Estri. (2010). Hubungan Pengetahuan Primigravida tentang Kehamilan dengan
Kecemasan dalam Menghadapi Kehamilan Trimester 1 Di BPS Fathonah WN. Retrieved from
https://eprints.uns.ac.id/9084/
Ningtyas, R., Nani, D., & Swasti, K. G. (2010). Eksplorasi Perasaan Ibu yang Mengalami Stres Pasca
Abortus Spontan di RSUD Cilacap. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of
Nursing), 2(1), 17–23. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.20884/1.jks.2013.8.2.470
Pranata, S., & Sadeo, S. (2012). Kejadian Keguguran, Kehamilan yang Tidak Direncanakan dan
Pengguguran di Indonesia. Penelitian Sistem Kesehatan, 15, 180–192.
Purwaningrum, E. D., Fibriana, A. I., Biostatistika, E., Ilmu, J., & Masyarakat, K. (2017). HIGEIA
JOURNAL OF PUBLIC HEALTH. 1(3), 84–94.
Realita, F. A. W. D. B. W., Octavia, S. A., Himayani, R., & Darmawati. (2016). Mengenali Abortus
dan Faktor yang berhubungan dengan Kejadian Abortus. Idea Nursing Journal, II(1), 75–80.
Shodiqoh, Roisa, E., Syahrul, & Fahriani. (2014). Perbedaan Tingkat Kecemasan Dalam Menghadapi
Persalinan Antara Primigravida dan Multigravida. Jurnal Berkala Epidemiologi, 2, 141–150.
Lampiran 1

Narasumber : dr Anita Sp.OG

Waktu: Jum’at, 21 Juni 2019

PERTAYAAN : Apakah ada perbedaan cara ada edukasi kepada pasien yang mengalami keguguran
pada kehamilan pertama dan selanjutnya dok?

JAWABAN : “Hampir tidak ada bedanya. Menurut saya, sema anak itu berharga. Kecuali kalau
kegugurannya berulang. Kalau baru pertama kali saaya pikir sama Klau berulang kan nanti sebagai
seorang wanita lebih trauma, jadi kita menyampaikannya lebih hati hati.”

PERTANYAAN : “Kendala Menghadapi pasien abortus spontan kira kira apa ya dok?”

JAWABAN : “Merekamenyalahkan diri mereka sendiri. Apakah saya terlalu capek, apa salah makan..
Padahal itu haya faktor penunjang saja. Yang pokokabortus spontan karena ada kelainan dari
benihmya, baik itu dari sperma maupun sel telurnya”

PERTANYAAN : “Apa yang dokter lakukan?”

JAWABAN : “Kalau begitu ananti saya terangin aktor keguguran itu bukan dari faktor capek atau
salah makan”

PERTANYAAN : “Apakah ada tantangan adat istiadat saat melakukan edukasi?”

JAWABAN : “Tidak juga, Orang sekarang udah pada pinter.”

PERTANYAAN : “Apakah ada prioritas dalam edukasi?”

JAWABAN : “Kalau saya cenderung ke orang yang bertanggungjawab dan pasiennya. Biasanya kalau
datang sendirian,nantisaya tanya, datang sama siapa? Kalau orangyang sudah menikah yang paling
bertanggungjawab ya suaminya. Misal suami jauh ya datang sama orangtuanya, pokoknya bersama
orang yang paling bertanggungjawab. Tapi sebenernya secara usia, mereka sudah berhak memuuskan
sendiri. Misal butuh tindakan. Tapi tetap harus Inform cocern , telpon lah kalau jauh”

PERTANYAAN : “Ada engga yang menolah diberikan tindakan?”

JAWABAN : “Banyak. Jadi kalau ada yang merasa dia masih harus mempertahankan, mnta waktu.
Tapi kalau butuh penanganan segera misal pendarahan banyak, saya melakukan edukasi atau motivasi
sampai pasien mau dilakukan tindakan”

PERTANYAAN : “Caranya mengatasi bagaiman dok?”

JAWABAN : “Kalau pendarahan banyak, bisa mengancam nyawa ibu. Kalau ada keluarganya, saya
panggil keluarganya yang paling dekat, nanti suaminya telfon kalau biasa saya yagtelepon. Tapi kalau
kasus kasus yangmasih bisa ditunda, misal kasus abortus incomplete, pendarahannya sedikit, ya saya
pulangin dulu, saat pasiennya sudah siap, boleh. Sebenaarnya Semua kasus abortus spontan adalah
kasus yang bisa masuk IGD, kasus gawat darurat”

PERTANYAAN : “Bedanya dimana dok?”

JAWABAN : “Penyampaiannya berbeda. Tetap harus professioanl. Biasanya pasien masuk itu
wajahnya sudah trauma. “Yaudah ibu , kalau menghendaki hamil lagi kita lacak penyebabnya.
Mungkin ibu gampang untuk hamil, tapi tidak gampanguntuk berkembang. Nanti bisa periksa tokso,
atau periksa sperma, analisis sperma, bisa hormonal hormon tiroid, gula darah dan sebagainya”
PERTANYAAN : “ada yang sampe terhgamggu kejiwaannya?”

JAWABAN : “Engga sih, mungkin ya depresi ringan, tapi sebagian besar bisa menerima. Tapi mereka
memang patuh kalau disuruh kontrol. Tapi memang susah menangani Kasus abortus spontan ini.
Krena memanguntuk penyebab hanya 2-5% saja yang bisa ketemu penyebabnya. Jadi kebanyakan ada
yang sampe 5 kali dia sampe traumatis sekali. Bagaimana caranya kita agar dia tetap terus semangat.
Berikan pengertian bahwa anak itu bukan buatan kita, anak itu rezeki. Jadi selain berusaha, berdoa
juga harus. Untuk kasus kasus depresi belum ya kalau sampe yang berat.”

Narasumber : Partisipan II

Waktu : Sabtu, 22 Juni 2019

PERTANYAAN : “Kalau boleh tahu dahulu pernah keguguran pada kehamilan keberapa ya?”

JAWABAN : “Dulu saya pernah keguguran 3 kali, yangpertama waktu itu umur satu setengah bulan,
terus yang kedua waktu tiga bulan, yang ketiga waktu udah tiga atau empat bulan. Dulu tu saya hamil
empat kali. Yang pertama keguguran, yangkedua jadi yumna itu, yang ketiga keguguran, yang
keempat juga.”

PERTANYAAN : “Waktu itu apakah ibu ada gejala aneh?”

JAWABAN : “Kalo yang pertama tu saya engga ada gejala, jadi bangun pagi – pagi ada pendarahan
kaya haid gitu, trus saya langsung ke dokter. Kalo (kehamilan) yang kedua sebelumnya kadang flek
flek tapi alhamdulillah bisa dipertahankan. Kalo (abortus) yang kedua juga ada flek –flek gitu tapi
terus terusan. Terus ngeluarinnya sama kaya melahirkan, pake kontraksi,pokoknya sama kaya
melahirkan. Kalo yang terakhir pendarahan. Waktu umurnya tiga setengah bulan keluars endiri
janinnya. “

PERTANYAAN : “Kalau boleh tahu, bagaimana perasaan ibu waktu itu?”

JAWABAN : “Saya sedih sekali, beberapa bulan langsung men. Kiret sampe bersih. Apalagi waktu
kehamilan pertama, takut engga bisa punya anak lagi. Kalo orang dulu kan sering cerita kalo anak
pertama keguguran susah dapet anak”

PERTANYAAN : “Dulu dokternya bagaimana memberi tahu?”

JAWABAN : “Dulu sama suami mbak”

PERTANYAAN : “Ada perbedaan tidak waktu memberitahu saat keguguran pertama, kedua, dan
ketiga?”

JAWABAN : “Enggak mba, dokternya baik baik semua kok”

PERTANYAAN : “Apakah dokternya memberi nasihat atau masukan agar ibuengga sedih?”

JAWABAN : “hati –hati banyak istirahat, karena ibu kandungannya lemah, jangan terlalu banyak
beraktivitas. “

PERTANYAAN : “Apa pesan dari dokter yang paling ibu ingat?”

JAWABAN : “Apa ya? Oh iya, dulu pesennya memang perlu perjuangandan kesabaran untuk dapat
amanah dari Allah SWT, nanti hasil akhirnya Allah yang menentukan”
Narasumber : Partisipan III

Waktu : Senin, 24 Juni 2019

PERTANYAAN : “Kalau boleh tahu dahulu pernah keguguran pada kehamilan keberapa ya?”

JAWABAN : “Anu mbak dulu kegugurannya waktu hamil yang pertama sekitar dua setengah bulan
sampe 3 bulan.”

PERTANYAAN : “Waktu itu apakah ibu ada gejala aneh?”

JAWABAN : “Waktu itu sya jalan – jalan agak jauh, ke kamarmandi kok pendarahan, dan memang
bebebrapa hari sebelumya da bercak darah juga. Dulu kan kehamilannya memangmasih
timesterpertama, jadi memang lemah. Kata dokternya perlekatannya lepas. Awalnya pengen
dipertahankan trusakhirnya bed rest dulu, tapi sekitar 2 atau tiga hari setelahnya, ternyata harus
diangkat.”

PERTANYAAN : “Kalau boleh tahu, bagaimana perasaan ibu waktu itu?”

JAWABAN : “Panik, sedih mba, namanya juga kehamilan pertama.”

PERTANYAAN : “Ada ketakutan engga bu? Soal cerita –cerita di masyarakat?”

JAWABAN : “Enggak mbak,saya kan dulu kerja di medis, ya paham lah soal cerita cerita engga
bener kayak gitu. Kalo ketakutan yang lain, dulu takutnya waktu kuret tubanya itu ketutup.”

PERTANYAAN : “Bagaimana cara mengatasi sedihnya ibu?”

JAWABAN : “Sedihnya hilang sedikit sedikit mba, dulu soalnya 3 atau 4 bulan setelahya udah hamil
lagi. Dan saya itu dulu waktu hamil agak rewel, enggak mau makan lah, jadi istirahat sama
konsentrasi samakehamilan selanjutnya. Udah engga mikir keguguran sebelumnya. “

PERTANYAAN : “Dulu dokternya bagaimana memberi tahu?”

JAWABAN : Jadi dulu itu kan saya kerja di puskesmas, jadi waktu tahu itu malah enggak sama
suami, sama temen temen. Tapi suami terus dikabarin buat datang. Dulu sempet mau dipertahankan.
Bed rest, tapi hari kedua ga ada kemajuan, trus dikuret.

PERTANYAAN : “Apakah dokternya memberi nasihat atau masukan?”

JAWABAN : “Dulu dikasih gambaran mbak, kealo kehamilan itu punya dua kemugkinan,berhasil dan
tidak”

PERTANYAAN : “Apa pesan dari dokter yang paling ibu ingat?”

JAWABAN : “ Lupa mbak, kejadiannya sudah bertahun tahun lalu. Yangjelas waktu itu saya
dibolehin hamilnya 6 bulan setelah kejadian baru boleh hamil, tapi ternyata baru tiga bulan sudah
hamil, nasihatnya paling enggak boleh kerja berat. “

Anda mungkin juga menyukai