Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT : ILEUS

OLEH :

MYRNA SETYAWATI

201910461011030

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2019
LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT : ILEUS

OLEH :

MYRNA SETYAWATI

201910461011030

RS MUHAMMADIYAH LAMONGAN

2019
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT : ILEUS

RS MUHAMMADIYAH LAMONGAN

OLEH:

NAMA : MYRNA SETYAWATI

NIM : 20191046101030

PEMBIMBING INSTITUSI PEMBIMBING LAHAN

(............................................) (............................................)
LAPORAN PENDAHULUAN

ILEUS

A. Definisi
Ileus adalah suatu kondisi hipomotilitas (kelumpuhan) saluran gastrointestinal

tanpa disertai adanya obstruksi mekanik pada intestinal. Pada kondisi klinik sering

disebut dengan ileus paralitik.Obstruksi Ileus adalah gangguan aliran normal isi

usus sepanjang saluran usus (Selvia A. Price).

Dapat disimpulkan bahwa obstruksi usus adalah gangguan pada aliran normal

atau suatu blok saluran usus yang menghambat pasase cairan, flatus dan makanan

dapat secara mekanis atau fungsional yang segera memerlukan pertolongan atau

tindakan.

Perawat sangat perlu melakukan pemantauan pada pasien pascabedah

abdominal dari kondisi ileus. Setelah 2-3 hari pasca-pembedahan abdomen, ileus

merupakan suatu kondisi fisiologis yang normal sekunder dari anastesia dan efek

intervensi bedah, namun istilah ileus kondisi kelumpuhan intestinal dapat

bertahan lebih dari 3 hari pascabedah.

Sebagian besar kasus ileus terjadi setelah operasi intra-abdomen. Kembali

normalnya aktivitas usus setelah pembedahan abdominal mengikuti pola yang

dapat diprediksi. Usus kecil biasanya mendapatkan kembali fungsi dalam

beberapa jam. Aktivitas regains lambung dalam 1-2 hari dan usus besar aktivitas

regains 3-5 hari (Person, 2006).


B. Etiologi
Walaupun predisposisi ileus biasanya terjadi akibat pascabedah abdomen,

tetapi ada faktor predisposisi lain yang mendukung peningkatan resiko terjadinya

ileus, diantaranya (Behm, 2003) sebagai berikut:

1. Sepsis

2. Obat-obatan (misalnya: opioid, antasid, coumarin, amitriptyline,

chlorpromazine)

3. Gangguan elektrolit dan metabolik (misalnya hipokalemia, hipomagnesemia,

hipernatremia, anemia, atau hiposmolalitas)

4. Infark miokard

5. Pneumonia

6. Trauma (misalnya: patah tulang iga, cedera spina)

7. Bilier dan ginjal kolik

8. Cedera kepala dan prosedur bedah saraf

9. Inflamasi intra abdomen dan peritonitis

10. Hematoma retroperitoneal.

C. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala penting dari obstruksi Ileus adalah :

1. Nyeri daerah umbilicus

2. Muntah, sering terjadi bila obstruksi pada usus halus bagian atas

3. Konstipasi absolut dan peregangan abdomen


D. Klasifikasi
1. Ileus Obstruktif

Ileus obstruktif adalah suatu penyumbatan mekanis pada usus dimana

merupakan penyumbatan yang sama sekali menutup atau menganggu jalannya

isi usus (Sabara, 2007).Suatu penyebab fisik menyumbat usus dan tidak dapat

diatasi oleh peristaltik. Ileus obstruktif ini dapat akut seperti pada hernia

stragulata atau kronis akibat karsinoma yang melingkari. Misalnya intusepsi,

tumor polipoid dan neoplasma stenosis, obstruksi batu empedu, striktura,

perlengketan, hernia dan abses.

2. Ileus Paralitik

Ileus paralitik adalah ileus yang disebabkan gerakan (peristaltik) usus yang

menghilang, disini tidak ada sumbatan. Ileus paralitik adalah istilah gawat

abdomen atau gawat perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri

sebagai keluhan utama karena usus tidak dapat bergerak (mengalami motilitas)

dan menyebabkan pasien tidak dapat buang air besar. Obstruksi yang terjadi

karena suplai saraf ototnom mengalami paralisis dan peristaltik usus terhenti

sehingga tidak mampu mendorong isi sepanjang usus. Contohnya amiloidosis,

distropi otot, gangguan endokrin seperti diabetes mellitus, atau gangguan

neurologis seperti penyakit parkinson.

E. Patofisiologi
Menurut beberapa hipotesis, ileus pascabedah dimediasi melalui

penghambatan aktivasi refleks spinal. Secara anatomis, refleks yang terlibat pada

ileus adalah pada pleksus ganglia prevertebral, (Mattei, 2006).


Respons dari stres bedah mengarah pada generasi sistemik dari endokrin dan

mediator inflamasi yang juga mempromosikan perkembangan ileus. Model tikus

telah menunjukkan bahwa laparotomi, penetrasi, dan kompresi usus

menyebabkan peningkatan jumlah makrofag, monosit, sel dendritik, sel T, sel-sel

pembunuh alami, dan sel mast, seperti yang ditunjukkan oleh imonohistokimia.

Kalsitonin-peptida, nitrit oksid, peptida vasoaktif intestina, dan substansi P

berfungsi sebagai inhibitor neurotransmiter pada sistem saraf usus, (Bauer,

2004).

Diferensiasi yang umum untuk ileus adalah pseudo-obstruksi dan obstruksi

usus mekanik. Seperti ileus pada pseudo-obstruksi, terjadi dengan tidak adanya

patologi mekanis. Beberapa teks dan artikel cendrung menggunakan ileus disama

artikan dengan pseudo-obstruksi atau merujuk pada ileus kolon. Namun, kondisi

ini jelas merupakan dua entitas yang berbeda. Pseudo-obstruksi jelas terbatas

pada usus besar, sedangkan ileus melibatkan baik usus kecil dan usus besar. Usus

besar yang terlibat dalam pseudo-obstruksi klasik, yang biasanya terjadi pada

lanjut usia dengan gambaran penyakit ekstarintestinal serius atau trauma. Agen

farmakologi, sepsis, dan ketidakseimbangan elektrolit dapat juga berkontribusi

terhadap kondisi ini. Obstruksi usus mekanik dapat disebabkan oleh adhesi,

velvulus, hernia, intususepsi, benda asing, atau neoplasma. Klinis obstruksi hadir

dengan kolik abdominal yang hebat atau tanda-tanda obstruksi perforasi yang

jelas, (Loktus, 2012).

Tabel : Perbedaan Dari Ileus, Pseudo-Obstruksi, dan Obstruksi Usus


Mekanik (Mukherjee, S, 2008).
Ileus Pseudo-obstruksi Obstruksi mekanik usus
Anamnesis Nyeri abdomen Nyeri kram abdominal, Nyeri kram abdominal,
ringan, kembung, mual, muntah, anoreksia, mual, muntah, anoreksia,
mual, muntah, obstipasi, konstipasi obstipasi, konstipasi
obstipasi, konstipasi

Pemeriksaan Bising usus hilang, Borborygmi, timpani, Borborygmi, gelombang


fisik abdomen distensi, timpani gelombang peristaltic, peristaltic,

Ileus Pseudo-obstruksi Obstruksi mekanik usus


bising usus hiperaktif atau bising usus bernada tinggi,
hipoaktif, distensi, nyeri distensi, nyeri tekan local
tekan local
Foto polos Dilatasi usus kecil & Dilatasi isolasi pada usus Berbentuk lesi gas kolon
abdomen usus besar, elevasi besar, elevasi diafragma distal, diafragma agak
diafragma tinggi, air-fluid levels

6. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium, peningkatan kadar Haemoglobin (indikasi dari dehidrasi),

leukositosis, peningkatan PCO2 / asidosis metabolik.

Foto polos abdomen (BOF) dengan posisi tegak atau lateral dekubitus

tampak distensi usus proksimal dari hambatan dan fenomena anak tangga. Pada

volvulus sigmoid tampak sigmoid yang distensi berbentuk U yang terbalik dan

dapat juga di dapatkan :

a. Gambaran usus melebar (Darm Courtur)

b. Gambaran seperti duri ikan

c. Gambaran seperti anak tangga (Air Fluid Level)

Pemeriksaan CT scan, dikerjakan secara klinis dan foto polos abdomen

dicurigai adanya strangulasi. CT scan akan mempertunjukkan secara lebih teliti

adanya kelainan pada dinding usus (obstruksi komplet, abses, keganasan),

kelainan mesenterikus, dan peritoneum. Pada pemeriksaan ini dapat diketahui

derajat dan lokasi dari obstruksi.


Pemeriksaan radiologi dengan barium enema. Pemeriksaan ini mempunyai

suatu peran terbatas pada klien dengan obstruksi usus halus. Pengujian enema

barium terutama sekali bermanfaat jika suatu obstruksi letak rendah yang tidak

dapat pada pemeriksaan foto polos abdomen.

Pemeriksaan USG. Pemeriksaan ini akan mempertunjukkan gambaran

penyebab dari obstruksi.

Pemeriksaan MRI. Teknik ini digunakan untuk mengevaluasi iskemia

mesenteric kronis.

Pemeriksaan angiografi. Angiografi mesenteric superior telah digunakan

untuk mendiagnosis adanya herniasi internal, intususepsi, volvulus, malrotation,

dan adhesi, (Suratun & Lusianah, 2010).

F. Penatalaksanaan
1. Dekompresi dengan pipa lambung.

2. Pemasangan infus untuk koreksi keseimbangan cairan dan elektrolit juga

keseimbangan asam basa.

3. Koreksi bedah, tindakan bedah yang di lakukan sesuai dengan kelainan

patologinya.

4. Antibiotika profilaksis atau terapeutik tergantung proses patologi

penyebabnya.

G. Komplikasi
1. Nekrosis usus.

2. Perforasi usus dikarenakan obstruksi yang sudah terjadi terlalu lama pada

organ intra abdomen.


3. Peritonitis karena absorbsi toksin dalam rongga peritonium sehingga terjadi

peradangan atau infeksi yang hebat pada intra abdomen.

4. Sepsis infeksi akibat dari peritonitis, yang tidak tertangani dengan baik dan

cepat.

5. Syok dehidrasi terjadi akibat dehidrasi dan kehilangan volume plasma.

6. Abses sindrom usus pendek dengan malabsorpsi dan malnutrisi.

7. Pneumonia aspirasi dari proses muntah.

8. Gangguan elektrolit, refluk muntah dapat terjadi akibat distensi abdomen.

Muntah mengakibatkan kehilangan ion hidrogen dan kalium dari lambung,

serta menimbulkan penurunan klorida dan kalium dalam darah,

(Dermawan,2010).
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Pengkajian ileus terdiri atas pengkajian, anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

evaluasi diagnostik. Pada anamnesis keluhan utama yang lazim didapatkan adalah

keluhan kembung dan tidak bisa kentut (flatus). Keluhan adanya kembung dan

tidak bisa flatus bersifat akut disertai mual, muntah, anoreksia, dan nyeri ringan

pada abdomen.

Pada pengkajian riwayat penyakit sekarang, perawat mengkaji riwayat

pembedahan abdominal, jenis pembedahan, penyebab adanya intervensi bedah,

kondisi klinik preoperatif, pengetahuan mobilisasi dini pasien praoperatif, dan

adanya penyakit sistemik yang memperberat, seperti adanya sepsis, gangguan

metabolik, penyakit jantung, pneumonia pasca bedah, prosedur bedah saraf, dan

trauma abdominal berat.

Pengkajian psikososial akan didapatkan peningkatan kecemasan karena

perut kembung dan belum bisa melakukan flatus, serta perlunya pemenuhan

informasi.

Pemeriksaan fisik yang didapatkan sesuai dengan manifestasi klinis. Pada

survei umum pasien terlihat lemah. TTV biasa didapatkan adanya perubahan.

Pada pemeriksaan fisik fokus akan didapatkan :

a. Inspeksi : Secara umum akan terlihat kembung dan didapatkan adanya

distensi abdominal.

b. Auskultasi : Bising usus atau tidak ada.

c. Palpasi : Nyeri tekan lokal pada abdominal.

d. Perkusi : Timpani akibat abdominal mengalami kembung.


Pengkajian diagnostik yang dapat membantu, meliputi pemeriksaan

laboratorium untuk mendeteksi adanya gangguan elektrolit atau metabolik, foto

polos abdominal untuk mendeteksi adanya dilatasi gas berlebihan dari usus kecil

dan usus besar.

a. Aktivitas atau istirahat

Gejala : Kelelahan dan ngantuk.

Tanda : Kesulitan ambulasi

b. Sirkulasi

Gejala : Takikardia, pucat, hipotensi (tanda syok)

c. Eliminasi

Gejala : Distensi abdomen, ketidakmampuan defekasi dan Flatus

Tanda : Perubahan warna urine dan feces

d. Makanan atau cairan

Gejala : anoreksia, mual atau muntah dan haus terus menerus

Tanda : muntah berwarna hitam dan fekal, membran mukosa pecah-pecah

kulit buruk.

e. Nyeri atau Kenyamanan

Gejala : Nyeri abdomen terasa seperti gelombang dan bersifat kolik

Tanda : Distensi abdomen dan nyeri tekan

f. Pernapasan

Gejala : Peningkatan frekuensi pernafasan

Tanda : Napas pendek dan dangkal


Pengkajian Penatalaksanaan Medis
a. Konservatif

Sebagian besar kasus ileus pasca bedah mendapat intervensi

konservatif. Pasien harus menerima hidrasi intravena. Untuk pasien dengan

muntah dan distensi, penggunann selang nasogastrik diberikan untuk

menurunkan gejala, namun belum ada penelitian untuk literature yang

mendukung penggunaan selang nasogastrik untuk memfasilitasi resolusi

ileus. Panjang selang ke saluran gastrointestinal tidak memiliki manfaat atas

perbaikan ileus. Untuk pasien dengan ileus berlarut-larut, obstruksi mekanis

harus diperiksa dengan studi kontras. Sepsis dan gangguan elektrolit yang

mendasari, terutama hipokalemia, hiponatremia, dan hipomagnesemia,

dapat memperburuk ileus.Kondisi ini didiagnosis dan diperbaiki,

(Mukherjee, 2008).

Cara lainnya adalah menghentikan obat yang memproduksi ileus

(misalnya : opiate). Dalam suatu studi, jumlah morfin yang diberikan secara

langsung akan berhubungan dengan terjadinya ileus, (Cali, 2000).

Penggunaan narkotika pasca operasi dapat dikurangi dengan

suplemen dengan obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS).OAINS dapat

menurunkan ileus dengan menurunkan peradangan local dan dengan

mengurangi jumlah narkotika yang digunakan. Studi mioelektrik dari

elektroda ditempatkan pada usus besar, dimana studi ini telah

mengungkapkan resolusi lebih cepat dari yang diberikan pada pasien ileus

versus yang diberikan ketorolac morfin, namun kelemahan OAINS

digunakan mencakup disfungsi trombosit dan ulserasi mukosa lambung.


Kondisi ini dapat dipertimbangkan dengan penggunaan agen

cyclooxygenase-2, untuk menurunkan efek samping ini, (Ferraz, 1995).

Sampai saat ini belum ada suatu variabel yang secara akurat

memprediksi resolusi ileus.Pemeriksaan kondisi klinis masih menjadi

parameter penting untuk mengevaluasi asupan oral dan fungsi usus yang

baik.Laporan dari pasien bahwa sudah terjadi flatus, harus dinilai ulang

dengan seksama secara pemeriksaan fisik dan diagnostic yang akurat, serta

tidak boleh hanya mengandalkan dari laporan pasien (Mukherjee, 2008).

b. Terapi Diet
Umumnya, menunda intake makan oral sampai tanda klinis ileus

berakhir.Namun, kondisi ileus tidak menghalangi pemberian nutrisi

enteral.Pemberian enteral secara hati-hati dan dilakukan secara bertahap,

(Ng WQ, 2003).Pada suatu studi pemberian permen karet menunjukkan

bahwa mengunyah permen karet sebagai bentuk pemberian makanan palsu

pada fase pemulihan awal dari ileus pasca bedah setelah laparoskopi

colectomy.19 pasien yang menjalani elektif laparoskopi colectomy secara

acak.10 pasien yang ditetapkan ke grup permen karet dan 9 untuk kelompok

control.Kelompok permen karet yang digunakan 3x sehari dari pasca

operasi pertama pagi sampai intake oral. Terjadinya flatus lebih cepat dalam

kelompok permen karet daripada di kelompok control buang air besar

pertama tercatat pada 3,1 hari dalam kelompok permen karet versus 5,8 hari

pada kelompok control, (Asao, 2002).

c. Terapi Aktivitas
Kebijakan konvensional pada praktek klinik memberikan pemahaman

bahwa ambulasi dini merangsang fungsi usus dan meningkatkan ileus pasca

bedah, meskipun hal ini belum ditunjukkan dalam literature.


Dalam sebuah studi nonrandomized mengevaluasi 34 pasien,

elektroda bipolar seromuscular ditempatkan di segmen saluran

gastrointestinal setelah laparotomi.10 pasien ditugaskan untuk ambulasi

pada pasca operasi hari pertama, dan yang lainnya 24 pasien ditugaskan

untuk ambulasi pada pasca bedah hari keempat.Hasil yang didapat, ternyata

tidak ada perbedaan yang signifikan dari hasil mioelektrik dalam pemulihan

di lambung, jejunum, atau usus antara 2 kelompok tersebut, (Waldhausen,

1990).Walaupun begitu, ambulasi tetap bermanfaat dalam mencegah

pembentukan atelektasis, obstruksi vena profunda, dan pneumonia tetapi

tidak memiliki peran dalam mengobati ileus.

d. Terapi Farmakologi
Sampai saat ini belum terdapat studi yang menilai manfaat

supositoria dan enema untuk pengobatan ileus. Eritromisin, suatu agonis

resptor motilin, telah digunakan untuk paresis pasca operasi lambung

namun belum terbukti bermanfaat bagi ileus.Metoklopramid, sebuah

antagonis dopaminergik, sebagai obat anti muntah dan prokinetik.Data telah

menunjukkan bahwa pemberian obat ini dapat benar-benar memperburuk

ileus, (Mukherjee, 2008).

Terapi farmakologis yang dianjurkan adalah golongan opioid

antagonis selektif, misalnya alvimopan. Alvimopan ini ditunjukkan untuk

membantu mencegah ileus post operative reseksi usus (Maron, 2008).

B. Diagnosa Keperawatan
1. Konstipasi b.d. hipomotilitas/kelumpuhan intestinal.

2. Resiko ketidakseimbangan cairan tubuh b.d. keluar cairan tubuh dari

muntah, ketidakmampuan absorpsi air oleh intestinal.


3. Resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan kurangnya intake makanan yang adekuat.

4. Actual/resiko tinggi syok hipovolemik b.d. penurunan volume darah,

sekunder dari penurunan hidrasi, ketikmampuan absorpsi cairan oleh kolon.

5. Kecemasan b.d. prognosis penyakit.

6. Pemenuhan informasi b.d. adanya intervensi medic dan keperawatan,

misinterpretasi informasi.

7. Nyeri b.d. iritasi intestinal, distensi abdominal.

C. Intervensi Keperawatan
Rencana intervensi disususn sesuai dengan tingkat toleransi individu. Pada

pasien ileus, intervensi pada masalah keperawatan actual/resiko tinggi syok

hipovolemik dapat disesuaikan dengan masalah yang sama pada asuhan

keperawatan pasien gastroenteritis. Untuk intervensi masalah nyeri, kecemasan

dan pemenuhan informasi dapat disesuaikan pada intervensi masalah pasien

diverticulitis.

1. Konstipasi b.d. hipomotilitas/kelumpuhan intestinal.

Tujuan : Dalam waktu 5x24 jam terjadi perbaikan konstipasi.

Kriteria evaluasi :

1. Laporan pasien sudah mampu flatus dan keinginan untuk melakukan BAB.

2. Bising usus terdengar normal, frekuensi 5-25 x / menit.

3. Gambaran foto polos abdomen tidak terdapat adanya akumulasi gas di dalam intestinal.

INTERVENSI RASIONAL

Kaji factor predisposisi Walaupun predisposisi ileus biasanya terjadi akibat pasca bedah
terjadinya ileus. abdomen, tetapi ada factor predisposisi lain yang mendukung

peningkatan resiko terjadinya ileus. Hal ini harus segera

dikolaborasikan untuk mendapat intervensi medis, misalnya

adanya sepsis harus diatasi, kondisi gangguan elektrolit harus

dikoreksi.

Monitoring status cairan. Penurunan volume cairan akan meningkatkan resiko ileus

semakin parah karena terjadi gangguan elektrolit. Peran perawat

harus mendokumentasikan kondisi status cairan dan harus

melaporkan apabila didapatkan adanya perubahan yang

signifikan.

Evaluasi secara berkala Pemantauan secara rutin dapat memberikan data dasar pada

laporan pasien tentang flatus perawat atau sebagai pera untuk kolaborasi dengan medis

dan periksa kondisi bising tentang kondisi perbaikan ileus. Hasil evaluasi harus

usus. didokumentasikan secara hati-hati pada status medis.

Pasang selang nasogastrik. Pemasangan selang nasogastrik dilakukan untuk menurunkan

keluhan kembung dan distensi abdomen. Perawat melakukan

pemantauan setiap 4 jam dari pengeluaran pada selang

nasogastrik.

Lakukan teknik ambulasi. Walaupun terdapat studi yang tidak berhubungan dengan

peningkatan resolusi ileus. Dalam sebuah studi non-randomized

mengevaluasi pasien, elektroda bipolar seromuskular

ditempatkan di segmen saluran gastrointestinal setelah

laparotomi. 10 pasien ditugaskan untuk ambulasi pada pasca

operasi hari pertama, dan yang lainnya 24 pasien ditugaskan


untuk ambulasi pada pasca bedah hari ke 4. Hasil yang didapat,

ternyata tidak ada perbedaan yang signifikan dari hasil

mioelektrik dalam pemulihan di lambung, jejunum atau usus

antara 2 kelompok tersebut, (Waldhausen, 1990). Akan tetapi

pelaksanaan ambulasi tetap bermanfaat dalam mencegah

pembentukan atelektasis, obstruksi vena profunda, dan

pneumonia.

Kolaborasi :

Opioid antagonis selektif. Alvimopan ini ditunjukkan untuk membantu mencegah ileus

post operatif reseksi usus, (Maron, 2008).

2. Resiko ketidakseimbangan cairan tubuh b.d. keluar cairan tubuh dari muntah,

ketidakmampuan absorpsi air oleh intestinal.

Tujuan : Dalam waktu 5x24 jam tidak terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.

Kriteria evaluasi :

1. Pasien tidak mengeluh pusing, membrane mukosa lembap, turgor kulit normal.

2. TTV dalam batas normal.

3. CRT < 3 detik, urin > 600 ml/hari.

4. Laboratorium : Nilai elektrolit normal.

INTERVENSI RASIONAL

Monitoring status cairan (turgor Jumlah dan tipe cairan pengganti ditentukan dari keadaan

kulit, membrane mukosa, urine status cairan. Penurunan volume cairan mengakibatkan

output). menurunnya produksi urin, monitoring yang ketat pada

produksi urin < 600 ml/hari merupakan tanda-tanda


terjadinya syok hipovolemik.

Kaji sumber kehilangan cairan. Kehilangan cairan darimuntah dapat disertai dengan

keluarnya natrium via oral yang juga akan meningkatkan

resiko gangguan elektrolit.

Dokumentasikan intake dan Sebagai data dasar dalam pemberian terapi cairan dan

output cairan. pemenuhan hidrasi tubuh secara umum.

Monitor TTV secara berkala. Hipotensi dapat terjadi pada hipovolemi yang memberikan

manifestasi sudah terlibatnya system kardiovaskular untuk

melakukan kompensasi mempertahankan tekanan darah.

Kaji warna kulit, suhu, sianosis, Mengetahui adanya pengaruh adanya peningkatan tahanan

nadi perifer dan diaphoresis perifer.

secara teratur.

Kolaborasi :

Pertahankan pemberian cairan Jalur yang paten penting untuk pemberian cairan cepat dan

secara intravena. memudahkan perawat dalam melakukan control intake dan

Evaluasi kadar elektrolit. output cairan.

Sebagai deteksi awal menghindari gangguan elektrolit

sekunder dari muntah pada pasien peritonitis.

3. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kurangnya intake

makanan yang adekuat.

Tujuan : Setelah 7x24 jam asupan nutrisi dapat optimal dilaksanakan.


Kriteria evaluasi :

1. Bising usus kembali normal dengan frekuensi 5-25x/menit.

2. Pasien dapat menunjukkan metode menelan makanan yang tepat.

3. Terjadi penurunan gejala kembung dan distensi abdomen

4. Berat badan pada hari ke 7 pasca bedah meningkat minimal 0,5 kg.

INTERVENSI RASIONAL

Evaluasi secara berkala kondisi Sebagai data dasar teknik pemberian asupan nutrisi.

motilitas usus.

Hindari intake apapun secara Umumnya, menunda intake makanan oral sampai tanda

oral. klinis ileus berakhir. Namun kondisi ileus tidak menghalangi

pemberian nutrisi enteral.

Berikan nutrisi parenteral. Pemberian enteral diberikan secara hati-hati dan lakukan

secara bertahap sesuai tingkat toleransi dari pasien.

Berikan stimulant permen karet. Pada suatu studi pemberian permen karet menunjukkan

bahwa mengunyah permen karet sebagai bentuk pemberian

makanan palsu pada fase pemulihan awal dari ileus pasca

bedah setelah laparoskopi colectomy. 19 pasien yang

menjalani elektif laparoskopi colectomy secara acak. 10

pasien yang ditetapkan ke grup permen karet dan 9 untuk

kelompok control. Pada kelompok yang mendapat makanan

palsu berupa permen karet dengan durasi 3x sehari pada

hari pertama pasca operasi. Terjadi flatus lebih cepat pada

kelompok yang mendapat makanan palsu permen karet

daripada di kelompok control.


Pantau intake dan output, Berguna untuk mengukur keefektifan nutrisi dan dukungan

anjurkan untuk timbang berat cairan.

badan secara periodic (sekali

seminggu).

Lakukan perawatan mulut. Intervensi ini untuk menurunkan resiko infeksi oral.

Kolaborasi dengan ahli gizi Ahli gizi harus terlibat dalam penentuan komposisi dan jenis

mengenai jenis nitrisi yang akan makanan yang akan diberikan sesuai dengan kebutuhan

digunakan pasien. individu.

D. Implementasi
Pelaksanaan asuhan kerawatan merupakan realisasi dari pada rencana tindakan

keperawatan yang telah di terapkan meliputi tindakan idependent, dependetn,

interdependent. Pada pelaksanaan terdiri dari bebrapa kegiatan, validasi, rencana

keperawatan, mendokumentasikan rencana keperawatan memberikan asuhan

keperawatan dan pengumpulan data, (Susan Martin, 1998).

E. Evaluasi
Hasil yang diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan adalah sebagai

berikut:

1. Kemampuan motilitas pasien meningkat dan konstipasi dapat teratasi

2. Tidak terjadi ketidakseimbangan cairan tubuh

3. Asupan nutrisi tubuh optimal

4. Pasien tidak mengalami syok hipovolemik

5. Terjadi penurunan respons kecemasan

6. Terpenuhinya informasi kesehatan

7. Nyeri terkontrol atau teradaptasi


DAFTAR PUSTAKA

Asao, T. Et al. “Gum Chewing Enhances Early Recovery from Postoperative Ileus
after Laparoscopic Colectomy”. J Am Coll Surg. 195(1):30-2/Juli 2012
Bauer, A.J. dan Boeckxstaens G.E. “Mechanisms of Postoperative
Ileus”.Neurogastroenterol Motil. 16 Suppl 2:54-60/Oktober 2004
Behm, B. Dan Stollman N. “Postoperative Ileus: Etiologies and Interventions”. Clin
Gastroenterol Hepatol. 1(2):71-80/Maret 2003
Cali, R.L. et al. “Effect of Morphine and Incision Length on Bowel Function after
Colectomy”. Dis Colon Rectum. 43(2):163-8/Februari 2000.
Ferraz, A.A. et al. “Nonopioid Analgesics Shorten The Duration of Postoperative
Ileus.” Am Surg. 61(12):1079-83/Desember 1995
Muttaqin dan Sari. 2011. Gangguan Gastrointestinal Aplikasi Asuhan Keperawatan Medikal
Bedah. Jakarta: Penerbit Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai