Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah proses infeksi akut
berlangsung selama 14 hari, yang disebabkan oleh mikroorganisme dan
menyerang salah satu bagian, dan atau lebih dari saluran napas, mulai dari
hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah), termasuk jaringan
adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura.1Gejala awal
yang timbul biasanya berupa batuk pilek, yang kemudian diikuti dengan
napas cepat dan napas sesak. Pada tingkat yang lebih berat terjadi kesukaran
bernapas dan tidak dapat minum. Usia Balita adalah kelompok yang paling
rentan dengan infeksi saluran pernapasan. Kenyataannya bahwa angka
morbiditas dan mortalitas akibat ISPA, masih tinggi pada balita di Negara
berkembang.
World Health Organization (WHO) memperkirakan insidens Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka
kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20%
pertahun pada golongan usia balita. Menurut WHO, 13 juta anak balita di
dunia meninggal setiap tahun dan sebagian besar kematian tersebut terdapat
di Negara berkembang, di mana pneumonia merupakan salah satu penyebab
utama kematian dengan membunuh 4 juta anak balita setiap tahun.2
Di Indonesia, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) selalu
menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan
balita. Selain itu ISPA juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak
di rumah sakit. Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun
2005 menempatkan ISPA/Pneumonia sebagai penyebab kematian bayi
terbesar di Indonesia dengan persentase 22,30% dari seluruh kematian
balita.3Data dari Dinas Kesehatan Kota Palembang tahun 2009 menyebutkan

1
angka kejadian ISPA tahun 2007 sebanyak 209.775 kasus, pada tahun 2008
sebanyak 282.661 kasus, pada tahun 2009 sebanyak 277.320 kasus.
Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya ISPA pada balita
antara lain: status gizi, umur, pemberian ASI tidak memadai, keteraturan
pemberian vitamin A, BBLR, imunisasi tidak lengkap, polusi udara,
kepadatan tempat tinggal, tingkat sosial ekonomi dan pendidikan. Dengan
mengetahui faktor-faktor risiko terjadinya ISPA maka pencegahan pun
dapat dilakukan dengan mengintervensi faktor risiko, baik yang berasal dari
diri individu maupun lingkungan sekitar.
Selain pencegahan, pengobatan kasus infeksi saluran pernafasan
akut merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Pemberian obat
dengan dosis, cara dan waktu yang tepat sangat membantu proses
percepatan penyembuhan. Penatalaksanaan terapi di Puskesmas sudah
disusun oleh Departemen Kesehatan R.I. Sebagi terapi pilihan dengan obat
adalah menggunakan amoksisilin atau dengan kotrimoksasol, atau bisa
merupakan campuran dari keduanya.
Pentingnya mengetahui pola pencegahan pada penyakit ISPA
merupakan hal yang mendasari penulis untuk meneliti pola pencegahan
balita yang menderita ISPA di Puskesmas Tebing Tinggi periode 20
November - 20 Desember 2017.

1.2 Rumusan Masalah


Dari uraian latar belakang diatas muncul pertanyaan penelitian
:Bagaimana karakteristik pola pencegahan balita yang menderita ISPA di
Puskesmas Tebing Tinggi periode 20 November - 20 Desember 2017?

2
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui pola pencegahan balita yang menderita ISPA di
Puskesmas Tebing Tinggi periode 20 November - 20 Desember 2017.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui distribusi frekuensi balita yang datang berobat di
Puskesmas Tebing Tinggi periode 20 November - 20 Desember
2017.
2. Mengetahui distribusi frekuensi balita yang menderita ISPA di
Puskesmas Tebing Tinggi periode 20 November - 20 Desember
2017.
3. Mengetahui faktor risiko yang memengaruhi kejadian ISPA pada
balita di Puskesmas Tebing Tinggi periode 20 November - 20
Desember 2017.

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Bagi Institusi
Penelitian ini di harapkan dapat bermanfaat dalam memberikan masukan
dan sebagai referensi ilmiah bagi mahasiswa dan dosen untuk penelitian
lebih lanjut.
2. Bagi Peneliti
Untuk menambah wawasan dan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan
penulis dan sebagai sarana dalam menerapkan teori yang telah di
peroleh selama mengikuti kuliah dan mengklasifikasikannya dilapangan
dalam bentuk penelitian terhadap pola pencegahan ISPA di Puskesmas
Tebing Tinggi periode 20 November - 20 Desember 2017.
3. Bagi Pihak Puskesmas
Informasi yang diperoleh dapat menjadi masukan dan menambah
wawasan bagi pengelola puskesmas dalam menyikapi masalah pola

3
pencegahan Puskesmas Tebing Tinggi periode 20 November - 20
Desember 2017.
4. Bagi Perawat Komunitas
Informasi yang diperoleh dapat menjadi informasi dalam melaksanakan
asuhan keperawatan komunitas pada keperawatan balita untuk
menurunkan angka kesakitan balita khususnya penyakit ISPA.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ISPA Pada Balita


2.1.1 Definisi
ISPA adalah infeksi akut yang menyerang salah satu/lebih dari saluran
pernapasan mulai dari hidung sampai alveoli termasuk adneksanya (sinus,
rongga telinga tengah dan pleura).4

Gambar 1. Kelompok Penyakit Termasuk ISPA

2.1.2 Etiologi2
Etiologi ISPA terdiri dari lebih 300 jenis bakteri, virus dan
ricketsia. Bakteri penyebeb ISPA antara lain dari genus Streptokokus,
Stafilokokus, Pnemokokus, Hemofillus, Bordetella dan
Korinobakterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan
Mikosovirus (virus influenza dan parainfluenza), Adenovirus,
Koronavirus, Pikornavirus.

2.1.3 Faktor Risiko3


Adapun faktor risiko ISPA pada balita yakni
1. Usia
2. Status gizi
3. Jenis kelamin
4. Imunisasi
5. Berat badan lahir

5
6. ASI eksklusif
7. Suplemen vitamin A
8. Lingkungan
- Lingkungan padat penduduk
- Udara yang tercemar akibat asap rokok pabrik atau
kendaraan bermotor.

2.1.4 Manifestasi Klinis


 Tanda dan gejala umum
Gejala dari penyakit infeksi saluran pernapasan pada balita
dapat berupa batuk, kesukaran bernapas, sakit tenggorokan,
pilek, nyeri pada telinga.5 Adapun tanda dari penyakit infeksi
saluran pernapasan pada balita yakni napas cepat, adanya
tarikan dinding dada, napas cuping hidung terdengar stridor,
ronki, dan wheezing.2,6

 Menilai anak batuk dan sukar bernapas5,6


Batuk dan atau kesukaran bernapas merupakan gejala
utama infeksi saluran pernapasan pada balita. Balita dengan
batuk dan atau kesukaran bernapas mungkin menderita
pneumonia, atau penyebab lain seperti batuk pilek biasa, croup,
bronkitis akut, bronkiolitis atau lingkungan yang berdebu.
Untuk itu diperlukan penilaian pada balita dengan batuk
dan atau kesukaran bernapas seperti bagan dibawah ini

6
 Napas cepat
Hitung frekuensi napas dalam satu menit. Frekuensi napas
dapat dihitung dengan menggunakan timer, jam digital, atau
jam dengan jarum. Berikut ini batas napas cepat pada anak.

Tabel 2.1 Batas Napas Cepat Pada Anak

 Tarikan dinding dada


Anak dikatakan mempunyai TDDK jika dinding dada
bagian bawah MASUK ke dalam ketika anak MENARIK
napas.

Gambar 2. Tarikan Dinding Dada Pada Anak

7
 Klasifikasi dan Tindakan Anak Batuk dan Sukar Bernapas5,6

1. Anak Umur 2 bulan - < 5 tahun


Tanda utama :
 Adanya tanda bahaya yaitu tidak bisa minum, kejang,
kesadaran menurun, stridor, serta gizi buruk.
 Adanya tarikan dinding dada kebelakang. Hal ini terjadi
bilaparu-paru menjadi kaku dan mengakibatkan perlunya
tenaga untuk menarik nafas.
 Tanda lain yang mungkin ada :
 Nafas cuping hidung.
 Suara rintihan.
 Sianosis (pucat).
a) Pneumonia tidak berat
Tanda Utama :
 Tidak ada tarikan dinding dada ke dalam.
 Di sertai nafas cepat :
 Lebih dari 50 kali/menit untuk usia 2 bulan – 1 tahun.
 Lebih dari 40 kali/menit untuk usia 1 tahun – 5 tahun.
b) Bukan pneumonia
Tanda utama :
 Tidak ada tarikan dinding dada kedalam.
 Tidak ada nafas cepat :
 Kurang dari 50 kali/menit untuk anak usia 2 bulan – 1
tahun.
 Kurang dari 40 kali/menit untuka anak usia 1 tahun – 5
tahun.

Berikut ini bagan Klasifikasi dan Tindakan Batuk dan atau Sukar
Bernapas Pada Anak Umur 2 bulan - < 5 tahun

8
Gambar 3. Bagan Klasifikasi dan Tindakan Batuk dan atau Sukar
Bernapas Pada Anak Umur 2 bulan - < 5 tahun

1. Anak umur kurang dari 2 bulan


Untuk anak dalam golongan umur ini, di klasifikasikan menjadi 2
yaitu :
a) Pneumonia berat
Tanda utama :
 Adanya tanda bahaya yaitu kurang bisa minum, kejang,
kesadaran menurun, stridor, wheezing, demm atau dingin.
 Nafas cepat dengan frekuensi 60 kali/menit atau lebih.
 Tarikan dinding dada ke dalam yang kuat.
b) Bukan pneumonia
Tanda utama :
 Tidak ada nafas cepat.
 Tidak ada tarikan dinding dada ke dalam.

9
Berikut ini bagan Klasifikasi dan Tindakan Batuk dan atau Sukar
Bernapas Pada Anak Umur < 2 Bulan

Gambar 4. Bagan Klasifikasi dan Tindakan Batuk dan atau Sukar


Bernapas Pada Anak Umur < 2 Bulan

2.1.5 Pengobatan 2,5,6


a. Antibiotik Oral
 Antibiotik oral pilihan pertama yaitu kotrimoksazol
 Antibiotik pilihan kedua yaituamoksisilin diberikan hanya
apabila obat pilihan pertama tidak tersedia atau apabila dengan
pemberian obat pilihan pertama tidak memberi hasil yang baik.
 Antibiotik diberikan selama 3 hari dengan jumlah pemberian 2
kali per hari.

Tabel 2.2 Dosis Antibiotik Oral Anak Umur 2 bulan - < 5


tahun

10
Tabel 2.3 Dosis Antibiotik Oral Anak Umur < 2 bulan

b. Obat penurun demam


 Jika suhu > 38,5°  diperlukan obat penurun panas yakni
paracetamol
 Jika suhu < 38,5°  obat penurun panas tidak diperlukan,
cukup dikompres dan diberi banyak minum.

Tabel 2.4 Dosis Paracetamol Pada Anak

c. Pengobatan jika terdengar wheezing


 Pada bayi berumur <2 bulan: wheezing merupakan tanda
bahaya dan harus dirujuk segera.
 Pada kelompok umur 2 bulan - <5 tahun: penatalaksanaan
wheezing dengan bronkhodilator tergantung dari apakah
wheezing itu merupakan episode pertama atau berulang.

11
Gambar 5. Skema tatalaksana wheezing pada anak

d. Konseling Ibu 5,6


Konseling Ibu terdiri dari
- Cara pemberian obat
- Jelaskan bahwa antibiotik harus diminum sampai habis meskipun
keadaan anak telah membaik
- Nasihati ibu tentang cara pemberian makan anak sesuai dengan
usianya
- Nasihati ibu tentang pemberian cairan pada anak
- Nasihati ibu kapan kembali segera yaitu
 Pernapasan menjadi sulit.
 Pernapasan menjadi cepat.
 Anak tidak mau minum.
 Sakit anak tampak lebih berat.

2.2 Pola pencegahan ISPA pada balita


a. Status gizi balita
Balita merupakan salah satu golongan paling rawan gizi. Masa balita
disebut juga masa vital, khususnya sampai usia dua tahun, karena adanya
perubahan yang cepat dan menyolok maka pemeliharan gizi sangat penting,
jika tidak akan mengganggu proses pertumbuhan secara maksimal. Keadaan
gizi merupakan gambaran apa yang dikonsumsi seseorang dalam jangka
waktu yang cukup lama. Infeksi memperburuk taraf gizi dan gangguan gizi
memperburuk imunitas balita.8
b. Pemberian ASI eksklusif
Efektivitas ASI dalam mengendalikan infeksi dapat dibuktikan dengan
berkurangnya kejadian beberapa penyakit spesifik pada bayi yang mendapat
ASI dibanding bayi yang mendapat susu formula. Penelitian oleh WHO
membuktikan bahwa pemberian ASI sampai usia dua tahun dapat menurunkan
angka kematian anak akibat penyakit diare dan infeksi saluran napas akut. Air

12
susu ibu sangat besar peranannya dalam pembentukan daya tahan tubuh bayi
dan sebagai imunisasi aktif. Air susu ibu dapat memberi perlindungan kepada
tubuh bayi melalui berbagai zat kekebalan yang ada di dalamnya serta asupan
nutrisi untuk beraktivitas.9
c. Imunisasi dasar
Cara untuk menumbuhkan kekebalan terhadap berbagai macam
penyakit adalah melalui pemberian imunisasi. Pemberian imunisasi dapat
menurunkan risiko untuk terkena ISPA. Misalnya, anak yang belum pernah
mendapatkan imunisasi campak mempunyai risiko yang lebih tinggi
mengalami kematian akibat pneumonia, terutama pada anak yang sedang
menderita pneumonia. Cara pertama vaksinasi membantu mencegah anak-
anak dari infeksi yang berkembang langsung yang menyebabkan pneumonia,
misalnya Haemophilus influenzae type b (Hib) dan cara kedua imunisasi dapat
mencegah infeksi yang dapat menyebabkan pneumonia sebagai komplikasi
dari penyakit (misalnya campak dan pertussis). Pemberian imunisasi
diupayakan lengkap untuk menghindari faktor yang dapat meningkatkan
mortalitas akibat pneumonia.10
d. Udara lingkungan
Sumber pencemaran udara dapat dikategorikan menjadi alamiah dan
kegiatan manusia (antropogenic).Sumber antropogenic utamanya adalah
kendaraan bermotor, rumah tangga, serta kegiatan lainnya seperti merokok.
Adanya anggota keluarga yang merokok di dalam ruangan dan di dekat balita
tidak baik untuk kesehatan terutama kesehatan saluran pernapasan. Merokok
pasif yang didapat balita dari kebiasaan orang tuanya dapat mengganggu
pernapasan anak.11
e. Kepadatan dan kebersihan tempat tinggal
Pencegahan ISPA akan berhasil jika diciptakan lingkungan hidup
yang baik, misalnya dengan mengurangi kepadatan penduduk, memperbaiki
ventilasi rumah, membuat sistem dapur yang baik dengan membatasi
terhisapnya asap dari kompor, meningkatkan hygiene perorangan dan
sebagainya.12

13
f. Kondisi sosial ekonomi orang tua
Faktor sosial ekonomi merupakan salah satu yang yang berkontribusi
utama dalam penyakit pernapasan. Status ekonomi secara umum yang
berhubungan dengan insiden ISPA diukur dari besarnya rumah tangga,
banyaknya kamar, dan banyaknya orang yang menghuni tiap kamar.
Masyarakat miskin juga identik dengan ketidakmampuannya dalam
pemenuhan kebutuhan dasar. Balita yang hidup dalam keluarga dengan sosial
ekonomi rendah cenderung kurang mendapat asupan makanan yang cukup
sehingga lebih rentan terkena penyakit. Sosial ekonomi yang rendah dapat
memengaruhi upaya pencarian pengobatan.13

2.3 Pola pengobatan ISPA pada balita


a. Tepat dosis
Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap
efek terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang
dengan rentang terapi yang sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek
samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya
kadar terapi yang diharapkan.
b. Tepat cara pemberian obat
Antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula
antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk ikatan,
sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan efektivtasnya.
c. Tepat lama pemberian
Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masingmasing.
Untuk tuberkulosis dan kusta, lama pemberian paling singkat adalah 6 bulan.
Lama pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10-14 hari.
Pemberian obat yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang seharusnya
akan berpengaruh terhadap hasil pengobatan.14
d. Tepat waktu pemberian
Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan
praktis, agar mudah ditaati oleh pasien. Tetapkanlah waktu yang mudah untuk

14
dipatuhi oleh pasien. Misalnya waktu sarapan, makan tengahari atau makan
malam. Sebaiknya elakkan waktu-waktu tertentu seperti tengah malam karena
akan menyukarkan pasien.14

15
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan
pendekatan observasional untuk mengetahui pola pencegahan balita yang
menderita ISPA di Puskesmas Tebing Tinggi periode 20 November – 20
Desember 2017.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakan di wilayah Puskesmas Tebing Tinggi
kabupaten Empat Lawang. Pengumpulan data dimulai pada tanggal 20
November – 20 Desember 2017.
3.2.1 Populasi dan Sampel Penelitian
3.2.2 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah anggota keluarga dari pasien
balita yang datang berobat di Puskesmas Tebing Tinggi periode 20
November – 20 Desember 2017.
3.2.3 Sampel
Pada penelitian ini dari populasi diambil sampel dengan menggunakan
teknik total sampling, yaitu anggotadari pasien balita yang menderita ISPA
yang datang berobat di Puskesmas Tebing Tinggi periode 20 November –
20 Desember 2017 yang memenuhi kriteria inklusi.
3.2.4 Kriteria Sampel
a. Kriteria Inklusi
 Anggota keluarga dari pasien balita yang didiagnosis menderita ISPA
 Bersedia menjadi responden.
b. Kriteria Eksklusi
 Anggota keluarga dari pasien balita yang menderita ISPA dengan penyakit
penyerta
 Tidak bersedia menjadi responden

16
c. Variabel Penelitian
Variabel penelitian meliputi:
1. Variabel independen:
Pola pencegahan : status gizi, ASI eksklusif, imunisasi dasar, polusi udara,
kepadatan tempat tinggal, kebersihan lingkungan, sosial ekonomi
2. Variabel dependen: balita yang menderita ISPA
3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Definisi operasional untuk setiap variabel adalah sebagai berikut
1. Balita yang Menderita ISPA
Definisi : Anak laki-laki dan perempuan yang berusia ≥12 bulan –
60 bulan (5 tahun) yang menderita infeksi saluran
pernapasan akut yang berobat ke Puskesmas 4 Ulu, 5 Ilir
dan Kampus kota Palembang periode April 2016.
Alat Ukur : Diagnosis
Cara Ukur : anamnesis, pemeriksaan fisik, penegakan diagnosis
Hasil Ukur ; Balita ISPA : menderita infeksi saluran pernapasan
akut (Common cold, Flu (Influenza), Rhinosinusitis atau
Sinusitis, Tonsilitis, Faringitis, atau Tonsilofaringitis
(Radang Tenggorokan), Abses peritonsilar, Otitis Media
Akut (Infeksi telinga tengah), Epiglotitis, Laringitis,
Trakeitis, Bronkitis, Bronkiolitis, Pneumonia, Pleuritis.
Balita bukan ISPA : bukan menderita infeksi saluran
pernapasan akut

2. Status Gizi
Definisi :ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi untuk
balita yang diindikasikan oleh berat badan dan tinggi
badan balita
Alat Ukur : timbangan berat badan, kurva WHO
Cara Ukur : wawancara dan pengukuran antropometri

17
Hasil Ukur : Gizi Lebih > + 2 SD
Gizi Baik ≥ -2 SD sampai +2 SD
Gizi Kurang < -2 SD sampai ≥ -3 SD
3. ASI eksklusif
Definisi : Pemberian ASI (air susu ibu) sedini mungkin setelah
persalinan, diberikan tanpa jadwal dan tidak diberi
makanan lainsampai bayi berusia 6 bulan.
Alat Ukur : kuesioner
Cara Ukur : wawancara
Hasil Ukur : ASI eksklusif : pemberian ASI sedini mungkin tanpa
jadwal dan tidak diberi makanan lainsampai bayi berusia
6 bulan.
Non ASI eksklusif : pemberian ASI tidak sedini
mungkin tanpa jadwal dan telah diberi makanan lainsaat
bayi berusiakurang dari 6 bulan.
4. Polusi Udara
Definisi : Suatu kondisi di mana kualitas udara menjadi rusak dan
terkontaminasi oleh zat-zat, baik yang tidak berbahaya
maupun yang membahayakan kesehatan tubuh manusia.
Alat Ukur : Kuesioner
Cara Ukur : wawancara
Hasil Ukur : Kualitas udara baik :tidak terjadi penurunan jarak
pandang dan pengotoran debu serta asap rokok dimana-
mana yang berdampak terhadap kesehatan.
Kualitas udara buruk : terjadi penurunan jarak
pandang dan pengotoran debu serta asap rokok dimana-
mana yang berdampak terhadap kesehatan.
5. Kepadatan Tempat Tinggal
Definisi : Sejumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau
tempat tinggal. Dapat dikategorikan menjadi padat dan
tidak padat disesuaikan dengan ukuran tempat tinggal.

18
Alat Ukur : kuesioner
Cara Ukur : wawancara
Hasil Ukur : Lingkungan padat penduduk jika setiap 1 Km2
hanya dihuni oleh ≥ 300 jiwa.
Lingkungan tidak padat penduduk jika setiap 1 Km2
hanya dihuni oleh ≤ 300 jiwa.
6. Kebersihan Lingkungan

Definisi : kegiatan menciptakan atau menjadikan lingkungan


yang bersih, indah, asri, nyaman, hijau dan enak
dipandang mata.
Alat Ukur : kuesioner
Cara Ukur : wawancara
Hasil Ukur : Lingkungan bersih :Lingkungan yang bebas sampah
dan polusi. Terbebas juga dari sampah/kotoran berupa
debu,sampah rumah tangga,barang-barang tak terpakai
dan kotoran hewan.
Lingkungan tidak bersih :Lingkungan yang terdapat
banyak sampah dan polusi., termasuk sampah/kotoran
berupa debu,sampah rumah tangga,barang-barang tak
terpakai dan kotoran hewan.
7. Sosial Ekonomi
Definisi : keadaan yang menunjukan pada kemampuan
finansial keluarga dan perlengkapan material yang
dimilki
Alat Ukur : kuesioner
Cara Ukur : wawancara
Hasil Ukur : status ekonomi menengah atas> Rp 2.000.000
status ekonomi menengahRp 1.000.000 -2.000.000
status ekonomi menengah bawah< Rp 1.000.000

19
3.4 Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan untuk penelitian ini merupakan data primer
yang didapat dengan wawancara langsung kepada sampel.

3.5 Pengolahan dan Analisis Data


Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dan komputerisasi
dengan menggunakan SPSS 22.0.Data numerik disajikan dalam bentuk
tabel dan narasi.Data kategorik disajikan dalam bentuk proporsi atau
presentase.

20
3.6 Kerangka Operasional

Populasi
anggota keluarga dari pasien balita yang datang berobat di
Puskesmas Tebing Tinggi periode 20 November – 20
Desember 2017.

Anggota keluarga dari pasien balita yang menderita


ISPA yang datang berobat di Puskesmas Tebing Izin penelitian
Tinggi periode 20 November – 20 Desember 2017
yang memenuhi kriteria inklusi.

Dilakukan wawancara dengan anggota keluarga


pasien yang menderita ISPA

Pengolahan dan penyajian


data secara deskriptif

Pemaparan hasil penelitian

21
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran lokasi penelitian


Lokasi penelitian ini dilakukan di Puskesmas Tebing Tinggi
kabupaten Empat Lawang.
4.1.1 Letak Geografis dan Luas Wilayah
Secara geografis, Kecamatan Tebing Tinggi berbatasan dengan (UPTD
Puskesmas Muara Saling) di sebelah Uatara, (UPTD Puskesmas Talang
Padang) di sebelah selatan, (Kecamatan Kikim Barat Kab. Lahat) di sebelah
timur, dan (Kabupaten Rejang Lebong) di sebelah barat. Dilihat dari
topografi wilayahnya, seluruh desa di Kecamatan Tebing Tinggi merupakan
daerah dataran.
Desa/Kelurahan (Ujung Alih) merupakan desa dengan jarak terjauh dari
UPTD Puskesmas Tebing Tinggi yang merupakan ibukota kecamatan, yaitu
mencapai sekitar Delapan Belas kilometer melalui darat. Sedangkan desa
terdekat dengan ibukota kecamatan adalah Desa/Kelurahan (Jaya Loka), yaitu
hanya berjarak sekitar (500) meter.

4.1.2 Sarana Kesehatan


a. Puskesmas
Jumlah fasilitas pelayanan Kesehatan di wilayah UPTD Puskesmas
Tebing Tinggi Tahun 2016 disajikan dalam gambar berikut.

20 4 5 13 20
0
PustuPoskesdes
Polindes

Tenaga Kesehatan Praktek Swasta

Series1

22
Gambar Jumlah Fasilitas pelayanan Kesehatan di wilayah UPTD
Puskesmas Tebing Tinggi Tahun 2016

b. Sarana Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat


Dalam rangka meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat berbagai upaya dilakukan dengan memanfaatkan potensi dan
sumber daya yang ada di masyarakat. Upaya Kesehatan Bersumber Daya
Masyarakat (UKBM) di antaranya adalah Posyandu (Pos Pelayanan
Terpadu), Polindes (Pondok Bersalin Desa), Toga (Tanaman Obat Keluarga),
POD (Pos Obat Desa) dan sebagainya.
Posyandu merupakan salah satu bentuk UKBM yang paling dikenal di
masyarakat. Posyandu menyelenggarakan minimal 5 program prioritas, yaitu
kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, perbaikan gizi, imunisasi, dan
penanggulangan Diare. Untuk memantau perkembangannya, Posyandu
dikelompokkan ke dalam 4 strata, yaitu Posyandu Pratama, Posyandu Madya,
Posyandu Purnama, dan Posyandu Mandiri.

Gambar Jumlah Posyandu di wilayah UPTD Puskesmas Tebing Tinggi


tahun 2016

Desa siaga adalah desa yang memiliki kesiapan sumber daya dan
kemampuan untuk mencegah dan mengatasi masalah/ancaman kesehatan
(termasuk bencana dan kegawat-daruratan kesehatan) secara madiri dalam
rangka mewujudkan desa sehat. Tujuan desa siaga adalah untuk mewujudkan
masyarakat desa yang sehat, peduli, dan tanggap terhadap permasalahan

23
kesehatan di wilayahnya. Salah satu kriteria desa siaga adalah minimal
memiliki 1 (satu) Poskesdes (Pos Kesehatan Desa).

Berikut adalah persentase Poskesdes terhadap desa/kelurahan:

Gambar jumlah desa siaga dan desa siaga aktif di wilayah UPTD
Puskesmas Tebing Tinggi Tahun 2016

4.1.3 Tenaga Kesehatan


Data mengenai tenaga kesehatan di Provinsi Sumatera Selatan baik
yang bekerja di sektor pemerintah maupun swasta masih sulit diperoleh. Pada
tabel berikut disajikan jumlah tenaga kesehatan menurut golongan medis,
paramedis dan tenaga kesehatan lainnya.

24
35

30

25

20

15

10

Series1 Series2

Gambar jumlah tenaga kesehatan di wilayah UPTD Puskesmas Tebing


Tinggi tahun 2016

4.2 Karakteristik Responden


4.2.1 Distribusi Tingkat Pendidikan Responden
Tabel 1. Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan N %
SD 12 23.53%
SMP 12 23.53%
SMA/SMK 11 21.57%
D3 2 3.92%
S1 14 27.45%
Jumlah 51 100.00%

Berdasarkan tabel 1 diatas dari 51 responden yang diteliti maka


didapatkan responden dengan tingkat pendidikan SD dan SMP sebesar
23,53% atau masing-masing sebanyak 12 orang, tingkat pendidikan
SMA/SMK sebesar 21,57% atau sebanyak 11 orang, tingkat pendidikan D3
sebesar 3,92% atau sebanyak 2 orang dan tingkat pendidikan S1 sebanyak
27,45% atau sebanyak 14 orang. Secara umum responden dalam penelitian
ini memiliki tingkat pendidikan S1.

25
4.2.2 Distribusi Pekerjaan Responden
Tabel 2. Distribusi Sampel Berdasarkan Pekerjaan
Pekerjaan N %
Buruh 3 5.88%
IRT 21 41.18%
PNS 13 25.49%
Swasta 14 27.45%
Jumlah 51 100.00%

Berdasarkan tabel 2 dari 51 responden yang diteliti maka didapatkan


responden dengan pekerjaan sebagai buruh sebesar 5.88% atau sebanyak 3
orang, IRT sebesar 41.18% atau sebanyak 21 orang, PNS sebesar 25,49%
atau sebanyak 13 orang, dan swasta sebesar 27,45% atau sebanyak 14
orang.. Secara umum responden dalam penelitian ini memiliki pekerjaan
sebagai IRT

4.2.3 Distribusi Tingkat Ekonomi Responden


Tabel 3. Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Ekonomi
Tingkat Ekonomi N %
Menengah Atas 14 27.45%
Menengah 11 21.57%
Menengah Bawah 26 50.98%
Jumlah 51 100.00%

Berdasarkan Tabel 3 dari 51 responden yang diteliti maka didapatkan


responden dengan tingkat ekonomi menengah bawah sebesar 50,98% atau
sebanyak 26 orang, tingkat ekonomi menengah sebesar 21,57% atau
sebanyak 11 orang, dan tingkat ekonomi menengah atas sebanyak 27,45%
atau sebanyak 14 orang. Secara umum responden balita ISPA dalam
penelitian ini memiliki tingkat ekonomi menengah bawah.

26
4.3 Pola Pencegahan Balita ISPA
Distribusi Pola Pencegahan Balita ISPA di Puskesmas Tebing Tinggi
Tabel 4. Distribusi Pola Pencegahan Balita ISPA di Puskesmas Tebing
Tinggi
Pola Pencegahan N %
Status Gizi
Normal 22 43.14%
Overweight 9 17.65%
Wasted 20 39.22%
ASI
ASI Eksklusif 21 41.18%
Non ASI Eksklusif 30 58.82%
Imunisasi Dasar
Imunisasi Dasar Lengkap 33 64.71%
Imunisasi Dasar Tidak Lengkap 18 35.29%
Polusi Udara
Baik 25 49.02%
Buruk 26 50.98%
Kepadatan Tempat Tinggal
Padat 29 56.86%
Tidak Padat 22 43.14%
KebersihanLingkungan
Bersih 18 35.29%
Tidak Bersih 33 64.71%

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui status gizi lebih balita ISPA
17,65%, Status gizi normal balita ISPA 43,14%. status gizi kurang balita
ISPA 39,22%. Secara umum balita yang menderita ISPA dalam penelitian
ini memiliki status gizi normal.
Balita ISPA yang mendapatkan ASI eksklusif 41,18% dan balita
ISPA yang tidak ASI eksklusif 58,82%. Secara umum balita ISPA dalam
penelitian ini tidak mendapatkan ASI eksklusif.
Balita ISPA yang sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap sebesar
64,71% sedangkan Balita ISPA yang tidak mendapatkan imunisasi dasar

27
lengkap sebesar 35,29%. Secara umum balita ISPA dalam penelitian ini
sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap.
Balita ISPA yang tinggal di daerah dengan polusi udara yang baik
sebesar 49,02% Sedangkan balita ISPA yang tinggal didaerah dengan polusi
udara yang buruk sebesar 50,98%. Secara umum balita ISPA dalam
penelitian ini tinggal didaerah dengan polusi udara buruk.
Balita ISPA yang tinggal di daerah dengan lingkungan padat 56,86%
Sedangkan balita ISPA yang tinggal di lingkungan yang tidak padat sebesar
43,14%. Secara umum balita ISPA dalam penelitian ini lebih banyak tinggal
di daerah lingkungan padat.
Balita ISPA yang tinggal dilingkungan bersih sebesar 35,29%
sedangkan balita ISPA yang tinggal didaerah lingkungan kotor sebesar
64,71%. Secara umum balita ISPA dalam penelitian ini tinggal didaerah
yang lingkungannya kotor.

4.4 Pembahasan
Berikut ini adalah pembahasan hasil penelitian mengenai pola
pencegahan balita yang menderita ISPA di Puskesmas Tebing Tinggi
periode 20 November - 20 Desember 2017.
Pada anak yang mengalami kurang gizi pada tingkat ringan atau
sedang masih dapat beraktifitas, tetapi bila diamati dengan seksama
badannya akan mulai kurus, stamina dan daya tahan tubuhnya pun
menurun, sehingga mempermudah untuk terjadinya penyakit infeksi.
Secara umum balita ISPA dalam penelitian ini memiliki gizi normal
sehingga penelitian ini tidak sebanding dengan penelitian yang dilakukan
oleh Andarini pada tahun 2015 bahwa balita dengan gizi buruk akan lebih
mudah terkena ISPA. Perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya dapat disebabkan oleh perbedaan lokasi penelitian.
Pemberian ASI eksklusif berhubungan erat dengan kejadian ISPA.
Hal ini dikarenakan ASI mengandung kolostrum yang banyak mengandung
antibodi, salah satunya adalah BALT yang menghasilkan antibodi terhadap

28
infeksi saluran pernapasan. Selain itu ASI juga mengandung vitamin A yang
dapat memberikan perlindungan terhadap infeksi dan alergi. Secara umum
balita yang mengalami ISPA dalam penelitian ini tidak mendapatkan ASI
eksklusif. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Abbas
(2010) di rumah susun bandung bandowoso pucang gading yang
menyatakan bahwa anak yang diberi ASI eksklusif lebih jarang terkena
ISPA dibandingkan dengan anak non ASI eksklusif.
Pada penelitian ini didapatkan bahwa balita ISPA banyak yang telah
mendapatkan imunisasi dasar lengkap. Hal ini tidak sebanding dengan
penelitian yang dilakukan Tupasi (1985, dalam Suhandayani, 2007)
menyebutkan bahwa ketidakpatuhan imunisasi berhubungan dengan
peningkatan penderita ISPA. Penelitian lain yang dilakukan oleh Sievert
pada tahun 1993 menyebutkan bahwa imunisasi yang lengkap dapat
memberikan peranan yang cukup berarti mencegah kejadian ISPA. Bayi dan
balita yang pernah terserang campak dan selamat akan mendapat kekebalan
alami terhadap pnemonia sebagai komplikasi campak. Sebagian besar
kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang
dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusi, campak, maka
peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya
pemberatasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan
mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang
mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan
perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi berat. Perbedaan hasil
penelitian ini dengan penelitian sebelumnya dapat disebabkan oleh
perbedaan lokasi penelitian dan periode penelitian.
Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak
dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahan paru sehingga
akan memudahkan timbulnya ISPA. Hal ini dapat terjadi pada rumah yang
keadaan ventilasinya kurang dan dapur terletak di dalam rumah, bersatu
dengan kamar tidur, ruang tempat bayi dan anak balita bermain. Hal ini
lebih dimungkinkan karena bayi dan anak balita lebih lama berada di rumah

29
bersama ibunya sehingga dosis pencemaran tentunya akan lebih tinggi.
Hasil penelitian Maryani (2012) diperoleh adanya hubungan antara ISPA
dan polusi udara, diantaranya ada peningkatan risiko bronchitis, pneumonia
pada anak yang tinggal di daerah lebih terpolusi, dimana efek ini terjadi
pada kelompok umur 9 bulan dan 6 – 10 tahun. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian dimana didapatkan secara umum balita yang mengalami ISPA
dalam penelitian ini berada pada lingkungan dengan polusi udara yang
buruk.
Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor polusi
dalam rumah yang telah ada, selain itu tempat tinggal yang padat juga dapat
menyebakan mudahnya penularan berbagai penyakit. Menurut penelitian
Maryani (2012) didapatkan bahwa sebanyak 64,8% balita yang menderita
ISPA memiliki kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat, hal ini
menunjukkan bahwa ISPA lebih sering terjadi pada bailta yang tinggal di
lingkungan yang padat. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah
dilakukan, didapatkan secara umum balita yang mengalami ISPA dalam
penelitian ini berada pada lingkungan yang padat.
Kebersihan lingkungan merupakan hal yang harus diperhatikan. Hal
ini berkaitan dengan kualitas udara maupun tingkat penyebaran penyakit.
Semakin bersih lingkungan maka semakin kecil risiko terjadinya ISPA.
Secara umum balita yang mengalami ISPA dalam penelitian ini berada pada
lingkungan yang kotor. Hal ini sejalan dengan penelitian Maryani (2012)
rata-rata ISPA pada balita terjadi pada daerah yang memiliki kondisi
lingkungan yang buruk.

30
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
ISPA masih termasuk kedalam 10 penyakit terbanyak di setiap
puskesmas dan sangat sering menyerang balita. Pola pencegahan balita ISPA
yang mendapatkan ASI Eksklusif sebesar 41,18% , imunisasi lengkap sebesar
64,71%, polusi udara yang baik 49,02%, lingkungan yang tidak padat
43,14%, serta balita yang tinggal di lingkungan bersih sebesar 35,29%.
Secara umum orang tua balita ISPA sudah melakukan pola pencegahan dan
pengobatan ISPA pada anak mereka, akan tetapi pencegahan dan pengobatan
perlu ditingkatkan untuk mengurangi angka kejadian ISPA pada balita.

5.2 Saran
Untuk responden
1. Orang tua bayi/balita diharapkan memberikan ASI Eksklusif dan imunisasi
lengkap untuk anak mereka agar dapat meningkatkan daya tahan tubuh anak.
2. Orang tua bayi/balita diharapkan memberikan makanan tambahan sesuai
dengan usia perkembangan anak untuk menjaga kecukupan gizi.
3. Orang tua bayi/balita diharapkan aktif ke posyandu untuk memantau
tumbuh kembang anak tiap bulan.
4. Orang tua bayi/balita diharapkan melakukan perilaku hidup bersih dan
sehat dalam kehidupan sehari – hari untuk menjaga kesehatan anak.
5. Orang tua bayi/balita diharapkan langsung membawa anak mereka berobat
ke balai pengobatan terdekat apabila anak menderita ISPA untuk mencegah
penularan ISPA ke anggota keluarga.
` Untuk Puskesmas
1. Puskesmas Tebing Tinggi diharapkan lebih giat dalam melakukan
program pengendalian ISPA untuk menurunkan angka kejadian ISPA
seperti melakukan penyuluhan, kunjungan rumah bagi pasien ISPA dan
bekerjasama dengan pemerintah untuk mengurangi faktor risiko ISPA
pada balita.

31
Untuk Penelitian Selanjutnya
1. Diharapkan penelitian selanjutnya dilakukan dalam periode waktu yang
lebih lama dan jumlah sampel yang lebih besar.
2. Diharapkan lokasi penelitian selanjutnya dilakukan dalam ruang lingkup
Puskesmas yang lebih luas.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Catzel, Pincus & Ian robets. (1990). Kapita Seleta Pediatri Edisi II. alih
bahasa oleh Dr. yohanes gunawan. Jakarta: EGC.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal PPM &
PLP. Pedoman Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA). Jakarta. 2012.
3. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan. Profil Dinas Kesehatan
Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2009. Palembang. 2009
4. Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia Pada Anak
Balita, Orang Dewasa, Usia Lanjut. Pustaka Populer Obor. Jakarta
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal PPM &
PLP. Modul Tatalaksana Standar Pneumonia. Jakarta. 2012
6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Manajemen Terpadu Balita
Sakit. Jakarta. 2008.
7. Puskesmas Basuki Rahmat. Profil Puskesmas Basuki Rahmat. Palembang.
2015.
8. Ellyana dan Candra. 2013. Hubungan Frekuensi ISPA dengan Status Gizi
Balita. Journal of Nutritional and Health. Vol.1, No.1
9. WHO, 2014. Short-term effects of breastfeeding : a systematic review on
the benefits of breastfeeding on diarrhoea and pneumonia mortality.
10. IDAI, 2011. Pedoman Imunisasi di Indonesia. edisi ke-4. Satgas Imunisasi
IDAI
11. Sunyataningkamto, 2004. The Role of Indoor Air Pollution and Other
Factors in the Incidence of Pneumonia in Under Five Children. Paediatrica
Indonesiana, 44, hal.1–2.
12. Dinas Pekerjaan Umum. 2006. Pedoman Umum Rumah Sederhana Sehat.
Jakarta : Departemen Pekerjaan Umum RI.
13. Herman, 2002. "Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Pneumonia pada Anak Balita di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera
Selatan". Jakarta : Universitas Indonesia.

33
14. Direktorat Jenderal PP dan PL, Departemen Kesehatan RI. 2004. Pedoman
Pemberantasan Penyakit ISPA Untuk Penanggulangan Pneumonia. Jakarta
: Depkes RI.
15. Andarini, S., Asmika., dan Noviana A., Hubungan antara status gizi dan
tingkat konsumsi energi, protein, dengan frekuensi kejadian infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA) pada balita diwilayah kerja puskesmas gondanglegi,
kecematan gondang legi kabupaten malang. http://elibrary.ub.ac.id/. Tesis.

34

Anda mungkin juga menyukai