Sinopsis Novel
Novel ini bercerita tentang seorang ayah dengan cara hidup yang sangat
sederhana, mengajarkan nilai-nilai kesederhanaan hidup tersebut pada anaknya.
Sang anak, Dam, akhirnya tumbuh menjadi sosok yang sama rendah hatinya.
Bagi Dam, ayahnya adalah sosok yang menjadi panutannya. Ayah adalah idola
nomor satunya. Sang ayah selalu bercerita tentang segala kisah yang penuh
dengan nilai moral dan Dam menyukai cerita-cerita ayahnya. Tentang El
Capitano yang juga Dam idolakan, suku penguasa angin, legenda apel emas dan
segala cerita lainnya.
C. Tahap Komplikasi
Dam penasaran dengan buku tersebut. Ia tak yakin jika cerita Ayahnya itu
bohong. Hal itu kemudian membuat Dam nekat membawa buku tersebut saat
musim liburan tiba, Dam ingin menunjukkannya pada Ayah. Namun, sesaat
sebelum kereta berangkat, petugas perpustakaan datang menjemputnya,
mengambil dengan galak buku yang dikatakan satu-satunya di dunia itu.
Ayah Dam marah, ketika Dam tak sengaja menanyakan kebenaran dari
dongeng-dongeng ayahnya selama ini. Ayahnya selalu berkata “Ayah tidak
bohong, Dam”. Hal itu membuat Dam berjanji untuk tidak lagi membicarakan
hal itu. Ia percaya bahwa Ayahnya adalah orang paling jujur, bahkan terlalu
jujur seperti kata kepala sekolahnya dahulu.
D. Tahap Klimaks
Ayah Dam bercerita tentang si Raja Tidur. Si Raja Tidur mengatakan, Ibu
Dam tidak akan bertahan lama. Tak mungkin bisa hidup lebih dari dua tahun,
kecuali karena bahagia. Sejak saat itu, Dam berhenti untuk mempercayai
ayahnya yang hal itu justru membuat ayahnya kecewa dan marah. Ibunya
meninggal. Wajah ibunya terlihat lelah, bagaimana mungkin Ibunya bahagia
selama ini. Sejak saat itu pula hubungan Dam dan Ayahnya tidak harmonis.
Dam kembali kepada kehidupannya di Akademi Gajah. Dam menerima
surat kelulusan tanpa mengikuti ujian. Bagi kepala sekolah Akademi Gajah,
kelulusan di tentukan oleh kegiatan pendidikan selama 3 tahun, 24 jam di
Akademi Gajah. Dam juga mendapatkan surat pengantar dari Akademi Gajah.
Surat yang tidak mungkin di tolak oleh univesitas di seluruh dunia. Dam
melanjutkan kehidupan. Dengan kesaktian surat tersebut Dam berhasil masuk di
jurusan Arsitek di universitas ternama tanpa melalui tes apapun.
Dam memang telah membenci dongeng-dongeng Ayahnya, Ia tidak bisa
menyangkal bahwa pemahaman baik yang ia dapatkan sekarang adalah karena
dongeng tersebut. Bahkan Dam dalam mendesain bangungan ia banyak
terispirasi dari dongeng Apel Mas dan Penguasa Angin. Akhirnya Ia menjadi
arsitek yang hebat.
Dam dewasa menikah dengan Taani, mereka dipertemukan kembali di
universitas yang sama. Memilki dua anak, Zas dan Qon. Ayah Dam sering
menceritakan dongeng kepada cucu-cucunya, dan itu membuat Dam keberatan.
Ia tak ingin cerita bohong Ayahnya meracuni pikiran anak-anaknya. Hingga
akhirnya Zas dan Qon bertanya mengenai kebenaran cerita kakeknya itu pada
Dam. Dam semakin kesal, ia mendesak Ayahnya agar mengatakan bahwa
dongeng-dongeng itu bohong, agar anak-anaknya berhenti mencari
kebenarannya. Namun Ayah Dam tetap bersikukuh baahwa Ia tidak berbohong.
Dam hilaang kendali, ia meminta Ayahnnya untuk meninggalkan rumahnya.
E. Tahap Anti Klimaks
Dam menemukan keanehan pada laptopnya. Ia mencari informasi dengan
kata kunci Akademi Gajah. Namun pencarian tidak di temukan. Tak ada hasil
untuk kata kunci tersebut. Ia terbelalak, tak percaya. Dengan surat pengantar
khusus yang tak mungkin di tolak oleh universitas manapun di dunia, tak ada
sedikitpun jejaknya di internet. Ia mulai menyesali perlakuan terhadap
Ayahnya.
Esoknya, ia mendapat kabar bahwa Ayahnya tengah dirawat di sebuah
rumah saki. Semua rasa benci Dam hilang seketika, ketika melihat Sang Ayah
terbaring lemah di ruang perawatan. Dongeng terakhir yang diceritakan
Ayahnya mengenai Danau Para Sufi yang berkisah tentang perjalanan Ayah
Dam mencari arti dari kebahagiaan sejati. Kebahagiaan itu bersumber dari hati
yang bersih, sebagaimanapun sekitar berusaha membuat keruh, ia akan tetap
jernih. Tetap bahagia, meski hidup penuh kesederhanaan. Itulah alasan mengapa
Ibu Dam dulu tak ingin hidup bermewah-mewahan. Ia bahagia, hanya dengan
melihat Dam tumbuh dengan pemahaman yang berbeda tentang kehidupan dan
memiliki karakter yang baik.
F. Tahap Penyelesaian
Penyesalan selalu berada diakhir cerita. Itulah yang Dam rasakan. Sang
ayah meninggal dan Dam harus menyaksikan sebuah kejadian luar biasa yang
tak pernah terlintas di pikirannya sama sekali. Pemakman sang ayah dipenuhi
banyak orang, termasuk sosok-sosok yang selalu ayahnya ceritakan padanya.
Dan hari itu pula, Dam menyadari, Ayahnya bukan seorang pembohong
Unsur Intrinsik
A. Tema :
Hubungan antara Ayah dan anak. Rasa sayang orangtua kepada anak-
anaknya.
B. Tokoh
1. Tokoh Utama
a. Dam
b. Ayah Dam
2. Tokoh Pembantu
a. Ibu Dam
b. Taani
c. Zas
d. Qon
e. Retro
f. Jarjit
3. Tokoh Figuran
a. Kepala sekolah
b. Guru dam
c. Sang Kapten
d. Si Nomor Sepuluh
C. Penokohan
1. Dam
Baik: “Dia anak yang baik. Dia menjaga wanita tua ini sepanjang
perjalanan” (hal 172)
Penasaran: "Teruskan. Yah. Teruskan…..” (hal 13)
Pantang menyerah: “Tangan dan kakiku terus mengayuh. Setengah
jam berlalu, satuanak sudah berhenti di ujung kolam
tersengal dan menyerah” (hal 27)
Tegas: “Ayahku bukan pembohong. Seluruh kota tahu ayahku jujur…..
” (hal 163)
Ramah, baik hati dan ringan tangan: “Dam yang ramah, baik hati,
dan ringan tangan membantu”. Hlm 273
2. Ayah
Bijaksana: “Yang menghina belum tentu lebih mulia dibandingkan ya
ng dihina”
Peduli: “Bagaimana sekolahmu di tahun kedua, Dam?” (hal 17)
Jujur dan sederhana: Ayah terlalu jujur dan sederhana. Hlm 52
3. Ibu
Peduli: “Kau belum menyisir rambutmu Dam!” (hal 19)
Baik: “Ibu percaya Dam.”
Pengertian: “Ibu menatapku lamat-
lamat, lantas mengelus rambutku...” (hal 109)
Tegas: “Siapa dia boleh makan kue itu? Dia masih dihukum!” (hal 38)
4. Taani
Peduli: “Kaki kau pegal, Dam?” (hal 20)
Pengertian: “Ayah tinggal sendirian, Dam. Tidak ada yang memaksa
apakah ayah sudah makan atau belum, mencuci pakaian, atau
membereskan rumah……” (hal 265)
Pintar: “Taani bahkan sudah menyelesaikan tugas akhirnya, lulus
lebih cepat disbanding siapapun—sejak SMP ia memang paling
pintar” (hal 249)
2. Latar waktu :
1) Maka malam ini, ketika Ayah dengan riang menemani anak-anakku
Zas dan Qon, menceritakan kisah-kisah hebatnya pada masa
mudanya, aku hanya bisa menghela napas tidak suka. Hlm 5
2) Tiga puluh tahun lalu. Hlm 8
3) Tadi pagi, seluruh teman di sekolah sibuk meributkan pertandingan
ini,... Hlm 8
4) Dini hari itu, dua puluh tahun silam, sambil menggeser gelas
coklat yang telah dingin ke arahku, Ayah memulai cerita hebatnya.
Hlm 13
5) Empat jam kemudian, esok harinya. Hlm 19
6) Beranda rumah kami, tiga puluh tahun lalu. Hlm 32
7) Esok harinya, di halaman sekolah, aku bertengkar dengan Jarjit.
Hlm 35
8) Malam harinya. Suasana hatiku berangsur normal. Hlm 37
9) Masih pagi, sekolah belum ramai saat Taani tergopoh- gopoh
datang. Hlm 40
10) Itu sore yang memalukan walau Ayah malamnya hanya tertawa
ringan, menceritakan kepada Ibu. Hlm 45
11) Dini hari, pertandingan putaran kedua semifinal Liga Champions
Eropa tiga puluh tahun lalu. Hlm 49
12) Semalam, pukul sepuluh, ketika Ibu sudah mematikan lampu,
Ayah sudah bilang selamat tidur, Taani menelponku.
13) Persis pukul lima sore, tibalah pertandingan besar itu. Hlm 105
14) Malam kesekian di asrama, kamarku dan Retro disesaki teman-
teman. Hlm 125
15) Pagi yang indah, didepan rumah kami. Hlm 134
16) Malam ketiga Ayah tinggal di rumah kami. Hlm 145
17) Pagi yang cerah, hari libur, deadline desainku tinggal seminggu.
Hlm 188
18) Malam itu lewat telepon, Retro bersikeras bahwa aku harus
menanyakan... Hlm 190
19) Pagi pertama tahun ketiga di Akademi Gajah. Hlm 197
20) Pagi ini Ayah dimakamkan. Hlm 295
3. Latar suasana
1) Maka malam ini, ketika Ayah dengan riang menemani anak-anakku
Zas dan Qon, menceritakan kisah-kisah hebatnya pada masa
mudanya, aku hanya bisa menghela napas tidak suka. Hlm 5
2) Ayah benar, aku tiba-tiba menjadi orang paling sedih sedunia. Hlm
11
3) Aku punya energi bahagia tidak terbilang pagi ini, tidak akan habis
walau sepanjang hari diolok-olok atau dihukum. Hlm 20
4) Lapangan sekolah ramai oleh anak- anak yang bermain kasti.
Tertawa,saling kejar dan... Hlm 21
5) Aku tersengal menahan marah. Hlm 47
6) Ayah marah besar, menyuruhku masuk kamar, dan baru keluar
kalau aku sudah minta maaf. Hlm 56
7) Pagi ini duduk berdua di ruang ganti, menunggu pelatih memanggil
kami, rasanya amat aneh. Hlm 75
8) Aku selalu senang menceritakan semua itu pada Taani...Hlm 80
9) Aku sudah berseru senang. Hlm 83
10) ..., kemudian takut untuk kembali ke kamar masing-masing, tapi
tidak ada hantu -hantu itu. Hlm 114
11) Hari ini kebanggaan menyelimuti keluarga mereka. Hlm 160
12) Rumah sepi, anak-anak masih di sekolah, istriku memeriksa
laporan bulanan di toko bunga. Hlm 218
13) Ruang kerjaku lengang, menyisakan denging laptop. Hlm 189
14) Aku terharu menciumi pipi tembamnya. Hlm 273
15) Ayah mendesah kecewa, kemana lagi dia harus mencari tahu. Hlm
289
F. Sudut Pandang :
Sudut pandang orang pertama( tokoh utama). Terlihat dari cerita
dalam novel ini, penulis seolah-olah masuk kedalam cerita dengan
menggunakan kata “aku”. Yang mana “aku” disini adalah sosok Dam
yang merupakan tokoh utama dalam cerita di novel ini (firts person
central).
Hiperbola
“Sejak aku tahu Ibu sakit-sakitan, paham bahwa ibu punya kelainan
bawaan yang membuat ia seperti rumus matematika...”(hal 174)
Personifikasi
Unsur Ekstrinsik
A. Latar Belakang Pengarang:
Tere Liye lahir dan tumbuh dewasa di pedalaman Sumatera. Ia lahir pada
tanggal 21 mei 1979. Tere Liye menikah dengan Ny. Riski Amelia dan di
karunia seorang putra bernama Abdullah Pasai. Ia berasal dari keluarga
sederhana yang orang tuanya berprofesi sebagai petani biasa. Anak ke enam
dari tujuh bersaudara ini berprofesi sebagai penulis, sampai saat ini telah
menghasilkan 18 karya. Bahkan beberapa di antaranya telah di angkat ke layar
lebar. Berdasarkan email yang di jadikan sarana komunikasi dengan para
penggemarnya yaitu darwisdarwis@yahoo.com. Bisa di simpulkan sederhana
bahwa namanya adalah Darwis.
Ide awal novel ini adalah tentang anak yang dibesarkan dengan dongeng-
dongeng, tentang definisi kebahagiaan, tentang membesarkan anak-anak dengan
sederhana. Sudah cukup lama ide ini tersimpan di kepala, tapi baru bisa ditulis
ketika anak kami, Pasai, berusia tujuh bulan di kandungan. Naskah selesai
sebulan sebelum Pasai lahir, Juni 2010. Saya berusaha agar detail cerita,
karakter, plot, penjelasan, dongeng, konteks, ditulis seorisinal mungkin—yang
boleh jadi tetap saja dipengaruhi oleh ratusan film, buku-buku, cerita, serta
artikel yang pernah saya tonton, baca, dan lihat.
Saat naskah ini selesai, diserahkan ke penerbit, dibaca awal oleh beberapa
pencinta buku, saya menerima e-mail yang menyebutkan gaya penceritaan
novel ini sama dengan novel Big Fish. Saya belum pernah membaca novel Big
Fish. Yang bersangkutan menjelaskan persamaan novel saya dengan novel Big
Fish adalah di “gaya penceritaan”: tentang anak yang dibesarkan dengan
dongeng-dongeng.
Andai kata ada pencinta buku yang sudah pernah membaca novel Big
Fish, maka pastilah bisa menyimpulkan dengan baik apakah novel ini
menjiplak/terinspirasi atau tidak. Saya serahkan kesimpulan itu pada pembaca.
Pada akhirnya, konsen saya menulis novel ini sesimpel ide ceritanya:
bahwa kebahagiaan itu sederhana. Dunia anak-anak selalu indah. Kasih sayang
keluarga adalah segalanya. Pemahaman ini terus paralel dengan novel-novel
saya sebelumnya.
Kelebihan Novel
Novel ini disajikan dengan apik oleh Darwis Tere Liye dengan latar yang
mengagumkan dan bahasa yang mudah dipahami. Begitu banyak kata-kata
mutiara dan kalimat sarat makna disetiap paragrafnya. Isinya membuat kita
perlu memperbanyak rasa cinta kita pada keluarga, terlebih pada ayah.
Seperti pertanyaan yang disampaikan Tere Liye di blurb novel,”kapan
terakhir kali kita memeluk ayah kita ? menatap wajahnya, lantas bilang kita
sungguh sayang padanya ? kapan terakhir kali kita bercakap ringan, tertawa
gelak, bercengkrama, lantas menyentuh lembut tangannya, bilang kita sungguh
bangga padanya ?” pertanyaan itu benar-benar menyentak. Membuat sadar
betapa selama ini begitu menyia-nyiakan waktu bersama ayah. Tere Liye benar-
benar membuat kita menyatu dengan cerita, membuat kita seakan-akan berada
disana dan menyaksikan apa yang dialami Dam.
Membaca ini, membuat saya mengerti apa hakikat kebahagiaan yang
sebanarnya. Mengerti betapa penting dan berharganya arti sebuah kejujuran itu.
satu hal kecil yang bisa membuat semua orang menghargai kita. Kata-kata
motivasinya tidak pernah bosan untuk menasihati saya secara tidak langsung.
Membuat saya terinspirasi untuk bisa menjadi seperti tokoh-tokoh dalam Novel
ini.
Kelemahan Novel
Ada beberapa kesalahan penulisan dibeberapa tempat. Contohnya saja
dihalaman 62 dimana Dam seharusnya menyebutkan “ayah” tapi yang tertulis
malah “kakek”. Dan lagi, latar-latar yang dipaparkan tidak bisa diterima akal
manusia. Contohnya saja Negeri Penguasa Angin. Kita sulit menggunakan
logika untuk hal-hal diluar nalar manusia. Karena latar tersebut tidak pernah ada
di dunia nyata.