Anda di halaman 1dari 55

BAB I

PENDAHULUAN

1. Pengertian Hukum Acara Perdata


Hukum dapat dibedakan menjadi hukum materiil dan hukum formil.Hukum materiil
adalah hukum yang mengatur isi dari hukum itu sendiri secara tertulis maupun tidak
tertulis.Sedangkan hukum formil merupakan hukum yang mengatur tata cara bagaimana
menegakkan hukum materiil.Apabila hukum materiil dilanggar, hukum formil berfungsi untuk
menegakkan atau mempertahankannya.Jadi dapat diketahui bahwa hukum acara perdata yang
termasuk dalam hukum formil, adalah peraturan hukum yang mengatur cara – cara untuk
mempertahankan hukum perdata materiil, apabila timbul pelanggaran hak dan kewajiban pada
hukum perdata materiil.1

2. Sumber Hukum Acara Perdata


Hukum acara perdata menurut pasal 5 ayat 1 UUDar. 1/1951, dilakukan berdasarkan
peraturan perundang – undangan yang telah ada dan berlaku dalam daerah Republik Indonesia
terdahulu2.Yang dimaksud oleh UUDar. 1/1951 tersebut adalah Het Herziene Indonesisch
Reglement(HIR) atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui yang berlaku untuk darah Jawa dan
Madura, dan Rechsreglement Buitengewesten atau reglemen dsersh seberang(Rbg) untuk luar
Jawa dan Madura.Selain itu Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering(RV) atau reglemen
hukum acara perdata untuk golongan eropa juga merupakan sumber dari hukum acara perdata.
Kemudian ada UU no. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, yang telah
mengalami perubahan, yang dulu organisasi, administrasi, dan finansialnya berada pada
kekuasaan Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman, dengan berlakunya UU no 48 tahun
2009 hanya berada pada kekuasaan Mahkamah Agung saja.Kemudian peraturan perundang –
undangan lainnya yang mengatur mengenai hukum acara perdata yaitu UU no. 1 tahun 1974
tentang perkawinan dan PP no. 9 tahun 1975 tentang pelaksanan UU no. 1 tahun 1974 yang
mengatur antara lain tentang acara pemberian izin perkawinan, pencegahan perkawinan,
perceraian, pembatalan perkawinan, dan sebagainya sepanjang mengenai perkawinan.Kemudian

1
R. Soesilo,RIB/HIR dengan penjelasan, Hlm. 78
2
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, hlm. 7
berlaku pula UU no. 20 tahun 1947 yang mengatur hukum acara perdata dalam hal banding
yang dilakukan di pengadilan tinggi untuk daerah Jawa dan Madura(untuk diluar Jawa dan
Madura berlaku ketentuan dalam pasal 199-205 Rbg).Perlu diperhatikan juga UU no. 3 tahun
2009 tentang Mahkamah Agung serta UU no. 51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara.Ketentuan mengenai hukum acara perdata dapat juga kita temukan dalam UU no. 32
tahun 2009 tentang kepailitan, UU no. 4 tahun 1982 tentang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, UU no. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, UU no. 2 tahun 2003
tentang mediasi, PERMA 1 tahun 2002 tentang Class Action, PERMA 1 tahun 2000 tentang
Gijzeling, PERMA 2 tahun 2003 tentang Mediasi.
Yurisprudensi atau putusan hakim juga merupakan sumber hukum acara perdata,
misalnya putusan Mahkamah Agung tanggal 14 April 1971 no. 99/K/Sip/1971, yang
menyeragamkan hukum acara dalam perceraian bagi mereka yang tunduk pada BW.Mengenai
Surat Edaran Mahkamah Agung, sepanjang mengatur hukum acara perdata dan hukum perdata
materiil tidaklah mengikat hakim sebagaimana undang-undang, namun dapat menjadi suatu
referensi bagi hakim dalam menggali hukum acara perdata maupun hukum perdata
materiil.Misalnya SEMA no. 19 tahun 1964 dan SEMA no. 3 tahun 1965 yang menegaskan
berlakunya HIR dan Rbg.Kemudian SEMA no 3 tahun 1963 yang menginstruksikan agar hakim
menyesuaikan BW dengan perkembangan masyarakat.
Hukum acara perdata dapat pula diatur dalam adat kebiasaan sebagaimana disebutkan
oleh Wirjono Projodikoro.Namun adat kebiasaan ini yang merupakan hukum tidak tertulis tidak
dapat menjamin kepastian hukum.Kemudian perjanjian internasional juga termasuk sumber
hukum acara perdata.Misalnya perjanjianm kerja sama dibidang peradilan antara Republik
Indonesia dengan Thailand mengenai kesepakatan mengadakan kerja sama menyampaikan
dokumen – dokumen pengadilan dan memperoleh bukti – bukti dalam hal perkara – perkara
hukum perdata dan dagang.Doktrin atau pendapat para ahli hukum juga termasuk sumber hukum
acara perdata.

3. Asas –Asas Hukum Acara Perdata


Asas – asas yang terdapat dalam hukum acara perdata anatara lain adalah hakim bersifat
menunggu, hakim bersifat pasif, persidangan bersifat terbuka, mendengar kedua belah pihak,
putusan disertai alasan – alasan, beracara dikenakan biaya, dan tidak ada keharusan untuk
mewakilkan.
Asas dari hukum acara perdata pada umumnya ialah bahwa pelaksanaanya, yaitu inisiatif
untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan. Kalau
tidak ada tuntutan hak atau penuntutan, maka tidak hakim. Demikianlah bunyi pameo yang tidak
asing lagi ( wo kein klager ist, ist kein reichter, nemo judex sine actore ). 3 Jadi tuntutan hak yang
mengajukan adalah pihak yang berkepentingan, sedang hakim menunggu datangnya tuntutan hak
yang diajukan kepadanya “index ne procedat EX officio” ( lihat pasal 118 HIR, 142
Rgb.).Begitulah maksud dari asas hakim bersifat menunggu. Hanya yang menyelenggarakan
proses adalah negara. Akan tetapi sekali perkara diajukan kepadanya, Pengadilan dilarang
menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya
(pasal 10 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009).
Hakim didalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif dala arti kata bahwa ruang
lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya di
tentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. Hakim hanya membantu para
pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya
peradilan ( pasal 4 ayat (2) UU No.48 tahun 2009). Hakim terikat pada peristiwa yang diajukan
oleh para pihak (secendum allegata iudicare). Hanya peristiwa yang disengketakan sajalah yang
harus dibuktikan. Hakim terikat pada peristiwa yang menjadi sengketa yang diajukan oleh para
pihak. Para pihaklah yang diwajibkan untuk membuktikan dan bukan hakim.Jadi pegertian pasif
ini yaitu bahwa hakim tidak menentukan luas dari pada pokok sengketa. Hakim tidak boleh
menambah atau menguraninya. Akan tetapi itu semuanya tidak berarti bahwa hakim tidak aktif
sama sekali. Selaku pimpinan sidang harus aktif memimpin dan memeriksa perkara dan tidak
merupakan pegawai atau sekedar alat dari pada para pihak, dan haruslah berusaha sekeras-
kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan.
Kemudian persidangan sidang pemeriksaan pengadilan pada asasnya adalah terbuka
untuk umum, yang berarti bahwa setiap orang dibolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan
di persidangan. Tujuan dari pada asas ini tidak lain untuk memberikan perlindungan hak-hak

3
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, hlm. 11
asasi manusia dalam peradilan serta untuk lebih menjamin objektivitas peradilan dengan
mempertanggungjawabkan yang fair, tidak memihak serta putusan yang adil kepada masyarakat.
Asas ini dapat kita jumpai pada Pasal 13 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 : “Semua sidang
pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain”.
Secara formil asas ini membuka kesempatan untuk “social kontrol”. Asas terbukanya
persidangan tidak mempunyai arti bagi acara yang berlangsung secara tertukis. Kecuali apabila
ditentukan lain oleh undang-undang atau apabila berdasarkan alasan-alasan yang penting yang
dimuat di dalam berita acara yang diperintahkan oleh hakim, maka persidangan dia lakukan
dengan pintu tertutup.
Asas kedua belah pihak harus didengar lebih dikenal dengan asas “audi et alteram
partem” , Bahwa hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar,
bila pihak lawan tidak didengar atau tidak di beri kesempatan untuk mengeluarkan
pendapatanya.Jadi kedua belah pihak diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama-
sama. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang, seperti yang
dimuat dalam pasal 4 ayat (1) UU No.48 tahun 2009 yang mengandung arti bahwa didalam
hukum acara perdata yang berperkara harus sama-sama diperhatikan atas perlakuan yang sama
dan adil serta masing-masing harus di beri kesempatan untuk memberi pendapatnya.
Semua putusan pegadilan harus memuat alsasn-alasan putusan yang dijadikan dasar
untuk mengadili (pasal 184 ayat (1), 319 HIR, 618 Rgb.). alasan-alasan atau argumentasi itu
dimaksudkan sebgai pertanggung jawaban hakim dari pada putusanya terhadap masyarakat, para
pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hukum, sehingga oleh karenanya mempunya nilai
objektif. Karena adanya alasan-alasan itulah maka putusan yang mempunyai wibawa dan bukan
karena hakim tertentu yang menjatuhkanya. Putusan MA yang menetapkan, bahwa putusan yang
tidak lengkap atau kurang cukup dipertanggungjwabkan (onvoldoende gemotiveerd) mrupakan
alasan untuk kasasi dan harus dibatalkan. Kenyataanya sekarang tidak sedikit hakim yang terikat
oleh putusan pengadilan tinggi atau mahkamah agung mengenai perkara yang sejens. Bukan
karena kita mengikuti asas “the binding force of precedent”, melainkan terikatnya hakim itu
karena yakin bahwa putusan yang mengenai perkara yang sejenis itu meyaknkan putusan itu
tepat. Ilmu pengetahuan hukum merupakan sumber pula untuk mendapatkan bahan guna
mempertanggung jawabkan putusan hakim didalam memeprtimbangakannya. Sifat objektif dari
pada ilmu pengetahuan itu sendiri menyebabkan putusan hakim yang bernilai objektif pula.
Untuk berperkara pada asasnya dikenakan biaya ( pasal pasal 2 ayat (4) UU No. 48 tahun
2009, 121 ayat 4, 182,183 HIR, 145 ayat 4, 192-194 Rgb.). Biaya perkra ini meliputi biaya
kepanitraan dan biaya panggilan, pemberitahuan para pihak serta biaya materai. Disamping itu
apabila diminta bantuan seorang pengacara, maka harus pula dikeluarkan biaya. Namun bagi
yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara, dapat mengajukan perkara secara Cuma-
Cuma (pro deo) dengan mendapatkan izin untuk dibebaskan dari pembayaran biaya perkara,
dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh kepala polisi ( pasal 23 HIR,
273 Rgb.).
HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilakan perkara orang lain, sehingga
pemerikasaan terjadi secara langsung terhadap pihak yang langsung berkepentingan. Akan tetapi
para pihak dapat dibantu atau di wakili oleh kuasanya kalau dikehendakinya. Dengan demikian
hakim tetap wajib memeriksa sengketa yang diajukan kepadanya, meskipun para pihak tidak
mewakilkan kepada seorang kuasa. Wewenang untuk mengajukan gugatan dengan lisan tidak
berlaku bagi kuasa.Dengan memeriksa para pihak yang berkepentingan secara langsung hakim
dapat mengetahui lebih jelas persoalannya. Walaupun HIR menentukan, bahwa para pihak dapat
dibantu atau diwakili, akan tetapi tidak ada ketentuan bahwa seorang pembantu atau diwakil
harus seorang ahli atau sarjana hukum. Menurut RO ada persyaratanya untuk bertindak sebagai
prosedur. Antara lain ia harus sarjana hukum ( pasal 186). Pada hakikatnya tujuan dari pada
perwakilan wajib oleh sarjana hukum (verplichte procureurstelling) ini tidak lain untuk lebih
menjamin pemeriksaan yang objektif, melancarkan jalanya peradilan dan memperoleh putusan
yang adil.Perwakilan dapat terjadi karena ketentuan undang-undang, misalnya untuk anak
dibawah umur oleh orangtua atau wali, sakit ingatan oleh pengampunya, perjanjian kuasa
khusus, untuk perwakilan yang dilakukan oleh pengacara atau penasehat hukum, Tanpa surat
kuasa khusus, untuk acara gugatan perwakilan kelompok oleh satu atau beberapa orang dari
kelompoknya (Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok).

4. Pihak – Pihak dalam Hukum Acara Perdata


Terdapat tiga pihak dalam hukum acara perdata.Pihak – pihak tersebut antara lain,
penggugat, tergugat, dan turut tergugat.Penggugat(dapat disebut juga eiser atau plaintiff) adalah
pihak yang mengajukan gugatan karena merasa hak –haknya dilanggar.Sedangkan
tergugat(disebut juga gedaagde atau defendant) merupakan pihak yang digugat oleh penggugat
yang dirasa telah melanggar haknya.Kedua pihak inilah yang terlibat langsung dalam suatu
perkara perdata.Kedua pihak ini dapat bertindak atas namanya sendiri atau dapat pula seseorang
yang bertindak sebagai pihak – pihak tersebut untuk kepentingan pihak – pihak
tersebut.Misalnya seorang pengampu, wali, ataupun kuasa hukum.Meskipun bertindak untuk
kepentingan pihak yang diwakilkan, mereka bertindak tetap atas nama mereka sendiri.Dapat
terlihat dari suatu gugatan maupun dalam putusan dimana nama wakilnya juga disebutkan
disamping nama – nama yang diwakilinya.Khusus untuk badan hukum, harus memiliki seorang
wakil untuk beracara di pengadilan.Lalu pihak yang ketiga yaitu turut tergugat, yaitu pihak –
pihak yang demi formalitas gugatan harus dilibatkan sebagai pihak – pihak yang tunduk dan taat
pada putusan hakim.

5. Tuntutan Hak/Gugatan
Sebagaimana telah dijelaskan dalam pengertian hukum acara perdata, hukum acara
perdata adalah hukum yang mengatur tata cara mempertahankan hak dalam bidang
keperdataan.Cara untuk mempertahankan ini adalah dengan mengajukan tuntutan hak.Tuntutan
hak adalah tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak yang dilakukan melalui
pengadilan.4 Tututan hak lazinya disebut sebagai gugatan.Tuntutan hak atau gugatan ini harus
dibedakan dengan permohonan.Perbedaan ini dapat terlihat dari kepentingannya.Dalam gugatan,
terdapat konflik kepentingan antara pihak satu dengan pihak lainnya.Sedangkan dalam
permohonan kepentingannya adalah kepentingan sepihak dan tidak ada kepentingan pihak
lain.Dengan kata lain dalam gugatan terdapat suatu sengketa sedangkan dalam permohonan tidak
terdapat sengketa.Mengenai gugatan akan dibahas lebih lanjut dalam bab tersendiri.

4
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, hlm. 54
BAB II
Kompetensi Mengadili dan Tahap Beracara

1. Kompetensi Mengadili
Sebelum masuk ketahap mengajukan gugatan, peggugat terlebih dahulu harus
mengetahui gugatanya akan diajukan kemana.Jadi penggugat harus mengetahui pengadilan mana
yang memiliki kompetensi untuk menangani tuntutan haknya.Kompetesi pengadilan dibagi
menjadi dua yaitu kompetensi absolut dan kompetensi relatif.5
a. Kompetensi Absolut
Mengenai kompetensi absolut ini, pertama harus ditentukan terlebih dahulu suatu perkara
tersebut jenisnya apa.Dalam hal ini perkara dalam hukum acara perdata adalah perkara perdata
sehingga kompetensi ada pada Peradilan Umum.Kemudian perlu ditentukan pengadilan mana
yang memiliki kompetensi.Dalam peradilan umum terdapat tiga institusi yang memiliki
hubungan hierarki, yaitu Pengadilan Negeri(Kotamadya/Kabupaten) atau pengadilan tingkat
pertama, lalu Pengadilan Tinggi(Provinsi) atau pengadilan tingkat banding yang bertugas
memeriksa kembali atau memeriksa ulang perkara yang diputus oleh Pengadilan
Negeri.Kemudian yang terakhir adalah Mahkamah Agung, wewenangnya adalah memeriksa
pengajuan kasasi dengan memeriksa hanya penerapan hukumnya pada tahap banding.
b. Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif diatur dalam pasal 118 HIR jo. pasal 125 ayat (2) HIR.Kompetensi
relatif yaitu kompetensi mengenai kewenangan mengadili pada pengadilan yang sejenis. Hal ini
berkaitan dengan penentuan domisili atau pengadilan mana yang tepat sebagai tempat
mengajukan gugatan6.Terdapat enam macam kondisi yang memperngatuhi kompetensi relatif
Pengadilan Negeri diajukannya gugatan, yaitu Actor Sequitor Forum Rei, Actor Sequitor Forum
Rei ditambah Hak Opsi, Actor Sequitor Forum Rei tanpa Hak Opsi, Forum Rei Sitae, Domisili
Penggugat, dan Pemilihan Domisili.
Asas Actor Sequitor Forum Rei berdasarkan pasal 118 ayat (1) HIR,maksudnya adalah
gugatan diajukan penggugat kepada Ketua Pengadilan Negeri sesuai domisili tergugat. Adapun

5
Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, hlm. 11

6
Ibid.
dokumen-dokumen tergugat yang dapat menjadi sumber penentuan domisili seperti KTP, Kartu
Rumah Tangga, Surat Pajak, dan Anggaran Dasar Perseroan. Asa Actor Sequitor Forum Rei
ditambah Hak Opsi berdasarkan pasal 118 ayat (2) HIR kalimat pertama dijelaskan tergugat
terdiri dari dua pihak atau lebih. Inilah mengapa disebut “ditambah Hak Opsi” sebab penggugat
dalam hal ini diberi hak opsi untuk memilih Pengadilan Negeri di domisili salah satu tergugat
dalam mengajukan gugatan. Jadi apabila terdapat beberapa tergugat, gugatan cukup diajukan di
domisili salah satu tergugat.Asas Actor Sequitor Forum Rei tanpa Hak Opsi berdasarkan pasal
berdasarkan pasal 118 ayat (2) HIR kalimat kedua yaitu apabila tergugat terdiri lebih dari satu
tetapi dalam kondisi salah satu tergugat merupakan penanggung atau debitur pokok sehingga
penggugat dalam mengajukan gugatan tidak memiliki hak opsi sendiri untuk menentukan
Pengadilan Negeri dari salah satu domisili tergugat, melainkan hanya bisa mengajukan
gugatannya di Pengadilan Negeri domisili tergugat penanggung.Sedangkan asas Forum Rei Sitae
berdasarkan pasal 118 ayat (3) HIR kalimat terakhir, pengajuan gugatan diajukan di Pengadilan
Negeri berdasarkan domisili atau letak suatu benda tetap yang merupakan objek sengketa.Ada
juga pengajuan gugatan berdasarkan Domisili Penggugat berdasarkan pasal 118 ayat (3) HIR
kalimat pertama, yaitu apabila terdapat lebih dari satu tergugat di mana salah satu dari tergugat
tersebut merupakan tergugat penanggung atau debitur pokok, maka penggugat hanya bisa
mengajukan gugatannya di Pengadilan Negeri berdasarkan domisili tergugat penanggung.Dalam
hal Pemilihan Domisili berdasarkan pasal 118 ayat (4) HIR jo. pasal 1338 BW, para pihak telah
menentukan Pengadilan Negeri domisili mana yang nantinya berhak mengadili sengketa yang
mungkin akan terjadi antara mereka, ditetapkan dalam klausul perjanjian. Namun hal ini tidak
mutlak dalam arti nantinya penggugat bisa saja mengikuti klausul perjanjian atau tetap
berpegang pada prinsip Actor Sequitor Forum Rei. Selain itu nantinya tergugat juga tidak bisa
mengajukan eksepsi terkait pilihan penggugat.

2. Tahap Beracara
Tahapan beracara secara umum dibedakan menjadi tahap admiistrasi dan tahap
yudisial.Pada tahap ini penggugat mendaftrakan gugatannya di pengadilan, lalu membayar biaya
– biaya perkara, sehingga menerima tanda bukti pembayaran.Kemudian pihak pengadilan
menerima perkara tersebut.Panitera member nomor register pada perkara.Selanjutnya panitera
menyampaikan pada Ketua Pengadilan Negeri, lalu Ketua Pengadilan Negeri menentukan
majelis hakim yang akan memeriksa dan mengadili perkara tersebut.Kemudian majelis hakim
menentukan sidang hari pertama.Kemudian Panitera membuat surat panggilan dan disampaikan
kepada para pihak oleh juru sita, dan selanjutnya masuk ke tahap yudisial
Pada tahap yudisial, secara garis besar dibagi lagi menjadi empat tahap, yaitu:
a) Tahap hari sidang pertama
Terdapat empat kemungkinan yang dapat terjadi :
1. Penggugat dan tergugat sama-sama hadir, hakim terlebih dahulu harus berusaha
mendamaikan seperti yang diatur dalam pasal 130 HIR
2. Penggugat hadir tetapi tergugat tidak hadir, maka majelis hakim memeriksa apakah
pemanggilan telah dilakukan dengan sah atau tidak, kemudian tergugat dipanggil sekali
lagi (pasal 126 dan pasal 127 HIR), jika tidak juga hadir, maka gugatan diputus verstek
(pasal 125 ayat (1) HIR), putusan verstek dapat diajukan upaya hukum verzet (pasal 129
HIR).
3. Penggugat tidak hadir, tegugat hadir, maka majelis hakim seperti sebelumnya memeriksa
terlebih dahulu apakah pemanggilannya sah atau tidak, kemudian penggugat dipanggil
sekali lagi.Jika penggugat tidak hadir maka gugatannya dinyatakan gugur dan
menanggung seluruh biaya perkara (pasal 124 HIR).
4. Penggugat dan tergugat sama sama tidak hadir, mmaka sidang ditunda dan para pihak
dipanggil sekali lagi.

b) Tahap Jawab menjawab, terdiri dari tahap jawaban tergugat, replik, duplik, kesimpulan
pengugat dan tergugat;
c) Tahap pembuktian;
d) Tahap pembacaan putusan dan pelaksanaan putusan.

Untuk lebih jelasnya pada tahap persidangan dapat dilihat dari bagan pada halaman berikut ini.7

7
BAB III
MEDIASI
1. Pengertian Mediasi
Menurut ketentuan pasal 130 HIR, hakim diwajibkan untuk mendamaikan kedua belah
pihak pada hari sidang yang telah ditetapkan.Dalam hal ini hakim secara tidak langsung dituntut
untuk dapat berperan secara aktif dalam usaha pendamaian kedua belah pihak.Mengenai mediasi
diatur dalam ketentuan Perma No. 1 Tahun 2008 yang menggantikan ketentuan Perma No. 2
Tahun 2003 tentang mediasi. Mengenai ketentuan yang dimuat dalam Perma No. 1 Tahun 2008
ini hanya menyangkut mengenai proses berperkara dalam pengadilan.Proses mediasi dianggap
menjadi salah satu bagian utama dari keseluruhan proses persidangan, hal ini dibuktikan dengan
ketentuan bahwa apabila proses mediasi ini tidak dilaksanakan maka dapat mengakibatkan
putusannya akan batal demi hukum. Selanjutnya sebagai bukti telah diupayakannya suatu
pendamaian maka hasil mediasi harus ikut dimuat dalam dictum atau amar putusan secara
lengkap. Mediasi harus ditempuh oleh para pihak atas dasar itikad baik, sebab apabila tanpa
didasari oleh itikad baik dan salah satu pihak mengetahui hal tersebut maka itu sama saja proses
mediasi gagal dan salah satu pihak bisa mengundurkan diri dari proses mediasi. Proses mediasi
dapat dilakukan secara terbuka sesuai dengan kesepakatan antaa para pihak, meskipun pada
umumnya dilakukan secara tertutup. Mediasi diwajibkan untuk semua jenis perkara perdata yang
diajukan di pengadilan tingkat pertama, kecuali mengenai hal-hal seperti pengadilan niaga,
pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan BPSK, dan keberatan atas putusan
KPPU.
2. Mediator
mediator adalah pihak netral yang bertugas membantu para pihak melalui proses
perundingan dalam rangka mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa melalui
proses penjatuhan putusan atau pemaksaan kehendak, atau singkatnya pihak yang melakukan
mediasi. Pada dasarnya seorang mediator harus terlebih dahulu menempuh pendidikan khusus
mediator yang selanjutnya dapat dibuktikan dengan dikeluarkannya suatu surat atau sertifikat
mediator yang sah. Mengenai penggunaan jasa mediator pada umumnya ditanggung bersama
oleh para pihak yang bersengketa atau berdasarkan kesepakatan antar para pihak mengenai
pembayarannya, kecuali apabila menggunakan hakim dalam pengadilan. Adapun pihak-pihak
yang dapat dipilih oleh para pihak untuk dapat menjadi mediator seperti hakim yang termasuk
maupun yang bukan termasuk dalam majelis hakim pemeriksa perkara, advokat atau akademisi
hukum, profesi bukan hukum yang sesuai pandangan para pihak merupakan pihak yang
menguasai topik sengketa, serta gabungan antar berbagai pihak yang telah dijabarkan
sebelumnya.
Selanjutnya yang menjadi peranan penting dari seorang mediator adalah mempersiapkan jadwal
mediasi para pihak, melakukan kaukus, mendorong para pihak untuk dapat secara langsung
berperan aktif, mendorong para pihak untuk dapat terus menggali kepentingan mereka dalam
rangka mencari berbagai pilihan penyelesaian sengketa yang terbaik bagi setiap pihak.
3. Proses Mediasi
Sekali lagi pada dasarnya proses mediasi ini sudah dianggap sebagai salah satu tahapan
penting dari keseluruhan tahapan persidangan, maka dari itu proses mediasi menjadi suatu hal
yang mutlak untuk dalam persidangan. Terhitung sejak hari sidang pertama hakim sudah
diharuskan untuk mendamaikan kedua belah pihak yang terwujud dengan pengunduran proses
persidangan dan memberikan waktu kepada kedua belah pihak untuk berdamai. Dalam waktu
tersebut Ketua Majelis Hakim memberikan waktu kepada para pihak untuk dapat memilih
mediator untuk menengahi mereka. Apabila ternyata para pihak gagal memilih satu pun mediator
maka Ketua Majelis Hakim dalam hal ini akan menunjuk hakim bukan pemeriksa perkara yang
bersertifikat atau bahkan hakim pemeriksa berperkara. Selanjutnya para pihak diwajibkan untuk
menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dalam waktu maksimal lima hari kerja.
Proses mediasi berlangsung selama 40 hari kerja, dengan tambahan 14 hari kerja apabila
diminta oleh para pihak berdasarkan kesepakatan bersama. Proses mediasi dilakukan di dalam
maupun di luar lingkungan pengadilan, yang dilakukan di dalam lingkungan pengadilan
khususnya mengenai mediasi yang dipimpin oleh seorang hakim aktif. Mengenai proses mediasi
yang telah dilakukan di luar lingkungan pengadilan tetap pada akhirnya hasil mediasi diajukan
ke pengadilan bersangkutan disertai dengan bukti-bukti tertulis hasil mediasi untuk selanjutnya
menjadi bahan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan pendamaian.
Pada hari sidang berikutnya apabila para pihak berhasil berdamai atau proses mediasi
telah berhasil maka hasil mediasi tersebut akan disampaikan mediator kepada hakim dalam
bentuk tertulis yaitu surat perjanjian di atas tangan dan bermaterai. Selanjutnya setelah hakim
menerima pernyataan perdamaian antar para pihak, hakim akan tetap menjatuhkan putusannya,
hanya saja dalam putusan ini memerintahkan kedua belah pihak untuk berdamai sesuai dengan
isi surat perjanjian perdamaian yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak. Atas putusan
ini tidak diperbolehkan diajukan banding meskipun kekuatan putusan ini layaknya kekuatan
putusan biasa pada umumnya. Putusan seperti ini disebut juga dengan acte van vergelijk.
Apabila proses mediasi berujung pada kegagalan maka mediator dalam hal ini tetap
diwajibkan untuk menyampaikan hasil mediasi yang telah gagal kepada hakim secara tertulis dan
selanjutnya hakim dapat melanjutkan proses pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum yang
berlaku. Beberapa hal yang perlu diingat adalah bahwa pengakuan dari para pihak yang telah
dikeluarkan selama proses mediasi tidak dapat dijadikan suatu alat bukti dalam proses
persidangan. Selain itu mediator sendiri tidak dapat dimintai sebagai saksi dan tidak dapat
dikenai pertanggungjawaban hukum berupa perdata maupun pidana atau mengenai hasil mediasi.
Pada dasarnya proses mediasi dapat ditempuh dalam setiap tingkat pengadilan atas dasar
kesepakatan antar para pihak. Hanya saja kesepakatan tersebut harus disampaikan secara tertulis
kepada Ketua Pengadilan Negeri secara tertulis.
BAB VII
Sita Jaminan

1. Pengertian Sita Jaminan


Seeseorang mengajukan suatu gugatan ke pengadilan tentunya dengan harapan
memperoleh putusan yang menguntungkannya.Namun seberapa pun menguntungkannya putusan
tersebut apabila tidak dilaksanakan oleh pihak tergugat tentunya tidak akan berarti apa –
apa.Apalagi hukum acara perdata kita mengenal lembaga banding maupun kasasi bagi pihak
yang kalah, sehingga proses akan berjalan sangat lama hingga bertahun – tahun.Maka dari itu,
diperlukan suatu lembaga yang melindungi kepentingan si pihak penggugat ini, yaitu lembaga
sita jaminan.Sita jaminan hendaknya selalu dimohonkan agar diletakkan terutama dalam perkara
– perkara besar.8Mengingat ketentual pasal 178 ayat (3) HIR dimana hakim dilarang
menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut, atau memutus melebihi yang dituntut.Jadi
apabila sita jaminan tidak dimohonkan, maka hakim tidak akan memerintahkan untuk
meletakkan sita jaminan maupun mengesahkan suatu sita jaminan yang telah dilakukan
sebelumnya oleh penggugat.
Ketentuan mengenai sita jaminan diatur dalam pasal 227 HIR yang pada pokoknya
sebagai berikut:
1) Dimohonkan sebelum ada putusan maupun sesudah ada putusan namun belum
dilaksanakan.
2) Tentang orang yang harus menjalankan penyitaan itu dan tentang peraturan yang harus
dituruti serta akibat yang berhubungan dengan hal itu, berlaku pasal 197, 198 dan 199
HIR.
3) Pada hari yang ditentukan, pemeriksaan perkara dijalankan dengan cara biasa. Jika
gugatan itu diterima, maka penyitaan itu disahkan; jika ditolak, maka diperintahkan
supaya dicabut penyitaan itu.
4) Permintaan tentang pencabutan penyitaan selalu boleh diajukan, jika diadakan jaminan
atau tanggungan lain yang cukup.

8
Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Bandung:
Mandar Maju,2009), hlm. 99
Dalam prakteknya, permohonan sita jaminan selalu disertakan dalam gugatan, dengan
kata lain dimohonkan sebelum adanya putusan.Apabila dimohonkan setelah adanya putusan,
namun putusan tersebut belum dijalankan atau sedang dilaksanakan, maka permohonan sitanya
adalah sita eksekutorial.Apabila sita jaminan diajukan pada tahap banding, permohonan sita
jaminan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang akan meneruskan permohonan tersebut
kepada Hakim atau Majelis Pengadilan Tinggi yang sedang memeriksa perkara
tersebut.Kemudian Pengadilan Tinggi akan mengeluarkan penetapan yang memerintahkan
Pengadilan Negeri yang bersangkutan untuk melaksanakan sita tersebut.Hal ini tidak diatur
dalam HIR, namun dalam prakteknya berjalan demikian.
Mengenai “Permintaan tentang pencabutan penyitaan selalu boleh diajukan, jika diadakan
jaminan atau tanggungan lain yang cukup” hal ini dapat dijelaskan dengan contoh yang ada
dalam buku Ny Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek.Misalnya
dalam hal yang disita jaminan adalah sebuah mobil, lalu kemudian mobil tersebut hendak dibeli
oleh orang lain.Dalam hal ini, tergugat yang barangnya disita tersebut dapat mengajukan
permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar Hakim atau Majelis Hakim yang memeriksa
perkaranya tersebut menggati mobil tersebut dengan barang lain.Atau dapat pula dimohonkan
agar sita tersebut diangkat dan tergugat menyerahkan sejumlah uang kepada Pengadilan Negeri
apabila dalam hal sita tersebut sebagai jaminan pembayaran hutang.
Terkait tata cara penyitaan seta akibat hukumnya diatur dalam pasal 197, 198 dan 199
HIR yang pada pokoknya sebagai berikut:
a) Penyitaan dijalankan oleh Panitera Pengadilan Negeri.Apabila berhalangan
digantikan oleh orang lain yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri.Cara
Penunjukannya cukup dilakukan dengan penyebutan dalam surat perintah.
b) Panitera atau penggantinya dalam melakukan penyitaan harus disertai dua orang
saksi, yang nama, pekerjaan, dan tempat tinggalnya disebutkan dalam berita acara
dan ikut menandatangani berita acara.Saksi – saksi tersebut biasanya pegawai
pengadilan, setidak – tidaknya harus sudah dewasa dan dapat dipercaya.
c) Pelaksanannya dimulai dari benda bergerak terlebih dahulu, kecuali dalam hal
sengketa kepemilikan benda tetap.
d) Terhadap benda bergerak,Penyitaan tidak boleh dilakukan atas barang – barang atau
hewan yang sungguh berguna bagi yang disita dalam melakukan pekerjaannya.
e) Benda tidak bergerak yang disita atau sebagian disita itu harus dibiarkan berada
ditangan orang yang disita atau dibawa untuk disimpan di tempat yang patut.Dalam
hal barang tersebut dibiarkan ditangan orang yang disita, maka harus diberitahukan
kepada aparat di lingkungan yang disita agar melakukan pengawasan jangan sampai
barang tersebut dialihkannya.
f) Terhadap benda tidak bergerak, maka berita acaranya harus diumumkan, dicatat
dalam buku letter C di Desa, dicatat di dalam buku tanah di kantor pertanahan, dan
salinan berita acara dimuat dalam buku yang khusus disediakan untuk itu di Kantor
Kepaniteraan Pengadilan Negeri dengan menyebutkan hari, tanggal, dan waktu
penyitaannya.Penyitaan benda tidak bergerak itu harus diumumkan agar diketahui
masyarakat.Pihak yang tidak sita sejak berita acara diumumkan tidak dapat lagi
mengalihkan maupun membebankan barang tidak bergerak yang disitanya
tersebut.Apabila dilakukan maka tindakan tersebut batal demi hukum

3. Jenis – Jenis Sita Jaminan


Jenis – jenis sita jaminan antara lain sita conservatoir, sita revindicatoir, sita marital, dan
pandbeslag.Mengenai jenis jenis sita tersebut akan dijelaskan berikut dibawah ini.
a.Sita Conservatoir
Sita conservatoir bertujuan untuk menjamin pelaksanaan suatu putusan di kemudian hari,
dengan cara menyita benda milik tergugat baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak
selama proses perkara berlangsung terlebih dahulu.Hal ini dilakukan agar benda yang disita
tersebut tidak dapat dialihkan atau diperjualbelikan ataupun dipindahtangankan oleh si
tergugat.
Mengenai sita conservatoir ini diatur dalam pasal 227 ayat (1) HIR yang berbunyi sebagai
berikut:9
(1) Jika ada dugaan yang beralasan, bahwa seorang debitur, sebelum keputusan hakim yang
mengalahkannya dijatuhkan atau boleh dijalankan, mencari akal untuk menggelapkan
atau melarikan barangnya, baik yang tak bergerak maupun yang bergerak; dengan
maksud untuk menjauhkan barang itu dari kreditur atas surat permintaan orang yang
berkepentingan, ketua pengadilan boleh memberi perintah, supaya disita barang itu

9
R. Soesilo, HIR/RBG Dengan Penjelasan, (Bogor: Politeia, 1995), hlm 164.
untuk menjaga hak orang yang memerlukan permintaan itu; kepada si peminta harus
diberitahukan bahwa ia harus menghadap persidangan pengadilan negeri berikutnya
untuk mengajukan dan menguatkan gugatannya. (Rv. 720 dst.; IR. 124 dst., 1 163 dst.)
Inti dari pasal 227 ayat (1) HIR ini yaitu:10
a) Harus ada sangka yang beralasan bahwa tergugat sebelum putusan dijatuhkan atau
dilaksanakan mencari akal akan menggelapkan atau melarikan barang – barangnya;
b) Barang yang disita itu barang orang yang terkena sita;
c) Permohonan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara yang
bersangkutan;
d) Permohonan harus diajukan dengan surat tertulis;
e) Sita conservatoir dapat diletakkan pada benda bergerak maupun tidak bergerak.
Pasal 227 ayat (1) ini merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam hal permintaan sita
conservatoir.Hal ini dinyatakan dalam salah satu putusan Mahkamah Agung, yaitu putusan
Mahkamah Agung tanggal 8 Mei 1984 No. 597 K/Sip/2009.
b.Sita Revindicatoir
Diatur dalam pasal 226 HIR yang berbunyi sebagai berikut:11
(1) Pemilik barang bergerak, boleh meminta dengan surat atau dengan ban kepada ketua
pengadilan negeri yang berkuasa di tempat diam atau tempat tinggal orang yang memegang
barang itu supaya barang itu disita.
(2) Barang yang hendak disita itu harus diterangkan dengan jelas dalam permintaan itu.
(3) Jika permintaan itu diluluskan, maka penyitaan akan dilakukan menurut surat perintah
ketua.
Tentang orang yang harus melakukan penyitaan itu dan tentarkg persyaratan yang harus
dipenuhi, berlaku juga pasal 197.
(4) Panitera pengadilan harus segera memberitahukan penyitaan itu kepada orang yang
mengajukan permintaan, dan menerangkan kepadanya, bahwa ia harus menghadap
persidangan pengadilan negeri berikutnya untuk mengajukan dan meneguhkan gugatannya.
(5) Orang yang memegang barang yang disita itu harus dipanggil atas perintah ketua untuk

10
Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Bandung:
Mandar Maju, 2009), hlm 100.

11
R. Soesilo, HIR/RBG Dengan Penjelasan, (Bogor: Politeia, 1995), hlm 163.
menghadap persidangan itu.
(6) Pada hari yang ditentukan, pemeriksaan perkara dan pengambilan keputusan dijalankan
dengan cara biasa. (TR. 130 dst., 139 dst., 155 dst., 163 dst., 178 dst.)
(7) Jika gugatan itu diterima, maka penyitaan itu disahkan, lalu diperintahkan supaya barang
yang
disita itu diserahkan kepada si penggugat; sedang kalau gugatan itu ditolak, harus
diperintahkan supaya dicabut penyitaan itu.
Berdasarkan ketetentuan pasal 226 HIR tersebut dapat diketahui syarat – syarat agar dapat
diletakkan sita revindicatoir yaitu:
a) Harus berupa barang bergerak
b) Barang bergerak tersebut merupakan brang bergerak milik penggugat yang berada
ditangan tergugat.
c) Permintaannya harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri
d) Permintaan dapat diajukan secara lisan dan tertulis
e) Barang harus disebut dengan terperinci.Misalnya sebuah Motor bebek merek Jupiter
MX berwarna hitam tahun 2008 dengan nomor polisi DK 2374 IL.
c.Sita Gadai (Pandbeslag)
Diatur dalam pasal 751 Rv yaitu sita yang dimohonkan oleh seseorang yang menyewakan
rumah agar perabot – perabot milik penyewa disita untuk menjamin agar ia membayar uang
sewa rumah.Pada pakteknya sekarang dapat pula berbentuk uang jaminan.
d. Sita Marital
Diatur dalam pasal 823a Rv, yaitu sita jaminan yang dimohonkan istri terhadap benda – benda
suami, agar selama proses perceraian suami tidak mengalihkan barang baranya yang
kemudian hari akan dihitung sebagai harta bersama atau harta dalam perkawinan.Sita ini
hanya dapat dimohonkan oleh pihak istri, namun pada prakteknya suami juga dapat
mengajukan sita ini.
BAB VIII
PEMBUKTIAN

1.Definisi
Hukum pembuktian dalam hukum acara perdata menduduki tempat yang sangat penting.
Kita ketahui bahwa hukum acara atau hukum formal bertujuan hendak memelihara dan
mempertahankan hukum material. Jadi secara formal hukum pembuktian itu mengatur cara
bagaimana mengadakan pembuktian seperti terdapat di dalam RBg dan HIR. Sedangkan secara
materil, hukum pembuktian itu mengatur dapat tidaknya diterima pembuktian dengan alat-alat
bukti tertentu di persidangan serta kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti tersebut. Dengan
demikian, yang dimaksud dengan pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut
hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang
kebenaran peristiwa yang dikemukakan12.Dalam melakukan pembuktian, para pihak yang
berperkara dan hakim yang memimpin pemeriksaan perkara di persidangan harus mengindahkan
ketentuan-ketentuan dalam hukum pembuktian yang mengatur tentang cara pembuktian, beban
pembuktian, macam-macam alat bukti serta kekuatan alat-alat bukti tersebut, dan sebagainya.
Hukum pembuktian ini termuat dalam HIR ( Herziene Indonesische Reglement ) yang berlaku di
wilayah Jawa dan Madura, Pasal 162 sampai dengan Pasal 177; RBg ( Rechtsreglement voor de
Buitengewesten ) berlaku diluar wilayah Jawa dan Madura, Pasal 282 sampai dengan Pasal 314;
Stb. 1867 No. 29 tentang kekuatan pembuktian akta di bawah tangan; dan BW ( Burgerlijk
Wetboek ) atau KUHPerdata Buku IV Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1945.

2. Beban Pembuktian
Pasal 163 HIR menyatakan : “ Barangsiapa mengatakan mempunyai suatu hak atau
mengemukakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak
orang lain, haruslah membuktikan adanya perbuatan itu.”.Berdasarkan bunyi pasal tersebut,
dapat disimpulkan Dalam hal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus
membuktikan dalilnya seperti pada hukum acara pidaa. Hakim yang memeriksa perkara tersebut
yang akan menentukan siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang diwajibkan memberikan
bukti, apakah pihak penggugat atau pihak tergugat. Dengan perkataan lain hakim sendiri yang
12
H. Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 83.
menentukan pihak yang mana akan memikul beban pembuktian. Hakim berwenang
membebankan kepada para pihak untuk mengajukan suatu pembuktian dengan cara yang seadil-
adilnya.13

3. Hal – Hal yang Harus Dibuktikan


Seperti telah disebutkan dalam pasal 163 sebelumnya, hal – hal yang harus dibuktikan
adalah peistiwa –peristiwa yang didalilkan oleh pihak yang mendalilkan.Dengan kata lain harus
dicari suatu kebenaran formil dari peristiwa tersebut.Kebenaran formil disini maksudnya adalah
adanya alat – alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan undang – undang yang berlaku.Namun
tidak semua dalil yang didalilkan harus dibuktikan.Dalil – dalil yang tidak disangkal, apabila
diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, maka tidak perlu dibuktikan lagi.Selain itu keadaan –
keadaan yang sudah diketahui khalayak ramai atau keadaan – keadaan yang secara umum
merupakan suatu pengetahuan yang umum, misalnya hari libur nasional atau hari Minggu kantor
– kantor pemerintah tutup, juga tidak perlu dilakukan pembuktian.

4. Macam – Macam Alat Bukti


Urutan – urutan dalam pasal 164 HIR tersebut menentukan kekuatan alat buktinya. Dari
urutan tersebut, maka alat bukti tulisan atau surat merupakan alat bukti yang paling utama dalam
perkara perdata.Misalnya dalam perjanjian jual-beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, pinjam-
meminjam, penghibahan, perwasiatan, pengangkutan, asuransi, dan sebagainya orang-orang yang
melakukan perbuatan-perbuatan tersebut umumnya dengan sengaja membuat bentuk tulisan untuk
keperluan pembuktian di kemudian hari jika diperlukan, misalnya apabila satu ketika timbul sengketa
atas perbuatan tersebut maka dapat dibuktikan permasalahan dan kebenarannya dengan akta yang
bersangkutan. Atas kenyataan tersebut, dalam perkara perdata alat bukti yang dianggap paling
dominan dan determinan adalah alat bukti tulisan atau surat. Apabila tidak terdapat bukti-bukti yang
berupa tulisan , maka pihak yang diwajibkan membuktikan sesuatu dapat mengajukann orang-orang
yang telah melihat atau mengalami sendiri peristiwa orang-orang yang harus dibuktikan tersebut
sebagai saksi. Orang-orang tersebut mungkin saja pada waktu terjadinya peristiwa itu dengan sengaja
telah diminta untuk menyaksikan kejadian yang berlangsung ( misalnya dalam perjanjian jual-beli,
sewa-menyewa, dan lain-lain ) dan ada pula orang-orang yang secara kebetulan melihat atau

13
Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Bandung:
Mandar Maju,2009), hlm 53.
mengalami peristiwa yang dipersengketakan tersebut. Apabila tidak mungkin mengajukan saksi-
saksi, maka penggugat dapat mengajukan yang dinamakan persangkaan, yaitu membuktikan
peristiwa-peristiwa lain yang memiliki hubungan erat dengan peristiwa yang harus dibuktikan tadi,
dan dari peristiwa itu hakim dapat mengambil suatu kesimpulan.Selain itu Pengakuan dan sumpah
juga termasuk dalam alat bukti pembuktian.
Jadi alat-alat bukti dalam hukum acara perdata menurut ketentuan pasal 164 HIR terdiri atas :
a) Bukti surat (diatur dalam pasal 165-167 HIR);
b) Bukti saksi (diatur dalam pasal 168-172 HIR);
c) Persangkaan (diatur dalam pasal 173-174 HIR);
d) Pengakuan (diatur dalam pasal 175-176 HIR);
e) Sumpah (diatur dalam pasal 177 jo 155, 156 HIR).
Alat – alat bukti tersebut akan dibahas lebih lanjut sebagai berikut.
a. Bukti Surat
Menurut Sudikno Mertokusumo, alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang
memuat tanda- tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk
menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.14 Alat
pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam akta dan tulisan bukan akta, yang kemudian akta
masih dibedakan lagi dalam akta otentik dan akta di bawah tangan.
1. Akta
Yang dimaksud dengan akta adalah suatu tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk
dijadikan bukti tentang sesuatu peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya. Dengan
demikian, unsur-unsur yang penting untuk digolongkan dalam pengertian akta adalah
kesengajaan untuk membuatnya sebagai suatu bukti tulisan untuk dipergunakan oleh orang
untuk keperluan siapa surat itu dibuat, dan harus ditandatangani.Akta dapat dibedakan
menjadi:
a. Akta Otentik
Pasal 165 HIR menyebutkan bahwa : akta otentik, yaitu suatu surat yang
dibuat menurut ketentuan undang- undang oleh atau di hadapan pejabat umum,
yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi
kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak dari

14
Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Penerbit Alumni, Bandung, 1992, hlm. 36.
padanya, tentang segala hal yang tersebut di dalam surat itu, dan juga tentang
yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja ; tetapi yang tersebut
kemudian itu hanya sekedar diberitahukan itu langsung berhubung dengan pokok
yang disebutkan dalam akta tersebut. Pejabat yang berwenang membuat akta otentik
adalah notaris, camat, panitera, pegawai pencatat perkawinan, dan lain sebagainya.
Berita acara pemeriksaan suatu perkara di persidangan pengadilan yang dibuat
panitera, berita acara penyitaan dan pelelangan barang-barang tergugat yang dibuat
oleh juru sita, dan berita acara pelanggaran lalu lintas yang dibuat oleh polisi juga
merupakan akta-akta otentik yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang,.
Sedangkan akta di buat di hadapan di hadapan pejabat umum yang berwenang selaku
misalnya akta jual beli tanah dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah ( PPAT ), yaitu
camat dan notaris.
b. Akta di Bawah Tangan
Dalam penjelasan pasal 165 HIR dijelaskan bahwa akta di bawah tangan
adalah akta yang ditandatangani para pihak dan tidak dibuat dengan perantaraan
pejabat umum.Hal ini sesuai dengan yang disebutkan dalam Pasal 286 ayat ( 1 )
RBg dan pasal 1874 KUHPerdata.Contohnya akta jual beli, sewa menyewa
maupun hutang piutang.Akta ini memiliki kekuatan yang sama dengan akta
otentik apabila akta tersebut diakui oleh kedua pihak.
2.Surat Bukan Akta
Surat bukan akta merupakan surat biasa yang dibuat tidak dengan maksud dijadikan alat
bukti.
b. Bukti Saksi
Dalam hukum acara perdata alat bukti saksi diatur dalam Pasal 165 RBg/139 HIR sampai
dengan Pasal 179 RBg/152 HIR tentang pemeriksaan saksi, Pasal 306 RBg/169 HIR sampai
dengan Pasal 309 RBg/172 HIR tentang keterangan saksi, serta dalam Pasal 1895, Pasal 1902
sampai dengan Pasal 1912 KUHPerdata.Berdasarkan pasal 171 HIR, Kesaksian harus terbatas
pada peristiwa-peristiwa yg dilhat, didengar, dan dialaminya sendiri, sedangkan pendapat-
pendapat atau persangkaan yg didapat secara berfikir bukan merupakan kesaksian.Selain itu
saksi haruslah orang yang sudah dewasa dan tidak berada dibawah pengampuan.Dalam hukum
acara perdata juga berlaku prinsip unnus testis nullus testis, yaitu satu saksi bukanlah
saksi.Berdasarkan pasal 169 HIR, perlu adanya bukti lain disamping bukti saksi untuk dapat
membuktikan suatu dalil.
Hakim karena jabatannya dapat memanggil saksi-saksi yang tidak diajukan oleh pihak-
pihak yang berperkara. Namun demikian, ada beberapa orang yang tidak dapat didengar
sebagai saksi dan yang dapat mengundurkan diri sebagai saksi, sebagaimana diatur dalam Pasal
172 RBg/145 HIR, Pasal 174 RBg/146 HIR, serta Pasal 1909 dan Pasal 1910 KUHPerdata.
Orang-orang yang tidak dapat didengar sebagai saksi adalah :
1. Keluarga sedarah atau keluarga karena perkawinan menurut keturunan lurus dari salah satu
pihak;
2. Suami atau istri dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai;
3. Anak-anak yang belum berusia 15 ( lima belas ) tahun;
4. Orang-orang gila meskipun kadang-kadang ingatannya terang atau sehat.
Saksi juga tidak boleh menyimpulkan, membuat dugaan ataupun memberikan pendapat
tentang kesaksiannya, karena hal ini bukan dianggap sebagai kesaksian ( Pasal 308 RBg/171
ayat ( 2 ) HIR dan Pasal 1907 KUHPerdata ). Kesaksian juga harus dikemukakan dengan lisan
dan secara pribadi di muka persidangan. Dengan demikian, saksi harus memberitahukan
sendiri apa yang diketahuinya, tidak boleh secara tertulis dan diwakilkan oleh orang lain.
Ketentuan ini ditafsirkan dari Pasal 166 ayat ( 1 ) RBg/140 ayat ( 1 ) HIR dan Pasal 176
RBg/148 HIR yang menentukan bahwa terhadap saksi yang telah dipanggil dengan patut dan
tidak datang diberi sanksi dan terhadap saksi yang telah datang di persidangan tetapi enggan
memberikan keterangan juga dapat diberi sanksi.
Bukti saksi juga dapat berupa keterangan ahli, sebagaimana dimaksud dalam pasal 154
HIR.Mengenai syarat orang – orang yang tidak boleh didengar sebagai saksi berlaku juga
untuk keterangan ahli.Pengadilan Negeri juga tidak memiliki kewajiban mengikuti pendapat
ahli apabila bertentangan dengan keyakinannya.
c. Persangkaan
Persangkaan berdasarkan pasal 1915 KUHPerdata adalah Kesimpulan yg oleh UU atau
oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terang dan nyata kearah peristiwa lain yg belum
terang dan nyata.Terdapat dua macam persangkaan, yaitu:
1. Persangkaan Hakim
Dalam hal ini hakimlah yang memutuskan berdasarkan kenyataan, bahwa persangkaan
tersebut terkait erat dengan peristiwa lain sehingga dapat melahirkan pembuktian.
Misalnya, persangkaan hakim dalam perkara perceraian yang didasarkan alasan perzinahan.
Apabila seorang pria dengan seorang wanita dewasa yang bukan suami isteri, tidur bersama
dalam satu kamar yang hanya punya satu tempat tidur, maka perbuatan perzinahan tersebut
telah terjadi menurut persangkaan hakim.15
2. Persangkaan atas dasar hukum/undang-undang
Dalam hal ini undang-undanglah yang menetapkan hubungan antara peristiwa yang
diajukan dengan peristiwa yang tidak diajukan.Misalnya : ersangkaan berdasarkan hukum
ini dapat dibagi lagi menjadi dua jenis yaitu :praesumptiones juris tantum, yaitu
persangkaan berdasarkan hukum yang memungkinkan adanya pembuktian lawan; dan
praesumtiones juris et de jure, yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang tidak
memungkinkan pembuktian lawan.Contoh persangkaan hukum ini misalnya, Terhadap
benda bergerak yang tidak berupa bunga maupun piutang yang harus dibayar kepada si
pembawa, maka barangsiapa yang menguasainya dianggap sebagai pemiliknya ( Pasal
1977 ayat ( 1 ) KUHPerdata ). Misalnya lagi, Tiap tembok yang dipakai sebagai tembok
batas antara 2 ( dua ) pekarangan dianggap sebagai milik bersama pemilik pekarangan yang
berbatasan, kecuali ada suatu alas hak atau tanda-tanda yang menunjukkan sebaliknya (
Pasal 633 KUHPerdata ), Tiap anak yang dilahirkan selama perkawinan, maka suami dari
perempuan yang melahirkan adalah ayahnya ( Pasal 250 KUHPerdata ) dan Mengenai
pembayaran sewa rumah, sewa tanah, tunjangan nafkah, bunga pinjaman uang, dan pada
umumnya segala apa yang harus dibayar tiap tahun atau tiap waktu tertentu yang lebih
pendek, maka dengan adanya 3 ( tiga ) surat tanda pembayaran 3 ( tiga ) angsuran berturut-
turut, terbitlah persangkaan bahwa angsuran-angsuran yang lebih dahulu telah dibayar
lunas, kecuali dibuktikan sebaliknya ( Pasal 1394 KUHPerdata ).
d. Pengakuan
pengakuan adalah suatu keterangan yang diberikan oleh salah satu pihak dalam perkara,
baik secara lisan atau tertulis yang bersifat membenarkan peristiwa, hak atau hubungan hukum
yang dikemukakan atau didalilkan oleh pihak lain. Dengan demikian, pengakuan merupakan

15
Hari Sasangka, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata untuk Mahasiswa dan Praktisi, CV Mandar Maju,
Bandung, 2005, hlm. 96
suatu pembenaran terhadap peristiwa, hak atau hubungan hukum yang didalilkan oleh lawan
baik sebagian atau seluruhnya. Alat bukti pengakuan harus diterima seluruhnya, hakim tidak
bebas untuk menerima sebagian saja dan menolak sebagian lainnya, sehingga merugikan orang
yang mengakui hal itu. Artinya pengakuan tidak boleh dipecah-pecah. ( Pasal 313 RBg/176
HIR, Pasal 1924 KUHPerdata ).Pengakuan dapat dilakukan di muka siding maupun diluar
persidangan.
Pengakuan dimuka sidang merupakan pengakuan yang berisi keterangan sepihak, baik
tertulis maupun lisan yang tegas dan dinyatakan oleh salah satu pihak dimuka persidangan,
yang membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa, hak atau hubungan
hukum yang diajukan oleh lawannya, yang mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh
hakim tidak diperlukan lagi.16 Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa pengakuan
didepan persidangan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.Dalam hal ini pengakuan
di depan siding menurut pasal 1916 KUHPerdata sama dengan persangkaan menurut undang –
undang.Pengakuan ini tidak dapat ditarik kembali, kecuali dalam hal apa yang diakuinya
tersebut ternyata merupakan suatu hal yang keliru(pasal 1926 KUHPerdata).Pengakuan diluar
siding merupakan keterangan yang diberikan oleh salah satu pihak dalam suatu perkara di luar
persidangan untuk membenarkan pernyataan – pernyataan yang diberikan oleh
lawannya.Pengakuan ini dapat dilakukan secara tertulis dan lisan.Dalam hal dilakukan secara
lisan, harus dapat dilakukan terlebih dahulu dengan saksi atau dengan alat bukti lainnya sesuai
dengan ketentuan pasal 1927 KUHPerdata.Berbeda dengan pengakuan di depan persidangan,
pengakuan diluar persidangan ini dapat ditarik sewaktu – waktu(pasal 1927 KUHPerdata).
Terdapat beberapa jenis pengakuan, yaitu :
1. Pengakuan murni adalah pengakuan yang sifatnya sederhana dan sesuai sepenuhnya dengan
tuntutan pihak lawan. Pengakuan tersebut mutlak, tidak ada syarat apapun. Dengan demikian
pengakuan tersebut harus dinyatakan terbukti oleh hukum. Misalnya, penggugat menyatakan
bahwa tergugat meminjam uang sebesar Rp. 1.000.000,00 ( satu juta rupiah ), tergugat
mengakui bahwa ia memang meminjam uang kepada penggugat sebesar Rp. 1.000.000,00 (
satu juta rupiah ).
2. Pengakuan dengan kualifikasi adalah pengakuan yang disertai dengan sangkalan terhadap
sebagian tuntutan si penggugat. Dengan kata lain, pengakuan ini adalah jawaban tergugat yang

16
Sudikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia, hlm 173
memuat sebagian berupa pengakuan dan sebagian lagi berupa sangkalan atau bantahan.
Misalnya, penggugat menyatakan tergugat telah meminjam uang kepadanya sebesar Rp.
2.000.000,00 ( dua juta rupiah ), tergugat mengakui memang telah meminjam uang kepada
penggugat, tetapi bukan Rp. 2.000.000,00 ( dua juta rupiah ) melainkan Rp. 1.000.000,00 ( satu
juta rupiah ).
3. Pengakuan dengan klausula adalah pengakuan yang disertai dengan keterangan tambahan
yang bersifat membebaskan. Keterangan tambahan atau klausula semacam itu dapat berupa
pembayaran, pembebasan atau kompensasi. Pengakuan ini sebenarnya adalah jawaban tergugat
tentang hal pokok yang diajukan oleh penggugat, tetapi disertai dengan penjelasan tambahan
yang menjadi dasar penolakan gugatan. Misalnya, penggugat menyatakan tergugat telah
meminjam uang kepadanya sebesar Rp. 3.000.000,00 ( tiga juta rupiah ), tergugat mengakui
memang meminjam uang kepada penggugat sebesar Rp. 3.000.000,00 ( tiga juta rupiah ), tetapi
hutang tersebut sudah dibayar lunas.
e. Bukti Sumpah
Alat bukti sumpah diatur dalam Pasal 182 sampai dengan Pasal 185 RBg/Pasal 155 sampai
dengan Pasal 158 HIR, Pasal 314 RBg/Pasal 177 HIR, Pasal 1929 sampai dengan Pasal 1945
KUHPerdata. Terdapat dua macam sumpah yaitu, Sumpah oleh salah satu pihak
memerintahkan kepada pihak lawan untuk menggantungkan putusan perkara kepadanya, yakni
sumpah pemutus ( sumpah decissoir ); dan Sumpah yang oleh hakim karena jabatannya,
diperintahkan kepada salah satu pihak, yaitu sumpah penambah/pelengkap ( sumpah suppletoir
) dan sumpah penaksir ( sumpah taxatoir ).
1. Sumpah Pemutus (sumpah decissoir), Sumpah yang dibebankan atas permintaan salah
satu pihak terhadap lawannya.Jadi inisiatifnya ada pada salah satu pihak.Ketentuannya
diatur dalam pasal 156 HIR.Berdasarkan pasal 156 ayat (2) HIR, sumpah yang
dibebankan pada salah satu pihak dapat dikembalikan pada pihak satunya.Kemudian
pada ayat (3) diatur seseorang yang enggan untuk melakukan sumpah adalah pihak
yang kalah.Hal ini sesuai dengan putusan Mahkamah Agung No 39 K/Sip/1951
tertanggal 31 Juli 1952 yang menyatakan siapa yang mengucapkan sumpah pemutus
dialah yang memenangkan perkara itu.
2. Sumpah Pelengkap (sumpah deccisoir), merupakan sumpah yang diperintahkan oleh
hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian yang
sudah ada.Sumpah pelengkap ini diatur dalam pasal 155 HIR.Berdasarkan ayat (1)
dapat diketahui syarat utamanya yaitu harus ada bukti permulaan, namun bukti tersebut
belum cukup dan tidak ada bukti lain lagi.Dengan ditambahnya sumpah penambah ini
bersama dengan alat bukti tersebut maka akan memiliki kekuata pembuktian sempurna.
3. Sumpah penaksir, yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakimkarena jabatannya
hanya kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti kerugian.Dasar
hukumnya adalah pasal 155 ayat (2) HIR.
BAB IX
PUTUSAN HAKIM

1. Pengertian Putusan dan Jenis-Jenisnya


Setelah melalui proses pembuktian, maka hakim terhadap berkas – berkas alat bukti yang
sudah diperiksanya pada saat tahap pembuktian, akan mengambil suatu putusan.Menurut Prof.
Dr. Sudikno Mertokusumo putusan merupakan sutu pernyataan oleh hakim, sebagai pejabat yang
memiliki wewenang untuk itu, yang diucapkan di depan sidang untuk mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.Putusan dibedakan menjadi dua,
yaitu putusan sela dan putusan akhir.Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan sebelum
putusan akhir dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan
perkara. Semua putusan sela diucapakan dalam sidang dan merupakan bagian dari berita acara
persidangan.Sedangkan putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu perkara dalam
suatu pengadilan.Contoh putusan sela misalnya putusan provisional yaitu putusan yang
menjawab permintaan pihak yang berperkara supaya diadakan tindakan pendahuluan untuk
kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan, misalnya dalam hal sita
jaminan.Contoh lainnya misalnya putusan insidentiil, yang dipergunakan apabila ada insiden
yang timbul, misalnya dalam hal penggabungan, intervensi dan adanya pemanggilan pihak ketiga
sebagai penjamin.17
Berdasarkan sifatnya putusan juga dibedakan menjadi tiga, yaitu putusan declaratoir,
putusan constitutif, dan putusan condemnatoir.Putusan declaratoir yaitu putusan yang hanya
semata-mata bersifat menerangkan suatu keadaan saja, contohnya putusan yang menyatakan
seseorang bernama Amin adalah anak angkat yang sah dari Budi dan Nini.Sedangkan putusan
constitutive adalah putusan yang meniadakan dan/atau menimbulkan suatu keadaan
hukum.Misalnya putusan perceraian, putusan yang menyatakan seseorang pailit. 18 Lain halnya
dengan putusan condemnatoir, yaitu putusan yang berisi suatu penghukuman.Misalnya suatu
putusan dimana seseorang dihukum untuk menyerahkan sebidang tanah miliknya.Putusan

17
Ny. Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek,
(Bandung: Mandar Maju,2009), hlm 109.
18
Ibid
biasanya terdiri dari kombinasi dari sifat – sifat putusan sebagaimana dijelaskan sebelumnya
tersebut.
Terdapat pula jenis – jenis putusan lainnya, seperti putusan perdamaian, putusan gugur,
putusan verstek, putusan contradictoir, putusan serta merta, dan putusan yang berkekuata hukum
tetap.Putusan perdamaian dijatuhkan apabila perkara selesai ditahap perdamaian.Para pihak
dihukum untuk memenuhi segala hal yang sudah diperjanjikan dalam perjanjian perdamaian
sebelumnya.Putusan perdamaian memiliki kekuatan hukum yang sama dengan kekuatan putusan
yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.19 Putusan gugur, verstek, dan putusan contradictoir
adalah putusan yang berkaitan dengan kehadiran para pihak.Putusan gugur diatur dalam pasal
124 HIR, yaitu putusan yang dijatuhkan kepada penggugat yang tidak hadir pada siding hari
pertama tanpa alasan yang sah padahal sudah dipanggil secara sah dan patut.Pada putusan
verstek, putusan verstek dijatuhkan karena tergugat tidak hadir pada siding hari pertama
walaupun telah dipanggil secara sah dan patut.Putusan verstek diatur dalam pasal 125
HIR.Sedangkan putusan contradictoir dijatuhkan dalam hal tergugat pernah datang di
persidangan, namun tidak datang lagi di sidang-sidang berikutnya.Lain lagi halnya dengan
putusan serta merta.Putusan serta merta adalah putusan yang dijatuhkan terlebih dahulu (uit
voorbar bij voorad) walupun terhadap putusan tersebut terdapat suatu upaya hukum.Putusan
serta merta diatur dalam pasal 180 ayat (1) HIR.Sedangkan putusan berkekuatan hukum tetap
merupakan putusan yang sudah tidak lai diajukan upaya hukum biasa seperti perlawanan,
banding, dan kasasi, namun terhadap putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dapat
diajukan upaya hukum luar biasa.

2. Asas-asas dalam Putusan


Beberapa asas – asas putusan baik yang diatur dalam HIR dan UU Kekuasaan
Kehakiman akan dijelaskan sebagai berikut.20
1. Memuat Dasar Alasan yang Jelas dan Rinci
Berdasarkan asas ini setiap putusan yang dijatuhkan oleh hakim harus berdasarkan
pertimbangan yang jelas dan cukup.Hal ini ditegaskan dalam pasal 25 ayat (1) UU
Kekuasaan Kehakiman.

19
Putusan MA no. 1038 K/Sip/1973 tertanggal 1 Agustus 1973
20
Heikhal A.S. Pane, ”Penerapan Uitvoerbaar bij Voorraad Dalam Putusan Hakim Pada Pengadilan Tingkat
Pertama, Skripsi Universitas Indonesia, 2009, Depok.
2. Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan
Asas yang diatur dalam pasal 178 ayat (2) HIR dan pasal 50 RV ini, maksudnya adalah
dalam setiap putusan hakim harus secara menyuluruh memeriksa dan mengadili setiap
segi gugatan yang diajukan.
3. Diucapkan di Muka Umum
Dijelaskan dalam pasal 20 Undang-Undang No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman bahwa setiap putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila
diucapkan dalam siding terbuka untuk umum.Jadi dalam hal ini setiap putusan harus
diucapkan di depan siding yang dibuka untuk umum.Namun hal ini tidak menyebabkan
suatu putusan yang diatur dalam undang – undang harus tertutup menjadi tidak
berkekuatan hukum.Putusan – putusan tersebut, atau biasanya disebut penetapan tetap
mengikuti pengaturannya yang menyatakan tertutup tersebut.

3. Tata cara Penyampaian Putusan


Mula – mula putusan ditentukan dengan hakim melakukan sidang permusyawaratan
hakim yang sifatnya rahasia, yang setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangannya dan
apabila tidak tercapai mufakat bulat, maka pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam
putusan sebagai dissenting opinion.Kemudian setelah mencapai mufakat, Putusan Hakim
tersebut harus dibacakan di depan persidangan yang terbuka untuk umum.

4. Sistematika Putusan
Berdasarkan pasal 184 HIR suatu putusan hakim harus berisi:
a. Suatu keterangan singkat tetapi jelas dari isi gugatan dan jawaban.
b. Alasan-alasan yang dipakai sebagai dasar dari putusan hakim.
c. Keputusan hakim tentang pokok perkara dan tentang ongkos perkara.
d. Keterangan apakah pihak-pihak yang berperkara hadir pada waktu keputusan itu
dijatuhkan.
e. Kalau keputusan itu didasarkan atas suatu undang-undang, ini harus disebutkan.
f. Tandatangan hakim dan panitera.
Kemudian pasal 23 UU No. 14/1970 menentukan isi keputusan pengadilan selain harus memuat
alasan-alasan dan dasar-dasar putusan, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari
perturan–peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar
untuk mengadili.Berdasarkan pengaturan – pengaturan tersebut, maka dapat ditentukan
sistematika suatu putusan biasanya berisikan hal – hal sebagai berikut :
1. Kepala putusan
Pada bagian ini dicantumkan titel eksekutorial sebagai dasar bagi pelaksanaan dan
eksekusi putusan. Contoh dari titel eksekutorial ini adalah pernyataan “Demi
Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
2. Identitas para pihak yang berperkara
Identitas yang dimuat harus lengkap dan jelas.
3. Pertimbangan-pertimbangan hukum dari hakim
Bagian ini terbagi lagi menjadi dua, yaitu pertimbangan mengenai duduk perkara
atau feitelijke gronden dan pertimbangan mengenai hukumnya sendiri atau rechts
gronden. Dalam pertimbangan mengenai duduk perkara berisi apa saja yang
muncul dalam persidangan secara lengkap, sedangkan dalam pertimbangan
mengenai hukum berisi alasan-alasan hukum yang mendasari putusan hakim.
4. Amar putusan atau dictum
Merupakan jawaban atas petitum dari suatu gugatan, bersifat deklaratif dan
dispositif. Sifat deklaratif di sini berarti amar itu merupakan penerapan dari
hubungan hukum yang disengketakan.
5. Tanda Tangan
Setiap putusan harus ditandatangani oleh Majelis Hakim Ketua, Hakim Anggota,
dan Panitera sebagaimana diatur dalam pasal 184 ayat (3) HIR dan pasal 24 UU
no. 48 tahun 2009
BAB X
EKSEKUSI

1. Pengertian Eksekusi
Pada prinsipnya, dalam perkara perdata pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan oleh
pihak yang dikalahkan. Akan tetapi, terkadang pihak yang kalah tidak mau menjalankan putusan
secara sukarela. Sedangkan dalam peraturan perundang-undangan tidak diatur jangka waktu jika
putusan akan dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang kalah.Dalam hal ini pihak yang
menang dapat meminta bantuan pihak pengadilan untuk memaksakan eksekusi putusan, sesuai
dengan ketentuan pasal 196 HIR. Putusan Pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan
yang mempunyai kekuatan eksekutorial. Ada pun yang memberikan kekuatan eksekutorial pada
putusan Pengadilan terletak pada kepada putusan yang berbuyi “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Di samping itu putusan Pengadilan yang mempunyai titel
eksekutorial adalah putusan yang bersifat atau yang mengandung amar “condemnatoir”,
sedangkan putusan Pengadilan yang bersifat deklaratoir dan constitutif tidak dilaksanakan
eksekusi karena tidak memerlukan eksekusi dalam menjalankannya.21
2. Asas – asas dalam Eksekusi
Dalam pelaksanaan eksekusi dikenal beberapa asas yang harus dijadikan pedoman oleh pihak
pengadilan, yaitu sebagai berikut22 :
a. Putusan Pengadilan harus sudah berkekuatan hukum tetap.Sifat putusan yang sudah
berkekuatan hukum tetap adalah tidak ada lagi upaya hukum, dalam bentuk putusan tingkat
pertama, bisa juga dalam bentukputusan tingkat banding dan kasasi. Sifat dari putusan yang
sudah berkekuatan hukum tetap adalah litis finiri opperte23, maksudnya tidak bisa lagi
disengketakan oleh pihak-pihakyang berperkara.
b. Putusan tidak dijalankan secara sukarela, Sesuai dengan ketentuan Pasal 196 HIR. dan Pasal
207 R.Bg maka ada dua cara menyelesaikan pelaksanaan putusan yaitu dengan cara sukarela
karena pihak yang kalah dengan sukarela melaksanakan putusan tersebut, dan dengan cara paksa
melalui proses eksekusi oleh Pengadilan.

21
Makalah Prof. Dr. H. ABDUL MANAN, SH.,SIP.,M.Hum,Hakim Agung MA, EKSEKUSI DAN LELANG DALAM HUKUM
ACARA PERDATA, hlm. 2, 18 September 2011, Jakarta.
22
Ibid hlm. 3
23
Ibid
c. Putusan bersifat condemnatoir. Ciri - ciri putusan yang bersifat condemnatoir biasanya
mengandung amar yang menyatakan :
(1) Menghukum atau memerintahkan untuk “menyerahkan”.
(2) Menghukum atau memerintahkan untuk “pengosongan”
(3) Menghukum atau memerintahkan untuk “membagi”
(4) Menghukum atau memerintahkan untuk “melakukan sesuatu”
(5) Menghukum atau memerintahkan untuk “menghentikan”
(6) Menghukum atau memerintahkan untuk “membayar”
(7) Menghukum atau memerintahkan untuk “membongkar”
(8) Menghukum atau memerintahkan untuk “tidak melakukan sesuatu”
d. Eksekusi di bawah pimpinan Ketua Pengadilan.Menurut Pasal 195 ayat (1) HIR dan Pasal 206
ayat (1) R.Bg yang berwenang melakukan eksekusi adalah Pengadilan yang memutus perkara
yang diminta eksekusi tersebut sesuai dengan kompetentsi relatif. Pengadilan tingkat banding
tidak diperkenankan melaksanakan eksekusi.
3. Macam – Macam Eksekusi
Menurut Sudikno Mertokusumo terdapat tiga jenis eksekusi yaitu:
(1) eksekusi putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah
uang sebagaimana diatur dalam Pasal 196 HIR, dan Pasal 208 R.Bg.
(2) eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan sesuatu perbuatan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 225 HIR, dan Pasal 259 R.Bg.
(3) eksekusi riil yaitu pelaksanaan putusan hakim yang memerintahkan mengosongkan benda
tetap kepada orang yang dikalahkan, tetapi perintah tersebut tidak di laksanakan secara
sukarela. Eksekusi terakhir ini diatur dalam Pasal 1033 Rv. dalam Pasal 200 ayat (11)
HIR, dan Pasal 218 ayat (2) R.Bg. hanya mengenal eksekusi riil dalam penjualan lelang.

4. Tahapan Eksekusi
A. Tata cara eksekusi riil
(1) Permohonan pihak yang menang
Jika pihak yang kalah tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan secara sukarela,
maka pihak yang menang dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan yang
memutuskan perkara tersebut untuk dijalankan secara paksa hal-hal yang telah disebutkan
dalam amar putusan. Permohonan pengajuan eksekusi kepada Ketua Pengadilan
merupakan suatu keharusan yang harus dilakukan oleh pihak yang menang agar putusan
tersebut dapat dijalankan secara paksa sebagaimana tersebut dalam Pasal 207 ayat (1)
R.Bg. dan Pasal 196 HIR. Jika para pihak yang menang ingin putusan Pengadilan supaya
dijalankan secara paksa, maka ia harus membuat surat permohonan yang diajukan kepada
Ketua Pengadilan yang memutus perkara, memohon agar putusan supaya dijalankan
secara paksa karena pihak yang kalah tidak mau melaksanakan isi putusan tersebut.
Tanpa ada surat permohonan tersebut maka eksekusi tidak dapat dilaksanakan.
.
(2) Penaksiran biaya eksekusi
Jika Ketua Pengadilan telah menerima permohonan eksekusi dari pihak yang
berkepentingan, maka segera memerintahkan meja satu untuk menaksir biayaeksekusi
yang diperlukan dalam pelaksanaan eksekusi yang dilaksanakannya. Biaya yang
diperlukan meliputi biaya pendaftaran eksekusi, biaya saksi-saksi dan biaya pengamanan
serta lain-lain yang dianggap perlu. Setelah biaya eksekusitersebut dibayar oleh pihak
yang menghendaki eksekusi kepada Panitera atau petugas yang ditunjuk untuk mengurus
biaya perkara, barulah permohonan eksekusi tersebut didaftarkan dalam register eksekusi.

(3) Aanmaning

Aan maning merupakan tindakan dan upaya yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan
berupa teguran kepada pihak yang kalah agar ia melaksanakan isi putusan secara
sukarela. Aan maning dilakukan dengan melakukan panggilan terhadap pihak yang kalah
dengan menentukan hari, tanggal dan jam persidangan dalam surat panggilan tersebut.
Memberikan peringatan (Aan maning) dengan cara pertama tama melakukan siding
insidentil yang dihadiri oleh Ketua Pengadilan, Panitera dan pihak yang kalah, kemudian
memberikan peringatan atau tegoran supaya ia menjalankan putusan Hakim dalam waktu
delapan hari, (3) membuat berita acara Aan maning dengan mencatat semua peristiwa
yang terjadi di dalam sidang tersebut sebagai bukti othentik, bahwa Aan maning telah
dilakukan dan berita acara ini merupakan landasan bagi perintah eksekusi yang akan
dilaksanakan selanjutnya. Apabila pihak yang kalah tidak hadir dalam sidang Aan
maning, dan ketidakhadirannya dapat dipertanggungjawabkan, maka ketidak hadirannya
itu dapat dibenarkan dan pihak yang kalah itu harus dipanggil kembali untuk Aanmaning
yang kedua kalinya. Jika ketidakhadiran pihak yang kalah setelah dipanggil secara resmi
dan patut tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka gugur haknya untuk dipanggil lagi,
tidak perlu lagi proses sidang peringatan dan tidak ada tenggang masa peringatan. Secara
ex officio Ketua Pengadilan dapat langsung mengeluarkan surat penetapan perintah
eksekusi kepada Panitera/Jurusita.

(4) Mengeluarkan surat perintah eksekusi


Apabila waktu yang telah ditentukan dalam peringatan (Aan maning) sudah lewat dan
ternyata pihak yang kalah tidak menjalankan putusan, dan tidak mau menghadiri
panggilan sidang peringatan tanpa alasan yang sah, maka Ketua Pengadilan
mengeluarkan perintah eksekusi.Yang diberi wewenang untuk melaksanakan eksekusi
adalah Panitera. Apabila Panitera berhalangan maka dilakukan oleh Jurusita. Jadi tidak
dilaksanakan bersama-sama, melainkan Panitera sendiri atau Jurusita sendiri dengan
dibantu oleh dua orang saksi sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (1) HIR dan Pasal
209 RBg..Ketentuan untuk melaksanakan eksekusi antara lain :
(1) perintah eksekusi itu berupa penetapan,
(2) perintah ditujukan kepada Panitera atau Jurusita yang namanya harus disebut dengan
jelas,
(3) harus menyebut dengan jelas nomor perkara yang hendak dieksekusi dan objek
barang yang hendak dieksekusi,
(4) perintah eksekusi dilakukan di tempat letak barang dan tidak boleh di belakang letak
meja
(5) isi perintah eksekusi supaya dilaksanakan sesuai dengan amar putusan

(5) Pelaksanaan
Panitera atau Jurusita yang melaksanakan eksekusi harus datang ke tempat objek barang
yang di eksekusi, tidak dibenarkan mengeksekusi barang-barang hanya di belakang meja
atau dengan cara jarak jauh. Eksekusi harus dilaksanakan sesuai dengan bunyi amar
putusan, apabila barang-barang yang dieksekusi secara nyata berbeda dengan amar
putusan, maka Panitera atau Jurusita yang melakukan eksekusi harus menghentikan
eksekusi tersebut, dan membuat berita acara bahwa eksekusi tidak dapat dilaksanakan
karena amar putusan dengan objek yang akan dieksekusi tidak sesuai dengan kenyataan
di lapangan.

B.Tata cara eksekusi dalam hal putusan yang menyatakan pembayaran sejumlah uang

(1) Mengeluarkan penetapan sidang eksekusi


Setelah Pengadilan menerima permohonan eksekusi dari pihak yang menang, segera
mengeluarkan surat panggilan kepada pihak yang kalah untuk menghadiri sidang Aan
maning (tegoran) agar pihak yang kalah itu mau melaksanakan putusan secara sukarela,
sebagaimana diatur dalam Pasal 207 ayat (1) dan (2) R.Bg. dan Pasal 196 HIR. Apabila
pihak yang kalah tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan, padahal sudah
dilaksanakan peringatan, maka Ketua Pengadilan mengeluarkan penetapan sita eksekusi
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 208 R.Bg. dan Pasal 197 HIR dan Pasal 439 Rv.
Bentuk surat sita eksekusi adalah berupa penetapan yang ditujukan kepada Pantiera atau
Jurusita dengan menyebutkan namanya secara jelas. Jika dalam surat putusan Pengadilan
sudah ada diletakkan sita jaminan maka sita eksekusi tidak diperlukan lagi, sita jaminan
tersebut dengan sendirinya menjadi sita eksekusi, cukup dikeluarkan surat penegasan
bahwa sita jaminan itu menjadi sita eksekusi. Seluruh ketentuan dan tata cara sita jaminan
berlaku sepenuhnya terhadap sita eksekusi.
(2) Mengeluarkan perintah eksekusi
Setelah penetapan sita eksekusi dilaksanakan, maka proses selanjutnya adalah
mengeluarkan surat perintah eksekusi yang dilaksanakan oleh Ketua Pengadilan. Surat
perintah eksekusi tersebut berisi perintah penjualan lelang barang-barang yang telah
diletakkan sita eksekusinya dengan menyebut jelas objek yang akan dieksekusi serta
menyebutkan putusan yang menjadi dasar eksekusi tersebut.
(3) Melaksanakan lelang24
Tahap berikutnya adalah melaksanakan pengumuman melalui surat kabar dan mass
media terhadap barang-barang yang akan dieksekusi lelang sesuai dengan Pasal 200 ayat

24
Ibid hlm. 10
(6) HIR dan Pasal 217 ayat (1) R.Bg. Pengumuman lelang barang bergerak dilakukan
menurut kebiasaan setempat dengan cara menempelkan pemberitahuan lelang pada papan
pengumuman Pengadilan atau pengumuman melalui surat kabar dan mass media lainnya.
Saat pengumuman ini boleh dilaksanakan sesaat setelah sita eksekusi diperintahkan, atau
sesaat setelah lewat peringatan bila telah ada sita jaminan sebelumnya. Penjualan lelang
dapat dilakukan paling cepat delapan hari dari tanggal sita eksekusi atau paling cepat
delapan hari dari peringatan apabila barang yang hendak dilelang telah diletakkan dalam
sita jaminan sebelumnya. Jika barang yang akan dilelang meliputi barang yang tidak
bergerak, pengumumannya disamakan dengan barang yang tidak bergerak yaitu melalui
mass media. pengumuman cukup satukali dan dilaksanakan paling lambat 14 hari dari
tanggal penjulan lelang.
(4) Permintaan lelang
Jika pengumuman telah dilaksanakan sebagaimana ketentuan tersebut di atas, Ketua
Pengadilan meminta bantuan Kantor Lelang Negara untuk menjual lelang barang-barang
yang telah diletakkan sita eksekusi. Surat permintaan lelang yang ditujukan kepada
Kantor Lelang Negara itu dilampiri surat-surat sebagai berikut25 :
- Salinan surat putusan Pengadilan.
- Salinan penetapan eksekusi.
- Salinan berita acara sita.
- Salinan penetapan lelang.
- Salinan surat pemberitahuan kepada pihak yang berkepentingan.
- Perincian besarnya jumlah tagihan.
- Bukti pemilikan (sertifikat tanah) barang lelang.
- Syarat-syarat lelang.
- Bukti pengumuman lelang.
(5) Pendaftaran permintaan lelang26
Kewajiban pendaftaran permintaan lelang pada Kantor Lelang sesuai Pasal 5 Peraturan
Lelang Stb. 1908 Nomor : 189. Kantor Lelang mendaftarkan permintaan lelang itu dalam
buku yang khusus untuk itu dan sifat pendaftaran itu terbuka untuk umum. Hal ini

25
Ibid hlm. 11
26
Ibid hlm. 12
dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada siapa saja supaya melihat
pendaftaran tersebut, sehingga bagi yang berminat untuk ikut dalam pelelangan tersebut
dapat menentukan sikapnya. Yang berhak menetapkan hari lelang adalah Kantor Lelang
Negera yang berwenang. Ketua Pengadilan boleh mengusulkan hari lelang agar
dilaksanakan pada hari yang ditentukan oleh Pengadilan, tetapi sepenuhnya terserah
kepada Kantor Lelang Negara untuk menetapkannya.
(6) Penentuan syarat lelang dan floor price27
Berdasarkan Pasal 1b dan Pasal 21 Peraturan Lelang Stb. 1908 No. 189 ditentukan bahwa
yang menetapkan dan yang menentukan syarat lelang adalahKetua Pengadilan yang
bertindak sebagai pihak penjual untuk dan atas namatereksekusi. Kewenangan ini
meliputi juga berubah syarat lelang yang sudah ditentukan sebelumnya.Syarat yang
paling penting dalam pelaksanaan lelang adalah tata carapenawaran dan tata cara
pembayaran. Syarat-syarat ini harus dilampirkan pada permintaan lelang agar umum
mengetahuinya. Penggugat atau Tergugat dapat mengusulkan syarat, tetapi usul tersebut
dapat dipertimbangkan, dan tidak berpengaruh pada pelaksanaan lelang sebab yang
menentukan adalah Ketua Pengadilan yang melaksanakan lelang. Dalam Pasal 9
Peraturan Lelang Stb, 1908 No. 189 ditetapkan pula bahwa patokan harga terendah
merupakan harga yang disetujui untuk membenarkan penjualan lelang. Dalam hal ini
yang berwenang adalah Kantor Lelang Negera,
bukan pihak Penggugat atau tereksekusi. Ukuran floor price adalah sesuai dengan
harga pasaran dengan memperhatikan nilai ekonomis barang.
(7) Tata cara penawaran
Bagi pihak-pihak yang berminat ikut dalam acara lelang yang diselenggarakan oleh
Kantor Lelang Negara, maka pihak tersebut harus mengajukan penawaran secara tertulis
dalam bahasa Indonesia dengan menyebut nama dan alamat penawar secara jelas dan
terang, menyebutkan harga yang disanggupinya dan ditandatangani oleh pihak penawar.
Penawaran harus dilaksanakan secara sendiri-sendiri, tidak boleh dilakukan secara
bersama-sama. Juru lelang harus menolak penawaran yang lebih dari satu orang dalam
satu surat penawaran.
(8) Penentuan pemenang

27
Ibid
Pembeli lelang adalah penawar tertinggi dan tawaran itu minimal sesuai dengan floor
price. Untuk mendukung kemenangannya diperlukan syarat yaitu penelitian secara
seksama tentang keabsahan pendaftaran, disamping itu perlu diteliti kemampuan
pembayaran sehingga jangan sampai terjadi hal-hal yang merugikan pihak pelaksana
lelang dan pemohon eksekusi. Setelah hal tersebut di atas dilaksanakan, maka barulah
juru lelang mengumumkan atau menentukan pemenangnya. Jika terjadi beberapa
penawaran yang sama nilai penawarannya, maka pihak yang berkepentingan dapat
mengajukan keberatan atas penentuan pemenang lelang tersebut, keberatan terseut
diajukan kepada Pengadilan yang melaksanakan lelang (penjual), namun terserah
Pengadilan untuk menerima atau menolak keberatan tersebut.28

28
Ibid hlm 13
BAB XI
UPAYA HUKUM

1. Pengertian Upaya Hukum


Upaya hukum menurut Prof. Sudikno Mertokusumo adalah upaya atau alat untuk
mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan.Sedangkan menurut Retnowulan
Sutantio upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh undang – undang kepada seseorang
atau badan hukum untuk dalam hal tertentu melawan putusan hakim.Jadi dapat dikatakan bahwa
upaya hukum adalah suatu lembaga yang diberikan oleh undang – undang sebagai alat untuk
mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan kepada seseorang atau badan
hukum.Seseorang atau badan hukum ini tentunya adalah orang yang merasa dirugikan dengan
adanya putusan tersebut.
Upaya hukum dibedakan menjadi upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa.Upaya
hukum biasa terdiri dari perlawanan terhadap putusan verstek(verzet), banding, dan
kasasi.Sedangkan upaya hukum luar biasa dapat terdiri dari Peninjauan Kembali dan perlawanan
pihak ketiga(derdenverzet).Pada upaya hukum biasa pada dasarnya akan menangguhkan
eksekusi dalam putusan, namun pengecualiannya apabila putusan tersebut dijatuhkan dengan
ketetntuan dapat dijalankan terlebih dahulu(uitvoerbaar bij voorraad pasal 180 (1) HIR), maka
eksekusi dapat berjalan meski diajukan upaya hukum biasa.Hal ini berbeda dengan upaya hukum
luar biasa, dimana upaya hukum tersebut tidak sama sekali menangguhkan eksekusi.29

2. Perlawanan (verzet)
Perlawanan atau verzet adalah upaya hukum terhadap putusan verstek.Putusan verstek
adalah putusan yang dijatuhkan diluar hadirnya tergugat.Dasar hukumnya adalah pasal 129
HIR.Pengajuan verzet harus dalam tenggang waktu 14 hari sejak putusan verstek dijatuhkan atau
disampaikan kepada tergugat (pasal 129 ayat (2) HIR), namun apabila terdapat eksekusi maka
tidak boleh lebih dari 8 hari.Upaya hukum verzet ini diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri
yang berwenang di wilayah hukum dimana penggugat mengajukan gugatan.

29
Ny. Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek,
(Bandung: Mandar Maju,2009), hlm 122.
3. Upaya Hukum Banding
Upaya hukum banding diajukan apabila salah satu pihak tidak puas terhadap putusan
Pengadilan Negeri.Upaya hukum banding ini nantinya akan diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding.Dasar hukum upaya hukum banding, yaitu
UU no. 20 tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan dan UU no 4 tahun 2004 tentang kekuasaan
Kehakiman, yang telah digantikan oleh UU no 48 tahun 2009.Peraturan – peraturan ini sekaligus
mencabut ketentuan sebelumnya yang diatur oleh pasal 188-194 HIR.
Menurut Pasal 21 UU No 4/ tahun 2004 dan pasal 9 UU No 20 tahun1947,Semua putusan
akhir pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan pemeriksaan ulang di tingkat banding oleh
para pihak yg bersangkutan, kecuali UU menentukan lain, misalnya pengadilan niaga yang tidak
menyediakan pengadilan tingkat banding, melainkan langsung ke tingkat kasasi.Pemeriksaan
pada tingkat banding dilakukan dengan memeriksa ulang seluruh perkara, baik mengenai
faktanya maupun hukumnya.Pemeriksaan ini sering disebut dengan pemeriksaan judex
factie.Jangka waktunya menurut pasal 11 ayat (1) UU no 20 tahun 1947 adalah 14 hari terhitung
sejak para pihak mengetahui putusan pengadilan negeri, yaitu sejak dibacakan apabila para pihak
hadir atau pada saat para pihak menerima salinan putusan, apabila hari ke 14 (empatbelas)
tersebut jatuh pada hari libur maka dihitung pada hari kerja selanjutnya.Meskipun yag
memeriksa adala Pengadilan Tinggi, permohonan banding harus diajukan kepada Panitera PN yg
menjatuhkan putusan (Pasal 7 (1) UU 20/ 1947), jadi tidak diajukan ke pengadilan tinggi.Dalam
pengajuannya, pihak pembanding atau pihak yang mengajukan dapat menyertakan (tidak wajib)
memori banding, yang berisi alasan – alasan banding maupun bukti baru, disisi lain terbanding
juga dapat mengajukan kontra memori banding30.

4. Upaya Hukum Kasasi


Upaya hukum kasasi dapat didefinisikan sebagai upaya hukum Upaya hukum kasasi
diatur dalam UU no. 4 tahun 20erhadap putusan tingkat banding atau terhadap putusan tertentu
yang tidak melaui pengadilan tingkat banding sekaligus sebagai pengadilan tingkat akhir dari
semua tingkat peradilan UU no.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU no. 14 tahun
1985 tentang Mahkamah Agung, dan UU no. 5 tahun 2004 tentang perubahan atas UU no. 4
tahun 1985.

30
Ibid hlm 158
Berdasarkan pasal Pasal 22 UU No 4 tahun 2004 dan Pasal 43 UU No 14 tahun 1985 jo
UU No 5 tahun 2004, upaya hukum kasasi diajukan kepada Mahkamah Agung.Adapun secara
keseluruhan kewenangan MA tercantum dalam pasal 29 dan pasal 30 UU no. 14 tahun 1985.
Pasal 29 UU no. 14 tahun 1985 mengatur wewenang MA antara lain, memeriksa dan mrmutus
kasasi; memeriksa sengketa kewenangan mengadili; dan memeriksa dan memutus peninjauan
kembali.Sedangkan pasal 30 UU no 14 tahun 1985 menyatakan kewenangan MA lainnya, yaitu
dapat membatalkan atau menguatkan putusan atau penetapan(dalam hal yang dimintakan kasasi
adalah penetapan) dari semua lingkungan peradilan.Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung
hanaya memeriksa penerapan hukumnya saja, oleh karena itu sering disebut sebagai pemeriksaan
judex juris.
Permohonan kasasi diajukan kepada Panitera dari pengadilan tingkat pertama yang
menjatuhkan putusan yg dimohonkan.Jangka waktu permohonan kasasi adalah 14 hari sejak
putusan diketahui oleh pemohon.Tidak seperti pada tahap banding,dimana memori banding tidak
wajib disertakan, pemohon kasasi wajib untuk mengajukan memori kasasi sedangkan pihak
termohon kasasi berhak menanggapi memori kasasi dengan mengajukan kontra memori kasasi31.
(pasal 47 UU No.14 tahun 1985).
Hal yang juga berbeda dengan tingkat banding adalah alasan pengajuan kasasi.Alasan
pengajuannya bersifat limitatif, dengan tidak dapat didasarkan kepada ketidakpuasan salah satu
pihak saja.Pasal 30 UU no 14 tahun 1985 menentukan alasan pengajuan kasasi sebagai berikut :
1. Hakim pemutus perkara tidak berwenang baik secara absolute maupun relatif atau
melampaui batas kewenangannya.
2. Hakim salah menerapkan hukum yang berlaku atau melanggar hukum yang berlaku
3. Hakim lalai memenuhi syarat – syarat yang diajukan peraturan perundang – undangan
yang karena lalainya itu dapat menyebabkan batalnya putusan.Misalnya hakim tidak
menyatakan siding terbuka untuk umum.

5. Upaya Hukum Luar Biasa: Peninjauan Kembali


Mengenai peninjauan kembali, diatur dalam pasal 66 sampai dengan pasal 77 UU no. 14
tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan pada UU no. 5 tahun 2004 tentang perubahan atas UU
no 14 tahun 1985.Peninjauan Kembali menurut pasal 23 ayat (1) UU No 4 tahun 2004 hanya

31
Ibid hlm 170
dapat diajukan apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan UU,
terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dimintakan PK kepada
MA dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yg berkepentingan.
Berdasarkan pasal 66 ayat (1) UU 14 tahun 1985 Terhadap putusan Peninjauan Kembali
tidak dapat dilakukan Peninjauan Kembali.Jadi, Permohonan Peninjauan Kembali dapat diajukan
hanya 1 (satu) kali.Misalnya penggugat mengajukan PK dan dikabulkan, maka tidak ada lagi
pihak yang mengajukan PK terhadap PK tersebut.Kemudian pasal 67 UU no 14 tahun 1985
menentukan alasan – alasan Pengajuan PK, yaitu antara lain :
1. Bila putusan didasarkan pada tipu muslihat atau pada bukti yang palsu yang harus
diketahui setelah kasasi diputus;
2. Bila setelah perkara diputus, ternyata ditemukan surat-surat bukti baru yang baru
ditemukan dan bersifat menentukan, yang tidak dapat ditentukan saat pemeriksaan
perkara;
3. Bila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau melebihi hal yang dituntut
sehingga melanggar pasal 178 HIR;
4. Bila mengenai bagian dari tuntutan yang brlum diputus tanpa dipertimbangkan sebab –
sebabnya;
5. Apabila antara pihak-pihak yg sama oleh pengadilan yg sama atau sama tingkatannya
telah diberikan putusan yg bertentangan satu dengan yg lain;
6. Apabila dalam satu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang
nyata.
Tengggang waktu pengajuan PK diatur dalam pasal 69 UU no 14 tahun 1985, yaitu 180 hari
sejak keputusan BHT diketahui para pihak.Kemudian pasal 70 UU no 14 tahun 1985
menentukan permohonan PK diajukan kepada MA melalui Ketua Pengadilan Negeri dalam
tingkat pertama yang memutus perkara tersebut.

6. Upaya Hukum Luar Biasa: Derdenverzet


Derdenverzet merupakan perlawanan pihak ketiga terhadap putusan apabila hak – hak
pihak ketiga tersebut dirugikan32.Dasar hukumnya adalah pasal 378 Rv.Adanya derdenverzet ini
adalah berdasarkan pasal 1917 KUHPerdata yang menekankan putusan tidak mengikat pihak

32
Ibid hlm 144
ketiga, sehingga pihak ketiga dapat mengutarakan keberatannya dengan adanya upaya hukum
derdenverzet ini.
BAB XII
CLASS ACTION

1. Pengertian Class Action


Menurut Perma No 1 Tahun 2002 tetang tata cara pengajuan gugatan secara
berkelompok, class action adalah suatu tata cara atau prosedur pengajuan gugatan dimana satu
orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan
sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta
atau kesamaan dasar hukum dan kesamaan tuntutan antara wakil kelompok dan anggota
kelompoknya.Yang dimaksud dengan wakil kelompok adalah satu orang atau lebih yang menderita
kerugian yang mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak
jumlahnya.Sedangkan anggota kelompok sendiri menurut Perma Nomor 1 tahu 2002 adalah
sekelompok orang dalam jumlah banyak yang menderita kerugian yang kepentingannya diwakili
oleh wakil kelompok di pengadilan; lalu Sub kelompok adalah pengelompokan anggota
kelompok ke dalam kelompok yang lebih kecil dalam satu gugatan berdasarkan perbedaan
tingkat penderitaan dan/atau jenis kerugian.33
2. Sejarah Class Action
Dalam sejarah dan perkembangannya, class action pertama kali dikenal di Negara Inggris
pada awal abad ke-18, yang kemudian dianut pula oleh negara persemakmurannya. Penerapan
class action di Inggris awalnya berdasarkan judge made law dan khusus untuk perkara-perkara
berdasarkan equity yang diterapkan melalui Court Of Chancery. Saat itu Court Of Chancery
mengadili suatu perkara yang melibatkan pihak penggugat yang jumlahnya puluhan bahkan
ratusan orang secara kumulasi. Kemudian sejak tahun 1873 barulah class action dapat digunakan
di Supreme Court, dengan diundangkannya Supreme Court Judicature Act. Sedangkan penerapan
class action untuk negara-negara civil law hanya mengadopsi dan disesuaikan dengan sistem
hukum yang berlaku di negara masing-masing termasuk di Indonesia.
Tolak ukur dari pengakuan class action di Indonesia yaitu dengan dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya
disebut sebagai UUPLH). Dari tolak ukur tersebut sejarah class action di Indonesia dibagi

33
Isi Perma nomor 1 tahun 2002
menjadi dua periode, yaitu periode sebelum tahun 1997 (Before Recognition of Class Action)
dan sesudah tahun 1997 (After Recognition of Class Action).34
Sebelum tahun 1997 belum ada aturan hukum yang mengatur mengenai class action
secara resmi, tetapi pernah dipraktikkan dalam dunia peradilan di Indonesia. Gugatan class
action yang terkenal pertama kali dilakukan adalah kasus R.O. Tambunan melawan perusahaan
rokok PT Bentoel Remaja pada tahun 1987. R.O. Tambunan mendalilkan dalam gugatannya
bahwa Ia tidak hanya mewakili dirinya sebagai orang tua dari anaknya, tetapi juga mewakili
semua remaja yang telah diracuni oleh iklan rokok Bentoel Remaja.Pada tahun 1988, gugatan
class action juga dilakukan oleh Muchtar Pakpahan yang menggugat Gubernur DKI Jakarta dan
Kakanwil Kesehatan DKI Jakarta dalam kasus endemi demam berdarah. Dalam kasus ini,
Muchtar Pakpahan mendalilkan pada gugatannya bahwa Ia bertindak untuk mewakili dirinya
sendiri dan masyarakat DKI Jakarta yang telah terserang wabah penyakit demam berdarah.
Menyusul kemudian pada tahun 1997, YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) melawan
PT. PLN (Persero) dalam kasus pemadaman listrik se-Jawa Bali pada tanggal 13 April
1997.Gugatan dari ketiga kasus diatas tidak dapat diterima oleh pengadilan dengan pertimbangan
bahwa gugatan class action bertentangan dengan hukum yang berlaku. Dalam Pasal 123 HIR
disebutkan bahwa untuk dapat mewakili pihak lain yang tidak ada hubungan hukum diperlukan
surat kuasa khusus.Sedangkan pada waktu gugatan class action tersebut diajukan di pengadilan
tidak disertai dengan surat kuasa khusus.
Dengan diterbitkannya UUPLH, maka diakuilah class action dalam sistem hukum
Indonesia. Meski telah diakui dalam sistem hukum Indonesia, class action hanya terbatas dan
diatur dalam beberapa pasal saja. Dalam UUPLH class action disebutkan dalam Pasal 37 ayat (1)
dan ayat (2), yang mana bunyi pasal tersebut sebagai berikut:
Pasal 37 ayat (1)
“Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke
penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan
masyarakat”
Pasal 37 ayat (2)

34
Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Ghalia Indonesia, Bogor; 2008,
hlm. 160.
“Jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat,
maka instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup dapat bertindak
untuk kepentingan masyarakat”
Class action dalam periode ini juga dikenal dalam UU Perlindungan
Konsumen(selanjutnya disebut UUPK), Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Pasal 46 ayat
(1) huruf b UUPK menyebutkan bahwa gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan
oleh kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama. Selanjutnya dalam
penjelasan Pasal 46 ayat (1) Huruf b menjelaskan bahwa UUPK mengakui gugatan kelompok
atau class action yang mana gugatan kelompok atau class action harus diajukan oleh konsumen
yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adalah
adanya bukti transaksi.Pengaturan mengenai gugatan class action dalam Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan diatur dalam Pasal 71 ayat (1) yang menyatakan bahwa
masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan atau melaporkan ke
penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat. Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi juga mengakui class action yang
disebutkan dalam Pasal 38 ayat (1), yang berbunyi:masyarakat yang dirugikan akibat
penyelenggaraan pekerjaan konstruksi berhak mengajukan gugatan ke pengadilan secara : Orang
perorangan; Kelompok orang dengan pemberian kuasa; Kelompok orang tidak dengan kuasa
melalui gugatan perwakilan.Sedangkan dalam penjelasan Pasal 38 ayat (1) UU No. 18 Tahun
1999 tentang Jasa Konstruksi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “hak mengajukan
gugatan perwakilan” adalah hak sekelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili
masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, faktor
hukum, dan ketentuan yang ditimbulkan karena kerugian atau gangguan sebagai akibat kegiatan
penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
Dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 disebutkan bahwa gugatan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 38 ayat (1) adalah tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu dan/atau
berupa biaya atau pengeluaran nyata, dengan tidak menutup kemungkinan tuntutan lain sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Penjelasan pasal 39 UU No. 18 Tahun
1999 disebutkan bahwa khusus gugatan perwakilan yang diajukan oleh masyarakat tidak dapat
berupa tuntutan membayar ganti rugi, melainkan hanya terbatas gugatan lain, yaitu:
a. Memohon kepada pengadilan agar salah satu pihak dalam penyelenggaraan pekerjaan
konstruksi untuk melakukan tindakan hukum tertentu yang berkaitan dengan kewajibannya atau
tujuan dari kontrak kerja konstruksi;
b. Menyatakan seseorang (salah satu pihak) telah melakukan perbuatan melawan hukum karena
melanggar kesepakatan yang telah ditetapkan bersama dalam kontrak kerja konstruksi;
c. Memerintahkan seseorang (salah satu orang) yang melakukan usaha atau kegiatan jasa
konstruksi untuk membuat atau memperbaiki atau mengadakan penyelamatan bagi para pekerja
jasa konstruksi.
Indonesia baru mengakui secara formal dan resmi class action setelah dikeluarkannya
peraturan yang secara khusus mengatur mengenai acara dan prosedur gugatan class action.
Peraturan tersebut berbentuk Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara
Gugatan Perwakilan Kelompok (selanjutnya disebut sebagai PERMA 1/2002). Istilah class
action di dalam PERMA 1/2002 lebih dikenal dengan gugatan perwakilan kelompok
sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 1 huruf (a).
3. Syarat Pengajuan Gugatan Class Action
Gugatan secara class action baru dapat diajukan apabila memenuhi persyaratan sebagai
berikut:35
1. Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidaklah efektif dan efesien
apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam satu
gugatan;
2. Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang
bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan diantara wakil kelompok
dengan anggota kelompoknya;
3. Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan
anggota kelompok yang diwakilinya;

35
Pasal 2 Perma nomor 1 tahun 2002
4. Hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok untuk melakukan penggantian
pengacara, jika pengacara melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan
kewajiban membela dan melindungi kepentingan anggota kelompoknya.

4. Notifikasi, opt in, opt out

Terdapat mekanisme – mekanisme khusus dalam class action yang membedakannya


dengan gugatan biasa, yaitu adanya mekanisme verifikasi dan notifikasi atau
pemberitahuan.Veriikasi adalah penetapan terlebih dahulu apakah gugatan yang diajukan
merupakan gugatan class action atau bukan.Jika merupakan gugatan class action maka akan
dibuatkan suatu penetapan sementara jika tidak maka putusan berakhir36.Notifikasi atau
pemberitahuan adalah pemberitahuan yang dilakukan oleh Panitera atas perintah Hakim
kepada anggota kelompok melalui berbagai cara yang mudah dijangkau oleh anggota
kelompok yang didefenisikan dalam surat gugatan37. Notifikasi atau pemberitahuan ini perlu
diadakan38:

1. Segera setelah hakim memutuskan bahwa pengajuan tata cara gugatan perwakilan
kelompok dinyatakan sah
2. Pada tahap penyelesaian dan pendistribusian ganti rugi ketika gugatan dikabulkan.
3. Untuk memberi kesempatan bagi anggota kelas yang ingin menyatakan keluar (opt-out)
dari kelompok tersebut.
4. Cara pemberitahuan dibuat seefektif atas persetujuan hakim dengan tujuan agar anggota
kelas mengetahui adanya prosedur class action.

Terdapat dua jenis notifikasi atau pemberitahuan, yaitu mekanisme opt out dan
mekanisme opt in. Opt out, prosedur dimana anggota kelas/kelompok yang didefinisikan
secara umum dalam anggota class actions diberitahukan di media massa (cetak/elektronik)-
public notice. Pihak-pihak yang termasuk dalam definisi umum, diberi kesempatan dalam
jangka waktu tertentu untuk menyatakan keluar dari kasus gugatan class actions apabila tidak
ingin dilibatkan dalam gugatan class action, sehingga putusan pengadilan tidak memihak

36
Ibid pasal 5
37
Ibid pasal 1 huruf e
38
Slide 9 perkuliahan Hukum Acara Perdata oleh Disriani Latifah Soroinda SH MH MKn
dirinya39. Opt In adalah prosedur yang mensyaratkan penggugat (wakil kelas) untuk
memperlihatkan persetujuan tertulis dari seluruh anggota kelas. Apabila diberlakukan
prosedur ini, prosedurnya sama dengan gugatan perdata biasa yang bersifat massal, dimana
masing-masing anggota kelas memberikan surat kuasa kepada kuasa hukum40.Notifikasi pada
gugatan class action menggunakan mekanisme opt out.

5. Proses Pengajuan Class Action

Proses pengajuan class action sebagaimana diatur dalam Perma nomor 1 tahun 2002
adalah sebagai berikut:

1. Pemberian kuasa oleh wakil kelompok pada kuasa hukumnya;


2. Gugatan didaftarkan pada pengadilan negeri; gugatan harus memuat:41

a. Identitas lengkap dan jelas wakil kelompok;


b. Defenisi kelompok secara rinci dan spesifik, walaupun tanpa menyebutkan nama
anggota kelompok satu persatu;
c. Keterangan tentang anggota kelompok yang diperlukan dalam kaitan dengan
kewajiban melakukan pemberitahuan;
d. Posita dari seluruh kelompok baik wakil kelompok maupun anggota kelompok, yang
teridentifikasi maupun tidak teridentifikasi yang dikemukakan secara jelas dan terinci;
e. Dalam satu gugatan perwakilan, dapat dikelompokkan beberapa bagian kelompok atau
sub kelompok, jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda;
f. Tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus dikemukakan secara jelas dan rinci,
memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara pendistribusian ganti kerugian kepada
keseluruhan anggota kelompok termasuk usulan tentang pembentukan tim atau panel
yang membantu memperlancar pendistribusian ganti kerugian.

3. Seperti pada hukum acara perdata, terlebih dahulu harus diupayakan mediasi;

39
Ibid slide 10
40
Ibid
41
Pasal 3 Perma nomor 1 tahun 2002
4. Apabila mediasi berhasil maka akan menghasilkan akta perdamaian, jika tidak maka
proses litigasi akan berlanjut;
5. Proses Verifikasi;
6. Proses Notifiksai;
7. Tahap jawab menjawab dan pembuktian dalam persidangan;
8. Putusan hakim. Dalam hal gugatan ganti rugi dikabulkan, hakim wajib memutuskan
jumlah ganti rugi secara rinci, penentuan kelompok dan/atau sub kelompok yang berhak,
mekanisme pendistribusian ganti rugi dan langkah-langkah yang wajib ditempuh oleh
wakil kelompok dalam proses penetapan dan pendistribusian seperti halnya kewajiban
melakukan pemberitahuan atau notifikasi.42

42
Ibid pasal 9
BAB XIII
PENGADILAN NIAGA

1. Kedudukan Pengadilan Niaga


Dalam pasal 2 UU nomor 4 tahun 2004, hanya disebutkan empat macam lingkungan
peradilan, yaitu: Peradilan Umum, Peradilan Niaga, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan
Peradilan Tata Usaha Negara.Dalam pasal 8 UU tersebut dijelaskan dalam lingkungan peradilan
umum dapat diadakan suatu pengkhususan yang diatur dengan undang – undang.Itulah yang
menjadi dasar hukum dari Pengadilan Niaga, yaitu sebagai pengadilan khusus didalam
lingkungan peradilan umum.
2. Kompetensi Pengadilan Niaga
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya kompentensi atau kewenangan mengadili dibedakan
menjadi kompetensi absolute dan kompetensi relatif.Kompetensi absolut pengadilan niaga
dijelaskan dalam pasal 300 ayat (1) UU no. 37 tahun 2004, pengadilan niaga berwenang
memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran
utang serta memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan(misalnya dalam perkara
HAKI).Kemudian pasal 303 UU no. 37 tahun 2004 menjelaskan pengadilan niaga tetap
mengadili perkara kepailitan yang memuat klausula arbitrase, sepanjang utang yang menjadi
dasar pernyataan permohonan pailit telah memenuhi kewajiban.Sedangkan kompetensi relatifnya
diatur dalam pasal 3 ayat (1) UU no. 37 tahun 2004, yaitu permohonan pailit harus diajukan
kepada pengadilan niaga melalui kepaniteraan pengadilan niaga yag daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman debitur.
3. Kepailitan
a. Pengertian Kepailitan
Yang dimaksud dengan kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan (debitur) pailit
yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim
pengawas43. Jadi, kepailitan merupakan lembaga hukum perdata sebagai realisasi dari jaminan
yang diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata pasal 1131 dan pasal 1132 tentang
jaminan umum dan jaminan khusus.Kepailitan bertujuan untuk member jalan keluar bagi debitur
yang sedang mengalami kesulitan finansial agar tidak terus ditagih membayar utang oleh kreditur
dan memberi kesempatan juga bagi kreditur untuk memperoleh harta milik debitur.
b. Syarat Permohonan Pailit
Syarat - syarat permohonan pailit antara lain44:
1. Debitur memiliki dua atau lebih kreditur;
2. Debitur tidak membayar lunas sedikitnya satu utang;
3. Utang tersebut telah jatuh tempo dan telah dapat ditagih meskipun belum jatuh tempo
sebagaimana diatur dalam klausula perjanjiannya.

c. Prosedur permohonan Pailit


Adapun prosedeur dalam permohonan pailit antara lain45 :
1. Panitera menyampaikan permohonan pailit kepada Ketua Pengadilan Niaga paling lambat 2
(dua) hari setelah pendaftaran
2. Ketua Pengadilan Niaga mempelajari dan menetapkan hari sidang paling lambat 3 (tiga) hari
setelah didaftarkan;
3. Pemanggilan sidang dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang pertama;
4. Sidang dilaksanakan paling lambat 20 hari setelah tanggal permohonan pendaftaran;
5. Sidang dapat ditunda paling lambat 25 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan dengan
alasan yang cukup;
6. Putusan, paling lambat 60 hari setelah permohonan didaftarkan;
7. Penyampaian salinan putusan dilakukan paling lambat 3 hari setelah tanggal putusan;
Dalam hal ini prosedur persidangan mengacu pada HIR, dengan kata lain sama dengan prosedur
dalam hukum acara perdata, kecuali dalam hal tahpa replik, duplik tidak terdapat dalam prosedur
perkara kepailitan.
c. Akibat Kepailitan
Akibat kepailitan antara lain46:

43
Pasal 1 ayat (1) UU nomor 37 tahun 2004
44
Ibid pasal 2 ayat (1)
45
Slide Perkuliahan Hukum Acara Perdata oleh Hening Hapsari & Disriani Latifah
1. Sejak putusan diucapkan, debitur demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan
mengurus kekayaannya termasuk dalam harta pailit;
2. Apabila sebelum putusan pailit telah dilaksanakan transfer dana, transfer tersebut wajib
diteruskan;
3. Apabila sebelum putusan pailit telah dilaksanakan transaksi di bursa efek, maka transaksi
tersebut wajib diselesaikan.

4.Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diatur dalam pasal 222 sampai pasal 264 UU
no. 37 tahun 2004.Jika terdapat permohonan penundaan kewajiban utang bersamaan dengan
permohonan pailit, maka PKPU harus didahulukan.Berdasarkan sifatnya PKPU dapat dibedakan
menjadi 2 maxam, yaitu PKPU sementara dan PKPUtetap.PKPU sementara diatur dalam pasal
226 UU no 37 tahun 2004, dalam hal ini debitur ingin mengajukan untuk diberikan PKPU
sementara belum ada putusan dinyatakan pailit, hal ini terkair dengan adanya rencana
perdamaian antara debitur dengan kreditur.Sementara PKPU tetap diatur dalam pasal 229 UU no.
37 tahun 2004, terjadi PKPU berakhir dan tidak terjadi peesetujuan terhadap rencana
perdamaian, maka debitur dinyataan pailit paling lambat hari berikutnya.Mengenai prosedur
pengajuannya, sama dengan prosedur pengajuan pailit.

46
Pasal 24 ayat (1, (2), (4) UU no. 37 tahun 2004

Anda mungkin juga menyukai