Anda di halaman 1dari 128

TESIS

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK SEBAGAI KORBAN


KEJAHATAN KEKERASAN SEKSUAL

LEGAL PROTECTION OF CHILDREN AS VICTIMS OF HARRASMENT

SALMAH NOVITA ISHAQ


P0902215020

KONSENTRASI HUKUM KEPIDANAAN


PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu`Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji dan syukur penulis panjatkan sebesar-besarnya kehadirat Allah

SWT karrena atas berkah dan rahmat-Nyalah sehinggga penulis dapat

menyelesaikan Tesis dengan judul “Perlindungan Hukum Bagi Anak Sebagai

Korban Kejahatan Kekerasan Seksual” sebagai pesyaratan bagi Mahasiswa

Magister Hukum Universitas Hasanuddin untuk memperoleh gelar Magister

Hukum Program Pascasarjana UNHAS. Tak lupa pula penulis panjatkan

shalawat dan sa;am bagi junjungan dan teladan Nabi Muhammad SAW,

keluarga, dan para sahabat beliau yang senantiasa menjadi peneang bagi

kehidupan umat muslim diseluruh dunia.

Untuk menyelesaikan tesis ini penulis mengucapkan terima kasih

kepada kedua Orang tua penulis, Ishaq,S.H.,M.H. dan Erni Yulista,S.Sos.

serta kedua adik saya Berta Ramadhani Ishaq dan Achmad Iswandi Ishaq,

yang telah memberikan bantuan dan dukungan terbesar buat penulis dalam

menyelesaikan studi.

Pada kesempatan kali ini dengan segala kerendahan hati penulis

sampaikan hasil penelitian yang penulis upayakan secara maksimal dengan

segenap keterbatasan dan kekurangan yang penulis miliki sebagai manusia

biasa namun berbekal pengetahuan yang ada serta arahan dan bimbingan,

juga petunjuk dari bapak Prof. Dr. Muhadar, SH.,M.S. selaku pembimbing I

iv
dan bapak Dr. Abd. Asis, S.H.,M.H. selaku pembimbing II yang selalu

meluangkan waktu ditengah kesibukan beliau yang luar biasa untuk

memberikan bimbingan.

Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah

memberikan bantuan baik berupa bimbingan, motivasi dan saran selama

menjalani pendidikan di Fakultas Hukum UNHAS dan selama proses

penulisan tesis ini yaitu kepada :

1. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A. selaku Rektor Universitas

Hasanuddin Makassar.

2. Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H.,M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin Makassar.

3. Prof. Dr. Andi Muhammad Sofyan, S.H.,M.H., Dr. Haeranah,S.H.,M.H.,

dan Dr. Dara Indrawati,S.H.,M.H. selaku penguji penulis.

4. Semua Keluarga Penulis.

5. Sahabat-sahabat penulis Regina Amelia, Yusran, Ika Mustika, Nurul

Putiyana, Ifanny Oktavia, Dien Aulia, Nurul Camelia, Iin Nur Indah, Tia,

Sul, Rima Islami, Cica Musakkir, Asrini Damayanti, Utiya Dini, Rijal

Herman, Harisandi, Imam Arifauzi, Muh.Faisal, Chika rimbuata, Feliks

Alfarezi, Ayu Mangidi, Babal, Iron, Mey, Rini cenrara, Nurul Fitriani,

Intan Karangan, Wahdaningsih, Mulfa Mulya, Ilham prawira, Saiful

Ardhi, Khusnul Fauzi, Rizky Nuari, dll yang penulis tidak bisa sebutkan

v
satu persatu dalam memberikan semangat dan motivasi bagi penulis

dalam menyelesaikan tesis ini.

6. Teman-teman IKASADA Makassar.

7. Semua teman-teman Penulis yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

9. Seluruh staf Akademik yang telah membentu penulis dalam

kelancaran akademik penulis.

10. Dan seluruh pihak yang telah membantu penulis sehingga

terseesaikannya tesis ini, yang tidak bisa penulis sebutkan satu

persatu.

Semoga Allah SWT senantiasa membalas pengorbanan tulus yang

telah diberikan dengan segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya.

Akhir kata Penulis persembahkan karya ini dan semoga dapat bermanfaat

bagi kita semua. Amin.

Wassalamu’Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Makassar, 27 November 2017

Salmah Novita Ishaq

vi
vii
viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN..................................................................... ii
PERNYATAAN KEASLIAN ..................................................................... iii
KATA PENGANTAR ............................................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................... vii
ABSTRACT ............................................................................................. viii
DAFTAR ISI ............................................................................................ ix

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 12
C. Tujuan Penulisan ......................................................................... 12
D. Kegunaan Penelitian .................................................................... 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Konsep Perlindungan Hukum ....................................................... 14
B. Pengertian Anak ............................................................................ 23
C. Konvensi Hak Anak Tahun 1989 .................................................. 31
D. Konsep Koban .. ............................................................................ 41
E. Pengertian Umum Tentang Kejahatan Kekerasan Seksual.......... 50
F. Peraturan Perlindungan Hukum Anak Di Indonesia ...................... 56
G. Kerangka Pikir dan Bagan Kerangka Pikir ................................... 59
H. Definisi Operasional............................................................... ........ 63

BAB III METODE PENELITIAN


A. Jenis dan Sifat Penelitian ............................................................. 65
B. Lokasi Penelitian .......................................................................... 65

ix
C. Jenis dan Sumber Data ................................................................ 66
D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ............................................ 68
E. Analisis Data ................................................................................ 68

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kejahatan
Kekerasan Seksual .......................................................... ............. 69
B. Kendala-kendala dalam memberikan perlindungan hukum
terhadap anak sebagai korban kejahatan kekerasan seksual
menurut Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang
Pelindungan anak .............................................. ........................... 90

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................... ............... 111
B. Saran ............................................................................. ............... 112

DAFTAR PUSTAKA .................................................................. ............. 114

x
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak asasi

sebagaimana manusia lainnya, sehingga tidak ada manusia ataupun

pihak lain yang boleh merampas hak tersebut. Dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan

generasi penerus cita-cita bangsa sehingga setiap anak berhak atas

kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta

berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta

hak sipil dan kebebasan1.

Pandangan yang visioner, anak merupakan bentuk investasi yang

menjadi indikator keberhasilan suatu bangsa dalam melaksanakan

pembangunan. Keberhasilan pembangunan anak akan menentukan

kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang2. Dalam Pasal

28 B ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

(selanjutnya disingkat UUDNRI 1945) berbunyi bahwa:

Anak memiliki peran strategis dan negara menjamin hak setiap anak
atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas
pelindungan dari kekerasan dan diskriminasi.Oleh karena itu,

1Eka Tjahjanto. Implementasi Peraturan PerUndang-undangan Ketenagakerjaan


Sebagai Upaya Perlindungan Hukum terhadap Eksploitasi Pekerja Anak.Tesis. Program
Pasca Sarjana. Universitas Diponegoro. Semarang, 2008.Hal. 53
2Bagong Suyanto, Pekerja Anak dan Kelangsungan pendidikannya, Airlangga

University Press,2003, hal.21

1
kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan
terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia.3

Akhir-akhir ini banyak terjadi kasus kejahatan kekerasan seksual

terhadap anak-anak dimana pelakunya adalah orang dewasa dan

kebanyakan adalah yang telah dikenal korban.Secara umum kekerasan

seksual merupakan kepuasan seks yang didapatkan oleh seseorang dari

hubungan seks dengan anak-anak4.Kejahatan kekerasan seksual

termasuk ekshibitionisme5terhadap anak, manipulasi terhadap anak-anak.

Dengan kata lain, kekerasan seksual adalah perbuatan seksual yang

dilakukan oleh orang dewasa dengan anak-anak dimana kategori anak-

anak disini adalah setiap anak yang berusia di bawah 15 (lima belas)

tahun sesuai dengan ketentuan aturan di Indonesia.

Kekerasan seksual masih sering dikacaukan pengertiannya.Ada

tidaknya unsur kekerasan fisik masih sering dijadikan kriteria untuk

mengategorikan tindak pelecehan seksual terhadap anak sebagai

kejahatan atau tidak.Pelecehan seksual terhadap anak sendiri masih

cenderung disempitkan artinya, terbatas pada bentuk kontak seksual

dengan menafikkan bentuk pelecehan nonkontak seksual seperti

pornografi.Ada tidaknya unsur paksaan sebenarnya tidak signifikan dalam

3Penjelasan UURI Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
4Koes Irianto, Memahami Seksologi, Bandung, Sinar Baru Algesindo, 2010,hal 101
5Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Selanjutnya disingkat (KBBI)
Ekshibitionisme adalah seseorang yang mendapatkan kepuasan seks dengan
memperlihatkan genitalnya pada orang lain yang tidak ingin melihatnya.

2
kasus kejahatan seksual terhadap anak karena adanya perbedaan

pemahaman tentang seks antara orang dewasa dan anak-anak.6

Praktek kekerasan seksualakan berdampak negatif bagi anak. Bukan

merusak masa depan secara fisik saja, tetapi juga akan merusak mental

dan kejiwaan anak, seperti gangguan depresi berat dapat terbawa kelak

hingga dewasa. Pedofilia adalah Seorang yang melakukankekerasan

seksual biasanya laki-laki yang sudah dewasa berumur antara 30-45

tahun, kondisi mereka mempunyai kelainan mental, bersifat psikopat,

alkoholik, dan bertingkah asusila.7

Anak menjadi kelompok yang sangat rentan terhadap kejahatan

kekerasan seksual karena anak selalu diposisikan sebagai sosok lemah

atau yang tidak berdaya dan memiliki ketergantungan yang tinggi dengan

orang-orang dewasa di sekitarnya. Hal inilah yang membuat anak tidak

berdaya saat diancam untuk tidak memberitahukan apa yang dialaminya.

Hampir dari setiap kasus yang diungkap, pelakunya adalah orang yang

dekat korban.Tak sedikit pula pelakunya adalah orang yang memiliki

dominasi atas korban, seperti guru, paman, ayah kandung, ayah tiri, dan

tetangga.

6Noor Azizah, Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Kejahatan Seksual Terhadap


Anak Di Indonesia (Tinjauan Yuridis Terhadap Sistem Pidana Di Indonesia), Al – Ulum Ilmu
Sosial Dan Humaniora. Volume 1 Nomor 1, Oktober 2015.Hal. 5
7Marzuki Umar Sa’abah, Perilaku Seks Menyimpang dan Seksualitas
KontemporerUmat Islam, Yogyakarta: UII Press, 2001, hal. 133-134

3
Tidak ada satupun karakteristik khusus atau tipe kepribadian yang

dapat diidentifikasi dari seorang pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

Dengan kata lain, siapa pun dapat menjadi pelaku kekerasan seksual

terhadap anak atau kekerasan seksual. Kemampuan pelaku menguasai

korban, baik dengan tipu daya maupun ancaman dan kekerasan,

menyebabkan kejahatan ini sulit dihindari.

Data yang tercatat pada Komisi Perlindungan Anak Indonesia

(Selanjutya disingkat KPAI)bahwa kasus kekerasan seksual yang masuk

ke lembaganya terus meningkat. Tahun 2013, ada 2.011 kasus kekerasan

terhadap anak, 59% atau 1.480 di antaranya laporan kekerasan seksual.

Jumlah laporan kasus kekerasan seksual terhadap anak itu meningkat

menjadi 1.628 kasus pada tahun 2014, dan 1.936 kasus pada tahun

2015.Adapun pada tahun 2016 hingga bulan April yang lalu sudah 179

kasus kekerasan seksual yang dilaporkan ke KPAI.8Ironisnya, pelaku

justru merupakan orang terdekat yang seharusnya melindungi anak-anak.

Tercatat sebanyak 24% pelaku berasal dari keluarga 56% dari lingkungan

sosial, dan sebanyak 17% dari lingkungan sekolah. Ini menujukkan bahwa

anak-anak sangat rentan terhadap kekerasan, utamanya terhadap

kekerasan seksual. Berdasarkan tempat terjadinya, kekerasan seksual

terjadi kebanyakan di rumah (48,7%), sekolah (4,6%), tempat umum

8Solihin,
L. Tindakan Kekerasan pada Anak Dalam Keluarga. Jurnal Pendidikan
Penabur No.03/Th.III/Desember 2004 dalam Gede Arya Suputra, Kajian Teoritis Terhadap
Tindak Pidana Kekerasan seksual Di Indonesia, Lex Crimen Vol. IV/No. 5/Juli/2016. Hal. 57

4
(6,1%), tempat kerja (3,0%), dan tempat lainnya (37,6%) sedangkan

mayoritas korban kekerasan seksual adalah anak laki-laki dengan

perbandingan persentase 60% anak laki-laki dan 40% anak perempuan.9

Tingginya kasus kekerasan seksual terhadap anak mendorong Ketua

Komnas Perlindungan Anak menyatakan bahwa Indonesia telah memasuki

masa darurat. Kekerasan seksual terhadap anak merupakan pelanggaran

Hak Asasi Manusia(selanjutnya disingkat HAM) berat dan harus diletakkan

sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena dampak yang

ditimbulkannya telah mengancam masa depan generasi bangsa.10Para

pelaku kekerasan seksual harus diwaspadai. Karena secara fisik, para

pedofilis tidak ada bedanya dengan anggota masyarakat lain. Pedofilis

bisa berbaur, bergaul, tanpa ada yang tahu pelaku adalah seorang

pedofilis, sampai akhirnya masyarakat tersentak ketika pedofilis memakan

korban.Hal tersebut juga ditambah dengan kesulitan menyusun profil

tunggal dari pelaku kejahatan kekerasan seksual, sehingga para pelaku

masih sulit diidentifikasi dan diprediksi apalagi terhadap para individu-

individu yang bertendensi kekerasan seksual.Aksi kejahatan mereka tidak

semata-mata dilatari motif seksual.

9Ibid
10Ratih Probosiwi dan Daud Bahransyaf, Kekerasan seksual Dan Kekerasan
Seksual: Masalah Dan Perlindungan Terhadap Anak, Jurnal Sosio Informa Vol. 01, No. 1,
Januari - April, Tahun 2015, hal. 36

5
Pelaku kejahatan kekerasan seksual memiliki alur dan substansi

berpikir yang distortif, fantasi, dan rangsangan yang menyimpang, serta

manipulative,11sebagai contoh dari kasus kejahatan kekerasan

seksualantara lain : terhadap MAK, AL dan DA, siswa Jakarta

Internasional School (JIS) yang dilakukan oleh dua orang guru yang

bernama Neil Bantleman dan Ferdinant Michael atau Ferdinant Tjiong. Neil

dan Ferdinant ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat dengan Pasal 80

dan Pasal 82 UURI Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara dengan denda 60 juta rupiah

dan maksimal 300 juta rupiah,12kasus tersebut sempat surut dari

pemberitaan media elektronik saat di Sukabumi kepolisian berhasil

menangkap pria bernama Andri Sobari alias Emon yang telah melakukan

kejahatan kekerasan seksual terhadap lebih dari 100 anak usia 4 tahun

sampai 14 tahun di toilet pemandian umum dewasanya. Emon kemudian

ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat dengan Pasal 82 UURI Nomor 23

tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 292 Kitab UU Hukum

Pidana tentang (selanjutnya disingkat KUHPidana) Pencabulan dan 64

11Reza Indragiri Amriel, Kekerasan seksual dan Daya Tangkal Publik, di akses di
http://www.freelists.org/archives /ppi//08-2006/msg00283.html. Tanggal 28 Maret 2017
12Seto Mulyadi, Nasib Anak Di Indonesia, Kompas, Saptu 22 Juli 2015 di akses di

http://www.kompas.com pada tanggal 28 Maret 2017

6
KUHPidana tentang perbuatan berlanjut dan dijatuhi hukuman 17 tahun

penjara.13

Serta kasus kekerasan seksual terbaru yang dilakukan seorang artis

yang bernama Saiful jamil terhadap anak dibawah umur, artis tersebut

dijerat dengan Pasal 292 KUHPidana tentang perbuatan cabul dan dijatuhi

hukuman 5 tahun penjara.14 Penjatuhan pidana tersebut tentulah belum

seimbang dengan dampak yang ditimbulkannya, yakni korban yang masih

anak-anak tentu akan mengalami trauma yang berkepanjangan hingga

dewasa bahkan seumur hidupnya. Padahal dilain pihak pelaku juga

melanggar Peraturan Pemerintah Pengganti UURI Nomor 1 tahun 2016

tentang perubahan kedua atas UURI Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, yang mana salah satu pasalnya mengatur tentang

sanksi pemberatan kebiri bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak,

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 81 angka 7 Peraturan Pemerintah

Pengganti UU (Selanjutnya disingkat PERPPU) Nomor 1 Tahun 2016

tentang perubahan kedua atas UURI Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa “terhadap pelaku

sebagaimana disebutkan dalam ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai

tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik”.

13Ibid
14Detik news, Kasus Pencabulan, Hukuman Saipul Jamil Diperberat Jadi 5 Tahun
di akses dihttp://news.detik.com/berita/d-3301927/kasus-pencabulan-hukuman-saipul-jamil-
diperberat-jadi-5-tahun tanggal 28 Maret 2017.

7
Hukum kebiri ini menjadi alasan sebagai upaya hukum baru terhadap

pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak agar dapat

memberikan efek jera. Namun disisi lain hukum yang telah ada dan

diterapkan untuk menjerat pelaku kejahatan kekerasan seksual ini di rasa

belum memberikan keadilan bagi korban. Korban yang notabene adalah

anak-anak yang seharusnya mendapat perlindungan justru mendapat

perlakuan yang bisa memberikan dampak traumatis secara psikologis

yang bisa berkepanjangan hingga ia dewasa sampai seumur hidupnya dan

menjadikan ia kehilangan masa depannya akibat trauma tersebut.

Bahkan tidak jarang korban setelah dewasa bisa menjadi pelaku

tindak pidana kekerasan seksual juga akibat dari trauma psikologis yang

mendalam, bahkan akan terus terbayang dalam ingatan mereka ketika

aksi pelaku dilakukan dengan kekerasan sehingga akan memunculkan

sifaat dendam yang sulit dihilangkan. Akibat sifat dendam tersebut bisa

memungkinkan ia pun akan menjadi pelaku kekerasan seksual ketika

beranjak dewasa, karena tidak jarang pelaku kekerasan seksual juga

semasa kecilnya pernah menjadi korban kejahatan kekerasan seksual.

Perhatian terhadap permasalahan perlindungan anak sebagai objek

kejahatan telah dibahas dalam beberapa pertemuan berskala internasional

yang antara lain Deklarasi Jenewa tentang Hak-hak Anak tahun 1924

yang diakui dalam Universal Declaration of Human Rights tahun 1948.

Kemudian pada tanggal 20 November 1958 Majelis Umum PBB

8
mengesahkan Declaration of the Rights of the Child (Deklarasi Hak-Hak

Anak).15 Kemudian instrument internasional dalam perlindungan anak yang

termasuk dalam instrument HAM yang diakui oleh Perserikatan Bangsa-

Bangsa adalah UN Rules for The Protection of Juveniles Desprived of

Their Liberty, UN Standard Minimum Rules for Non-Custodial Measures

(Tokyo Rules), UN Guidelines for The Prevention of Juvenile Delinquency

(The Riyadh Guidelines).16

Banyaknya instrumen dan rekomendasi dari pertemuan tersebut

nampaknya belum memperlihatkan hasil yang signifikan dalam

memberikan perlindungan terhadap anak. Padahal sebagaimana

diutarakan dalam Deklarasi Hak-Hak Anak, "….the child, by reasons of his

physical and mental immaturity, needs special safeguards and care,

including appropriate legal protection, before as well as after birth…"

Deklarasi Wina tahun 1993 yang dihasilkan oleh Konferensi Dunia tentang

Hak-Hak Asasi Manusia (HAM), kembali mengemukakan prinsip "First Call

for Children," yang menekankan pentingnya upaya-upaya Nasional dan

Internasional untuk memajukan hal-hak anak atas "survival protection,

development and participation”17.

15Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni,
Bandung, 1992, hal.108
16Moch.Faisal Salam, Hukum Acara Peradilan Anak di Indonesia, Mandar Maju,

Bandung. 2005. Hal.15


17Hartuti Hartikusnowo,Tantangan dan Agenda Hak Anak, www.portalhukum.com,

hlm. 1 dalam Reimon Supusepa, Perkembangan Hukum Pidana Dalam Penaggulangan

9
Instrumen-instrumen di atas telah menetapkan seperangkat hak anak

dan kewajiban negara-negara yang menandatangani dan eratifikasinya

untuk melindungi anak dalam hal pekerja anak, pengangkatan anak,

konflik bersenjata, peradilan anak, pengungsi anak, eksploitasi, kesehatan,

pendidikan keluarga, hak-hak sipil, dan hak-hak ekonomi, sosial dan

ekonomi, sosial dan budaya yang bertujuan untuk memberikan

perlindungan terhadap anak yang rentan menjadi korban (victim).18

Tujuan dan dasar pemikiran perlindungan hukum terhadap anak tidak

dapat dilepaskan dari tujuan bagaimana mewujudkan kesejahteraan anak

sebagai bagian integral dari mewujudkan kesejahteraan sosial secara

menyeluruh.19 Sebagaimana juga disebutkan di dalamPasal 1 ayat (2)

Peraturan Pemerintah Pengganti UURI Nomor 1 tahun 2016 tentang

perubahan kedua atas UURI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anakmemberikan pengaturan yang jelas dan komprehensif tentang

perlindungan anak yang pada pokoknya bertujuan untuk memberikan

jaminan dan melindungi hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,

berkembang dan berpartisipasi, secara optimal, serta memperoleh

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Kejahatan Kekerasan seksual (Studi Komparasi Di Berbagai Negara Asing), Jurnal Sasi
Vol.17 No.2 Bulan April – Juni 2011. Hal. 38
18Reimon Supusepa, Ibid.
19Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak (Kumpulan Karangan), BIP Kelompok

Gramedia, Jakarta, 2004. Hal. 43

10
Penanganan kejahatan kekerasan seksual terhadap anak-anak jika

bandingkan dengan sistem hukum pidana Indonesia kita masih cenderung

menyoroti sebuah kejahatan dari sudut pandang pembuat

kejahatan.Padahal ada yang kurang dan tidak seimbang jika sudut

pandang anak sebagai korban diabaikan. Bagaimanapun juga bahwa

unsur penyebab kejahatan tidak akan terjadi jika tidak ada korban.20Antara

korban dan pelaku adalah dua unsur terjadinya kejahatan.Dari pandangan

inilah kemudian perlindungan terhadap anak sebagai korban kejahatan

kekerasan seksual begitu penting.

Korban selama ini hanya diwakili oleh negara sebagai penerima

derita, yang akan membalas kepada pelaku yang di implementasikan

dengan sanksi pidana yang sudah di atur oleh peraturan perundang-

undangan. Anak sebagai korban kejahatan kekerasan seksual disini tidak

begitu populer diperhatikan, karena konsen penghukuman hanya diberikan

kepada pelaku yang hal tersebut menandakan selesainya

persoalan.Padahal di hukumnya pelaku kejahatan kekerasan seksual,

belum tentu si anak sebagai korban merasa rela dan aman.Banyak korban

yang masih belum merasa mendapat keadilan dan kembalinya posisi

korban di tengah masyarakat akibat trauma yang diperoleh. Oleh karena

itu perlu adanya hukum yang bisa memberikan keadilan yang setimpal

20Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan Edisi Pertama, Akademika Presindo,


Jakarta, 1983, hal. 87

11
bagi korban terhadap apa yang dilakukan oleh pelaku kejahatan kekerasan

seksual, jadi bukan penerapan sistem balas dendam yang dibutuhkan

dalam menyelesaikan perkara dimaksud.

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti melakukan penelitian

dengan judul Perlindungan Hukum Bagi Anak Sebagai Korban Kejahatan

Kekerasan Seksual.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian-uraian latar belakang, maka dapatdikemukakan

rumusan masalah antara lain :

1. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum bagi anak korban

kejahatan seksual?

2. Bagaimanakah kendala dalam pemberian perlindungan hukum bagi

anak sebagai korban kejahatan kekerasan seksual?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah

1. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum bagi anak korban

kejahatan seksual`

2. Untuk mengetahui bagaimanakah kendala dalam memberikan

perlindungan hukum bagi anak sebagai korban kejahatan kekerasan

seksual.

12
D. Kegunaan Penelitian

Ada dua aspek kegunaan yang ingin di harapkan dari penelitian ini,

yaitu teroritis dan aspek praktis :

1. Secara Akademis/Teoritis, penelititian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangsi pemikiran dalam memberikan perlindungan hukum terutama

masalah yang menyangkut anak sebagai korban kejahatan kekerasan

seksual

2. Secara praktis, penelitian ini diharapakan dapat memberikan masukan

kepada pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap anak

sebagai korban kejahatan kekerasan seksual, sehingga anak-anak

sebagai korban kehatan kekerasan seksual memperoleh keadilan yang

setimpal dan mengembalikan posisi korban di masyarakat.

13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Perlindungan Hukum

Pasal 1 ayat 3 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

1945 (selanjutnya disingkat UUD NRI 1945) berbunyi bahwa “Indonesia

adalah negara hukum”. Dengan demikian negara menjamin hak-hak

hukum warganegaranya dengan memberikan perlindungan hukum dan

perlindungan hukumakan menjadi hak bagi setiap warga negara. Menurut

Fitzgerald sebagaimana dikutip Satjipto Raharjo awal mula dari munculnya

teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori hukum alam atau aliran

hukum alam.Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles (murid Plato), dan

Zeno (pendiri aliran Stoic),menurut aliran hukum alam menyebutkan

bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi,

serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan.Para penganut aliran

ini memandang bahwa hukum dan moral adalah cerminan dan aturan

secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan

melalui hukum dan moral.21

Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan

hukum lahir dari suatuketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang

diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan

masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota-

21 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal.53

14
anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang

dianggap mewakili kepentingan masyarakat.22

Menurut Satjipto Raharjo bahwa perlindungan hukum adalah

Memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang


dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada
masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh
hukum.23

Phillipus M. Hadjon mengemukakanbahwa24

Perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang


bersifat preventif dan represif. Perlindungan hukum yang preventif
bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan
tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan
berdasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif bertujuan untuk
menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penangananya di
lembaga peradilan.

Sesuai dengan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa fungsi hukum

adalah melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan yang dapat merugikan

dan menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat maupun

penguasa. Selain ituberfungsi pula untuk memberikan keadilan serta

menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

Menurut Sudikno Mertokusumo perlindungan hukum dapat


dibedakan menjadi dua, yaitu:25

22Ibid. hal. 5
23
Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia, Kompas, Jakarta,
2003, hal. 121
24 Phillipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, PT. Bina Ilmu,

Surabaya: 1987. hal.29


25
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009. hal. 38

15
a) Perlindungan Hukum Preventif Perlindungan yang diberikan oleh
pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya
pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang- undangan
dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta
memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan
suatu kewajiban.

b) Perlindungan Hukum Represif merupakan perlindungan akhir berupa


sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan
apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu
pelanggaran.

Philipus M. Hadjon, mengemukakan bahwa sarana perlindungan

Hukum ada dua macam, yaitu26 :

a) Sarana Perlindungan Hukum Preventif

Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum diberikan


kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum
suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif.Tujuannya
adalah mencegah terjadinya sengketa.Perlindungan hukum preventif
sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan pada
kebebasan bertindak karena denganadanya perlindungan hukum yang
preventif pemerintah terdorong untuk bersifat hati-hati dalam
mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi. Di indonesia
belum ada pengaturan khusus mengenai perlindungan hukum
preventif.

b) Sarana Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan


sengketa.Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum
dan Pengadilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori
perlindungan hukum ini.Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan
pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan
dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut
sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada
pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan
pemerintah.Prinsip kedua yang mendasari perlindungan hukum

26
Phillipus M. Hadjon, Op.Cit. hal. 30

16
terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip negara hukum.Dikaitkan
dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan
dari negara hukum.

Hal senada juga dijelaskan oleh Barda Nawawi Arif yang mengemukakan

bahwa terkait dengan perlindungan korban maka terdapat dua makna yaitu

sebagai berikut :27

a) Perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana (berarti


perlindungan HAM atau kepentingan hukum seseorang).

b) Perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas


penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi korban tindak pidana
(jadi identik dengan penyantunan korban). Bentuk santunan itu dapat
pemulihan nama baik (rehabilitasi), pemulihan keseimbangan batin
(antara lain dengan pemaafan), pemberian ganti rugi (restitusi,
kompensasi, jaminan/santunan kesejahteraan sosial) dan sebagainya

Pengertian perlindungan menurut ketentuan Pasal 1 butir 6 UURI Nomor

31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban berbunyi bahwa

“Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian

bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban

yang wajib dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan korban(

selanjutnya disingkat LPSK) atau lembaga lainnya sesuai dengan

ketentuan UURI ini”. Perlindungan hukum yang diberikan bagi rakyat

Indonesia merupakan implementasi atas prinsip pengakuan dan

perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber

27
Barda Nawawi Arif, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.56

17
pada Pancasila dan prinsip Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila.

Setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari hukum.Hampir

seluruh hubungan hukum harus mendapat perlindungan dari hukum.Oleh

karenanya ketika anak menjadi korban kejahatan kekerasan seksual,

Negara harus memberikan perlindungan hukum kepada anak melalui

berbagai peraturan perundang–undangan. Masalah perlidungan hukum

bagi anak merupakan salah satu cara melindungi tunas bangsa di masa

depan. Perlindungan ini perlu karena anak merupakan bagian masyarakat

yang mempunyai keterbatasan secara fisik dan mentalnya.Oleh karena itu

anak memerlukan perlindungan dan perawatan secara khusus.28

Menurut UURI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Pasal 1 Butir 1 berbunyi bahwa :

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan


melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat
danmartabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi

Menurut Shole Soeady dan Zhulkair Perlindungan adalah29

segala upaya yang ditunjukkan untuk mencegah, merehabilitasi dan


memberdayakan anak-anak yang mengalami tindak perlakuan salah,
eksploitasi dan pelantaran agar dapat menjamin kelangsungan hidup
dan tumbuh kembang anak secara wajar, baik fisik, mental maupun
sosialnya.

28
RikaSaraswati. Hukum Perlindungan Anak di Indonesia. Citra Aditya Bakti.
Bandung, 2009. Hal. 23
29
Shole Soeaidy Dan Zulkhair, Dasar Hukum Perlindungan Anak, CV.Novindo Pustaka
Mandiri, Jakarta, 2011, hal. 4

18
Lebih lanjut perlindungan terhadap anak harus bertumpuh pada

strategi sebagai berikut30:

a) Survival, diarahkan pada upaya pemenuhan kebutuhan dasar bagi


kelangsungan hidup anak.

b) Devlomental, diarahkan pada upaya pengembangan potensi, daya


cipta, kreativitas inisiatif, dan pembentukan pribadi anak.

c) Protection, diarahkan pada upaya pemberian kesempatan pada anak


untuk ikut aktif melaksanakan hak dan kewajiban, melalui keterlibatan
dan berbagai kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka pembinaan
kesejahtraan sosial anak.

Arif Gosita mengemukakan bahwa31:

Anak wajib dilindungi agar mereka tidak menjadi korban tindakan siapa
saja (individu, kelompok, organisasi, swasta, maupun Pemerintah) baik
secara langsung maupun tidak langsung. Lebih lanjut, bahwa
Perlindungan anak adalah suatu kegiatan bersama yang bertujuan
mengusahakan pengamanan, pengadaan dan pemenuhan
kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah anak atau remaja yang sesuai
dengan kepentingan dan hak asasinya.

Menurut Zulkhair dan Sholeh Soeaidy32

Perlindungan anak adalah segala upaya yang ditujukan untuk


mencegah, merehabilitasi dan memberdayakan anak yang mengalami
tindak perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran agar dapat
menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak secara wajar
baik fisik, mental maupun sosialnya.

30
Ibid. hal. 5
31 Arif gosita, Masalah Perlindungan Anak, Jakarta, Akademi pressindo,1989, hal.
35.
32Zulkhair
dan Sholeh Soeaidy.Dasar Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: CV.
Novindo Pustaka Mandiri. 2001.hal.4

19
Menurut Pra Yuawana dalam Seminar Perlindungan Anak/Remaja

pada tahun 1977 Terdapat dua perumusan tentang perlindungan anak,

yaitu 33:

a) Segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang
maupun lembaga pemerintah dan swasta yang bertujuan
mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan
kesejahteraan.

b) Segala daya upaya bersama yang dilakukan dengan sadar oleh


perorangan, keluarga, masyarakat, badan-badan pemerintah dan
swasta untuk pengamanan, pengadaan dan pemenuhan
kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah anak usia nol sampai 21 (dua
puluh satu) tahun, tidak dan belum pernah menikah, sesuai dengan
hak asasi dan kepentingannya agar dapat mengembangkan dirinya
seoptimal mungkin.

Dalam rangka pelaksanaan perlindungan anak yang efektif, rasional


positif, bertanggung jawab dan bermanfaat, maka ada syarat-syarat yang
harus dipenuhi :

a) Para partisipan harus mempunyai pengertian-pengertian yang tepat

Pengertian-pengertian yang dimaksud dalam hal ini adalah yang


berkaitan dengan masalah perlindungan anak serta pengertian-
pengertian lain yang dapat mendukung dilaksanakannya perlindungan
anak tersebut.

b) Harus dilakukan bersama

Perlindungan anak harus dilakukan bersama antara setiap warga


negara, anggota masyarakat secara individual maupun kolektif dan
pemerintah demi kepentingan bersama, kepentingan nasional untuk
mencapai aspirasi bangsa indonesia.

c) Kerjasama dan Koordinasi

33Shanty Dellyana.Wanita Dan Anak Di Mata Hukum. Yogyakarta: Liberty. 2004.hal.


19-22

20
Kerjasama dan koordinasi diperlukan dalam melancarkan kegiatan
perlindungan anak yang rasional, bertanggungjawab dan bermanfaat
antara partisipan yang bersangkutan.

d) Perlu diteliti masalah yang merupakan faktor kriminogen atau faktor

victimogen

Dalam rangka membuat kebijakan dan rencana kerja yang dapat


dilaksanakan perlu diusahakan inventarisasi faktor-faktor yang
menghambat dan mendukung kegiatan perlindungan anak. Perlu
diteliti masalah-masalah apa saja yang dapat merupakan faktor
kriminogen atau faktor victimogen dalam pelaksanaan perlindungan
anak.

e) Mengutamakan perspektif yang dilindungi dan bukan yang melindungi

Dalam membuat ketentuan yang mengatur perlindungan anak dalam


berbagai peraturan perundang-undangan harus diutamakan adalah
perspektif yang dilindungi, bukan yang melindungi.Kepastian hukum
harus diusahakan demi kelangsungan perlindungan anak dan
mencegah akibat negatif yang tidak diinginkan.

f) Perlindungan anak harus tercermin dan diwujudkan/dinyatakan dalam

berbagai bidang bernegara dan bermasyarakat

Dalam rangka melaksanakan perlindungan anak setiap anggota


masyarakat dengan kerjasama dari pemerintah, harus ikut serta
menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan
diperkenankannya perlindungan anak secara langsung atau tidak
langsung dalam berbagai bidang kehidupan.\

g) Pihak anak harus diberikan kemampuan dan kesempatan untuk ikut

serta melindungi diri sendiri

Pihak anak harus diberikan kemampuan dan kesempatan untuk ikut


serta melindungi diri sendiri, dan kelak di kemudian hari dapat menjadi
orang yang bisa berpartisipasi dan aktif dalam kegiatan perlindungan
anak.

h) Harus mempunyai dasar-dasar filosofis, etis dan yuridis

21
Dasar tersebut merupakan pedoman pengkajian, evaluasi apakah
ketentuan-ketentuan yang dibuat dan pelaksanaan yang direncanakan
benar-benar rasional, positif, bertanggungjawab dan bermanfat bagi
yang bersangkutan, yang dapat diambil dan dikembangkan dari
pancasila, UURI Dasar 1945, ajaran dan pandangan yang positif dari
agama atau nilai sosial yang tradisional atau modern.

i) Tidak menimbulkan rasa tidak dilindungi

Pelaksanaan perlindungan anak tidak boleh menimbulkan rasa tidak


dilindungi pada yang bersangkutan, karena adanya penimbulan
penderitaan, kerugian oleh partisipan tertentu.Perlindungan anak
harus bersifat preventif.

j) Harus didasarkan atas pengembangan hak dan kewajiban asasinya

Perlindungan anak dibidang kesehatan, pendidikan dan pembinaan/


pembentukan kepribadian adalah didasarkan pada hak asasinya anak
yang umum.Hak asasi umum untuk orang dewasa dalam hukum positif
juga berlaku untuk anak.

Terdapat 10 (sepuluh) asas perlindungan anak yang diatur dalam

Declaration of the Rights of the Child, yaitu :

1. Anak berhak menikmati semua haknya tanpa pengecualian.

Dengan kata lain, anak berhak menikmati haknya tanpa

memandang perbedaan yang ada.

2. Anak berhak mendapatkan perlindungan khusus dan harus

memperoleh kesempatan yang dijamin oleh hukum dan sarana

lainnya.

3. Anak sejak dilahirkan berhak atas nama dan kebangsaa

4. Anak berhak dan harus dijamin secara kemasyarakatan untuk

tumbuh kembang secara sehat.

22
5. Anak yang cacat fisik, mental dan lemah kedudukan sosialnya

akibat suatu keadaan tertentu harus memperoleh pendidikan,

perawatan dan perlakuan khusus.

6. Agar supaya kepribadian anak tumbuh secara maksimal dan

harmonis, ia memerlukan kasih sayang dan pengertian.

7. Anak berhak mendapat pendidikan wajib secara cuma-cuma

sekurang-kurangnya di tingkat Sekolah Dasar.

8. Dalam keadaan apapun, anak harus didahulukan dalam menerima

perlindungan dan pertolongan.

9. Anak harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan, pengisapan

10. Anak harus dilindungi dari perbuatan yang mengarah ke bentuk

diskriminasi sosial, agama maupun bentuk-bentuk diskriminasi

lainnya34

B. Pengertian Anak

Anak dalam keluarga merupakan pembawa bahagia, karena anak

memberikan arti bagi orang tuanya. Arti di sini mengandung maksud memberikan

isi, nilai, kepuasan, kebanggaan, dan rasa penyempurnaan diri yang disebabkan

oleh keberhasilan orang tuanya yang telah memiliki keturunan, yang akan

melanjutkan semua cita-cita harapan dan eksistensi hidupnya. Anak

34
Nurini Aprilianda, Laporan Akhir Pengkajian Hukum Tentang Model Pembinaan
Anak Berbasis Pendidikan Layak Anak Dalam Sistem Pemasyarakatan,Pusat Penelitian Dan
Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian
Hukum Dan Hak Asasi Manusia Ri 2014. hal. 35

23
dikonotasikan sebagai manusia yang belum mencapai kematangan fisik,

kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental35.

Berikut ini adalah definisi atau pengertian tentang anak menurut

beberapa ilmu hukum yang ada :

1. Pengertian Anak Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(KUHPidana)

Hukum pidana di Indonesia berdasarkan atas Kitab Undang-

undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat dengan KUHPidana) ,

atau dengan kata lain KUHPidana adalah acuan dasar dalam hukum

yang diterapkan di Indonesia. Pengertian tentang anak apabila

masuk ke dalam lingkup hukum pidana juga harus dikaitkan dengan

Kitab UURI Hukum Pidana, namun dalam KUHPidana tersebut tidak

ditemukan secara jelas definisi tentang anak, melainkan hanyalah

definisi tentang “belum cukup umur (minderjarig)”, serta beberapa

definisi yang merupakan bagian atau unsur dari pengertian anak

yang terdapat pada beberapa Pasalnya. Namun, pengertian belum

cukup umur belum memberikan arti yang jelas tentang pengertian

anak menurut KUHPidana, jadi perlu dicari lagi pengertian tentang

anak tersebut dalam Pasal-Pasal lain yang terdapat pada

KUHPidana.

35 Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, CV.Mandar Maju, Bandung. 2009. hal. 3

24
Dalam KUHPidana juga terdapat Pasal yang memberikan salah

satu unsur pengertian tentang anak, seperti yang terdapat pada Bab IX

tentang arti beberapa istilah yang dipakai dalam KUHPidana, pada

Pasal 45 yang menyebutkan bahwa:

Dalam menuntut orang yang belum cukup umur (minderjarig)


karena melakukan perbuatan sebelum umur enam belas tahun,
hakim dapat menentukan, memerintahkan supaya yang bersalah
dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya,
tanpa pidana apapun atau memerintahkan supaya yang bersalah
diserahkan kepada pemerintah, tanpa pidana apapun yaitu jika
perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran
tersebut.

Pasal 45 KUHP sudah dicabut ketentuannya tentang

penuntutan anak dikarenakan telah ada UURI yang lebih khusus

mengatur tentang masalah anak, yaitu UURI Nomor 11 tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Dalam Pasal 283 ayat (1) KUHP dimaksudkan bahwa anak

dibawah umur adalah seseorang yang belum berumur tujuh belas

tahun. Hal ini dapat dilihat dalam isi pasal tersebut, yaitu :

Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau


denda paling banyak enam ratus rupiah, barang siapa
menertawakan, memberikan untuk terus maupun untuk sementara
waktu, menyerahkan atau memperlihatkan tulisan, gambaran, atau
bendayang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah
atau menggugurkan hamil, kepada seseorang yang belum cukup
umur, dan yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa
umurnya belum tujuh belas tahun...

Sedangkan dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP dimaksudkan,

bahwa anak dibawah umur adalah seseorang yang belum berumur

25
lima belas tahun, seperti tercantum dalam bunyi pasal yakni

“Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan,

padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya

belum lima belas tahun ...”.

Dengan demikian, pengertian anak di bawah umur menurut

KUHPidana terdapat tiga kategori anak dibawah umur, yaitu anak

dibawah umur enam belas tahun dalam pasal 283 ayat (1) yang

berhubungan dengan tulisan-tulisan, gambaran atau benda yang

melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau

menggugurkan hami, serta anak dibawah umur lima belas tahun

dalam pasal 287 ayat (1), yang berkaitan dengan persetubuhan.

Maka, jelaslah bahwa Pasal 45 KUHP merupakan aturan umum,

sedangkan Pasal-Pasal lain di atas merupakan pengecualian

daripada aturan umum tersebut.

2. Pengertian Anak Menurut Hukum Perdata

Hukum perdata menjamin hak-hak dasar bagi seorang anak

sejak lahir bahkan sejak masih dalam kandungan.Dalam hukum

perdata, pengertian anak dimaksudkan pada pengertian “kebelum

dewasaan”, karena menurut hukum perdata seorang anak yang

belum dewasa sudah bisa mengurus kepengtingan-kepentingan

keperdataannya. Untuk memenuhi keperluan ini, maka peraturan

tentang “hendlichting”, yaitu suatu pernyataan tentang seseorang

26
yang belum mencapai usia dewasa sepenuhnya atau hanya untuk

beberapa hak saja dipersamakan dengan seorang yang sudah

dewasa.36

Pada prakteknya peraturan perihal “hendlichting” sedikit sekali

dipergunakan di dalam masyarakat terlebih setelah ditetapkannya

batas umur di dalam UURI Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinana, yang membuat lembaga “hendlichting” ini sudah

kehilangan artinya dan pada akhirnya dicabut karena dianggap

sudah tidak mengikuti dan tidak sesuai dengan perkembangan yang

ada di dalam masyarakat sekarang ini.

Menurut Pasal 330 KUHPerdata belum dewasa adalah

“Mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun,

dan tidak lebih dahulu telah kawin”. Menurut Pasal ini, bahwa semua

orang yang belum genap 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin

dianggap belum dewasa dan tidak cakap di mata hukum, yang

artinya belum bisa bersikap tindak atau berperikelakuan yang sesuai

di mata hukum.

Batas usia dewasa menurut UURI Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan terdapat di dalam Pasal 47 ayat (1) yang

mengemukakan bahwa “Anak yang belum mencapai 18 (delapan

36
R. Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet 31. Jakarta. PT Internasa. 2003.
hal. 55

27
belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada

dibawah kekuasaan orang tuannya selama mereka tidak dicabut dari

kekuasaannya”.

Sedangkan batas usia pada Pasal yang terdapat dalam Kitab

UURI Hukum Perdata yaitu 21 (dua puluh satu) tahun, dan UURI

yaitu 18 (delapan belas) tahun. Hal inilah yang pada akhirnya

digunakan sampai saat ini sebagai pengertian anak atau pengertian

dewasa di dalam hukum perdata.

3. Pengertian Anak Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti UURI

Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan

Kedua Atas UURI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak.

Pasal 1 ayat (1) tentang perlindungan anak menyebutkan bahwa :

“anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)


tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.Menurut Pasal
ini, anak adalah siapa saja yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun dan termasuk anak yang masih di dalam kandungan, yang
berarti segala kepentingan akan pengupayaan perlindungan anak
sudah di mulai sejak anak tersebut berada dalam kandungan hingga
berusia 18 (delapan belas) tahun.

Selain dalam ketentuan perundang-undangan di atas dalam keputusan

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 53K/SIP/1952 tanggal 1

juni 1955 juga mengatur tentang pengertian anak, dalam amarnya

menentukan bahwa 15 (lima belas) tahun adalah suatu umur yang

28
umum di indonesia menurut hukum adat dianggap sudah dewasa 37.Hak

anak adalah hak asasi manusia yang perlu mendapatkan perhatian

khusus dalam memberikan perlindungan, agar anak yang baru lahir,

tumbuh dan berkembang mendapat hak asasi manusia secara utuh.

Hak asasi manusia meliputi semua yang dibutuhkan untuk

pembangunan manusia seutuhnya dan hukum positif mendukung

pranata sosial yang dibutuhkan untuk pembangunan seutuhnya

tersebut.

Pertumbuhan dan perkembangan anak untuk menjadi manusia

seutuhnya sangat bergantung pada sistem moral yang meliputi

nilainilai normatif sesuai masyarakat. Kepercayaan-kepercayaan

kepada apa yang seharusnya dilakukan. Dari kepercayaan normatif

yang mendasar bahwa anak harus tumbuh dan berkembang

menyusun semua keharusan-keharusan yang berhubungan dengan

kebutuhankebutuhan yang berkenaan dengan psikologis anak yaitu

anak seharusnya memperoleh makanan dan tempat berlindung dan

kebutuhan-kebutuhan manusia sesungguhnya, yaitu anak seharusnya

bergabung dan dengan bebas mengekspresikan diri sendiri.

Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UURIRepublik Indonesia

Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas UURI Nomor 23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, hak-hak anak meliputi:

37 Arif Gosita, Op.Cit, hal 213

29
a. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan
perlindungan dari kekrasan dan diskriminasi (Pasal 4)
b. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan
status kewarganegaraan (Pasal 5)
c. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya,
berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat keceradasan
dan usianya, dalam bimbingan orang tua (Pasal 6)
d. Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan
dan diasuh oleh orang tuanya sendiri ( Pasal 7 ayat 1)
e. Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan
jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual,
dan sosial (Pasal 8)
f. Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran
dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat
kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya (Pasal 9
ayat 1)
g. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya,
menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai
tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya
sesuia dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan (Pasal 10)
h. Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali,
atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas
pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan :
Diskirminasi; Eksploitasi baik ekonomi maupun seksual;
Penelantaran; Kekejaman; Kekerasan dan penganiayaan;
Ketidakadilan; Perlakuan salah lainnya (Pasal 13 ayat 1)

Selain di atur mengenai hak-hak anak, diatur pula kewajiban anak yaitu

setiap anak berkewajiban untuk menghormati orang tua, wali, guru,

mencintai keluarga, masyarakat, danmenyayangi teman, mencintai tanah air,

bangsa dan negara, menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya

dan melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

30
C. Konvensi Hak Anak Tahun 1989

Pembicaraan tentang perlindungan hukum bagi anak, rasanya tak

dapat dilaksanakan dengan pembicaraan tentang apa yang menjadi hak

anak itu. Hak-hak anak hanya dapat difahami melalui penelusuran

perundang-undangan yang mengatur tentang hak-hak anak.Di

lingkungan masyarakat internasional dikenal sebagai “Kesepakatan

dunia” tentang hak-hak anak, antara lain misalnya : Deklarasi Jenewa

tentang hak-hak anak tahun 1924, Deklarasi Hak-hak Anak dengan 10

asasnya tahun 1958, dan Konvensi Hak Anak tahun 1989.38

Konvensi hak anak tahun 1989 yang disepakati dalam siding majlis

umum (general assembly) PBB ke- 44, yang selanjutnya

telahdituangkan dalam Revolusi PBB Nomor 44/25 tanggal 5 Desember

1989. Konvensi hak anak ini merupakan hukum internasional yang

mengikat negara peserta (state parties), termasuk Indonesia.39

Materi Hukum mengenai hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak

tersebut, dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori hak-hak anak

yaitu :

38 Romli Atmasasmita, et.al., Peradilan Anak di Indonesia, Mandar Maju, Bandung,


1997, hal. 85
39 Muhammad Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak

dalam Prespektif Konvensi Hak Anak, PT. Citra Aditya, Bandung, 1999, hal. 33

31
a. Hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights)

Yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi hak-

hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup (the rights of life)

dan untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan

yang sebaik-baiknya (the rights to the higest standart of health and

medical care attainable). Mengenai hak terhadap kelangsungan

hidup di dalam Konvensi Hak Anak terdapat pada pasal 6 dan pasal

24 Konvensi Hak Anak. Dalam pasal 6 Konvensi Hak Anak tercantum

ketentuan yang mewajibkan kepada setiap negara peserta untuk

menjamin kelangsungan hak hidup (rights to life), kelangsungan

hidup dan perkembangan anak (the survival and development of the

child).Pasal 6 Konvensi Hak Anak selengkapnya berbunyi sebagai

berikut :

1. Negara-negara peserta mengakui bahwa setiap anak memiliki

hak yang merupakan kodrat hidup

2. Negara-negara peserta semaksimal mungkin akan menjamin

kelangsungan hidup dan pengembangan anak.

Pasal 24 Konvensi Hak Anak selengkapnya mengatur mengenai

kewajiban negara-negara peserta untuk menjamin hak atas taraf

kesehatan tertinggi yang bisa dijangkau dan untuk memperoleh

pelayanan kesehatan dan pengobatan, khususnya perawan kesehatan

primer (rights to the child enjoyment of the high test attainable standart

32
of health and facilities for the treatment of illness and rehabilitation

health). Mengenai hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights)

dalam Konvensi Hak Anak berkaitan pula dengan beberapa pasal yang

relevan dengan hak kelangsungan hidup (survival rights) itu, pasal-pasal

tersebut yang mengatur mengenai hak anak yakni :

a. Pasal 8, mengatur tentang kewajiban negara untuk melindungi


dan bilamana perlu, memulihkan aspek dasar jati diri seorang
anak, (nama kewarganegaraan dan ikatan keluarga)
b. Pasal 9, mengatur tentang hak anak untuk hidup bersama orang
tuanya, kecuali kalau hal ini dianggap tidak sesuai dengan
kepentingan terbaiknya. Hak anak untuk mempertahankan
hubungan dengan keduanya orang tuanya jika terpisah dari
salah satu atau keduanya. Kewajiban negara dalam kasus
dimana pemisahan seperti itu terjadi akibat tindakan negara.
c. Pasal 19, mengatur tentang kewajiban negara untuk melindungi
anak-anak dari segala bentuk salah perlakuan (abuse) yang
dilakukan oleh orang tua atau orang lain yang bertanggung
jawab atas pengasuhan mereka untuk menyelenggarakan
program-program pencegahan dan perawatan sehubungan
dengan hal ini;
d. Pasal 20,mengatur tentang kewajiban negara untuk
memberikan perlindungan khusus bagi anak-anak yang
kehilangan lingkungan keluarga mereka serta untuk menjamin
tersedianya alternatif pengasuhan keluarga atau penempatan
institusional yang sesuai bagi mereka dengan
mempertimbangkan latar budaya anak
e. Pasal 21, mengatur tentang adopsi dimana di negara-negara
peserta dimana adopsi diakui dan/atau diperbolehkan, adopsi
hanya akan dilakukan demi kepentingan terbaik bagi anak,
dengan segala perlindungan yang perlu bagi anak yang
disahkan oleh pejabat yang berwewenang;
f. Pasal 26, mengatur tentang hak anak atas tunjangan dari
jaminan sosial;
g. Pasal 28, mengatur tentang hak-hak anak atas pendidikan dan
kewajiban negara untuk menjamin agar setidaknya pendidikan
dasar diadakan secara cuma-cuma dan berlaku wajib.
Penyelenggaraan disiplin sekolah harus mencerminkan

33
martabat kemanusiaan anak. Penekanan diletakkan pada
perlunya kerja sama internasional guna menjamin hak ini;
h. Pasal 30, mengatur tentang hak-hak anak dari kelompok
masyarakat minoritas dan penduduk asli untuk hidup dalam
alam budaya serta mengamalkan dan menggunakan bahasa
mereka sendiri;
i. Pasal 32, mengatur tentang kewajiban negara untuk melindungi
anak-anak dari keterlibatan dalam pekerjaan yang mengancam
kesehatan, pendidikan atau perkembangan mereka, untuk
menetapkan batas usia minimum untuk bekerja, serta
menetapkan aturan bagi kondisi kerja;
j. Pasal 34, mengatur tentang hak anak atas perlindungan dari
eksploitasi dan penganiayaan seksual, termasuk prostitusi dan
keterlibatan dalam pornografi;
k. Pasal 35, mengatur tentang kewajiban negara untuk menjalani
segala upaya guna mencegah penjualan, penyelundupan dan
penculikan anak;
l. Pasal 38, mengatur tentang kewajiban negara untuk
menghormati dan menjamin dihormatinya UURI kemanusiaan
yang berlaku bagi anak-anak

b. Hak terhadap perlindungan (protection rights)

Yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi hak

perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran

bagi anak yang tidak mempunyai keluarga bagi anak-anak

pengungsi.40Mengenaihak terhadap perlindungan (protection rights)

dalam Konvensi Hak Anak, dikemukakan atas 3 (tiga) kategori; yaitu :

1. Pasal-pasal mengenai larangan diskriminasi anak

2. Pasal-pasal mengenai larangan eksploitasi anak

Untuk menjelaskan hak-hak anak mengenai perlindungan

atas eksploitasi anak dapat dirujuk dalam Pasal-Pasal berikut ini :

40Ibid

34
1. Pasal 10, tentang hak anak untuk berkumpul kembali
bersama orang tuanya dalam kesatuan keluarga, apakah
dengan meninggalkan atau memasuki negara tertentu untuk
maksud tersebut
2. Pasal 11, tentang kewajiban negara untuk mencegah dan
mengatasi penculikan atau penguasaan anak di luar negeri
3. Pasal 16, tentang hak anak untuk memperoleh perlindungan
dari gangguan terhadap kehidupan pribadi
4. Pasal 19, tentang kewajiban negara untuk melindungi anak
dari segala bentuk salah perlakuan yang dilakukan oleh orang
tua atau orang lain yang bertanggung jawab atas pengasuhan
mereka;
5. Pasal 20, tentang kewajiban negara untuk memberikan
perlindungan khusus bagi anak-anak yang kehilangan
lingkungan keluarga mereka
6. Pasal 21, tentang adopsi dimana pada negara yang
mengakui adopsi hanya dilakukan untuk kepentingan terbaik
bagi anak
7. Pasal 25, tentang peninjauan secara periodik terhadap anak-
anak yang ditempatkan dalam pengasuhan oleh negara
karena alasan perawatan, perlindungan dan penyembuhan
8. Pasal 32, tentang kewajiban negara untuk melindungi anak-
anak dari keterlibatan dari pekerjaan yang mengancam
kesehatan, pendidikan atau perkembangan mereka
9. Pasal 33, tentang hak anak atas perlindungan dari penyalah
gunaan obat bius dan narkotika serta keterlibatan dari produksi
dan distribusi
10. Pasal 34, tentang hak anak atas perlindungan dari eksploitasi
dan penganiayaan seksual terhadap prostitusi dan keterlibatan
dalam pornografi
11. Pasal 35, tentang kewajiban negara untuk menjajaki segala
upaya guna mencegah penjualan penyelundupan dan
penculikan anak
12. Pasal 36, tentang hak anak atas perlindungan dari semua
bentuk eksploitasi yang belum tercantum dalam pasal 32,pasal
33, pasal 34 dan pasal 35
13. Pasal 37, tentang larangan terhadap penyiksaan, perlakuan
atau hukuman yang kejam, hukuman mati, penjara seumur
hidup, dan penahanan semena-mena atau perampasan
kebebasan terhadap anak
14. Pasal 39, tentang kewajiban negara untuk menjamin agar
anak yang menjadi korban konflik bersenjata, penganiayaan,
penelantaran, salah perlakuan atau eksploitasi, memperoleh

35
perawatan yang layak demi penyembuhan dan re-integrasi
sosial mereka
15. Pasal 40, tentang hak bagi anak-anak yang didakwa ataupun
yang diputuskan telah melakukan pelanggaran untuk tetap
dihargai hak asasinya dan khususnya, untuk menerima manfaat
dari segenap proses hukum atau bantuan hukum lainnya dalam
penyiapan dan pengajuan pembelaan mereka. Prinsip demi
hukum dan penetapainstitusional sedapat mungkin dihindari.

3. Pasal-Pasal mengenai krisis dan keadaan darurat anak

Untuk menjelaskan hak-hak anak atas perlindungan dari

keadaan darurat (energency) dan keadaan kritis (crisis) dapat

dirujuk dalam Pasal-Pasal berikut :

1. Pasal 10, tentang mengembalikan anak dalam kesatuan

keluarga

2. Pasal 22, tentang perlindungan anak dalam pengungsian

3. Pasal 38, tentang konflik bersenjata atau peperangan yang

menimpa anak

4. Pasal 39, tentang perawatan rehabilitasi.

c. Hak untuk tumbuh berkembang (development right)

yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi

segala bentuk pendidikan (formal dan non formal) dan hak untuk

mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental,

spiritual, moral dan sosial anak.41Menurut pasal 28 ayat 1 Konvensi

Hak Anak, yang menyebutkan hak anak untuk mendapatkan

41
Ibid. hal.35

36
pendidikan dan sekaligus memberikan langkah konkret untuk

terselenggaranya hak terhadappendidikan. Secara lengkap pasal 28

ayat 1 berbunyi :

“Negara-negara peserta mengakui hak anak atas pendidikan dan


untuk pencapaian hak ini secara bertahap dan berdasarkan
kesempatan yang merata, mereka akan pada khususnya :
1. Mewajibkan pendidikan dasar dan menyediakannya secara
cuma-cuma bagi semua;
2. Mendorong pengembangan macam-macam bentuk pendidikan
menengah, termasuk pendidikan umum dan kejuruan,
mengadakannya dan membuatnya mudah dijangkau oleh
setiap anak, dan mengambil langkah-langkah yang tepat
seperti mengenalkan pendidikan cuma-cuma dan menawarkan
bantuan keuangan jika diperlukan
3. Membuat pendidikan tinggi mudah dijangkau oleh semua
berdasarkan kemampuan dengan semua cara yang tepat;
4. Membuat informasi dan bimbingan pendidikan dan ketrampilan
tersedia bagi dan dapat diperoleh oleh semua anak;
5. Mengambil langkah-langkah untuk mendorong kehadiran
secara teratur di sekolah dan pengurangan angka putus
sekolah.

Dengan demikian dapat berdasarkan dari bentuknya, dapatlah

dikualifikasi beberapa hak untuk tumbuh kembang (the right to

development) yang terdapat dengan Konvensi Hak Anak, yaitu :

1. Hak untuk memperoleh informasi (the rights to information);


2. Hak untuk memperoleh pendidikan (the rights to education);
3. Hak untuk bermain dan rekreasi (the rights to play to recreation);
4. Hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan budaya (the rights to
participation in cultural activities);
5. Hak untuk kebebasan berfikir, berkarya dan beragama (the rights
to thought and religion);
6. Hak untuk pengembangan kepribadian (the rights to personality
development);
7. Hak untuk memperoleh identitas (the rights to identity);

37
8. Hak untuk memperoleh pengembangan kesehatan dan fisik (the
rights to health and physical development); Hak untuk didengar
pendapatnya (the rights to be hear)
9. Hak atas keluarga (the rights to family).

d. Hak untuk berpartisipasi (participation rights), yaitu hak-hak

anak

Dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi hak anak untuk

menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak

(the rights of a child to express her/his views in alimetters affecting

that child).Dalam Pasal 12 Konvensi Hak Anak diatur bahwa negara

pesertamenjamin hak anak untuk menyatakan pendapat, dan untuk

memperoleh pertimbangan atas pendapatnya itu, dalam segala

halatau prosedur yang menyangkut diri si anak. Selengkapnya pasal

12 Konvensi Hak Anak berbunyi sebagai berikut :

1. Negara-negara peserta akan menjamin anak-anak yang mampu


mengembangkan pandangan-pandangannya, hak untuk
menyatakan pendapat itu secara bebas dalam segala hal yang
berpengaruh pada anak, dan pandangan anak akan
dipertimbangkan secara semestinya seusai usia dan kematangan
anak.
2. Untuk tujuan itu, anak akan diberi kesempatan khusus untuk
didengar dalam setiap tatalaksana hukum dan administrasi yang
bersangkutan dengan diri si anak, baik secara langsung ataupun
melalui seorang wakil atau badan yang memadai, dalam suatu
cara yang sesuai dengan hukum acara perundang-undangan
nasional.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disebutkan beberapa

hak anak atas partisipasi di dalam Konvensi Hak Anak, yang terdiri

atas :

38
a. Hak anak untuk berpendapat dan memperoleh pertimbangan
atas pendapatnya;
b. Hak anak untuk mendapatkan dan mengetahui informasi
serta untuk berekspresi;
c. Hak anak untuk berserikat; dan menjalin hubungan untuk
bergabung;
d. Hak anak untuk memperoleh akses informasi yang layak dan
terlindungi dari informasi yang tidak sehat;
e. Hak anak untuk memperoleh informasi tentang Konvensi Hak
Anak

Selain hak-hak anak yang terdapat dalam konvensi anak di atas,

hak anak juga di atur secara spesifik di dalam Peraturan Pemerintah

Pengganti UURI Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 Tentang

Perubahan Kedua Atas UURI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak.Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa

anak mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam bahasa,

negara, masyarakat maupun keluarga. Anak merupakan tumpuan

harapan masa depan bagi bangsa, negara, masyarakat ataupun

keluarga. Oleh karena kondisinya sebagai anak, maka perlu

perlindungan khusus agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar

baik fisik, mental, dan rohaninya.bergabung dan dengan bebas

mengekspresikan diri sendiri.

Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UURI Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas UURI Nomor 23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, hak-hak anak meliputi:

a. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh,


berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai

39
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapatkan perlindungan dari kekrasan dan diskriminasi
(Pasal 4)
b. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan
status kewarganegaraan (Pasal 5)
c. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya,
berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat
keceradasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua (Pasal
6)
d. Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya,
dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri ( Pasal 7
ayat 1)
e. Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan
dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental,
spiritual, dan sosial (Pasal 8)
f. Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan
pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan
tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya
(Pasal 9 ayat 1)
g. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar
pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan
informasi sesuai tingkat kecerdasan dan usianya demi
pengembangan dirinya sesuia dengan nilai-nilai kesusilaan
dan kepatutan (Pasal 10)
h. Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali,
atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas
pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan
: Diskirminasi; Eksploitasi baik ekonomi maupun seksual;
Penelantaran; Kekejaman; Kekerasan dan penganiayaan;
Ketidakadilan; Perlakuan salah lainnya (Pasal 13 ayat 1)

Selain di atur mengenai hak-hak anak, diatur pula kewajiban anak yaitu

setiap anak berkewajiban untuk menghormati orang tua, wali, guru, mencintai

keluarga, masyarakat, danmenyayangi teman, mencintai tanah air, bangsa

dan negara, menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya dan

melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

40
D. Konsep Korban

Terjadinya suatu tindak pidana dalam masyarakat mengakibatkan

adanya korban tindak pidana dan juga pelaku tindak pidana.Dimana dalam

terjadinya suatu tindak pidana ini tentunya yang sangat dirugikan adalah

korban dari tindak pidana tersebut.Ada beberapa pengertian mengenai

korban, pengertian ini diambil dari beberapa penjelasan mengeni korban.

Secara luas, pengertian korban diartikan bukan hanya sekedar

korban yang menderita langsung, akan tetapi korban tidak langsung pun

juga mengalami penderitaan yang dapat diklarifikasikan sebagai korban.

Yang dimaksud korban tidak langsung di sini seperti, istri kehilangan

suami, anak yang kehilangan bapak, orang tua yang kehilangan anaknya,

dan lainnya.42

Berbagai pengertian korban banyak dikemukakan baik oleh para ahli

maupun bersumber dari konvensi-konvensi internasional yang membahas

mengenai korban, sebagian diantaranya sebagai berikut:

a. Menurut Arif Gosita, korban adalah mereka yang menderita


jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang
mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang
bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang di
rugikan43.
b. Romli Atmasasmita, korban adalah orang yang disakiti dan
penderitaannya itu diabaikan oleh Negara. Sementara korban

42Dikdik M. Arief Mansur & Elisatri Gultom, Urgensi Perlindungan


Korban Kejahatan Antara Norma Dan Realita, Raja Grafindo, Jakarta. 2008. hal. 39
43Arif Gosita ,masalah korban kejahatan . Akademika Pressindo. Jakarta, 1993, hal

63

41
telah berusaha untuk menuntut dan menghukum pelaku kekerasan
tersebut44
c. Muladi, korban (victim) adalah orang-orang yang baik secara
individu maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk
kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan
substansial terhadap hak- haknya yang fundamental melalui
perbuatn atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-
masing Negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.45
d. UURINomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan
dalam rumah tangga Korban adalah orang yang mengalami
kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah
tangga
e. UURINomor 27 tahun 2004 tentang komisi kebenaran dan
rekonsiliasi, Korban adalah perseorangan atau kelompok orang
yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun,
emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian,
pengurungan, atau perampasan hak-hak dasarnya sebagai akibat
pelannggaran hak asasi manusia berat, termasuk korban ahli
warisnya.
f. Pasal 1 ayat (3) UURI Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis,
mental,fisik,seksual,ekonomi,dan/atausosial,yang diakibatkan
tindak pidana perdagangan orang.
g. Pasal 1 ayat (3) UURI Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas UURI Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi
Dan Korbanadalahorangyangmengalami penderitaan fisik, mental,
dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak
pidana.

Dengan mengacu pada pengertian-pengertian korban di atas, dapat

dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang orang-perorangan

atau kelompok yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan-

perbuatan yang menimbulkan kerugian/ penderitaan bagi diri/

kelompoknya, bahkan lebih luas lagi termasuk di dalamnya keluarga dekat

44Romli Atmasasmita, masalah santunan korban kejahatan. BPHN. Jakarta hlm 9


45Muladi, Ham dalam Persepektif Sistem Peradilan Pidana,Bandung, Refika
Aditama.2005, hal.108

42
atau tanggungan langsung dari korban dan orang-orang yang mengalami

kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaanya.

Mengenai kerugian korban menurut Rika Saraswati, mengemukakan

bahwa kerugian korban yang harus diperhitungkan tidak harus selalu

berasal dari kerugian karena menjadi korban kejahatan, tetapi kerugian

atas terjadinya pelanggaran atau kerugian yang ditimbulkan karena tidak

dilakukanya suatu pekerjaan. Walapun yng disebut terakhir lebih banyak

merupakan persoalan perdata, pihak yang dirugikan tetap saja termasuk

dalam kategori korban karena ia mengalami kerugian baik secara materiil

maupun secara mental.

Menurut Mendelsohn, berdasarkan derajat kesalahannya korban

dibedakan menjadi lima macam, yaitu:

a. Yang sama sekali tidak bersalah;


b. Yang jadi korban karena kelalaiannya;
c. Yang sama salahnya dengan pelaku;
d. Yang lebih bersalah dari pelaku;
e. Yang korban adalah satu-satunya yang bersalah (dalam hal ini
pelaku dibebaskan)46

Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya

kejahatan, Ezzat Abde Fattah menyebutkan beberapa tipologi korban,

yaitu:

a. Nonparticipating victims adalah mereka yang menyangkal/menolak


kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam
penanggulangan kejahatan;

46Ibid. hal 52

43
b. Latent or predisposed victims adalah mereka yang mempunyai
karakter tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu;
c. Propocative victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan
atau pemicu kejahatan;
d. Participating victims adalah mereka yang tidak menyadari atau
memiliki perilaku lain sehingga memudahkan dirinya menjadi
korban;
e. False victims adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya
sendiri47

Sedangkan apabila dilihat dari presfektif tanggung jawab Menurut

Stephen Schafer.korban itu sendiri mengenal 7 (tujuh) bentuk, yakni

sebagai berikut:

1. Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan


si pelaku dan menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu,
dari aspek tanggung jawab sepenuhnya berada dipihak korban;
2. Provocative victimsmerupakan korban yang disebabkan peranan
korban untuk memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek
tanggung jawab terletak pada diri korban dan pelaku secara
bersama-sama;
3. Participating victimshakikatnya perbuatan korban tidak disadari
dapat mendorong pelaku melakukan kejahatan. Misalnya,
mengambil uang di Bank dalam jumlah besar yang tanpa
pengawalan, kemudian di bungkus dengan tas plastik sehingga
mendorong orang untuk merampasnya. Aspek ini
pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pelaku;
4. Biologically weak victim adalah kejahatan disebabkan adanya
keadaan fisik korban seperti wanita, anak-anak, dan manusia
lanjut usia (manula) merupakan potensial korban kejahatan.
Ditinjau dari aspek pertanggungjawabannya terletak pada
masyarakat atau pemerintah setempat karena tidak dapat
memberi perlindungan kepada korban yang tidak berdaya;
5. Social weak victimsadalah korban yang tidak diperhatikan oleh
masyarakat bersangkutan seperti para gelandangan dengan
kedudukan sosial yang lemah. Untuk itu, pertanggungjawabannya
secara penuh terletak pada penjahat atau masyarakat;
6. Selfvictimizing victimsadalah korban kejahatan yang dilakukan
sendiri (korban semu) atau kejahatan tanpa korban. Pertanggung

47Taufik Makarao, Tindak Pidana Narkotika . Ghalia Indonesia . Jakarta: 2005, hal.17

44
jawabannya sepenuhnya terletak pada korban karena sekaligus
sebagai pelaku kejahatan;
7. Political victimsadalah korban karena lawan politiknya. Secara
sosiologis, korban ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kecuali
adanya perubahan konstelasi politik.48

Dilihat dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana, Stephen

scafer mengemukakan pada prinsipnya terdapat empat tipe korban, yaitu

sebagai berikut.

a. Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, tetapi tetap

mejadi korban (untuk tipe ini,kesalahan ada pada pelaku).

b. Korban secra sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu

yang merangsang orang lain untul melakukan kejahatan (untuk

tipe ini, korban dinyatakan turut mempunyai andil dalam terjadinya

kejahatan sehingga kesalahan terletak pada pelaku dan korban).

c. Mereka yang secra biologis dan sosial potensial menjadi

korban,anak-anak, orang tua, orang yang cacat fisik atau mental,

orang miskin, golongan minoritas, dan sebagainya merupakan

orang-orang yang mudah menjadi korban. Korban dalam hal ini

tidak dapat disalahkan,tetapi masyarakatlah yang harus

bertanggung jawab.

d. Korban karena ia sendiri meripakan pelaku,inilah yang dikatakan

sebagai kejahatan tanpa korban. Pelacuran, perjudian, zina,

merupakan beberapa kejahtab yang tergolong kejahatan tanpa

48Ibid. hal 162

45
korban. Pihak yang bersalah adalah korban karena ia juga sebagai

pelaku.49

Guna memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat dalam

beraktivitas,tentunya kejahatan-kejahatan ini perlu di tanggulangi baik

melalui pendekatan yang sifatnya preemptif,preventif maupun represif, dan

semuanya harus ditangani secara profesional serta oleh suatu lembaga

yang berkompeten.

Bekaitan dengan korban kejahatan, perlu di bentuk suatu lembaga

yang khusus menanganinya. Namun, pertama-tama perlu disampaikan

terlebih dahulu suatu informasi yang memadai mengenai hak-hak apa saja

yang dimiliki oleh korbandan keluarganya, apabila di kemudian hari

mengalami kerugian atau penderitaansebagai akibat dari kejahatan yang

menimpa dirinya.

Hak merupakan sesuatu yang bersifat pilihan (optional), artinya bisa

diterima oleh pelaku bisa juga tidak, tergantung kondisi yang memengaruhi

korban baik yang sifatnya internal maupun eksternal. Tidak jarang

ditemukan seseorang yang mengalami penderitaan ( fisik, mental, atau

materiil) akibat suatu tindak pidana yang menimpa dirinya, tidak

mempergunakan hak-hak yang seharusnya dia terima karena berbagai

alasan, misalnya perasaan takut kemudian hari masyarakat menjadi tahu

49C. maya indah S.Perlindungan korban suatu persepektif viktimologi dan


kriminologi,Kencana,Jakarta, 2014, hal.35

46
kejadian yang menimpa dirinya ( karena kejadian ini merupakan aib bagi

dirinya maupun keluarganya) sehingga lebih baik korban

menyembunyikannya atau korban menolak untuk mengajukan ganti

kerugian karena dikhawatirkan prosesnya akanmenjadi semakin panjang

dan berlarut-larut yang dapat berkibat pada timbulnya penderitaan yang

berkepanjangan, namun tidak sedikit korban atau

keluarganyamempergunakan hak-hak yang telah disediakan.

Ada beberapa hak umum yang di sediakan bagi korban atau

keluarga korban kejahatan, yang meliputi :

a. Hak untuk memperoleh ganti kerugian atas penderitaan yang


dialaminya. Pemberian ganti kerugian ini dapat diberikan oleh
pelaku atau pihak lainnya, seperti Negara atau lembaga khusus
yang di bentuk untuk menangani masalah gant kerugian korban
kejahatan.
b. Hak untuk memperoleh pembinaan dan rehabilitasi
c. Hak untuk memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku
d. Hak untuk memperoleh bantuan hukum
e. Hak untuk memperoleh kemBali hak ( harta) miliknya
f. Hak untuk memperoleh akses atas pelayanan medis
g. Hak untuk diberitahu bila pelaku kejahatan akan dikeluarkan
sementara, atau,bila pelaku buron dari tahanan
h. Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi
berkaitan dengan kejahatan yang menimpa korban
i. Hak atas kebebasan pribadi/kerahasiaan pribadi, seperti
merahasiakan nomor telepon atau identitas korban lainnya.
Berdasarkan Pasal 10 dari UURI Nomor 23 tahun 2004 tentang

penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (selanjutnya disingkat

KDRT) , korban berhak mendapatkan:

a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan,

pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainhya baik

47
sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan

dari pengadilan

b. Pelayan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis

c. Penanganan secara khusus dengan kerahasiaan korban

d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada

setiap tingkat

e. proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan

f. Pelayanan bimbingan rohani

Deklarasi perserikatan bangsa-bangsa No. 40/a/res/34/tahun 1985

juga telah menetapkan beberapa hak korban ( saksi ) agar lebih mudah

memperoleh akses keadilan,khusunya dalam proses peradilan, yaitu:

a. Compassion,respect and recognition

b. Receive information and explaintion about the progress the case

c. Provide information

d. Providing proper assistance

e. Protection of privacy and physical safety

f. Restitution an compensation

g. To accses ti the mechanism of justice system

Sekalipun hak-hak korban kejahatan telah tersedia secra memadai,

mulai dari hak atas bantuan keuangan ( financial) hingga hak atas

pelayanan medis dan bantuan hukum, tidak berarti kewajiban dari korban

48
kejahatan diabaikan eksistitensinya karena melalui peran korban dan

keluarganya diharapkan penanggulangan kejahatan dapat dicapai secara

signifikan.

Untuk itu, ada beberapa kewajiban umum dari korban kejahatan,

antara lain:

a. Kewajiban untuk tidak melakukan upaya main hakim sendiri/balas

dendam terhadap pelaku ( tindakan pembalasan)

b. Kewajiban untuk mengupayakan pencegahan dari kemungkinan

terulangnya tindak pidana

c. Kewajiban untuk memberikan informasi yang memadai mengenai

terjadinya kejahatan kepada pihak yang berwenang

d. Kewajiban untuk tidak mengajukan tuntutan yang terlalu

berlebihan pada pelaku

e. Kewajiban untuk menjadi saksi atas suatu kejahatan yang

menimpa dirinya, sepanjang tidak membahayakan bagi korban

dan keluarganya

f. Kewajiban untuk membantu berbagai pihak yang berkepentingan

dalam upaya penanggulan kejahatan

g. Kewajiban untuk bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk

tidak menjadi korban lagi.

49
Korban tidak saja dipahami sebagai obyek dari suatu kejahatan tetapi

juga harus dipahami sebagai subyek yang perlu mendapat perlindungan

secara sosial dan hukum.

E. Pengertian Umum Tentang Kejahatan Kekerasan seksual

Salah satu bentuk kejahatan kekerasan terhadap anak-anak adalah

kejahatan kekerasan seksual yang dilakukan orang dewasa.Kekerasan

seksual yang dilakukan orang dewasa adalah manusia dewasayang

memiliki perilaku seksual menyimpang dengan anak-anak yang biasa

disebut Pedofilia.Kata itu berasal dari bahasa Yunani, paedo (anak) dan

philia (cinta).50Menurut kamus besar bahasa Indonesia kekerasan seksual

adalah orang yang mempunyai selera seksual terhadap anak51. Penderita

kekerasan seksual memiliki perilaku menyimpang dimana ia memilih anak-

anak di bawah umur sebagai obyek pemuasan kebutuhan seksualnya.

Istilah pedofilia pertama kali disebutkan oleh seorang psikoterapis

bernama Wilhelm Stekel dalam bukunya yang berjudul Sexual Aberation

tahun 1925.52. Menurut Marzuki Umar Saba’ah pedofil adalah “Penyakit

kejiwaan dimana seseorang mempunyai penyimpangan seksual, yakni

mempunyai kecenderungan seksual terhadap anak”53. Para pelaku

50
Evy Rachmawati, Sisi Kelam Pariwisata di Pulau Dewata,
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0509/28/humaniora/2083218.htm.
51
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, 2011.hal.456
52 Kartono Kartini, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, Bandung, Mandar

Maju, 2009. Hal 12


53Marzuki Umar Saba’ah, Seks dan Kita, Jakarta, Gema Insani Press, 1997.hal 157

50
kekerasan seksual seringkali menandakan ketidakmampuan berhubungan

dengan sesama dewasa sehingga mencari anak-anak sebagai

pelampiasannya.Kebanyakan penderita kekerasan seksual adalah korban

pelecehan seksual pada masa kanak-kanaknya.

Menurut Ron O’grady kekerasan seksual mempunyai beberapa

karakteristikmengemukakan tiga ciri ekstrem kekerasan seksualyaitu54:

1. Kekerasan seksual Bersifat Obsesif, di mana perilaku menyimpang ini


menguasai hampir semua aspek kehidupan pelakunya, dari pekerjaan,
hobi, bacaan, pakaian, bahkan sampai desain rumah dan perabotan
2. Kekerasan seksual Bersifat Predatori, dalam arti pelakunya akan
berupaya sekuat tenaga dengan beragam upaya untuk memburu
korban yang diinginkan.
3. Pelaku kekerasan seksual cenderung menyimpan dokumentasi
korbannya dengan rapi, seperti foto, video dan hal-hal yang
berhubungan dengan korban.

Aktivitas seks yang dilakukan oleh pelaku kekerasan seksual sangat

bervariasi, mulai dari menelanjangi anak, memamerkan tubuh pada anak-

anak, melakukan masturbasi dengan anak dan bersenggama dengan

anak. Jenis aktivitas seksual lain yang dilakukan jugabervariasi, termasuk

stimulasi oral pada anak, penetrasi pada mulut anak, vagina atau anus

dengan jari, benda asing atau alat kelamin laki-laki. Korban dari

penganiayaan seks biasanya diancam untuk tidak membeberkan

rahasia.Orang dengan kekerasan seksual sebelumnya melakukan

pendekatan dengan anak, dengan memberikan fasilitas dan iming-iming

54Anonim.Child Molestation ( Pencabulan Pada Anak ).


http://www.infoanak.com/search/pencabulan >

51
uang agar anak tersebut percaya, setia dan menyayangi pelaku, sehingga

anak tersebut dapat menjamin rahasia atas tindakannya.

Ada beberapa ciri-ciri seorang pedofil secara umum akan uraikan

sebagai berikut :55

1. Terlalu Obsesif
Seorang pedofil cenderung memiliki sifat obsesif yang
berlebihan.Ia akan terus mengejar sasaran yang telah ditentukannya
dan tidak akan berhenti sebelum sasaran itu tercapai. Sasaran disini
berupa anak-anak yang memang dijadikan sebagai objek pelampiasan
hasrat seksual para kekerasan seksual.Contoh kasusnya bisa dilihat
dari pengakuan Emon (tersangka kekerasan seksual yang baru-baru ini
tertangkap).Pengakuan Emon ini diungkapkan oleh Ketua Komnas
Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait yang mengemukakan bahwa
“Biasanya mereka (pedofil) memiliki sifat obsesif.Ia akan terus mengejar
sasaran yang telah ditentukan. Biasanya menyasar satu anak tertentu.
Ia akan berusaha mendapatkannya sampai dapat, layaknya pacar,"
2. Bersifat Layaknya Predator
Ciri kedua yang dimiliki seorang pedofil adalah sifat layaknya
predator yang memangsa siapapun anak yang ada di depan matanya.
Contoh kasusnya seperti penjelasan Ketua Komnas Perlindungan Anak
dibawah ini.“Seperti Emon ini. Ia itu pengakuannya setiap ada anak
yang masuk ke kolam renang (Lio Santa) akan dia sergap. Walaupun
pengakuannya tidak semua diperlakukan secara kasar, tapi ada juga
yang sekadar dipegang bahunya,”
3. Bersifat Agresif
Seorang pedofil biasanya memiliki sifat agresif yang tinggi.Ia tidak
segan melakukan apa saja demi mendapatkan anak incarannya,
bahkan dengan kekerasan sekalipun. Ciri yang satu ini ditegaskan
dengan argumen Wakapolda Jabar, Brigjen Pol Ricko Amelza Dahniel.
“Mereka (pedofil) ini memiliki ciri-ciri khusus, seperti memiliki sifat
agresif dan introvert. Hal ini perlu diketahui bukan hanya oleh orangtua,
tapi juga dikenalkan sejak dini terhadap anak-anak,”
4. Introvert
Ciri yang terakhir adalah sifat introvert. Introvert itu artinya suka
menyendiri dan terkesan tertutup dari kehidupan sosial. Namun perlu
digaris bawahi bahwa tidak semua orang yang memiliki sifat introvert

55Hendra Akhdhiat dan Rosleny Marliani, Psikologi Hukum, CV Pustaka Setia,


Bandung, 2011, hal 122

52
bisa dikatakan sebagai pedofil. Seorang intorvert itu belum tentu pedofil,
namun seorang pedofil umumnya memiliki sifat introvert.
5. Lihai Dalam Merayu Anak
Menurut Psikolog yang juga dosen Bimbingan Konseling FKIP
Universitas Lampung Shinta Mayasari, pedofil merasa lebih mampu
berinteraksi dengan anak-anak.Mereka umumnya bukan orang asing
bagi anak karena punya akses untuk berinteraksi secara intensif. Pedofil
memiliki pengalaman untuk mengamati anak-anak yang rapuh,yang
terlihat pendiam, pasif, senang menyendiri. Mereka akan mendekati
anak-anak ini dengan memberi perhatian, kasih sayang, bahkan hadiah
untukmendapatkan kepercayaan. Pelan-pelan mulai mengajarkan anak
tentang seksseperti memperlihatkan gambar, bermain peran sebagai
pasangan, menyentuh secara halus terlebih dahulu, dan
seterusnya.Sehingga, anak-anak tidak menyadari bahwa merrka
sedang dilecehkan secara seksual.

Dilihat dari jenisnya, pedophilia ada dua macam, yaitu:

1. Pedophilia Heteroseksual, merupakan kelainan seksual orang

dewasa terhadap anak dibawah umur, yang dalam pelampiasan

nafsunya ditujukan pada jenis kelamin yang berbeda.

2. Pedophilia Homoseksual, yaitu memanipulir anak laki-laki sebagai

obyek pemuasan hasrat seksualnya.

Secara singkat Robert G Mayer dan Paul Salmon membedakan

beberapa tipe kekerasan seksual yaitu “Tipe pertama adalah mereka yang

memiliki perasaan tidak mampu secara seksual, khususnya bila

berhadapan dengan wanita dewasa. Tipe kedua adalah mereka yang

mempunyai perhatian khusus terhadap ukuran alat vitalnya” 56

Secara umum kekerasan seksual digunakan sebagai istilah untuk

menerangkan salah satu lainan perkembangan psikoseksual terhadap

56
Muhammad Asnawi, Liku-Liku Seks Menyimpang, Nuansa Cendekia, 2012.hal 95

53
individu yang memiliki hasrat erotis abnormal terhadap anak-

anak57.Keintiman seksual dicapai melalui manipulasi alat genital anak-

anak atau melakukan penetrasi penis sebagian atau keseluruhan terhadap

alat genital anak.Sering juga anak-anak dipaksakan melakukan relasi oral

genital atau anal genital.Perilaku seksual yang melibatkan anak-anak baik

untuk tujuan memuaskan hasrat diri sendiri maupun komersal, dapat

memberikan pengaruh negative bagi perkembangan jiwa anak sehingga

anak tersebut memiliki pandangan yang menyimpang mengenai hal yang

berhubungan dengan seks dikarekan pengalaman yang dialaminya.

Kejadian-kejadian demikian dapat pula terjadi dilingkungan keluarga,

berpedoman pada penelitian yang di lakukan di Amerika Seerikat oleh

Donleary dan Goodwin yang menyebutkan bahwa tindakan tersebut

banyak dilakukan oleh ayah (31%), selebihnya oleh laki-laki lain (19%),

kakek (10%), baby sister (7%), paman (5%), teman laki-laki ibu (5%),

sepupu (4,5%), kakek (4%), anak lain (3,5%) dan lain-lain (2%)58.

Diantara kasus yang ada, pelaku pedofil banyak yang sudah memiliki

keluarga sebagai salah satu bentuk kamuflase yang dilakukan untuk

menutupi kelainan psikoseksualnya. Dengan memanfaatkan kepolosan

anak-anak, para pelaku kejahatan kekerasan seksual mendekati

57Sawatri Supardi S, Bunga Rampai Kasus Gangguan Psikoseksual, Rafika Aditama,


Bandung, 2005.hal 71
58 Mardjono Reksodiputo, Arti da LIngkup Masalah Perlindungan Anak, Jurusan

Kriminologi FISIP-UI, Jakarta 1999, hal 95

54
korbannya dengan menjadi teman atau pendamping yang baik bagi anak

bahkan kebanyakan pedofil bekerja disebuah sekolah atau daerah lain

yang melibatkan anak-anak sebagai upaya untuk lebih dekat dengan calon

korban. Selain itu upaya lain untuk memuaskan gairah seksualnya adalah

dengan membujuk anak-anak atau korban dengan hal yang bisa menarik

perhatian sehingga ia mau menuruti apa yang di inginkan oleh pelaku

bahkan tidak jarangg penderita kekerasan seksual memaksa dengan

ancaman terhadap anak-anak di bawah umur untuk mendapatkan

kesenangan seksual.

Kejahatan seksual ini merupakan salah satu bentuk kejahatan yang

melecehkan dan menodai harkat kemanusiaan serta patut dikategorikan

sebagai jenis kejahatan melawan manusia (crime against humanity).Perlu

diketahui misalnya dalam perspektif masyarakat pada lazimnya bahwa

kejahatan seksual (sexual crime) itu bermacam-macam seperti

perzinahan, homo seksual, kumpul kebo, lesbian, prostitusi, pencabulan,

perkosaan. Namun dengamikain, perkembangan hak asasi mansia lebih

menitik beratkan pada menikmati seks merupakan hak (right) orang

dewasa sehingga hubungan seks yang dilakukan tanpa paksaan

disebagian Negara merupakan hal yang dianggap wajar.

55
F. Peraturan Perlindungan Hukum Anak Di Indonesia

Perlindungan anak, adalah suatu usaha yang mengadakan kondisi

dimana setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Adapun

perlindungan anak merupakan perwujudan adanya kedilan dalam suatu

masyarakat, dengan demikian maka perlindungan anak harus diusahakan

dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Seiring

dengan berkembangnya zaman, kecanggihan teknologi semakin canggih.

Hal ini dibuktikan dengan banyaknya anak zaman sekarang yang memilih

gadget sebagai teman bermain daripada mereka harus berpanas-panasan

keluar rumah untuk bermain dengan teman sebayanya sehingga anak

zaman sekarang lebih memilih main didalam rumah Selain faktor gadget,

faktor dari orang tua juga mempengaruhi perilaku anak. Anak terkadang

merasa terabaikan oleh orang tua mereka, sehingga anak tersebut

mencari kebebasan yang mereka inginkan yang membuat anak tersebut

untuk melakukan kejahatan, kejahatan yang dimaksud disini merupakan

kejahatantindak pidana.

Menyinggung mengenai kejahatan seksual, sekarang ini kejahatan

seksual terhadap anak-anak marak terjadi dimana-mana sehingga

menimbulkan kekawatiran yang lebih terhadap orang tua yang memiliki

anak terutama anak perempuan. Kasus pelecehan seksual yang dialami

oleh anak dapat mengakibatkan kerugian baik jagka pendek dan jangka

panjang,dampak yang dialami anak korban kekerasan seksual diantaranya

56
psikologis, emosional, gangguan setres pasca trauma. Kekerasan seksual

terhadap anak justru dilakukan oleh orang-orang terdekat. Berdasarkan

data Komnas Perlindungan Anak (KPA), laporan kekerasan terhadap anak

pada tahun 2015 sebanyak 339 kasus kekerasan terhadap anak yang

terjadi dibulan januari sampai mei. Kasus tersebut 50% diantaranya adalah

kasus kekserasan seksual pada anak.

Peraturan tindak pidana kejahatan seksual diatur dalam beberapa

pasal dakwaan terhadap bentuk-bentuk tindak pelecehan seksual anak

dibawah umur, baik itu pemerkosaan maupun pencabulan. Pasal tersubut

terdapat dalam UURI Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah

dalam UURI nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Pasal

yang didakwakan biasanya Pasal 76 E jo Pasal 82 (1) UURI Nomor 35

Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UURI Nomor 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak, Pasal 76 D jo Pasal 81 (2) UURI Nomor 35

Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UURI Nomor 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak, Pasal 76 D jo Pasal 81 ayat (1) UURI Nomor

35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UURI Nomor 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak, dan Pasal 76 E jo Pasal 82 (1) Unda-Undang

Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UURI Nomor 23 Tahun

2002 Tentang Perlindungan Anak.

Keberadaan UURI Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana telah

diubah dalam UURI Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

57
merupakan alat hukum yang mampu melindungi anak dalam berbagai

tindak pidana khususnya pelecehan seksual terhadap anak. UURI ini

menyatakan bahwa kekerasan seksual terhadap anak merupakan tindak

pidana sehingga pelaku dapat diajukan ke kepolisian atas pendampingan

pihak terkait. Secara khusus perlindungan anak sebagai korban pelecehan

seksual telah diatur dalam UURI nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana telah

diaubah dalam UURI nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak,

berarti anak sebagai korban tindak pidana pelecehan seksual berhak

mendapatkan bantuan hukum dan disembunyikan identitiasnya. Selain dua

hal yang disebutkan, ada pasal yang lain menjelaskan bukan hanya

bantuan hukum dna identitas disembunyikan teatapi ada upaya edukasi

tentang nilai kesusilaan, rehabilitasi sosial, pendamipingan psikososial

pada saat pengobatan serta pendampingan sampai ditingkat pengadilan,

agar kondisi anak tersebut tidak mengalami trauma psikis yang

berkepanjangan. Kebanyakan masyarakat tidak memperdulikan pemulihan

kembali masalah fisik dan mental anak, biasanya yang masyarakt sorot

permasalahnnya adalah seberapa lama pelaku tersebut memperoleh

hukuman.

Keejahatan seksual pada sebagai korban juga disebutkan dalam

UURI 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga. Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan

terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibattimbulnya

58
kesengsaraan atau penderitaan secara !isik, seksual, psikologis, dan;atau

penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan

perbuatan, pemaksaan,atau perampasan kemerdekaan secara melawan

hukum dalam lingkup rumah tangga. Pasal 5 : UURI 23 tahun 2004

tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga disebutkan

bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalamrumah tangga

terhadap orang dalam ruang lingkup rumah tangganya. Namun tidak

kemungkinan yang menjadi korban eksplotasi adalah anak.59

G. Kerangka Pikir

Berdasarkan latar belakang dan telaah literatur yang telah

dikemukakan di atas, telah nampak bahwa pentingnya perlindungan

terhadap anak sebagai korban kejahatan kekerasan seksual, hal

disebabkan karena anak adalah masa depan bangsa dan generasi

penerus cita-cita bangsa sehingga setiap anak berhak atas

kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta

berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta

hak sipil dan kebebasan.

Berdasarkan laporan yang masuk ke Komisi Nasional Perlindungan

Anak setiap hari, 60 persen merupakan kejahatan seksual terhadap

anak.Hal ini tentu menjadi ancaman bagi dunia anak.Perilaku kekerasan

seksual tidak selalu ditujukan pada sesama jenis (umumnya oleh pria

59
Undang-undang 23 tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan Dalam Rumah tangga.

59
dewasa terhadap anak laki), tapi bisa juga dilakukan terhadap lawan

jenis.Anak sering menjadi korban kekerasan seksual karena mereka

secara sosial kedudukannya lemah, mudah diperdaya (ditipu), mudah

dipaksa dan takut untuk melapor kepada orangtuanya kendati telah

berkali-kali menjadi korban.Oleh karenanya ketika anak menjadi korban

kejahatan kekerasan seksual, Negara harus memberikan perlindungan

hukum kepada anak melalui berbagai peraturan perundang–undangan.

Masalah perlindungan hukum bagi anak merupakan salah satu cara

melindungi tunas bangsa di masa depan. Perlindungan ini perlu karena

anak merupakan bagian masyarakat yang mempunyai keterbatasan

secara fisik dan mentaln ya.Oleh karena itu anak memerlukan perlindungan

dan perawatan secara khusus.Perhatian terhadap permasalahan

perlindungan anak sebagai objek kejahatan telah dibahas dalam beberapa

pertemuan berskala internasional yang antara lain Deklarasi Jenewa

tentang Hak-hak Anak tahun 1924 yang diakui dalam Universal

Declaration of Human Rights tahun 1948. Kemudian pada tanggal 20

November 1958 Majelis Umum PBB mengesahkan Declaration of the

Rights of the Child (Deklarasi Hak-Hak Anak).

Sebagai instrumen untuk mengatur dan menjadi pedoman secara

khusus dalam memberikan perlindungan anak kemudian lahirlah UURI

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pelindungan Anak.UURI ini lahir untuk

memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-hak anak serta adanya

60
perlakuan tanpa diskriminasi, sehingga anak mendapatkan kesempatan

seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik,

mental maupun sosial dan berakhlak mulia.

Secara konseptual dari judul penelitian penulis yaitu “Perlindungan

Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Kejahatan Kekerasan Seksual

Menurut Hukum Perlindungan Anak”. Pemerintah dalam hal penegakan

hukum terhadap pelaku kejahatan kekerasan seksual dilandasi peraturan

perundang-undangan yaitu KUHPidana dan Peraturan Pemerintah

Pengganti UURI Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas

UURI Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak.

Untuk mewujudkan variable tersebut dapat lebih bermakna atau

mempunyai variasi nilai sehingga penulis menguraikan indikator-indikator

dari masing-masing variabel tersebut dalam bentuk sistimatika (gambar)

kerangka pikir seperti gambar berikut ini :

61
BAGAN KERANGKA PIKIR

Perlindungan hukum bagi anak sebagai


korban kejahatan kekerasan seksual

Perlindungan Hukum bagi anak Kendala dalam Perlindungan Hukum


korban kejahatan kekerasan seksual bagi anak korban kejahatan kekerasan
- Bantuan Hukum seksual
- Rehabilitasi
- Pencegahan - Substansi Hukum
- Struktur Hukum
- Kultur Hukum
- Sarana dan Prasarana

Terwujudnya Perlindungan
Hukum atas Anak yang
Optimal

62
H. Definisi Operasional

Ada beberapa istilah dalam penelitian ini yang dipandang perlu

diberikan defenisi operasional yaitu :

1. Perlindungan Hukum adalah perlindungan terhadap hak asasi

manusia agar tidak menjadi korban kejahatan kekerasan seksual.

2. Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas)

tahun.

3. Korban adalah seseorang yang menderita kerugian baik materil

maupun kerugian fisik dan memerlukan waktu yang lama untuk

mengembalikan keadaannya seperti semula.

4. Kekerasan seksual adalah salah satu bentuk kekerasan yang

berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

psikis, dan seksual.

5. Bantuan hukum adalah jasa memberi bantuan dengan bertindak

sebagai pembela dari seseorang yang tersangkut dalam perkara

pidana maupun sebagai kuasa dalam perkara perdata atau tata

usaha negara di muka Pengadilan (litigation) dan atau memberi

nasehat diluar Pengadilan (non litigation).

6. Rehabilitasi adalah sebuah kegiatan ataupun proses untuk

membantu para penderita yang mempunyai penyakit serius atau

cacat yang memerlukan pengobatan medis untuk mencapai

kemampuan fisik, psikologis, dan sosial yang maksimal`

63
7. Pengawasan adalah proses dalam menetapkan ukuran kinerja kerja

dan pengambilan tindakan yang dapat mendukung pencapaian hasll

yang diharapkan sesuai dengan kinerja yang telah dicapai tersebut.

8. Pencegahan adalah proses atau cara untuk mencegah agar kejadian

yang serupa tidak terjadi kembali`

9. Substansi hukum adalah menyangkut peraturan Perundang-

undangan yang berlaku yang memiliki kekuatan mengikat dan

menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum.

10. Struktur Hukum adalah Pola yang menunjukkan tentang bagaimana

hukum dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya.

11. Kultur Hukum adalah sikap manusia (termasuk budaya hukum aparat

penegak hukumnya) terhadap hukum dan sistem hukum.

12. Sarana dan Prasarana adalah segala sesuatu yang dapat dipakai

sebagai alat dalam mencapai maksud atau tujuan, sedangkan

prasarana adalah segala sesuatu yang merupakan penunjang utama

terselenggaranya suatu proses (usaha, pembangunan, proyek).

13. Optimal adalah suatu proses untuk mencapai hasil yang ideal.

64
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis dan sifat Penelitian

Penelitian yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah penelitian

hukum empiris, yang akan mengkaji dan menganalisis perlindungan

hukum bagi anak korban kejahatan kekerasan seksual. Tipe penelitian ini

meliputi kajian yang memandang hukum sebagai kenyataan, mencakup

kenyataan sosial, kenyataan kultur dan lain-lain.

Penelitan ini juga berbasis pada analisis norma hukum dalam

peraturan perundang-undangan serta pendapat hukum para ahli dalam

berbagai literatul dan buku hukum terkait perlindungan anak. Selanjutnya

peneliian ini bersifat deskriptif yaitu dengan menjelaskan, menguarikan

dan menggambarkan permasalahan serta penyelesaian masalah.

B. Lokasi Penelitian

Guna memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan maka

penelitian dilakukan di Kota Makassar karena data dan informasi tersebut

didapatkan di Kota Makassar dan karena pertimbangan bahwa tingkat

kejahatan di Kota Makassar terutama anak sebagai korban kejahatan

kekerasan seksual meningkat dari tahun ke tahun. Adapun tempat

penelitian ini adalah perpustakaan fakultas hukum Universitas

Hasanuddin, perpustakaan pusat Universitas Hasanuddin serta di

Polrestabes Kota Makassar.

65
C. Jenis dan Sumber Data

Data merupakan sekumpulan informasi yang dibutuhkan dalam

pelaksanaan suatu penelitian yang berasal dari berrbagai sumber .

berdasarkan sumbernya, data terdiri dari data lapangan dan data

kepustakaan, jenis sumber data primer dan data sekunder.

1. Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari :

a. Data lapangan, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari

lapangan penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan

narasumber terkait.

b. Data kepustakaan, yaitu data yang diperoleh dai berbagai sumber

atau bahan kepustakaan seperti buku-buku hukum, junal, artikel

atau hasil penelitian dan literatul lainnya yang sesuai dengan

permasalahan dalam penelitian.

2. Jenisi data yang digunakan untuk memecahkan masalah sebagaimana

yang telah dirumuskan dalam penelitian hukum ini adalah bersumber

dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum

tertier.

a. Bahan hukum primer (primary law material) terdiri dari peraturan

perundang-undangan dan yurisprudensi. Adapun bahan hukum

primer yang digunakan terkait dengan lingkup permasalahan

adalah sebagai berikut :

1) UURI Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

66
2) Kitab UURI Hukum Pidana

3)Peraturan Pemerintah Pengganti UURI Nomor 1 tahun 2016

tentang perubahan kedua atas UURI Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak

4) UURI Nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan

Korban

b. Bahan hukum sekunder (secondary law material) yang digunakan

dalam penelitian hukum umumnya adalah seperti buku-buku teks

ilmu hukum dan jurnalilmiah terpublikasi. Adapun bahan hukum

sekunder yang digunakan dalam penelitian hukum normatif ini

antara lain berupa : buku-buku, maupun literature literatur,

termasuk literatur asing yang memuat teori-teori hukum, asas-

asas, dan konsep hukum yang dipandang relevan dengan

permasalahan yang diteliti untuk dikutip dan menjadi landasan

pembenaran dalam menjawab permasalahan.

c. Selain bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, terdapat

pula bahan hukum tertier (tertiary law material) untuk menunjang

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang digunakan.

Adapun bahan hukum tertier yang digunakan sebagai penunjang

adalah kamus hukum, kamus besar bahasa Indonesia, kamus

bahasa inggris, ensiklopedia, serta situs internet sebagai media

67
online yang memuat berita terkait dengan permasalahan yang

diteliti.

D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam penelitian hukum ini, bahan-bahan hukum dikumpulkan

dengan menggunakan teknik studi pustaka atau library research.

Penelitian ini dilakukan dengan memeriksa pustaka atau literatur hukum

yang memiliki relevansi dengan materi kajian dan telah terpublikasi, seperti

peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, buku-buku ilmu

hukum. Adapun literatur-literatur hukum yang dimaksud kemudian

digunakan dalam hal menginventaris pandangan maupun doktrin hukum

dari para sarjana hukum untuk dikritisi ataupun sebagai dasar pembenar

dalam bahasan penelitian.

E. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan

teknik analisis deskriptif kaulitatif yang lebih banyak menggunakan analisis

yang bertujuan mencari hubungan yang menjelaskan sebab – sebab dalam

fakta - fakta sosial yang terjadi. Penelitian kuantitatif ini dilakukan dengan

mengumpulkan data dan hasil analisis untuk mendapatkan informasi yang

harus disimpulkan

68
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kejahatan Kekerasan

Seksual.

Perlindungan terhadap anak untuk mendapatkan perlakuan dan

kesempatan yang sesuai dengan kebutuhannya dalam berbagai bidang

kehidupan, sehingga dalam memberikan perlindungan hukum terhadap

anak oleh pemerintah harus didasarkan pada Prinsip Hak Anak yaitu

penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan atas hak anak.

Pemerintah telah mengesahkan UURI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak. Perlindungan anak yang dilakukan berdasarkan

prinsip nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup,

tumbuh dan berkembang.

Pengertian Anak Menurut UURI No 35 Tahun 2014 Tentang

Perubahan Atas UURI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

dalam Pasal 1 Angka 1 yaitu seseorang yang belum berusia 18 (delapan

belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Itu artinya,

sebagian pemuda yaitu seseorang yang berusia 16-30 berdasarkan UURI

Nomor 40 Tahun 2009 Tentang Kepemudaan, masih bisa dikategorikan

sebagai anak.

Data yang tercatat pada Komisi Nasional Perlindungan Anak

Indonesia menyebutkan, Laporan kasus kekerasan seksual yang masuk

69
ke lembaganya terus meningkat. Tahun 2013, ada 2.011 kasus kekerasan

terhadap anak, 59% atau 1.480 di antaranya laporan kekerasan seksual.

Jumlah laporan kasus kekerasan seksual terhadap anak itu meningkat

menjadi 1.628 kasus pada tahun 2014, dan 1.936 kasus pada tahun 2015.

Adapun pada tahun 2016 hingga bulan April yang lalu sudah 179 kasus

kekerasan seksual yang dilaporkan ke Komnas Perlindungan Anak

Indonesia.60 Ironisnya, pelaku justru merupakan orang terdekat yang

seharusnya melindungi anak-anak. Tercatat sebanyak 24% pelaku

berasal dari keluarga 56% dari lingkungan sosial, dan sebanyak 17% dari

lingkungan sekolah. Ini menujukkan bahwa anak-anak sangat rentan

terhadap kekerasan, utamanya terhadap kekerasan seksual. Berdasarkan

tempat terjadinya, kekerasan seksual terjadi kebanyakan di rumah

(48,7%), sekolah (4,6%), tempat umum (6,1%), tempat kerja (3,0%), dan

tempat lainnya (37,6%) sedangkan mayoritas korban kekerasan seksual

adalah anak laki-laki dengan perbandingan persentase 60% anak laki-laki

dan 40% anak perempuan.61

Dari hasil penelitian penulis terkait dengan data korban kekerasan

seksual terhadap anak, penulis menginventarisir data dari pihak

kepolisian yakni Polrestabes kota Makassar. Penulis merangkum jumlah

61 Op.Cit,. hal.4

70
aduan terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak selama tiga

tahun terakhir. Berikut ini penulis melampirkan data kasus kekerasan anak

di Kota Makassar :

Tahun Jumlah kasus

2015 89 Kasus

2016 100 Kasus

2017 100 Kasus sampai periode bulan


Oktober
Sumber : Polrestabes Kota Makassar. Senin, 04 September 2017
pukul 13.00

Dari data diatas bahwa pada tahun 2015 terdapat 89 (delapan puluh

sembilan) kasus, tahun 2016 terdapat 100 (seratus) kasus dan sampai

Oktober 2017 terdapat 100 (seratus) kasus anak korban kejahatan

kekerasan seksual.

Dari data tersebut dapat diamati bahwa selama tiga tahun terakhir

kasus kekerasan seksual terhadap anak di kota Makassar berada pada

tren peningkatan jumlah kasus, artinya kasus kekerasan seksual pada

anak masih menjadi masalah yang perlu perhatian dan penanganan

secara serius khususnya dari pihak yang diberikan wewenang oleh

undang-undang.

Dalam UURI no. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UURI

nomor. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 69 A

menyebutkan “Perlindungan Khusus bagi Anak korban kejahatan seksual

71
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf j dilakukan melalui

upaya:

a. Edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai

kesusilaan

b. Rehabilitasi sosial

c. Pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan,

dan

d. Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat

pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan

pemeriksaan disidang pengadilan.

Dalam UURI Perlindungan Anak, bagi setiap anak menjadi korban

kejahatan kekerasan seksual wajib dilindungi. Adapun yang menjadi hak-

hak anak korban kejahatan kekerasan seksual sebagai berikut :

1. Bantuan hukum

Peranan bantuan hukum kepada seorang korban tindak pidana

sangat diperlukan terutama bagi anak korban kejahatan kekerasan

seksual , karena pada seorang anak yang berhadapan dengan

penegak hukum misalnya penyidik, jaksa, ataupun hakim

kemungkinan akan merasa takut mengemukakan semua hal yang

dialaminya selaku korban.

Pemberian bantuan hukum terhadap korban kejahatan haruslah

diberikan baik diminta ataupun tidak diminta oleh korban. Hal ini

72
penting untuk dilakukan mengingat masih rendahnya tingkat

kesadaran hukum dari sebagian besar korban yang menderita

kekerasan ini. Sikap membiarkan korban kejahatan tidak memperoleh

bantuan hukum yang layak dapat berakibat pada semakin terpuruknya

kondisi korban kejahatan.62

Didalam UURI Perlindungan Anak bukan hanya anak sebagai

pelaku tindak pidana berhak mendapat bantuan hukum, tetapi juga

anak yang menjadi korban. UURI Republik Indonesia No. 48 Tahun

2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa setiap

orang yang tersangkut perkara berhak mendapat bantuan hukum dan

bagi yang tidan mampu biayanya ditanggung oleh negara. UURI ini

tidak menjelaskan arti “tersangkut perkara” sehingga menurut

pemahaman peneliti, baik tersangka/terdakwa, saksi dan korban

adalah orang yang tersangkut perkara. Sehingga menurut UURI ini

selaku korban tindak pidana berhak pula mendapatkan bantuan

hukum.

Dalam Pasal 59A yaitu Perlindungan Khusus bagi Anak

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dilakukan melalui

upaya:

62
Dikdik M.Arief Mansur dan Elisatris Gultom. Op.cit. hal.147.

73
a) Penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau

rehabilitasi secara fisik, psikis, dan sosial, serta pencegahan

penyakit dan gangguan kesehatan lainnya.

b) Pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai

pemulihan.

c) Pemberian bantuan sosial bagi Anak yang berasal dari

Keluarga tidak mampu.

d) Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap

proses peradilan.

Didalam UURI Republik Indonesia No. 18 Tahun 2003 Tentang

Advokat ditegaskan bahwa advokat wajib memberikan bantuan hukum

secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Jadi

sesungguhnya para advokat tidak boleh menolak memberikan bantuan

hukum jika ada yang memerlukannya , termasuk anak sebagai korban

kejahatan kekerasan seksual yang secara finansial tidak mampu,

bahkan sudah menjadi kewajiban dari penasihat hukum

mendampinginya baik diminta ataupun tidak minta.

UURI Perlindungan Anak menegaskan secara limitatif bahwa

korban berhak mendapat bagi korban dari keluarga tidak mampu.

Semestinya kata “berhak” diganti menjadi kata “wajib”, sehingga

bermakna sebagai perintah kepada pejabat yang terlibat dalam

74
perlndungan hukum bagi anak korban kejahatan kekerasan seksual

untuk mencari penasihat hukum.

Berbeda dengan korban yang kepentingan telah diwakilkan

kepada jaksa, sehingga dalam prakteknya korban jarang didampingi

penasihat hukum. Tetapi khusus bagi anak korban kejahatan berhak

mendapat bantuan hukum, sekalipun kepentingannya telah diwakilkan

oleh jaksa. Sangat kurang anak korban kejahatan kekerasan seksual

didampingi oleh penasihat hukum, tetapi semua korban pada proses

pemeriksaan tetap mendapatkan pendampingan dan hakim yang

mempimpin persidangan selalu menanyakan baik kepada penuntut

umum dan juga kepada korban, bahkan hakim sering menunda

persidangan jika pendamping korban tidak hadir.

Di dalam Pasal 64 yaitu perlindungan khusus bagi anak yang

berhadapan dengan hukum dalam konteks anak sebagai korban maka

terdapat beberapa poin yang penting untuk diperhatikan, sebagaimana

dimaksud pada 59 ayat (2) huruf b dilakukan melalui :

a) Perlakuan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan

sesuai dengan umurnya.

b) Pemisahan dari orang dewasa.

c) Pemberian bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif.

d) Pemberlakuan kegiatan rekreasional.

75
e) Pembebasan dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain

yang kejam, tidak manusiawi serta merendahkan martabat dan

derajatnya.

f) Pemberian pendampingan Orang Tua/Wali dan orang yang

dipercaya oleh Anak

g) Pemberian advokasi sosial.

h) Pemberian aksesibilitas, terutama bagi Anak Penyandang

Disabilitas.

i) Pemberian pendidikan.

j) Pemberian pelayanan kesehatan dan

k) Pemberian hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Perlindungan saksi dan korban

Bentuk dan jenis perlindungan adalah perlindungan fisik, mental dan

sebagainya yang melaksanakan adalah sebagai berikut melalui pasal 34

UURI perlindungan saksi dan korban menegaskan bahwa :

1. Setiap koban dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia berhak atas

perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan

kekerasan dari pihak manapun.

2. Perlindungan tersebut wajib dilaksanakan oleh aparat penegak

hukum dan aparat keamanan secara Cuma-Cuma.

76
Lebih lanjut, dalam Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 2002 menjabarkan

bentuk-bentuk perlindungan adalah :

1. Perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi-saksi dari

ancaman fisik dan mental.

2. Perahasiaan identitas koban dan saksi.

3. Pemberian keterangan pada saat pemeriksaan disidang pengadilan

tanpa bertatapmuka dengan tersangka.

Tata cara pemberian perlindungan melalui Peraturan Pemerintah nomor 2

tahun 2002 diatur prosedur dan mekanisme perlindungan yaitu dalam pasal 5

sampai dengan pasal 8 yang intinya sebagai berikut :

a. Perlidungan hukum terhadap korban dan saksi dilakukan

berdasarkan :

a. Inisiatif aparat penegak hukum dan aparat keamanan, dan

jasa atau

b. Permohonan yang disampaikan oleh korban atau saksi.

2. Permohonan disampaikan kepada :

i.Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada tahap penyelidikan

ii.Kejaksaan, pada tahap penyidikan dan penuntutan.

iii.Pengadilan, pada tahap pemeriksaan.

3. Permohonan tersebut disampaikan lebih lanjut kepada aparat

keamanan untuk ditindaklanjuti. Selain korban dan saksi tentu yang

77
menyampaikan adalah Komnas HAM, kejaksaan, atau pengadilan

yang dimaksud aparat keamanan adalah polri.

4. Permohonan perlindungan dapat disampaikan langsung kepada

aparat keamanan.

5. Setelahmenerima permohonan, maka aparat penegak hukum atau

aparat keamanan melakukan :

a. Klarifikasi atas kebenaran permohonan, dan

b. Identifikasi bentuk perlindungan yang diperlukan

6. Pemberian perlindungan dihentikan apabila :

a. Atas permohonan yang bersangkutan

b. Korban dan atau saksi meninggal dunia

c. Berdasakan pertimbangan aparat penegak hukum atau aparat

keamanan, perlindungan tidak diperlukan lagi.

7. Penghentian perlindungan harus diberitahukan secara tertulis

kepada yang besangkutan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari

sebelum persidangan dihentikan

8. Korban dan saksi-saksi tidak dikenakan biaya apapun atas

perlindungan yang diberikan kepadanya. Segala biaya dibebankan

kepada anggaran masing-masing instansi penegak hukum atau

aparat keamanan.

Dalam UURI Perlindungan Anak, dalam Pasal 1 butir 2 anak mendapatkan

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, jadi yang dilindungi adalah

78
semua anak tidak terkecuali termasuk anak yang berhadapan dengan

hukum. adapun tujuan Perlindungan adalah untuk menjadi terpenuhnya hak-

hak anak agar dapat hidup, tumbuh, dan berkembang dan berpartisipasi

secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan demi

terwujudnya anak sebagai penerus bangsa yang berkualitas, berakhlak

mulia, dan sejahtera. Dalam perlindungan ini mengandung aspek penting

yaitu :

a. Terjamin dan terpenuhinya hak-hak anak

b. Terpenuhi harkat dan martabat kemanusiaan

c. Perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi

d. Terwujudnya anak yang berkualitas, berakhlak mulia,dan sejahtera

Cakupan pengertian perlindungan anak agar kiranya sejalan dengan

konvensi hak anak dan perlindungan HAM yang terpatri dalam UUDNRI 1945

menegaskan :

“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang

serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

Mengenai siapa yang berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap

peneyelenggaraan perlindungan anak, yaitu Negara, Pemerintah, Pemerintah

Daerah, Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua atau Wali berkewajiban dan

bertanggungjawab terhadap perlindungan anak. Apabila disimak Pasal 21

UURI Perlindungan Anak, bagaimana kewajiban dan tanggungjawab Negara,

79
Pemerintah, dan Pemerintah Daerah tersebut dilakukan sebagaimana dalam

Pasal 21-25 UURI Perindungan Anak menyebutkan sebagai berikut :

Pasal 21

a. Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah berkewajiban dan

bertanggung jawab menghormati pemenuhan hak anak tanpa

membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya

dan bahasa, status hukum, urutan kelahiran dan kondisi fisik dan/atau

mental.

b. Untuk menjamin pemenuhan hak anak sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) Negara berkewajiban untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati

hak anak.

c. Untuk menjamin pemenuhan hak anak sebagaimana dimaksud pada

ayat(1), pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab dalam

merumuskan dan melaksanakan kebijakan dibidang penyelenggaraan

perlindungan anak

d. Untuk menjamin pemenuhan hak anak melaksanakan kebijakan

sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah Daerah berkewajiban

dan bertanggung jawab untuk melaksanakan dna mendukung kebijakan

nasional dalam penyelenggaraan perlindungan anak didaerah

e. Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat melalui upaya

membangun kabupaten/ kota layak anak.

80
f. Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan kabupaten/ kota layak anak

sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatu dalam Peraturan Presiden.

Pasal 22

Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung

jawab memberikan dukungan serta sarana, prasarana, ketesediaan sumber

daya manusia dalam penyelenggaraan perlindungan anak.

Pasal 23

(1) Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah menjamin Perlindungan,

pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak

dan kewajiban orangtau, wali, atau orang lain yang secara hukum

bertanggungjawab terhadap anak.

(2) Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah mengawasi

penyelenggaraan pelindungan anak.

Pasal 24

Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah menjamin anak untuk

mempergunakan haknya dalam meyampaikan pendapat dengan usia dan

tingkat kecerdasan anak.

Pasal 25

(1) Kewajiban dan tanggungjawab masyarakat terhadap perlindungan

anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam

penyelenggaraan perlindungan anak

81
(2) Kewajiban dan tanggungjawab masyarakat sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dillaksanakan dengan melibatkan organisasi

masyarakat, akademisi, dan pemerhati anak.

2. Rehabilitasi

Secara Represif, diperlukan perlindungan hukum berupa

pemberian restitusi dan kompensasi bertujuan mengembalikan

kerugian yang dialami oleh korban baik fisik maupun psikis,

sebagaimana diatur dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 101

KUHAP. Konseling diberikan kepada anak sebagai korban kejahatan

kekerasan seksual yang mengalami trauma berupa rehabilitasi.

Terhadap kekerasan pada psikis selain pemulihan kesehatan

mental, juga pemulihan fisik jika korban menderita fisik misalnya pada

korban kejahatan kekerasan seksual yang biasanya tidak hanya

mengakibatkan/menimbulkan luka fisik tapi juga menderita tekanan

psikologis, sehingga memerlukan pemulihan psikologis dengan

memberikan bimbingan konseling hingga anak kembali pulih.

Rehabilitasi anak sudah diatur dalam Peraturan Menteri Sosial

(selanjutnya disingkat Permensos) Republik Indonesia Nomor 09

Tahun 2015 tentang Pedoman Rehabilitasi Sosial Anak Berhadapan

Dengan Hukum Oleh Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan

Sosial (selanjutnya disingkat LKPS). Dalam Permensos ini, LPKS

adalah lembaga atau tempat pelayanan sosial bagi yang

82
melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi Anak.

Adapun Rumah Antara adalah bagian dari proses layanan LPKS yang

berfungsi sebagai tempat sementara bagi anak untuk memperoleh

layanan lanjutan.

Secara teknis upaya rehabilitasi merupakan suatu upaya untuk

memulihkan kondisi psikologis anak sebagai korban kekerasan

seksual, adanya kekekhawatiran terhadap trauma yang bisa

mempengaruhi perkembangan psikologis dalam jangka waktu yang

lama. Salah satu hal teknis yang bisa dilakukan adalah dengan

persuasif dengan cara rekreasional atau memberikan hiburan kepada

anak korban kekerasan seksual, pebentukan pola pikir positif yang

lebih berorientasi masa depan, penghindaran publikasi atas

identitasnya dengan niat menghindari penilaian negatif atas peristiwa

yang telah dialami.

3. Pencegahan

Pencegahan merupakan dimensi preventif dari pelaku kejahatan.

Jika preemtif mencegah niat pelaku kejahatan melalui internalisasi

nilai-nilai dan norma sosial, maka preventif mencegah kesempatan

pelaku kejahatan melalui perangkat keras dan perangkat lunak.

Perangkat keras bisa berupa penegak hukum dan infrastuktur hukum,

sementara perangkat lunak bisa berupa instrumen hukum berupa

aturan perundang-undangan.

83
UURI Perlindungan Anak menegaskan bahwa

pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah

dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara

terus menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan

tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan

dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spritual maupun sosial.

Dari hasil wawancara penulis dengan Aiptu Reski Yospiah bagian

Hukum Polrestabes Kota Makassar pada hari senin 4 September 2017

pukul 13.00 bahwa :

“Dalam upaya pencegahan tindak kekerasan Seksual maka pihak


Kepolisian dalam upaya preventif, berkoordinasi dengan stake holder
yang memiliki kewenangan yang sama dalam hal ini Pemerintah Kota
Makassar melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perindungan
Anak dengan melakukan pembentukan satuan pelayanan mulai dari
tiap kecamatan untuk sosialisasi perlindungan anak dari semua tindak
kekerasan termasuk kekerasan seksual termasuk dalam upaya
penanganan yang mencoba menerapkan pendekatan restorative
justice, suatu pendekatan yang menitikberatkan pemulihan psikologis
anak korban kekerasan seksual”.

Dari hasil wawancara tersebut penulis mengamati bahwa dalam

penanganan kekerasan seksual terhadap anak dibutuhkan partipasi

dan peran aktif antara pihak dalam upaya pencegahan baik upaya-

upaya preventif atau pencegahan maupun upaya-upaya represif atau

pada ranah penindakan.

Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual

atau yang berhadapan dengan hukum berhak untuk dirahasiakan.

84
Bantuan hukum dan bantuan lainnya juga berhak didapatkan oleh

anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana. Berkaitan

dengan tindak pidana perkosaan atau kekerasan seksual terhadap

anak akan dianalisis lebih lanjut dengan pembahasan sebagai berikut:

a) Bentuk-bentuk perbuatan yang dilarang

Pasal 81 UURI No.35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak,

menyatakan bahwa:

1) Setiap orang yang melangggar ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat

5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda

paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku

pula bagi Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu

muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak

melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau

tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga)

dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

b) Unsur-unsur yang harus dipenuhi.

85
Berdasarkan rumusan Pasal 81 UURI No. 35 tahun 2014, maka

unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam menerapkan kekerasan

seksual terhadap anak adalah:

a. Adanya kekerasan atau ancaman kekerasan.

b. Adanya tipu muslihat

c. Adanya serangkaian kebohongan.

d. Adanya bujukan

e. Adanya persetubuhan dengan seorang anak.

f. Pelaku

Ketentuan mengenai pelaku sebagaimana yang diatur dalam

UURI No.35 tahun 2014 ini, menggunakan istilah “setiap orang” yang

dapat merujuk pada kedua jenis kelamin yaitu laki-laki dan

perempuan. Hal ini dimungkinkan karena dalam konteks korban

adalah anak, maka perempuan juga mungkin untuk menjadi pelaku

bagi anak laki-laki yang belum memahami dengan benar mengenai

hubungan seksual dan mudah untuk diintimidasi dengan kekerasan,

tipu muslihat atau dibujuk oleh orang yang lebih dewasa. Laki-laki dan

atau perempuan juga dapat menjadi pelaku dalam bentuk kekerasan

seksual berupa pemaksaan bersetubuh dengan orang lain.

d) Jenis Tindak Pidana

Berdasarkan rumusannya, maka tindak pidana kekerasan seksual

terhadap anak dalam UURI No. 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan

86
Anak merupakan tindak pidana biasa, karena itu tidak mensyaratkan

adanya pengaduan. Hal ini agak berbeda dengan jenis tindak pidana

yang diatur dalam Pasal 287 KUHP yang membedakan jenis tindak

pidana berdasarkan batasan umurnya, dengan ketentuan bahwa jika

perempuan korban adalah anak yang berumur dibawah 12 tahun,

maka merupakan tindak pidana biasa, sedangkan jika perempuan

korban berumur 12 tahun sampai dengan 15 tahun atau diketahui

belum masanya untuk kawin maka merupakan tindak pidana aduan.

e) Ketentuan Pidana

Berkaitan dengan kekerasan seksual (perkosaan) terhadap anak,

maka Pasal 81 UURI No.35 Tahun 2014 Tentang perlindungan anak

menyatakan: 1) Setiap orang yang melangggar ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)

tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar

rupiah).

Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku

pula bagi Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,

serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan

persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau

87
tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari

ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Proses peradilan pidana anak merupakan suatu proses yuridis

dimana hukum di tegakkan dengan tidak mengesampingkan

kebebasan mengeluarkan pendapat dan pembelaan dimana

keputusanya diambil dengan mempunyai suatu motivasi tertentu. Oleh

karena itu perlindungan anak perlu diusahakan suatu kondisi di mana

setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibanya, dan sedapat

mungkin harus di usahakan dalam berbagai bidang kehidupan

bernegara dan bermasyarakat. Memberikan hak-hak anak dan

kewajiban ini tentunya termasuk pula terhadap anak yang berhadapan

dengan hukum.

Menurut John Rawls, subyek keadilan bergantung pada

penerapan hak dan kewajiban. Bahwa keadilan adalah penuntasan

hak dan kewajiban.Hak adalah segala sesuatu yang harus diberikan

kepada Anda. Sementara kewajiban adalah segala sesuatu yang

harus Anda berikan kepada pihak lain.

Maka manusia yang adil haruslah melakukan kewajibannya

dengan memberikan hak pihak lain, dan menerima haknya dari

kewajiban pihak lain atas dirinya. Pihak lain yang dimaksud bisa

berupa manusia, kumpulan manusia (masyarakat), Negara, alam

semesta, bahkan Tuhan. Penuntasan hak asasi manusia yang selaras

88
dengan kewajiban asasi manusia kemudian melahirkan keadilan asasi

manusia.

Keadilan yang merupakan penuntasan hak dan kewajiban

meliputi keadilan pada diri sendiri, utamanya keadilan sosial. Saking

pentingnya, keadilan sosial dimaktubkan pula dalam salah satu Sila

dalam Pancasila yang merupakan Dasar Negara Republik Indonesia.

Perlindungan hak-hak anak dan kewajiban anak, bukan hanya amanat

UURI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, tetapi lebih

mendasar dari itu, yakni amanat Pancasila yang berupaya

menegakkan keadilan sosial, termasuk pada anak sebagai masa

depan bangsa dan negara.

Menurut penulis bentuk perlindungan hukum bagi anak korban kejahatan

kekerasan seksual seperti memberikan bantuan hukum, rehabilitasi dan

pencegahan belum sepenuhnya optimal, hal ini terlihat dari anak sebagai

korban kejahatan kekerasan seksual belum sepenuhnya mendapatkan

bantun hukum pada tingkat penyidikan, penuntutan, sampai pada tingkat

peradilan masih sering terabaikan dan tidak didampingi oleh penasehat

hukum serta belum optimalnya rehabilitasi yang diberikan kepada anak

sebagai korban kejahatan kekerasan seksual yang masih menyisahkan

tauma yang berkepanjangan, dan pencegahan yang belum optimal terlihati

dari jumlah anak yang menjadi korban kejahatan kekerasan seksual yang

dari tahun ke tahun semakin meningkat.

89
B. Kendala-kendala dalam memberikan perlindungan hukum

terhadap anak sebagai korban kejahatan kekerasan seksual

menurut UURI Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Pelindungan anak.

Perlindungan hukum terhadap Anak di Indonesia masih

membutuhkan kajian khusus terkait bagaimana anak menjadi korban

kejahatan dalam konteks ini anak sebagai korban pelecehan seksual.

Sebagaimana yang penulis telusuri bahwa Indonesia menjunjung

tinggi hak asasi manusia yang juga tercantum di dalam Hak Asasi

Anak. Hak asasi anak ditandai dengan adanya jaminan perlindungan

dan pemenuhan hak anak. Jaminan tersebut dikuatkan dengan

ratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak Anak, yaitu pengesahan

Hak Anak melalui keputusan presiden nomor 36 tahun 1990 tentang

pengesahan Convention On The Rights Of The Child (Konvensi Hak

Anak).

Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai

upaya perlindungan hukum terhadap kebebasan dan hak asasi

anak (fundamental rights and freedoms of children) serta

berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan

anak. Tetapi dalam hal ini masalah perlindungan hukum bagi

anak tidak hanya mencakup perlindungan hukum dalam proses

peradilan, melainkan mencakup segala hal atas kebebasan si anak

untuk memperoleh perlakuan yang layak seperti warga negara

90
lainnya. Makin meningkatnya suasana kekerasan dan

ketidaktentraman dalam lingkungan kehidupan sehari-hari di dalam

suatu kota/wilayah akan menempatkan anak-anak dalam risiko yang

sangat gawat. Di mana dia tidak lagi merasa aman bermain bersama

anak-anak lainnya. Karena secara tidak langsung mengakibatkan

kemerdekaan si anak menjadi terampas.

Penulis juga melakukan wawancara dengan Aipda Darwis

anggota submit 2 PPA Polrestabes Kota Makassar, pada hari senin,

04 September 2017 mengatakan bahwa :

“Untuk kendala dalam penanggulangan kekerasan terhadap anak


maka terdapat beberapa hal yang perlu di tekankan, pertama dari
segi aturan sebenarnya sudah cukup memadai, tinggal
implemntasi dalam ranah praktis yang perlu dipertegas, kendala
lain yang sering muncul umumnya bahwa dari segi kultur
terkadang nilai-nilai kearifan lokal yang menghambat untuk
membongkar kasus kekerasan anak sebab dianggap aib oleh
orang tua korban dengan adanya pemahaman nilai “Siri” atau
rasa malu, Untuk anak penyandang disabilitas juga menghambat
dalam proses penyidikannya terutama anak yang bisu, dari segi
sarana juga belum terlalu menunjang, dibutuhkan perhatian
khusus dari semua stake holder yang memilik wewenang dalam
upaya penanggguangan kekerasan terhadap anak yang lebih
sistematis dan kordinasi yang terintegrasi antar lembaga”.

Berdasarkan hal tersebut kemudian penulis melihat adanya

kendala yang masih butuh perhatian serius dari semua pihak yang

terlibat dalam upaya penanganan kekerasan terhadap anak. Secara

teoritis terdapat beberapa hal yang menjadi faktor penyebab dan

membutuhkan penjabaran belum terimplementasinya dengan baik

91
perlindungan hukum bagi anak korban kekerasan sebagaimana

dijelaskan dibawah ini:

1. Subtansi Hukum

Perlu digaris bawahi bahwa suatu substansi hukum yakni

peraturan perundang-undangan harus jelas dan tegas, hal itu

diperlukan agar penegak hukum tidak perlu melakukan interpretsi atau

penafsiran yang beragam, yang tentunya hal ini mendorong

penegakan supremasi hukum. Sebaiknya jika substansi suatu

peraturan perundang-undangan bias dan tidak tegas, tentu hal

tersebut membuka peluang bagi penegak hukum melakukan suatu

penafsiran sesuai dengan alur berpikirnya masing-masing, hal ini yang

kemungkinan membuka ruang dan celah terjadinya misinterpretasi

yang mengganggu pelaksanaan hukum yang adil. Apalagi kalau

menurut penegak hukum itu aturan hukumnya sama sekali tidak di atur

dalam UURI itu, tentunya mencari landasan hukum lain yang

menurutnya lebih tepat diterapkan dalam peristiwa itu. Demikian juga

halnya UURI Perlindungan Anak yang menjadi dasar untuk

memberikan perlindungan hukum bagi anak korban kekerasan.

Dalam upaya perlindungan hukum terhadap anak maka

diperlukan adanya keserasian atau koherensi antara berbagai

peraturan perundang-undangan yang berbeda derajatnya. Sebab

ketidakcocokan antara aturan hukum bisa terjadi misalnya antara

92
UURI yang yang bersifat secara khusus dengan UURI yang bersifat

secara umum, antar UURI yang derajatnya “lebih tinggi dengan

peraturan yang lebih rendah, antara UURI yang berlaku terdahulu

dengan yang berlaku sekarang. Variabel tersebut dapat

mempengaruhi masalah penegakan hukum dalam konteks ini

perlindungan hukum karena tujuan dibentuknya suatu peraturan

adalah untuk memberikan kepastian hukum, kemanfaatan dan

keadilan. Untuk itu maka demi menghindari agar jangan sampai terjadi

suatu peraturan tidak berlaku secara efektif di masyarakat maka perlu

diperhatikan asas dan tujuan pembentukan dari UURI itu sendiri.

Dalam konteks ini penulis menyoroti aturan hukum antara

peraturan hukum yang dalam hal ini UURI No 35 Tahun 2014 Tentang

Perlindungan Anak, paradigma yang terbangun bahwa fungsi UURI

Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak masih terbatas

pada ranah penindakan pelaku terhadap kekerasan seksual terhadap

anak bukan pada upaya preventif atau upaya pencegahan. Prinsipnya

bahwa suatu instrumen hukum harus berfungsi sebagai suatu alat

rekayasa maka dalam hal UURI No. 35 Tahun 2014 tentang

perlindungan anak harus fokus pada upaya perlindungan hukum tidak

hanya sebatas penindakan dalam ranah praktis tetapi memiliki suatu

konsep yang mampu merumuskan permasalahan secara mendasar,

Bagaimana peran spesifik dan praktis semua pihak dalam peraturan

93
hukum harus terejawantahkan, mulai dari unit terkecil keluarga, lingkup

pendidikan, Non government organisation (NGO), pemerintah daerah

maupun pusat.

Pada Pasal 15 UURI Perlindungan anak, Perlindungan kejahatan

seksual masuk dalam poin terakhir pada poin f, artinya paradigma

perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban kekerasan seksual

bukan prioritas terdepan dalam hal perlindungan hukum. Padahal

ketika mengacu pada fakta empiris yang ada maka pada ranah inilah

yang paling berpotensi menjadi korban eksploitasi kekerasan seksual

adalah anak. Berdasarkan dengan data dan fakta yang ada, skenario

perundang-undangan tentu harus menjadikan ini sebagai sebuah poin

perubahan kelak.

Terkait perlindungan anak di Indonesia, kita telah memiliki

beberapa terobosan seperti meratifikasi kenvensi hak anak yang

dideklarasikan pada tanggal 20 November 1989 melalui Sidang Majelis

Umum PBB (Suyono, 1994), UURI Perlindungan Anak No.23 Tahun

2002 dan dibentuknya suatu badan independen yaitu Komisi

Perlindungan Anak. Dari segi substansi atau perundang-undangannya

memang ada beberapa polemik terutama mengenai kebebasan anak

dalam memilih agama sesuai bunyi pasal 86 UURI Perlindungan Anak

dengan pasal 28 UURID 1945 yang pernah diajukan ke Mahkamah

Konstitusi untuk judicial review , namun berdasarkan Putusan MK

94
No.018/ PUURI-III/ 2005 Mahkamah Konstitusi sebagaimana

dipublikasikan dalam Jurnal Konstitusi (2006), menyatakan

permohonan uji materil pasal 86 tersebut tidak dapat diterima. Bila kita

cermati baik dari segi yuridis maupun sosiologis memang tidak ada

pertentangan dari faktor substansi hukumnya baik terhadap

perundang-undangan diatasnya maupun ketentuan terkait

perlindungan anak yang telah ada sebelumnya.63

Konsekuensi Indonesia sebagai negara hukum, maka awal dari

penegakan hukum berpedoman dan mengacu pada adanya ketentuan

perundang-undangan yang telah dinyatakan berlaku. Dari UURI inilah

penegak hukum bekerja, dengan demikian UURI sebagai pedoman

dan panduan bagi para penegak hukum dalam menjalankan tugas dan

fungsinya sebagai penjaga ketertiban dan keamanan dalam

masyarakat. Adakalanya suatu peraturan perundang-undangan telah

ada, tetapi tidak bisa berjalan efektif dikarenakan substansinya yang

kurang lengkap atau peraturan pelaksanaannya belum diterbitkan.

Kelengkapan dan kejelasan materi hukum dari suatu perundang-

undangan mutlak diperlukan. Apalagi kalau menurut penegak hukum

itu aturan hukumnya sama sekali tidak di atur dalam UURI itu,

tentunya mencari landasan hukum lain yang menurutnya lebih tepat

diterapkan dalam peristiwa itu. Demikian juga halnya UURI

63
Putusan MK No.018/ PUU-III/ 2005 Tentang Perlindungan Anak.

95
Perlindungan Anak yang menjadi dasar untuk memberikan

perlindungan hukum bagi anak korban kekerasan.

Terkait persoalan substansi hukum, maka kendala dalam

perlindungan hukum terhadap anak muncul disebabkan ada hal yang

secara prisnsipil tidak diperhatikan dan terimplementasi dengan baik

sehingga perlindungan hukum bagi anak korban kejahatan seksual

tidak berjalan maksimal. 4 prinsip yaitu :

1) Prinsip non diskrminasi yang diterapkan dengan cara tidak

membeda-bedakan dan tetap memproses kasu tersebut tanpa

adanya pembedaan dari segi apapun.

2) Prinsip kepentingan terbaik bagi anak yang diterapkan dengan

cara merahasiakan identitas korban.

3) Prinsip hak untuk hidup dengan cara memberikan bantuan

berupa bantuan konseling, bantuan medis dan bantuan hukum

penyediaan rumah, dan

4) Prinsip pemeliharaan terhadap pendapat anak yaitu keterangan

anak dalam memberikan kesaksian harus dipertimbangkan

kembali karena dalam kasus ini anak yang menjadi korban

sekaligus menjadi saksi. Oleh karena itu berdasarkan empat

prinsip tersebut pelaksanaan perlindungan hukum terhadap

anak sebagai korban tindak pidana pelecehan seksual telah

96
sesuai keputusan presiden nomor 36 tahun 1990 tentang

konvensi hak anak.

Dilihat dari sanksi yang diaturnya, UURI Perlindungan Anak

telah merumuskan sanksi pidana yang sudah cukup berat baik berupa

pidana perampasan kemerdekaan maupun pidana denda, dan ada

yang diancamkan secara kumulatif kepada pelaku tindak pidana, serta

ancaman pidana ini disertai dengan pidana minimum.

Terkait dengan tentang perlindungan hukum bagi anak korban

kejahatan kekerasan seksual di Kota Makassar belum terlaksana

dengan baik hal ini dapat dilihat dari maraknya kasus kekerasan

seksual terhadap anak dari tahun ke tahun.

Apabila substansi hukum memberikan landasan hukum yang

tepat, maka penegakan hukum dapat berjalan secara optimal, dan

sebaliknya apabila susbtansi hukum tidak tegas dalam memberikan

landasan hukum, maka akan membuka celah terhadap terjadinya

penyimpangan terhadap aturan-aturan tersebut. Implementasi dalam

memberikan perlindungan hukum bagi anak korban kejahatan

kekerasan seksual yang tidak optimal apabila substansi hukum yang

kurang jelas.

2. Struktur Hukum

Struktur hukum dimaksudkan dalam tulisan ini aparat penegak

hukum yang membidangi perlindungan hukum bagi anak yang

97
berhadapan dengan hukum pada umurnya dan lebih khusus terhadap

anak yang mengalami korban kekerasan. Struktur hukum itu mulai dari

peyidik, penuntut umum, hakim. Dibawah ini dberikan peran dari

masing-masing struktur hukum dalam memberikan perlindungan

hukum bagi anak korban kekerasan seksual.

Secara formil UURI Perlindungan Anak juga memiliki kekurangan,

UURI Perlindungan Anak tidak memuat aturan secara formil di mana

UURI perlindungan anak memerintahkan kepada penegak hukum

pada semua tingkat pemeriksaan agar anak korban kekerasan

didampingi oleh penasihat hukum, selain itu juga tidak mengatur

mengenai haknya untuk mendapatkan bantuan hukum secara Cuma-

Cuma atau atas biaya Negara. Selain itu terdapat kendala-kendala

teknis pada saat melakukan penyidikan terhadap anak sebagai korban

kejahatan seksual, kendala itu dalam hal bagaimana proses

mengumpulkan bukti-bukti karena kasus kekerasan seksual pada

umumnya tidak ada saksi lain selain korban itu sendiri yang

mengalaminya, karena terdapat beban psikologis sehingga keterangan

korban yang tidak terus terang disebabkan rasa takut, malu, trauma

dan adanya ancaman dari pelaku, dan saksi tidak hadir di dalam

proses pemeriksaan disebabkan masih rendahnya kesadaran saksi

untuk memberikan keterangan dihadapan penyidik karena mereka

tidak ingin terlibat dalam permasalahan hukum.

98
Situasi dan kondisi yang berbeda jika anak sebagai pelaku tindak

pidana, disamping penegak hukum pada semua tingkat pemeriksaan

berwajiban untuk memberitahukan kepada anak selaku

tersangka/terdakwa atau kepada keluarganya mengenai haknya untuk

mendapatkan bantuan hukum dan bagi yang tidak mampu biayanya

ditanggung oleh Negara. Dari hasil penelusuran penulis juga tidak

menemukan suatu muatan norma di mana UURI Perlindungan Anak

memberikan kewengan bagi hakim untuk menjatuhkan putusan berupa

perlunya anak korban kekerasan mendapatkan rehabilitasi, restitusi

dan kompensasi, sarana ini sangat penting bagi anak guna pemulihan

kesehatan dan kerugian yang diderita sebagai korban.

Pelaksanaan perlindungan hukum anak sebagai yang diuraikan di

atas, maka dapat ditarik beberapa poin penting terkait masalah

kendala dalam perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban

kejahatan seksual. Struktur hukum yang belum efektif dalam persoalan

perlindungan hukum terhadap anak ditandai dengan tindak kekerasan

pada anak terus meningkat atau sulit dikendalikan, sementara korban

juga kurang terlindungan dengan baik, bahkan terkesan justru pelaku

kekerasan yang mendapat perlindungan, misalnya kalau pelaku

memerlukan perawatan medis maka biayanya ditanggung oleh

Negara, sementara korban menanggung sendiri.

99
Penuntut umum pada kejaksaan negeri yang mewakili Negara

dan korban telah berupaya memberikan perlindungan hukum bagi

korban dengan melakukan penuntutan bagi pelaku tindak pidana,

hambatan yang dihadapi penuntut umum dalam memberikan

perlindungan hukum pada anak korban kekerasan adalah menyangkut

penetapan hukum terhadap suatu kasus yang menimpa anak sering

tidak jelas kasus posisinya, terdapat pula kekerasan yang menimpa

anak belum diatur dengan jelas dalam UURI Perlindungan Anak, maka

selaku penuntut umum, jaksa kemudian menerapkan pasal-pasal yang

terdapat dalam KUHP. Bahwa selain kasus posisi kurang jelas,

penuntut umum bisa kesulitan dalam membuktikan surat dakwaan,

karena minimnya alat bukti yang ditemukan dan korban tidak

memberikan keterangan yang jelas, terutama dalam hal kekerasan

seksual.

Sistem penegak hukum sangat dipengaruhi pula oleh para

penegak hukumnya yang menurut UURI kita kenal sebagai aparat

penegak hukum adalah Polisi, Jaksa, Hakim. Selain ketiga aparatur

tersebut secara informal seorang Pengacara juga dapat di pandang

sebagai aparat penegak hukum karena tugas-tugasnya mendampingi

ataupun menjadi kuasa dari seseorang dalam rangka memperoleh

pelayanan hukum. Secara sosiologis setiap penegak hukum akan

memiliki kedudukan dan peranan didalam masyarakat dan kedudukan

100
sosial tersebut merupakan posisi tertentu didalam struktur

kemasyarakatan yang ada.

Dengan kedudukannya tersebut setiap aparat penegak hukum

dituntut memiliki sikap dan perilaku yang tidak tercela. Jika mental

para penegak hukum tidak baik dan tidak berorientasi pada kebenaran

substansi serta tidak berpihak pada keadilan masyarakat, maka

kepercayaan masyarakat terhadapnya akan hilang. Salah satu faktor

yang memegang peranan penting dalam penegakan hukum terhadap

perlindungan anak adalah faktor penegak hukumnya sendiri. Secara

ideal bangsa Indonesia telah memiliki beberapa ketentuan pokok

terkait peranan penegak hukum dalam menjaga stabilitas dan

keamanan masyarakat seperti UURI Kepolisian Negara, UURI Pokok

Kejaksaan dan juga tentang kekuasaan Kehakiman. Sayangnya

sebagian besar kasus yang diangkat terkait kekerasan terhadap anak

hanyalah kasus-kasus yang sebelumnya telah diekspos besar-besaran

oleh media cetak dan elektronik, dimana pengaruh “interest groups”

dan juga “public opinion” sangat kuat disini. Realitas yang ada di

negeri kita ini sebenarnya masih ribuan bahkan jutaan kasus

menyangkut kekerasan dan diskriminasi terhadap anak yang sama

sekali tak tersentuh oleh hukum. Untuk itu sangat diperlukan adanya

peran aktif tidak hanya dari masyarakat tapi juga yang utama adalah

101
perhatian ekstra dari para aparat penegak hukum, sehingga akan

tercipta kondisi aman khususnya bagi anak-anak penerus bangsa ini.

Kesadaran hukum masyarakat untuk melaksanakan hak-hak

anak selaku korban kejahatan kekerasan seksual dalam

lingkungannya merupakan salah satu persoalan perlindungan anak di

Kota Makassar, khususnya dalam wilayah hukum Polestabes Kota

Makassar, karena selama ini masyarakat terutama pihak lain diluar

keluarga anak yang bersangkutan seakan-akan tidak peduli dan tidak

memberikan respon yang baik. Hal ini terjadi karena selama ini dalam

proses penanganan perkara terhadap anak, pihak aparat penegak

hukum masih menutup diri tehadap akses masyarakat dalam

penanganan perkara, sehingga bagi masyarakat sangat susah untuk

memberikan bantuan kepada anak sebagai korban tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian penulis, tidak optimalnya

perlindungan hukum bagi anak korban kejahatan kekerasan seksual

adalah disebabkan oleh rendahnya komitmen dari aparat penegak

hukum dalam memberikan perlindungan hukum bagi anak, hal ini

dapat dilihat dari naiknya kasus dari tahun ke tahun serta minimnya

rehabilitasi baik di dalam kepolisian maupun diluar. Demi terwujudnya

peningkatan komitmen aparat penegak hukum khususnya kepolisian

dalam memberikan perlindungan hukum bagi anak terutama dengan

cara menindaklanjuti laporan terjadinya kejahatan kekerasan seksual

102
anak serta proaktif untuk memberikan perlindungan hak-hak anak

sebagai korban berupa rehabilitasi.

3. Kultur Hukum

Legal Culture atau budaya hukum pada dasarnya mencakup nilai-

nilai yang mendasari hukum yang berlaku, dan nilai-nilai mana

merupakan konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap

baik sehingga patut untuk dipatuhi dan apa yang dianggap buruk

sehingga harus dihindari. Dalam penegakan hukum nilai-nilai kultur

tersebut diatas dapat dijabarkan dalam kaidah-kaidah dan pandangan

yang mantap dalam sikap dan tindakan sebagai rangkaian nilai akhir

untuk menciptakan suatu pembaharuan sosial (law as a tool of social

engineering), memelihara dan mempertahankan control sosial guna

tercipta kedamaian dalam pergaulan hidup masyarakat.

Instrumen hukum yang menjadi tumpuan sejauh ini

direpresentasekan melalui UURI Nomor 35 Tahun 2014 Tentang

Perlindungan Anak. Apakah kendala perlindungan hukum terhadap

anak memiliki keterkaitan dengan UURI perlindungan anak tentu

membutuhkan suatu kajian komprehensif tentang apa tujuan utama

dari UURI perlindungan anak tersebut. Bagaimana kondisi sosiologis

terkait perlindungan hukum terhadap anak pada saat UURI ini di

tetapkan. Bahwa suatu peraturan perundang-undangan dalam

103
penerapannya akan terus mengalami perkembangan, bisa pada

kondisi mengikuti arus zaman.

Masalah perlindungan anak sebagai korban kekerasan seksual

pada dasarnya adalah sama dengan penegakan hukum secara

menyeluruh. Oleh karena itu implementasi penegakan hukum

dipengaruhi oleh beberapa variabel penting terutama peraturan

hukum. Peraturan hukum ini yang kemudian harus menjadi alat (Tools)

dalam merekayasa perlindungan hukum terhadap anak. Muatan dalam

UURI perlindungan Anak harus mampu diterjemahkan dalam realitas.

Oleh sebab itu Instrumen hukum dalam hal ini UURI Perlindungan

Anak selain harus terukur dalam ranah praktis juga harus memuat

aturan pemidanaan yang tegas terhadap pelaku kejahatan seksual

terhadap anak.

Menurut penulisi, Dalam kasus kekerasan pada anak tak jarang

kita jumpai bahwa aktor utama yang cukup berperan disini adalah

masyarakat dan lingkungan. Kurangnya perhatian masyarakat akan

kekerasan dan diskriminasi terhadap anak-anak akan menyuburkan

praktek tersebut. Hal ini terbukti dari tingginya angka kekerasan yang

dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya atau oleh lingkungan

tempat tinggal sang anak terutama bagi anak-anak yang memiliki

keterbatasan baik dari segi ekonomi maupun mental.

104
4. Sarana dan Prasarana

Dalam kerangka pelaksanaan hukum, sarana maupun fasilitasnya

haruslah memadai sebab sering kali hukum sulit ditegakkan karena

terbentur pada faktor fasilitas yang tidak memadai atau bahkan sama

sekali tidak ada. Dengan kurangnya fasilitas maupun sarana

pendukung maka penegak hukum akan menjadi terhambat dan

tentunya para aparat penegak hukum tidak dapat memaksimalkan

perannya secara aktual. Sarana atau fasilitas yang cukup ampuh di

dalam penegak hukum bisa dalam bentuk kepastian dalam

penanganan perkara maupun kecepatan memproses perkara tersebut,

karena dampaknya disini akan lebih nyata apabila dibanding dengan

peningkatan sanksi negatif belaka. Apabila tingkat kepastian dan

kecepatan penanganan perkara ditingkatkan, maka sanksi-sanksi

negatif akan mempunyai efek menakutkan sehingga akan dapat

mencegah peningkatan kejahatan maupun residivisme.

Untuk sarana dan prasarana terkait kehidupan sosial, sayangnya

pemerintah kita cenderung mengabaikannya. Bila saja pemerintah

memberikan fasilitas yang cukup memadai bagi anak-anak jalanan,

anak-anak yang memiliki keterbatasan ekonomi dan keterbelakangan

mental tentunya akan meminimalisir angka diskriminasi anak dan

kriminalitas yang dilakukan oleh anak-anak tersebut. Pembangunan

sekolah bebas biaya bagi anak-anak tidak mampu, pembangunan

105
rumah penampungan dan perlidungan bagi anak-anak terlantar serta

anak jalanan, dan juga pemberian fasilitas kesehatan yang memadai

seolah hanya menjadi utophia semata, karena realisasi selama ini jauh

dari angan-angan tersebut diatas.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia adalah lembaga negara

independen yang dibentuk berdasarkan pasal 74 UURI Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sebagai sebuah subjek

hukum, anak menjadi domain bersama antara UURI perlindungan

anak dengan fungsi KPAI Sebagai sebuah lembaga negara yang tugas

pokok dan fungsinya memang fokus pada pada masalah anak. Hal ini

tentu perlu mendapatkan perhatian ke depan, bahwa salah satu

kendala dalam perlindungan hukum terhadap anak dalam konteks ini

anak sebagai korban kekerasan seksual sebab dalam UURI

Perlindungan anak tidak disebutkan secara lugas dan tegas,

kedudukan dan peran spesifik lembaga negara yang diberikan

wewenang untuk bertanggung jawab terhadap pemenuhan

perlindungan hukum sebagai hak anak, dalam hal ini Komisi

Perlindungan Anak Indonesia.

Pada Pasal 69 A di mana anak korban kejahatan seksual menjadi

titik fokus bagaimana muatan norma dalam pasal tersebut telah

menyebut upaya preventif atau pencegahan dalam penanganan

kejahatan seksual serta upaya rehabilitasi. Harus ada kesesuaian atau

106
koherensi norma dalam UURI Perlindungan Anak dengan aturan lain

yang mengatur norma yang sama. Aturan pelaksanaan yang secara

kedudukan lebih rendah atau bersifat khusus seperti Peraturan Menteri

Sosial Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Pedoman Rehabilitasi Sosial

Anak yang Berhadapan Dengan Hukum Oleh Lembaga

Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Dalam Peraturan Menteri

tersebut juga tidak secara spesifik disebutkan lembaga atau institusi

yang secara tugas dan fungsi diberikan wewenang khusus untuk

menangani persoalan dan metodologi perlindungan anak.

Pada bahagian kedua masalah kewajiban dan tanggung jawab,

UURI Perlindungan Anak tidak mengatur mengenai sanksi hukum

kepada pihak-pihak yang lalai atau sengaja tidak memberikan

perlindungan hukum kepada anak korban kekerasan. Idealnya suatu

kewajiban hukum harus disertai pertanggungjawaban hukum sampai

pada konsekuensi hukum yang diterima apabila suatu subjek hukum

lalai dalam menjalankan kewajibannya.

UURI tidak bisa sebatas ketentuan yang mengatur tentang

kewajiban bagi masyarakat atau yang mengetahui telah terjadinya

kekerasan pada anak tetapi tidak disertai dengan konsekuensi hukum

yang logis. Sebagai contoh apabila orang tua tidak mengawasi

anaknya dalam hal batasan pergaulan maka potensi anak untuk

menjadi korban eksploitasi tindak kekerasan seksual memungkinkan

107
terjadi. Dalam konteks ini orang tua dikategorikan lalai dan sadar akan

kemungkinan bahwa anaknya bisa menjadi korban kekerasan seksual.

Maka prinsip dasar dalam aturan pemidanaan orang tua bisa dimintai

pertanggungjawaban secara hukum. Terlepas dari perdebatan

konsekeunsi hukum apa yang akan diterima, hal ini yang belum

diakomodir secara maksimal dan menjadi kendala tersendiri dalam

penegakan hukum untuk konteks UURI Nomor 35 Tahun 2014

Tentang Perlindungan Anak.

Dari hasil wawancara penulis dengan Aiptu Reski Yospiah bagian

Hukum Polrestabes Kota Makassar pada hari senin 4 September 2017

pukul 13.00 bahwa :

“Yang membuat kendala dalam penyidikan juga kurangnya sarana


yang memadai apabila anak yang menjadi korban adalah anak yang
mengalami bisu misalnya, kurangnya penerjemah. Dan kendala
sarana dan prasarana dalam menyediakan tempat rehabilitas
sementara di kepolisian belum ada karena masih tergabung dengan
orang dewasa. Di kepolisian Undang-undangnya sudah bagus cuma
sarana-sarana penitipannya yang kurang, dan juga kurang bersinergi
dengan pemerintah”.

Kendala lain dalam bahwa dalam UURI perlindungan anak

Pasal 59 ayat 1 bunyi pasalnya masih abstrak dan multitafsir bahwa :

Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya

berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan

khusus kepada anak. Kata lembaga negara lainnya ini yang kemudian

bias sebab tidak bisa ditafsir bebas dan tidak spesifik mengarah

108
kepada salah satu badan atau lembaga negara yang dilimpahkan

wewenang untuk berkewajiban dan bertanggungjawab dalam

memberikan perlindungan khusus kepada anak termasuk dalam hal

eksploitasi anak sebagai korban kekerasan seksual. Seyogiayanya

dalam UURI perlindungan anak harus jelas dan tegas menyebut

Komisi Perlindungan Anak Indonesia sebagai representase lembaga

negara yang secara fungsi dan kewenangan memang bertanggung

jawab dalam hal perlindungan terhadap anak termasuk perlindungan

hukum.

Perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban kejahatan

secara represif dengan menjatuhkan sanksi terhadap pelaku kejahatan

seksual, salah satu hal yang pernah diwacanakan adalah kebiri bagi

pelaku tindak kejahatan. Hanya persoalan hukuman kebiri ini tidak bisa

serta merta bisa diakomodir dalam peraturan perundang-undangan

sebab masih dalam posisi pro dan kontra. Berdasarkan penelusuran

penulis bahwa persoalan ini justru tidak disepakati oleh beberapa

tokoh yang selama ini dikenal sebagai pemerhati anak dan komnas

perempuan. Komnas Perempuan menyayangkan hukuman kebiri dan

hukuman mati tetap masuk sebagai bentuk hukuman terhadap pelaku

kekerasan seksual, terutama di saat Indonesia sudah meratifikasi

Konvensi Anti Penyiksaan melalui UURI No. 5 Tahun 1998 yang

melarang segala bentuk penghukuman yang kejam, tidak manusiawi

109
dan/atau merendahkan martabat kemanusiaan. Hukuman mati dan

hukuman kebiri termasuk dalam bentuk hukuman ini.

Persoalan sanksi ini menjadi suatu kendala tersendiri dalam

upaya perlindungan hukum pada anak korban kejahatan seksual,

dengan memperhatikan situasi dan kondisi zaman yang terus berubah

dan modus operandi suatu kejahatan yang juga semakin beragam.

Diperlukan suatu pembaharuan dan terobosan hukum termasuk

peningkatan sarana dan prasarana hukum, terlepas dari pro dan

kontra hal yang perlu digaris bawahi adalah bahwa anak adalah aset

untuk masa depan bangsa yang perlu dilindungi apapun

metodologinya. Melindungi anak berarti melindungi masa depan

bangsa.

Menurut penulis, yang menjadi kendala dalam memberikan

perlindungan hukum bagi anak korban kejahatan kekerasan seksual

bahwa sarana dan prasarana yang diperlukan masih sangat minim,

padahal saran dan prasarana merupakan salah satu faktor yang

sangat mempengaruhi penegakan hukum termasuk dalam hal

perlindungan hukum bagi anak korban kejahatan kekerasan seksual.

110
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, maka penulis menarik beberapa kesimpulan;

1. Bahwa bentuk perlindungan hukum terhadap anak dalam UURI

Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 yaitu dengan cara

memberikan hak-hak anak. Hak asasi anak merupakan derivasi dari

berbagai dimensi Hak Asasi Manusia yang tertera dalam aturan

perundang-undangan. Mengenai hak anak sebagai korban dalam hal

akses terhadap pemenuhan hak memperoleh pelayanan kesehatan dan

jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial

sebagai upaya pemulihan terhadap kondisi anak sebagai korban

kekerasan seksual yang memiliki trauma jangka panjang. Yang menjadi

hak bagi anak dalam mendapatkan perlindungan hukum korban

kejahatan kekerasan seksual yaitu memberikan bantuan hukum,

rehabilitasi, dan pecegahan.

2. Bahwa kendala perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban

kejahatan seksual beragam, mulai dari instrumen hukum atau peraturan

hukum sendiri yang sebahagian muatan norma dalam pasal masih bias

dan multitafsir serta belum ada koherensi antara tiap peraturan

perundang-undangan antara UURI Perlindungan anak dan Peraturan

Menteri Sosial Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Pedoman Rehabilitasi

Sosial Anak yang Berhadapan Dengan Hukum Oleh Lembaga

111
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Adanya disharmonisasi antara

institusi atau lembaga yang berkaitan dengan anak dalam peraturan

pelaksanaan ini yang belum mengatur lebih teknis dan spesifik dalam hal

bagaimana kedudukan dan peran tersebut, serta sanksi yang masih

tergolong standar bagi upaya penegakan dan perlindungan hukum

secara represif. Faktor yang merupakan kendala dalam memberikan

pelindungan hukum bagi anak korban kejahatan kekerasan seksual

adalah dari substansi hukum, stuktur hukum, kultur hukum dan sarana

prasarana yang belum berjalan dengan secara optimal.

B. Saran

Adapun rekomendasi atau saran yang ditawarkan oleh penulis mengenai

perlindungan anak sebagai korban atas kejahatan sosial, antara lain ;

1. Agar kiranya pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat,

pemerintahan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan

secara terus menerus, terintegrasi dan terkoordinasi antara lembaga

yang memiliki wewenang dalam upaya pelaksanaan pemenuhan hak

anak khususnya anak korban kekerasan seksual demi terlindunginya

hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan

terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik

fisik, mental, spritual maupun sosial.

2. Agar perlindungan hukum terhadap anak khususnya anak sebagai

korban kejahatan seksual berjalan efektif dan efisien maka diperlukan

112
suatu perubahan peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan

kebutuhan hukum yang ada, Perubahan mulai dari penegasan bunyi

pasal yang masih bias dan multitafsir, Koherensi dengan aturan

pelaksanaan lain dalam hal penanganan yang terintegrasi terhadap

anak sebagai korban, penegasan kedudukan dan peran lembaga yang

berkaitan dengan perlindungan anak, serta penerapan sanksi yang

tegas untuk pelaku kejahatan seksual bagi anak.

113
DAFTAR PUSTAKA

B. Buku

Arif Gosita, 1993, Masalah korban kejahatan . Akademika Pressindo. Jakarta,

_________, 1983, Masalah Korban Kejahatan Edisi Pertama, Akademika


Presindo, Jakarta,

_________, 2004, Masalah Perlindungan Anak (Kumpulan Karangan), BIP


Kelompok Gramedia, Jakarta,

Barda Nawawi Arif, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan


Penanggulangan Kejahatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung

Bagong Suyanto, ,2003, Pekerja Anak dan Kelangsungan pendidikannya,


Airlangga University Press

C. maya indah S. 2014, Perlindungan korban suatu persepektif viktimologi


dan kriminologi,Kencana,Jakarta,
Dikdik M. 2008, Arief Mansur & Elisatri Gultom, Urgensi Perlindungan
Korban Kejahatan Antara Norma Dan Realita, Raja Grafindo, Jakarta.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2011, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka,
Djoko Prakoso, 1988, Hukum Penitensir Di Indonesia, Armico, Bandung,

Gorys Keraf, 1994, Komposisi – Sebuah Pengantar Kemahiran


Bahasa,,Penerbit NusaIndah, Flores,

Hendra Akhdhiat dan Rosleny Marliani, 2011, Psikologi Hukum, CV Pustaka


Setia, Bandung,

I Ketut Donder dan I Ketut Wisarja, 2010, Filsafat Ilmu : Apa, Bagaimana,
untuk Apa Ilmu.Pengetahuan itu dan Hubungannya dengan Agama,
Paramita, Surabaya,

Jimly Asshiddiqie, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT. Raja
Grafindo Persada,Jakarta,

Kartono Kartini, 2009, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual,


Bandung, Mandar Maju,

Koes Irianto, 2010, Memahami Seksologi, Bandung, Sinar Baru Algesindo,

114
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana,
Alumni, Bandung,

_______, 2005,Ham dalam Persepektif Sistem Peradilan Pidana, Bandung,


Refika Aditama.

Moch. Faisal Salam, 2005, Hukum Acara Peradilan Anak di Indonesia,


Mandar Maju, Bandung.

Marzuki Umar Sa’abah, 2001, Perilaku Seks Menyimpang dan Seksualitas


Kontemporer Umat Islam, Yogyakarta: UII Press,

__________, 1997, Seks dan Kita, Jakarta, Gema Insani Press,

Muhammad Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, 1999, Aspek Hukum


Perlindungan Anak dalam Prespektif Konvensi Hak Anak, PT. Citra
Aditya, Bandung,

Muhammad Asnawi, 2012, Liku-Liku Seks Menyimpang, Nuansa Cendekia,

Mardjono Reksodiputo, 1999, Arti da LIngkup Masalah Perlindungan Anak,


Jurusan Kriminologi FISIP-UI, Jakarta

Nurini Aprilianda, 2014, Laporan Akhir Pengkajian Hukum Tentang Model


Pembinaan Anak Berbasis Pendidikan Layak Anak Dalam Sistem
Pemasyarakatan, Pusat Penelitian Dan Pengembangan Sistem
Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian
Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI

Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta,

Phillipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, PT.


Bina Ilmu, Surabaya:

Rika Saraswati. 2009, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia. Citra Aditya


Bakti. Bandung,

R. Subekti. 2003, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet 31. Jakarta. PT


Internasal.

Romli Atmasasmita, et.al., 1997, Peradilan Anak di Indonesia, Mandar Maju,


Bandung,

115
___________, masalah santunan korban kejahatan. BPHN. Jakarta

Ruslan Saleh, 1983, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta,

Ronny Hanitijo Soemitro, 1988, Metodologi PenelitianHukum dan Jurimetri,


Ghalia Indonesia,

Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,

Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia, Kompas,


Jakarta,

Sudikno Mertokusumo, 2009, Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti,


Bandung,

Shole Soeaidy Dan Zulkhair, 2011, Dasar Hukum Perlindungan Anak,


CV.Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta,

Shanty Dellyana. 2004, Wanita Dan Anak Di Mata Hukum. Yogyakarta:


Liberty.

Sawatri Supardi S, 2005, Bunga Rampai Kasus Gangguan Psikoseksual,


Rafika Aditama, Bandung,

Taufik Makarao, 2005, Tindak Pidana Narkotika . Ghalia Indonesia . Jakarta:

Waluyadi, 2009., Hukum Perlindungan Anak, CV.Mandar Maju, Bandung.

Zulkhair dan Sholeh Soeaidy. 2001, Dasar Hukum Perlindungan Anak.


Jakarta: CV. Novindo Pustaka Mandiri.

C. Perundang-undangan

UURI Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Kitab UURI Hukum Pidana

Peraturan Pemerintah Pengganti UURI Nomor 1 tahun 2016 tentang


perubahan kedua atas UURI Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak

116
UURI Nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

UURI 23 tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan Dalam Rumah tangga

Putusan MK No.018/ PUURI-III/ 2005 Tentang Perlindungan Anak.

D. Jurnal

Noor Azizah, 2015, Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Kejahatan Seksual


Terhadap Anak Di Indonesia (Tinjauan Yuridis Terhadap Sistem
Pidana Di Indonesia), Al – Ulum Ilmu Sosial Dan Humaniora. Volume
1 Nomor 1, Oktober

Solihin, L. 2016, Tindakan Kekerasan pada Anak Dalam Keluarga. Jurnal


Pendidikan Penabur No.03/Th.III/Desember 2004 dalam Gede Arya
Suputra, Kajian Teoritis Terhadap Tindak Pidana Kekerasan seksual
Di Indonesia, Lex Crimen Vol. IV/No. 5/Juli

Ratih Probosiwi dan Daud Bahransyaf, 2015, Kekerasan seksual Dan


Kekerasan Seksual: Masalah Dan Perlindungan Terhadap Anak,
Jurnal Sosio Informa Vol. 01, No. 1, Januari - April, Tahun

Reimon Supusepa, 2011, Perkembangan Hukum Pidana Dalam


Penaggulangan Kejahatan Kekerasan seksual (Studi Komparasi Di
Berbagai Negara Asing), Jurnal Sasi Vol.17 No.2 Bulan April – Juni

E. Internet

Detik news, Kasus Pencabulan, Hukuman Saipul Jamil Diperberat Jadi 5


Tahun di akses dihttp://news.detik.com/berita/d-3301927/kasus-
pencabulan-hukuman-saipul-jamil-diperberat-jadi-5-tahun tanggal 28
Maret 2017

Evy Rachmawati, Sisi Kelam Pariwisata di Pulau Dewata,


http://www.kompas.com/kompas-
cetak/0509/28/humaniora/2083218.htm

Reza Indragiri Amriel, Kekerasan seksual dan Daya Tangkal Publik, di


akses di http://www.freelists.org/archives /ppi//08-
2006/msg00283.html. Tanggal 28 Maret 2017

Seto Mulyadi, Nasib Anak Di Indonesia, Kompas, Saptu 22 Juli 2015 di


akses di http://www.kompas.com pada tanggal 28 Maret 2017

117

Anda mungkin juga menyukai