Vertigo Paper
Vertigo Paper
BAB I
PENDAHULUAN
Vertigo berasal dari istilah latin, yaitu vertere yang berarti berputar, dan igo yang
berarti kondisi. Vertigo merupakan subtipe dari “dizziness” yang secara defi nitif
merupakan ilusi gerakan, dan yang paling sering adalah perasaan atau sensasi tubuh
yang berputar terhadap lingkungan atau sebaliknya, lingkungan sekitar kita rasakan
berputar. Vertigo juga dirasakan sebagai suatu perpindahan linear ataupun miring,
tetapi gejala seperti ini lebih jarang dirasakan. Kondisi ini merupakan gejala kunci yang
menandakan adanya gangguan sistem vestibuler dan kadang merupakan gejala
kelainan labirin. Namun, tidak jarang vertigo merupakan gejala dari gangguan sistemik
lain (misalnya, obat, hipotensi, penyakit endokrin, dan sebagainya).
Berbeda dengan vertigo, dizziness atau pusing merupakan suatu keluhan yang
umum terjadi akibat perasaan disorientasi, biasanya dipengaruhi oleh persepsi posisi
terhadap lingkungan. Dizziness sendiri mempunyai empat subtipe, yaitu vertigo,
disekuilibrium tanpa vertigo, presinkop, dan pusing psikofisiologis.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Vertigo adalah suatu istilah yang berasal dari bahasa Latin, vertere, yang berarti
memutar. Secara umum, vertigo dikenal sebagai ilusi bergerak atau halusinasi gerakan.
Vertigo ditemukan dalam bentuk keluhan berupa rasa berputar – putar atau rasa
bergerak dari lingkungan sekitar (vertigo sirkuler) namun kadang – kadang ditemukan
juga keluhan berupa rasa didorong atau ditarik menjauhi bidang vertikal (vertikal
linier).Vertigo bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan kumpulan gejala
atau sindrom yang terjadi akibat gangguan keseimbangan pada sistem vestibular
ataupun gangguan pada sistem saraf pusat. Selain itu, vertigo dapat pula terjadi akibat
gangguan pada alat keseimbangan tubuh yang terdiri dari reseptor pada visual (retina),
vestibulum (kanalis semisirkularis) dan proprioseptif (tendon, sendi dan sensibilitas
dalam). Vertigo Posisional Benign Paroxysmal (BPPV) adalah salah satu kelainan
klinis paling umum dalam praktik Neurotologi yang umum dan mencakup sekitar 17%
keluhan vertigo. Ini mewakili gangguan vestibular perifer yang paling penting
sepanjang umur, meskipun usia saat onset umumnya antara dekade kelima dan ketujuh
kehidupan. Namun, waktu onset juga telah dijelaskan pada masa kanak-kanak 5,6,7.
Ini mempengaruhi 10,7-64% per 100.000 pasien per tahun (prevalensi seumur hidup
2,4 persen). Wanita lebih terpengaruh daripada pria dalam proporsi 1,5-2,21.
Informasi tersebut diperoleh dari sistim keseimbangan tubuh yang melibatkan kanalis
semisirkularis sebagai reseptor, serta sistim vestibuler dan serebelum sebagai pengolah
informasinya, selain itu fungsi penglihatan dan proprioceptif juga berperan dalam
memberikan informasi rasa sikap dan gerak anggota tubuh. Sistim tersebut saling
berhubungan dan mempengaruhi untuk selanjutnya diolah di susunan saraf pusat.3
2.2 EPIDEMIOLOGI
Dari keempat subtipe dizziness, vertigo terjadi pada sekitar 32% kasus, dan
sampai dengan 56,4% pada populasi orang tua.1 Sementara itu, angka kejadian vertigo
pada anak-anak tidak diketahui,tetapi dari studi yang lebih baru pada populasi anak
sekolah di Skotlandia, dilaporkan sekitar 15% anak paling tidak pernah merasakan
sekali serangan pusing dalam periode satu tahun. Sebagian besar (hampir 50%)
diketahui sebagai “paroxysmal vertigo” yang disertai dengan gejala-gejala migren
(pucat, mual, fonofobia, dan fotofobia).5
2.3 KLASIFIKASI
Benign Paroxysmal Positional Vertigo
Dianggap merupakan penyebab tersering vertigo, umumnya hilang sendiri (self
limiting) dalam 4 sampai 6 minggu. Saat ini dikaitkan dengan kondisi otoconia
(butir kalsium di dalam kanalis semisirkularis) yang tidak stabil. Benign
Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) adalah gangguan vestibuler yang paling
sering ditemui, dengan gejala rasa pusing berputar diikuti mual muntah dan
keringat dingin, yang dipicu oleh perubahan posisi kepala terhadap gaya gravitasi
tanpa adanya keterlibatan lesi di susunan saraf pusat. Terapi fisik dan manuver
Brandt-daroff dianggap lebih efektif daripada medikamentosa.4
Benign Paroxysmal Positional Vertigo terbagi atas dua jenis, yaitu :
4
2.4 PATOFISIOLOGI
Etiologi vertigo adalah abnormalitas dari organ organ vestibuler, visual, ataupun
sistem propioseptif. Labirin (organ untuk ekuilibrium) terdiri atas 3 kanalis
semisirkularis, yang berhubungan dengan rangsangan akselerasi angular, serta
utrikulus dan sakulus, yang berkaitan dengan rangsangan gravitasi dan akselerasi
vertikal. Rangsangan berjalan melalui nervus vestibularis menuju nukleus vestibularis
di batang otak, lalu menuju fasikulus medialis (bagian kranial muskulus
okulomotorius), kemudian meninggalkan traktus vestibulospinalis (rangsangan
eksitasi terhadap otot-otot ekstensor kepala, ekstremitas, dan punggung untuk
mempertahankan posisi tegak tubuh). Rasa pusing atau vertigo yang disebabkan oleh
gangguan alat keseimbangan tubuh mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh
yang sebenarnya dengan apa yang dipersepsi oleh susunan saraf pusat. Neurotransmiter
yang turut berkontribusi dalam patofisiologi vertigo, baik perifer maupun sentral, di
antaranya adalah neurotransmiter kolinergik, monoaminergik, glutaminergik, dan
histamin. Beberapa obat antivertigo bekerja dengan memanipulasi neurotransmiter-
neurotransmiter ini, sehingga gejala-gejala vertigo dapat ditekan. Glutamat merupakan
neurotransmiter eksitatorik utama dalam serabut saraf vestibuler. Ada beberapa teori
yang berusaha menerangkan kejadian tersebut :
(usaha koreksi bola mata), ataksia atau sulit berjalan (gangguan vestibuler,
serebelum) atau rasa melayang, berputar (berasal dari sensasi kortikal). Berbeda
dengan teori rangsang berlebihan, teori ini lebih menekankan gangguan proses
pengolahan sentral sebagai penyebab.7
3. Teori neural mismatch
Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik, menurut teori ini
otak mempunyai memori/ingatan tentang pola gerakan tertentu, sehingga jika
pada suatu saat dirasakan gerakan yang aneh/tidak sesuai dengan polagerakan
yang telah tersimpan, timbul reaksi dari susunan saraf otonom. Jika pola
gerakan yang baru tersebut dilakukan berulang-ulang akan terjadi mekanisme
adaptasi sehingga berangsur-angsur tidak lagi timbul gejala.
4. Teori otonomik
Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebagai usaha
adaptasi gerakan/perubahan posisi, gejala klinis timbul jika sistim simpatis
terlalu dominan, sebaliknya hilang jika sistim parasimpatis mulai berperan.
5. Teori neurohumoral
Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl) dan teori serotonin
(Lucat) yang masing-masing menekankan peranan neurotransmiter tertentu
dalam pengaruhi sistim saraf otonom yang menyebabkan timbulnya gejala
vertigo.
6. Teori Sinap
Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjai peranan
neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada
proses adaptasi, belajar dan daya ingat. Rangsang gerakan menimbulkan stres
yang akan memicu sekresi CRF (corticotropin releasing factor), peningkatan
kadar CRF selanjutnya akan mengaktifkan susunan saraf simpatik yang
selanjutnya mencetuskan mekanisme adaptasi berupa meningkatnya aktivitas
sistim saraf parasimpatik. Teori ini dapat meneangkan gejala penyerta yang
sering timbul berupa pucat, berkeringat di awal serangan vertigo akibat
7
2.6 DIAGNOSIS
ANAMNESIS
Pertama-tama ditanyakan bentuk vertigonya, melayang, goyang, berputar,
tujuh keliling, rasa naik perahu dan sebagainya. Perlu diketahui juga keadaan yang
memprovokasi timbulnya vertigo. Perubahan posisi kepala dan tubuh, keletihan dan
ketegangan. waktu, apakah timbulnya akut atau perlahan-lahan, hilang timbul,
paroksismal, kronik progresif atau membaik.
Beberapa penyakit tertentu mempunyai profil waktu yang karakteristik. Apakah
juga ada gangguan pendengaran yang biasanya menyertai/ditemukan pada lesi alat
vestibuler atau n. vestibularis. Penggunaan obat-obatan seperti streptomisin,
kanamisin, salisilat, antimalaria dan lain-lain yang diketahui ototoksik/vestibulotoksik
dan adanya penyakit sistemik seperti anemia, penyakit jantung, hipertensi, hipotensi,
penyakit paru dan kemungkinan trauma akustik.2
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik yang menyeluruh sebaiknya difokuskan pada evaluasi
neurologis terhadap saraf-saraf kranial dan fungsi serebelum, misalnya dengan melihat
modalitas motorik dan sensorik. Pemeriksaan fisik yang dilakukan antara lain
pemeriksaan tekanan darah yang diukur dalam posisi berbaring, duduk, dan berdiri,
bising karotis, irama (denyut jantung), dan pulsasi nadi perifer. Penilaian terhadap
fungsi serebelum dilakukan dengan menilai fiksasi gerakan bola mata; adanya
nistagmus (horizontal) menunjukkan adanya gangguan vestibuler sentral.
9
Pemeriksaan kanalis auditorius dan membran timpani juga harus dilakukan untuk
menilai ada tidaknya infeksi telinga tengah, malformasi, kolesteatoma, atau fi stula
perilimfatik. Dapat juga dilakukan pemeriksaan tajam pendengaran.
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Pemeriksaan neurologis yang dapat dilakukan antara lain:
a. Uji Romberg
Penderita berdiri dengan kedua kaki dirapatkan mula-mula dengan kedua mata
terbuka kemudian tertutup. Biarkan pada posisi demikian selama 20-30 detik.
Harus dipastikan bahwa penderita tidak dapat menentukan posisinya (misalnya
dengan bantuan titik cahaya atau suara tertentu). Pada kelainan vestibuler hanya
pada mata tertutup badan penderita akan bergoyang menjauhi garis tengah
kemudian kembali lagi, pada mata terbuka badan penderita tetap tegak.
Sedangkan pada kelainan serebral badan penderita akan bergoyang baik pada
mata terbuka maupun pada mata tertutup.
b. Tandem Gait
Penderita berjalan dengan tumit kaki kiri/kanan diletakkan pada ujung jari kaki
kanan/kiri ganti berganti. Pada kelainan vestibuler, perjalanannya akan
menyimpang dan pada kelainan serebeler penderita akan cenderung jatuh.
c. Uji Unterberger, Penderita berdiri dengan kedua lengan lurus horizontal ke
depan dan jalan di tempat dengan mengangkat lutut setinggi mungkin selama
satu menit. Pada kelainan vestibuler posisi penderita akan menyimpang atau
berputar ke arah lesi dengan gerakan seperti orang melempar cakram yaitu
kepala dan badan berputar ke arah lesi, kedua lengan bergerak ke arah lesi
dengan lengan pada sisi lesi turun dan yang lainnya naik. Keadaan ini disertai
nistagmus dengan fase lambat ke arah lesi.
d. Uji Tunjuk Barany (past-ponting test)
Penderita diinstruksikan mengangkat lengannya ke atas dengan jari telunjuk
ekstensi dan lengan lurus ke depan, kemudian diturunkan sampai menyentuh
telunjuk tangan pemeriksa. Hal ini dilakukan berulang-ulang dengan mata
10
b. Tes Kalori
Penderita berbaring dengan kepala fleksi 30°, sehingga kanalis
semisirkularis lateralis dalam posisi vertikal. Kedua telinga diirigasi
bergantian dengan air dingin (30°C) dan air hangat (44°C) masing-
masing selama 40 detik dan jarak setiap irigasi 5 menit. Nistagmus yang
timbul dihitung lamanya sejak permulaan irigasi sampai hilangnya
nistagmus tersebut (normal 90-150 detik). Tes ini dapat menententukan
adanya kanal paresis atau directional preponderance ke kiri atau ke
kanan. Kanal paresis adalah abnormalitas yang ditemukan di satu
telinga, baik setelah rangsang air hangat maupun air dingin, sedangkan
directional preponderance ialah abnormalitas ditemukan pada arah
nistagmus yang sama di masing-masing telinga. Kanal paresis
menunjukkan lesi perifer di labirin atau n.VIII, sedangkan directional
preponderance menunjukkan lesi sentral.
c. Elektronistagmogram
Pemeriksaan ini hanya dilakukan di rumah sakit dengan tujuan untuk
merekam gerakan mata pada nistagmus sehingga nistagmus tersebut
dapat dianalisis secara kuantitatif.
12
2.7 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan Medikamentosa
a. Manuver Epley, manuver Epley adalah yang paling sering digunakan pada
kanal vertikal. Pasien diminta untuk menolehkan kepala ke sisi yang sakit
sebesar 45° lalu pasien berbaring dengan kepala tergantung dan dipertahankan
1-2 menit. Lalu kepala ditolehkan 90° ke sisi sebaliknya, dan posisi supinasi
berubah menjadi lateral dekubitus dan dipertahan 3060 detik. Setelah itu
pasien mengistirahatkan dagu pada pundaknya dan kembali ke posisi duduk
secara perlahan.
14
c. Manuver Lempert, manuver ini dapat digunakan pada pengobatan BPPV tipe
kanal lateral. Pasien berguling 360° yang dimulai dari posisi supinasi lalu
pasien menolehkan kepala 90° ke sisi yang sehat, diikuti dengan membalikkan
tubuh ke posisi lateral dekubitus. Lalu kepala menoleh ke bawah dan tubuh
mengikuti ke posisi ventral dekubitus. Pasien kemudian menoleh lagi 90° dan
tubuh kembali ke posisi lateral dekubitus lalu kembali ke posisi supinasi.
Masing-masing gerakan dipertahankan selama 15 detik untuk migrasi lambat
dari partikel-partikel sebagai respon terhadap gravitasi.
16
d. Forced Prolonged Position, manuver ini digunakan pada BPPV tipe kanal
lateral. Tujuannya adalah untuk mempertahankan kekuatan dari posisi lateral
dekubitus pada sisi telinga yang sakit dan dipertahankan selama 12 jam.
e. Brandt-Daroff exercise, manuver ini dikembangkan sebagai latihan untuk di
rumah dan dapat dilakukan sendiri oleh pasien sebagai terapi tambahan pada
pasien yang tetap simptomatik setelah manuver Epley atau Semont. Latihan
ini juga dapat membantu pasien menerapkan beberapa posisi sehingga dapat
menjadi kebiasaan.4
17
TERAPI FARMAKOLOGIS
a. Antikolinergik
Antikolinergik merupakan obat pertama yang digunakan untuk penanganan
vertigo, yang paling banyak dipakai adalah skopolamin dan homatropin.
Kedua preparat tersebut dapat juga dikombinasikan dalam satu sediaan
antivertigo. Antikolinergik berperan sebagai supresan vestibuler melalui
reseptor muskarinik. Pemberian antikolinergik per oral memberikan efek rata-
rata 4 jam, sedangkan gejala efek samping yang timbul terutama berupa
gejala-gejala penghambatan reseptor muskarinik sentral, seperti gangguan
memori dan kebingungan (terutama pada populasi lanjut usia), ataupun gejala-
gejala penghambatan muskarinik perifer, seperti gangguan visual, mulut
kering, konstipasi, dan gangguan berkemih.
b. Antihistamin
Penghambat reseptor histamin-1 (H-1 blocker) saat ini merupakan antivertigo
yang paling banyak diresepkan untuk kasus vertigo,dan termasuk di antaranya
adalah difenhidramin, siklizin, dimenhidrinat, meklozin, dan prometazin.
Mekanisme antihistamin sebagai supresan vestibuler tidak banyak diketahui,
tetapi diperkirakan juga mempunyai efek terhadap reseptor histamin sentral.
Antihistamin mungkin juga mempunyai potensi dalam mencegah dan
memperbaiki “motion sickness”. Efek sedasi merupakan efek samping utama
dari pemberian penghambat histamin-1. Obat ini biasanya diberikan per oral,
dengan lama kerja bervariasi mulai dari 4 jam (misalnya, siklizin) sampai 12
jam (misalnya, meklozin).
c. Hitaminergik
Obat kelas ini diwakili oleh betahistin yang digunakan sebagai antivertigo di
beberapa negara Eropa, tetapi tidak di Amerika. Betahistin sendiri merupakan
prekrusor histamin. Efek antivertigo betahistin diperkirakan berasal dari efek
19
Operasi dapat dilakukan pada pasien BPPV yang telah menjadi kronik dan sangat
sering mendapat serangan BPPV yang hebat, bahkan setelah melakukan manuver-
manuver yang telah disebutkan di atas. Dari literatur dikatakan indikasi untuk
melakukan operasi adalah pada intractable BPPV, yang biasanya mempunyai klinis
penyakit neurologi vestibular, tidak seperti BPPV biasa.Terdapat dua pilihan
intervensi dengan teknik operasi yang dapat dipilih, yaitu singular neurectomy
(transeksi saraf ampula posterior) dan oklusi kanal posterior semisirkular. Namun
lebih dipilih teknik dengan oklusi karena teknik neurectomi mempunyai risiko
kehilangan pendengaran yang tinggi.5
21
22
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Vertigo merupakan kumpulan gejala atau sindrom yang terjadi akibat gangguan
keseimbangan pada sistem vestibular ataupun gangguan pada sistem saraf pusat.
Vertigo ditemukan dalam bentuk keluhan berupa rasa berputar, atau rasa bergerak
dari lingkungan sekitar namun kadang ditemukan keluhan berupa rasa didorong atau
ditarik menjauhi bidang vertikal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Munir B. 2017. Neurologi Dasar. Ed 2. Jakarta: Sagung Seto. Pp: 187-192
2. Harsono. Buku ajar neurologi klinis. Edisi ketiga. Yogyakarta: Gadjah mada
university press; 2005. h.67-70.
3. Akbar, Muhammad. Diagnosis Vertigo. Bagian Ilmu penyakit saraf fakultas
Kedokteran Hasanuddin Makasar.2013
4. Susianti, Melly. Diagnosis dan tatalaksana Vertigo. Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung. Oktober 2016.
5. Medical Departement.Vertigo. PT Kalbe Farma Tbk, Jakarta Indonesia. 2012
6. Edward, Yen.Diagnosis dan Tatalaksana Benign Paroxymal Positional Vertigo
(BPPV) Horizontal Berdasarkan Head Roll Test. Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas. 2014.
7. Thifal, Saraswati Qonitah.Vertigo : penyakit meniere. Departemen Klinik Ilmu
Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional “veteran”
jakarta.Desember 2017.
8. C.Li john. Benign paroxysmal positional vertigo. Medscape. 2018
9. Solomon David. Benign paroxysmal positional vertigo. Departement of neurology
Pennyslvania 2000