Anda di halaman 1dari 10

RANGKUMAN SAP 3 SISTEM PROSEDUR PEMAJAKAN

Menguraikan Sistem dan Prosedur Pembayaran atau Penyetoran Pajak


Terutang
Bella Novita (1706078794), Jasmine Nabila S. (1706024614), Puteri Amalia D.
(1706975936), Sarah Robbaniyah (1706056452)
3. SISTEM PROSEDUR PEMAJAKAN
3.1 Kewajiban Pembukuan atau Pencatatan
3.1.1 Ketentuan Umum Penyelenggaraan Pembukuan atau Pencatatan
Dalam UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Pasal 1 angka 29 menyebutkan bahwa pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang
dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yangmeliputi
harta, kewajiban, modal penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan
penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa
neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut. Sedangkan Pencatatan
merupakan data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau penerimaan
bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang
terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang
berisfat final. Hal ini tercantum dalam pasal 28 ayat 9 UU No. 28 Tahun 2007.
UU KUP ini juga mengatur persyaratan apa saja yang harus dipenuhi Wajib Pajak
dalam melakukan pembukuan atau pencatatan. Pada pasal 28 menyebutkan Wajib Pajak
yang harus melakukan pembukuan ialah :
1. WP Badan
2. WP Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, kecuali
WP OP yang peredaran brutonya kurang dari Rp 4.800.000.000,- dalam satu tahun
Pada Pasal 28 ayat 2 disebutkan bahwa WP yang dikecualikan dari melakukan
pembukuan ialah :
1. WP OP yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas yang diperbolehkan
menghitung penghasilan neto menggunakan norma perhitungan penghasilan neto.
2. WP OP yang tidak melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas.
Sedangkan WP yang diharuskan melakukan pencatatan ialah :
1. WP OP yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas yang peredaran brutonya
kurang dari Rp 4.800.000.000,- dalam satu tahun dan dapat menghitung penghasilan
netonya menggunakan norma perhitungan penghasilan neto dengan syarat
memberitahukan terlebih dahulu ke Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3
bulan pertama dari Tahun Pajak yang bersangkutan.
2. WP OP yang tidak melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas.
Adapun syarat dalam melakukan pembukuan atau pencatatan yaitu :
1. Dilakukan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau
kegiatan usaha yang sebenarnya
2. Dilakukan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan mata
uang Rupiah dan disusun dalam Bahasa asing yang telah diizinkan oleh Menteri
Keuangan.
3. Dilakukan dengan prinsip taat asas dan stelsel akrual atau stelsel kas
4. Pembukuan menggunakan bahasa asing dan selain mata uang Rupiah dapat
dilakukan setelah mendapat izin Menteri Keuangan
5. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, keajiba,
modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat
dihitung besarnya pajak yang terutang.
3.1.2 Hak-Hak WP terkait dengan Pembukuan atau Pencatatan
Proses pembukuan dan pencatatan merupakan agenda utama dalam akuntansi secara
komersial maupun perpajakan. Dengan melakukan pembukuan yang baik, pelaku usaha
dapat mengetahui keuntungan secara pasti, mengontrol biaya operasional, memantau
aset-aset perusahaan, bahkan dapat membuat prediksi keuangan untuk jangka pendek
maupun panjang. Sedangkan dari sisi pajak, pembukuan dan pencatatan ini juga menjadi
elemen yang sangat krusial. Sebab, apa yang dibukukan atau dicatat akan menjadi dasar
bagi wajib pajak untuk menghitung besarnya pajak yang terutang. Selain itu, adanya
pembukuan atau pencatatan akan mempermudah wajib pajak dalam melakukan pengisian
surat pemberitahuan (SPT), penghitungan penghasilan kena pajak, penghitungan pajak,
serta untuk mengetahui posisi keuangan dan hasil kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
3.2 Pembedaan Utang Pajak

3.2.1 Teori Timbulnya Utang Pajak

Utang pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi
berupa bunga, denda, atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau
surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan. Menurut pasal
1 angka 10 UU KUP, Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu
saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Utang Pajak timbul jika
persyaratan hubungan utang pajak antara negara dengan rakyat terpenuhi. Ada dua
macam jenis timbulnya utang pajak, yaitu utang pajak materiil dan utang pajak formal.

Ketika negara mendalilkan bahwa utang pajak sebagai kontribusi warga negara
yang dinyatakan dengan persetujuan wakil rakyat atas UU Pajak, hal ini menandakan
munculnya utang pajak materiil. Dengan kata lain, utang pajak materiil merupakan utang
pajak yang timbul karena berlakunya undang-undang. Seseorang dikenai pajak karena
suatu keadaan dan perbuatan yang telah memenuhi persyaratan untuk berhak kena pajak
sesuai UU yang berlaku tanpa bergantung pada perbuatan hukum kantor pajak yang
ditandai dengan adanya Surat Ketetapan Pajak atau SKP. Dalam timbulnya utang pajak
secara materiil, ketetapan pajak hanya berfungsi sebagai sarana formal penentuan besaran
pajak dan dasar penagihan pajak. Utang pajak materiil ini dianut di Indonesia dan
diimplementasikan dengan sistem self assessment. Timbulnya utang pajak materiil dapat
dilihat pada UU KUP Pasal 12 ayat 1 yang berbunyi “Setiap Wajib Pajak wajib membayar
pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,
dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.” dengan tidak
menggunakan pada adanya surat ketetapan pajak menunjukkan bahwa timbulnya utang
pajak materiil tidak bergantung pada fiskus dan membuktikan adanya sistem self-
assessment yaitu prinsip pemenuhan kewajiban perpajakan dengan menghitung,
membayar,, dan melaporkan pajak terutang sendiri oleh Wajib Pajak.

Sebaliknya, hukum pajak formal merupakan Utang pajak timbul karena


dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus. Menurut Steimetz, utang pajak bukan
selalu timbul karena terpenuhinya tatbestand (persyaratan) dalam UU saja, tetapi karena
adanya perbuatan hukum kantor pajak dengan menerbitkan ketetapan pajak yang
berfungsi sebagai penentu jumlah pajak, penyebab pajak terutang yang harus dibayar, dan
dasar formal penagihan pajak.Utang pajak formal ini diterapkan di Indonesia dalam
bentuk official assessment system.
Pajak terutang dapat terjadi dalam berbagai macam kondisi, diantaranya adalah
Pajak Terutang pada Suatu Saat, Pajak Terutang pada Suatu Masa Pajak, Pajak Terutang
pada Suatu Bagian Tahun Pajak, dan Pajak Terutang pada Suatu Tahun Pajak.
3.2.2 Pajak Terutang pada Suatu Saat
Pajak yang terutang pada suatu saat merupakan pajak yang terutang hanya pada
saat-saat tertentu. Contohnya adalah PPh atas undian yaitu PPh final yang hanya
dikenakan sekali. Penghitungan PPh final atas undian ini hanya dikenakan pada suatu saat
yaitu pada saat Wajib Pajak menerima penghasilan berupa undian.
3.2.3 Pajak Terutang pada Suatu Masa Pajak
Pajak yang terutang pada suatu masa pajak artinya Pajak tersebut dikenakan pada
masa pajak tertentu sesuai jenis pajaknya. Dalam Pasal 1 angka 7 UU KUP, masa pajak
adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor,
dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana
ditentukan dalam undang-undang ini (UU KUP).
Lebih lanjut, dalam Pasal 2A UU KUP dijelaskan bahwa masa pajak adalah sama dengan
1 bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan
paling lama 3 bulan kalender. Contoh dari Pajak yang terutang pada suatu masa pajak
adalah
1. PPh dipotong/dipungut pihak lain : PPh Pasal 21, 22, 23, 26
2. PPN
3. PPh Dibayar sendiri : Setoran masa PPh Pasal 25
3.2.4 Pajak Terutang pada Suatu Bagian Tahun Pajak
Pajak Terutang pada Suatu Bagian Tahun Pajak merupakan pajak yang terutang
hanya dalam beberapa bulan dalam satu tahun pajak dan memenuhi syarat pajak yang
boleh dihitung tidak disetahunkan sehingga perhitungannya berbeda dengan pajak yang
terutang dalam suatu tahun pajak. Salah satu contoh pajak terutang suatu bagian tahun
pajak adalah Pajak Penghasilan dari perhitungan akhir tahun untuk Wajib Pajak yang
mempunyai kewajiban subjektif tidak setahun penuh. Penghitungan untuk Wajib Pajak
yang Pajak Penghasilannya tidak setahun penuh adalah dengan metode penghitungan
tidak disetahunkan, yaitu hanya dihitung sebanyak bulan dimana penghasilan Wajib
Pajak tersebut diperoleh.
3.2.5 Pajak Terutang pada Suatu Tahun Pajak
Dalam Pasal 1 angka 8 UU KUP, pengertian tahun pajak adalah jangka waktu 1
tahun kalender kecuali bila wajib pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan
tahun kalender. Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa tahun pajak akan
mengikuti tahun buku wajib pajak. Contoh dari Pajak Terutang pada Suatu Tahun Pajak
adalah Pajak Penghasilan dari perhitungan akhir tahun untuk WP yang mempunyai
kewajiban subjektif setahun penuh.
3.3 Prosedur Pembayaran atau penyetoran
3.3.1 Jatuh Tempo Pembayaran Hutang Pajak Material
Ketentuan hari jatuh tempo/ batas waktu pembayaran dan penyetoran pajak yang
merupakan hutang pajak material yang diatur dalam UU KUP Pasal 9 ayat 1 dan ayat 2.
Batas waktu pembayaran dan penyetoran pajak terutang untuk suatu saat atas masa pajak
ditetapkan Menteri Keuangan dengan batas waktu tidak melewati 15 hari setelah saat
terutangnya pajak atau masa pajak berakhir. Untuk kekurangan pembayaran pajak
terutang atas SPT Tahunan dibayar lunas paling lambat tanggal 25 bulan ketiga setelah
tahun pajak atau bagian pajak berakhir sebelum SPT disampaikan. Ketentuan hari jatuh
tempo/ batas waktu pembayaran dan penyetoran hutang pajak material diatur lebih lanjut
dalam PMK No.184/PMK.03/2007 tentang Penentuan tanggal jatuh tempo pembayaran
dan penyetoran pajak, tempat pembayaran pajak, tata cara pembayaran, penyetoran, dan
pelaporan pajak, serta tata cara pemberian angsuran dan penundaan pembayaran pajak.
3.3.2 Jatuh Tempo Pembayaran Hutang Pajak Formal
Ketentuan hari jatuh tempo/ batas waktu pembayaran dan penyetoran pajak yang
merupakan hutang pajak material yang diatur dalam UU KUP Pasal 9 ayat 3. Batas waktu
pembayaran dan penyetoran atas STP, SKPKB, SKPKBT, Surat Keputusan Pembetulan,
Putusan Banding, serta Peninjauan kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus
dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 bulan sejak tanggal diterbitkan.
3.3.3 Tata Cara Pembayaran atau Penyetoran
Tempat pembayaran atau penyetoran pajak ke kas negara pada pasal 10 ayat 1 UU
KUP diatur dalam PMK-187/PMK.03/2007. Pembayaran atau penyetotan pajak
dilakukan dengan Surat Setoran Pajak (SSP) dan Pembayaran dengan Sarana
Administrasi Lain- Billing System. Berdasarkan PER-38/PJ/2009 memberi pengaturan
lebih lanjut mengenai SSP, sebagai berikut :
1. SSP adalah sarana pembayaran pajak, yang juga berfungsi sebagai bukti
pembayaran atau penyetoran pajak dengan menggunakan formulir atau dengan cara
lain ke kas negara melalui tempat pembayaran sesuai dengan PMK.
2. WP menyetorkan pungutan pajak atas impor, termasuk kekurangan pembayarannya
selain yang ditagih dengan STP dan SSP, menggunakan formulir SSPCP.
3. SSP dibuat rangkap 4 dengan distribusi sbb : lb ke-1 : arsip WP; lb ke-2 : Kantor
Perbendaharaan dan Kas Negara; lb ke-3 : dilaporkan WP ke KPP; lb ke-4 arsip
Kantor Penerima Pembayaran.
4. Satu formulir SSP hanya untuk pembayaran satu jenis pajak dan satu masa/tahun
pajak/SKP/STP dengan satu kode akun pajak dan satu kode jenis setoran, kecuali
WP dengan kriteria tertentu (Pasal 3 (3a) UU KUP), dapat membayar PPh 25
beberapa masa pajak dalam satu SSP.
5. PER-148/PJ/2007 pembayaran atau penyetoran pajak dengan SSP dinyatakan sah
jika : a). Setelah mendapatkan NTPN dan NTB untuk pembayaran ke bank, b).
Setelah mendapat NTPN dan NTP untuk pembayaran ke Kantor Pos, c). Setelah
mendapat NTPN dan NPP untuk pemotongan/pemungutan pajak melalui KPPN, d).
telah direkonsiliasi oleh Dirjen Perbendaharaan.
6. Setoran dalam bentuk US Dollar ditransfer melalui Bank WP di luar negeri atau
bank devisa di dalam negeri ke rekening giro kas negara nomor : 600.500411 sesuai
jangka waktu pembayaran, dan menurut KEP-306/PJ./1999 dengan ketentuan :
a. WP harus memberitahukan tertulis ke BI dan Direktorat PBN bahwa yang
bersangkutan akan transfer pembayaran US Dollar ke rekening giro kas negara.
b. WP wajib meminta bukti transfer pembayaran dari bank di luar negeri atau bank
devisa.
c. SSP dibuat 2 rangkap dengan distribusi : lb ke 1 digabung dengan asli bukti
transfer untuk arsip WP; lb ke 2 dilampirkan fotokopi bukti transfer pembayaran
disampaikan ke KPP tempat WP terdaftar.
Tata cara pengisian SSP, yaitu :
a. Untuk Kode Akun Pajak dan Kode Jenis Setoran.
b. Untuk NOP dan alamat NOP pada SSP, sesuai petunjuk pengisiannya, hanya diisi
apabila terdapat transaksi yang terkait dengan tanah dan/atau bangunan yaitu
transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan PPN atas kegiatan
membangun sendiri.
Selain SSP, terdapat pula Sarana Administrasi Lain- billing system sebagai sarana
pembayaran atau penyetoran pajak yang diatur dalam Pasal 8 PER-47/PJ/2011. Billing
system adalah serangkaian proses yang meliputi kegiatan pendaftaran peserta billing,
pembuatan Kode Billing, pembayaran berdasarkan Kode Billing dan rekonsiliasi billing
dalam Modul Penerimaan Negara secara elektronik. Billing system dapat dilakukan oleh
semua WPOP dan WP badan selain bendahara pemerintah melalui teller, ATM, dan
Internet Banking Bank Mandiri atau petugas loket Kantor Pos Persepsi. Kelebihan dari
billing system adalah pembayaran cepat, murah, mudah, dan aman. Akan tetapi,
pelaksanaan billing system masih pada tahap uji coba. Pendaftaran billing system dapat
diakses pada situs: http://sse.pajak.go.id
3.3.4 Sanksi-sanksi terkait
Keterlambatan pembayaran hutang pajak material dikenakan sanksi administrasi
berupa bunga 2% per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai
dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan, hal ini diatur
dalam UU KUP Pasal 9 ayat 2a. Selain itu, Sanksi atas keterlambatan pembayaran hutang
pajak formal diatur dalam UU KUP Pasal 19 ayat 1, pada saat jatuh tempo pelunasan
tidak atau kurang bayar, atas jumlah pajak tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi
adminnistrasi berupa bunga sebasar 2% per bulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari
tanggal jatuh tempo sampai tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan
Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan.
2.4. Hak-Hak Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak yang Terkait dengan
Pembayaran Pajak Terhutang
2.4.1. Prosedur Angsuran atau Penundaan Pembayaran Pajak
Pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena sifatnya yang memaksa tersebut,
memberikan tuntutan kepada setiap warga negara yang telah menjadi Wajib Pajak untuk
mematuhi kewajibannya. Namun, dalam menjalankan kewajiban ini, tidak semua Wajib
Pajak mudah untuk memenuhinya. Ada kalanya kondisi keuangan Wajib Pajak dalam
keadaan yang kurang baik, sehingga sulit untuk membayar pajak yang terutang. Oleh
sebab itu, pemerintah kemudian memberikan fasilitas kepada Wajib Pajak untuk dapat
mengangsur atau melakukan penundaan pembayaran pajak. Hal tersebut diatur dalam UU
KUP Pasal 9 ayat (4) dan secara lebih lanjut dijelaskan dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007.
Pembayaran pajak yang bisa diajukan permohonan angsuran dan penundaan adalah
pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT),
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding dan PPh
Pasal 29 yang masih harus dibayar dalam SPT Tahunan PPh. Sedangkan untuk kriteria
Wajib Pajak yang dapat mengajukan angsuran atau menunda pembayaran adalah Wajib
Pajak yang mengalami kesulitan likuiditas atau mengalami keadaan di luar kekuasaannya.
Selain itu, Wajib Pajak juga tidak mempunyai tunggakan pajak yang telah jatuh tempo.
Prosedur pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak adalah sebagai berikut :
1. Wajib Pajak mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar untuk mengangsur atau
menunda pembayaran pajak yang masih harus dibayar atau kekurangan utang pajak.
(Pasal 1 ayat (3) PER-38/PJ/2008)
2. Permohonan harus diajukan paling lama 9 (sembilan) hari kerja sebelum saat jatuh
tempo pembayaran utang pajak berakhir. (Pasal 10 ayat (1) PMK-
184/PMK.03/2007)
3. Apabila batas waktu 9 hari tersebut tidak dapat dipenuhi oleh Wajib Pajak karena
keadaan di luar kekuasaannya, permohonan Wajib Pajak masih dapat
dipertimbangkan DJP sepanjang Wajib Pajak dapat membuktikan kebenaran
keadaan di luar kekuasaannya tersebut. (Pasal 10 ayat (2) PMK-184/PMK.03/2007)
4. Permohonan Wajib Pajak disertai dengan alasan dan bukti yang mendukung
permohonan, serta : jumlah pembayaran pajak yang dimohon untuk diangsur, masa
angsuran, dan besarnya angsuran; atau jumlah pembayaran pajak yang dimohon
untuk ditunda dan jangka waktu penundaan. (Pasal 2 ayat (1) PER-38/PJ/2008)
5. Wajib Pajak yang mengajukan permohonan harus memberikan jaminan yang
besarnya ditetapkan berdasarkan pertimbangan Kepala KPP, kecuali apabila Kepala
KPP menganggap tidak perlu. (Pasal 3 ayat (1) PER-38/PJ/2008)
6. Jaminan ini dapat berupa garansi bank, surat/dokumen bukti kepemilikan barang
bergerak, penanggungan utang oleh pihak ketiga, sertifikat tanah, atau sertifikat
deposito. (Pasal 3 ayat (2) PER-38/PJ/2008)
Angsuran atas utang pajak dapat diberikan paling lama 12 bulan sejak
diterbitkannya Surat Keputusan Persetujuan Angsuran Pembayaran Pajak dengan
angsuran paling banyak 1 kali dalam 1 bulan, untuk permohonan angsuran atas utang
pajak berupa STP, SKPKB, SKPKBT, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan
Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali. Atau paling lama
sampai dengan bulan terakhir Tahun Pajak berikutnya, untuk permohonan angsuran atas
kekurangan pembayaran utang pajak berupa pajak yang terutang berdasarkan SPT
Tahunan PPh, dengan angsuran paling banyak 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan.
Sedangkan, untuk penundaan atas utang pajak dapat diberikan paling lama 12 bulan sejak
diterbitkannya Surat Keputusan Persetujuan Penundaan Pembayaran Pajak, untuk
permohonan penundaan atas utang pajak berupa STP, SKPKB, SKPKBT, dan Surat
Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan
Peninjauan Kembali. Atau paling lama sampai dengan bulan terakhir Tahun Pajak
berikutnya, untuk permohonan penundaan atas kekurangan utang pajak berupa pajak yang
terutang berdasarkan SPT Tahunan PPh.
2.4.2. Keputusan Pengangsuran atau Penundaan Pembayaran Pajak
Setelah mempertimbangkan alasan beserta bukti pendukung yang diajukan oleh
WP, Kepala KPP atas nama DJP menerbitkan keputusan dalam jangka waktu 7 hari kerja
setelah tanggal diterimanya permohonan. Keputusan dapat berupa :
1. Menyetujui jumlah angsuran pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya
penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
2. Menyetujui jumlah angsuran pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya
penundaan sesuai dengan pertimbangan Kepala KPP; atau
3. Menolak permohonan Wajib Pajak.
Apabila jangka waktu 7 hari kerja telah terlampaui dan Kepala KPP tidak
menerbitkan suatu keputusan, permohonan disetujui sesuai dengan permohonan WP, dan
Surat Keputusan Persetujuan Angsuran Pembayaran Pajak atau Surat Keputusan
Persetujuan Penundaan Pembayaran Pajak harus diterbitkan paling lama 5 hari kerja
setelah jangka waktu 7 hari kerja tersebut berakhir. Apabila WP yang sedang mengajukan
permohonan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak diterbitkan Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) dan/atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan
Bunga (SKPIB), pengembalian kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan
bunga tersebut diperhitungkan terlebih dahulu dengan utang pajak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
2.4.3. Sanksi-Sanksi Terkait
Dalam hal Wajib Pajak disetujui untuk menunda pembayaran pajak kecuali untuk
utang pajak berupa Surat Tagihan Pajak, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% (dua Persen) per bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2)
UU KUP yang dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan pembayaran atau
pelunasan, dengan ketentuan bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan. Bunga tersebut
dihitung berdasarkan saldo hutang pajak dan ditagih dengan menerbitkan Surat Tagihan
Pajak pada tanggal jatuh tempo penundaan atau pada tanggal pembayaran.
2.4.4. Contoh Kasus
PT ABC menerima SKPKB sebesar Rp1.120.000,00 yang diterbitkan pada tanggal
2 Januari 2014 dengan batas akhir pelunasan tanggal 1 Februari 2014. Wajib Pajak
tersebut diperbolehkan untuk mengangsur pembayaran pajak dalam jangka waktu 5 bulan
dengan jumlah yang tetap sebesar Rp224.000,00. Sanksi administrasi berupa bunga untuk
setiap angsuran dihitung sebagai berikut:
Angsuran ke-1 : 2% x Rp1.120.000 = Rp22.400
Angsuran ke-2 : 2% x Rp896.000 = Rp17.920
Angsuran ke-3 : 2% x Rp672.000 = Rp13.440
Angsuran ke-4 : 2% x Rp448.000 = Rp8.960
Angsuran ke-5 : 2% x Rp224.000 = Rp4.480
Apabila PT ABC diperbolehkan untuk menunda pembayaran pajak sampai dengan
tanggal 30 Juni 2014, maka sanksi administrasi berupa bunga atas penundaan pembayaran
SKPKB tersebut sebesar 5 x 2% x Rp1.120.000,00 = Rp112.000,00.

Anda mungkin juga menyukai