Anda di halaman 1dari 6

Hari Itu

ORIENTASI
Seorang anak laki-laki berlari dengan raut wajah yang sangat menggemaskan, Bian
namanya. Ia putra sulung-ku yang masih berada di bangku nol besar. Hari ini aku
mengajak Bian mengunjungi suatu tempat untuk ‘reuni’ dengan teman lama. Sejak Bian
datang ke dunia, waktu senggang-ku berkali-kali lipat menjadi lebih sedikit. Ah, rindunya.
Tak lupa kubawakan satu tas kembang tujuh rupa sebagai buah tangan untuknya. Setelah
20 menit kami melewati taman hijau, sudah terlihat dari kejauhan ‘rumah’-nya dengan
atap nisan terukir namanya yang indah, Luna Karyoningsih.
Sesampainya disana kukenalkan Bian kepada Luna, begitu juga sebaliknya. Kali ini
Bian memasang raut wajah kebingungan. ”Ma, siapa dia?” “Mengapa dia ada disini?” dan
beberapa pertanyaan lainnya. Kutarik nafasku dalam-dalam, sembari mengingat kembali
kejadian yang menimpa kami tepat 21 tahun yang lalu.

PENGUNGKAPAN PERISTIWA
13 Mei 1998
Pada siang hari ini, cuaca sedang bertolak belakang dengan keadaan di Ibukota
yang juga merupakan daerah tempat kami tinggal. Suasana sangat mencekam sejak
kemarin. Suara tembakan dan kericuhan tidak ada habisnya. Kami sekeluarga dalam
keadaan terancam. Bagaimana tidak, radio baru saja memberitakan bahwa hari ini warga
pribumi akan menuntas-habiskan warga yang berketurunan Tionghoa. Ya, keluarga kami
adalah salah satunya. Sony Tian yang 35 tahun lalu merantau ke Indonesia dan menikah
dengan orang pribumi bernama Rana Soetanti. Tak lama setelah itu, mereka dikaruniai
anak pertama perempuan bernama Mery, ya aku. Kemudian mama kembali melahirkan
anak kedua setelah beberapa tahun aku lahir, Danu namanya.

MENUJU KONFLIK
Tak lama setelah radio berkumandang, datanglah beberapa lelaki paruh baya
sambal membawa sesuatu ditangan nya. Setelah dilihat dengan jelas ternyata mereka
menggunakan kayu dan rotan, mereka siap untuk menggeledah kami dan tetangga
lainnya. Kami semakin terancam. Aku, papa, mama, dan bahkan Dnu yang masih berumur
5 tahun saat itu sudah menyadari bahwa tempat ini sudah tidak aman, kami harus segera
pergi dari rumah. Tanpa berpikir panjang kami sekeluarga pun langsung bergegas untuk
meninggalkan rumah, hanya bermodalkan tas yang berisi sepasang pakaian dan uang
seadanya saja. Namun apa daya kami kurang beruntung, baru saja Papa membuka pagar,
datanglah beberapa orang pribumi yang wajahnya sama sekali tidak kukenal, sudah
dipastikan mereka bukanlah tentangga kami, terhitung 5 orang yang berdiri didepan
Papa. “Apa yang kalian lakukan dirumah kami?” ujar Papa dengan tenang walaupun orang
dihadapannya sudah seperti singa yang siap menerkam mangsanya. “Hei Cina! Bangsa
kalian telah menyusahkan kami! Serahkan seluruh harta kalian dan diam atau nyawa
kalian sebagai gantinya!” ancam salah satu mereka, dengan menodongkan kayu di leher
Papa.

PUNCAK KONFLIK
Tiba-tiba ditariknya aku dan Danu oleh Mama. Ia menyuruhku untuk bersembunyi di
lemari bekas yang ada tak jauh dari teras, dengan maksud tujuan agar mereka tidak
menemukan dan menjadikan kami sebagai sasaran mereka. Kemudian masuklah aku dan
Danu ke dalam lemari itu, ada celah dua buah kami gunakan sebagai celah udara. ‘Sampai
kalian sudah tidak mendengar lagi suara orang-orang berteriak, baru kalian keluar dari
lemari’ ucap Mama sebelum memasukkan kami ke lemari. BRUGH!! Terdengar seperti
suara benda yang entah dipukul atau terjatuh, ku-intip sedikit celah itu, terlihat Papa yang
sudah tergeletak di teras dan darah mulai mengalir dari kepalanya. Ingin rasanya aku
menangis sekencang-kencangnya saat itu, namun kutahan sekuat tenaga karena tidak
ingin merepotkan Mama. Namun penglihatan ku mulai buram, badan ku terasa lemas.
Seketika aku terjatuh di bawah alam sadar, ku piker ini adalah akhir dari segalanya.

PENYELESAIAN
Perlahan aku mencoba untuk membuka mata ku, ku lihat di sekelilingku secara
samar semuanya berwarna putih. Tetapi secara berangsur penglihatan ku semakin jelas,
ternyata aku kini sedang terbaring lemas di sebuah tempat yang biasa disebut sebagai
pengungsian. Menyadari bahwa aku sudah sadar, orang-orang di sekeliling mulai melihat
ku dengan tatapan iba. Ingin rasanya aku menghampiri salah satu dari mereka untuk
menanyakan apa yang sudah terjadi pada kami, tapi keinginan itu aku urungkan
dikarenakan badan ku yang belum mampu untuk bangun dari tempat berbaringku saat
ini. Dari kejauhan aku melihat seseorang yang wajahnya tidak asing di hidupku, orang itu
menghampiri diriku dengan segelas air di tangannya, benar saja ternyata ia adalah adik
ku. Kedatangan adik ku disertai oleh sesosok pria paruh baya yang berpakaian medis, pria
itu menghampiriku dan mengecek kondisi ku saat ini. Lalu ku tanya pada pria itu apa yang
sudah terjadi selama aku tidak tersadarkan diri, karena yang ingatan terakhir ku
mengatakan bahwa aku berada di sebuah lemari bekas. Namun pria itu tidak menjawab
pertanyaanku, ia hanya menatap ku dengan tatapan yang sama seperti tatapan orang-
orang sebelumnya. Karena rasa penasaran ku yang sangat tinggi, aku memutuskan untuk
berkeliling mecari informasi seputar kejadian yang telah menimpa kami. Baru beberapa
langkah aku sudah mulai melihat banyak kantong mayat yang bergeletakkan. Perasaan ku
seolah berkata ada yang tidak beres. Benar saja, saat itu aku melihat kedua orang tua ku
berada diantara salah satu dari mayat tersebut. Hati ku sangat hancur, sehancur-
hancurnya. Tangisan pun tidak dapat terbendung lagi, ditambah kehadiran sesosok mayat
yang baru saja di letakkan di samping kedua orang tua ku, dan mayat itu adalah
sahabatku, Luna. Seketika aku kehilangan arah. Adikku adalah satu-satunya orang
berharga yang kupunya saat itu, sungguh malang dirinya sudah kehilangan orang tua di
umur yang sangat muda. Aku berpikir bahwa aku harus menjaga Danu. Kemudian kami
ditempatkan di panti asuhan bersama dengan anak-anak lain yang bernasib sama
denganku dan melanjutkan hidup tanpa kedua orang tua lagi.
13 Mei 2019
Aku mulai menaburkan kembang yang kubawa ke atas ‘rumah’ Luna, semakin
indah. Kemudian kudoakan beberapa ayat yang kutahu, berharap agar tetap tenang di
alam sana. Lalu kami berpamitan dengan-nya. Sampai jumpa di lain waktu, Luna.
Hari Itu
Seorang anak laki-laki berlari dengan raut wajah yang sangat menggemaskan, Bian
namanya. Ia putra sulung-ku yang masih berada di bangku nol besar. Hari ini aku
mengajak Bian mengunjungi suatu tempat untuk ‘reuni’ dengan teman lama. Sejak Bian
datang ke dunia, waktu senggang-ku berkali-kali lipat menjadi lebih sedikit. Ah, rindunya.
Tak lupa kubawakan satu tas kembang tujuh rupa sebagai buah tangan untuknya. Setelah
20 menit kami melewati taman hijau, sudah terlihat dari kejauhan ‘rumah’-nya dengan
atap nisan terukir namanya yang indah, Luna Karyoningsih.
Sesampainya disana kukenalkan Bian kepada Luna, begitu juga sebaliknya. Kali ini
Bian memasang raut wajah kebingungan. ”Ma, siapa dia?” “Mengapa dia ada disini?” dan
beberapa pertanyaan lainnya. Kutarik nafasku dalam-dalam, sembari mengingat kembali
kejadian yang menimpa kami tepat 21 tahun yang lalu.
13 Mei 1998
Pada siang hari ini, cuaca sedang bertolak belakang dengan keadaan di Ibukota
yang juga merupakan daerah tempat kami tinggal. Suasana sangat mencekam sejak
kemarin. Suara tembakan dan kericuhan tidak ada habisnya. Kami sekeluarga dalam
keadaan terancam. Bagaimana tidak, radio baru saja memberitakan bahwa hari ini warga
pribumi akan menuntas-habiskan warga yang berketurunan Tionghoa. Ya, keluarga kami
adalah salah satunya. Sony Tian yang 35 tahun lalu merantau ke Indonesia dan menikah
dengan orang pribumi bernama Rana Soetanti. Tak lama setelah itu, mereka dikaruniai
anak pertama perempuan bernama Mery, ya aku. Kemudian mama kembali melahirkan
anak kedua setelah beberapa tahun aku lahir, Danu namanya.
Tak lama setelah radio berkumandang, datanglah beberapa lelaki paruh baya
sambal membawa sesuatu ditangan nya. Setelah dilihat dengan jelas ternyata mereka
menggunakan kayu dan rotan, mereka siap untuk menggeledah kami dan tetangga
lainnya. Kami semakin terancam. Aku, papa, mama, dan bahkan Dnu yang masih berumur
5 tahun saat itu sudah menyadari bahwa tempat ini sudah tidak aman, kami harus segera
pergi dari rumah. Tanpa berpikir panjang kami sekeluarga pun langsung bergegas untuk
meninggalkan rumah, hanya bermodalkan tas yang berisi sepasang pakaian dan uang
seadanya saja. Namun apa daya kami kurang beruntung, baru saja Papa membuka pagar,
datanglah beberapa orang pribumi yang wajahnya sama sekali tidak kukenal, sudah
dipastikan mereka bukanlah tentangga kami, terhitung 5 orang yang berdiri didepan
Papa. “Apa yang kalian lakukan dirumah kami?” ujar Papa dengan tenang walaupun orang
dihadapannya sudah seperti singa yang siap menerkam mangsanya. “Hei Cina! Bangsa
kalian telah menyusahkan kami! Serahkan seluruh harta kalian dan diam atau nyawa
kalian sebagai gantinya!” ancam salah satu mereka, dengan menodongkan kayu di leher
Papa. Tiba-tiba ditariknya aku dan Danu oleh Mama. Ia menyuruhku untuk bersembunyi
di lemari bekas yang ada tak jauh dari teras, dengan maksud tujuan agar mereka tidak
menemukan dan menjadikan kami sebagai sasaran mereka. Kemudian masuklah aku dan
Danu ke dalam lemari itu, ada celah dua buah kami gunakan sebagai celah udara. ‘Sampai
kalian sudah tidak mendengar lagi suara orang-orang berteriak, baru kalian keluar dari
lemari’ ucap Mama sebelum memasukkan kami ke lemari. BRUGH!! Terdengar seperti
suara benda yang entah dipukul atau terjatuh, ku-intip sedikit celah itu, terlihat Papa yang
sudah tergeletak di teras dan darah mulai mengalir dari kepalanya. Ingin rasanya aku
menangis sekencang-kencangnya saat itu, namun kutahan sekuat tenaga karena tidak
ingin merepotkan Mama. Namun penglihatan ku mulai buram, badan ku terasa lemas.
Seketika aku terjatuh di bawah alam sadar, ku piker ini adalah akhir dari segalanya.
Perlahan aku mencoba untuk membuka mata ku, ku lihat di sekelilingku secara
samar semuanya berwarna putih. Tetapi secara berangsur penglihatan ku semakin jelas,
ternyata aku kini sedang terbaring lemas di sebuah tempat yang biasa disebut sebagai
pengungsian. Menyadari bahwa aku sudah sadar, orang-orang di sekeliling mulai melihat
ku dengan tatapan iba. Ingin rasanya aku menghampiri salah satu dari mereka untuk
menanyakan apa yang sudah terjadi pada kami, tapi keinginan itu aku urungkan
dikarenakan badan ku yang belum mampu untuk bangun dari tempat berbaringku saat
ini. Dari kejauhan aku melihat seseorang yang wajahnya tidak asing di hidupku, orang itu
menghampiri diriku dengan segelas air di tangannya, benar saja ternyata ia adalah adik
ku. Kedatangan adik ku disertai oleh sesosok pria paruh baya yang berpakaian medis, pria
itu menghampiriku dan mengecek kondisi ku saat ini. Lalu ku tanya pada pria itu apa yang
sudah terjadi selama aku tidak tersadarkan diri, karena yang ingatan terakhir ku
mengatakan bahwa aku berada di sebuah lemari bekas. Namun pria itu tidak menjawab
pertanyaanku, ia hanya menatap ku dengan tatapan yang sama seperti tatapan orang-
orang sebelumnya. Karena rasa penasaran ku yang sangat tinggi, aku memutuskan untuk
berkeliling mecari informasi seputar kejadian yang telah menimpa kami. Baru beberapa
langkah aku sudah mulai melihat banyak kantong mayat yang bergeletakkan. Perasaan ku
seolah berkata ada yang tidak beres. Benar saja, saat itu aku melihat kedua orang tua ku
berada diantara salah satu dari mayat tersebut. Hati ku sangat hancur, sehancur-
hancurnya. Tangisan pun tidak dapat terbendung lagi, ditambah kehadiran sesosok mayat
yang baru saja di letakkan di samping kedua orang tua ku, dan mayat itu adalah
sahabatku, Luna. Seketika aku kehilangan arah. Adikku adalah satu-satunya orang
berharga yang kupunya saat itu, sungguh malang dirinya sudah kehilangan orang tua di
umur yang sangat muda. Aku berpikir bahwa aku harus menjaga Danu. Kemudian kami
ditempatkan di panti asuhan bersama dengan anak-anak lain yang bernasib sama
denganku dan melanjutkan hidup tanpa kedua orang tua lagi.
13 Mei 2019
Aku mulai menaburkan kembang yang kubawa ke atas ‘rumah’ Luna, semakin
indah. Kemudian kudoakan beberapa ayat yang kutahu, berharap agar tetap tenang di
alam sana. Lalu kami berpamitan dengan-nya. Sampai jumpa di lain waktu, Luna.

Anda mungkin juga menyukai