Anda di halaman 1dari 11

SEMINAR SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Nama : Elfa Norisda Aulianisa


NRP : E451170011
Program Studi : Silvikultur Tropika
Judul Penelitian : Bukti Molekuler Hibridisasi Interspesifik pada
Dyera costulata (Miq.)Hook.F. dan Dyera
polyphylla (Miq.)Steenis pada Hutan Alam di
Sumatera dan Kalimantan
Pembimbing : 1. Dr Ir Ulfah Juniarti Siregar, MAgr
2. Koichi Kamiya, PhD
Kelompok : Ilmu Tumbuhan
Hari / Tanggal : Senin / 19 Agustus 2019
Waktu : 08.30 - 09.30
Tempat : Ruang Danau 2 Lantai 1 Gedung Pascasarjana
Kampus IPB Dramaga, Bogor
1

BUKTI MOLEKULER HIBRIDISASI INTERSPESIFIK PADA Dyera costulata


(Miq.) Hook.f. DAN Dyera polyphylla (Miq.) Steenis PADA HUTAN ALAM DI
SUMATERA DAN KALIMANTAN1
(Molecular Evidence of Interspecific Hybridization between Dyera costulata (Miq.) Hook.f. and D.
polyphylla (Miq.) Steenis in Natural Population of Sumatra and Kalimantan, Indonesia)1)

Elfa Norisda Aulianisa2), Ulfah J Siregar3), Koichi Kamiya4)

ABSTRACT

Several publications show the difficulties in identifying Dyera costulata and Dyera polyphylla
based on morphological features. This problem also resulted in misidentification in plant
rehabilitation of peat swamp forests. The aim of this study was to clearly distinguish D. polyphylla
and D. costulata also identify the probability of interspecific hybrid between species based on
molecular analysis using cpDNA (trnH-psbA) and rDNA (ITS2) markers. Sampling was carried out
in two national parks (Sebangau National Park and Tanjung Puting National Park in Central
Kalimantan), Tahura Lapak Jaru, Gunung Mas, four natural forest research plots of the University of
Jambi in South Sumatra Province and Jambi, and a reforestation area in the Beram Hitam River
Peatland Conservation Forest, Jambi, consisting of plantation forests. Further methods of
development has tested using Sma1 enzyme restrictions resulted in more efficient and same accurate
results as sequencing process using ITS2. The restriction point of the Sma1 enzyme in the Dyera
DNA sequence that has been amplified using the ITS-S2F primary forward is between the site 157
and 158 bp. Best sequenced results of cpDNA (trnH-psbA) was on 520 bp and rDNA( ITS2) was on
433 bp with 10 sites found were polymorphic, and 8 of 10 were species-specific at loci 82, 90, 104,
107, 121, 159, 203, and 208 bp. The results of the analysis with trnH-psbA markers showed most
hybrids came from maternal D. polyhylla (8 out of 9 individuals) from a total of 50 samples that have
tested.

Keywords: Hibrida interspesifik, Dyera costulata, Dyera polyphylla, trnH-psbA, ITS2

PENDAHULUAN

Genus Dyera (Fam: Apocynaceae) diketahui hanya terdiri atas dua anggota spesies, D.
costulata dan D. polyphylla (Soepadmo et al. 2002; Middleton 2003). Jelutung (nama umum genus:
Dyera) adalah tanaman endemik (spesies asli) yang menyebar secara alami di Semenanjung Melayu,
Sumatra, Sulawesi dan Kalimantan. Kedua spesies memiliki nilai ekonomis dari komoditas non-
timber dan nilai ekologis sebagai salah satu tanaman restorasi di kawasan hutan seperti rehabilitasi
pasca-kebakaran di hutan rawa gambut tropis (Gunawan et al. 2016; Tawaraya dan Turjaman 2016)
serta pasca rehabilitasi tambang (Majid et al. 2012). Jelutung menghasilkan lateks sebagai bahan baku
permen karet, isolator kabel bawah laut (Sofiyuddin et al. 2012), obat-obatan (Sakurai et al. 1992;
Reanmongkol et al. 2002; Shubadhirasakul et al. 2003), kosmetik (William 1963; Najiyati et al.
2005), kerajinan tangan (ditemui di pasar di sekitar TN Tanjung Putting) dan anti nyamuk (Gunawan
et al. 2016). Sementara itu, kayu jelutung digunakan untuk furnitur, kayu lapis, pengepakan kayu,
alat musik, pensil, dan korek api (ITTO 2019).
Morfologi kedua jenis jelutung yang sangat mirip, biasanya dibedakan menjadi jelutung bukit
(D. costulata) dan jelutung rawa (D. polyphylla) sesuai dengan tempat tumbuhnya masing-masing
yaitu bukit (tanah mineral) atau rawa gambut. Kesamaan pada ciri morfologi kedua spesies jelutung
1
Bagian dari Tesis, disampaikan dalam seminar Pascasarjana IPB
2
Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Silvikultur Tropika
3
Ketua Komisi Pembimbing, Staf Pengajar Program Studi Silvikultur Tropika IPB
4
Anggota Komisi Pembimbing, Staf Pengajar Tropical Forest Genetics, Ehime University
2
menyebabkan kesalahan penanaman pada jelutung untuk rehabilitasi. Jelutung bukit (D. costulata)
ditanam di tempat tumbuh jelutung rawa (D. polyphylla), terutama pada fase pembenihan dan
pembibitan (Middleton 2003; Siregar et al. 2016). Pemerintah membentuk BRG (Badan Restorasi
Gambut) untuk memulihkan hutan rawa gambut dan mendanai proyek restorasi lahan gambut
di Indonesia dengan jumlah USD 777 juta (BRG 2016). Ketika restorasi tidak berhasil diakibatkan
faktor kesalahan penanaman jenis (Siregar et al. 2016), maka akan menyebabkan kerugian sangat
besar bagi negara.
Beberapa ahli taksonomi mengalami kesulitan mengidentifikasi dan membedakan spesies
dalam genus Dyera. Kedua jenis jelutung diakui sebagai satu spesies yang sama (ITTO, 2019), D.
polyphylla dan D. lowii digolongkan sebagai spesies yang berbeda, dan adanya publikasi yang
melaporkan keberadaan tegakan D. costulata baik di lahan gambut dan hutan tanah mineral (Rahajoe
et al. 2016). Beberapa jelutung bukit memiliki warna kulit batang yang sangat gelap seperti jelutung
rawa dan beberapa jelutung rawa memiliki warna kulit batang cerah yang menyerupai jelutung bukit.
Beberapa tegakan yang ditemukan di hutan rawa gambut pasca kebakaran hutan (habitat D.
polyphylla) dan tegakan alam hutan mineral ini yang muncul ini menimbulkan pertanyaan bahwa
apakah hanya variasi morfologi intraspesies maupun inter-spesies atau merupakan indikasi
keberadaan spesies hibrida?
Hibridisasi interspesifik alami pada pohon hutan lazim terjadi, misalnya dalam genus Populus
(Keim et al. 1989), Quercus (Whittemore dan Schaal 1991; Rushton, 1993; Howard et al. 1997;
Ishida et al. 2003; Owusu et al. 2015), Rhododendron (Milne et al. 2010; Zha et al. 2016), Bursera
(Weeks dan Simpson 2004), Sonneratia, Bruguiera, Ligularia (Zhou et al. 2008), dan Shorea
(Kamiya et al. 2011). Sementara itu, di dalam famili: Apocynaceae ditemukan hibridisasi
interspesifik alami, dalam genus Parsonsia (Melville 1976), Asclepias (Stoepler et al. 2012; Rintz et
al. 2014), dan Vincetoxium (Li et al. 2016) dengan hanya satu genus pohon berkayu, yakni Hancornia
(Collevati et al. 2016).
Penelitian sebelumnya dalam genus Decalepsis, famili Apocynaceae, menunjukkan bahwa
penanda barkode dapat secara akurat mengidentifikasi pada tingkat spesies. Analisis celah barkode
berdasarkan penanda cpDNA (psbA-trnH) menunjukkan jarak maksimum dan tertinggi intra-spesifik
antar individu. Sementara itu, untuk mengukur jarak antar-spesifik maksimum pada seluruh spesies
di dalam genus Decalepsis digunakan ITS dan ITS2 (Mishra et al. 2017). Pada studi ini, penanda
cpDNA dan rDNA akan digunakan untuk mengevaluasi asal-muasal variasi/hibrida pada jelutung
(genus Dyera).

METODE PENELITIAN

Lokasi Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan pada dua wilayah yaitu Sumatera dan Kalimantan. Pada
wilayah Kalimantan, pengambilan dilakukan selama Bulan November 2017 di dua taman nasional
(Taman Nasional Sebangau (TNS) dan Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) dan satu hutan
konservasi pemerintah (Tahura Lapak Jaru, Gunung Mas (TLJ)). Pada wilayah Sumatera lima plot
penelitian hutan alam Universitas Jambi yang terdiri atas: HLG Sungai Beram Hitam-Tanjabar
(SBH), Terjun Jaya-Tanjabar (TJ), Sungai Bertam-Muaro Jambi (SB) serta satu area reboisasi di HLG
Sungai Beram Hitam-Tanjabar (SBH) yang terdiri dari hutan tanaman yang terletak di Provinsi Jambi,
dan Bayung Lencir-Musi Banyuasin (BL) di Provinsi Sumatera Selatan.
Daun segar dikumpulkan dari 64 individu D. costulata dan 97 individu D. polyphylla putatif
untuk analisis DNA. Tegakan alam yang diambil sampel daunnya memiliki tinggi berkisar 20-30 m
dan masing-masing pohon diambil sampel daunnya minimal 3 helai pada tangkai terendahnya. Teknik
sampling yang digunakan adalah accidental sampling karena kedua jenis telah masuk ke dalam daftar
IUCN.
3
Proses Sekuensing

Sampel daun yang dikeringkan menggunakan butiran gel silika kemudian diekstraksi
menggunakan prosedur CTAB yang dimodifikasi dari referensi yang dilaksanakan oleh Tsumura et
al. (1996). Sekitar 2 g jaringan daun kering diambil dari butiran gel silika dan kemudian digiling di
dalam microtube 2 ml dengan beads menggunakan mesin tissuelyser selama 3 menit, kecepatan 27
Hz. Penggilingan dapat diulangi pada frekuensi yang dibutuhkan untuk menghasilkan bubuk daun
yang halus.
Penanda trnH (5' CGAAGCTCCACCAAATGG 3')-psbA (3' ACTGCCTTGATCCACTTG
GC 5') spacer intergenik diamplifikasi menggunakan campuran reaksi (volume total 20 μl terdiri dari:
7 μl dH2O (DDW), 10 μl Go-Taq polimerase, 1μl untuk masing-masing primer, dan 1μl produk
ekstraksi DNA). Elektroforesis menggunakan gel agarosa 0.8% untuk mengevaluasi hasil amplifikasi.
Pemurnian ExoSAP kemudian diimplementasikan untuk melakukan pembersihan enzimatik dari
produk PCR yang diperkuat. Proses ini menghidrolisis primer dan nukleotida dalam satu langkah,
oleh karena itu sampel murni dapat segera digunakan dalam aplikasi lanjut seperti sequencing DNA
dan analisis polimorfisme nukleotida tunggal (SNP). Untuk setiap 10 μl larutan PCR, 1 μl volume
total campuran ExoSAP meliputi: 0.45 μl DDW, 0.1 μl 10x Buffer Alkaline Phosphatase, 0.2 μl
Alkaline Phosphatase (udang), dan 0.05 μl campuran Exonuclease I. Campuran larutan ExoSAP
diinkubasi 37 °C selama 30 menit dan 80 °C selama 15 menit untuk menonaktifkan enzim. Dilakukan
pula dengan prosedur yang sama sequencing dengan ITS (ITS92-F dan ITS75-R) dan ITS2 (ITS-S2F
dan ITS-S3R) dan dibandingkan sebagai pertimbangan awal untuk memilih kemampuan diskriminatif
terbaik untuk digunakan. Penanda ITS-S2F (5' ATGCGATACTTGGTGTGAAT 3') dan ITS-S3R (5'
GACGCTTC TCCAGACTACAAT 3') menunjukkan hasil terbaik yang dapat diidentifikasi. Volume
PCR 20 μl meliputi: 8 μl DDW, 10 μl Go-Taq polimerase, masing-masing 0.5 μl untuk primer ITS-
S2F dan ITS-S3R, dan produk ekstraksi DNA 1μl. Kondisi siklus PCR terdiri dari denaturasi primer
2 menit pada 95 °C, diikuti oleh 30 siklus 45 detik pada 96 °C, 45 detik pada 50 °C, dan 45 detik pada
72 °C, dan perpanjangan akhir 10 menit pada 72 °C. Kemudian, metode pemurnian ExoSAP yang
sama seperti di atas juga diterapkan pada produk amplifikasi.
.
Analisis Data Sekuensing

Produk PCR yang dimurnikan untuk pengurutan dua arah (marker cpDNA) dan pengurutan
arah maju (rDNA) mengikuti protokol siklus sequencing untuk campuran reaksi 10 μl terdiri dari: 6.5
μl DDW, 1 μl 5x buffer sequencing, 0.5 μl primer amplifikasi, 1 μl ABI Big Dye®Terminator v1.1
Cycle (Thermo-Fisher Scientific USA), dan 1μl ± 200 ng dan minimum 500 bp produk murni
ExoSAP. Protokol PCR yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan temperatur denaturasi awal
96 °C (1 menit) diikuti oleh 25 siklus 96 °C (20 detik), 50 °C (10 detik), 60 °C (4 menit). Produk
amplifikasi kemudian dibersihkan dengan presipitasi etanol dengan menambahkan campuran 64 μl
100% EtOH dan 26 μl DDW. Larutan diinkubasi selama 15 menit dan kemudian disentrifugasi 14600
rpm selama 15 menit. Pelet kemudian dibersihkan kembali dengan 100 μl 70% EtOH, kemudian
disentrifugasi kembali pada 14600 rpm selama 15 menit dan disekuens menggunakan ABI 310 Prism
(Applied Bioscience) di Laboratorium Genetika Hutan, Ehime University, JepangUntai urutan DNA
hasil proses sequencing dirakit dan diedit menggunakan ATGC (Genetyx, Jepang) beberapa puncak
double peak dan triple peak pada posisi yang sama ditemukan pada penanda ITS2. Urutan
diselaraskan secara manual dari file fasta menggunakan perangkat lunak MEGA-X (Kumar et al.
2018).
Penggunaan Enzim Restriksi SmaI dan Elektroforesis

Fragmen yang diamplifikasi dari ITS2 (ITS-S2F dan ITS-S3R) dicerna dengan HinfI selama
1 jam pada suhu 37 °C, SmaI selama 1 jam pada suhu 30 °C, dan TaqI untuk 1 jam pada suhu 65 °C,
dan kemudian dielektroforesis dalam gel agarosa 2 % sebagai percobaan awal. Hasilnya menunjukkan
bahwa enzim SmaI adalah yang paling baik untuk mendeteksi SNP spesifik antara D. costulata, D.
4
polyphylla, dan hibrida interspesifiknya, maka pemeriksaan produk enzyme digestion menggunakan
enzim SmaI untuk inkubasi 20 sampai 24 jam pada 30 °C, elektroforesis dalam gel agarosa 1.5 %
selama 35 menit dalam tegangan 100V dilakukan untuk analisis data dari foto UV gel agarose hasil
elektroforesis.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lokus Polimorfik dan Spesies-Spesifik pada Hasil Sequencing ITS2

Hasil analisis menggunakan software ATGC (Genetyx, Jepang) dari raw data dengan
ekstensi .atgc (output ABI 310 Prism (Applied Bioscience)) menunjukkan bahwa penanda trnH-psbA
menunjukkan hasil terbaik dengan panjang sekuens yang dapat diidentifikasi 520 pasangan basa (bp)
dan ITS2 dengan panjang sekuens 433 bp. Pada hasil sequencing ITS2, sepuluh (10) posisi lokus
yang ditemukan adalah polimorfik, dan 8 dari 10 merupakan spesifik-spesies (Diagram 1). Data
sequencing ITS2 menunjukkan bahwa 8 individu dengan klorotipe D. polyphylla dan satu individu
dengan klorotipe D. costulata memiliki puncak ganda atau lebih di semua 8 lokasi spesifik spesies.
Satu individu D. costulata didefinisikan sebagai D. polyphylla oleh barcode kloroplas dan ITS. Pada
temuan ini karena adanya kemiripan morfologi antar spesies jelutung di lapangan, pengamat di
lapangan melakukan kesalahan identifikasi (misidentifikasi), Pengamatan individu yang memiliki
dua haplotipe berbeda yang ditunjukkan dengan dua atau lebih kode basa nukleotida pada satu lokus
menunjukkan adanya persilangan antar spesies. Kehadiran hibridisasi interspesifik ini, akan membuat
identifikasi lapangan lebih rumit tanpa adanya identifikasi menggunakan bantuan teknologi
molekuler. Berikut ini adalah tabel lokus polimorfik dan spesies-spesifik menggunakan marka
molekuler ITS2 pada 50 sampel dari total 161 individu tegakan alam dan hutan tanaman rehabilitasi
gambut.

Keterangan:
- Fid: Identifikasi berdasarkan taksonomi di lapangan oleh pengenal pohon
- ITS2-id: Identifikasi berdasarkan sekuensing ITS2
- 82, 90, …, 208: angka pada ITS2 sequencing menunjukkan posisi lokus (bp)
- DpK-S: D. polyphylla Kalimantan dan Sumatera, DpKTP: D. polyphylla Kalimantan, TN Tanjung Puting, DpS: D.
polyphylla Sumatra, DpK: D. polyphylla Kalimantan, DcK: D. costulata Kalimantan
- Dc: D. costulata, Dp: D. polyphylla, H: hibrida D. polyphylla x D. costulata
Gambar 1 Sekuens lokus polimorfik dan spesies spesifik pada sekuensing ITS2 pada Jelutung Rawa,
Jelutung Bukit, dan Spesies Hibrid Jelutung

Pada diagram 1 ditunjukkan, 8 lokus spesies-spesifik ditemukan pada 9 sampel individu


jelutung rawa dan 1 tegakan pada jelutung bukit. Terdapat perbedaan/variasi pada lokus 104 yakni
pada DpS dan sebagian DpK terdapat 3 puncak basa yang teridentifikasi dari hasil sekuensing yaitu
G, C, dan T atau terdeteksi sebagai basa nukleotida B dan 2 puncak basa G dan/atau C yang dituliskan
sebagai basa nukleotida S menurut aturan IUPAC.
Keberadaan double peak hingga triple peak yang ditemukan pada lokus spesies-spesifik
menunjukkan bahwa beberapa sampel diidentifikasi sebagai hibrida interspesifik sesuai dengan
5
penelitian yang dilakukan oleh Ambrus et al. (2006) dan Sousa-Santos et al. (2014). Hasil analisis
molekuler ini menunjukkan bahwa variasi morfologi yang ambigu pada pengambilan sampel di
tegakan alam bukan merupakan variasi intraspesifik melainkan indikasi kehadiran hibrida
interspesifik yang terbentuk secara alami.
Meskipun sangat jarang ditemukan tumbuhan hutan yang mengalami hibridisasi alami, tetapi
hibridisasi alami pada tumbuhan hutan-pohon hutan (Ashton 1969; Ashton 1982), dimungkinkan
terjadi sebagai akibat evolusi yang dipicu oleh usia zona hibridisasi, sterilitas pada hibrida F1, dan
seleksi habitat terhadap hibrida pasca-F1 (Kamiya 2011). Pada genus Dyera penemuan ini adalah
yang pertama kalinya yang dikonfirmasi menggunakan primer ITS2.
Pada penelitian ini digunakan primer ITS2 karena memiliki beberapa keunggulan, salah satunya
adalah karena marka rDNA dalam hal ini, ITS (internal transcribed spacer), pada lokasi 18 S sampai
5.8 S sampai 26 S merupakan penanda molekuler dengan urutan paling populer dengan 66% dari 244
publikasi makalah ilmiah selama 5 tahun melaporkan penggunaan ITS dan 34%-nya mendasarkan
data utamanya dari urutan ITS (Álvarez dan Wendel 2003). Tetapi penanda ITS juga memiliki
kekurangan dimana homogenisasi intra-dan-interarray yang tidak lengkap serta homoplasi yang lebih
tinggi di marka ITS daripada set data sekuens DNA lain, seperti cpDNA misalnya (Álvarez dan
Wendel 2003), sehingga untuk dapat menghasilkan validitas data yang baik pada studi ini digunakan
dua penanda molekuler yaitu ITS dan cpDNA. Penanda ITS ini juga sangat penting peranannya dalam
penelitian ini karena pada penelitian-penelitian sebelumnya (Baldwin 1992; Baldwin et al.1995; Kim
dan Jansen 1994; Rieseberg et al. 1990; Rieserberg dan Soltis 1991; Rieserberg dan Wendel 1993;
Wendel et al.1995), marka ITS dapat menjawab kasus retikulasi, spesiasi hibrida-yang diidentifikasi
pada penelitian ini, dan asal-usul poliploidi. Detail jumlah sampel dari 50 sampel yang dianalisis
menggunakan penanda barkode trnH-psbA dan ITSS2F-ITSS3R ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Detail jumlah sampel, daerah pengambilan sampel, dan hasil identifikasi trnH-psbA dan ITS2
No Jumlah Identifikasi Lapangan Daerah (jumlah cpDNA rDNA
sampel sampel) (trnH-psbA) (ITSS2F-ITSS3R)
1 15 Jelutung rawa K (8) – S (7) D. polyphylla D. polyphylla
2 4 Jelutung rawa K – TP D. polyphylla D. polyphylla
3 1 Jelutung rawa K – TP D. polyphylla D. polyphylla
4 3 Jelutung rawa S D. polyphylla D. polyphylla x D. costulata
5 3 Jelutung rawa K D. polyphylla D. polyphylla x D. costulata
6 2 Jelutung rawa K D. polyphylla D. polyphylla x D. costulata
7 1 JB/ pantung K D. costulata D. polyphylla x D. costulata
8 6 JB/ pantung K (1) – S (5) D. costulata D. costulata
9 5 JB/ pantung S D. costulata D. costulata
10 1 JB/ pantung S D. costulata D. costulata
11 8 JB/ pantung K D. costulata D. costulata
12 1 JB/ pantung S D. polyphylla D. polyphylla
Keterangan:
JB: jelutung bukit, K: Kalimantan, S: Sumatera, K-TP: Kalimantan, TN Tanjung Puting

Sifat lokus ITS pada susunan 18 S sampai 26 S rDNA berada pada genom nuclear ITS yang
diwarisi secara biparental berbeda dengan lokus cpDNA yang digunakan secara luas (Álvarez dan
Wendel 2003) dan cpDNA merupakan organel genom yang umumnya diwariskan secara maternal,
pada tumbuhan artinya bahwa induknya (putik-sel telurnya) dapat diidentifikasi dari analisis
menggunakan marka molekuler cpDNA (Greiner, Sobanski, dan Bock 2015). Pada hasil yang
diperoleh (Tabel 2) menunjukkan dari 9 tegakan individu hibrida, diduga 8 tegakan berasal dari ovum
D. polyphylla yang dibuahi oleh sperma D. costulata dan hanya 1 yang berasal dari ovum D. costulata
yang dibuahi D. polyphylla. Hal ini sangat dimungkinkan terjadi karena serbuk sari yang membawa
sperma dari jelutung bukit yang berhabitat di dataran lebih tinggi tertiup angin menyerbuki dan
membuahi putik dan ovum pada jenis jelutung rawa yang tumbuh di rawa (dataran rendah). Selain
itu, adanya individu dengan maternal-inheritance yang berasal dari D. costulata ditemukan pada
tempat tumbuh yang berbatasan langsung antara rawa dan tanah mineral. Anemogami pada genus
6
Dyera memungkinkan pula D. polyphylla menyerbuki D. costulata khususnya pada tempat tumbuh
yang sangat berdekatan bahkan tumpeng tindih satu sama lain.

Metode Lanjutan: Elektroforesis Enzim Restriksi SmaI

Analisis lanjutan dikembangkan dengan melakukan proses PCR menggunakan primer ITS2
forward primer tanpa reverse primer-nya, yaitu ITS-S2F. Hasil sekuensing pada raw data dari ABI
310 Prism (Applied Bioscience) yang diekstraksi dengan ATGC, Genetyx, dan dibaca lebih lanjut
dengan MEGA-X pada Gambar 2 berikut.

Gambar 2 Sekuens yang dibaca pada MEGA-X pada hasil analisis menggunakan primer ITS-S2F

Pada kisaran lokus 155 bp-160 bp, tepatnya diantara 157 bp dan 158 bp, terdapat titik restriksi
dari enzim Sma1 yang terdiri dari susunan basa nitrogen CCC│GGG sehingga penggunaan Sma1
dapat diimplementasikan pada hasil amplifikasi isolat DNA sampel jelutung dengan primer ITS-S2F.
Pada lokus 159 bp terdapat variasi basa nitrogen yang dapat membedakan jelutung yang merupakan
spesies murni dan yang diduga sebagai hibrida interspesifiknya. Pengembangan metode ini
diujicobakan dengan elektroforesis dan diperoleh hasil sesuai hipotesis yaitu dapat dibedakannya
sampel yang merupakan hibrida dan induknya (Gambar 3).

Keterangan:
1. Dp : Dyera polyphylla (Jelutung rawa)
2. H : Hibrida interspesifik (D. polyphylla x D. costulata)
3. Dc : Dyera costulata (Jelutung bukit)
4. 100bp : Ladder 100 bp

Gambar 3 Contoh hasil elektroforesis Sma1 enzyme digestion yang dilakukan pada 161 sampel

Perbedaan antar-spesies dan yang diduga sebagai spesies hibrida interspesifiknya dapat
diketahui dan dibaca dengan jelas pada foto elektroforesis (Gambar 3). Hal ini disebabkan hasil
elektroforesis pada agarose 1.5% dengan 100 V selama 35 menit pada sampel hasil annealing ITS-
S2F dan restriksi dengan Sma1 menunjukkan pola berbeda pada masing-masing spesies. DNA yang
teramplifikasi berada pada kisaran panjang 200 dan 300 bp; 200, 300, dan 500 bp; serta hanya 500
bp untuk jelutung rawa, diduga hibrida jelutung, dan jelutung bukit. Uji enzim restriksi yang
dilakukan pada 161 individu keseluruhan sampel menunjukkan hasil seperti pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2 Hasil elektroforesis dengan enzim Sma1 dari 161 sampel dan perbandingannya dengan 50 sampel
yang disekuensing dengan trnH-psbA dan ITS2
Species Jumlah ITSS2F-ITSS3R Sma1 Digestion Jumlah sampel yang disekuensing
sampel 500 bp L+S 200 dan
(L) 300 bp (S) ITSS2F-ITSS3R trnH-psbA
D. costulata 64 59 4 1 22 (H=1) 22
D. polyphylla 97 1 20 76 28 (H= 8) 28
Dc= 60 H= 24 Dp= 77
Keterangan: Dc= D. costulata, H= Hibrida D. costulata x D. polyphylla, Dp= D. polyphylla

Pada Tabel 2 di atas, hasil elektroforesis dengan panjang nukleotida 500 bp (L), 200 dan 300
bp (S), serta gabungan L+S sebagai secara berurutan menunjukkan spesies teridentifikasi secara
7
molekuler D. costulata, D. polyphylla, dan hibridanya. Pada tabel 2, ditunjukkan bahwa dari
identifikasi berdasarkan ciri morfologi 64 individu yang teridentifikasi sebagai D. costulata, 4
individu digolongkan sebagai spesies hibrida sementara 60 individu sebagai D. costulata dengan
adanya misidentifikasi 1 individu yang semula dinyatakan secara morfologi sebagai D. polyphylla.
Sementara itu, dari identifikasi berdasarkan ciri morfologi 97 individu yang teridentifikasi sebagai D.
polyphylla, 20 individu digolongkan sebagai spesies hibrida sementara 77 individu sebagai D.
polyphylla dengan adanya misidentifikasi 1 individu yang semula dinyatakan secara morfologi
sebagai D. costulata. Dari 50 sampel yang di-sequencing menggunakan primer ITS2 diperoleh hasil
8 individu diduga sebagai hibrida interspesifik Dyera dengan rincian 1 individu hibrida berasal dari
spesies yang teridentifikasi secara morfologi sebagai D. costulata dan 7 individu hibrida berasal dari
D. polyphylla.
Misidentifikasi menunjukkan bahwa penentuan spesies menggunakan basis morfologi sebagai
indikator utama, kerap menghasilkan error data. Oleh karena itu, penggunaan marka molekuler
memiliki validitas lebih baik untuk menentukan spesies jelutung dan hibrida interspesifiknya. Selain
itu, modifikasi metode menggunakan enzim Sma1 pada hasil amplifikasi isolat DNA dengan ITS-
S2F dapat digunakan sebagai tahapan lanjut untuk mengelevasi probabilitas penggunaan metode yang
sederhana dan efektif (tanpa menggunakan proses sequencing) di lapangan. Hal ini menjawab salah
satu tantangan dalam rehabilitasi gambut yaitu kesulitan memberoleh bibit yang tepat untuk
rehabilitasi atau kesalahan penanaman spesies yang digunakan untuk rehabilitasi. Keberadaan 24
individu dari 161 keseluruhan sampel (14.9%) yang diduga hibrida interspesifik jelutung
menunjukkan kehadiran hibrida interspesifik jelutung di alam cukup umum ditemukan.

Peta Distribusi Tegakan Spesies Dyera costulata, D. polyphylla, dan Hibrida Interspesifik

Pada peta ditunjukkan bahwa mayoritas dari individu yang diduga sebagai spesies hibrida
Dyera berada di daerah tegakan D. polyphylla. Hanya sekitar satu per enam dari total individu yang
diduga sebagai hibrida, berada di daerah tegakan D. costulata. Keberadaan empat individu yang
diduga hibrida di Kawasan D. costulata berada di wilayah Tahura Lapak Jaru, Kab. Gunung Mas,
Kalteng (G). Wilayah ini berada di perbatasan antara gambut dan tanah mineral. Sementara itu, tidak
ditemukan di daerah tegakan D. costulata Sumatra, tegakan alam yang diduga sebagai hibrida
interspesifik Dyera. Peta ini dibuat berdasarkan elektroforesis enzim restriksi Sma1 pada 161
keseluruhan sampel dan tagging GPS Garmin di lapangan. Peta ddistribusi tegakan ini diduga
merupakan peta tegakan remnant dari hibrida alam yang masih dapat ditemukan.

Gambar 4 Peta distribusi tegakan Jelutung rawa, Jelutung bukit, dan Hibrida interspesifiknya diilustrasikan
dengan analisis aplikasi ArcMap 10.5 dan ArcCatalog 10.5

Zona hibrida yang mayoritas ditemukan berada di daerah gambut terbentuk diduga karena
minimnya gangguan pada kawasan hutan alam rawa gambut. Hal ini dikarenakan eksploitasi dan alih
8
fungsi lahan pada area hutan alam rawa gambut meruapakan tindakan melanggar hukum, memerlukan
fasilitas, SDM/tenaga, dan biaya yang besar, serta potensi perusakan lingkungan yang irreversible.
Tetapi pada daerah hidup D. costulata yaitu di tanah mineral, banyak sekali gangguan pada
habitatnya. Alih fungsi lahan pada tanah mineral lebih efisien, ekonomis, dan mudah dilakukan
dibandingkan pada area rawa gambut. Hal ini menjadi salah satu dugaan mengapa sulit menemukan
zona hibrida pada area tegakan D. costulata.

SIMPULAN

Hasil analisis molekuler pada D. polyphylla (Jelutung Rawa) dan D. costulata (Jelutung
Bukit) menggunakan penanda cpDNA (trnH-psbA) dan rDNA (ITS-S2F;ITS-S3R) menunjukkan
hasil terbaik pada 520 bp dan 433 bp. Pada sekuens DNA yang dianalisis dengan primer forward ITS-
S2F ditemukan sepuluh (10) posisi lokus adalah polimorfik, dan 8 dari 10 merupakan spesifik-spesies
pada lokus 82, 90, 104, 107, 121, 159, 203, dan 208 bp. Hasil analisis dengan penanda trnH-psbA
menunjukkan mayoritas hibrida berasal dari maternal D. polyhylla (8 dari 9 individu) yang diduga
hal tersebut diakibatkan gradien altitudinal habitat dan arah angin yang cenderung membuat serbuk
sari jatuh di putik dengan altitudinal lebih rendah. Modifikasi lanjut metode analisis menggunakan
enzim restriksi Sma1 efektif dalam menganalisis spesies dan hibridanya dengan lebih efisien tenaga,
waktu, dan biaya. Titik restriksi enzim Sma1 pada sekuens DNA Dyera yang telah diamplifikasi
menggunakan forward primer ITS-S2F berada pada lokus 157-158 bp. Keberadaan 24 individu dari
161 keseluruhan sampel (14.9%) yang diduga hibrida interspesifik jelutung menunjukkan kehadiran
hibrida interspesifik jelutung di alam cukup umum ditemukan.

SARAN

Ciri morfologi pada tegakan alam yang teranalisis sebagai spesies hibrida secara molekuler
perlu dikonfirmasi lebih lanjut dengan penelitian yang menggabungkan kedua faktor tersebut untuk
mendiferensiasikan secara taksonomi antara spesies hibrida dan parentalnya. Sifat ekofisiologi
tegakan alam hibrida perlu dianalisis lebih lanjut agar bermanfaat untuk pertimbangan dalam
penentuan spesies rehabilitasi gambut serta dari segi kuantitas dan kualitas lateks yang dihasilkan
untuk kepentingan komersil peningkatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) jelutung di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Álvarez I, Wendel JF. 2003. Ribosomal ITS sequences and plant phylogenetic inference. Molecular
phylogenetics and evolution, 29(3): 417-434.
Ambrus A, Chen D, Dai J, Bialis T, Jones RA, Yang D. 2006. Human telomeric sequence forms a
hybrid-type intramolecular G-quadruplex structure with mixed parallel/antiparallel strands in
potassium solution. Nucleic acids research, 34(9): 2723-2735.
Ashton PS. 1969. Speciation among tropical forest trees: some deductions in the light of recent
evidence. Biological journal of the Linnean Society, 1(1-2): 155-196.
Baldwin BG. 1992. Phylogenetic utility of the internal transcribed spacers of nuclear ribosomal DNA
in plants: an example from the Compositae. Molecular phylogenetics and evolution, 1(1): 3-16.
Baldwin BG, Sanderson MJ, Porter JM, Wojciechowski MF, Campbell S, Donoghue MJ. 1995. The
ITS region of nuclear ribosomal DNA: a valuable source of evidence on angiosperm
phylogeny. Annals of the Missouri botanical garden: 247-277.
[BRG] Badan Restorasi Gambut. 2016. Restorasi Gambut Bersama Masyarakat Akan Dilaporkan
dalam COP 23: Rp. 152 Milyar anggaran BRG untuk masyarakat. https://brg.go.id/restorasi-
gambut-bersama-masyarakat-akan-dilaporkan-dalam-cop-23-rp-152-milyar-anggaran-brg-
untuk-masyarakat/. Diunduh pada 30 Mei 2018.
Collevatti RG, Olivatti AM, Telles MP, Chaves LJ. 2016. Gene flow among Hancornia speciosa
(Apocynaceae) varieties and hybrid fitness. Tree Genetics & Genomes, 12(4): 74.
9
Greiner S, Sobanski J, Bock R. 2015. Why are most organelle genomes transmitted maternally?
Bioessays, 37(1): 80-94.
Gunawan H, Kobayashi S, Mizuno K, Kono Y, Kozan O. 2016. Sustainable Management Model for
Peatland Ecosystems in the Riau, Sumatra. Tropical Peatland Ecosystems Springer, Tokyo:
113-123
Howard DJ, Preszler RW, Williams J, Fenchel S, Boecklen WJ. 1997. How discrete are oak species?
Insights from a hybrid zone between Quercus grisea and Quercus gambelii. Evolution, 51(3):
747-755.
Ishida TA, Hattori K, Sato H, Kimura MT. 2003. Differentiation and hybridization between Quercus
crispula and Q. dentata (Fagaceae): insights from morphological traits, amplified fragment
length polymorphism markers, and leafminer composition. American Journal of Botany, 90(5):
769-776.
[ITTO] International Tropical Timber Organization. 2019. ITTO Letter Used Species, Jelutong
(Dyera costulata). http://www.tropicaltimber.info/specie/jelutong-dyera-costulata/?print=true
diunduh pada tanggal 14 Januari 2019
Kamiya K, Gan YY, Lum SK, Khoo MS, Chua SC, Faizu NN. 2011. Morphological and molecular
evidence of natural hybridization in Shorea (Dipterocarpaceae). Tree Genetics &
Genomes, 7(2): 297-306.
Keim P, Paige KN, Whitham TG, Lark KG. 1989. Genetic analysis of an interspecific hybrid swarm
of Populus: occurrence of unidirectional introgression. Genetics, 123(3): 557-565.
Kim KJ, Jansen RK. 1994. Comparisons of phylogenetic hypotheses among different data sets in
dwarf dandelions (Krigia, Asteraceae): additional information from internal transcribed spacer
sequences of nuclear ribosomal DNA. Plant systematics and Evolution, 190(3-4): 157-185.
Kumar S, Stecher G, Li M, Knyaz C, Tamura K. 2018. MEGA X: Molecular Evolutionary Genetics
Analysis across computing platforms. Molecular Biology and Evolution 35:1547-1549
Li Y, Tada F, Yamashiro T, Maki M. 2016. Long-term persisting hybrid swarm and geographic
difference in hybridization pattern: genetic consequences of secondary contact between two
Vincetoxicum species (Apocynaceae–Asclepiadoideae). BMC evolutionary biology, 16(1): 20.
Majid NM, Islam MM, Abdul Rauf R, Ahmadpour P, Abdu A. 2012. Assessment of heavy metal
uptake and translocation in Dyera costulata for phytoremediation of cadmium contaminated
soil. Acta Agriculturae Scandinavica, Section B-Soil & Plant Science, 62(3): 245-250
Melville R. 1976. Neoteny, evolution and the New Zealand Parsonsia hybrids
(Apocynaceae). Botanical journal of the Linnean Society, 72(3): 171-189.
Middleton, DJ. 2003. A revision of Dyera (Apocynaceae: Rauvolfioideae). Gardens' Bull.
Singapore, 55, 209-218.
Milne RI, Davies C, Prickett R, Inns LH, Chamberlain DF. 2010. Phylogeny of Rhododendron
subgenus Hymenanthes based on chloroplast DNA markers: between-lineage hybridisation
during adaptive radiation? Plant Systematics and Evolution, 285(3-4): 233-244.
Mishra P, Kumar A, Sivaraman G, Shukla AK, Kaliamoorthy R, Slater A, Velusamy S. 2017.
Character-based DNA barcoding for authentication and conservation of IUCN Red listed
threatened species of genus Decalepis (Apocynaceae). Scientific reports, 7(1): 14910.
Najiyati S, Asmana A, Suryadiputra INN. 2005. Pemberdayaan Masyarakat di Lahan Gambut. Proyek
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia
Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor
Owusu SA, Sullivan AR, Weber JA, Hipp AL, Gailing O. 2015. Taxonomic relationships and gene
flow in four North American Quercus species (Quercus section Lobatae). Systematic
Botany, 40(2): 510-521.
Rahajoe JS, Alhamd L, Atikah TD, Pratama BA, Shiodera S, Kohyama TS. 2016. Floristic Diversity
in the Peatland Ecosystems of Central Kalimantan. In Tropical Peatland Ecosystems:167-196.
Springer, Tokyo.
Reanmongkol W, Subhadhirasakul S, Pairat C, Poungsawai C, Choochare W. 2002. Antinociceptive
activity of Dyera costulata extract in experimental animals. Songklanakarin Journal of Science
10
and Technology, 24(2): 227-234.
Rieseberg LH, Soltis D.E. 1991. Phylogenetic consequences of cytoplasmic gene flow in plants.
Evolutionary Trends in Plants.
Rieseberg LH, Wendel JF. 1993. Introgression and its consequences in plants. Hybrid zones and the
evolutionary process, 70: 109.
Rintz RE. A closer look at Asclepias engelmanniana Woodson and Asclepias rusbyi (Vail) Woodson
(Apocynaceae, Asclepiadoideae).
Rushton BS. 1993. Natural hybridization within the genus Quercus L. In annales des sciences
forestières (Vol. 50, No. Supplement: 73s-90s). EDP Sciences.
Sakurai K, HosomiK, Arakawa T, Uzawa M, Ito Y, Saburi Y. 1992. Isolation and Characterization
of an Allergy Inhibitor from the Jelutong, Dyera costulata Hook. f. Bioscience, biotechnology,
and biochemistry, 56(6): 975-975
Siregar UJ, Imran MF, Siregar IZ, Finkeldey R. 2016. Distribution and local adaptation of two
indigenous Jelutung trees (Dyera costulata and D. lowii) in Jambi, Indonesia: Implication for
allopatric speciation. Procedia Environmental Sciences, 33:393-403.
Soepadmo E, Saw LG, Chung RCK. 2002. Tree flora of Sabah and Sarawak. Vol. 4. Forest Research
Insitute Malaysia, Sabah Forestry Department, Sarawak Forestry Department, Malaysia.
Sofiyuddin M, Janudianto, Perdana A. 2012. Potensi Pengembangan dan Pemasaran Jelutung di
Tanjung Jabung Barat. Brief No 23. Bogor, Indonesia. World Agroforestry Centre - ICRAF,
SEA Regional Office.
Sousa-Santos C, Gante HF, Robalo J, Cunha PP, Martins A, Arruda M, Alves MJ, Almada V. 2014.
Evolutionary history and population genetics of a cyprinid fish (Iberochondrostoma
olisiponensis) endangered by introgression from a more abundant relative. Conservation
Genetics, 15(3): 665-677.
Stoepler TM, Edge A, Steel A, O'Quinn RL, Fishbein M. 2012. Differential pollinator effectiveness
and importance in a milkweed (Asclepias, Apocynaceae) hybrid zone. American Journal of
Botany, 99(3): 448-458.
Subhadhirasakul S, Jankeaw B, Malinee A. 2003. Chemical constituents and antioxidative activity of
the extract from Dyera costulata leaves. Songklanakarin J Sci Technol, 25(3): 351-357.
Tawaraya K, Turjaman M. 2016. Mycorrhizal Fungi in Peatland. In Tropical Peatland Ecosystems
Springer, Tokyo: 237-244
Tsumura Y, Ohba K, Strauss SH. 1996. Diversity and inheritance of inter-simple sequence repeat
polymorphisms in Douglas-fir (Pseudotsuga menziesii) and sugi (Cryptomeria
japonica). Theoretical and applied genetics, 92(1): 40-45.
Weeks A, Simpson BB. 2004. Molecular genetic evidence for interspecific hybridization among
endemic Hispaniolan Bursera (Burseraceae). American Journal of Botany, 91(6): 976-984.
Wendel JF, Schnabel A, Seelanan T. 1995. Bidirectional interlocus concerted evolution following
allopolyploid speciation in cotton (Gossypium). Proceedings of the National Academy of
Sciences, 92(1): 280-284.
Williams L. 1963. Laticiferous plants of economic importance IV jelutong (Dyera spp.). Economic
Botany, 17(2): 110-126.
Zha HG, Milne RI, Zhou HX, Chen XY, Sun H. 2016. Identification and cloning of class II and III
chitinases from alkaline floral nectar of Rhododendron irroratum, Ericaceae. Planta, 244(4):
805-818.
Zhou R, Gong X, Boufford D, Wu C, Shi, S. 2008. Testing a hypothesis of unidirectional
hybridization in plants: Observations on Sonneratia, Bruguiera and Ligularia. BMC
Evolutionary Biology, 8(1): 149.

Anda mungkin juga menyukai