Anda di halaman 1dari 23

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Vertigo berasal dari istilah latin, yaitu vertere yang berarti berputar, dan igo yang
berarti kondisi. Vertigo merupakan subtipe dari “dizziness” yang secara defi nitif
merupakan ilusi gerakan, dan yang paling sering adalah perasaan atau sensasi tubuh
yang berputar terhadap lingkungan atau sebaliknya, lingkungan sekitar kita rasakan
berputar. Vertigo juga dirasakan sebagai suatu perpindahan linear ataupun miring,
tetapi gejala seperti ini lebih jarang dirasakan. Kondisi ini merupakan gejala kunci yang
menandakan adanya gangguan sistem vestibuler dan kadang merupakan gejala
kelainan labirin. Namun, tidak jarang vertigo merupakan gejala dari gangguan sistemik
lain (misalnya, obat, hipotensi, penyakit endokrin, dan sebagainya).

Berbeda dengan vertigo, dizziness atau pusing merupakan suatu keluhan yang
umum terjadi akibat perasaan disorientasi, biasanya dipengaruhi oleh persepsi posisi
terhadap lingkungan. Dizziness sendiri mempunyai empat subtipe, yaitu vertigo,
disekuilibrium tanpa vertigo, presinkop, dan pusing psikofisiologis.
2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Vertigo adalah suatu istilah yang berasal dari bahasa Latin, vertere, yang berarti
memutar. Secara umum, vertigo dikenal sebagai ilusi bergerak atau halusinasi gerakan.
Vertigo ditemukan dalam bentuk keluhan berupa rasa berputar – putar atau rasa
bergerak dari lingkungan sekitar (vertigo sirkuler) namun kadang – kadang ditemukan
juga keluhan berupa rasa didorong atau ditarik menjauhi bidang vertikal (vertikal
linier).Vertigo bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan kumpulan gejala
atau sindrom yang terjadi akibat gangguan keseimbangan pada sistem vestibular
ataupun gangguan pada sistem saraf pusat. Selain itu, vertigo dapat pula terjadi akibat
gangguan pada alat keseimbangan tubuh yang terdiri dari reseptor pada visual (retina),
vestibulum (kanalis semisirkularis) dan proprioseptif (tendon, sendi dan sensibilitas
dalam). Vertigo Posisional Benign Paroxysmal (BPPV) adalah salah satu kelainan
klinis paling umum dalam praktik Neurotologi yang umum dan mencakup sekitar 17%
keluhan vertigo. Ini mewakili gangguan vestibular perifer yang paling penting
sepanjang umur, meskipun usia saat onset umumnya antara dekade kelima dan ketujuh
kehidupan. Namun, waktu onset juga telah dijelaskan pada masa kanak-kanak 5,6,7.
Ini mempengaruhi 10,7-64% per 100.000 pasien per tahun (prevalensi seumur hidup
2,4 persen). Wanita lebih terpengaruh daripada pria dalam proporsi 1,5-2,21.

SISTEM KESEIMBANGAN MANUSIA

Manusia, karena berjalan dengan kedua tungkainya, relatif kurang stabil


dibandingkan dengan makhluk lain yang berjalan dengan empat kaki, sehingga lebih
memerlukan informasi posisi tubuh relatif terhadap lingkungan, selain itu diperlukan
juga informasi gerakan agar dapat terus beradaptasi dengan perubahan sekelilingnya.
3

Informasi tersebut diperoleh dari sistim keseimbangan tubuh yang melibatkan kanalis
semisirkularis sebagai reseptor, serta sistim vestibuler dan serebelum sebagai pengolah
informasinya, selain itu fungsi penglihatan dan proprioceptif juga berperan dalam
memberikan informasi rasa sikap dan gerak anggota tubuh. Sistim tersebut saling
berhubungan dan mempengaruhi untuk selanjutnya diolah di susunan saraf pusat.3

2.2 EPIDEMIOLOGI

Dari keempat subtipe dizziness, vertigo terjadi pada sekitar 32% kasus, dan
sampai dengan 56,4% pada populasi orang tua.1 Sementara itu, angka kejadian vertigo
pada anak-anak tidak diketahui,tetapi dari studi yang lebih baru pada populasi anak
sekolah di Skotlandia, dilaporkan sekitar 15% anak paling tidak pernah merasakan
sekali serangan pusing dalam periode satu tahun. Sebagian besar (hampir 50%)
diketahui sebagai “paroxysmal vertigo” yang disertai dengan gejala-gejala migren
(pucat, mual, fonofobia, dan fotofobia).5

2.3 KLASIFIKASI
Benign Paroxysmal Positional Vertigo
Dianggap merupakan penyebab tersering vertigo, umumnya hilang sendiri (self
limiting) dalam 4 sampai 6 minggu. Saat ini dikaitkan dengan kondisi otoconia
(butir kalsium di dalam kanalis semisirkularis) yang tidak stabil. Benign
Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) adalah gangguan vestibuler yang paling
sering ditemui, dengan gejala rasa pusing berputar diikuti mual muntah dan
keringat dingin, yang dipicu oleh perubahan posisi kepala terhadap gaya gravitasi
tanpa adanya keterlibatan lesi di susunan saraf pusat. Terapi fisik dan manuver
Brandt-daroff dianggap lebih efektif daripada medikamentosa.4
Benign Paroxysmal Positional Vertigo terbagi atas dua jenis, yaitu :
4

a. Benign Paroxysmal Positional Vertigo Kanalis Posterior


Benign Paroxysmal Positional Vertigo kanalis posterior ini paling sering terjadi,
dimana tercatat bahwa BPPV tipe ini 85 sampai 90% dari kasus BPPV. Penyebab
paling sering terjadi yaitu kanalitiasis. Hal ini dikarenakan debris endolimfe yang
terapung bebas cenderung jatuh ke kanal posterior karena kanal ini adalah bagian
vestibulum yang berada pada posisi yang paling bawah saat kepala pada posisi
berdiri ataupun berbaring (Purnamasari, 2013).
b. Benign Paroxysmal Positional Vertigo Kanalis Horizontal (Lateral)
Benign Paroxysmal Positional Vertigo kanalis horizontal pertama kali
diperkenalkan oleh McClure tahun 1985 dengan karakteristik vertigo posisional
yang diikuti nistagmus horizontal berubah arah. Arah nistagmus horizontal yang
terjadi dapat berupa geotropik (arah gerakan fase cepat ke arah telinga di posisi
bawah) atau apogeotropik (arah gerakan fase cepat kearah telinga di posisi atas)
selama kepala dipalingkan ke salah satu sisi dalam posisi telentang. Nistagmus
geotropik terjadi karena adanya otokonia yang terlepas dari utrikulus dan masuk ke
dalam lumen posterior kanalis horizontal (kanalolitiasis), sedangkan nistagmus
apogeotropik terjadi karena otokonia yang terlepas dari utrikulus menempel pada
kupula kanalis horizontal (kupulolitiasis) atau karena adanya fragmen otokonia di
dalam lumen anterior kanalis horizontal (kanalolitiasis apogeotropik) (Edward dan
Roza, 2014).
Pada umumnya BPPV melibatkan kanalis posterior, tetapi beberapa tahun
terakhir terlihat peningkatan laporan insiden BPPV kanalis horizontal. Pasien
dengan keluhan dan gejala yang sesuai dengan BPPV, namun tidak sesuai dengan
kriteria diagnostik BPPV kanalis posterior harus dicurigai sebagai BPPV kanalis
horizontal.
5

2.4 PATOFISIOLOGI

Etiologi vertigo adalah abnormalitas dari organ organ vestibuler, visual, ataupun
sistem propioseptif. Labirin (organ untuk ekuilibrium) terdiri atas 3 kanalis
semisirkularis, yang berhubungan dengan rangsangan akselerasi angular, serta
utrikulus dan sakulus, yang berkaitan dengan rangsangan gravitasi dan akselerasi
vertikal. Rangsangan berjalan melalui nervus vestibularis menuju nukleus vestibularis
di batang otak, lalu menuju fasikulus medialis (bagian kranial muskulus
okulomotorius), kemudian meninggalkan traktus vestibulospinalis (rangsangan
eksitasi terhadap otot-otot ekstensor kepala, ekstremitas, dan punggung untuk
mempertahankan posisi tegak tubuh). Rasa pusing atau vertigo yang disebabkan oleh
gangguan alat keseimbangan tubuh mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh
yang sebenarnya dengan apa yang dipersepsi oleh susunan saraf pusat. Neurotransmiter
yang turut berkontribusi dalam patofisiologi vertigo, baik perifer maupun sentral, di
antaranya adalah neurotransmiter kolinergik, monoaminergik, glutaminergik, dan
histamin. Beberapa obat antivertigo bekerja dengan memanipulasi neurotransmiter-
neurotransmiter ini, sehingga gejala-gejala vertigo dapat ditekan. Glutamat merupakan
neurotransmiter eksitatorik utama dalam serabut saraf vestibuler. Ada beberapa teori
yang berusaha menerangkan kejadian tersebut :

1. Teori rangsang berlebihan (overstimulation)


Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan menyebabkan
hiperemi kanalis semisirkularis sehingga fungsinya terganggu, akibatnya akan
timbul vertigo, nistagmus, mual dan muntah.7
2. Teori konflik sensorik.
Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang berasal dari
berbagai reseptor sensorik perifer yaitu mata/visus, vestibulum dan
proprioceptif, atau ketidakseimbangan/asimetri masukan sensorik yang berasal
dari sisi kiri dan kanan. Ketidakcocokan tersebut menimbulkan kebingungan
sensorik di sentral sehingga timbul respons yang dapat berupa nnistagmus
6

(usaha koreksi bola mata), ataksia atau sulit berjalan (gangguan vestibuler,
serebelum) atau rasa melayang, berputar (berasal dari sensasi kortikal). Berbeda
dengan teori rangsang berlebihan, teori ini lebih menekankan gangguan proses
pengolahan sentral sebagai penyebab.7
3. Teori neural mismatch
Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik, menurut teori ini
otak mempunyai memori/ingatan tentang pola gerakan tertentu, sehingga jika
pada suatu saat dirasakan gerakan yang aneh/tidak sesuai dengan polagerakan
yang telah tersimpan, timbul reaksi dari susunan saraf otonom. Jika pola
gerakan yang baru tersebut dilakukan berulang-ulang akan terjadi mekanisme
adaptasi sehingga berangsur-angsur tidak lagi timbul gejala.
4. Teori otonomik
Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebagai usaha
adaptasi gerakan/perubahan posisi, gejala klinis timbul jika sistim simpatis
terlalu dominan, sebaliknya hilang jika sistim parasimpatis mulai berperan.
5. Teori neurohumoral
Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl) dan teori serotonin
(Lucat) yang masing-masing menekankan peranan neurotransmiter tertentu
dalam pengaruhi sistim saraf otonom yang menyebabkan timbulnya gejala
vertigo.
6. Teori Sinap
Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjai peranan
neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada
proses adaptasi, belajar dan daya ingat. Rangsang gerakan menimbulkan stres
yang akan memicu sekresi CRF (corticotropin releasing factor), peningkatan
kadar CRF selanjutnya akan mengaktifkan susunan saraf simpatik yang
selanjutnya mencetuskan mekanisme adaptasi berupa meningkatnya aktivitas
sistim saraf parasimpatik. Teori ini dapat meneangkan gejala penyerta yang
sering timbul berupa pucat, berkeringat di awal serangan vertigo akibat
7

aktivitas simpatis, yang berkembang menjadi gejala mual, muntah dan


hipersalivasi setelah beberapa saat akibat dominasi aktivitas susunan saraf
parasimpatis.7
Benign Paroxysmal Positional Vertigo diduga disebabkan oleh
perpindahan otokonia kristal (kristal karbonat Ca yang biasanya tertanam di
sakulus dan utrikulus). Kristal tersebut merangsang sel-sel rambut di saluran
setengah lingkaran posterior, menciptakan ilusi gerak. Batu-batu kecil yang
terlepas (kupulolitiasis) didalam telinga bagian dalam menyebabkan BPPV.
Batu-batu tersebut merupakan kristal-kristal kalsium karbonat yang normalnya
terikat pada kupula. Kupula menutupi makula, yang adalah struktur padat
dalam dinding dari dua kantong- kantong (utrikulus dan sakulus) yang
membentuk vestibulum. Ketika batu-batu terlepas, mereka akan mengapung
dalam kanal semisirkular dari telinga dalam. Faktanya, dari pemeriksaan-
pemeriksaan mikroskopik telinga bagian dalam pasien- pasien yang menderita
BPPV memperlihatkan batu-batu tersebut

2.5 GEJALA KLINIS

Gejala-gejala klinis dari BPPV adalah pusing, ketidakseimbangan, sulit


untuk berkonsentrasi, dan mual. Kegiatan yang dapat menyebabkan timbulnya
gejala dapat berbeda-beda pada tiap individu, tetapi gejala dapat dikurangi
dengan perubahan posisi kepala mengikuti arah gravitasi. Gejala dapat timbul
dikarenakan perubahan posisi kepala seperti saat melihat keatas, berguling, atau
pun saat bangkit dari tempat tidur.
Benign Paroxysmal Positional Vertigo sendiri dapat dialami dalam
durasi yang cepat ataupun terjadi sepanjang hidup, disertai gejala yang terjadi
dengan pola sedang yang berbeda-beda tergantung pada durasi, frekuensi, and
intensitas. BPPV tidak dianggap sebagai sesuatu yang membahayakan
8

kehidupan penderita. Bagaimanapun, BPPV dapat mengganggu perkerjaan dan


kehidupan sosial penderita.

2.6 DIAGNOSIS

Diagnosis vertigo ditegakkan terutama dari anamnesis, yang didukung dengan


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

ANAMNESIS
Pertama-tama ditanyakan bentuk vertigonya, melayang, goyang, berputar,
tujuh keliling, rasa naik perahu dan sebagainya. Perlu diketahui juga keadaan yang
memprovokasi timbulnya vertigo. Perubahan posisi kepala dan tubuh, keletihan dan
ketegangan. waktu, apakah timbulnya akut atau perlahan-lahan, hilang timbul,
paroksismal, kronik progresif atau membaik.
Beberapa penyakit tertentu mempunyai profil waktu yang karakteristik. Apakah
juga ada gangguan pendengaran yang biasanya menyertai/ditemukan pada lesi alat
vestibuler atau n. vestibularis. Penggunaan obat-obatan seperti streptomisin,
kanamisin, salisilat, antimalaria dan lain-lain yang diketahui ototoksik/vestibulotoksik
dan adanya penyakit sistemik seperti anemia, penyakit jantung, hipertensi, hipotensi,
penyakit paru dan kemungkinan trauma akustik.2
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik yang menyeluruh sebaiknya difokuskan pada evaluasi
neurologis terhadap saraf-saraf kranial dan fungsi serebelum, misalnya dengan melihat
modalitas motorik dan sensorik. Pemeriksaan fisik yang dilakukan antara lain
pemeriksaan tekanan darah yang diukur dalam posisi berbaring, duduk, dan berdiri,
bising karotis, irama (denyut jantung), dan pulsasi nadi perifer. Penilaian terhadap
fungsi serebelum dilakukan dengan menilai fiksasi gerakan bola mata; adanya
nistagmus (horizontal) menunjukkan adanya gangguan vestibuler sentral.
9

Pemeriksaan kanalis auditorius dan membran timpani juga harus dilakukan untuk
menilai ada tidaknya infeksi telinga tengah, malformasi, kolesteatoma, atau fi stula
perilimfatik. Dapat juga dilakukan pemeriksaan tajam pendengaran.
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Pemeriksaan neurologis yang dapat dilakukan antara lain:
a. Uji Romberg
Penderita berdiri dengan kedua kaki dirapatkan mula-mula dengan kedua mata
terbuka kemudian tertutup. Biarkan pada posisi demikian selama 20-30 detik.
Harus dipastikan bahwa penderita tidak dapat menentukan posisinya (misalnya
dengan bantuan titik cahaya atau suara tertentu). Pada kelainan vestibuler hanya
pada mata tertutup badan penderita akan bergoyang menjauhi garis tengah
kemudian kembali lagi, pada mata terbuka badan penderita tetap tegak.
Sedangkan pada kelainan serebral badan penderita akan bergoyang baik pada
mata terbuka maupun pada mata tertutup.
b. Tandem Gait
Penderita berjalan dengan tumit kaki kiri/kanan diletakkan pada ujung jari kaki
kanan/kiri ganti berganti. Pada kelainan vestibuler, perjalanannya akan
menyimpang dan pada kelainan serebeler penderita akan cenderung jatuh.
c. Uji Unterberger, Penderita berdiri dengan kedua lengan lurus horizontal ke
depan dan jalan di tempat dengan mengangkat lutut setinggi mungkin selama
satu menit. Pada kelainan vestibuler posisi penderita akan menyimpang atau
berputar ke arah lesi dengan gerakan seperti orang melempar cakram yaitu
kepala dan badan berputar ke arah lesi, kedua lengan bergerak ke arah lesi
dengan lengan pada sisi lesi turun dan yang lainnya naik. Keadaan ini disertai
nistagmus dengan fase lambat ke arah lesi.
d. Uji Tunjuk Barany (past-ponting test)
Penderita diinstruksikan mengangkat lengannya ke atas dengan jari telunjuk
ekstensi dan lengan lurus ke depan, kemudian diturunkan sampai menyentuh
telunjuk tangan pemeriksa. Hal ini dilakukan berulang-ulang dengan mata
10

terbuka dan tertutup. Pada kelainan vestibuler akan terlihat penyimpangan


lengan penderita ke arah lesi.
e. Uji BabinskyWeil
Penderita berjalan lima langkah ke depan dan lima langkah ke belakang selama
setengan menit dengan mata tertutup berulang kali. Jika ada gangguan
vestibuler unilateral, pasien akan berjalan dengan arah berbentuk bintang.
Pemeriksaan khusus oto-Neurologi dilakukan untuk menentukan apakah letak
lesinya di sentral atau perifer.4

PEMERIKSAAN KHUSUS OTO-NEUROLOGI


Pemeriksaan ini terutama untuk menentukan apakah letak lesinya di sentral atau
perifer.
1. Fungsi Vestibuler :
a. Uji Dix Hallpike
Penderita dibaringkan ke belakang dengan cepat dari posisi duduk di
atas tempat tidur sehingga kepalanya menggantung 45° di bawah garis
horizontal, kemudian kepalanya dimiringkan 45° ke kanan lalu ke kiri.
Lakukan uji ini ke kanan dan kiri. Perhatikan apakah terdapat nistagmus
pada penderita. Perhatikan saat timbul dan hilangnya vertigo dan
nistagmus. Uji ini dapat dibedakan apakah lesinya perifer atau sentral.
Vertigo dan nistagmus timbul setelah periode laten 2-10 detik, hilang
dalam waktu kurang dari 1 menit, akan berkurang atau menghilang bila
tes diulang beberapa kali (fatigue) menunjukan bahwa yang terjadi pada
penderita ialah vertigo perifer. Sedangkan jika tidak ada periode laten,
nistagmus dan vertigo berlangsung lebih dari 1 menit, bila diulangulang
reaksi tetap seperti semula (non-fatigue) menunjukan bahwa yang
terjadi pada penderita ialah vertigo sentral.
11

Gambar 1. Uji dixx hallpike

b. Tes Kalori
Penderita berbaring dengan kepala fleksi 30°, sehingga kanalis
semisirkularis lateralis dalam posisi vertikal. Kedua telinga diirigasi
bergantian dengan air dingin (30°C) dan air hangat (44°C) masing-
masing selama 40 detik dan jarak setiap irigasi 5 menit. Nistagmus yang
timbul dihitung lamanya sejak permulaan irigasi sampai hilangnya
nistagmus tersebut (normal 90-150 detik). Tes ini dapat menententukan
adanya kanal paresis atau directional preponderance ke kiri atau ke
kanan. Kanal paresis adalah abnormalitas yang ditemukan di satu
telinga, baik setelah rangsang air hangat maupun air dingin, sedangkan
directional preponderance ialah abnormalitas ditemukan pada arah
nistagmus yang sama di masing-masing telinga. Kanal paresis
menunjukkan lesi perifer di labirin atau n.VIII, sedangkan directional
preponderance menunjukkan lesi sentral.
c. Elektronistagmogram
Pemeriksaan ini hanya dilakukan di rumah sakit dengan tujuan untuk
merekam gerakan mata pada nistagmus sehingga nistagmus tersebut
dapat dianalisis secara kuantitatif.
12

2. Tes Fungsi Pendengaran :


a. Tes Garpu Tala
Tes ini digunakan untuk membedakan tuli konduktif dan tuli perseptif,
dengan tes-tes Rinne, Weber dan Schwabach. Pada tuli konduktif, tes
Rinne negatif, Weber lateralisasi ke yang tuli dan schwabach
memendek.
b. Audiometri
Ada beberapa macam pemeriksaan audiometri seperti Ludness Balance
Test, SISI, Bekesy Audiometry, dan Tone Decay. Pemeriksaan saraf-
saraf otak lain meliputi: acies visus, kampus visus, okulomotor, sensorik
wajah, otot wajah, pendengaran dan fungsi menelan. Juga fungsi
motorik (kelumpuhan ekstremitas), fungsi sensorik (hipestesi, parestesi)
dan serebelar (tremor, gangguan cara berjalan).4
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium rutin atas darah dan urin, dan pemeriksaan lain
sesuai indikasi
2. Foto Rontgen tengkorak, leher, Stenvers (pada neurinoma akustik).
3. Neurofisiologi Elektroensefalografi (EEG), Elektromiografi (EMG), Brainstem
Auditory Evoked Potential (BAEP).
4. Pencitraan CT-scan, arteriografi, magnetic resonance imaging (MRI).

2.7 PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan Medikamentosa

Secara umum, penatalaksanaan medikamentosa mempunyai tujuan utama:

(i) mengeliminasi keluhan vertigo


(ii) memperbaiki proses-proses kompensasi vestibuler
13

(iii) mengurangi gejala-gejala neurovegetatif ataupun psikoafektifTatalaksana


vertigo terbagi menjadi tatalaksana non farmakologi, farmakologi, dan
operasi.

Penatalaksanaan vertigo bergantung pada lama keluhan dan ketidaknyamanan


akibat gejala yang timbul serta patologi yang mendasarinya. Pada vertigo, beberapa
tindakan spesifi k dapat dianjurkan untuk mengurangi keluhan vertigo. Tatalaksana
non farmakologi dapat dilakukan dengan pemberian terapi dengan manuver reposisi
partikel / Particle Repositioning Maneuver (PRM) yang dapat secara efektif
menghilangkan vertigo pada BPPV, meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi
risiko jatuh pada pasien. Keefektifan dari manuver-manuver yang ada bervariasi
mulai dari 70%-100%. Efek samping yang dapat terjadi dari melakukan manuver
seperti mual, muntah, vertigo, dan nistagmus. Hal ini terjadi karena adanya debris
otolitith yang tersumbat saat berpindah ke segmen yang lebih sempit misalnya saat
berpindah dari ampula ke kanal bifurcasio. Setelah melakukan manuver hendaknya
pasien tetap berada pada posisi duduk minimal 10 menit untuk menghindari risiko
jatuh. Tujuan dari manuver yang dilakukan adalah untuk mengembalikan partikel ke
posisi awalnya yaitu pada makula utrikulus. Ada lima manuver yang dapat dilakukan,
antara lain:

a. Manuver Epley, manuver Epley adalah yang paling sering digunakan pada
kanal vertikal. Pasien diminta untuk menolehkan kepala ke sisi yang sakit
sebesar 45° lalu pasien berbaring dengan kepala tergantung dan dipertahankan
1-2 menit. Lalu kepala ditolehkan 90° ke sisi sebaliknya, dan posisi supinasi
berubah menjadi lateral dekubitus dan dipertahan 3060 detik. Setelah itu
pasien mengistirahatkan dagu pada pundaknya dan kembali ke posisi duduk
secara perlahan.
14

Gambar 1 . Epley Manuver

b. Manuver Semont, manuver ini diindikasikan untuk pengobatan


cupulolithiasis kanan posterior. Jika kanal posterior terkena, pasien diminta
duduk tegak, lalu kepala dimiringkan 45° ke sisi yang sehat, lalu secara cepat
bergerak ke posisi berbaring dan dipertahankan selama 1-3 menit. Ada
nistagmus dan vertigo dapat diobservasi. Setelah itu pasien pindah ke posisi
berbaring di sisi yang berlawanan tanpa kembali ke posisi duduk lagi.
15

Gambar 2. Semount manuver

c. Manuver Lempert, manuver ini dapat digunakan pada pengobatan BPPV tipe
kanal lateral. Pasien berguling 360° yang dimulai dari posisi supinasi lalu
pasien menolehkan kepala 90° ke sisi yang sehat, diikuti dengan membalikkan
tubuh ke posisi lateral dekubitus. Lalu kepala menoleh ke bawah dan tubuh
mengikuti ke posisi ventral dekubitus. Pasien kemudian menoleh lagi 90° dan
tubuh kembali ke posisi lateral dekubitus lalu kembali ke posisi supinasi.
Masing-masing gerakan dipertahankan selama 15 detik untuk migrasi lambat
dari partikel-partikel sebagai respon terhadap gravitasi.
16

Gambar 3 : lempert manuver

d. Forced Prolonged Position, manuver ini digunakan pada BPPV tipe kanal
lateral. Tujuannya adalah untuk mempertahankan kekuatan dari posisi lateral
dekubitus pada sisi telinga yang sakit dan dipertahankan selama 12 jam.
e. Brandt-Daroff exercise, manuver ini dikembangkan sebagai latihan untuk di
rumah dan dapat dilakukan sendiri oleh pasien sebagai terapi tambahan pada
pasien yang tetap simptomatik setelah manuver Epley atau Semont. Latihan
ini juga dapat membantu pasien menerapkan beberapa posisi sehingga dapat
menjadi kebiasaan.4
17

Gambar 4. Brandt daroff exercise

TERAPI FARMAKOLOGIS

Penatalaksanaan dengan farmakologi untuk tidak secara rutin dilakukan.


Beberapa pengobatan hanya diberikan untuk jangka pendek untuk gejala-gejala
vertigo, mual dan muntah yang berat yang dapat terjadi pada pasien BPPV,
seperti setelah melakukan terapi PRM. Pengobatan untuk vertigo yang disebut
juga pengobatan suppresant vestibular yang digunakan adalah golongan
benzodiazepine (diazepam, clonazepam) dan antihistamine (meclizine,
dipenhidramin). Benzodiazepines dapat mengurangi sensasi berputar namun dapat
mengganggu kompensasi sentral pada kondisi vestibular perifer. Antihistamine
mempunyai efek supresif pada pusat muntah sehingga dapat mengurangi mual
dan muntah karena motion sickness. Harus diperhatikan bahwa benzodiazepine
dan antihistamine dapat mengganggu kompensasi sentral pada kerusakan
18

vestibular sehingga penggunaannya diminimalkan. Berikut beberapa golongan


obat yang dapat digunakan untuk penanganan vertigo di antaranya adalah:

a. Antikolinergik
Antikolinergik merupakan obat pertama yang digunakan untuk penanganan
vertigo, yang paling banyak dipakai adalah skopolamin dan homatropin.
Kedua preparat tersebut dapat juga dikombinasikan dalam satu sediaan
antivertigo. Antikolinergik berperan sebagai supresan vestibuler melalui
reseptor muskarinik. Pemberian antikolinergik per oral memberikan efek rata-
rata 4 jam, sedangkan gejala efek samping yang timbul terutama berupa
gejala-gejala penghambatan reseptor muskarinik sentral, seperti gangguan
memori dan kebingungan (terutama pada populasi lanjut usia), ataupun gejala-
gejala penghambatan muskarinik perifer, seperti gangguan visual, mulut
kering, konstipasi, dan gangguan berkemih.
b. Antihistamin
Penghambat reseptor histamin-1 (H-1 blocker) saat ini merupakan antivertigo
yang paling banyak diresepkan untuk kasus vertigo,dan termasuk di antaranya
adalah difenhidramin, siklizin, dimenhidrinat, meklozin, dan prometazin.
Mekanisme antihistamin sebagai supresan vestibuler tidak banyak diketahui,
tetapi diperkirakan juga mempunyai efek terhadap reseptor histamin sentral.
Antihistamin mungkin juga mempunyai potensi dalam mencegah dan
memperbaiki “motion sickness”. Efek sedasi merupakan efek samping utama
dari pemberian penghambat histamin-1. Obat ini biasanya diberikan per oral,
dengan lama kerja bervariasi mulai dari 4 jam (misalnya, siklizin) sampai 12
jam (misalnya, meklozin).
c. Hitaminergik
Obat kelas ini diwakili oleh betahistin yang digunakan sebagai antivertigo di
beberapa negara Eropa, tetapi tidak di Amerika. Betahistin sendiri merupakan
prekrusor histamin. Efek antivertigo betahistin diperkirakan berasal dari efek
19

vasodilatasi, perbaikan aliran darah pada mikrosirkulasi di daerah telinga


tengah dan sistem vestibuler. Pada pemberian per oral, betahistin diserap
dengan baik, dengan kadar puncak tercapai dalam waktu sekitar 4 jam. efek
samping relatif jarang, termasuk di antaranya keluhan nyeri kepala dan mual.
d. Antidopaminergik
Antidopaminergik biasanya digunakan untuk mengontrol keluhan mual pada
pasien dengan gejala mirip-vertigo. Sebagian besar
antidopaminergik merupakan neuroleptik. Efek antidopaminergik pada
vestibuler tidak diketahui dengan pasti, tetapi diperkirakan bahwa
antikolinergik dan antihistaminik (H1) berpengaruh pada sistem vestibuler
perifer. Lama kerja neuroleptik ini bervariasi mulai dari 4 sampai 12 jam.
Beberapa antagonis dopamin digunakan sebagai antiemetik, seperti
domperidon dan metoklopramid. Efek samping dari antagonis dopamin ini
terutama adalah hipotensi ortostatik, somnolen, serta beberapa keluhan yang
berhubungan dengan gejala ekstrapiramidal, seperti diskinesia tardif,
parkinsonisme, distonia akut, dan sebagainya.
e. Benzodiazepin
Benzodiazepin merupakan modulator GABA, yang akan berikatan di tempat
khusus pada reseptor GABA. Efek sebagai supresan vestibuler diperkirakan
terjadi melalui mekanisme sentral. Namun, seperti halnya obat-obat sedatif,
akan memengaruhi kompensasi vestibuler. Efek farmakologis utama dari
benzodiazepin adalah sedasi, hipnosis, penurunan kecemasan, relaksasi otot,
amnesia anterograd, serta antikonvulsan. Beberapa obat golongan ini yang
sering digunakan adalah lorazepam, diazepam, dan klonazepam.
f. Antagonis kalsium, Obat-obat golongan ini bekerja dengan menghambat
kanal kalsium di dalam sistem vestibuler, sehingga akan mengurangi jumlah
ion kalsium intrasel. Penghambat kanal kalsium ini berfungsi sebagai
supresan vestibuler. Flunarizin dan sinarizin merupakan penghambat kanal
kalsium yang diindikasikan untuk penatalaksanaan vertigo; kedua obat ini
20

juga digunakan sebagai obat migren. Selain sebagai penghambat kanal


kalsium, ternyata flunarizin dan sinarizin mempunyai efek sedatif,
antidopaminergik, serta antihistamin-1. Flunarizin dan sinarizin dikonsumsi
per oral. Flunarizin mempunyai waktu paruh yang panjang, dengan kadar
mantap tercapai setelah 2 bulan, tetapi kadar obat dalam darah masih dapat
terdeteksi dalam waktu 2-4 bulan setelah pengobatan dihentikan. Efek
samping jangka pendek dari penggunaan obat ini terutama adalah efek sedasi
dan peningkatan berat badan. Efek jangka panjang yang pernah dilaporkan
ialah depresi dan gejala parkinsonisme, tetapi efek samping ini lebih banyak
terjadi pada populasi lanjut usia.
g. Simpatomimetik, termasuk efedrin dan amfetamin, harus digunakan secara
hati-hati karena adanya efek adiksi.

Operasi dapat dilakukan pada pasien BPPV yang telah menjadi kronik dan sangat
sering mendapat serangan BPPV yang hebat, bahkan setelah melakukan manuver-
manuver yang telah disebutkan di atas. Dari literatur dikatakan indikasi untuk
melakukan operasi adalah pada intractable BPPV, yang biasanya mempunyai klinis
penyakit neurologi vestibular, tidak seperti BPPV biasa.Terdapat dua pilihan
intervensi dengan teknik operasi yang dapat dipilih, yaitu singular neurectomy
(transeksi saraf ampula posterior) dan oklusi kanal posterior semisirkular. Namun
lebih dipilih teknik dengan oklusi karena teknik neurectomi mempunyai risiko
kehilangan pendengaran yang tinggi.5
21
22

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Vertigo merupakan kumpulan gejala atau sindrom yang terjadi akibat gangguan
keseimbangan pada sistem vestibular ataupun gangguan pada sistem saraf pusat.
Vertigo ditemukan dalam bentuk keluhan berupa rasa berputar, atau rasa bergerak
dari lingkungan sekitar namun kadang ditemukan keluhan berupa rasa didorong atau
ditarik menjauhi bidang vertikal.

Diagnosis vertigo meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan


penunjang. tatalaksana vertigo terbagi dalam non farmakologi, farmakologi, dan
operasi. Pada anamnesis ditanyakan bentuk vertigo, keadaan yang memprovokasi
timbulnya vertigo, profil waktu timbulnya vertigo, gangguan pendengaran, dan
penggunaan obat-obatan. Pemeriksaan fisik yang dilakukan yaitu pengukuran tekanan
darah dengan berbagai posisi. Sedangkan pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan diantaranya pemeriksaan neurologis, pemeriksaan oto-neurologi, dan tes
fungsi pendengaran.

Tatalaksana vertigo terbagi dalam non farmakologi, farmakologi dan operasi.


Tatalaksana non farmakologi terdapat lima jenis manuver yang dapat dilakukan
sendiri di rumah.
23

DAFTAR PUSTAKA
1. Munir B. 2017. Neurologi Dasar. Ed 2. Jakarta: Sagung Seto. Pp: 187-192
2. Harsono. Buku ajar neurologi klinis. Edisi ketiga. Yogyakarta: Gadjah mada
university press; 2005. h.67-70.
3. Akbar, Muhammad. Diagnosis Vertigo. Bagian Ilmu penyakit saraf fakultas
Kedokteran Hasanuddin Makasar.2013
4. Susianti, Melly. Diagnosis dan tatalaksana Vertigo. Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung. Oktober 2016.
5. Medical Departement.Vertigo. PT Kalbe Farma Tbk, Jakarta Indonesia. 2012
6. Edward, Yen.Diagnosis dan Tatalaksana Benign Paroxymal Positional Vertigo
(BPPV) Horizontal Berdasarkan Head Roll Test. Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas. 2014.
7. Thifal, Saraswati Qonitah.Vertigo : penyakit meniere. Departemen Klinik Ilmu
Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional “veteran”
jakarta.Desember 2017.
8. C.Li john. Benign paroxysmal positional vertigo. Medscape. 2018
9. Solomon David. Benign paroxysmal positional vertigo. Departement of neurology
Pennyslvania 2000

Anda mungkin juga menyukai