Mayeri Ilmiah
Mayeri Ilmiah
PENDAHULUAN
1
angka kejadian ISPA tahun 2007 sebanyak 209.775 kasus, pada tahun 2008
sebanyak 282.661 kasus, pada tahun 2009 sebanyak 277.320 kasus.
Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya ISPA pada balita
antara lain: status gizi, umur, pemberian ASI tidak memadai, keteraturan
pemberian vitamin A, BBLR, imunisasi tidak lengkap, polusi udara,
kepadatan tempat tinggal, tingkat sosial ekonomi dan pendidikan. Dengan
mengetahui faktor-faktor risiko terjadinya ISPA maka pencegahan pun
dapat dilakukan dengan mengintervensi faktor risiko, baik yang berasal dari
diri individu maupun lingkungan sekitar.
Selain pencegahan, pengobatan kasus infeksi saluran pernafasan
akut merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Pemberian obat
dengan dosis, cara dan waktu yang tepat sangat membantu proses
percepatan penyembuhan. Penatalaksanaan terapi di Puskesmas sudah
disusun oleh Departemen Kesehatan R.I. Sebagi terapi pilihan dengan obat
adalah menggunakan amoksisilin atau dengan kotrimoksasol, atau bisa
merupakan campuran dari keduanya.
Pentingnya mengetahui pola pencegahan pada penyakit ISPA
merupakan hal yang mendasari penulis untuk meneliti pola pencegahan
balita yang menderita ISPA di Puskesmas Tebing Tinggi periode 20
November - 20 Desember 2017.
2
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui pola pencegahan balita yang menderita ISPA di
Puskesmas Tebing Tinggi periode 20 November - 20 Desember 2017.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui distribusi frekuensi balita yang datang berobat di
Puskesmas Tebing Tinggi periode 20 November - 20 Desember
2017.
2. Mengetahui distribusi frekuensi balita yang menderita ISPA di
Puskesmas Tebing Tinggi periode 20 November - 20 Desember
2017.
3. Mengetahui faktor risiko yang memengaruhi kejadian ISPA pada
balita di Puskesmas Tebing Tinggi periode 20 November - 20
Desember 2017.
3
pencegahan Puskesmas Tebing Tinggi periode 20 November - 20
Desember 2017.
4. Bagi Perawat Komunitas
Informasi yang diperoleh dapat menjadi informasi dalam melaksanakan
asuhan keperawatan komunitas pada keperawatan balita untuk
menurunkan angka kesakitan balita khususnya penyakit ISPA.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Etiologi2
Etiologi ISPA terdiri dari lebih 300 jenis bakteri, virus dan
ricketsia. Bakteri penyebeb ISPA antara lain dari genus Streptokokus,
Stafilokokus, Pnemokokus, Hemofillus, Bordetella dan
Korinobakterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan
Mikosovirus (virus influenza dan parainfluenza), Adenovirus,
Koronavirus, Pikornavirus.
5
6. ASI eksklusif
7. Suplemen vitamin A
8. Lingkungan
- Lingkungan padat penduduk
- Udara yang tercemar akibat asap rokok pabrik atau
kendaraan bermotor.
6
Napas cepat
Hitung frekuensi napas dalam satu menit. Frekuensi napas
dapat dihitung dengan menggunakan timer, jam digital, atau
jam dengan jarum. Berikut ini batas napas cepat pada anak.
7
Klasifikasi dan Tindakan Anak Batuk dan Sukar Bernapas5,6
Berikut ini bagan Klasifikasi dan Tindakan Batuk dan atau Sukar
Bernapas Pada Anak Umur 2 bulan - < 5 tahun
8
Gambar 3. Bagan Klasifikasi dan Tindakan Batuk dan atau Sukar
Bernapas Pada Anak Umur 2 bulan - < 5 tahun
9
Berikut ini bagan Klasifikasi dan Tindakan Batuk dan atau Sukar
Bernapas Pada Anak Umur < 2 Bulan
10
Tabel 2.3 Dosis Antibiotik Oral Anak Umur < 2 bulan
11
Gambar 5. Skema tatalaksana wheezing pada anak
12
susu ibu sangat besar peranannya dalam pembentukan daya tahan tubuh bayi
dan sebagai imunisasi aktif. Air susu ibu dapat memberi perlindungan kepada
tubuh bayi melalui berbagai zat kekebalan yang ada di dalamnya serta asupan
nutrisi untuk beraktivitas.9
c. Imunisasi dasar
Cara untuk menumbuhkan kekebalan terhadap berbagai macam
penyakit adalah melalui pemberian imunisasi. Pemberian imunisasi dapat
menurunkan risiko untuk terkena ISPA. Misalnya, anak yang belum pernah
mendapatkan imunisasi campak mempunyai risiko yang lebih tinggi
mengalami kematian akibat pneumonia, terutama pada anak yang sedang
menderita pneumonia. Cara pertama vaksinasi membantu mencegah anak-
anak dari infeksi yang berkembang langsung yang menyebabkan pneumonia,
misalnya Haemophilus influenzae type b (Hib) dan cara kedua imunisasi dapat
mencegah infeksi yang dapat menyebabkan pneumonia sebagai komplikasi
dari penyakit (misalnya campak dan pertussis). Pemberian imunisasi
diupayakan lengkap untuk menghindari faktor yang dapat meningkatkan
mortalitas akibat pneumonia.10
d. Udara lingkungan
Sumber pencemaran udara dapat dikategorikan menjadi alamiah dan
kegiatan manusia (antropogenic).Sumber antropogenic utamanya adalah
kendaraan bermotor, rumah tangga, serta kegiatan lainnya seperti merokok.
Adanya anggota keluarga yang merokok di dalam ruangan dan di dekat balita
tidak baik untuk kesehatan terutama kesehatan saluran pernapasan. Merokok
pasif yang didapat balita dari kebiasaan orang tuanya dapat mengganggu
pernapasan anak.11
e. Kepadatan dan kebersihan tempat tinggal
Pencegahan ISPA akan berhasil jika diciptakan lingkungan hidup
yang baik, misalnya dengan mengurangi kepadatan penduduk, memperbaiki
ventilasi rumah, membuat sistem dapur yang baik dengan membatasi
terhisapnya asap dari kompor, meningkatkan hygiene perorangan dan
sebagainya.12
13
f. Kondisi sosial ekonomi orang tua
Faktor sosial ekonomi merupakan salah satu yang yang berkontribusi
utama dalam penyakit pernapasan. Status ekonomi secara umum yang
berhubungan dengan insiden ISPA diukur dari besarnya rumah tangga,
banyaknya kamar, dan banyaknya orang yang menghuni tiap kamar.
Masyarakat miskin juga identik dengan ketidakmampuannya dalam
pemenuhan kebutuhan dasar. Balita yang hidup dalam keluarga dengan sosial
ekonomi rendah cenderung kurang mendapat asupan makanan yang cukup
sehingga lebih rentan terkena penyakit. Sosial ekonomi yang rendah dapat
memengaruhi upaya pencarian pengobatan.13
14
dipatuhi oleh pasien. Misalnya waktu sarapan, makan tengahari atau makan
malam. Sebaiknya elakkan waktu-waktu tertentu seperti tengah malam karena
akan menyukarkan pasien.14
15
BAB III
METODE PENELITIAN
16
c. Variabel Penelitian
Variabel penelitian meliputi:
1. Variabel independen:
Pola pencegahan : status gizi, ASI eksklusif, imunisasi dasar, polusi udara,
kepadatan tempat tinggal, kebersihan lingkungan, sosial ekonomi
2. Variabel dependen: balita yang menderita ISPA
3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Definisi operasional untuk setiap variabel adalah sebagai berikut
1. Balita yang Menderita ISPA
Definisi : Anak laki-laki dan perempuan yang berusia ≥12 bulan –
60 bulan (5 tahun) yang menderita infeksi saluran
pernapasan akut yang berobat ke Puskesmas 4 Ulu, 5 Ilir
dan Kampus kota Palembang periode April 2016.
Alat Ukur : Diagnosis
Cara Ukur : anamnesis, pemeriksaan fisik, penegakan diagnosis
Hasil Ukur ; Balita ISPA : menderita infeksi saluran pernapasan
akut (Common cold, Flu (Influenza), Rhinosinusitis atau
Sinusitis, Tonsilitis, Faringitis, atau Tonsilofaringitis
(Radang Tenggorokan), Abses peritonsilar, Otitis Media
Akut (Infeksi telinga tengah), Epiglotitis, Laringitis,
Trakeitis, Bronkitis, Bronkiolitis, Pneumonia, Pleuritis.
Balita bukan ISPA : bukan menderita infeksi saluran
pernapasan akut
2. Status Gizi
Definisi :ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi untuk
balita yang diindikasikan oleh berat badan dan tinggi
badan balita
Alat Ukur : timbangan berat badan, kurva WHO
Cara Ukur : wawancara dan pengukuran antropometri
17
Hasil Ukur : Gizi Lebih > + 2 SD
Gizi Baik ≥ -2 SD sampai +2 SD
Gizi Kurang < -2 SD sampai ≥ -3 SD
3. ASI eksklusif
Definisi : Pemberian ASI (air susu ibu) sedini mungkin setelah
persalinan, diberikan tanpa jadwal dan tidak diberi
makanan lainsampai bayi berusia 6 bulan.
Alat Ukur : kuesioner
Cara Ukur : wawancara
Hasil Ukur : ASI eksklusif : pemberian ASI sedini mungkin tanpa
jadwal dan tidak diberi makanan lainsampai bayi berusia
6 bulan.
Non ASI eksklusif : pemberian ASI tidak sedini
mungkin tanpa jadwal dan telah diberi makanan lainsaat
bayi berusiakurang dari 6 bulan.
4. Polusi Udara
Definisi : Suatu kondisi di mana kualitas udara menjadi rusak dan
terkontaminasi oleh zat-zat, baik yang tidak berbahaya
maupun yang membahayakan kesehatan tubuh manusia.
Alat Ukur : Kuesioner
Cara Ukur : wawancara
Hasil Ukur : Kualitas udara baik :tidak terjadi penurunan jarak
pandang dan pengotoran debu serta asap rokok dimana-
mana yang berdampak terhadap kesehatan.
Kualitas udara buruk : terjadi penurunan jarak
pandang dan pengotoran debu serta asap rokok dimana-
mana yang berdampak terhadap kesehatan.
5. Kepadatan Tempat Tinggal
Definisi : Sejumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau
tempat tinggal. Dapat dikategorikan menjadi padat dan
tidak padat disesuaikan dengan ukuran tempat tinggal.
18
Alat Ukur : kuesioner
Cara Ukur : wawancara
Hasil Ukur : Lingkungan padat penduduk jika setiap 1 Km2
hanya dihuni oleh ≥ 300 jiwa.
Lingkungan tidak padat penduduk jika setiap 1 Km2
hanya dihuni oleh ≤ 300 jiwa.
6. Kebersihan Lingkungan
19
3.4 Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan untuk penelitian ini merupakan data primer
yang didapat dengan wawancara langsung kepada sampel.
20
3.6 Kerangka Operasional
Populasi
anggota keluarga dari pasien balita yang datang berobat di
Puskesmas Tebing Tinggi periode 20 November – 20
Desember 2017.
21
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
20 4 5 13 20
0
PustuPoskesdes
Polindes
Series1
22
Gambar Jumlah Fasilitas pelayanan Kesehatan di wilayah UPTD
Puskesmas Tebing Tinggi Tahun 2016
Desa siaga adalah desa yang memiliki kesiapan sumber daya dan
kemampuan untuk mencegah dan mengatasi masalah/ancaman kesehatan
(termasuk bencana dan kegawat-daruratan kesehatan) secara madiri dalam
rangka mewujudkan desa sehat. Tujuan desa siaga adalah untuk mewujudkan
masyarakat desa yang sehat, peduli, dan tanggap terhadap permasalahan
23
kesehatan di wilayahnya. Salah satu kriteria desa siaga adalah minimal
memiliki 1 (satu) Poskesdes (Pos Kesehatan Desa).
Gambar jumlah desa siaga dan desa siaga aktif di wilayah UPTD
Puskesmas Tebing Tinggi Tahun 2016
24
35
30
25
20
15
10
Series1 Series2
25
4.2.2 Distribusi Pekerjaan Responden
Tabel 2. Distribusi Sampel Berdasarkan Pekerjaan
Pekerjaan N %
Buruh 3 5.88%
IRT 21 41.18%
PNS 13 25.49%
Swasta 14 27.45%
Jumlah 51 100.00%
26
4.3 Pola Pencegahan Balita ISPA
Distribusi Pola Pencegahan Balita ISPA di Puskesmas Tebing Tinggi
Tabel 4. Distribusi Pola Pencegahan Balita ISPA di Puskesmas Tebing
Tinggi
Pola Pencegahan N %
Status Gizi
Normal 22 43.14%
Overweight 9 17.65%
Wasted 20 39.22%
ASI
ASI Eksklusif 21 41.18%
Non ASI Eksklusif 30 58.82%
Imunisasi Dasar
Imunisasi Dasar Lengkap 33 64.71%
Imunisasi Dasar Tidak Lengkap 18 35.29%
Polusi Udara
Baik 25 49.02%
Buruk 26 50.98%
Kepadatan Tempat Tinggal
Padat 29 56.86%
Tidak Padat 22 43.14%
KebersihanLingkungan
Bersih 18 35.29%
Tidak Bersih 33 64.71%
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui status gizi lebih balita ISPA
17,65%, Status gizi normal balita ISPA 43,14%. status gizi kurang balita
ISPA 39,22%. Secara umum balita yang menderita ISPA dalam penelitian
ini memiliki status gizi normal.
Balita ISPA yang mendapatkan ASI eksklusif 41,18% dan balita
ISPA yang tidak ASI eksklusif 58,82%. Secara umum balita ISPA dalam
penelitian ini tidak mendapatkan ASI eksklusif.
Balita ISPA yang sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap sebesar
64,71% sedangkan Balita ISPA yang tidak mendapatkan imunisasi dasar
27
lengkap sebesar 35,29%. Secara umum balita ISPA dalam penelitian ini
sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap.
Balita ISPA yang tinggal di daerah dengan polusi udara yang baik
sebesar 49,02% Sedangkan balita ISPA yang tinggal didaerah dengan polusi
udara yang buruk sebesar 50,98%. Secara umum balita ISPA dalam
penelitian ini tinggal didaerah dengan polusi udara buruk.
Balita ISPA yang tinggal di daerah dengan lingkungan padat 56,86%
Sedangkan balita ISPA yang tinggal di lingkungan yang tidak padat sebesar
43,14%. Secara umum balita ISPA dalam penelitian ini lebih banyak tinggal
di daerah lingkungan padat.
Balita ISPA yang tinggal dilingkungan bersih sebesar 35,29%
sedangkan balita ISPA yang tinggal didaerah lingkungan kotor sebesar
64,71%. Secara umum balita ISPA dalam penelitian ini tinggal didaerah
yang lingkungannya kotor.
4.4 Pembahasan
Berikut ini adalah pembahasan hasil penelitian mengenai pola
pencegahan balita yang menderita ISPA di Puskesmas Tebing Tinggi
periode 20 November - 20 Desember 2017.
Pada anak yang mengalami kurang gizi pada tingkat ringan atau
sedang masih dapat beraktifitas, tetapi bila diamati dengan seksama
badannya akan mulai kurus, stamina dan daya tahan tubuhnya pun
menurun, sehingga mempermudah untuk terjadinya penyakit infeksi.
Secara umum balita ISPA dalam penelitian ini memiliki gizi normal
sehingga penelitian ini tidak sebanding dengan penelitian yang dilakukan
oleh Andarini pada tahun 2015 bahwa balita dengan gizi buruk akan lebih
mudah terkena ISPA. Perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya dapat disebabkan oleh perbedaan lokasi penelitian.
Pemberian ASI eksklusif berhubungan erat dengan kejadian ISPA.
Hal ini dikarenakan ASI mengandung kolostrum yang banyak mengandung
antibodi, salah satunya adalah BALT yang menghasilkan antibodi terhadap
28
infeksi saluran pernapasan. Selain itu ASI juga mengandung vitamin A yang
dapat memberikan perlindungan terhadap infeksi dan alergi. Secara umum
balita yang mengalami ISPA dalam penelitian ini tidak mendapatkan ASI
eksklusif. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Abbas
(2010) di rumah susun bandung bandowoso pucang gading yang
menyatakan bahwa anak yang diberi ASI eksklusif lebih jarang terkena
ISPA dibandingkan dengan anak non ASI eksklusif.
Pada penelitian ini didapatkan bahwa balita ISPA banyak yang telah
mendapatkan imunisasi dasar lengkap. Hal ini tidak sebanding dengan
penelitian yang dilakukan Tupasi (1985, dalam Suhandayani, 2007)
menyebutkan bahwa ketidakpatuhan imunisasi berhubungan dengan
peningkatan penderita ISPA. Penelitian lain yang dilakukan oleh Sievert
pada tahun 1993 menyebutkan bahwa imunisasi yang lengkap dapat
memberikan peranan yang cukup berarti mencegah kejadian ISPA. Bayi dan
balita yang pernah terserang campak dan selamat akan mendapat kekebalan
alami terhadap pnemonia sebagai komplikasi campak. Sebagian besar
kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang
dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusi, campak, maka
peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya
pemberatasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan
mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang
mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan
perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi berat. Perbedaan hasil
penelitian ini dengan penelitian sebelumnya dapat disebabkan oleh
perbedaan lokasi penelitian dan periode penelitian.
Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak
dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahan paru sehingga
akan memudahkan timbulnya ISPA. Hal ini dapat terjadi pada rumah yang
keadaan ventilasinya kurang dan dapur terletak di dalam rumah, bersatu
dengan kamar tidur, ruang tempat bayi dan anak balita bermain. Hal ini
lebih dimungkinkan karena bayi dan anak balita lebih lama berada di rumah
29
bersama ibunya sehingga dosis pencemaran tentunya akan lebih tinggi.
Hasil penelitian Maryani (2012) diperoleh adanya hubungan antara ISPA
dan polusi udara, diantaranya ada peningkatan risiko bronchitis, pneumonia
pada anak yang tinggal di daerah lebih terpolusi, dimana efek ini terjadi
pada kelompok umur 9 bulan dan 6 – 10 tahun. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian dimana didapatkan secara umum balita yang mengalami ISPA
dalam penelitian ini berada pada lingkungan dengan polusi udara yang
buruk.
Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor polusi
dalam rumah yang telah ada, selain itu tempat tinggal yang padat juga dapat
menyebakan mudahnya penularan berbagai penyakit. Menurut penelitian
Maryani (2012) didapatkan bahwa sebanyak 64,8% balita yang menderita
ISPA memiliki kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat, hal ini
menunjukkan bahwa ISPA lebih sering terjadi pada bailta yang tinggal di
lingkungan yang padat. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah
dilakukan, didapatkan secara umum balita yang mengalami ISPA dalam
penelitian ini berada pada lingkungan yang padat.
Kebersihan lingkungan merupakan hal yang harus diperhatikan. Hal
ini berkaitan dengan kualitas udara maupun tingkat penyebaran penyakit.
Semakin bersih lingkungan maka semakin kecil risiko terjadinya ISPA.
Secara umum balita yang mengalami ISPA dalam penelitian ini berada pada
lingkungan yang kotor. Hal ini sejalan dengan penelitian Maryani (2012)
rata-rata ISPA pada balita terjadi pada daerah yang memiliki kondisi
lingkungan yang buruk.
30
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
ISPA masih termasuk kedalam 10 penyakit terbanyak di setiap
puskesmas dan sangat sering menyerang balita. Pola pencegahan balita ISPA
yang mendapatkan ASI Eksklusif sebesar 41,18% , imunisasi lengkap sebesar
64,71%, polusi udara yang baik 49,02%, lingkungan yang tidak padat
43,14%, serta balita yang tinggal di lingkungan bersih sebesar 35,29%.
Secara umum orang tua balita ISPA sudah melakukan pola pencegahan dan
pengobatan ISPA pada anak mereka, akan tetapi pencegahan dan pengobatan
perlu ditingkatkan untuk mengurangi angka kejadian ISPA pada balita.
5.2 Saran
Untuk responden
1. Orang tua bayi/balita diharapkan memberikan ASI Eksklusif dan imunisasi
lengkap untuk anak mereka agar dapat meningkatkan daya tahan tubuh anak.
2. Orang tua bayi/balita diharapkan memberikan makanan tambahan sesuai
dengan usia perkembangan anak untuk menjaga kecukupan gizi.
3. Orang tua bayi/balita diharapkan aktif ke posyandu untuk memantau
tumbuh kembang anak tiap bulan.
4. Orang tua bayi/balita diharapkan melakukan perilaku hidup bersih dan
sehat dalam kehidupan sehari – hari untuk menjaga kesehatan anak.
5. Orang tua bayi/balita diharapkan langsung membawa anak mereka berobat
ke balai pengobatan terdekat apabila anak menderita ISPA untuk mencegah
penularan ISPA ke anggota keluarga.
` Untuk Puskesmas
1. Puskesmas Tebing Tinggi diharapkan lebih giat dalam melakukan
program pengendalian ISPA untuk menurunkan angka kejadian ISPA
seperti melakukan penyuluhan, kunjungan rumah bagi pasien ISPA dan
bekerjasama dengan pemerintah untuk mengurangi faktor risiko ISPA
pada balita.
31
Untuk Penelitian Selanjutnya
1. Diharapkan penelitian selanjutnya dilakukan dalam periode waktu yang
lebih lama dan jumlah sampel yang lebih besar.
2. Diharapkan lokasi penelitian selanjutnya dilakukan dalam ruang lingkup
Puskesmas yang lebih luas.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Catzel, Pincus & Ian robets. (1990). Kapita Seleta Pediatri Edisi II. alih
bahasa oleh Dr. yohanes gunawan. Jakarta: EGC.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal PPM &
PLP. Pedoman Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA). Jakarta. 2012.
3. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan. Profil Dinas Kesehatan
Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2009. Palembang. 2009
4. Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia Pada Anak
Balita, Orang Dewasa, Usia Lanjut. Pustaka Populer Obor. Jakarta
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal PPM &
PLP. Modul Tatalaksana Standar Pneumonia. Jakarta. 2012
6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Manajemen Terpadu Balita
Sakit. Jakarta. 2008.
7. Puskesmas Basuki Rahmat. Profil Puskesmas Basuki Rahmat. Palembang.
2015.
8. Ellyana dan Candra. 2013. Hubungan Frekuensi ISPA dengan Status Gizi
Balita. Journal of Nutritional and Health. Vol.1, No.1
9. WHO, 2014. Short-term effects of breastfeeding : a systematic review on
the benefits of breastfeeding on diarrhoea and pneumonia mortality.
10. IDAI, 2011. Pedoman Imunisasi di Indonesia. edisi ke-4. Satgas Imunisasi
IDAI
11. Sunyataningkamto, 2004. The Role of Indoor Air Pollution and Other
Factors in the Incidence of Pneumonia in Under Five Children. Paediatrica
Indonesiana, 44, hal.1–2.
12. Dinas Pekerjaan Umum. 2006. Pedoman Umum Rumah Sederhana Sehat.
Jakarta : Departemen Pekerjaan Umum RI.
13. Herman, 2002. "Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Pneumonia pada Anak Balita di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera
Selatan". Jakarta : Universitas Indonesia.
33
14. Direktorat Jenderal PP dan PL, Departemen Kesehatan RI. 2004. Pedoman
Pemberantasan Penyakit ISPA Untuk Penanggulangan Pneumonia. Jakarta
: Depkes RI.
15. Andarini, S., Asmika., dan Noviana A., Hubungan antara status gizi dan
tingkat konsumsi energi, protein, dengan frekuensi kejadian infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA) pada balita diwilayah kerja puskesmas gondanglegi,
kecematan gondang legi kabupaten malang. http://elibrary.ub.ac.id/. Tesis.
34