PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Apakah definisi, etiologi, patogenesis dari gonore?
2. Bagaimana gejala klinis hingga penatalaksanaan gonore?
3. Bagaimana konseling dan edukasi pada pasien infeksi menular seksual?
1.3 Tujuan
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini:
1. Mengetahui definisi, etiologi, patogenesis dari gonore.
2. Mengetahui gejala klinis hingga penatalaksanaan gonore.
3. Mengetahui konseling dan edukasi pada pasien infeksi menular seksual.
1.4 Manfaat
Agar laporan kasus ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi
penulis maupun pembaca.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 Anamnesis
1. Keluhan Utama : Keluar cairan putih
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poli kulit RSUD Blambangan dengan keluhan keluar
cairan putih sejak kemarin, tidak terasa gatal, tidak terasa panas, tidak ada
nyeri. Buang air kecil lancar, tidak ada nyeri pinggang, tidak ada mual.
Keluhan belum diobati.
3. Alergi : tidak ada
4. Riwayat Penyakit Dahulu, Pengobatan, Tidakan :
- Belum pernah diobati
- Kolesterol (+)
- Diabetes (+)
5. Riwayat Penyakit Keluarga :
- Tidak ada yang mengalami keluhan yang sama
3
6. Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, Kebiasaan
- Bekerja di pelabuhan
Thoraks
- Pulmo : Suara nafas Vesikuler, Rh(-/-) Wh(-/-)
- Cor : murmur (-)
- Abdomen :
Inspeksi : Tampak datar
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba,
Perkusi : timpani, bising usus normal, massa tidak teraba
STATUS DERMATOLOGIS
Regio genetalia : white discharge (+), oedema minim (+), makula
eritematous (+)
4
Gambar 1. Pemeriksaan status lokalis pada pasien tampak duh uretra dengan
odem minim.
2.4 Diagnosa
Uretritis et causa gonore
Diagnosa banding:
- Uretritis non spesifik: klamidiasis, candidiasis
5
GDA 155 Mg/dl 70-125
Urinalisa Lengkap
Warna/Kekeruhan Kuning agak keruh
Urine
pH urine 6.0 4.8-7.8
Berat jenis 1.015 1.003-1.03
Protein urine Negative Mg/dL Negative
Reduksi urine Negative Mg/dL Negative
Urobilinogen Negative Mg/dL Negative
Bilirubin Negative Negative
Keton/Aseton Negative Negative
Sedimen urine
Leukosit urine PENUH Sel/PB <5
Eritrosit urine PENUH Sel/PB <1
Epitel urine 1-3 Sel/PB <1
Kristal Bakteri (+) /LPB
Mikrobiologi
Candida Negatif Negative
Diplococcus gram Positif Negative
negatif
Clue sel Positif Negative
Sel Leukosit PENUH /LpB Negative
Imunologi-serologi
VDRL Negative Negative
TPHA Negative Negative
2.6 Resume
Pasien datang ke poli kulit RSUD Blambangan dengan keluhan keluar
cairan putih sejak kemarin, tidak terasa gatal, tidak terasa panas, tidak ada nyeri.
Buang air kecil lancar, tidak ada nyeri pinggang, tidak ada mual. Keluhan belum
6
diobati. Dari pemeriksaan laboratorium hasil yang didapatkan adalah positif adanya
bakteri diplokokus gram negatif.
2.7 Tatalaksana
R/ Cefiksim 400 mg per oral dosis tunggal
R/ Megabal 2 dd tab I per oral
2.8 KIE
A = Abstinence (tidak melakukan hubungan seksual untuk sementara waktu)
selama 7 hari hingga keluhan membaik
B = Be faithful (setia pada pasangan)
C = Condom (gunakan kondom bila tidak mau melaksanakan A dan B, termasuk
menggunakan kondom sebelum IMS yang dideritanya sembuh)
D = no Drugs Tidak menggunakan obat psikotropik atau zat adiktif lainnya
7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
8
3.3 Patogenesis
Gonokokus menyerang membran mukosa terutama mukosa epitel kuboid
atau lapis gepeng yang belum berkembang (imatur) dari saluran genitourinaria,
mata, rektum dan tenggorokan. Gonokokus akan melakukan penetrasi permukaan
mukosa dan berkembang biak dalam jaringan subepitelial serta menghasilkan
berbagai produk ekstraseluler yang dapat mengakibatkan kerusakan sel. Adanya
infeksi gonokokus akan menyebabkan mobilisasi leukosit PMN
(polimorfonuklear), menyebabkan terbentuknya mikro abses subepitelial yang pada
akhirnya pecah dan melepaskan PMN dan gonokokus (Martiastutik, 2008; Daili,
2014). Penularan terjadi melalui kontak seksual dengan penderita gonore.
Masa inkubasi penyakit sangat singkat, pada pria umumnya bervariasi
antara 2-8 hari, dengan kebanyakan infeksi menjadi simptomatik dalam 2 minggu.
Kadang-kadang masa inkubasi terjadi lebih lama dan hal ini disebabkan karena
penderita telah mengobati diri sendiri, tetapi dengan dosis yang tidak cukup atau
gejala sangat samar sehingga tidak diperhatikan oleh penderita. Hanya sekitar 10%
dari infeksi ini yang asimptomatik pada pria (Daili & Nilasari, 2016; Garcia et al.,
2008). Masa inkubasi pada wanita sulit ditentukan karena pada umumnya
asimptomatik, dan baru diketahui setelah terjadinya komplikasi (Daili & Nilasari,
2016).
9
kasus, laki-laki akan segera berobat karena gejala yang mengganggu sehingga dapat
mencegah terjadinya infeksi lebih lanjut, namun tidak cukup untuk mencegah
terjadinya penularan (WHO, 2014).
Gejala yang terjadi pada wanita dengan gonore sering mengenai serviks
sehingga terjadi servisitis dengan gejala keputihan. Pada pemeriksaan, serviks yang
terinfeksi tampak rapuh dan mengalami edema dengan keluarnya cairan
mukopurulen pada ostium. Perempuan yang sedikit atau tidak memperlihatkan
gejala menjadi sumber utama penyebaran infeksi dan beresiko mengalami
komplikasi (Martiastutik, 2008).
10
Membantu mengidentifikasi pasangan seksual pasien.
Agar tujuan anamnesis tercapai, diperlukan keterampilan melakukan
komunikasi verbal (cara kita berbicara dan mengajukan pertanyaan kepada pasien)
maupun ketrampilan komunikasi non verbal (keterampilan bahasa tubuh saat
menghadapi pasien).
Sikap saat melakukan anamnesis pada pasien IMS perlu diperhatikan, yaitu:
1. Sikap sopan dan menghargai pasien yang tengah dihadapi.
2. Menciptakan suasana yang menjamin privasi dan kerahasiaan, sehingga
sebaiknya dilakukan dalam ruang tertutup dan tidak terganggu oleh
keluar-masuk petugas
3. Dengan penuh perhatian mendengarkan dan menyimak perkataan
pasien, jangan sambil menulis saat pasien berbicara dan jangan
memutuskan pembicaraannya.
4. Gunakan keterampilan verbal anda dengan memulai rangkaian
anamnesis menggunakan pertanyaan terbuka, dan mengakhiri dengan
pertanyaan tertutup.
5. Pertanyaan terbuka memungkinkan pasien untuk memberikan jawaban
lebih panjang sehingga dapat memberikan gambaran lebih jelas,
sedangkan pertanyaan tertutup adalah salah satu bentuk pertanyaan
yang mengharapkan jawaban singkat, sering dengan perkataan “ya”
atau “ tidak”, yang biasanya digunakan untuk lebih memastikan hal
yang dianggap belum jelas.
6. Gunakan keterampilan verbal secara lebih mendalam, misalnya dengan
memfasilitasi, mengarahkan, memeriksa, dan menyimpulkan, sambil
menunjukkan empati, meyakinkan dan kemitraan.
7. Rangkaian pertanyaan yang perlu ditanyakan kepada pasien IMS dapat
dilihat di bawah ini:
Informasi yang perlu ditanyakan kepada pasien (Kemenkes, 2016):
1. Keluhan utama
2. Keluhan tambahan
3. Riwayat perjalanan penyakit
11
4. Siapa menjadi pasangan seksual tersangka (wanita/pria penjaja seks,
teman, pacar, suami/isteri
5. Kapan kontak seksual tersangka dilakukan
6. Jenis kelamin pasangan seksual
7. Cara melakukan hubungan seksual (genito-genital, orogenital,
anogenital)
8. Penggunaan kondom (tidak pernah, jarang, sering, selalu)
9. Riwayat dan pemberi pengobatan sebelumnya (dokter/bukan
dokter/sendiri)
10. Hubungan keluhan dengan keadaan lainnya – menjelang/sesudah haid;
kelelahan fisik/psikis; penyakit: diabetes, tumor, keganasan, lain-lain);
penggunaan obat: antibiotika, kortikosteroid, kontrasepsi); pemakaian
alat kontrasepssi dalam rahim (AKDR); rangsangan seksual;
kehamilan; kontak seksual
11. Riwayat IMS sebelumnya dan pengobatannya
12. Hari terakhir haid
13. Nyeri perut bagian bawah
14. Cara kontrasepsi yang digunakan dan mulai kapan
12
tambahan diperlukan untuk pemeriksaan pasien perempuan dengan spekulum.
Dalam pelaksanaan sebaiknya pemeriksa didampingi oleh seorang tenaga
kesehatan lain. Pada pemeriksaan terhadap pasien perempuan, pemeriksa
didampingi oleh paramedis perempuan, sedangkan pada pemeriksaan pasien laki-
laki, dapat didampingi oleh tenaga paramedis laki-laki atau perempuan. Beri
penjelasan lebih dulu kepada pasien mengenai tindakan yang akan dilakukan
(Kemenkes, 2016):
1. Pada saat melakukan pemeriksaan fisik genitalia dan sekitarnya, pemeriksa
harus selalu menggunakan sarung tangan. Jangan lupa mencuci tangan
sebelum dan sesudah memeriksa.
2. Pasien harus membuka pakaian dalamnya agar dapat dilakukan pemeriksaan
genitalia (pada keadaan tertentu, kadang–kadang pasien harus membuka
seluruh pakaiannya secara bertahap).
13
- Perhatikan daerah penis, dari pangkal sampai ujung, serta daerah
skrotum
- Perhatikan adakah duh tubuh, pembengkakan, luka/lecet atau lesi lain
14
cukup menekan dinding uretra), dan tarik keluar perlahan-lahan (Gambar
3).
4. Oleskan duh tubuh ke atas kaca obyek yang sudah disiapkan.
5. Bila tidak tampak duh tubuh uretra dapat dilakukan pengurutan (milking)
oleh pasien.
15
Dacron™ steril untuk pembuatan sediaan hapus, dengan swab
Dacron™ yang lain dibuat sediaan biakan,
- Dari forniks posterior: dengan sengkelit/ swab Dacron™ steril untuk
pembuatan sediaan basah, dan lakukan tes amin
- Dari dinding vagina: dengan kapas lidi/ sengkelit steril untuk sediaan
hapus,
- Dari uretra: dengan sengkelit steril untuk sediaan hapus
6. Cara melepaskan spekulum: kunci spekulum dilepaskan, sehingga
spekulum dalam posisi tertutup, putar spekulum 90o sehingga daun
spekulum dalam posisi tegak, dan keluarkan spekulum perlahan-lahan.
16
Pemeriksaan anoskopi dilakukan apabila terdapat keluhan atau gejala pada anus
dan rektum. Pemeriksaan ini sekaligus melihat keadaan mukosa rektum atau
pengambilan spesimen untuk pemeriksaan laboratorium bila tersedia (Kemenkes,
2016).
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan yaitu:
1. Darah lengkap
2. Urinalisa Lengkap
3. Sedian langsung
Pemeriksaan gram dengan menggunakan sediaan langsung dari duh
uretra yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi terutama pada
duh uretra pria. Pada sedian langsung dengan pewarnaan akan di
temukan gonokok negatif-gram, intraselular dan ekstraseluler
(Djuanda,2002).
4. Kultur (Gold standar)
Kultur untuk bakteri N.gonorrhoeae umumnya dilakukan pada media
pertumbuhan Thayer-Martin yang mengandung vankomisin untuk
menekan pertumbuhan kuman gram positif dan kolimestat untuk
menekan pertumbuhan bakteri gram negatif dan nistatin untuk menekan
pertumbuhan jamur. Pemeriksaan kultur ini merupakan pemeriksaan
dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi, sehingga sangat
dianjurkan dilakukan pada pasien wanita. Identifikasi juga dapat di
lakukan dengan pembiakan dengan menggunakan media transpor dan
media pertumbuhan (Djuanda,2002).
5. Tes definitif
Tes definitif terdiri dari 2 cara. Dapat dilakuan dengan tes oksidatif dan
tes fermentasi dari hasil tes oksidatif dapat di temukan perubahan warna
koloni yang semula bening menjadi merah muda samap dengan merah
tua sedangkan untuk tes fermentasi menggunakan glukosa,maltosa,dan
17
sukrosa yang nantinya hanya glukosa yang akan diragikan
(Djuanda,2002).
6. Tes beta laktamase
Pemeriksaan dengan tes ini menggunakan cefinase TMN disk. Bbl
961192 yang akan mengubah warna sedian dari kuning menjadi merah
(Djuanda,2002).
7. Tes thomson 2 gelas
Tes ini dilakukan dengan menampung urin setelah bangun pagi ke dalam
2 gelas dan tidak boleh menahan kencing dari gelas pertama ke gelas
kedua. Hasil dinyatakan positif jika gelas pertama tampak keruh
sedangkan gelas kedua tampak jernih. Tes ini hanya di gunakan untuk
menentukan sampai dimana infeksi sudah berlangsung (Djuanda,2002).
8. Dilakukan tes klamidia, sifilis dan HIV (CDC, 2015).
3.6 Penatalaksanaan
3.6.1 Duh Tubuh Uretra
Pasien laki-laki yang datang dengan keluhan duh tubuh uretra dan atau nyeri
pada saat kencing agar diperiksa terlebih dulu ada tidaknya duh tubuh. Bilamana
tidak tampak duh tubuh, agar dilakukan milking, yaitu pengurutan uretra mulai dari
pangkal penis ke arah muara uretra. Bila masih belum terlihat, dianjurkan untuk
tidak kencing sekurangkurangnya 3 jam sebelum diperiksa (Kemenkes, 2016).
Pada pemeriksaan dengan pendekatan sindrom tanpa tanpa sarana
laboratorium, dapat digunakan bagan 1. DUH TUBUH URETRA PADA LAKI-
LAKI DENGAN PENDEKATAN SINDROM (Kemenkes, 2016).
18
Bagan 1. Duh Tubuh Uretra Pada Laki-Laki Dengan Pendekatan Sindrom
19
Pada fasilitas kesehatan yang memiliki alat bantu mikroskop atau sarana
laboratorium, maka dapat digunakan bagan alur Bagan 2. DUH TUBUH URETRA
LAKI-LAKI DENGAN MIKROSKOP (Kemenkes, 2016).
20
gonokokus terutama disebabkan oleh C.trachomatis, sehingga dalam
pengobatannya ditujukan untuk klamidiosis (Kemenkes, 2016).
21
dirujuk. Sampai saat ini data epidemiologi trikomoniasis pada pria di Indonesia
sangat sedikit, oleh karena itu bila gejala duh tubuh uretra masih ada setelah
pemberian terapi awal sebaiknya penderita dirujuk pada tempat dengan fasilitas
laboratorium yang lengkap (Kemenkes, 2016).
22
3.6.4 Wanita Hamil
Wanita hamil dengan infeksi N.gonore harus diobati dengan dual terapi
yaitu ceftriaxone 250 mg dosis tunggal IM dan azitromycin 1 g per oral dosis
tunggal (CDC, 2015).
23
menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan dimengerti oleh pasien, dan bila
dianggap perlu dapat digunakan istilah-istilah setempat (Kemenkes, 2016).
Beberapa pesan edukasi IMS yang perlu disampaikan:
1. Mengobati sendiri cukup berbahaya
2. IMS umumnya ditularkan melalui hubungan seksual.
3. IMS adalah ko-faktor atau faktor risiko dalam penularan HIV.
4. IMS harus diobati secara paripurna dan tuntas.
5. Kondom dapat melindungi diri dari infeksi IMS dan HIV.
6. Tidak dikenal adanya pencegahan primer terhadap IMS dengan obat.
7. Komplikasi IMS dapat membahayakan pasien.
24
3.9 Prognosis
Bila di tangani dengan tepat, prognosis dari penyakit ini cukup baik untuk
di lakukan pentalaksanaan dan bisa di lakukan pencegahan dari penyebaran
penyakit ini (Siregar,2005).
3.10 Komplikasi
Komplikasi umumnya akan timbul jika uretritis tidak cepat diobati atau
mendapat penggobatan yang kurang adekuat. Disamping itu, penyulit ureteritis
gonore pada umumnya bersifat lokal sehingga penjalarannya sangat erat dengan
susunan anatomi dan faal alat kelamin. Pada pria, komplikasi bisa terjadi secara
lokal, asendens, dan diseminata. Pada pria bisa terjadi balanitis, tisonitis, uretritis
posterior, prostatitis, epididimitis dan orkitis. Pada wanita bisa terjadi parauretritis,
bartolinitis, vulvovaginitis dan proktitis (Siregar, 2005).
25
BAB IV
PEMBAHASAN
26
Diagnosa banding dari uretritis gonore komplikata adalah uretritis non
gonore. Paling banyak disebabkan oleh Chlamydia trachomatis. Diagnosa banding
dapat disingkarkan dilihat dari masa inkubasinya dimana infeksi klamidia
membutuhkan waktu 1-5 minggu untuk berkembang, serta jika duh uretra
disebabkan infeksi klamidia maka tidak akan ditemukan gambaran bakteri
diplokokus Gram negatif intrasellular PMN pada pemeriksaan pewarnaan Gram.
Pasien yang terinfeksi dengan Neisseria gonorrhoeae seringnya koinfeksi dengan
Chlamydia trachomatis sehingga pada prakteknya untuk pengobatan kausatif
uretritis gonore menggunakan terapi ganda rutin yang bertujuan untuk membunuh
kedua bakteri tersebut (Daili & Nilasari, 2016).
Namun dalam kasus ini, bakteri penyebab telah ditentukan dari pemeriksaan
langsung dengan pengecatan Gram, sehingga pengobatan cukup untuk bakteri
penyebabnya saja. Pengobatan terbaru yang direkomendasikan oleh CDC pada
pasien dewasa dengan infeksi gonore tanpa komplikasi ceftriaxone 500 mg
intramuskular dosis tunggal. Alternatif lain adalah dengan pemberian sefiksim 400
mg oral dosis tunggal (CDC, 2015; Bignell & Unemo, 2012).
Pada kasus ini, diberikan terapi berupa sefiksim 400 mg dosis tunggal.
Sefiksim memiliki keuntungan yaitu di konsumsi secara oral, sehingga banyak
dipilih oleh pasien yang tidak suka pengobatan injeksi. Pemberian terapi oral
merupakan hal yang juga perlu menjadi pertimbangan, karena selain dapat
memotong biaya yang diperlukan untuk pembelian alat suntik sehingga lebih
terjangkau secara keuangan, juga dapat mengurangi resiko terkena nya jarum suntik
pada tenaga kesehatan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Plourde dkk (1992) dan
Haizlip dkk (1995) menunjukkan bahwa pemberian terapi menggunakan oral dosis
tunggal dibandingkan dengan pemberian obat injeksi dosis tunggal sama-sama
memberikan efek perbaikan dalam rentang waktu 24 jam pertama. Selain itu, sesuai
dengan pedoman penatalaksanaan infeksi menular seksual yang dikeluarkan oleh
Departemen Kesehatan RI tahun 2016 masih merekomendasikan pengobatan
menggunakan sefiksim sebagai terapi untuk Gonore dengan komplikasi
(bartholinitis, epidimitis, orkitis) (Kemenkes, 2016).
27
Manajemen pasien berupa pemberian informasi, edukasi dan saran untuk
pasien juga merupakan hal yang penting dalam tatalaksana infeksi Gonore
(Kemenkes, 2016). Pada pasien ini disarankan untuk periksa dan obati pasangan
seksual yang kontak dengan pasien 60 hari sebelum timbul gejala, dianjurkan untuk
tidak melakukan hubungan seksual sampai terbukti sembuh secara laboratorium,
dan bila tidak dapat menahan diri dianjurkan untuk memakai kondom, tidak
melakukan hubungan seksual sebelum menikah dan berganti-ganti pasangan.
Selain itu pemberian komunikasi, informasi dan edukasi tentang penyakit ini dan
perilaku seks yang sehat juga akan sangat membantu dalam mencegah infeksi
ulang, penularan lebih lanjut dan bahaya terkena HIV. Evaluasi setelah pengobatan
direkomendasikan untuk mengkonfirmasi kepatuhan pasien dengan terapi, resolusi
gejala dan tanda, serta menyingkirkan kemungkinan infeksi ulang dan memastikan
pasangan telah diberitahukan mengenai infeksi Gonore yang dialami oleh pasien
(Bignell & Unemo, 2012). Pada pasien ini tidak dilakukan follow up dikarenakan
pasien tidak datang untuk berobat lagi.
28
BABV
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Telah dilaporkan kasus Tn. A (50th) dengan urethritis gonore. Diagnosa
ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan dan pemeriksaan penunjang yang
dilakukan pada pasien. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan keluhan
yang khas yaitu kencing nanah disertai dengan odem minimal. Pemeriksaan fisik
ditemukan duh mukopurulen dari uretra, ruam berupa makula hiperemi pada
orifiicum uretra eksterna. Pada pemeriksaan penunjang ditemukan leukosit lebih
dari 5 per lapang pandang besar serta kuman diplococcus Gram negatif intraseluler
maupun ekstraseluler.
Pengobatan yang dianjurkan pada pasien adalah dosis tunggal cefiksim 400
mg per oral yang bersifat kausatif. Diperlukan komunikasi, informasi dan edukasi
yang tepat pada pasien sehingga tidak terjadi penyakit berulang dan penyebaran
lebih luas.
29
DAFTAR PUSTAKA
Bignell C. & Unemo M. 2012. European guideline on the diagnosis and treatment
of gonorrhoea in adults. Int J STD AIDS [internet]. [cited 2019 Jull 11]; 24
(85): Page.85-92. Available from : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2
4400344 DOI: 10.1177/0956462412472837
Centers for Disease Control and Prevention. 2015. Sexually transmitted disease
treatment guidelines [internet]. USA:CDC; June 2015 cited 2019 Jul 10.
Available from https://www.cdc.gov/std/tg2015/gonorrh ea.htm
Daili, S.F. 2014. Infeksi Menular Seksual. Edisi Keempat. Jakarta : Badan penerbit
FKUI, p.65-76
Daili, S.F. & Nilasari, H. 2016, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ketujuh.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI, p.443-449, 495
Kemenkes. 2016. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual 2016.
Jakarta
Martiastutik, D. 2008. Buku Ajar Infeksi Menular Seksual. Surabaya : Airlangga
University Press.
Puspitorini,D., Lumintang, H. 2017. Studi Retrospektif: Profil Pasien Baru Gonore
(A Retrospective Study: The Profile of New Gonorrhoeae Patients). Berkala
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin – Periodical of Dermatology and
Venereology, Vol. 29, No. 1, 59-64.
30