Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Infeksi menular seksual (IMS) merupakan masalah besar pada kesehatan
masyarakat di seluruh dunia yang berdampak pada kualitas hidup dan menyebabkan
mortalitas dan morbiditas. IMS berdampak langsung pada kesehatan reproduksi
yaitu infertilitas, kanker, komplikasi kehamilan, dan dampak tidak langsung pada
penyebaran virus human immunodeficiency (HIV). Lebih dari 1 juta kasus IMS
terjadi setiap hari. Pada tahun 2012, terdapat 357 juta kasus baru seperti gonore,
klamidia, sifilis dan trikomoniasis pada usia 15-49 tahun di seluruh dunia, termasuk
79 juta kasus gonore (WHO, 2016).
Kuman Neisseria gonorrhoeae yang merupakan kuman kedua tersering
penyebab uretritis pada pria yaitu suatu kondisi peradangan yang ditandai dengan
keluarnya duh pada uretra yang purulen atau mukopurulen dan kadang disertai
dysuria (CDC, 2015). Menurut WHO pada tahun 2012 terdapat 78 juta kasus baru
pada remaja dan orang dewasa usia 15-49 tahun di dunia dengan rata-rata insiden
19 per 1000 perempuan dan 24 per 1000 laki-laki (WHO, 2016). Di Unites States
(US) terdapat 820.000 kasus baru infeksi kumas N. gonorrhoeae tiap tahunnya
(CDC, 2015). Di Indonesia prevalensi pasien gonore di Unit Rawat Jalan Kesehatan
Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya tahun 2010 sebanyak 35 %, 2011
sebanyak 55%, 2012 sebanyak 45% dengan rentang usia 15-64 tahun (Puspitorini
& Lumintang, 2017).
Berdasarkan latar belakang di atas sehingga penulis berinisiatif untuk
membahas urethritis gonore sebagai laporan kasus pada tugas kepaniteraan klinik
madya di laboratorim kulit.

1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Apakah definisi, etiologi, patogenesis dari gonore?
2. Bagaimana gejala klinis hingga penatalaksanaan gonore?
3. Bagaimana konseling dan edukasi pada pasien infeksi menular seksual?

1.3 Tujuan
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini:
1. Mengetahui definisi, etiologi, patogenesis dari gonore.
2. Mengetahui gejala klinis hingga penatalaksanaan gonore.
3. Mengetahui konseling dan edukasi pada pasien infeksi menular seksual.

1.4 Manfaat
Agar laporan kasus ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi
penulis maupun pembaca.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. A
Umur : 50 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Denpasar
Status Pernikahan : Menikah
Pekerjaan : Bekerja di pelabuhan
Suku :-
Agama :-
Tanggal MRS : 12 Juni 2019
No register : 22-08-**

2.2 Anamnesis
1. Keluhan Utama : Keluar cairan putih
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poli kulit RSUD Blambangan dengan keluhan keluar
cairan putih sejak kemarin, tidak terasa gatal, tidak terasa panas, tidak ada
nyeri. Buang air kecil lancar, tidak ada nyeri pinggang, tidak ada mual.
Keluhan belum diobati.
3. Alergi : tidak ada
4. Riwayat Penyakit Dahulu, Pengobatan, Tidakan :
- Belum pernah diobati
- Kolesterol (+)
- Diabetes (+)
5. Riwayat Penyakit Keluarga :
- Tidak ada yang mengalami keluhan yang sama

3
6. Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, Kebiasaan
- Bekerja di pelabuhan

2.3 Pemeriksaan Fisik


1. Keadaan Umum : GCS : 456
2. Tanda Vital
Tensi : tdl
Nadi : tdl
Pernafasan : 20x/menit
Suhu : 36,5°C
Kepala/Leher :
- Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera tidak ikterik
- Mulut : Mukosa bibir normal
- Leher : KGB tidak membesar, JVP tidak meningkat

Thoraks
- Pulmo : Suara nafas Vesikuler, Rh(-/-) Wh(-/-)
- Cor : murmur (-)
- Abdomen :
Inspeksi : Tampak datar
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba,
Perkusi : timpani, bising usus normal, massa tidak teraba

Ekstremitas : Edema(-/-), akral hangat (+/+)

STATUS DERMATOLOGIS
Regio genetalia : white discharge (+), oedema minim (+), makula
eritematous (+)

4
Gambar 1. Pemeriksaan status lokalis pada pasien tampak duh uretra dengan
odem minim.
2.4 Diagnosa
Uretritis et causa gonore
Diagnosa banding:
- Uretritis non spesifik: klamidiasis, candidiasis

2.5 Pemeriksaan Penunjang


- Darah lengkap
- Urinalisa lengkap
- sekret uretra
- VDRL-TPHA
- konsul poli VCT
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Darah Lengkap
Leukosit 10.2 X10^3/µL 3.8-10.6
Lym 18.4 % 20-40
Mix 7.8 % 0.8-10.8
Neu 73.8 % 73.7-89.7
Eritrosit 5.70 X10^3/µL 4.4-5.9
MCV 81.2 Fl 80-100
MHC 27.2 Pg 26-34
MCHC 33.5 g/dl 32-36
Hemoglobin 15.5 g/dl 13.2-18
Hematokrit 46.3 % 40-52
Trombosit 220 X10^3/µL 150-440

5
GDA 155 Mg/dl 70-125
Urinalisa Lengkap
Warna/Kekeruhan Kuning agak keruh
Urine
pH urine 6.0 4.8-7.8
Berat jenis 1.015 1.003-1.03
Protein urine Negative Mg/dL Negative
Reduksi urine Negative Mg/dL Negative
Urobilinogen Negative Mg/dL Negative
Bilirubin Negative Negative
Keton/Aseton Negative Negative
Sedimen urine
Leukosit urine PENUH Sel/PB <5
Eritrosit urine PENUH Sel/PB <1
Epitel urine 1-3 Sel/PB <1
Kristal Bakteri (+) /LPB
Mikrobiologi
Candida Negatif Negative
Diplococcus gram Positif Negative
negatif
Clue sel Positif Negative
Sel Leukosit PENUH /LpB Negative
Imunologi-serologi
VDRL Negative Negative
TPHA Negative Negative

Gambar 2. Pemeriksaan mikroskopik pada duh uretra pasien didapatkan bakteri


diplokokkus gram negatif

2.6 Resume
Pasien datang ke poli kulit RSUD Blambangan dengan keluhan keluar
cairan putih sejak kemarin, tidak terasa gatal, tidak terasa panas, tidak ada nyeri.
Buang air kecil lancar, tidak ada nyeri pinggang, tidak ada mual. Keluhan belum

6
diobati. Dari pemeriksaan laboratorium hasil yang didapatkan adalah positif adanya
bakteri diplokokus gram negatif.

2.7 Tatalaksana
R/ Cefiksim 400 mg per oral dosis tunggal
R/ Megabal 2 dd tab I per oral
2.8 KIE
A = Abstinence (tidak melakukan hubungan seksual untuk sementara waktu)
selama 7 hari hingga keluhan membaik
B = Be faithful (setia pada pasangan)
C = Condom (gunakan kondom bila tidak mau melaksanakan A dan B, termasuk
menggunakan kondom sebelum IMS yang dideritanya sembuh)
D = no Drugs Tidak menggunakan obat psikotropik atau zat adiktif lainnya

7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi dan Etiologi


Gonorea dalam arti luas mencakup semua penyakit yang disebabkan oleh
Neisseria gonorrhoeae yang sering menyerang membran mukosa uretra pada pria
dan endoservik pada wanita. Gonore sering ditularkan melalui kontak seksual dan
bisa juga karena buruknya kebersihan (Rosen, 2012).
3.2 Morfologi
Neisseria gonorrhoeae termasuk golongan diplokok, bersifat tahan asam,
berbentuk biji kopi berukuran lebar 0,8 μm dan panjang 1,6 μm. Pada sediaan
langsung dengan pewarnaan Gram, bakteri ini bersifat Gram-negatif, tampak di luar
dan di dalam leukosit, tidak tahan lama di udara bebas, cepat mati pada keadaan
kering, tidak tahan suhu diatas 39 derajat Celcius dan tidak tahan zat disinfektan
(Daili, 2014). Masing-masing kokus berbentuk ginjal atau biji kopi dengan sisi yang
datar berhadap-hadapan. Bakteri ini patogen pada manusia dan biasanya ditemukan
bergabung atau di dalam sel polimorfonuklear (PMN) (Harningtyas, 2017).

Gambar 2. Bakteri N.gonorrheae

8
3.3 Patogenesis
Gonokokus menyerang membran mukosa terutama mukosa epitel kuboid
atau lapis gepeng yang belum berkembang (imatur) dari saluran genitourinaria,
mata, rektum dan tenggorokan. Gonokokus akan melakukan penetrasi permukaan
mukosa dan berkembang biak dalam jaringan subepitelial serta menghasilkan
berbagai produk ekstraseluler yang dapat mengakibatkan kerusakan sel. Adanya
infeksi gonokokus akan menyebabkan mobilisasi leukosit PMN
(polimorfonuklear), menyebabkan terbentuknya mikro abses subepitelial yang pada
akhirnya pecah dan melepaskan PMN dan gonokokus (Martiastutik, 2008; Daili,
2014). Penularan terjadi melalui kontak seksual dengan penderita gonore.
Masa inkubasi penyakit sangat singkat, pada pria umumnya bervariasi
antara 2-8 hari, dengan kebanyakan infeksi menjadi simptomatik dalam 2 minggu.
Kadang-kadang masa inkubasi terjadi lebih lama dan hal ini disebabkan karena
penderita telah mengobati diri sendiri, tetapi dengan dosis yang tidak cukup atau
gejala sangat samar sehingga tidak diperhatikan oleh penderita. Hanya sekitar 10%
dari infeksi ini yang asimptomatik pada pria (Daili & Nilasari, 2016; Garcia et al.,
2008). Masa inkubasi pada wanita sulit ditentukan karena pada umumnya
asimptomatik, dan baru diketahui setelah terjadinya komplikasi (Daili & Nilasari,
2016).

3.4 Manifestasi Klinis


Gejala klinis untuk infeksi pertama yang paling sering dijumpai pada pria
adalah uretritis anterior akuta dan dapat meluas ke proksimal, selanjutnya
mengakibatkan komplikasi lokal, asendend dan diseminata. Keluhan subyektif
berupa rasa gatal dan panas di bagian distal uretra di sekitar orifisium uretra
eksternum kemudian disusul disuria, polakisuria, keluar duh tubuh mukopurulen
pada orifisium uretra eksternum yang kadang-kadang disertai darah, dan disertai
perasaan nyeri pada waktu ereksi (Daili & Nilasari, 2016).
Pada pemeriksaan tampak orifisium uretra eksternum hiperemis, edema dan
ektropion. Pada beberapa kasus dapat terjadi pembesaran kelenjar getah bening
inguinal media unilateral atau bilateral (Daili & Nilasari, 2016). Pada kebanyakan

9
kasus, laki-laki akan segera berobat karena gejala yang mengganggu sehingga dapat
mencegah terjadinya infeksi lebih lanjut, namun tidak cukup untuk mencegah
terjadinya penularan (WHO, 2014).
Gejala yang terjadi pada wanita dengan gonore sering mengenai serviks
sehingga terjadi servisitis dengan gejala keputihan. Pada pemeriksaan, serviks yang
terinfeksi tampak rapuh dan mengalami edema dengan keluarnya cairan
mukopurulen pada ostium. Perempuan yang sedikit atau tidak memperlihatkan
gejala menjadi sumber utama penyebaran infeksi dan beresiko mengalami
komplikasi (Martiastutik, 2008).

3.5 Penegakan Diagnosa


Penatalaksanaan pasien IMS yang efektif, tidak terbatas hanya pada
pengobatan antimikroba untuk memperoleh kesembuhan dan menurunkan tingkat
penularan namun juga memberikan pelayanan paripurna yang dibutuhkan untuk
mencapai derajat kesehatan reproduksi yang baik (Kemenkes, 2016).
Komponen penatalaksanaan IMS meliputi:
1. Anamnesis tentang riwayat infeksi/ penyakit,
2. Pemeriksaan fisik dan pengambilan spesimen/bahan pemeriksaan,
3. Diagnosis yang tepat,
4. Pengobatan yang efektif,
5. Nasehat yang berkaitan dengan perilaku seksual,
6. Penyediaan kondom dan anjuran pemakaiannya,
7. Penatalaksanaan mitra seksual,
8. Pencatatan dan pelaporan kasus, dan
9. Tindak lanjut klinis secara tepat.
3.5.1 Anamnesis
Anamnesis dapat dilakukan oleh tenaga medis atau pun paramedis,
bertujuan untuk (Kemenkes, 2016):
 Menentukan faktor risiko pasien.
 Membantu menegakkan diagnosis sebelum dilakukan pemeriksaan
fisik maupun pemeriksaan penunjang lainnya.

10
 Membantu mengidentifikasi pasangan seksual pasien.
Agar tujuan anamnesis tercapai, diperlukan keterampilan melakukan
komunikasi verbal (cara kita berbicara dan mengajukan pertanyaan kepada pasien)
maupun ketrampilan komunikasi non verbal (keterampilan bahasa tubuh saat
menghadapi pasien).
Sikap saat melakukan anamnesis pada pasien IMS perlu diperhatikan, yaitu:
1. Sikap sopan dan menghargai pasien yang tengah dihadapi.
2. Menciptakan suasana yang menjamin privasi dan kerahasiaan, sehingga
sebaiknya dilakukan dalam ruang tertutup dan tidak terganggu oleh
keluar-masuk petugas
3. Dengan penuh perhatian mendengarkan dan menyimak perkataan
pasien, jangan sambil menulis saat pasien berbicara dan jangan
memutuskan pembicaraannya.
4. Gunakan keterampilan verbal anda dengan memulai rangkaian
anamnesis menggunakan pertanyaan terbuka, dan mengakhiri dengan
pertanyaan tertutup.
5. Pertanyaan terbuka memungkinkan pasien untuk memberikan jawaban
lebih panjang sehingga dapat memberikan gambaran lebih jelas,
sedangkan pertanyaan tertutup adalah salah satu bentuk pertanyaan
yang mengharapkan jawaban singkat, sering dengan perkataan “ya”
atau “ tidak”, yang biasanya digunakan untuk lebih memastikan hal
yang dianggap belum jelas.
6. Gunakan keterampilan verbal secara lebih mendalam, misalnya dengan
memfasilitasi, mengarahkan, memeriksa, dan menyimpulkan, sambil
menunjukkan empati, meyakinkan dan kemitraan.
7. Rangkaian pertanyaan yang perlu ditanyakan kepada pasien IMS dapat
dilihat di bawah ini:
Informasi yang perlu ditanyakan kepada pasien (Kemenkes, 2016):
1. Keluhan utama
2. Keluhan tambahan
3. Riwayat perjalanan penyakit

11
4. Siapa menjadi pasangan seksual tersangka (wanita/pria penjaja seks,
teman, pacar, suami/isteri
5. Kapan kontak seksual tersangka dilakukan
6. Jenis kelamin pasangan seksual
7. Cara melakukan hubungan seksual (genito-genital, orogenital,
anogenital)
8. Penggunaan kondom (tidak pernah, jarang, sering, selalu)
9. Riwayat dan pemberi pengobatan sebelumnya (dokter/bukan
dokter/sendiri)
10. Hubungan keluhan dengan keadaan lainnya – menjelang/sesudah haid;
kelelahan fisik/psikis; penyakit: diabetes, tumor, keganasan, lain-lain);
penggunaan obat: antibiotika, kortikosteroid, kontrasepsi); pemakaian
alat kontrasepssi dalam rahim (AKDR); rangsangan seksual;
kehamilan; kontak seksual
11. Riwayat IMS sebelumnya dan pengobatannya
12. Hari terakhir haid
13. Nyeri perut bagian bawah
14. Cara kontrasepsi yang digunakan dan mulai kapan

Untuk menggali faktor risiko perlu ditanyakan beberapa hal tersebut di


bawah ini. Berdasarkan penelitian faktor risiko oleh WHO (World Health
Organization) di beberapa negara (di Indonesia masih belum diteliti), pasien akan
dianggap berperilaku berisiko tinggi bila terdapat jawaban “ya” untuk satu atau
lebih pertanyaan di bawah ini (Kemenkes, 2016):
1. Pasangan seksual > 1 dalam 1 bulan terakhir
2. Berhubungan seksual dengan penjaja seks dalam 1 bulan terakhir
3. Mengalami 1/ lebih episode IMS dalam 1 bulan terakhir.
4. Perilaku pasangan seksual berisiko tinggi.
3.5.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik terutama dilakukan pada daerah genitalia dan sekitarnya,
yang dilakukan di ruang periksa dengan lampu yang cukup terang . Lampu sorot

12
tambahan diperlukan untuk pemeriksaan pasien perempuan dengan spekulum.
Dalam pelaksanaan sebaiknya pemeriksa didampingi oleh seorang tenaga
kesehatan lain. Pada pemeriksaan terhadap pasien perempuan, pemeriksa
didampingi oleh paramedis perempuan, sedangkan pada pemeriksaan pasien laki-
laki, dapat didampingi oleh tenaga paramedis laki-laki atau perempuan. Beri
penjelasan lebih dulu kepada pasien mengenai tindakan yang akan dilakukan
(Kemenkes, 2016):
1. Pada saat melakukan pemeriksaan fisik genitalia dan sekitarnya, pemeriksa
harus selalu menggunakan sarung tangan. Jangan lupa mencuci tangan
sebelum dan sesudah memeriksa.
2. Pasien harus membuka pakaian dalamnya agar dapat dilakukan pemeriksaan
genitalia (pada keadaan tertentu, kadang–kadang pasien harus membuka
seluruh pakaiannya secara bertahap).

 Pasien perempuan, diperiksa dengan berbaring pada meja ginekologik


dalam posisi litotomi (Gambar 2).
- Pemeriksa duduk dengan nyaman sambil melakukan inspeksi dan
palpasi mons pubis, labia, dan perineum
- Periksa daerah genitalia luar dengan memisahkan ke dua labia,
perhatikan adakah kemerahan, pembengkakan, luka/lecet, massa, atau
duh tubuh

Gambar 3. Posisi Litotomi

 Pemeriksaan pasien laki-laki dapat dilakukan sambil duduk/ berdiri.

13
- Perhatikan daerah penis, dari pangkal sampai ujung, serta daerah
skrotum
- Perhatikan adakah duh tubuh, pembengkakan, luka/lecet atau lesi lain

3. Lakukan inspeksi dan palpasi daerah genitalia, perineum, anus dan


sekitarnya.
4. Jangan lupa memeriksa daerah inguinal untuk mengetahui pembesaran
kelenjar getah bening setempat (regional)
5. Bilamana tersedia fasilitas laboratorium, sekaligus dilakukan pengambilan
bahan pemeriksaan.
6. Pada pasien pria dengan gejala duh tubuh genitalia disarankan untuk tidak
berkemih selama 1 jam (3 jam lebih baik), sebelum pemeriksaan.

Pemeriksaan fisik ditinjau dari berbagai aspek.


Predeleksi : pada pria didapatkan uretra bagian anterior sedangkan pada
wanita servik uteri dan uretra (Siregar, 2005).
Efloresensi : pria didapatkan OUE (orificium urethra externa) merah,
udem, ektropian keluar ecoulement sedangkan pada wanita
posio uteri merah, udem dengan sekret mukupurulen (Siregar,
2005).

3.5.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang dilakukan dengan pengambilan spesimen terlebih
dahulu yaitu (Kemenkes, 2016):
Pasien laki-laki dengan gejala duh tubuh uretra
1. Beri penjelasan lebih dahulu agar pasien tidak perlu merasa takut saat
pengambilan bahan duh tubuh gentalia dengan sengkelit atau dengan swab
berujung kecil.
2. Bila menggunakan sengkelit, gunakanlah sengkelit steril.
3. Masukkan sengkelit/swab ke dalam orifisium uretra eksterna sampai
kedalaman 1-2 cm, putar swab (untuk sengkelit tidak perlu diputar namun

14
cukup menekan dinding uretra), dan tarik keluar perlahan-lahan (Gambar
3).
4. Oleskan duh tubuh ke atas kaca obyek yang sudah disiapkan.
5. Bila tidak tampak duh tubuh uretra dapat dilakukan pengurutan (milking)
oleh pasien.

Gambar 4. Insersi swab ke dalam uretra dan diputar 180o

Pasien perempuan dengan duh tubuh vagina


Pasien perempuan dengan status sudah menikah, dilakukan pemeriksaan dengan
spekulum serta pengambilan spesimen (Kemenkes, 2016) yaitu:
1. Beri penjelasan lebih dulu mengenai pemeriksaan yang akan dilakukan agar
pasien tidak merasa takut.
2. Bersihkan terlebih dahulu dengan kain kasa yang telah dibasahi larutan
NaCl.
3. Setiap pengambilan bahan harus menggunakan spekulum steril (sesuaikan
ukuran spekulum dengan riwayat kelahiran per vaginam), swab atau
sengkelit steril.
4. Masukkan daun spekulum steril dalam keadaan tertutup dengan posisi
tegak/vertikal ke dalam vagina, dan setelah seluruhnya masuk kemudian
putar pelan-pelan sampai daun spekulum dalam posisi datar/horizontal.
Buka spekulum dan dengan bantuan lampu sorot vagina cari serviks. Kunci
spekulum pada posisi itu sehingga serviks terfiksasi (Gambar 4).
5. Setelah itu dapat dimulai pemeriksaan serviks, vagina dan pengambilan
spesimen
- Dari serviks: bersihkan daerah endoserviks dengan kasa steril,
kemudian ambil spesimen duh tubuh serviks dengan sengkelit/ swab

15
Dacron™ steril untuk pembuatan sediaan hapus, dengan swab
Dacron™ yang lain dibuat sediaan biakan,
- Dari forniks posterior: dengan sengkelit/ swab Dacron™ steril untuk
pembuatan sediaan basah, dan lakukan tes amin
- Dari dinding vagina: dengan kapas lidi/ sengkelit steril untuk sediaan
hapus,
- Dari uretra: dengan sengkelit steril untuk sediaan hapus
6. Cara melepaskan spekulum: kunci spekulum dilepaskan, sehingga
spekulum dalam posisi tertutup, putar spekulum 90o sehingga daun
spekulum dalam posisi tegak, dan keluarkan spekulum perlahan-lahan.

Pada pasien perempuan berstatus belum menikah tidak dilakukan


pemeriksaan dengan spekulum, karena akan merusak selaput daranya sehingga
bahan pemeriksaan hanya diambil dengan sengkelit steril dari vagina dan uretra.
Untuk pasien perempuan yang belum menikah namun sudah aktif berhubungan
seksual, diperlukan informed consent sebelum melakukan pemeriksaan dengan
spekulum. Namun bila pasien menolak pemeriksaan dengan spekulum, pasien
ditangani menggunakan bagan alur tanpa spekulum (Kemenkes, 2016).

Pasien dengan gejala ulkus genitalis (laki-laki dan perempuan), sebaiknya


dilakukan pemeriksaan serologi untuk sifilis dari bahan darah vena (RPR=rapid
plasma reagin, syphilis rapid test ).
Cara pemeriksaan Treponema pallidum pada ulkus yang dicurigai karena
sifilis:
 Ulkus dibersihkan terlebih dahulu dengan kain kasa yang telah dibasahi
larutan salin fisiologis (NaCl 0,9%)
 Ulkus ditekan di antara ibu jari dan telunjuk sampai keluar cairan serum
Serum dioleskan ke atas kaca obyek untuk pemeriksaan Burry atau
mikroskop lapangan gelap bila ada (Kemenkes, 2016).

16
Pemeriksaan anoskopi dilakukan apabila terdapat keluhan atau gejala pada anus
dan rektum. Pemeriksaan ini sekaligus melihat keadaan mukosa rektum atau
pengambilan spesimen untuk pemeriksaan laboratorium bila tersedia (Kemenkes,
2016).

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan yaitu:
1. Darah lengkap
2. Urinalisa Lengkap
3. Sedian langsung
Pemeriksaan gram dengan menggunakan sediaan langsung dari duh
uretra yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi terutama pada
duh uretra pria. Pada sedian langsung dengan pewarnaan akan di
temukan gonokok negatif-gram, intraselular dan ekstraseluler
(Djuanda,2002).
4. Kultur (Gold standar)
Kultur untuk bakteri N.gonorrhoeae umumnya dilakukan pada media
pertumbuhan Thayer-Martin yang mengandung vankomisin untuk
menekan pertumbuhan kuman gram positif dan kolimestat untuk
menekan pertumbuhan bakteri gram negatif dan nistatin untuk menekan
pertumbuhan jamur. Pemeriksaan kultur ini merupakan pemeriksaan
dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi, sehingga sangat
dianjurkan dilakukan pada pasien wanita. Identifikasi juga dapat di
lakukan dengan pembiakan dengan menggunakan media transpor dan
media pertumbuhan (Djuanda,2002).
5. Tes definitif
Tes definitif terdiri dari 2 cara. Dapat dilakuan dengan tes oksidatif dan
tes fermentasi dari hasil tes oksidatif dapat di temukan perubahan warna
koloni yang semula bening menjadi merah muda samap dengan merah
tua sedangkan untuk tes fermentasi menggunakan glukosa,maltosa,dan

17
sukrosa yang nantinya hanya glukosa yang akan diragikan
(Djuanda,2002).
6. Tes beta laktamase
Pemeriksaan dengan tes ini menggunakan cefinase TMN disk. Bbl
961192 yang akan mengubah warna sedian dari kuning menjadi merah
(Djuanda,2002).
7. Tes thomson 2 gelas
Tes ini dilakukan dengan menampung urin setelah bangun pagi ke dalam
2 gelas dan tidak boleh menahan kencing dari gelas pertama ke gelas
kedua. Hasil dinyatakan positif jika gelas pertama tampak keruh
sedangkan gelas kedua tampak jernih. Tes ini hanya di gunakan untuk
menentukan sampai dimana infeksi sudah berlangsung (Djuanda,2002).
8. Dilakukan tes klamidia, sifilis dan HIV (CDC, 2015).

3.6 Penatalaksanaan
3.6.1 Duh Tubuh Uretra
Pasien laki-laki yang datang dengan keluhan duh tubuh uretra dan atau nyeri
pada saat kencing agar diperiksa terlebih dulu ada tidaknya duh tubuh. Bilamana
tidak tampak duh tubuh, agar dilakukan milking, yaitu pengurutan uretra mulai dari
pangkal penis ke arah muara uretra. Bila masih belum terlihat, dianjurkan untuk
tidak kencing sekurangkurangnya 3 jam sebelum diperiksa (Kemenkes, 2016).
Pada pemeriksaan dengan pendekatan sindrom tanpa tanpa sarana
laboratorium, dapat digunakan bagan 1. DUH TUBUH URETRA PADA LAKI-
LAKI DENGAN PENDEKATAN SINDROM (Kemenkes, 2016).

18
Bagan 1. Duh Tubuh Uretra Pada Laki-Laki Dengan Pendekatan Sindrom

Bila tersedia mikroskop, pemeriksaan terhadap sediaan hapusan uretra,


dapat dilihat peningkatan jumlah leukosit polimorfonuklear dan dengan pengecatan
Gram dapat terlihat kuman diplokokus negatif-Gram intrasel. Pada laki-laki, bila
ditemukan lebih dari atau sama 5 leukosit polimorfonuklear per lapangan pandang
dengan pembesaran tinggi (X 1000), merupakan indikasi terdapat ureteritis (radang
saluran kemih) (Kemenkes, 2016).

19
Pada fasilitas kesehatan yang memiliki alat bantu mikroskop atau sarana
laboratorium, maka dapat digunakan bagan alur Bagan 2. DUH TUBUH URETRA
LAKI-LAKI DENGAN MIKROSKOP (Kemenkes, 2016).

Bagan 2. Duh Tubuh Uretra Laki-Laki Dengan Mikroskop.

Kuman patogen penyebab utama duh tubuh uretra adalah Neisseria


gonorrhoeae (N.gonorrhoeae) dan Chlamydia trachomatis (C.trachomatis). Oleh
karena itu, pengobatan pasien dengan duh tubuh uretra secara sindrom harus
dilakukan serentak terhadap kedua jenis kuman penyebab tersebut. Bila ada fasilitas
laboratorium yang memadai, kedua kuman penyebab tersebut dapat dibedakan, dan
selanjutnya pengobatan secara lebih spesifik dapat dilakukan. Etiologi uretritis non-

20
gonokokus terutama disebabkan oleh C.trachomatis, sehingga dalam
pengobatannya ditujukan untuk klamidiosis (Kemenkes, 2016).

Tabel 1. Pengobatan Duh Tubuh Uretra


PENGOBATAN URETRITIS PENGOBATAN URETRITIS
GONOKOKUS NON-GONOKOKUS
Sefiksim 400 mg, dosis tunggal, Azitromisin 1 g, dosis tunggal, per
per oral oral, ATAU
Doksisiklin* 2x100mg/hari, per
oral 7 hari
Pilihan pengobatan lainnya
Kanamisin 2 g, injeksi IM, dosis
tunggal, ATAU
Seftriakson 250 mg, injeksi IM,
dosis tunggal
*Tidak boleh diberikan pada anak di bawah 12 tahun
IM: Intramuskular

3.6.2 Duh Tubuh Uretra Persisten


Gejala ureteritis yang menetap (setelah pengobatan satu periode selesai)
atau rekuren (setelah dinyatakan sembuh, dan muncul lagi dalam waktu 1 minggu
tanpa hubungan seksual), kemungkinan disebabkan oleh resistensi obat, atau
sebagai akibat kekurangpatuhan minum obat, atau reinfeksi. Namun pada beberapa
kasus hal ini mungkin akibat infeksi oleh Trichomonas vaginalis (Tv). Sebagai
protozoa diperkirakan bahwa Tv memakan kuman gonokok tersebut (fagositosis),
sehingga kuman gonokok tersebut terhindar dari pengaruh pengobatan. Setelah Tv
mati maka kuman gonokok tersebut kembali melepaskan diri dan berkembang biak
(Kemenkes, 2016).
Ada temuan baru yang menunjukkan bahwa di daerah tertentu bisa dijumpai
prevalensi Tv yang tinggi pada laki-laki dengan keluhan duh tubuh uretra. Bilamana
gejala duh tubuh tetap ada atau timbul gejala kambuhan setelah pemberian
pengobatan secara benar terhadap gonore maupun klamidiosis pada kasus indeks
dan pasangan seksualnya, maka pasien tersebut harus diobati untuk infeksi Tv. Hal
ini hanya dilakukan bila ditunjang oleh data epidemiologis setempat. Bilamana
simtom tersebut masih ada sesudah pengobatan Tv, maka pasien tersebut harus

21
dirujuk. Sampai saat ini data epidemiologi trikomoniasis pada pria di Indonesia
sangat sedikit, oleh karena itu bila gejala duh tubuh uretra masih ada setelah
pemberian terapi awal sebaiknya penderita dirujuk pada tempat dengan fasilitas
laboratorium yang lengkap (Kemenkes, 2016).

Tabel 2. Pengobatan Duh Tubuh Uretra Persisten


PENGOBATAN URETRITIS PENGOBATAN URETRITIS
GONOKOKUS NON-GONOKOKUS
Sefiksim 400 mg, dosis tunggal, Azitromisin 1 g, dosis tunggal, per
per oral oral, ATAU
Doksisiklin* 2x100mg/hari, per
oral 7 hari
Pilihan pengobatan lainnya
Kanamisin 2 g, injeksi IM, dosis
tunggal, ATAU
Seftriakson 250 mg, injeksi IM,
dosis tunggal
PENGOBATAN TRIKOMONIASIS
Dianjurkan: Metronidazol 2 g dosis tunggal
Pilihan lain: Metronidazol 2x500 mg, per oral, selama 7 hari
*Tidak boleh diberikan pada anak di bawah 12 tahun
IM: Intramuskular

3.6.3 Uncomplicated Infeksi Gonococcal pada Faring


Umumnya infeksi gonococcal pada faring terjadi secara asimptomatis.
Biasanya terjadi pada pasien dengan aktivitas seksual oral sehingga perlu diterapi
dengan regimen yang tepat yaitu Ceftriaxone 250 mg IM dosis tunggal ditambah
Azitromycin 1 g per oral, dosis tunggal (CDC, 2015).

Untuk meminimalkan penularan transmisi penyakit, pasien dianjurkan untuk


tidak berhubungan badan dengan pasangan selama 7 hari selama pengobatan dan
pasangan pasien juga telah diterapi (apabila telah ada perbaikan). Semua pasien
dengan diagnosis gonore dianjurkan untuk tes klamidia, sifilis dan HIV (CDC,
2015).

22
3.6.4 Wanita Hamil
Wanita hamil dengan infeksi N.gonore harus diobati dengan dual terapi
yaitu ceftriaxone 250 mg dosis tunggal IM dan azitromycin 1 g per oral dosis
tunggal (CDC, 2015).

3.7 Konseling dan Edukasi Pada Pasien Infeksi Menular Seksual


Konseling bagi pasien IMS merupakan peluang penting untuk dapat
sekaligus memberikan edukasi tentang pencegahan infeksi HIV pada seseorang
yang berisiko terhadap penyakit tersebut. Tujuan konseling adalah untuk membantu
pasien mengatasi masalah yang dihadapi pasien sehubungan dengan IMS yang
dideritanya, sedangkan edukasi bertujuan agar pasien mau mengubah perilaku
seksual berisiko menjadi perilaku seksual aman (Kemenkes, 2016).
Penilaian perilaku merupakan bagian integral dari riwayat IMS dan pasien
sebaiknya diberikan penyuluhan untuk mengurangi risikonya terhadap penularan
HIV dan IMS, termasuk abstinensia hubungan seksual, berhati-hati memilih
pasangan seksual, serta penggunaan kondom (Kemenkes, 2016).
Kondom sudah tersedia di setiap fasilitas kesehatan yang melaksanakan
pelayanan IMS, dan petunjuk penggunaannya juga perlu disiapkan. Sekalipun
kondom tidak memberikan perlindungan 100% untuk setiap infeksi, namun bila
digunakan dengan tepat akan sangat mengurangi risiko infeksi. Pencegahan
kehamilan juga merupakan salah satu tujuan penggunaan kondom, sehingga dua
jenis pencegahan ini perlu diberitahukan kepada pasien. Kepada kelompok dewasa
muda juga perlu diinformasikan di mana mereka bisa mendapatkan alat kontrasepsi
dan kondom (Kemenkes, 2016).
Pada umumnya pasien IMS, membutuhkan penjelasan tentang penyakit,
jenis obat yang digunakan, dan pesan-pesan lain yang bersifat umum. Penjelasan
dokter diharapkan dapat mendorong pasien untuk mau menuntaskan pengobatan
dengan benar. Dalam memberikan penjelasan, dokter atau perawat sebaiknya

23
menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan dimengerti oleh pasien, dan bila
dianggap perlu dapat digunakan istilah-istilah setempat (Kemenkes, 2016).
Beberapa pesan edukasi IMS yang perlu disampaikan:
1. Mengobati sendiri cukup berbahaya
2. IMS umumnya ditularkan melalui hubungan seksual.
3. IMS adalah ko-faktor atau faktor risiko dalam penularan HIV.
4. IMS harus diobati secara paripurna dan tuntas.
5. Kondom dapat melindungi diri dari infeksi IMS dan HIV.
6. Tidak dikenal adanya pencegahan primer terhadap IMS dengan obat.
7. Komplikasi IMS dapat membahayakan pasien.

Menjelaskan pilihan perilaku seksual yang aman


Cara ABCD
A = Abstinence (tidak melakukan hubungan seksual untuk sementara
waktu)
B = Be faithful (setia pada pasangan)
C = Condom (gunakan kondom bila tidak mau melaksanakan A dan B,
termasuk menggunakan kondom sebelum IMS yang dideritanya sembuh)
D = no Drugs Tidak menggunakan obat psikotropik atau zat adiktif lainnya

Kepentingan mengobati pasangan seksual


Selalu katakan kepada pasien tentang perlunya mengobati pasangan
seksualnya, sebab bila tidak diobati akan terinfeksi ulang dari pasangan seksualnya.
Yakinkan pasien bahwa kerahasiaannya akan tetap terjaga. Sekaligus bicarakan
cara-cara pasien membujuk pasangan seksualnya untuk mau datang berobat
(Kemenkes, 2016).

3.8 Diagnosa banding


1. Uretritis non spesifik: biasanya OUE tidak merah dan tidak edema,
sekret seropurulen
2. Kandidiasis: PUE merah disertai rasa gatal dan sekret serosa (Siregar,
2005).

24
3.9 Prognosis
Bila di tangani dengan tepat, prognosis dari penyakit ini cukup baik untuk
di lakukan pentalaksanaan dan bisa di lakukan pencegahan dari penyebaran
penyakit ini (Siregar,2005).

3.10 Komplikasi
Komplikasi umumnya akan timbul jika uretritis tidak cepat diobati atau
mendapat penggobatan yang kurang adekuat. Disamping itu, penyulit ureteritis
gonore pada umumnya bersifat lokal sehingga penjalarannya sangat erat dengan
susunan anatomi dan faal alat kelamin. Pada pria, komplikasi bisa terjadi secara
lokal, asendens, dan diseminata. Pada pria bisa terjadi balanitis, tisonitis, uretritis
posterior, prostatitis, epididimitis dan orkitis. Pada wanita bisa terjadi parauretritis,
bartolinitis, vulvovaginitis dan proktitis (Siregar, 2005).

25
BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis dari uretritis gonore didapatkan dari hasil anamnesis,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis, gambaran klinis
pada laki-laki yang dominan nampak adalah uretritis akut dengan tanda terjadinya
pengeluaran duh uretra (>80%), dan dysuria (>50%), biasanya terjadi 2 – 8 hari
setelah terpapar bakteri N. gonorrhea. Pada pria, temuan yang paling umum pada
pemeriksaan adalah tampak duh uretra yang mukopurulen disertai eritema pada
meatus uretra (Bignell & Unemo, 2012).
Pada kasus diperoleh data pasien datang dengan keluhan keluar nanah dari
kemaluan sejak kemarin sebelum datang ke rumah sakit tanpa disertai rasa gatal,
nyeri maupun panas. Hal ini menandakan proses peradangan hanya sebatas uretra.
Tidak didapatkan keluhan kencing berwarna merah menandakan tidak terjadinya
terminal hematuri yang merupakan gejala dari perlukaan dari uretra bagian
posterior. Pasien tidak merasakan demam karena radang bersifat lokal. Setelah
mengalami gejala tersebut, pasien tidak pernah melakukan pengobatan apapun.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan discharge purulent, makula hiperemi dengan
batas tidak jelas dan tepi irreguler, didapatkan pula ektropion pada orificium uretra
eksterna.
Penegakan diagnosis uretritis gonore dari hasil pemeriksaan laboratorium
akan ditemukan N. gonorrhea, sebaliknya jika tidak ditemukan N. gonorrhea maka
diagnosis yang ditegakkan adalah urethritis non-spesifik (Bignell & Unemo, 2012).
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien ini adalah pengecatan Gram
yang bahan pemeriksaannya diambil dari duh uretra yang keluar spontan. Hasil dari
pemeriksaan tersebut adalah ditemukannya PMN lebih dari 5 per lapang pandang
besar dan didapatkan kuman Diplococcus gram negatif yang terletak intraseluler di
PMN. Selain pengecatan gram, pada pasien dilakukan pemeriksaan tes sifilis
(VDRL-TPHA) didapatkan hasil yang negatif. Hal ini menunjukkan bahwa pasien
hanya mengalami infeksi bakteri N. Gonorrheae saja.

26
Diagnosa banding dari uretritis gonore komplikata adalah uretritis non
gonore. Paling banyak disebabkan oleh Chlamydia trachomatis. Diagnosa banding
dapat disingkarkan dilihat dari masa inkubasinya dimana infeksi klamidia
membutuhkan waktu 1-5 minggu untuk berkembang, serta jika duh uretra
disebabkan infeksi klamidia maka tidak akan ditemukan gambaran bakteri
diplokokus Gram negatif intrasellular PMN pada pemeriksaan pewarnaan Gram.
Pasien yang terinfeksi dengan Neisseria gonorrhoeae seringnya koinfeksi dengan
Chlamydia trachomatis sehingga pada prakteknya untuk pengobatan kausatif
uretritis gonore menggunakan terapi ganda rutin yang bertujuan untuk membunuh
kedua bakteri tersebut (Daili & Nilasari, 2016).
Namun dalam kasus ini, bakteri penyebab telah ditentukan dari pemeriksaan
langsung dengan pengecatan Gram, sehingga pengobatan cukup untuk bakteri
penyebabnya saja. Pengobatan terbaru yang direkomendasikan oleh CDC pada
pasien dewasa dengan infeksi gonore tanpa komplikasi ceftriaxone 500 mg
intramuskular dosis tunggal. Alternatif lain adalah dengan pemberian sefiksim 400
mg oral dosis tunggal (CDC, 2015; Bignell & Unemo, 2012).
Pada kasus ini, diberikan terapi berupa sefiksim 400 mg dosis tunggal.
Sefiksim memiliki keuntungan yaitu di konsumsi secara oral, sehingga banyak
dipilih oleh pasien yang tidak suka pengobatan injeksi. Pemberian terapi oral
merupakan hal yang juga perlu menjadi pertimbangan, karena selain dapat
memotong biaya yang diperlukan untuk pembelian alat suntik sehingga lebih
terjangkau secara keuangan, juga dapat mengurangi resiko terkena nya jarum suntik
pada tenaga kesehatan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Plourde dkk (1992) dan
Haizlip dkk (1995) menunjukkan bahwa pemberian terapi menggunakan oral dosis
tunggal dibandingkan dengan pemberian obat injeksi dosis tunggal sama-sama
memberikan efek perbaikan dalam rentang waktu 24 jam pertama. Selain itu, sesuai
dengan pedoman penatalaksanaan infeksi menular seksual yang dikeluarkan oleh
Departemen Kesehatan RI tahun 2016 masih merekomendasikan pengobatan
menggunakan sefiksim sebagai terapi untuk Gonore dengan komplikasi
(bartholinitis, epidimitis, orkitis) (Kemenkes, 2016).

27
Manajemen pasien berupa pemberian informasi, edukasi dan saran untuk
pasien juga merupakan hal yang penting dalam tatalaksana infeksi Gonore
(Kemenkes, 2016). Pada pasien ini disarankan untuk periksa dan obati pasangan
seksual yang kontak dengan pasien 60 hari sebelum timbul gejala, dianjurkan untuk
tidak melakukan hubungan seksual sampai terbukti sembuh secara laboratorium,
dan bila tidak dapat menahan diri dianjurkan untuk memakai kondom, tidak
melakukan hubungan seksual sebelum menikah dan berganti-ganti pasangan.
Selain itu pemberian komunikasi, informasi dan edukasi tentang penyakit ini dan
perilaku seks yang sehat juga akan sangat membantu dalam mencegah infeksi
ulang, penularan lebih lanjut dan bahaya terkena HIV. Evaluasi setelah pengobatan
direkomendasikan untuk mengkonfirmasi kepatuhan pasien dengan terapi, resolusi
gejala dan tanda, serta menyingkirkan kemungkinan infeksi ulang dan memastikan
pasangan telah diberitahukan mengenai infeksi Gonore yang dialami oleh pasien
(Bignell & Unemo, 2012). Pada pasien ini tidak dilakukan follow up dikarenakan
pasien tidak datang untuk berobat lagi.

28
BABV
KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan
Telah dilaporkan kasus Tn. A (50th) dengan urethritis gonore. Diagnosa
ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan dan pemeriksaan penunjang yang
dilakukan pada pasien. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan keluhan
yang khas yaitu kencing nanah disertai dengan odem minimal. Pemeriksaan fisik
ditemukan duh mukopurulen dari uretra, ruam berupa makula hiperemi pada
orifiicum uretra eksterna. Pada pemeriksaan penunjang ditemukan leukosit lebih
dari 5 per lapang pandang besar serta kuman diplococcus Gram negatif intraseluler
maupun ekstraseluler.
Pengobatan yang dianjurkan pada pasien adalah dosis tunggal cefiksim 400
mg per oral yang bersifat kausatif. Diperlukan komunikasi, informasi dan edukasi
yang tepat pada pasien sehingga tidak terjadi penyakit berulang dan penyebaran
lebih luas.

29
DAFTAR PUSTAKA

Bignell C. & Unemo M. 2012. European guideline on the diagnosis and treatment
of gonorrhoea in adults. Int J STD AIDS [internet]. [cited 2019 Jull 11]; 24
(85): Page.85-92. Available from : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2
4400344 DOI: 10.1177/0956462412472837
Centers for Disease Control and Prevention. 2015. Sexually transmitted disease
treatment guidelines [internet]. USA:CDC; June 2015 cited 2019 Jul 10.
Available from https://www.cdc.gov/std/tg2015/gonorrh ea.htm

Daili, S.F. 2014. Infeksi Menular Seksual. Edisi Keempat. Jakarta : Badan penerbit
FKUI, p.65-76
Daili, S.F. & Nilasari, H. 2016, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ketujuh.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI, p.443-449, 495
Kemenkes. 2016. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual 2016.
Jakarta
Martiastutik, D. 2008. Buku Ajar Infeksi Menular Seksual. Surabaya : Airlangga
University Press.
Puspitorini,D., Lumintang, H. 2017. Studi Retrospektif: Profil Pasien Baru Gonore
(A Retrospective Study: The Profile of New Gonorrhoeae Patients). Berkala
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin – Periodical of Dermatology and
Venereology, Vol. 29, No. 1, 59-64.

Rosen, T. 2012. chapter 205 gonorrhea mycoplasma and vaginosis dalam


Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 8th. USA: McGrawHill.
Siregar, R.S. 2005. Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC.
WHO. 2016. WHO Guideline for the treatment of Neisseria gonorrhoeae. Place
unknown: WHO.

30

Anda mungkin juga menyukai