Anda di halaman 1dari 39

Laporan Kasus

Infertilitas primer e.c. polipendometrium + endometriosis

Oleh:

M. Muhararry Akbar, S.Ked 04054821719124


Kevin Arjun, S.Ked 04054821719128
Dicky Hartono, S.Ked 04054821719132
Ayu Aprilisa D.P, S.Ked 04054821820010
Izzy Vikrat, S.Ked 04054821820054
Pembimbing:

Dr. R. M. Aerul Cakra Alibasyah, Sp.OG (K)

DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018

1
BAB I
PENDAHULUAN

Pasangan infertil adalah pasangan suami istri yang telah menikah selama
satu tahun dan sudah melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan alat
kontrasepsi tetapi belum hamil. Berdasarkan kejadiannya infertilitas dibagi menjadi
dua, yaitu infertilitas primer apabila istri belum pernah hamil walaupun
bersenggama dan dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan selama 12 bulan,
sedangkan disebut sebagai infertilitas sekunder apabila istri pernah hamil, akan
tetapi kemudian tidak terjadi kehamilan lagi walaupun bersenggama dan
dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan selama 12 bulan.
Infertilitas merupakan permasalahan global di bidang reproduksi kesehatan
yang sangat kompleks. Perlu penataan rasional dan terpadu. Data menunjukkan
bahwa pasangan infertil di Britain setiap tahun ada 25%, Swedia 10%. Prevalensi
di dunia yang mengalami masalah fertilitas setiap tahun adalah 1 dari 7 pasangan.
Pasangan infertil di Indonesia tahun 2009 adalah 50 juta pasangan atau 15-20%.
Penyebab utama infertilitas adalah, defek atau disfungsi sperma (25-30%),
kegagalan ovulasi (10-20%), kerusakan tuba akibat infeksi (10-30%), dan
infertilitas yang tidak diketahui sebabnya (15-25%). Penyebab lain infertilitas
adalah endometriosis (10-15%), kegagalan atau kurangnay frekuensi koitus (3-4%),
disfungsi atau defek mucus serviks (3-5%), abnormalitas uterus, tuberkulosis
genital, dan penyakit yang menyebabkan kelumpuhan. Infertilitas tidak semata-
mata terjadi kelainan pada wanita saja. Hasil penelitian membuktikan bahwa suami
menyumbang 25-40% dari angka kejadian infertil, istri 40-55%, keduanya 10%,
dan idiopatik 10%
Endometriosis selama 30 tahun terakhir ini menunjukan angka kejadian
yang meningkat yaitu antara 5-15 % dapat ditemukan diantara semuaoperasi pelvik.
Endometriosis jarang didapatkan pada orang-orang Negro, dan lebih sering
didapatkan pada perempuan-perempuan dari golongan sosio-ekonomi yang kuat,
yang menarik perhatian adalah bahwa endometriosis lebih sering ditemukan pada
perempuan yang tidak kawin pada umur muda, dan yang tidak mempunyai

2
banyak anak karena fungsi ovarium secara siklis yang terus menerus tanpa diselingi
oleh kehamilan, memegang peranan dalam terjadinya endometriosis.
Penanganan endometriosis yang baik memerlukan diagnosis yang tepat.
Pengobatan secara hormonal masih merupakan pilihan utama dan beberapa
penelitimenyatakan bahwa gabungan pengobatan hormonal dengan tindakan
pembedahanmemberikan hasil yang lebih baik.

3
BAB II
STATUS PASIEN
I. IDENTIFIKASI
a. Nama : Ny. MK
b. Umur : 34 tahun
c. Tanggal lahir : 21 April 84
d. Alamat : Jl. Rambutan Taba Jemekeh, Lubuk linggau
e. Suku, Bangsa : Sumatera, Indonesia
f. Agama : Islam
g. Status/Pendidikan : SLTA
h. Pekerjaan : IRT
i. No. RM : 1028969

II. ANAMNESIS (Tanggal)


Keluhan Utama
Belum memiliki anak sejak 7 tahun yang lalu.

Riwayat Perjalanan Penyakit


Sejak ± 7 tahun SMRS Os mengeluh belum juga mengandung. Os
sudah menikah dan belum punya anak selama 7 tahun. Os mengakui
berhubungan intim dengan suaminya + 3 kali dalam seminggu. Os mengeluh
nyeri saat melakukan hubungan intim. Sejak remaja, Os mengaku sering
merasa nyeri saat menstruasi, namun tidak sampai menggangu aktivitas. Os
juga mengaku bahwa menstruasinya sering tidak teratur, biasanya 3 hari,
namun os belum pernah konsul ke dokter. Nyeri biasanya di hari pertama
menstruasi. Tidak dijumpai adanya kelainan pada BAB dan BAK. Os dan
suami mengaku tidak merokok. Sejak ± 2 tahun yang lalu, os mengatakan
nyeri yang dirasakan semakin memberat, namun os belum berobat. Nyeri
dirasakan hanya beberapa saat, dirasakan terutama ketika melakukan
hubungan intim. Sejak ± 6 bulan yang lalu, os berobat ke SpOG di
lubuklinggau dan didiagnosis menderita polip endometrium sinistra. Os

4
kemudian dirujuk ke RSMH untuk pemeriksaan lebih lanjut dan direncanakan
operasi.

Riwayat Penyakit Dahulu


R/ darah tinggi (-)
R/ mengkonsumsi obat-obatan (-)
R/ kencing manis (-)
R/ keganasan (-)

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


R/ darah tinggi (-)
R/ kencing manis (-)
R/ keganasan (-)
R/ susah mengandung (-)

Status Sosial Ekonomi dan Gizi : sedang


Status Perkawinan : sudah menikah satu kali sejak
tahun 2011
Status Reproduksi : menarche usia 14 tahun, siklus haid
tidak teratur, lamanya 3-4 hari.
HPHT 17/07/2018 dan 15/08/2018
Status Persalinan : P0A0

III. PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal)


PEMERIKSAAN FISIK UMUM
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
BB : 54 kg
TB : 160 cm
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 86x/ menit, isi/kualitas cukup, reguler

5
Respirasi : 18x/menit, reguler
Suhu : 36,6oC

PEMERIKSAAN KHUSUS
Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), edema
palpebra (-), pupil isokor 3mm, refleks cahaya
(+/+)
Hidung : sekret (-), perdarahan (-)
Mulut : Pucat (-), perdarahan di gusi (-), sianosis (-),
mukosa mulut dan bibir kering (-), fisura (-),
cheilitis (-)
Lidah : Atropi papil (-)
Faring/Tonsil : Dinding faring posterior hiperemis (-), tonsil T1-
T1, tonsil tidak hiperemis, detritus (-)
Kulit : CRT <2s
Leher
Inspeksi : JVP 5-2 mmH2O, pembesaran KGB (-)
Palpasi : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Thorax
Inspeksi : simetris, retraksi intercostal, subkostal,
suprasternal (-)
Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri
Paru
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : vesikuler (+), ronkhi (-), wheezing (-).
Jantung
Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : iktus cordis tidak teraba, tidak ada thrill
Perkusi : Jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-).
Ekstremitas

6
Pucat (-), CRT <2, edema pretibial (-)

PEMERIKSAAN GINEKOLOGI
Pemeriksaan luar: datar, lemas, simetris, fundus uteri tidak teraba, massa (-),
nyeri tekan (-), TCB (-)
Pemeriksaan Dalam (Inspekulo): Portio tak livide, OUE tertutup, Fluor (+),
Fluksus (-), Sondase ±7 cm, Erosi (+), Laserasi (-), Polip (-)
Vaginal touche: portio kenyal, OUE tertutup, CUT sesuai normal, AP kanan
dan kiri tegang, CD tak menonjol.

IV. PEMERIKSAAN TAMBAHAN


Hasil Pemeriksaan USG:
 Tampak uterus retrofleksi berbentuk S ukuran dalam batas normal,
ukuran 7,5 x 4 cm,
 Myometrium homogen,
 Endometrial line (+), stratum basalis reguler.
 Tampak lesi hiperekoik berbatas tegas pada cavum uteri ukuran 1,4
cm menyerupai polip.
 Ovarium kanan dalam batasan normal, folikel (+), volume 7,76 cm3,
2,43 x 2,61 cm.
 Ovarium kiri dalam batasan normal.
 Hepar, lien dan kedua ginjal dalam batasan normal
Kesan: Suspek polip endometrium.

7
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Konvensional
Jenis Pemeriksaan Keterangan
Hasil Nilai normal
HEMATOLOGI
Hemoglobin (Hb) 12,4 g/dL 11,4-15,00 g/dL Normal
Eritrosit (RBC) 4,26 x 106/mm3 4,00-5,70x106/mm3 Normal
Leukosit (WBC) 6,2 x 103/mm3 4,73-10,89x 103/mm3 Normal
Hematokrit (Ht) 38% 35-45% Normal
Trombosit 411 x 103/L 189-436 x 103/L Normal
RDW-CV 12,40 % 11-15% Normal
Hitung jenis leukosit Normal

 Basofil 0% 0-1% Normal

 Eosinofil 1% 1-6% Normal

 Neutrofil 54% 50-70% Normal

 Limfosit 35% 20-40% Normal

 Monosit 10% 2-8% Meningkat


KIMIA KLINIK
HATI
AST/SGOT 14 U/L 0-32 U/L Normal

ALT/SGPT 7 U/L 0-31 U/L Normal

Protein Total 8,0 g/dL 6,4-8,3 g/dL Normal

Albumin 4,3 g/dL 3,5-5,0 g/dL Normal

Globulin 3,6 g/dL 2,6-3,6 g/dL Normal

MET.KARBOHIDRAT
Glukosa Sewaktu 83 mg/dL <200 mg/dL Normal

GINJAL
Ureum 28 mg/dL 16,6-48,5 mg/dL Normal

Kreatinin 0,7 mg/dL 0,50-0,90 mg/dL Normal

8
ELEKTROLIT
Kalsium (Ca) 9,0 mg/dL 8,8-10,2 mg/dL Normal

Natrium (Na) 148 mEq/L 135-155 mEq/L Normal

Kalium (K) 4,7 mEq/L 3,5-5,5 mEq/L Normal


96-106 mmol/L
Klorida (Cl) 113 mmol/L Meningkat
Nilai Kritis: <80 atau >120
IMUNOSEROLOGI
Penanda Tumor
12,7 U/mL 0-35 U/mL Normal
CA-125
Penandan Tumor
4,7 ng/mL 0-8 ng/mL Normal
AFP (Alfa Feto Protein)
Penanda Tumor
0,5 ng/mL 0,0-4,7 ng/mL Normal
CEA

V. DIAGNOSIS KERJA
Infertilitas primer e.c. polip endometrium + endometriosis.

VI. PROGNOSIS
Prognosis : dubia ad bonam

VII. TATALAKSANA (Planning / P)


a. TERAPI
Rencana Rongten Thoraks PA
Rencana laparoskopi kistektomi
Rencana cek darah rutin, darah kimia

b. MONITORING
Observasi tanda vital dan nyeri.

9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Infertilitas
Infertilitas merupakan kondisi yang umum ditemukan dan dapat disebabkan
oleh faktor perempuan, laki-laki, maupun keduanya. Infertilitas dapat juga tidak
diketahui penyebabnya yang dikenal dengan istilah infertilitas idiopatik. Masalah
infertilitas dapat memberikan dampak besar bagi pasangan suami-istri yang
mengalaminya, selain menyebabkan masalah medis, infertilitas juga dapat
menyebabkan masalah ekonomi maupun psikologis. Secara garis besar, pasangan
yang mengalami infertilitas akan menjalani proses panjang dari evaluasi dan
pengobatan, dimana proses ini dapat menjadi beban fisik dan psikologis bagi
pasangan infertilitas.
Bertambahnya umur sangat berpengaruh terhadap fertilitas seorang
perempuan, namun pada laki-laki, bertambahnya umur belum memberikan
pengaruh yang jelas terhadap kesuburan. Penelitian di Perancis melaporkan 65%
perempuan berumur 25 tahun akan mengalami kehamilan pada 6 bulan dan secara
akumulasi 85% kehamilan akan didapatkan pada akhir tahun pertama. Ini berarti
jika terdapat 100 pasangan yang mencoba untuk hamil, 40 pasangan tidak akan
hamil setelah enam bulan, dan 15 pasangan tetap tidak hamil setelah setahun.
Untuk pasangan dengan umur 35 tahun atau lebih peluang kehamilan menjadi 60%
pada tahun pertama dan 85% pada tahun kedua. Kurang lebih 15 persen tetap belum
mendapatkan kehamilan setelah tahun ke-3 perkawinan.
Infertilitas merupakan kegagalan suatu pasangan untuk mendapatkan
kehamilan sekurangkurangnya dalam 12 bulan berhubungan seksual secara teratur
tanpa kontrasepsi, atau biasa disebut juga sebagai infertilitas primer. Infertilitas
sekunder adalah ketidakmampuan seseorang memiliki anak atau mempertahankan
kehamilannya. Pada perempuan di atas 35 tahun, evaluasi dan pengobatan dapat
dilakukan setelah 6 bulan pernikahan. Infertilitas idiopatik mengacu pada pasangan
infertil yang telah menjalani pemeriksaan standar meliputi tes ovulasi, patensi tuba,
dan analisis semen dengan hasil normal. Fekunditas merupakan kemampuan

10
seorang perempuan untuk hamil. Data dari studi yang telah dilakukan pada populas,
kemungkinan seorang perempuan hamil tiap bulannya adalah sekitar 20 sampai
25%.

3.1.1. Etiologi Infertilitas pada Wanita


Penyebab infertilitas pada wanita dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yaitu:
1. Gangguan ovulasi: seperti SOPK, gangguan pada siklus haid, insufiensi
ovarium primer Infertilitas yang disebabkan oleh gangguan ovulasi dapat
diklasifikasikan berdasarkan siklus haid, yaitu amenore primer atau sekunder.
Namun tidak semua pasien infertilitas dengan gangguan ovulasi memiliki gejala
klinis amenorea, beberapa diantaranya menunjukkan gejala oligomenorea.
Amenorea primer dapat disebabkan oleh kondisi di bawah ini:
Tabel 1. Penyebab Amenorea Primer
Uterus Agenesis mullerian (Rokitansky
sindrom)
Ovarium Sindrom Ovarium Polikistik (SPOK)
Turner Sindrom
Hipotalamus (hipogonadotropin Kehilangan berat badan
hypogonadism) Latihan yang berat (atlet lari)
Genetic (Kallman sindrom)
Idiopatik
Pubertas terlambat
Hipofisis Hiperprolaktinemia
Penyebab dari kerusakan Tumor (gliomas, kista dermoid)
hipotalamus/hipofisis (hypogonadism) Trauma kepala
Penyebab sistemik Kehilangan berat badan
Kelainan endokrin (penyakit tiroid,
cushing syndrome)

11
WHO membagi kelainan ovulasi ini dalam 3 kelas, yaitu:
Kelas 1: Kegagalan pada hipotalamus hipofisis (hipogonadotropin hipogonadism)
Karakteristik dari kelas ini adalah gonadotropin yang rendah, prolaktin
normal, dan rendahnya estradiol. Kelainan ini terjadi sekitar 10% dari
seluruh kelainan ovulasi.
Kelas 2: Gangguan fungsi ovarium (normogonadotropin - normogonadism)
Karakteristik dari kelas ini adalah kelainan pada gonadotropin namun
estradiol normal. Anovulasi kelas 2 terjadi sekitar 85% dari seluruh kasus
kelainan ovulasi. Manifestasi klinik kelainan kelompok ini adalah
oligomenorea atau amenorea yang banyak terjadi pada kasus sindrom
ovarium polikistik (SOPK). Delapan puluh sampai sembilan puluh
persen pasien SOPK akan mengalami oligomenorea dan 30% akan
mengalami amenorea.
Kelas 3: Kegagalan ovarium (hipergonadotropin-hipogonadism) Karakteristik
kelainan ini adalah kadar gonadotropin yang tinggi dengan kadar
estradiol yang rendah. Terjadi sekitar 4-5% dari seluruh gangguan
ovulasi.
Kelas 4: Hiperprolaktinemia

2. Gangguan tuba dan pelvis


Kerusakan tuba dapat disebabkan oleh infeksi (Chlamidia, Gonorrhoea,
TBC) maupun endometriosis. Endometriosis merupakan penyakit kronik yang
umum dijumpai. Gejala yang sering ditemukan pada pasien dengan
endometriosis adalah nyeri panggul, infertilitas dan ditemukan pembesaran
pada adneksa. Dari studi yang telah dilakukan, endometriosis terdapat pada
25%-50% perempuan, dan 30% sampai 50% mengalami infertilitas. Hipotesis
yang menjelaskan endometriosis dapat menyebabkan infertilitas atau
penurunan fekunditas masih belum jelas, namun ada beberapa mekanisme pada
endometriosis seperti terjadinya perlekatan dan distrorsi anatomi panggul yang
dapat mengakibatkan penurunan tingkat kesuburan. Perlekatan pelvis pada

12
endometriosis dapat mengganggu pelepasan oosit dari ovarium serta
menghambat penangkapan maupun transportasi oosit.

Klasifikasi kerusakan tuba yaitu:


a. Ringan/ Grade 1
− Oklusi tuba proksimal tanpa adanya fibrosis atau oklusi tuba distal tanpa
ada distensi.
− Mukosa tampak baik.
− Perlekatan ringan (perituba-ovarium)
b. Sedang/Grade 2
− Kerusakan tuba berat unilateral
c. Berat/Grade 3
− Kerusakan tuba berat bilateral
− Fibrosis tuba luas
− Distensi tuba > 1,5 cm
− Mukosa tampak abnormal
− Oklusi tuba bilateral
− Perlekatan berat dan luas

3. Gangguan uterus, termasuk mioma submukosum, polip endometrium,


leiomyomas, sindrom asherman

13
3.1.2. Etiologi Infertilitas pada laki-laki
Infertilitas dapat juga disebabkan oleh faktor laki-laki, dan setidaknya sebesar 30-
40% dari infertilitas disebabkan oleh faktor laki-laki, sehingga pemeriksaan pada
laki-laki penting dilakukan sebagai bagian dari pemeriksaan infertilitas. Fertilitas
laki-laki dapat menurun akibat dari:
a. Kelainan urogenital kongenital atau didapat
b. Infeksi saluran urogenital
c. Suhu skrotum yang meningkat (contohnya akibat dari varikokel)
d. Kelainan endokrin
e. Kelainan genetik
f. Faktor imunologi

Di Inggris, jumlah sperma yang rendah atau kualitas sperma yang jelek merupakan
penyebab utama infertilitas pada 20% pasangan. Kualitas semen yang terganggu,
azoospermia dan cara senggama yang salah, merupakan faktor yang berkontribusi
pada 50% pasangan infertilitas. 1 Infertilitas laki-laki idiopatik dapat dijelaskan
karena beberapa faktor, termasuk disrupsi endokrin yang diakibatkan karena polusi
lingkungan, radikal bebas, atau kelainan genetik.

3.1.3. Faktor Risiko Infertilitas


3.1.3.1. Gaya hidup
Konsumsi Alkohol
o Alkohol dikatakan dapat berdampak pada fungsi sel Leydig dengan
mengurangi sintesis testosteron dan menyebabkan kerusakan pada membran
basalis. Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan pada
fungsi hipotalamus dan hipofisis.
o Konsumsi satu atau dua gelas alkohol, satu sampai dua kali per minggu tidak
meningkatkan risiko pertumbuhan janin. (Rekomendasi D)
o Konsumsi alkohol tiga atau empat gelas sehari pada laki-laki tidak mempunyai
efek terhadap fertilitas.

14
o Konsumsi alkohol yang berlebihan pada laki-laki dapat menyebabkan
penurunan kualitas semen. (Rekomendasi B)
Merokok
o Rokok mengandung zat berbahaya bagi oosit (menyebabkan kerusakan
oksidatif terhadap mitokondria), sperma (menyebabkan tingginya kerusakan
morfologi), dan embrio (menyebabkan keguguran).
o Kebiasaan merokok pada perempuan dapat menurunkan tingkat fertilitas.
(Rekomendasi B)
o Kebiasaan merokok pada laki-laki dapat mempengaruhi kualitas semen, namun
dampaknya terhadap fertilitas belum jelas. Berhenti merokok pada laki-laki
dapat meningkatkan kesehatan pada umumnya
Konsumsi Kafein
o Konsumsi kafein (teh, kopi, minuman bersoda) tidak mempengaruhi masalah
infertilitas (Rekomendasi B)
Berat badan
o Perempuan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) lebih dari 29, cenderung
memerlukan waktu yang lebih lama untuk mendapatkan kehamilan.
(Rekomendasi B)
o Tindakan menurunkan berat badan pada perempuan yang memiliki IMT > 29
dan mengalami anovulasi akan meningkatkan peluang untuk hamil.
(Rekomendasi B)
o Laki-laki yang memiliki IMT > 29 (Rekomendasi C) akan mengalami
gangguan fertilitas
o Upaya meningkatkan berat badan pada perempuan yang memiliki IMT < 19
serta mengalami gangguan haid akan meningkatkan kesempatan terjadinya
pembuahan. (Rekomendasi B)

Olahraga
Olahraga ringan-sedang dapat meningkatkan fertilitas karena akan meningkatkan
aliran darah dan status anti oksidan

15
Olahraga berat dapat menurunkan fertilitas
o Olahraga > 5 jam/minggu, contoh: bersepeda untuk laki-laki
o Olahraga > 3-5 jam/minggu, contoh: aerobik untuk perempuan

Stress
o Perasaan cemas, rasa bersalah, dan depresi yang berlebihan dapat berhubungan
dengan infertilitas, namun belum didapatkan hasil penelitian yang adekuat
o Teknik relaksasi dapat mengurangi stress dan potensi terjadinya infertilitas
o Berdasarkan studi yang dilakukan, perempuan yang gagal hamil akan
mengalami kenaikan tekanan darah dan denyut nadi, karena stress dapat
menyebabkan penyempitan aliran darah ke organ-organ panggul.

3.1.3.2. Suplementasi Vitamin


Konsumsi vitamin A berlebihan pada laki-laki dapat menyebabkan kelainan
kongenital termasuk kraniofasial, jantung, timus, dan susunan saraf pusat.
Asam lemak seperti EPA dan DHA (minyak ikan) dianjurkan pada pasien
infertilitas karena akan menekan aktifasi nuclear faktor kappa B
Beberapa antioksidan yang diketahui dapat meningkatkan kualitas dari sperma,
diantaranya:
o Vit.C dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas semen
o Ubiquinone Q10 dapat meningkatkan kualitas sperma
o Selenium dan glutation dapat meningkatkan motilitas sperma
Asam folat, zink, dan vitamin B12
o Kombinasi asam folat dan zink dapat meningkatkan konsentrasi dan morfologi
sperma
o Kobalamin (Vit B12) penting dalam spermatogenesis
3.1.3.3. Obat-Obatan
1. Spironolakton akan merusak produksi testosteron dan sperma
2. Sulfasalazin dapat mempengaruhi perkembangan sperma normal (dapat
digantikan dengan mesalamin)

16
3. Kolkisin dan allopurinol dapat mengakibatkan penurunan sperma untuk
membuahi oosit
4. Antibiotik tetrasiklin, gentamisin, neomisin, eritromisin dan nitrofurantoin
pada dosis yang tinggi berdampak negatif pada pergerakan dan jumlah sperma.
5. Simetidin terkadang menyebabkan impotensi dan sperma yang abnormal
6. Siklosporin juga dapat menurunkan fertilitas pria

3.1.3.4. Obat-obat Herbal


Penelitian yang dilakukan di California menemukan bahwa konsumsi obat-obatan
herbal dalam jumlah minimal seperti ginko biloba, dicurigai menghambat
fertilisasi, mengubah materi genetik sperma, dan mengurangi viabilitas sperma.

3.1.3.5. Pekerjaan
Terdapat beberapa pekerjaan yang melibatkan paparan bahan berbahaya bagi
kesuburan seorang perempuan maupun laki-laki. Setidaknya terdapat 104.000
bahan fisik dan kimia yang berhubungan dengan pekerjaan yang telah
teridentifikasi, namun efeknya terhadap kesuburan, 95% belum dapat diidentifikasi.
Bahan yang telah teridentifikasi dapat mempengaruhi kesuburan diantaranya panas,
radiasi sinar-X, logam dan pestisida.

17
Tabel 2. Bahan dan efeknya terhadap kesuburan pria
Bahan/Agen Kelompok Pekerja Efek Terhadap Kesuburan
Fisik
Kerja paruh waktu/ waktu Pekerja paruh waktu Tidak memberikan efek
kerja yang lama
Panas (meningkatkan suhu Tukang las, pengendara Parameter sperma menjadi
pada scrotal) mobil dan motor tidak normal
X-Ray Radioterapi Azoospermia, mengurangi
jumlah namun dapat
kembali normal
Elektromagnetik Pekerja tambang Efek tidak konsisten
Kimia
Pestisida Petani Oligozoospermia dan
(Dibromochlorpropane) azoospermia mengurangi
tingkat kesuburan
Cadmium, magnesium Pekerja di pabrik baterai, Mengurangi kesuburan,
pelebur, pekerja metal memberikan efek pada
pasangan seksual
Aceton, glycol ether, carbon Laboran, pekerja di bidang Oligospermia, menurunkan
disulphide percetakan, pekerja kimia fekunditas, parameter
sperma menjadi tidak
normal.
Toluene, styrene Pabrik percetakan dan Tidak memberikan efek
plastic
Gas anastetik Dokter gigi, dokter Tidak memberikan efek
anestesi

18
Tabel 3. Bahan dan efeknya terhadap kesuburan perempuan
Bahan/Agen Kelompok Pekerja Efek Terhadap Kesuburan
Fisik
Kerja paruh waktu/ waktu Paramedis Menurunkan fekunditas,
kerja yang lama pemanjangan waktu untuk
terjadinya kehamilan
Ion dan radiasi Pekerja abrik nuklir Tidak memberikan efek
Visual (computer) Pekerja kantoran Meningkatkan risiko
infertilitas
Kimia
Pestisida Petani Waktu kehamilan tidak
(Dibromochloropropane konsisten
Cadmium, magnesium, obat Perawat, apoteker Pemanjangan waktu
kemoterapi, antibiotik kehamilan, meningkatnya
angka kejadian infertilitas
yang dilaporkan secara
perorangan
Gas anastetik Dokter gigi, dokter Menurunkan angka
anastesi, perawat fekunditas

3.1.4. Pencegahan dan Penanganan


Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menghindari atau menurunkan faktor
risiko terjadinya infertilitas, diantaranya adalah:
1. Mengobati infeksi yang terjadi pada organ reproduksi. Diketahui bahwa infeksi
yang terjadi pada prostat maupun saluran sperma, dapat menyebabkan
infertilitas pada laki-laki.
2. Mengobati penyebab infertilitas pada perempuan
3. Menghindari bahan-bahan yang menyebabkan penurunan kualitas dan jumlah
dari sperma dan sel telur seperti rokok dan alkohol
4. Berperilaku hidup sehat

19
3.1.5. Pemeriksaan Infertilitas
Pemeriksaan pada perempuan Gangguan ovulasi terjadi pada sekitar 15%
pasangan infertilitas dan menyumbang sekitar 40% infertilitas pada perempuan.
Pemeriksaan infertilitas yang dapat dilakukan diantaranya:
1. Pemeriksaan ovulasi
o Frekuensi dan keteraturan menstuasi harus ditanyakan kepada seorang
perempuan. Perempuan yang mempunyai siklus dan frekuensi haid yang
teratur setiap bulannya, kemungkinan mengalami ovulasi (Rekomendasi B)
o Perempuan yang memiliki siklus haid teratur dan telah mengalami
infertilitas selama 1 tahun, dianjurkan untuk mengkonfirmasi terjadinya
ovulasi dengan cara mengukur kadar progesteron serum fase luteal madya
(hari ke 21-28) (Rekomendasi B)
o Pemeriksaan kadar progesteron serum perlu dilakukan pada perempuan
yang memiliki siklus haid panjang (oligomenorea). Pemeriksaan dilakukan
pada akhir siklus (hari ke 2835) dan dapat diulang tiap minggu sampai siklus
haid berikutnya terjadi
o Pengukuran temperatur basal tubuh tidak direkomendasikan untuk
mengkonfirmasi terjadinya ovulasi (Rekomendasi B)
o Perempuan dengan siklus haid yang tidak teratur disarankan untuk
melakukan pemeriksaan darah untuk mengukur kadar hormon gonadotropin
(FSH dan LH).
o Pemeriksaan kadar hormon prolaktin dapat dilakukan untuk melihat apakah
ada gangguan ovulasi, galaktorea, atau tumor hipofisis (Rekomendasi C)
o Penilaian cadangan ovarium menggunakan inhibin B tidak
direkomendasikan (Rekomendasi C) - Pemeriksaan fungsi tiroid pada
pasien dengan infertilitas hanya dilakukan jika pasien memiliki gejala
(Rekomendasi C)
o Biopsi endometrium untuk mengevaluasi fase luteal sebagai bagian dari
pemeriksaan infertilitas tidak direkomendasikan karena tidak terdapat bukti
bahwa pemeriksaan ini akan meningkatkan kehamilan. (Rekomendasi B)

20
Tabel 4. Pemeriksaan untuk melihat ovulasi dan cadangan ovarium
Ovulasi Cadangan Ovarium
o Riwayat menstruasi o Kadar AMH
o Progesteron serum o Hitung folikel antral
o USG Transvaginal o FSH dan estradiol hari ke-3
o Temperatur Basal
o LH Urin
o Biopsi Endometrium

Untuk pemeriksaan cadangan ovarium, parameter yang dapat digunakan adalah


AMH dan folikel antral basal (FAB). Berikut nilai AMH dan FAB yang dapat
digunakan:
1. Hiper-responder (FAB > 20 folikel / AMH > 4.6 ng/ml
2. Normo-responder (FAB > 6-8 folikel / AMH 1.2 - 4.6 ng/ml)
3. Poor-responder (FAB < 6-8 folikel / AMH < 1.2 ng/ml)

2. Pemeriksaan Chlamydia trachomatis


o Sebelum dilakukan pemeriksaan uterus, pemeriksaan untuk Chlamydia
trachomatis sebaiknya dilakukan dengan teknik yang sensitif (Rekomendasi
B)
o Jika tes Chlamydia trachomatis positif, perempuan dan pasangan
seksualnya sebaiknya dirujuk untuk mendapatkan pengobatan
(Rekomendasi C)
o Antibiotika profilaksis sebaiknya dipertimbangkan sebelum melakukan
periksa dalam jika pemeriksaan awal Chlamydia trachomatis belum
dilakukan

3. Penilaian kelainan uterus


o Pemeriksaan histeroskopi tidak dianjurkan apabila tidak terdapat indikasi,
karena efektifitas pembedahan sebagai terapi kelainan uterus untuk
meningkatkan angka kehamilan belum dapat ditegakkan. (Rekomendasi B)

21
Tabel 5. Beberapa metode yang dapat digunakan dalam penilaian uterus
HSG USG-TV SIS Histeroskopi
Sensitivitas dan Dapat PPV dan NPV Metode definitive
PPV rendah mendeteksi tinggi, untuk invasif
untuk patologi mendeteksi
mendeteksi endometrium dan patologi intra
patologi myometrium kavum uteri
intrakavum uteri

4. Penilaian lendir serviks pasca senggama


o Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada pasien dengan infertilitas dibawah 3
tahun.
o Penilaian lendir serviks pasca senggama untuk menyelidiki masalah
fertilitas tidak dianjurkan karena tidak dapat meramalkan terjadinya
kehamilan. (Rekomendasi A)

5. Penilaian kelainan tuba


o Perempuan yang tidak memiliki riwayat penyakit radang panggul (PID),
kehamilan ektopik atau endometriosis, disarankan untuk melakukan
histerosalpingografi (HSG) untuk melihat adanya oklusi tuba. Pemeriksaan
ini tidak invasif dan lebih efisien dibandingkan laparaskopi. (Rekomendasi
B)
o Pemeriksaan oklusi tuba menggunakan sono-histerosalpingografi dapat
dipertimbangkan karena merupakan alternatif yang efektif (Rekomendasi
A)
o Tindakan laparoskopi kromotubasi untuk menilai patensi tuba, dianjurkan
untuk dilakukan pada perempuan yang diketahui memiliki riwayat penyakit
radang panggul, (Rekomendasi B)

22
Tabel 6. Beberapa teknik pemeriksaan tuba yang dapat dilakukan:
Teknik Keuntungan Kelemahan
HSG Visualisasi seluruh Paparan radiasi
panjang tuba dapat Reaksi terhadap zat
menggambarkan patologi kontras
seperti hidrosalping dan Peralatan dan staf khusus
SIN efek terapeutik Kurang dapat
menggambarkan adhesi
pelvis
Saline infusion Visualisasi ovarium, Pelatihan khusus
sonography uterus dan tuba Efek terapeutik belum
terbukti
Laparskopi kromotubasi Visualisasi langsung Invasif
seluruh organ reproduksi Biaya tinggi
interna
Memungkinkan
dilakukan terapi
sekaligus

6. Penanganan kasus infertilitas pada laki-laki meliputi:


Anamnesis ditujukan untuk mengidentifikasi faktor risiko dan kebiasaan hidup
pasien yang dapat secara bermakna mempengaruhi fertilitas pria. Anamnesis
meliputi:
1) riwayat medis dan riwayat operasi sebelumnya,
2) riwayat penggunaan obat-obatan (dengan atau tanpa resep) dan alergi,
3) gaya hidup dan riwayat gangguan sistemik,
4) riwayat penggunaan alat kontrasepsi; dan
5) riwayat infeksi sebelumnya, misalnya penyakit menular seksual dan infeksi
saluran nafas.
o Rangkuman komponen riwayat anamnesis dapat dilihat pada gambar 3

23
Pemeriksaan Fisik
o Pemeriksaan fisik pada laki-laki penting untuk mengidentifikasi adanya
penyakit tertentu yang berhubungan dengan infertilitas. Penampilan umum
harus diperhatikan, meliputi tanda-tanda kekurangan rambut pada tubuh atau
ginekomastia yang menunjukkan adanya defisiensi androgen. Tinggi badan,
berat badan, IMT, dan tekanan darah harus diketahui.
o Palpasi skrotum saat pasien berdiri diperlukan untuk menentukan ukuran dan
konsistensi testis. Apabila skrotum tidak terpalpasi pada salah satu sisi,
pemeriksaan inguinal harus dilakukan. Orkidometer dapat digunakan untuk
mengukur volume testis. Ukuran ratarata testis orang dewasa yang dianggap
normal adalah 20 ml.

24
o Konsistensi testis dapat dibagi menjadi kenyal, lunak, dan keras. Konsistensi
normal adalah konsistensi yang kenyal. Testis yang lunak dan kecil dapat
mengindikasikan spermatogenesis yang terganggu.
o Palpasi epididimis diperlukan untuk melihat adanya distensi atau indurasi.
Varikokel sering ditemukan pada sisi sebelah kiri dan berhubungan dengan
atrofi testis kiri. Adanya perbedaan ukuran testis dan sensasi seperti meraba
“sekantung ulat” pada tes valsava merupakan tanda-tanda kemungkinan
adanya varikokel.
o Pemeriksaan kemungkinan kelainan pada penis dan prostat juga harus
dilakukan. Kelainan pada penis seperti mikropenis atau hipospadia dapat
mengganggu proses transportasi sperma mencapai bagian proksimal vagina.
Pemeriksaan colok dubur dapat mengidentifikasi pembesaran prostat dan
vesikula seminalis.

3.2. Endometriosis
Endometriosis pertama kali diidentifikasi pada pertengahan abad 19 (Von
Rockitansky, 1860). Endomentriosis sering didapatkan pada peritoneum pelvis,
tetapi juga sering didapatkan pada ovarium, septum rektovaginalis, ureter, tetapi
jarang pada vesika urinaria, pericardium, dan pleura. Endometriosis merupakan
penyakit yang pertumbuhannya tergantung pada hormone estrogen. Insidensi
endometriosis sulit dikuantifikasi oleh karena sering gejalanya asimptomatis dan
pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakan diagnosis sensitifitasnya rendah.
Perempuan dengan edometriosis bisa tanpa gejala, subfertil, atau menderita rasa
sakit pada daerah pelvis terutama waktu menstruasi. Pada perempuan endometriosis
yang asimtomatis prevalensinya sekitar 2-22% tergantung pada populasinya. Oleh
karena beraitan dengan infertilitas dan rasa sakit di rongga pelvis, prevalensinya
bisa meningkat 20-50%.

25
3.2.1. Definisi
Endometriosis adalah jaringan ektopik (tidak pada permukaan dalam uterus)
yang memiliki susunan kelenjar atau stroma endometrium atau kedua-duanya
dengan atau tanpa makrofag yang berisi hemosiderin dan fungsinya mirip dengan
endometrium karena berhubungan dengan haid dan bersifat jinak, tetapi dapat
menyebar ke organ-organ dan susunan lainnya.
Endometriosis merupakan suatu keadaan dimana jaringan endometrium
yang masih berfungsi terdapat baik diluar endometrium kavum uteri maupun di
miometrium (otot rahim). Bila jaringan endometrium tersebut berimplantasi di
dalam miometrium disebut endometriosis interna atau adenomiosis, sedangkan
jaringan endometrium yang berimplantasi di luar kavum uteri disebut endometriosis
eksterna atau endometriosis sejati. Pembagian ini sekarang sudah tidak dianut lagi
karena baik secara patologik, klinik ataupun etiologik adenomiosis dan
endometriosis berbeda.
3.2.2. Patofisiologi
Pertumbuhan endometrium menembus membrane basalis. Pada
pemeriksaan histologis, sebagian menunjukkan pertumbuhan endometrium
menyambung ke dalam fokus adenomiosis, sebagian ada di dalam myometrium dan
sebagian lagi ada yang tidak tampak adanya hubungan antara permukaan
endometrium dengan focus adenomiosis. Hal ini mungkin disebabkan oleh
hubungan ini terputus oleh adanya fibrosis. Seiring dengan berkembangnya
adenomiosis, uterus membesar secara difus dan terjadi hipertrofi otot polos. Kadang
elemen kelenjar berada dalam lingkup tumor otot polos yang menyerupai mioma.
Kondisi ini disebut sebagai adenomioma. Fundus uteri merupakan tempat yang
paling umum dari adenomiosis. Pola mikroskopik dijumpai adanya pulau-pulau
endometrium yang tersebat dalam myometrium. Endometrium ektopik dapat
memperlihatkan adanya perubahan seiring dengan adanya siklus haid, umumnya
jaringan ini bereaksi dengan estrogen tapi tidak dengan progesterone. Penyebab
adenomiosis sampai sekarang tidak diketahui secara pasti. Emungkinan disebabkan
adanya erupsi dari membrane basalis dan disebabkan oleh trauma berulang,
persalinan berulang, operasi sesar ataupun kuretase.

26
3.2.3. Patogenesis
Sampai saat ini belum ada yang dapat menerangkan secara pasti penyebab
terjadinya endometriosis. Namun demikian beberapa ahli mencoba menerangkan
kejadian endometriosis, antara lain :
3.2.3.1. Teori implantasi dan regurgitasi (John A. Sampson)
Endometriosis terjadi karena darah haid mengalir kembali (regurgitasi)
melalui tuba ke dalam rongga pelvis. Sudah dibuktikan bahwa dalam darah haid
ditemukan sel-sel endometrium yang masih hidup. Sel-sel yang masih hidup ini
kemudian dapat mengadakan implantasi di pelvis. Teori ini paling banyak
penganutnya, tetapi teori ini belum dapat menerangkan kasus endometriosis di luar
pelvis.
3.2.3.2. Teori metaplasia (Rober Meyer)
Endometriosis terjadi karena rangsangan pada sel-sel epitel yang berasal
dari selom yang dapat mempertahankan hidupnya di dalam pelvis. Rangsangan ini
akan menyebabkan metaplasi dari sel-sel epitel itu, sehingga terbentuk jaringan

27
endometrium. Secara endokrinologis, epitel germinativum dari ovarium,
endometrium dan peritoneum berasal dari epitel selom yang sama. Teori Robert
Meyer akhir-akhir ini semakin banyak ditentang. Disamping itu masih terbuka
kemungkinan timbulnya endometroisis dengan jalan penyebaran melalui darah atau
limfe, dan dengan implantasi langsung dari endometrium saat operasi.
3.2.3.3. Teori penyebaran secara limfogen (Halban)
Teori ini dikemukakan atas dasar jaringan endometrium menyebar melalui
saluran limfatik yang mendrainase rahim, dan kemudian diangkut ke berbagai
tempat pelvis dimana jaringan tersebut tumbuh secara ektopik. Jaringan
endometrium ditemukan dalam limfatik pelvis pada sampai 20% dari penderita
endometriosis.
3.2.3.4. Teori imunologik
Banyak peneliti berpendapat bahwa endometriosis adalah suatu penyakit
autoimun karena memiliki kriteria cenderung lebih banyak pada perempuan,
bersifat familiar, menimbulkan gejala klinik, melibatkan multiorgan, dan
menunjukkan aktivitas sel B-poliklonal. Di samping itu telah dikemukakan bahwa
danazol yang semula dipakai untuk pengobatan endometriosis yang disangka
bekerja secara hormonal, sekarang ternyata telah dipakai untuk mengobati penyakit
autoimun atas dasar bahwa danazol menurunkan tempat ikatan IgG pada monosit,
sehingga mempengaruhi aktivitas fagositik.

3.2.4. Gambaran Klinis


Aktivitas jaringan endometriosis sama halnya dengan endometrium yakni
sangat bergantung pada hormon. Aktivitas jaringan endometriosis akan terus
meningkat selama hormon masih ada dalam tubuh, setelah menopause gejala
endometriosis akan menghilang. Gejala-gejala yang dapat ditemukan pada penyakit
endomeriosis berupa :
1) Dismenorea adalah nyeri haid siklik merupakan gejala yang sering
dijumpai. Terjadi 1-3 hari sebelum haid dan dengan makin banyaknya darah
haid yang keluar keluhan dismenorea pun akan mereda. penyebab dari
dismenorea ini belum diketahui, tetapi diduga berhubungan dengan adanya

28
vaskularisasi dan perdarahan dalam sarang endometriosis pada waktu
sebelum dan semasa haid.
2) Dispareunia merupakan gejala tersering dijumpai setelah dismenorea,
keluhan ini disebabkan adanya endometriosis di dalam kavum Douglasi.
3) Diskezia atau nyeri waktu defekasi terutama pada waktu haid, disebabkan
adanya endometriosis pada dinding rektosigmoid.
4) Gangguan miksi dan hematuria bila terdapat endometriosis di kandung
kencing, tetapi gejala ini jarang terjadi.
5) Gangguan haid dan siklusnya dapat terjadi pada endometriosis apabila
kelainan pada ovarium demikian luasnya sehingga fungsi ovarium
terganggu.
6) Infertilitas juga merupakan suatu gejala endometriosis yang masih sulit
dimengerti. Tetapi faktor penting yang menyebabkan infertilitas pada
endometriosis ialah mobilitas tuba terganggu karena fibrosis dan perlekatan
jaringan disekitarnya.
Pada pemeriksaan ginekologik, khususnya pada pemeriksaan vagino-rekto-
abdominal, ditemukan pada endometriosis ringan benda-benda padat sebesar
butir beras sampai butir jagung di kavum Douglasi, dan pada ligamentum
sakrouterinum dengan uterus dalam retrofleksi dan terfiksasi. Ovarium mula-
mula dapat diraba sebagai tumor kecil, akan tetapi dapat membesar sampai
sebesar tinju.

29
3.2.5. Klasifikasi Endometriosis
5.1. Klasifikasi endometriosis menurut Acosta (1973)
1) Ringan
− Endometriosis menyebar tanpa perlekatan pada anterior atau
posterior kavum Douglasi atau permukaan ovarium atau peritoneum
pelvis.
2) Sedang
− Endometriosis pada satu atau kedua ovarium disertai parut dan
retraksi atau endometrioma kecil.
− Perlekatan minimal juga di sekitar ovarium yang mengalami
endometriosis.
− Endometriosis pada anterior atau posterior kavum Douglasi dengan
parut dan retraksi atau perlekatan, tanpa implantasi di kolon
sigmoid.
3) Berat
− Endometriosis pada satu atau dua ovarium, ukuran lebih dari 2 x 2
cm.
− Perlekatan satu atau dua ovarium atau tuba atau kavum Douglasi
karena endometriosis.
− Implantasi atau perlekatan usus dan/ atau traktus urinarius yang
nyata.

30
5.2 Klasifikasi Endometriosis berdasarkan ASRM

31
5.3 Klasifikasi endometriosis menurut Revisi American Fertility Society (1985)

3.2.6. Diagnosis
Diagnosis biasanya berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dipastikan
dengan pemeriksaan laparoskopi. Pada endometriosis yang ditemukan pada lokasi
seperti forniks vaginae posterior, perineum, parut laparotomi dan sebagainya,
biopsi dapat memberi kepastian mengenai diagnosis. Pemeriksaan laboratorium
pada endometriosis tidak memberi tanda yang khas, hanya apabila ada darah dalam
tinja atau air kencing pada waktu haid dapat menjadi petunjuk tentang adanya
endometriosis pada rektosigmoid atau kandung kencing.

32
Diagnosis banding endometriosis berdasarkan gejala, yakni :
1) Dismenorea : dismenorea primer, dismenorea sekunder yang disebabkan
antara lain adenomiosis, mioma, infeksi, dan stenosis servikalis.
2) Dispareunia : kurangnya lubrikasi,kelainan gastrointestinal (irritable bowel
syndrome), kongestif vaskular pelvik, dan sebagainya.
3) Infertilitas : anovulasi, defisiensi fase luteal, infeksi atau penyakit tuba.

3.2.7. Pencegahan
Kehamilan adalah cara pencegahan yang paling baik untuk endometriosis.
Gejala-gejala endometriosis memang berkurang atau hilang pada waktu dan
sesudah kehamilan karena regresi endometrium dalam sarang-sarang
endometriosis. Oleh sebab itu hendaknya perkawinan jangan ditunda terlalu lama,
dan sesudah perkawinan hendaknya diusahakan supaya mendapat anak-anak yang
diinginkan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sikap demikian itu tidak hanya
merupaka profilaksis yang baik terhadap endometriosis, melainkan menghindari
terjadinya infertilitas sesudah endometriosis timbul. Selain itu jangan melakukan
pemeriksaan yang kasar atau melakukan kerokan pada waktu haid, karena dapat
menyebabkan mengalirnya darah haid dari uterus ke tuba dan ke rongga panggul.
3.2.8. Terapi Medis
Standar terapi medis pada pasien endometriosis meliputi : analgesik
(NSAID atau acetaminophen), pil kontrasepsi oral, agen androgenik (danazol
[Danocrine]), agen progestogen (medroksiprogesteron asetat [Provera]), hormon
pelepas-gonadotropin (GnRH) misalnya leuprolid [Lupron], goserelin [Zoladex],
triptorelin [Trelstar Depot], nafarelin [Synarel]), and antiprogestogen
(gestrinone).4

33
Dasar pengobatan hormonal endometriosis ialah
bahwa pertumbuhan dan fungsi jaringan
endometriosis sama seperti jaringan
endometrium yang normal, dimana jaringan
endometriosis juga dikontrol oleh hormon-
hormon steroid. Data laboratorium menunjukkan
bahwa jaringan endometriosis mengandung
reseptor estrogen, progesteron dan androgen,
yakni estrogen merangsang pertumbuhan
jaringan endometriosis, androgen menyebabkan
atrofi, sedang progesteron masih diperdebatkan,
namun progesteron sintetik yang mengandung
efek androgenik tampaknya menghambat
pertumbuhan endometriosis.
Dari dasar tersebut, prinsip pertama
pengobatan hormonal endometriosis adalah
menciptakan lingkungan hormon rendah estrogen
dan asiklik, sehingga diharapkan kadar estrogen
yang rendah menyebabkan atrofi jaringan endometriosis dan keadaan yang asiklik
mencegah terjadinya haid yang berarti tidak terjadinya pelepasan jaringan

34
endometrium yang normal maupun jaringan endometriosis. Kemudian prinsip
kedua adalah menciptakan lingkungan hormon tinggi androgen atau tinggi
progestogen yang secara langsung menyebabkan atrofi jaringan endometriosis. Di
samping itu, prinsip tinggi androgen atau tinggi progestogen juga menyebabkan
keadaan rendah estrogen yang asiklik karena gangguan pada pertumbuhan folikel.
9. Terapi Pembedahan
Endometriosis yang cukup berat (stadium III atau IV) dapat menyebabkan
kelainan anatomis pelvis, dimana hal tersebut sangat memungkinkan merusak
fertilitas (kesuburan) dengan cara mengganggu jangkauan oosit dan transportasi
sepanjang tuba fallopi. Keadaan ini umumnya diterapi dengan cara pembedahan.
Pada umumnya terapi pembedahan pada endometriosis bersifat bedah
konservatif yakni mengangkat saranng-sarang endometriosis dengan
mempertahankan fungsi reproduksi dengan cara meninggalkan uterus dan jaringan
ovarium yang masih sehat, dan perlekatan sedapat mungkin dilepaskan.
Pembedahan konservatif dapat dilakukan dengan dua cara pendekatan yakni
laparotomi atau laparoskopi operatif. Pembedahan konservatif pada pasien usia dua
puluhan akhir dan awal empatpuluhan terutama bila fertilitas di masa depan
dikehendaki, maka endometriosis yang cukup luas diterapi dengan 1) reseksi
endometriomata; 2) melepaskan perlekatan tuba dengan atau tanpa neurektomi
presakral (untuk mengurangi dismenorea); 3) suspensi uterus (melepaskan fiksasi
retroversi fundus uteri dari kavum Douglasi akibat perlekatan endometriotik); 4)
menghilangkan apendiks dikarenakan tidak jarang sarang-sarang endometriosis
terdapat pada serosa apendiks.
Pembedahan radikal dilakukan pasien usia 40 tahun dengan menderita
endometriosis yang luas disertai banyak keluhan. Pilihan pembedahan radikal
histerektomi total, salpingo-ooforektomi bilateral dan pengangkatan sarang-sarang
endometriosis yang ditemukan.
Komplikasi tersering pembedahan adalah pecahnya kista, tidak dapat
terangkatnya seluruh dinding kista secara baik dan sempurna. Hal ini
mengakibatkan tingginya perlekatan pasca-pembedahan. Untuk mencegah
pecahnya kista, dianjurkan pengobatan terapi hormonal praoperatif selama

35
beberapa bulan. Cara lain untuk mencegah pecahnya kista dengan pungsi kista per-
laparaskopi yang kemudian dilanjutkan terapi hormonal selama 6 bulan, tetapi cara
ini masih belum banyak dilakukan dan masih diperdebatkan.

36
BAB IV
ANALISA KASUS

Pada kasus ini pasien mengeluhkan nyeri pada perut bagian kiri bawah yang
dirasakan sejak 2 tahun terakhir. Nyeri seperti ditusuk-tusuk dan diremas. Nyeri
dirasakan sesekali, dirasakan berkurang bila berbaring. Pasien mengeluh nyeri saat
haid dan pernah merasa nyeri saat berhubungan. Nyeri perut saat menstruasi dan
saat berhubungan merupakan gejala – gejala dari endometriosis. Gejala-gejala yang
merupakan trias endometriosis adalah adanya dismenorea, dispareunia, dan
infertilitas (Manuaba, 2001). Nyeri haid (dismenorea) yang terjadi disebabkan oleh
reaksi peradangan akibat sekresi sitokin dalam rongga peritoneum, akibat
pendarahan lokal pada sarang endometriosis dan oleh adanya infiltrasi
endometriosis ke dalam syaraf pada rongga panggul (Sarwono, 2011). Nyeri saat
berhubungan (dispareunia) paling sering timbul terutama bila endometriosis sudah
tumbuh di sekitar Kavum Douglassi dan ligamentum sakrouterina dan terjadi
perlengketan sehingga uterus dalam posisi retrofleksi (Sarwono, 2011). Selain itu,
akibat adanya perlengketan terkadang dapat mengakibatkan nyeri pelvik yang
kronis. Rasa nyeri bisa menyebar jauh ke dalam panggul, punggung, dan paha dan
bahkan menjalar sampai ke rektum dan diare. Dua pertiga perempuan dengan
endometriosis mengalami rasa nyeri intermenstrual (Sarwono, 2011).
Selain nyeri pasien juga pernah berobat ke SpOG 2 tahun yang lalu dan
didiagnosis menderita polip endometrium. Namun polip endometrium biasanya
ditandai dengan adanya perdarahan abnormal per vaginam, paling umum
menometroragia atau perdarahan bercak ringan pasca menopause. Polip terjadi dari
umur 29-59 tahun dengan kejadian terbanyak setelah umur 50 tahun. Insiden polip
tanpa gejala pada wanita pasca menopause kira-kira 10%. Penyebab polip
endometrium tidak diketahui secara pasti, namun faktor hormonal berperan penting
dalam timbulnya polip endometrium. Polip endometrium terjadi karena adanya
bagian endometrium yang sangat sensitif terhadap hormon estrogen sehingga
mengalami pertumbuhan yang lebih cepat dan besar dibandingkan bagian
endometrium yang lain. Produksi hormon yang abnormal yaitu hormon estrogen

37
yang tidak diimbangi oleh hormon progesteron. Tanda gejala dari polip endometrium
adalah perdarahan haid yang tidak teratur, perdarahan antar jarak haid, dan
Infertilitas dapat ditemui pada kasus ini. Ditambah lagi dengan hasil pemeriksaan
USG sebagai berikut tampak uterus retrofleksi berbentuk S ukuran dalam batas
normal, ukuran 7,5 x 4 cm, myometrium homogen, endometrial line (+), stratum
basalis reguler. Tampak lesi hiperekoik berbatas tegas pada cavum uteri ukuran 1,4
cm menyerupai polip. Ovarium kanan dalam batasan normal, folikel (+), volume
7,76 cm3, 2,43 x 2,61 cm. Ovarium kiri dalam batasan normal. Hepar, lien dan
kedua ginjal dalam batasan normal dengan kesan suspek polip endometrium.
Riwayat Obstetri Pasien telah mengalami infertil primer selama 7 tahun.
Infertilitas primer adalah istri belum pernah hamil walaupun bersenggama dan
dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan selama 12 bulan, pasien berhubungan
seksual sebanyak 3 kali per minggu tanpa menggunakan alat atau metode
kontrasepsi dalam bentuk apapun. Infertilitas merupakan salah satu gejala pada
endometriosis. Pada daerah peritoneal penderita endometriosis terkandung
makrofag dalam jumlah besar ditandai dengan kenaikan kadar berbagai jenis sitokin
dan growth factors. Perubahan respon imun tersebut menyebabkan endometriosis
semakin berkembang luas dan pada akhirnya menimbulkan infertilitas. Sitokin
yang meningkat meliputi IL-1, TNFa, IL-6, dan IL-8 (Soepomo, 2012). Selain itu
pada ovarium, dapat terbentuk apoptosis yang patologis dalam sel granulosa folikel
ovarium. Banyaknya apoptosis yang patologis dalam sel granulosa folikel ovarium
pada penderitaa endometriosis menurunkan kesuburan ovarium yang berakhir
dengan infertilitas (Soepomo, 2012).
Pada pemeriksaan fisik, hasil dari pemeriksaan palpasi abdomen teraba supel,
datar, lemas, simetris, fundus uteri tidak teraba, massa (-), nyeri tekan (-), TCB (-)
bising usus (+). Hasil pemeriksaan dalam (Inspekulo): Portio tak livide, OUE
tertutup, Fluor (+), Fluksus (-), Sondase ±7 cm, Erosi (+), Laserasi (-), Polip (-).
Hasil pemeriksaan vagina toucher adalah vulva uretra tenang, dinding vagina dalam
batas normal, portio licin, OUE tertutup, A/P kanan kiri tegang, CD tidak menonjol.
Endometrioma secara klinis bisa dikenali dengan perabaan pada palpasi bila massa
berukuran besar atau hanya muncul sebagai nyeri pelvis kronik dan nyeri abdomen.

38
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah dengan USG dan Laparoskopi
sebagai gold standar dasar diagnosis dari Endometriosis. USG hanya dapat
digunakan untuk mendiagnosis endometriosis (kista endometrium) >1cm, tidak
dapat digunakan untuk melihat bintik-bintik maupun perlengketan endometriosis
(Sarwono, 2011). Ultrasonografi transvagina biasanya digunakan untuk mendeteksi
endometrioma ovarium, tetapi tidak dapat digunakan untuk pencitraan adhesi
pelvik atau superficial peritoneal foci dari penyakit (Djuwantono, 2008).
Laparoskopi merupakan alat diagnostik baku emas untuk diagnosis
endometriosis. Lesi aktif yang baru bewarna merah terang, sedangkan lesi aktif
yang sudah lama berwarna merah kehitaman. Lesi non aktif bewarna putih dengan
jaringan parut. Biasanya isinya bewarna coklat yang disebut dengan kista coklat
(Sarwono, 2011). Pengobatan endometriosis sulit mengalami penyembuhan karena
adanya risiko kekambuhan. Penanganan dapat berupa penanganan simptomatik,
penanganan pembedahan radikal, dan penanganan pembedahan simptomatik.
Untuk saat ini, pasien direncanakan dilakukan rencana laparoskopi kistektomi,
selain itu juga direncanakan analisa sperma suami.

39

Anda mungkin juga menyukai