UJI DISOLUSI
JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan limpahan nikmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan laporan praktikum dari mata kuliah praktikum biofarmasetika dan
farmakokinetika berjudul “Uji Difusi”. Laporan praktikum ini disusun sebagai
laporan dari hasil praktikum biofarmasetika dan farmakokinetika (BFFK), serta
salah satu syarat untuk memenuhi tugas mata kuliah praktikum biofarmasetika
dan farmakokinetika (BFFK) Program Studi Farmasi, Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Laporan praktikum ini berisi tentang hal-hal dan informasi seputar uji
disolusi dan hasil praktikum yang diperoleh di laboratorium. Kami mengucapkan
banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyusunan
laporan ini baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam penyusunan
laporan ini, kami menyadari bahwa laporan praktikum ini masih jauh dari kata
sempurna, oleh karenanya kami memerlukan kritik dan saran yang membangun
dan semoga laporan praktikum ini dapat bermanfaat.
ii
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR ............................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................1
1.1 Latar Belakang ..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................2
1.3 Tujuan Praktikum .....................................................................................2
BAB II TEORI DASAR ............................................................................................3
2.1. Definisi Disolusi ..............................................................................................3
2.2. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Disolusi ...............................................3
2.3. Teori Disolusi ..................................................................................................5
2.4. Proses disolusi .................................................................................................6
2.5. Perbedaan Disolusi dan Difusi ........................................................................7
2.6. Uji disolusi ......................................................................................................9
2.7. Metode uji disolusi ........................................................................................ 10
2.9. Contoh kurva disolusi ................................................................................... 11
2.10. Sediaan tablet ............................................................................................. 12
2.11. Tablet lepas lambat (Sustained release) dan tablet lepas cepat (Immediate
realease). ............................................................................................................. 14
BAB III METODOLOGI PRAKTIKUM ................................................................ 19
3.1 Alat dan Bahan ........................................................................................ 19
3.2 Langkah Kerja ......................................................................................... 19
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 23
4.1 Hasil ......................................................................................................... 23
4.2 Pembahasan ............................................................................................. 28
BAB V KESIMPULAN ........................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 36
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Dalam bidang farmasi, uji disolusi sangat penting dan bermanfaat untuk
mengkarakterisasi kinerja produk obat, misalnya untuk mendeteksi adanya variasi
dari batch ke batch di dalam formulasi suatu sediaan dan juga variasi antara
sediaan dari pabrik yang satu dengan pabrik lainnya (Lachman, 1994). Oleh
karena itu pada praktikum kali ini dilakukan uji disolusi tablet lepas lambat
(sustained release) dan tablet lepas cepat (immediate release) untuk mengetahui
profil pelepasan obat tersebut serta mengetahui perbedaan disolusi tablet lepas
lambat (sustained release) dan tablet lepas cepat (immediate release).
2
BAB II
LANDASAN TEORI
3
Laju disolusi suatu bahan obat dapat dipengaruhi bila
dicampur dengan bahan tambahan. Bahan pengisi, pengikat dan
penghancur yang bersifat hidrofil dapat memberikan sifat
hidrofil pada bahan obat yang hidrofob, oleh karena itu disolusi
bertambah, sedangkan bahan tambahan yang hidrofob dapat
mengurangi laju disolusi.
2) Efek faktor pembuatan sediaan.
Metode granulasi dapat mempercepat laju disolusi obat-
obat yang kurang larut. Penggunaan bahan pengisi yang
bersifat hidrofil seperti laktosa dapat menambah hidrofilisitas
bahan aktif dan menambah laju disolusi (Shargel dan Andrew,
1988)
c. Faktor yang berkaitan dengan bentuk sediaan.
Faktor yang berkaitan dengan bentuk sediaan solid yang
mempengaruhi proses disolusi meliputi metode granulasi atau prosedur
pembuatan, ukuran granul, interaksi zat aktif dan eksipien, pengaruh
gaya kempa, pengaruh penyimpanan pada laju disolusi (Siregar, 2010).
d. Faktor yang berkaitan dengan alat disolusi
Faktor yang berkaitan dengan alat disolusi dapat menyebabkan
hasil disolusi berubah – ubah dari uji ke uji pada semua teknik
pengujian yang digunakan. Faktor ini meliputi :
1) Tegangan permukaan medium disolusi.
Tegangan permukaan mempunyai pengaruh nyata terhadap
laju disolusi bahan obat. Surfaktan dapat menurunkan sudut
kontak, oleh karena itu dapat meningkatkan proses penetrasi
medium disolusi ke matriks. Formulasi tablet dan kapsul
konvensional juga menunjukkan penambahan laju disolusi
obat-obat yang sukar larut dengan penambahan surfaktan
kedalam medium disolusi.
2) Viskositas medium.
Semakin tinggi viskositas medium, semakin kecil laju
disolusi bahan obat.
4
3) pH medium disolusi.
Larutan asam cenderung memecah tablet sedikit lebih cepat
dibandingkan dengan air, oleh karena itu mempercepat laju
disolusi. Obat-obat asam lemah disolusinya kecil dalam
medium asam, karena bersifat nonionik, tetapi disolusinya
besar pada medium basa karena terionisasi dan pembentukan
garam yang larut (Gennaro, 2000).
e. Faktor yang berkaitan dengan parameter uji
Beberapa faktor parameter uji disolusi mempengaruhi karakteristik
disolusi zat aktif. Faktor – faktor tersebut seperti sifat dan karakteristik
media disolusi, pH, lingkungan dan suhu sekeliling telah
mempengaruhi daya guna disolusi suatu zat aktif (Siregar, 2010).
5
kecepatan ditinjau dari proses transport. Transport yang relative cepat
terjadi secara difusi melewati lapisan tipis statis (stagnant).
c. Model dankwert (dankwert model)
Model ini beranggapan bahwa transport solute menjauhi permukaan
padat terjadi terjadi melalui cara paket makroskopik pelarut mencapai
antar muka – cair karena terjadi pusaran difusi secara acak. Paket
pelarut terlihat pada permukaan padatan . selama berada pada antar
muka, paket mampu mengabsorpsi solute menurut hukum difusi biasa,
dan kemudian digantikan oleh paket pelarut segar. Jika dianggap reaksi
pada permukaan padat terjadi segera, proses pembaharuan permukaan
tersebut terkait dengan kecepatan transpor solute atau dengan kata lain
disolusi.
Efektifitas dari suatu tablet dalam melepaskan zat aktif untuk diabsorpsi
sistemik bergantung pada laju disintegrasi dari bentuk sediaan dan degregasi dari
granul-granul tersebut. Tetapi yang biasanya lebih penting adalah laju disolusi
dari obat padat tersebut (Martin et al., 1993).
6
Mekanisme disolusi secara umum melawati dua tahap sebagai berikut
(Gennaro, 1990):
1. Larutan dari zat padat pada permukaan membentuk lapisan tebal yang tetap
atau film disekitar partikel
7
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk
sediaan padat ke dalam media pelarut. Kecepatan disolusi adalah suatu ukuran
yang menyatakan banyaknya zat terlarut dalam pelarut tertentu setiap satuan
waktu (Ansel, 1993).
Agar suatu obat diabsorpsi, mula-mula obat harus larut dalam cairan pada
tempat absorpsi. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi. Pada waktu
partikel obat mengalami disolusi, molekul obat pada permukaan masuk kedalam
larutan menciptakan suatu lapisan jenuh obat-larutan yang membungkus
permukaan partikel obat padat. Lapisan larutan ini dikenal sebgai lapisan difusi.
Dari lapisan difusi ini molekul-molekul obat keluar melewati cairan yang melarut
dan berhubungan dengan membrane biologis serta absorbsi terjadi. Jika molekul
obat terus meninggalkan lapisan difusi, molekul tersebut diganti dengan obat yang
dilarutkan dari permukaan partikel obat dan proses absorbs terus berlanjut.
Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat, atau
jika obat diberikan sebagian suatu larutan dan tetap ada dalam tubuh seperti itu,
laju obat yang terabsorpsi akan tergantung pada kesanggupannya menembus
pembatas membrane. Tetapi jika laju disolusi untuk suatu partikel obat lambat,
misalnya mungkin karena karakteristik zat obat atau bentuk dosis yang diberikan,
proses disolusinya sendiri akan merupakan tahap yang menentukan laju dalam
proses absorbsinya. Perlahan obat yang larut tidak hanya bias diabsorbsinya pada
suatu laju rendah, obat-obat tersebut mungkin tidak seluruhnya diabsorbsi atau
dalam beberapa hal banyak yang tidak diabsorbsi.
2. Difusi
Difusi adalah gerakan partikel dari tempat dengan potensial kimia lebih
tinggi ke tempat dengan potensial kimia lebih rendah karena energy kinetiknya
sendiri sampai terjadi keseimbangan dinamis.
8
Sebelum suatu obat yang diberikan dapat mencapai tempat kerjanya dalam
konsentrasi yang efektif, obat harus menembus sejumlah pembatas (barrier).
Barrier ini pada dasarnya merupakan membrane-membran biologis seperti epitel
lambung usus, paru-paru, darah, dan otak. Membrane tubuh pada umumnya
digolongkan menjadi 3 tipe utama : (a) membrane yang terdiri dari beberapa
lapisan sel kulit, (b) membrane yang terdiri dari satu lapis sel seperti epitel usu
halus dan (c) membrane yang tebalnya kurang dari satu lapis sel seperti membrane
dari suatu sel tunggal. Dalam banyak hal zat obat harus melalui lebih dari satu tipe
membrane sebelum obat tersebut mencapai tempat kerjanya. Sebagai contoh obat
oral harus menembus membrane dalam sirkulasi umum, melewati organ / jaringan
dimana obat tersebut mempunyai afinitas, dapat masuk ke dalam jaringan tersebut
dan kemudian masuk ke dal sel individualnya.
9
2.7. Metode uji disolusi
Metode untuk menetapkan laju disolusi zat aktif dari sediaan menurut FI
IV yakni metode basket dan metode dayung.
a. Metode basket
Metode ini disebut juga metode alat 1, pada metode ini
menunjukan suatu upaya membatasi posisi bentuk sediaan untuk
memberikan kemungkinan maksimum suatu antar permukaan solid-cairan
yang tetap. Namun, terdapat kekurangan yaitu kecenderungan zat bergerak
menyumbat kasa basket, sangat peka terhadap gas terlarut dalam media
disolusi, kecepatan aliran yang kurang memadai ketika partikel
meninggalkan basket dan mengapung dalam media dan kesulitan
konstruksi jika diupayakan metode yang diotomatisasi (Siregar, 2010).
b. Metode dayung
Metode ini disebut juga metode alat 2, yang pada dasarnya terdiri atas
batang dan daun pengaduk yang merupakan dayung berputar dengan
dimensi tertentu sesuai dengan radius bagian dalam labu dengan dasar
bundar. Metode ini dapat mengatasi berbagai kekurangan dari alat tipe 1
dan dapat pula untuk diterapkan sistem automatisasi (Siregar, 2010).
10
5. Alat uji pelepasan obat tipe paddle over disk
6. Alat uji pelepasan obat tipe silinder
7. Alat uji pelepasan obat tipe reciprocating holder
Prinsip kerja alat disolusi dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu (Dirjen POM,
1995) :
1. Alat terdiri dari sebuah wadah tertutup yang terbuat dari kaca atau bahan
transparan yang inert, suatu batang logam yang digerakkan oleh motor dan
keranjang yang berbentuk silinder dan dipanaskan dengan tangas air pada
suhu 370
2. Alat yang digunakan adalah dayung yang terdiri dari daun dan batang
sebagai pengaduk. Batang berada pada posisi sedemikian sehingga
sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari sumbu vertikel
wadah dan berputar dengan halus.
Keterangan :
x = waktu
y = % obat terdisolusi
11
2.10. Sediaan tablet
Tablet adalah sediaan padat mengandung bahan obat dengan atau tanpa
bahan pengisi (farmakope Indonesia edisi IV, 1995). Tablet adalah sediaan padat
yang mengandung dosis tunggal dari satu atau lebih zat aktif (British
pharmacopoeia, 2009).
Penggolongan Tablet :
1. Tablet cetak
Dibuat dari bahan obat dan bahan pengisi, umumnya mengandung laktosa
dan serbuk sukrosa salam berbagai perbandingan. Massa dibasahi dengan Etanol
prosentasi tinggi kadar Etanol tergantung dengan kelarutan zat aktif dan bahan
pengisi dalam pelarut, serta kekerasan tablet yang diinginkan. Pembuatan dengan
cara menekan massa serbuk lembab dengan tekanan rendah pada lubang cetakan.
Kemudian dikeluarkan dan dibiarkan kering. Tablet cetak agak rapuh sehingga
tablet dapat di potek dan harus hati-hati saat pengemasan dan pendistribusiannya.,
besar tekanan pada tablet 25-50 bar.Kepadatan tablet tergantung pada
pembentukan kristal yang terbentuk selama pengeringan, tidak tergantung pada
kekuatan yang diberikan.
2. Tablet kempa
Tablet kempa didefinisikan sebagai bentuk sediaan padat yang dibuat
dengan cara pengempaan dari sebuah formula dengan memberikan tekanan tinggi
(tekanan di bawah beberapa ratus kg/cm2 ) pada serbuk/granul menggunakan
pons/cetakan baja. Umumnya tablet kempa mengandung zat aktif, bahan pengisi,
bahan pengikat, desintegran, dan lubrikan, tetapi dapat juga mengandung bahan
pewarna, bahan pengaroma, dan bahan pemanis.Tablet biasanya mempunyai
ketebalan kurang dari ½ diameternya.Tablet kempa ganda, tablet kempa yang
dibuat dengan lebih dari satu kali siklus tekanan.
12
B. Berdasarkan Distribusi Obat dalam Tubuh
a. Tablet untuk vagina (ovula), digunakan sebagai anti infeksi, anti fungi, hormon
local.
2. Untuk pengobatan sistemik, per oral. Tablet yang bekerja sistemik dapat
dibedakan menjadi
a. Short acting/ jangka pendek : dalam satu hari memerlukan beberapa kali
menelan obat. Obat bekerja tidak lebih dari 8 jam
b. Long acting/ jangka panjang : dalam satu hari cukup menelan satu tablet. Obat
bekerja tidak lebih dari 8 jam.
Adalah tablet kempa yang disalut dengan beberapa lapisan gula baik
berwarna maupun tidak. Lapisan gula berasal dari suspensi dalam air mengandung
serbuk yang tidak larut, seperti pati, kalsium karbonat, talk, atau titanium dioksida
yang disuspensikan dengan gom akasia atau gelatin.
Tablet kempa yang disalut dengan salut tipis, bewarna atau tidak dari
bahan polimer yang larut dalam air yang hancur cepat di dalam saluran cerna.
Penyalutan tidak perlu berkali-kali. Disalut dengan hidroksi propil metil selulosa,
metil selulosa, hidroksi propil selulosa, Na-CMC, dan campuran selulosa asetat
ftalat dengan PEG yang tidak mengandung air atau mengandung air.
13
Adalah tablet yang disalut secara kempa cetak dengan massa granulat
yang terdiri atas laktosa, kalsium fosfat, dan zat lain yang cocok. Mula-mula
dibuat tablet inti, kemudian dicetak lagi bersama granulat kelompok lain sehingga
terbentuk tablet berlapis (multi layer tablet). Tablet ini sering di gunakan untuk
pengobatan secara repeat action.
Adalah tablet yang dikempa yang disalut dengan suatu zat yang tahan
terhadap cairan lambung, reaksi asam, tetapi terlarut dalam usus halus. maka
diperlukan penyalut enterik yang bertujuan untuk menunda pelepasan obat sampai
tablet melewati lambung. Bahan yang sering digunakan adalah alol, keratin,
selulosa acetat phtalat.
6. Tablet berlapis
2.11. Tablet lepas lambat (Sustained release) dan tablet lepas cepat
(Immediate realease).
1. Tablet lepas lambat (Sustained release)
14
1999). Secara ideal, produk obat pelepasan terkendali hendaknya melepaskan obat
pada suatu laju yang konstan, atau laju orde nol (Shargel & Yu, 1999).
a. Penyalutan
b. Sistem matriks
15
Pelepasan obat dari sistem pompa osmotik dikontrol oleh suatu membran
yang mempunyai satu lubang (hole). Obat dimasukkan dalam suatu tablet inti
yang bersifat larut air dan dapat melarutkan obat ketika kontak dengan air. Tablet
inti disalut dengan suatu membran semipermiabel (dapat melewati air yang masuk
ke dalam tablet inti dan melarutnya). Ketika tablet inti terlarut maka timbul
tekanan hidrostatik dan menekan larutan obat keluar melewati lubang membran
(Collett and Moreton, 2002).
b. Lebih sulit penanganan penderita apabila terjadi kasus keracunan atau alergi
obat, karena kandungan bahan aktif yang relatif lebih tinggi
c. Harga obat biasanya lebih mahal karena biaya pengembangan dan produksi
yang relatif lebih tinggi.
Tablet lepas cepat adalah tablet yang dirancang untuk melepaskan obatnya
segera setelah digunakan. Immediate release atau lepas cepat atau disebut juga
fasting release merupakan merupakan mekanisme pelepasan obat dengan cepat,
misalnya segera lepas setelah masuk ke mulut sebelum ke lambung melalui
16
kerongkongan. Jadi langsung diabsorpsi di membrane mukosa mulut. Sediaan
obat dengan sistem ini keunggulannya praktis digunakan jika bepergian, tidak
memerlukan air, dan bermanfaat untuk kesulitan menelan seperti anak-anak atau
lansia. Sistem ini tidak hanya untuk sediaan obat, tetapi juga digunakan untuk zat
pengaroma mulut misalnya. Biasanya berupa tablet atau mikrosfer. Obat dengan
sistem ini akan terhindar dari adanya efek dari first metabolism sehingga
bioavailabilitas obat lebih besar dan lebih banyak yang dapat dihantar langsung ke
reseptor.
Dalam beberapa keadaan penyakit, bentuk sediaan obat yang ideal adalah
mampu memberikan jumlah obat untuk sampai ke reseptor (tempat aksi obat) dan
kemudian secara konstan dipertahankan selama waktu pengobatan yang
diinginkan. Pemberian obat dalam dosis yang cukup dan frekuensi yang benar
maka konsentrasi obat terapeutik steady state di plasma dapat dicapai secara cepat
dan dipertahankan dengan pemberian berulang dengan bentuk sediaan
konvensional peroral. Namun terdapat sejumlah keterbatasan dari bentuk sediaan
konvensional peroral (Collett and Moreton, 2002).
17
18
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
19
2. Dimasukkan 13,121 gram
Sodium Phosphate Dibasic dan
7,044 gram Sodium Phosphate
Monobasic ke dalam masing-
masing gelas beaker yang telah
berisi air sebanyak 1000 ml, lalu
diaduk dengan menggunakan
batang pengaduk hingga
homogen.
3. Larutan dapar fosfat yang telah
jadi di cek pHnya dengan
menggunakan pH meter (Horiba
F-52 HR-4660)
20
3.2.2 Uji Disolusi
21
dengan menggunakan
spektrofotometer UV-Visible.
7. Dikonversikan menjadi kadar
dan menjadi jumlah obat yang
terlarut pada waktu pengambilan
cuplikan
8. Dibuat kurva laju disolusi dari
tablet Metformin Sustained
Release dan Metformin
Immediated Release
Menit 50 50
𝐼𝑅 = = 2,5 𝑎𝑑 47,5 ml 𝑋𝑅 = = 5 𝑎𝑑 45 𝑚𝑙
20
ke-5 10
Menit 50 50
𝐼𝑅 = = 1,25 𝑎𝑑 48,75 ml 𝑋𝑅 = = 5 𝑎𝑑 45 𝑚𝑙
40
ke-10 10
Menit 100 50
𝐼𝑅 = = 1,25 𝑎𝑑 98,75 𝑚𝑙 𝑋𝑅 = = 5 𝑎𝑑 45 𝑚𝑙
ke-20 80 10
Menit 100 50
𝐼𝑅 = 𝑋𝑅 = = 5 𝑎𝑑 45 𝑚𝑙
ke-30 80 10
= 1,25 𝑎𝑑 98,75 𝑚𝑙
Menit 100 50
𝐼𝑅 = 𝑋𝑅 = = 5 𝑎𝑑 45 𝑚𝑙
ke-40 80 10
= 1,25 𝑎𝑑 98,75 𝑚𝑙
Menit 100 50
𝐼𝑅 = 𝑋𝑅 = = 2,5 𝑎𝑑 47,5 𝑚𝑙
ke-50 80 20
= 1,25 𝑎𝑑 98,75 𝑚𝑙
Menit 50 50
𝐼𝑅 = = 0,5 𝑎𝑑 49,5 ml 𝑋𝑅 = = 2,5 𝑎𝑑 47,5 𝑚𝑙
100
ke-60 20
22
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
1. Perhitungan Dapar Fosfat pH 6,8
a. Sodium phosphate dibasic = 52,483 g
b. Sodium phosphate monobasic = 28,175 g
2. Perhitungan Pengenceran
Rumus:
23
3. Pembuatan Kurva Kalibrasi Metformin
Konsentrasi (ppm) Absorban
2 0,162
4 0,33
6 0,478
8 0,685
10 0,793
12 0,942
0.8
Absorbansi
0
0 5 10 15
Konsentrasi (ppm)
24
5. Perhitungan Konsentrasi Tablet Metformin IR dan Metformin XR
Konsentrasi metformin (x) dapat dihitung dengan mendistribusikan nilai
absorbansi (y) kedalam persamaan regresi linier
y = 0,078x + 0,015
y − 0,015
𝑥=
0,078
25
Faktor Koreksi = 5,2820 × 10 ml = 52,820
Menit ke-40
Faktor pengenceran 80×
x = (y – 0,015)/0,078
x = (0,526 – 0,015)/0,078
x = 6,551 µg/ml × 900 ml = (5896,154 × 80) + 57,8 + 58,85 + 52,820
+ 67,564 = 471929,354 µg
Faktor Koreksi = 6,756 × 10 ml = 67,564
Menit ke-50
Faktor pengenceran 80×
x = (y – 0,015)/0,078
x = (0,528 – 0,015)/0,078
x = 6,577 µg/ml × 900 ml = (5919,231× 80) + 57,8 + 58,85 + 52,820
+ 67,564 + 65,512 = 473841,026 µg
Faktor Koreksi = 6,5512 × 10 ml = 65,512
Menit ke-60
Faktor pengenceran 100×
x = (y – 0,015)/0,078
x = (0,528 – 0,015)/0,078
x = 3,487179 µg/ml × 900 ml = (3138,462 × 100) + 57,8 + 58,85 +
52,820 + 67,564 + 65,512 + 65,769 = 314214,515 µg
Faktor Koreksi = 6,5769 × 10 ml = 65,769
26
Menit ke-10
Faktor Pengenceran 10×
x = (y – 0,015)/0,078
x = (0,312 – 0,015)/0,078
x = 3,807692 µg/ml × 900 ml = (3426,923 × 10) + 27, 5641=
34296,7941 µg
Faktor koreksi = 2,75641 × 10 ml = 27, 5641
Menit ke-20
Faktor Pengenceran 10×
x = (y – 0,015)/0,078
x = (0,505 – 0,015)/0,078
x = 6,282 µg/ml × 900 ml = (5653,846 × 10) + 27, 5641+ 38,07692=
56604,101 µg
Faktor koreksi = 3,807692 × 10 ml = 38,07692
Menit ke-30
Faktor Pengenceran 10×
x = (y – 0,015)/0,078
x = (0,614 – 0,015)/0,078
x = 7,679 µg/ml × 900 ml = (6911,538 × 10) + 27, 5641+ 38,07692 +
62,82 = 69243,841 µg
Faktor koreksi = 6,282 × 10 ml = 62,82
Menit ke-40
Faktor Pengenceran 10×
x = (y – 0,015)/0,078
x = (0,723 – 0,015)/0,078
x = 9,0769 µg/ml × 900 ml = (8169,231 × 10) + 27, 5641+ 38,07692
+ 62,82 + 76,79 = 81897,561 µg
Faktor koreksi = 7,679 × 10 ml = 76,79
Menit ke-50
Faktor Pengenceran 20×
x = (y – 0,015)/0,078
x = (0,433 – 0,015)/0,078
27
x = 5,35897 µg/ml × 900 ml = (4823,077 × 20) + 27, 5641+ 38,07692
+ 62,82 + 76,79 + 90,769 = 96757,56 µg
Faktor koreksi = 9,0769 × 10 ml = 90,769
Menit ke-60
Faktor Pengenceran 20×
x = (y – 0,015)/0,078
x = (0,471 – 0,015)/0,078
x = 5,8461 µg/ml × 900 ml = (5261,538× 20) + 27, 5641+ 38,07692 +
62,82 + 76,79 + 90,769 + 53,5897 = 105580,3697 µg
Faktor koreksi = 5,35897 × 10 ml = 53,5897
4.2 Pembahasan
Uji disolusi merupakan suatu metode fisika yang penting sebagai
parameter dalam pengembangan mutu sediaan obat yang didasarkan pada
pengukuran kecepatan pelepasan dan pelarutan zat aktif dari sediaanya. Uji
disolusi digunakan untuk uji bioavailabilitas secara in vitro, karena hasil uji
disolusi berhubungan dengan ketersediaan hayati obat dalam tubuh
(Banakar,1992). Uji disolusi bertujuan untuk memprediksi korelasi
bioavailabilitas in vivo dari produk obat.
Pada praktikum kali ini, dilakukan uji disolusi tablet metformin
immediate release 500 mg dan tablet metformin extended release 500 mg. Uji
disolusi dilakukan berdasarkan ketentuan farmakope V dengan metode
keranjang dengan kecrpatan 100 rpm. Medium disolusi yang digunakan adalah
dapar fosfat pH 6,8 dengan suhu 37o C (Depkes Ri, 2014)..
Tablet metformin immediate release cenderung akan melepaskan
secara cepat seluruh kandungan dosis setelah diberikan, konsentrasi obat
dalam plasma dan di tempat aksi mengalami fluktuasi sehingga tidak mungkin
untuk mempertahankan konsentrasi terapetik secara konstan di tempat aksi
selama waktu pengobatan. Oleh karena itu, dikembangkan tablet metformin
extended release yang dapat melepaskan obat dari sediaannya dengan
kecepatan lambat dan konstan dalam jangka waktu tertentu, sehingga akan
sangat menguntungkan untuk tujuan pengobatan tertentu yang memerlukan
28
kadar obat dalam plasma relative konstan pada jangka waktu lama(Collet and
moreton, 2002).
Setelah dilakukan pengujian disolusi terhadap tablet metformin IR dan
metformin XR, diperoleh profil disolusi sebagai berikut:
80
60
40 Series1
20
0
0 20 40 60 80
Waktu (menit)
29
Profil Disolusi Tablet Metformin
XR
25
20
%Disolusi 15
10 Profil Disolusi
Tablet Metformin
5 XR
0
0 20 40 60 80
Waktu (menit)
30
metformin yang terdisolusi haruslah ≥ 85% setelah 12 jam dalam medium
dapar fosfat (USP 32). Akan tetapi kami belum bisa membuktikan persyaratan
ini karena waktu uji yang dilakukan hanya sampai dengan 1 jam. Namun bila
dilihat pada waktu ke 60 menit tablet extended release, % Metformin yang
terdisolusi memang masih pada angka 21% yang artinya butuh waktu lebih
lama untuk terdisolusi seluruhnya dibanding tablet immidiate release yang
telah mencapai 98% hanya dalam waktu 30 menit.
Maka dari itu bila dilihat dari kurva, keduanya terlihat jelas perbedaan
bahwa tablet MIR ( Metformin immidiate release) lebih cepat terdisolusi dan
lebih banyak terdisolusi dalam kurun waktu 60 menit dibanding MXR
(Metformin extended release). Contohnya pada menit ke 5 saat di uji dengan
spektrofotometri UV-Vis %terdisolusi MIR sudah mencaai angka 20,6%
sedangkan MXR baru 4,9%. Begitupula pada menit-menit selanjutnya. Ini
membuktikan benar bahwa MXR di rancang agar lepas secara lambat dan
MIR lepas secara dipercepat.
31
Bila dibandingkan, kurva MIR praktikum dengan kurva dari suatu jurnal
dengan media yang sama maka didapati,
Tablet MIR
80 76.2968
60 67.1552
40 42.2776
20 20.664
0 0
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu (Menit)
32
akibat kesalah dalam pengenceran ataupun pengembalian medium setelah diambil
sampel, karena obat selalu diambil saat telah mencapai %terdisolusi 98% dan
medium selalu diganti sesuai sample, menyebabkan konsentrasi obat yang sudah
terdisolusi nyaris seluruhnya menjadi sedikit akibat sampling dan tidak adanya
lagi obat yang terdisolusi.
15 16.6082
13.9718
10 11.363
6.895
5 4.95
0 0
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu (Menit)
33
%terdisolusinya, namun dapat kita lihat bahwa kurva MXR jurnal diatas terus
mengalami peningkatan pada 1 jam pertama, hal ini sama dengan MXR pada
praktikum yang terus mengalami penaikan %Terdisolusi disetiap menitnya.
Selain itu dalam USP 32, dijelaskan berapa %terdisolusi perjam pada MXR,
seperti dibawah ini:
34
BAB V
KESIMPULAN
Sediaan tablet MIR dapat memberikan onset kerja lebih cepat bila
dibandingkan dengan MXR, namun hal ini juga menyebabkan fluktuasi dari
konsentrasi terapetik pada area kerja terjadi lebih cepat, sehingga efek terapi tidak
dapat dipertahankan dalam waktu lama. MXR dengan pola pelepasan obat yang
lambat dan konstan dalam jangka waktu tertentu, memiliki keuntungan dimana
efek terapi dapat dipertahankan dalam waktu yang lebih lama. Sehingga frekuensi
penggunaan obat pada pasien menjadi lebih sedikit, dan pasien dapat menjadi
lebih patuh terhadap penggunaan obat.
35
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Difusi dan Osmosis. Faperta UGM. Dikutip dari
http://www.faperta.ugm.ac.id/buper/download/kuliah/pertemuan%202%20
(difusi%20dan%20osmosis).ppt diakses pada 7 Oktober 2018 pukul 00.47
WIB.
Agoes, G., 2008, Pengembangan Sediaan Farmasi, Edisi Revisi & Pelunasan,
ITB, Bandung, 199 – 200
Akbar, Mohammad A., et al. 2011. In vitro Dissolution Studies of Different
Brands of Sustained Release Metformin Hydrochloride Matrix Solid
Dosage Forms. Journal of Pharmacy Research. 4(10),3436-3438
Aulton, M. E., Pharmaceutics: The Science Of Dosage Form Design, Edisi II,
Churchill Livingstone, Edinburg – Londion – New York – Philadelphia
– St Louis Sydney – Toronto, 289-305
Collett, J., and Moreton, C., 2002, Modified – release Peroral Dosage Form,
dalam Aulton, M. E., Pharmaceutics: The Science Of Dosage Form
Design, Edisi II, Churchill Livingstone, Edinburg – Londion – New York
– Philadelphia – St Louis Sydney – Toronto, 289-305
Gennaro, A.R., 1990, Remingtons Pharmaceuticals Sciences, 18th ed., Mack Publ.
Co, Easton.
36
Gennaro, A.R., 2000, Remington : The Science and Practice of Pharmacy, 20th
Edition, Mack Publisihing Company, Easton Pensylvania.
Jun Li, Yong Jin, Ting-Yu Wang, Xiong-Wen LV, Yuan-Hal Li, 2007, Relative
bioavailability and bioequivalence of metforphin hydrochloride
extendedreleased and immediatereleased tablets in healthy Chinese
volunteers, European Journal Of Drug Metabolism And
Pharmacokinetics
Lachman, L., Lieberman, H.A., and Kanig, J.L., 1994, Teori dan Praktik Industri
Farmasi, 643-705, diterjemahkan oleh Suyatmi, S.,Jakarta, UI Press.
Martin, A., Swarbick, J., dan A. Cammarata. 1993. Farmasi Fisik 2. Edisi III.
Jakarta: UI Press
Sari, Devia Permata., T.N. Saifullah Sulaiman dan Okti Ratna Mafruhah. 2013.
Uji Disolusi Terbanding Tablet Metformin Hidroklorida Generik
Berlogo Dan Bermerek. Yogyakarta: Majalah Farmasuetik, Vol. 9 No.
1 Tahun 2013
Shargel, L., Yu, A., and Wu, S., 2005, Biofarmasetika dan Farmakokinetika
Terapan, Edisi kedua, Airlangga University Press, Surabaya.
Siregar, C.J.P., dan Wikarsa, S., 2010, Teknologi Farmasi Sediaan Tablet
DasarDasar Praktis, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
37
The United States Pharmacopoeial Convention. 2008. United States
Pharmacopoeia 32nd Edition
Troja, Eva, Leonard Deda, dan Gëzim Boçari. TT. Metformin IR tablets: partial in
vitro dissolution profiles differences do not preclude in vivo
bioequivalence. Journal of Medical and Biological Sciences.
38