Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Islam sangat memperhatikan dunia kesehatan dan
keperawatan guna menolong orang yang sakit dan meningkatkan
derajat kesehatan manusia. Anjuran islam untuk hidup bersih juga
menunjukkan obsesi islam untuk mewujudkan kesehatan
masyarakat, sebab kebersihan pangkal kesehatan, dan kebersihan
dipandang sebagai bagian dari iman. Jadi, walaupun seseorang
sudah menjaga kesehatannya sedemikian rupa, risiko mengalami
sakit masih besar, disebabkan faktor eksternal yang diluar
kemampuannya untuk menghindari penyakit tersebut.
Mengingat kompleksnya faktor pemicu penyakit, maka
profesi keperawatan tidak bisa dihindari karena keperawatan sangat
dibutuhkan dalam dunia kesehatan. Keperawatan secara umum
dapat dibagi dua, yaitu pelayanan kesehatan dan pelayanan medis.
Pelayanan kesehatan ialah kegiatan yang dilakukan oleh pranata
sosial atau pranata politik terhadap keseluruhan masyarakat sebagai
tujuannya. Sedangkan pelayanan medis ialah suatu upaya dan
kegiatan pencegahan, pengobatan dan pemulihan kesehatan yang
dilaksanakan atas dasar hubungan individual antara para ahli
pelayanan medis dengan individu yang membutuhkannya.
Sebagai seorang praktisi kesehatan, khususnya dalam
bidang keperawatan, kita harus bertindak professional sesuai fungsi
dan tujuan dari asuhan keperawatan agar dapat tercapai
pelaksanaan asuhan keperawatan yang bermutu dan sesuai dengan
syariat dan hukum dalam agama islam.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pandangan agama islam terhadap
euthnasia?

1
2. Bagaimanakah pandangan agama islam terhadap autopsi
jenazah?
3. Bagaimanakah pandangan agama islam terhadap
sirkumsisi/khitan?
4. Bagaimanakah pandangan agama islam terhadap transfusi
darah?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana pandangan islam terhadap
euthanasia.
2. Untuk mengetahui bagaimana pandangan islam terhadap
autopsi jenazah.
3. Untuk mengetahui bagaimana pandangan islam terhadap
sirkumsisi/khitan.
4. Untuk mengetahui bagaimana pandangan islam terhadap
transfusi darah.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Euthanasia
2.1.1 Pengertian Euthanasia
Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu
“Euthanatos.” Eu berarti baik, tanpa penderitaan dan Thanatos
berarti mati. Jadi dapat disimpulkan bahwa Euthanasia artinya mati
dengan baik, atau mati dengan tanpa penderitaan atau mati cepat
tanpa derita. Menurut kamus hukum, Euthanasia adalah
menghilangkan nyawa tanpa rasa sakit untuk meringankan
sakaratul maut seorang penderita yang tak ada kemungkinan
sembuh lagi. Menurut pandangan dokter, Euthanasia adalah dengan
sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup
seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk
memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan
dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri.
2.1.2 Hukum Euthanasia dalam Islam
Dalam Islam mengakui hak seseorang untuk hidup, namun
hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya
Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia
mati, seperti firman Allah SWT dalam surah Al-Hajj ayat 66
berikut;

ْ‫ُكُم‬ ‫ُ مَّ ي‬
‫ُمِي ت‬ ‫ُمْ ث‬‫َحْيَا ك‬
‫ِي أ‬ َّ َ
‫ال ذ‬ ‫ُو‬
‫َه‬ ‫و‬
‫ُ ور‬ َ َ
‫ل كَف‬ ‫ْ سَا ن‬ ْ‫َّ ا‬
‫ْلِن‬ ‫ِن‬ ‫ْ إ‬ ‫ُ مَّ ي‬
ۗ‫ُحْيِيكُم‬ ‫ث‬
“Dan Dialah Allah yang telah menghidupkan kamu, kemudian
mematikan kamu, kemudian menghidupkan kamu (lagi),
sesungguhnya manusia itu, benar-benar sangat mengingkari
nikmat.”

3
Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum
Islam meskipun tidak ada teks dalam Al Quran maupun Hadits
yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada
sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, yakni;

‫ُ وا‬
‫ْق‬ ََ
ُ ‫َل‬
‫تل‬ َّ ِ‫ِي سَبِيل‬
‫اَّللِ و‬ ‫ُ وا ف‬‫ِق‬ ‫ْف‬‫َن‬
‫َأ‬‫و‬
‫ُوا‬
ۛ ‫َحْسِن‬
‫َأ‬‫ۛ و‬ ِ‫ُ كَة‬‫ْل‬‫ل ى التَّه‬َِ
‫ِيكُمْ إ‬ ‫ْد‬‫َي‬
‫بِأ‬
َ‫ِي ن‬‫م حْسِن‬ ْ ُّ
ُ ‫ال‬ ‫ُحِب‬ َّ َّ
‫اَّللَ ي‬ ‫ِن‬‫إ‬
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan,
dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang berbuat baik.” (Q.S Al-Baqarah ayat 195).

Dalam ayat lain juga disebutkan,

‫ُ وا‬ ‫ْك‬
‫ُل‬ ‫َأ‬‫َل ت‬َ ‫ُوا‬ ‫َن‬
‫آم‬ َ
‫ِي ن‬ َّ ‫َا‬
‫ال ذ‬ ‫َي‬
‫ُّ ه‬ ‫َا أ‬ ‫ي‬
ْ َ َِّ
‫َل أ ن‬ ‫ل بَاطِلِ إ‬ ْ‫بِا‬ ْ‫َيْنَكُم‬ َ‫َا‬
‫ل كُمْ ب‬ ‫مو‬ َ
ْ‫أ‬
ََ
‫َل‬ ‫ْ و‬ ۚ‫ٍ مِنْكُم‬ ‫َر‬
‫َا ض‬ ‫ت‬ ‫ً عَن‬
ْ ‫َة‬ ‫َ ت‬
‫ِجَا ر‬ ‫َ كُو ن‬
‫ت‬
ْ‫َ بِكُم‬ َّ َّ
‫اَّللَ كَا ن‬ ‫ِن‬‫إ‬ ‫ْف‬
ۚ‫ُ سَكُم‬
ْ َ
‫ُ وا أ ن‬ ‫ُل‬‫ْت‬‫َق‬‫ت‬
‫ًا‬ ‫َحِي م‬‫ر‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Q.S An-Nisa’ ayat 29).

Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang


membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan
membunuh dirinya sendiri. Euthanasia dalam ajaran Islam disebut
qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (euthanasia), yaitu suatu
tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa
merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan

4
penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif. Pada
konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun
1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan
dilakukannya eutanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas
kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga.

Euthanasia aktif menurut agama islam biasa disebut


dengan taisir al-maut al-fa'al. Yang dimaksud taisir al-maut al-
fa'al (eutanasia positif) ialah tindakan memudahkan kematian si
sakit karena kasih sayang yang dilakukan oleh dokter dengan
mempergunakan instrumen (alat). Memudahkan proses kematian
secara aktif (eutanasia positif) adalah tidak diperkenankan oleh
syara'. Sebab dalam tindakan ini seorang dokter melakukan suatu
tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat
kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis dan ini
termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk
dosa besar yang membinasakan.
Perbuatan demikian itu adalah termasuk dalam kategori
pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan
kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena
bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang
daripada Yang Menciptakannya. Karena itu serahkanlah urusan
tersebut kepada Allah Ta'ala, karena Dia-lah yang memberi
kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah
tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.
Eutanasia pasif disebut dengan taisir al-maut al-munfa'il.
Pada eutanasia pasif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-
langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya
dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya.
Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang

5
dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan
kepada si sakit.
Di antara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama
syara' ialah bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak
wajib hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab.
Bahkan menurut mereka mengobati atau berobat ini hanya berkisar
pada hukum mubah.
2.2 Autopsi
2.2.1 Pengertian Autopsi
Menurut KBBI, autopsi berarti pemeriksaan tubuh mayat
dengan jalan pembedahan untuk mengetahui penyebab kematian,
penyakit, dan sebagainya. Dalam bahasa Arab dikenal dengan
istilah jirahah atau amaliyah bil al-jirahah yang berarti melukai,
mengiris atau operasi pembedahan. Bedah mayat oleh dokter Arab
dikenal dengan istilah at-tashrih jistul al-mauta. Autopsi menurut
istilah adalah pembedahan dan pemeriksaan organ-organ dan
jaringan mayat untuk menemukan penyakit dan cedera yang
menyebabkan atau berkontribusi terhadap kematian.
2.2.2 Hukum Autopsi dalam Islam
Pada dasarnya mengautopsi mayat adalah haram
hukumnya dalam pandangan syari’at Islam karena kehormatan
seorang muslim yang sudah meninggal sama seperti halnya ketika
hidup. Hal yang mendasari hukum asal ini adalah beberapa dalil
sebagai berikut:
a. Dalil al-Qur’an
Allah Ta’ala berfirman:

ِ ْ ‫ِي‬
‫البَر‬ ‫ْ ف‬ ُ‫َا‬
‫هم‬ ْ‫م‬
‫لن‬ ََ
‫َح‬ ‫َم‬
‫َ و‬ ‫َاد‬
‫ِى ء‬ َ ‫َا‬
‫بن‬ ‫من‬ ‫َر‬
َّْ ‫د ك‬َْ َ‫و‬
‫َلق‬
‫هم‬
ْ ُ‫َا‬
‫لن‬ ‫َض‬
َّْ ‫َ الطَّيِبَاتِ و‬
‫َف‬ ‫ِن‬‫ُم م‬ ‫َْقن‬
‫َاه‬ ‫َز‬‫َر‬
‫ِ و‬ ‫ْر‬ ْ ‫و‬
‫َالبَح‬
ً‫ِيل‬‫ْض‬
‫تف‬َ ‫َا‬ ‫ْن‬‫َق‬
‫َل‬‫ْ خ‬ َّ‫ٍ م‬
‫ِمن‬ ‫َث‬
‫ِير‬ ‫َى ك‬
‫َل‬‫ع‬

6
“Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami
angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezeki
dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan
yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami
ciptakan.” (QS. Al-Isra’: 70).
Ayat ini menunjukan bahwa Allah memuliakan anak
Adam dan ini mencakup saat mereka masih hidup dan setelah
meninggal dunia. Sementara itu, otopsi jenazah berarti
menghinakan anak Adam sebab pada otopsi terdapat memotong
anggota tubuh mayat dan membedah perutnya dan sebagainya dari
hal-hal yang bertentangan dengan ayat ini. Oleh karenanya, otopsi
hukumnya terlarang.
b. Dalil hadits
‫عن عائشة رضي هللا عنها أن رسول هللا صلي هللا‬
‫ كس عظم الميت ككسره‬:‫عليه و سلم قال‬
‫حيا‬
Dari Aisyah Radhiyallahu‘anha dari Nabi Shalallahu
‘Alaihi Wa Salam bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya
memecahkan tulang seorang mukmin tatkala mati seperti halnya
memecahkan tulangnya saat hidup.” (HR. Abu Daud).
Hadits ini menunjukan haramnya memecahkan tulang
mayat seorang mukmin, sedangkan autopsi mengandung hal itu
sehingga termasuk dalam larangan hadits.
c. Dalil qiyas
Dalam beberapa hadits disebutkan larangan duduk di atas
kuburan dan bahwasannya penghuni kubur tersebut merasa tersakiti
oleh perbuatan tersebut, padahal duduk di atas kuburan tidak secara
langsung mengenai badan mayat. Maka, tentu saja bedah mayat
dan autopsi jauh lebih terlarang karena langsung berkaitan dengan
badan mayat.

7
d. Kaidah fiqih
Di antara kaidah fiqih yang penting dan agung adalah
kaidah yang diambil dari sebuah hadits yaitu:

‫َل ضرر و َل ضرار‬


“Tidak boleh memudhorotkan diri sendiri dan orang lain.”
Kaidah ini menunjukan haramnya memudharatkan orang
lain, sedangkan autopsi berarti memudharatkan mayat sehingga
hukumnya tidak boleh.
2.2.3 Alasan Diperbolehkannya Autopsi
Sekalipun hukum asalnya adalah terlarang, hanya saja
terkadang terdapat beberapa kondisi yang mengharuskan untuk
autopsi sehingga keluar dari kaidah asal tadi. Sebab saat ini autopsi
sering digunakan sebagai salah satu bagian dari
proses hukum, untuk mencari atau menguatkan bukti. Hasil dari
pemeriksaan autopsi tersebut dalam sebuah surat keterangan dokter
yang lazim dalam dunia kedokteran adalah visum etrepertum yakni
laporan atau surat keterangan dari seorang dokter untuk pengadilan
dalam perkara pidana.
Selain itu, autopsi juga memiliki peran cukup penting
dalam dunia medis bahkan menjadi sebuah tuntutan. Munculnya
cairan penyakit baru yang ganas dan misterius juga memerlukan
penanganan yang lebih serius dan autopsi bisa menjadi salah satu
proses untuk mencari solusi. Autopsi dapat dilakukan tanpa melalui
bedah mayat, misalnya dengan memeriksa kondisi jasad, sidik jari,
luka, dan sebagainya. Namun, tak jarang pula dilakukan
pembedahan pada beberapa organ dalam bahkan mayat yang sudah
dikubur pun digali kembali. Sebagaimana keterangan dalam
macam-macam autopsi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
tujuan autopsi terbagi menjadi tiga. Dan Para ulama berbeda
pendapat dalam hukum ketiga autopsi tersebut :

8
1. Autopsi untuk penelitian kasus kriminal
Hal ini dilakukan untuk mengetahui sebab kematian
pasien. Apakah sebab kematiannya wajar atau sebaliknya sebab
kematiannya tidak wajar, karena sebab penganiayaan, mungkin
tercekik, dipukul, atau sebab lainnya. Jumhur al-Mu’ashirin
berpendapat bahwa autopsi mayat yang dilakukan untuk penelitian
kasus kriminal diperbolehkan, inilah pendapat yang diambil dari
lembaga fatwa Majma’ Fiqih Islami di Makah al-Mukaramah,
Hai’ah Kibar Ulama Arab Saudi, dan Darul Fataya al-Mishriyah.
Jumhur al-Mu’ashirun memperbolehkan melakukan
autopsi dikarenakan hal tersebut mengandung maslahat yang sangat
besar dan termasuk dari kaidah dalam syari’at Islam bahwa apabila
dua kemaslahatan berbenturan maka yang lebih besar
kemaslahatannya didahulukan, dan apabila dua kerusakan
berbenturan maka yang lebih ringan kerusakannya didahulukan.
Tentu saja, ketiadaan autopsi merupakan semata-mata
kemaslahatan pribadi mayat, sedangkan dilakukannya autopsi akan
mengandung kemaslahatan yang lebih besar dan umum. Untuk itu
kemaslahatan umum hendaknya lebih didahulukan daripada
kemaslahatan pribadi.
2. Autopsi untuk penelitian sebuah penyakit
Hal ini dilakukan untuk mengungkap sebab penyakit yang
mengakibatkan kematian untuk dicarikan solusi dan antisipasinya.
Pembahasan ini menjadi perselisihan di kalangan Ahlul Ilmi.
Pendapat yang benar dalam hal ini, bahwa diperbolehkan autopsi
untuk penelitian sebuah penyakit, jika disitu ada tujuan dan sebab
yang benar, seperti seseorang yang terkena penyakit yang bisa
menular kepada orang disekitarnya dan wabah penyakit tersebut
belum diketahui solusi pengobatannya.
Alasan diperbolehkannya hal tersebut karena
kemaslahatan yang sangat besar, dalam hal ini kemaslahatan yang

9
umum lebih didahulukan daripada kemaslahatan pribadi. Jika ada
dua kerusakan berbenturan maka yang lebih ringan kerusakannya
didahulukan. Sesungguhnya menjaga masyarakat dari wabah
penyakit dan solusi penyembuhannya merupakan kemaslahatan
umum sedangkan ketidak bolehan mengautopsi mayat itu
merupakan kemaslahatan pribadi.
3. Autopsi untuk penelitian ilmiah
Autopsi untuk penelitian ilmiah ini dilakukan oleh
mahasiswa fakultas kedokteran. Mereka mendatangkan sosok
mayat, kemudian membedahnya agar para mahasiswa dapat
mempelajari tubuh ini dan melihat seluruh bagian organ tubuh.
Para ulama berselisih pendapat dalam hukum perkara ini,
pendapat tersebut terbagi menjadi 3:
1. Diperbolehkan secara mutlak untuk keperluan
tersebut. Ini adalah fatwa Majma’ Fiqhil Islami di Makkah dalam
daurahnya yang kesepuluh. Dalil mereka memperbolehkan secara
mutlak adalah sebagai berikut:
a) Termasuk kaidah dalam syari’at Islam bahwa apabila
dua kemaslahatan berbenturan maka yang lebih besar
kemaslahatannya didahulukan, karena tidak melakukan autopsi
merupakan kemaslahatan pribadi mayat sedangkan melakukan
autopsi merupakan kemaslahatan umum untuk menjadikan sebuah
manfaat dan melakukan pembelajaran atau penelitian bagi
mahasiswa, dengan ini kemaslahatan umum lebih didahulukan
daripada kemaslahatan pribadi.
b) Jika ada dua kerusakan berbenturan maka yang lebih
ringan kerusakannya didahulukan. Melakukan autopsi pada mayat
adalah suatu kerusakan namun ketidaktahuan akan hukum ilmu
kedokteran merupakan kerusakan yang umum, maka dikedepankan
karena kerusakannya lebih ringan.

10
c) Para fuqoha menyandarkan dengan permasalahan
fiqih yang mengharuskan untuk melakukan autopsi. Mereka
mengatakan bahwa diperbolehkan membedah perut mayat yang
hamil untuk mengeluarkan bayi yang ada dalam perutnya, ketika
bayi ada kemungkinan hidup.
2. Dilarang secara mutlak artinya tidak diperbolehkan,
dalil yang mereka gunakan yaitu:
a) Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
َْ
‫د‬ َ‫َا و‬
‫َلق‬ ‫من‬
ْ‫ِي كر‬ ‫بن‬َ َ‫َم‬
‫ْ آد‬ ُ‫َا‬
‫هم‬ ْ‫م‬
‫لن‬ َ‫َح‬
‫ِي و‬‫َر ف‬ ْ
‫الب‬
‫ْر‬
ِ ‫َح‬ ْ ‫ُم و‬
‫َالب‬ ‫َْقن‬
‫َاه‬ ‫َز‬ ‫َ و‬
‫َر‬ ‫َاتِ من‬
‫ْ الطيب‬ ُ‫َا‬
‫هم‬ ْ‫َفض‬
‫لن‬ ‫و‬
‫لى‬ََ
‫ٍ ع‬ ‫َث‬
‫ِير‬ ‫َا ممن‬
‫ْ ك‬ ‫ْن‬ ََ
‫لق‬ ‫ْض‬
‫ِيلً خ‬ ‫تف‬َ
“Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami
angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezeki
dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan
yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami
ciptakan.” (QS. Al-Isra’: 70).
b) Dalil dari hadits

‫عن عائشة رضي هللا عنها أن رسول هللا صلي‬


‫ كس عظم الميت‬:‫هللا عليه و سلم قال‬
‫ككسره حيا‬
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha dari Nabi Shalallahu
‘Alaihi Wa Salam bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya
memecahkan tulang seorang mukmin tatkala mati seperti halnya
memecahkan tulangnya saat hidup.” (HR. Abu Daud).

‫أن مرثد أبي حديث‬ ‫النبي‬


‫ قال‬:‫وَل القبور على تجلسوا َل‬
‫إليها تصلوا‬

11
Dari Abi Murtsid sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi
Wa Salam bersabda: “Janganlah kalian duduk diatas kuburan dan
shalat di kuburan tersebu.t” (HR. Muslim). Jika duduk diatas
kuburan haram hukumnya maka otopsi pada mayat lebih utama dan
hukumya haram.
3. Diperbolehkan otopsi mayat orang kafir dengan
tujuan penelitian ilmiah atau pembelajaran, namun tidak
diperbolehkan mengautopsi mayat orang muslim. Ini merupakan
pendapat yang ditetapkan oleh Hai’ah Kibarul Ulama di Saudi
Arab, mereka berdalil dengan beberapa dalil sebagai berikut:
a) Autopsi untuk keperluan penelitian kedokteran
tersebut bisa dilakukan dengan mayat orang kafir karena kemuliaan
dan kehormatan orang kafir tidak seperti kemuliaan dan
kehormatan orang muslim. Kemuliaan dan kehormatan orang
muslim sangat tinggi di sisi Allah Ta’ala baik ketika hidup
maupun sudah meninggal. Berbeda dengan orang kafir yang
kemuliaan dan kehormatannya lebih rendah di sisi AllahTa’ala,
sebagaimana firmannya:

‫َن‬
‫َم‬
‫ِنِ و‬
‫يه‬ُ ُ‫َا هللا‬‫َم‬ ‫ه ف‬ُ‫ِن َل‬
‫ٍ م‬ ‫مكْر‬
‫ِم‬
‫ِن‬ ‫ُ هللاَ إ‬
‫َل‬‫ْع‬
‫َا يف‬ ‫َشَاء م‬‫ي‬
“Dan barang siapa yang dihinakan Allah maka tidak seorang pun
yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia
kehendaki.” (QS. Al-Hajj: 18).
b) Jasad mayat orang kafir sangat memungkinkan
untuk mendapatkannya dan diperbolehkan membelinya dengan
harga murah untuk kondisi darurat, karena jasad mayat dan badan
orang kafir tidak haram. Berbeda dengan jasad orang muslim yang
di haramkan oleh Allah Ta’ala dan Rosul-Nya. c) Hukum
asal autopsi adalah haram pada mayat muslim, maka tidak boleh
kecuali dalam batas-batas syari’at ketika kondisi darurat saja.

12
d) Autopsi seorang muslim menjadikan terbengkalainya
kebanyakan kewajiban yang berkaitan dengannya setelah mati,
seperti memandikan jenazah, menshalatinya, menguburkannya, dan
sebagainya yang dianjurkan oleh syari’at untuk dilakukan dengan
segera tidak ditunda-tunda.
Berdasarkan alasan-alasan inilah, maka diperbolehkan
autopsi mayat kafir bukan muslim. Namun, para dokter dan
sebagainnya yang melakukan autopsi harus melakukannya sesuai
kadar hajat dan kebutuhan. Jika memang kebutuhan tersebut telah
terpenuhi, maka tidak boleh melakukan autopsi mayat kafir
sekalipun, sebab kaidahnya apa yang diperbolehkan karena suatu
udzur maka batal dengan hilangnya udzur tersebut.
Akan tetapi menurut pendapat jumhur yaitu Malikiyah,
Syafi’iyah, dan Hanafiyah tidak ada perbedaan pendapat dalam
otopsi jenazah, menurut mereka diperbolehkan autopsi jenazah
dengan tujuan penelitian ilmiah, penelitian sebab kematian mayat
dan peneletian kasus kriminal.
2.3 Sirkumsisi/Khitan
2.3.1 Pengertian Sirkumsisi/Khitan.
Khitan atau dalam bahasa Indonesia biasa disebut sunat,
menurut KBBI memiliki arti berpotong kulup; khitan. Khitan
merupakan bagian dari syariat Islam. Khitan dalam agam Islam
termasuk bagian dari fitrah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
ِ
‫َة‬‫ِطْر‬ ْ َ
‫الف‬ ‫ِن‬ ‫َم‬
‫ْس م‬‫ْ خ‬ ‫َو‬ ‫َم‬
‫ْس أ‬‫ة خ‬ ‫ِطْر‬
َُ ْ
‫–الف‬ ‫َان‬
ُ ْ
‫الخِت‬
ِ
‫بط‬ِْ‫ُ اْل‬ ‫ْف‬
‫نت‬ََ
‫ِ و‬ ‫ُ األَظْف‬
‫َار‬ ‫ِيم‬‫ْل‬
‫تق‬ََ
‫د و‬ َْ
ُ‫دا‬‫ِح‬‫ِسْت‬‫َاَل‬
‫و‬
َ‫و‬
‫َقصُّ الشَّار‬
‫ِب‬
“Fitrah itu ada lima perkara : khitan, mencukur bulu kemaluan,
menggunting kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur kumis “
(H.R Muslim 257).

13
Yang dimaksud dengan fitrah adalah sunnah yang
merupakan ajaran agama para Nabi ‘alaihimus salam. Imam Ibnul
Qayyim rahimahullah menjelaskan, “ Fitrah ada dua jenis. Pertama
adalah fitrah yang berkaitan dengan hati,
yaitu ma’rifatullah (mengenal Allah) dan mencintai-Nya serta
mengutamakan-Nya lebih dari yang selain-Nya. Kedua yaitu
fitrah amaliyyah, yaitu fitrah yang disebutkan dalam hadits di atas.
Fitrah jenis yang pertama menyucikan ruh dan membersihkan hati
sedangkan fitrah yang kedua menyucikan badan. Keduanya saling
mendukung dan menguatkan satu sama lain. Yang utama dan
pokok dari fitrah badan adalah khitan”.
2.3.2 Hukum Khitan dalam Islam
Para ulama Islam berselisih pendapat tentang hukum
khitan menjadi tiga pendapat:
 Pendapat pertama : Khitan hukumnya wajib bagi laki-laki
dan wanita.
 Pendapat kedua : Khitan hukumnya sunnah bagi laki-
laki dan wanita.
 Pendapat ketiga : Khitan hukumnya wajib bagi laki-laki
dan sunnah bagi wanita.
Yang lebih tepat, hukum khitan bagi laki-laki adalah
wajib. Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Khitan
hukumnya wajib bagi lai-laki , dan merupakan kemuliaan bagi
wanita namun hukumnya tidak wajib. Ini merupakan pendapat
mayoritas para ulama”. Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam
Asy Syu’bi, Rabi’ah, Al Auza’i, Yahya bin Sa’id Al Anshari, Imam
Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan ulama-ulama
lainnya rahimahumullah. Di antara alasan-alasan yang
menunjukkan wajibnya hukum khitan adalah sebagai berikut :
 Khitan merupakan bagian dari fitrah, yakni sunnah yang
diajarkan oleh para Nabi ‘alaihimus salam.

14
 Khitan merupakan ajaran agama Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.
Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
َ َْ
‫د ما‬ َ ِ‫َن‬
‫بع‬ ‫ْم‬ ‫ُ الر‬
‫َّح‬ ‫َل‬
‫ِيْل‬ ‫ُ خ‬‫ِيْم‬
‫َاه‬ ِْ
‫بر‬ ‫َن‬
‫َ إ‬ ‫َت‬
‫ْت‬‫ِخ‬
‫إ‬
ً
‫َة‬‫َ سَن‬‫ْن‬
‫نو‬ُ‫َا‬‫َم‬ ‫َيْه‬
‫ِ ث‬ ‫ْ ع‬
‫َل‬ ‫تت‬ََ
‫أ‬
“Nabi Ibrahim Khalilur Rahman berkhitan setelah umur delapan
puluh tahun “ (H.R Bukhari 6298 dan Muslim 370). Khitan
merupakan ajaran Nabi Ibrahim ‘alahis salam, padahal
Allah Ta’ala memerintahkan untuk mengikuti ajaran agama
Ibrahim dalam firman-Nya :

َ
‫ِيم‬
‫َاه‬
‫بر‬ ‫َ إ‬
ِْ َّ‫ْ م‬
‫ِلة‬ َّ ِ‫َن‬
‫اتبِع‬ ‫َِليْكَ أ‬
‫َا إ‬
‫َيْن‬
‫ْح‬‫َو‬
‫َّ أ‬
‫ثم‬ ُ
َ‫ِين‬ ‫ُشْر‬
‫ِك‬ ْ َ
‫الم‬ ‫ِن‬‫َ م‬‫َان‬‫َا ك‬
‫َم‬‫ً و‬‫ِيفا‬
‫َن‬ ‫ح‬
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah
agama Ibrahim seorang yang hanif” dan dia tidak termasuk orang-
orang yang mempersekutukan Allah.“ (An Nahl :123).
 Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada
seseorang yang masuk Islam untuk berkhitan. Beliau bersabda
kepada seseorang yang masuk Islam :
ْ
‫ِن‬‫َت‬
‫ْت‬‫َاخ‬ ‫ْر‬
‫ِ و‬ ‫ُف‬ ْ َ
‫الك‬ ‫ْر‬‫ْكَ شَع‬
‫َن‬ ‫َْلق‬
‫ِ ع‬ ‫أ‬
“Buanglah darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah.” (H.R Abu
Dawud 356, dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Al
Irwa’ 79). Hukum asal suatu perintah menunjukkan wajib,
sehingga perintah untuk berkhitan dalam hadits di atas adalah
wajib.
 Khitan merupakan bagian dari syariat kaum muslimin yang
merupakan pembeda dari kaum Yahudi dan Nasrani. Maka
hukumnya wajib untuk melaksanakannya sebagaimana syariat
Islam yang lainnya.

15
 Khitan adalah memotong sebagian anggota tubuh. Memotong
bagian tubuh dalam Islam merupakan perbuatan haram. Keharaman
tidak dibolehkan kecuali untuk sesuatu yang hukumnya wajib. Atas
dasar ini maka khitan hukumnya wajib.
 Diperbolehkan membuka aurat pada saat khitan, padahal
membuka aurat sesuatu yang dilarang. Ini menujukkan bahwa
khitan hukumnya wajib, karena tidak diperbolehkan melakukan
sesuatu yang dilarang kecuali untuk sesuatu yang sangat kuat
hukumnya.
 Khitan menjaga tubuh dari najis yang merupakan syarat sah
shalat. Apabila tidak dikhitan, maka sisa air kencing akan tertahan
pada kulup yang menutupi kepala penis. Khitan adalah memotong
kulup yang menutupi kepala penis sehingga tidak ada lagi sisa air
kencing yang tertahan. Dengan demikian, khitan menjadikan tubuh
bebas dari najis.
2.4 Transfusi Darah
2.4.1 Pengertian Transfusi Darah
Transfusi darah adalah proses menyalurkan darah atau
produk berbasis darah dari satu orang ke sistem peredaran orang
lainnya. Transfusi darah berhubungan dengan kondisi medis seperti
kehilangan darah dalam jumlah besar
disebabkan trauma, operasi, syok, dan tidak
berfungsinya organ pembentuk sel darah merah.
2.4.2 Hukum Transfusi Darah dalam Islam
Manusia merupakan makhluk sosial yang notabenenya
harus menolong manusia yang lain, apalagi itu terkait dengan
masalah nyawa. Tentunya hal tersebut dilakukan sesuai dengan
kemampuan dan tidak merugikan pihak manapun. Transfusi darah
merupakan salah satu wujud kepedulian kita kepada sesama
manusia. Secara sosiologis, masyarakat telah lazim melakukan

16
donor darah untuk kepentingan pelaksanaan transfusi, baik secara
sukarela maupun dengan menjual kepada yang membutuhkannya.
Masalah transfusi darah adalah masalah baru dalam
hukum Islam, karena tidak ditemukan hukumnya dalam fiqh pada
masa-masa pembentukan hukum Islam. Al-Qur’an dan Hadits pun
sebagai sumber hukum Islam, tidak menyebutkan hukumnya,
sehingga pantaslah hal ini disebut sebagai masalah ijtihadi guna
menjawab permasalahan mengenai hubungan pendonor dengan
resepien, hukum menjual belikan darah dan hukum transfusi darah
dengan orang beda agama, karena untuk mengetahui hukumnya
diperlukan metode-metode istinbath atau melalui penalaran
terhadap prinsip-prinsip umum agama Islam.
Allah berfirman :

َ‫َّ م‬
‫َالد‬ ‫َ و‬‫َيْتَة‬ ْ ُ‫َ يْكُم‬
‫ال م‬ ‫َّمَ عَل‬
‫َا حَر‬ ‫َّ م‬
‫ِن‬ ‫إ‬
ِ‫َيْر‬‫ِغ‬ ‫َّ بِهِ ل‬
‫ِل‬‫ُه‬
‫َا أ‬ ‫َم‬ ‫ال خِنْزِيرِ و‬
ْ َ‫ل حْم‬ ََ ‫و‬
ََ
‫ل‬ ‫ٍ ف‬ ‫َل عَا د‬ََ‫َاغٍ و‬‫َ ب‬‫َّ غَيْر‬ ‫َنِ اضْطُر‬ ‫َم‬‫ِ ف‬ َّ
ۖ‫اَّلل‬
‫َحِيم‬‫ُ ور ر‬ َّ َّ
‫اَّللَ غَف‬ ‫ِن‬‫ۚ إ‬ ‫ْ مَ عَل‬
ِ‫َ يْه‬ ‫ِث‬ ‫إ‬
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai,
darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut
(nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa
(memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S Al-Baqarah
ayat 173).

Juga ada Al-Hadits yang berbunyi sebagai berikut;


ُ‫ْب‬
‫َة‬ ‫َا شُع‬‫َن‬
‫دث‬ََّ
‫ِيُّ ح‬
‫مر‬ََّ
‫َ الن‬ ‫مر‬
َُ‫ُ ع‬‫بن‬ْ ُ‫ْص‬
‫َف‬‫َا ح‬‫َن‬ ََّ
‫دث‬ ‫ح‬
ٍ‫ِيك‬ ‫َ ب‬
‫ْنِ شَر‬ ‫َة‬ ُ
‫ْ أسَام‬ ‫َ ع‬
‫َن‬ ‫ِلَقة‬
َ‫ْنِ ع‬ ‫ِ ب‬‫َاد‬‫ِي‬‫ْ ز‬‫َن‬‫ع‬
َ َّ‫َس‬
‫َلم‬ ‫ِ و‬ ‫َي‬
‫ْه‬ ‫َل‬ َّ
‫اَّللُ ع‬ َّ‫َّبِيَّ ص‬
‫َلى‬ ‫ُ الن‬ ‫تيْت‬ََ ‫َق‬
َ‫األ‬
‫ْ الطَّيْر‬
ُ ‫ِم‬‫ِه‬‫ءوس‬ُُ‫َى ر‬ ‫َل‬‫َا ع‬ ‫نم‬ََّ
‫َأ‬‫ه ك‬ َ‫َا‬
ُ‫ب‬ ‫َص‬
‫ْح‬ ‫َأ‬‫و‬

17
‫َا‬ ‫ْ ه‬‫ِن‬‫ُ م‬ ‫َاب‬ ‫األَع‬
‫ْر‬ ْ ‫ء‬ ‫َج‬
َ‫َا‬ ‫ُ ف‬‫دت‬ ‫َّ َقع‬
َْ ‫ثم‬ُ ُ‫مت‬ َّ‫َس‬
ْ‫َل‬ ‫ف‬
َّ
ِ‫اَّلل‬ َ
‫َسُول‬‫َا ر‬ ‫الوا ي‬ ُ َ‫َق‬
‫َا ف‬ ‫هن‬
ُ ‫َا‬ ‫َا و‬
‫َه‬ ‫هن‬
ُ
‫َّ و‬ َ
َّ
‫َل‬ ‫َج‬ ‫َز‬ َّ َّ
‫اَّللَ ع‬ ‫إن‬َِ‫ْا ف‬‫َو‬
‫داو‬َ‫ت‬َ َ ‫َال‬‫َق‬
‫َى ف‬ ‫داو‬ََ‫نت‬َ‫أ‬
ٍ‫َا‬
‫ء‬ ‫َيْر‬
‫َ د‬ ‫ء غ‬ ‫َو‬
ً‫َا‬ ‫ه د‬ ُ‫َ َل‬
‫َع‬ ‫ََِّل و‬
‫َض‬ ‫ء إ‬ً‫َا‬
‫ْ د‬ ‫َع‬
‫يض‬َ ْ ‫َلم‬
)‫ُ (رواه ابي داوود‬ ‫َم‬
‫هر‬ ْ ٍ
َ‫ال‬ ‫َاحِد‬‫و‬
“Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Umar An Namari
telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Ziyad bin 'Ilaqah
dari Usamah bin Syarik ia berkata, "Aku pernah mendatangi Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya, dan seolah-olah
di atas kepala mereka terdapat burung. Aku kemudian
mengucapkan salam dan duduk, lalu ada seorang Arab badui
datang dari arah ini dan ini, mereka lalu berkata, "Wahai
Rasulullah, apakah boleh kami berobat?" Beliau menjawab:
"Berobatlah, sesungguhnya Allah 'azza wajalla tidak menciptakan
penyakit melainkan menciptakan juga obatnya, kecuali satu
penyakit, yaitu pikun." (H.R Abu Dawud).
Pandangan Ulama’ berdasarkan kaidah hukum Fiqh
Islam yang berbunyi:

‫َلمل فى َلشياء اَلباحة حتى يدل الدليل‬


‫على تحريمها‬
“Bahwasanya pada prinsipnya segala sesuatu boleh hukumnya
kecuali kalau ada dalil yang mengaramkannya.”
Masalah transfusi darah tidak dapat dipisahkan dari
hukum menjual belikan darah sebagaimana yang sering terjadi
dalam parkteknya di lapangan. Mengingat semua jenis darah
termasuk darah manusia itu najis berdasarkan hadits
riwayat Bukhari dan Muslim dari Jabir, kecuali barang najis yang
ada manfaatnya bagi manusia, seperti kotoran hewan untuk
keperluan pupuk. Menurut madzhab Hanafi dan Dzahiri, Islam
membolehkan jual beli barang najis yang ada manfaatnya seperti
kotoran hewan. Maka secara analogi (qiyas) madzhab ini

18
membolehkan jual beli darah manusia karena besar sekali
manfaatnya untuk menolong jiwa sesama manusia, yang
memerlukan transfusi darah. Namun pendapat yang paling kuat
adalah bahwa jual beli darah manusia itu tidak etis disamping
bukan termasuk barang yang dibolehkan untuk diperjual belikan
karena termasuk bagian manusia yang Allah muliakan dan tidak
pantas untuk diperjual belikan, karena bertentangan dengan tujuan
dan misi semula yang luhur, yaitu amal kemanusiaan semata,
guna menyelamatkan jiwa sesama manusia.
Persyaratan dibolehkannya tranfusi darah itu berkaitan
dengan masalah medis, bukan masalah agama. Persyaratan medis
ini harus dipenuhi karena adanya kaidah-kaidah hukum Islam
sebagai berikut:
1. ‫الضرريزال‬ Artinya bahaya itu harus

dihilangkan (dicegah). Misalnya bahaya kebutaan harus dihindari


dengan berobat dan sebagainya.
2. ‫ الضرر َليزال بالضرر‬Artinya bahaya

itu tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lain yang lebih besar.
Misalnya seorang yang memerlukan transfusi darah karena
kecelakaan lalu lintas, atau operasi, tidak boleh menerima darah
orang yang menderita AIDS, sebab bisa mendatangkan bahaya
yang lebih besar/berakibat fatal.
3. ‫ضرار‬ ‫وَل‬ ‫َلضرر‬ Artinya tidak boleh

membuat mudarat kepada dirinya sendiri dan tidak pula membuat


mudarat kepada orang lain, misalnya seorang pria yang impotent
atau terkena AIDS tidak boleh kawin sebelum sembuh.
Apabila terdapat padanya maslahat dan tidak
menimbulkan kemudharatan yang dapat membahayakan dirinya,
maka donor darah tidak terlarang. Bahkan padanya terdapat pahala

19
dan keutamaan, sebagaimana yang termaktub dalam kitabullah dan
sunnah Rasul-Nya.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari uraian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa
Euthanasia dalam pandangan hukum islam merupakan sebuah
perbuatan melanggar hukum dan masuk dalam kategori
pembunuhan. Islam melarang pembunuhan terhadap diri sendiri
baik dilakukan sendiri maupun dengan bantuin orang lain, karena
hak untuk menghidupkan dan mematikan hanya dimiliki oleh Allah
SWT.
Autopsi jenazah menurut istilah adalah pembedahan
dan pemeriksaan organ-organ dan jaringan mayat untuk
menemukan penyakit dan cedera yang menyebabkan atau
berkontribusi terhadap kematian. Menurut pendapat jumhur yaitu
Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanafiyah tidak ada perbedaan
pendapat dalam otopsi jenazah, menurut mereka diperbolehkan
autopsi jenazah dengan tujuan penelitian ilmiah, penelitian sebab
kematian mayat dan peneletian kasus kriminal.
Sirkumsisi/khitan merupakan bagian dari syariat Islam.
Khitan merupakan bagian dari fitrah, yakni sunnah yang diajarkan
oleh para Nabi ‘alaihimus salam. Hukum khitan bagi laki-laki
adalah wajib. Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Khitan

20
hukumnya wajib bagi lai-laki, dan merupakan kemuliaan bagi
wanita namun hukumnya tidak wajib.”
Transfusi darah adalah proses
menyalurkan darah atau produk berbasis darah dari satu orang
ke sistem peredaran orang lainnya. Transfusi darah apabila terdapat
padanya maslahat dan tidak menimbulkan kemudharatan yang
dapat membahayakan dirinya, maka transfusi darah tidak terlarang.
Bahkan padanya terdapat pahala dan keutamaan, sebagaimana yang
termaktub dalam kitabullah dan sunnah Rasul-Nya.
3.2 Saran
Dalam pandangan agama islam merawat pasien
merupakan tugas mulia, baik secara tersurat maupun tersirat agama
islam sangat menuntut akan hadirnya peran perawat (rufidah) di
tengah masyarakat. Dalam mengabdi kepada masyarakat
diperlukan kesiapan-kesiapan tertentu yang harus dimiliki oleh
perawat yang menjadikan profesi keperawatan sebagai profesi yang
sebenarnya. Dalam menjalankan tugasnya, perawat harus
memperhatikan aspek-aspek meliputi ketelitian, kecermatan, dan
kewaspadaaan guna meminimalisir resiko negatif yang mungkin
akan timbul. Serta rasa tanggung jawab yang harus dijunjung tinggi
dalam menghadapi segala tindakan yang dilakukan. Sebagai
seorang perawat harus proaktif dalam menjalankan tugas yang
diembannya bukan hanya sebagai penunggu pasien yang sakit
ketika datang ke rumah sakit.

21
DAFTAR PUSTAKA

Bajang, T. 2008. Perdebatan Etis atas Euthanasia (Perspektif Filsafat


Moral). Yogyakarta: Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Zaelani, A. 2008. Euthanasia dalam Pandangan Hak Asasi Manusia
dan Hukum Islam. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Hastuti, D. 2009. Perspektif Hukum Islam Terhadap Otopsi (Studi Kasus
di RSUP DR. Sardjito Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Contreras, M. 1995. Petunjuk Penting Transfusi. Jakarta: Penerbit EGC.
Al-Hafidz, Ahsin W. 2007. Fikih Kesehatan. Jakarta: AMZAH.
Naro, A.H. 2010. Hukum Khitan. (https://almanhaj.or.id/2735-hukum-
khitan.html), diakses pada 19 Oktober 2017.

22

Anda mungkin juga menyukai