Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

Efusi pleura sering ditemukan di negara-negara yang sedang berkembang,


salah satu contoh adalah Indonesia. Efusi pleura sering disebabkan oleh infeksi
tuberculosis (TB) paru. Bila di negara barat efusi pleura terutama disebabkan oleh
penyakit gagal jantung kongestif, keganasan dan pneumonia namun di Indonesia
TB paru adalah penyebab utama efusi pleura yang disusul oleh keganasan. Estimasi
prevalensi efusi pleura adalah 320 kasus per 100.000 orang di negara-negara
industry. Namun, penyebab tertentu memiliki kecenderungan seks. Sekitar dua per
tiga efusi pleura ganas terjadi pada perempuan. Efusi pleura ganas berhubungan
secara signifikan dengan keganasan payudara dan ginekologi. Efusi pleura yang
terkait dengan lupus eritematosus sistemik juga lebih sering terjadi pada wanita
dibanding pria.
Perbaikan kondisi pasien dengan efusi pleura memerlukan
penatalaksanaan yang tepat oleh petugas kesehatan. Diagnosis efusi pleura
ditegakkan atas dasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
seperti pemeriksaan radiologis yaitu pemeriksaan xray thoraks dan pemeriksaan
bakteriologis seperti pemeriksaan sputum untuk menegakan penyebab efusi. Gejala
efusi pleura pada umumnya sesuai dengan penyakit yang mendasari. Jika
penyabab efusi adalah pneumonia maka terdapat keluhan seperti demam,
menggigil, dan nyeri dada (pleuritis). Sementara jika penyebab efusi
adalah penyakit maligna maka dapat keluhan seperti dispnea atau sesak
nafas dan batuk.
Diagnosis efusi pleura sangat sulit, meskipun pasien sering mengeluhkan
gejala khas yang menunjukkan penyakit pleura. Efusi pleura ditandai oleh rongga
pleura yang diisi dengan cairan pleura transudatif atau eksudatif, dan
dikembangkan oleh berbagai etiologi. Kehadiran efusi pleura dapat dikonfirmasi
oleh studi radiologi termasuk radiografi dada sederhana, ultrasonografi, atau
computed tomography. Mengidentifikasi penyebab efusi pleura dengan analisis
cairan pleura sangat penting untuk perawatan yang tepat. Pada makalah ini akan
dibahas beberapa pemeriksaan radiologis yang dapat digunakan sebagai alat bantu
untuk mendiagnosis efusi pleura dan juga menyingkirkan diagnosis banding.
Setiap pemeriksaan yaitu; Foto thoraks atau Plain chest radiograph, USG,
CT scan, MRI akan dibanding dengan satu sama lain dengan menggunakan
sensitivitas dan spesifisitas masing-masing dari beberapa penelitian.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Secara normal, ruang pleura mengandung sejumlah kecil cairan sekitar 5
sampai 15 ml yang berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan permukaan
pleura bergerak tanpa ada gesekan. Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana
cairan terkumpul pada ruang antara lapisan parietal dan visceral dari pleura akibat
peradangan. Penumpukan cairan disebabkan oleh proses penyakit primer yang
jarang terjadi tetapi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain.
Cairan dalam pleura berupa transudat atau eksudat yang diakibatkan terjadinya
ketidakseimbangan antara produksi dan absorpsi di kapiler dan pleura visceral 1.
Efusi pleura bukanlah diagnosis namun hanya merupakan komplikasi dari penyakit
lain.

2.2 EPIDEMIOLOGI

Menurut WHO (2016), efusi pleura merupakan suatu gejala


penyakit yang dapat mengancam jiwa penderitanya. Secara geografis penyakit
ini terdapat diseluruh dunia, bahkan menjadi problema utama di negara-negara
yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Di negara-negara industri,
diperkirakan terdapat 320 kasus efusi pleura per 100.000 orang. Amerika
Serikat melaporkan 1,3 juta orang setiap tahunnya menderita efusi pleura
terutama disebabkan oleh gagal jantung kongestif dan pneumonia bakteri 2.
Menurut Depkes RI (2006), kasus efusi pleura mencapai 2,7 % dari penyakit
infeksi saluran napas lainnya. WHO memperkirakan 20% penduduk kota dunia
pernah menghirup udara kotor akibat emisi kendaraan bermotor, sehingga
banyak penduduk yang berisiko tinggi penyakit paru dan saluran pernafasan
seperti efusi pleura.
2.3 ANATOMI & FISIOLOGI
Pleura secara anatomi merupakan membrane tipis yang terdiri dari dua
lapisan yaitu pleura viseralis dan pleura parietalis. Dua lapisan ini bergabung pada
hilus paru. Namun terdapat beberapa hal yang khas tentang kedua lapisan pleura
ini:-
a) Pleura viseralis : Lapisan viseralis merupakan bagian permukaan luar yang
terdiri dari selapis sel mesotelial yang tipis, diantara celah-celah sel
mesotelial terdapat beberapa sel limfosit. Dibawah sel mesotelial terdapat
bagian endopleura yang berisi fibrosit histiosit. Struktur lapisan tengah
memiliki jaringan kolagen dan serat-serat elastik, sedangkan lapisan
terbawah terdapat jaringan interstisial subpleura yang mengandung banyak
pembuluh darah kapiler yang berasal dari arteri pulmonalis dan brakialis
serta kelenjar getah bening. Keseluruhan jaringan pleura viseralis
menempel pada parenkim paru 4.
b) Pleura parietalis : Pleura parietalis merupakan lapisan jaringan yang paling
tebal dan seperti pleura viseralis teridiri atas sel-sel mesotelial dengan
tambahan jaringan ikat (kolagen dan serat-serat elastik). Dalam jaringan ikat
terdapat pembuluh darah kapiler dari arteri interkostalis dan arteri mamaria
interna serta kelenjar getah bening, dan juga banyak reseptor saraf sensorik
yang peka terhadap sensasi nyeri 5,6.

Gambar 1 – anatomi pleura


Rongga pleura diantara dua lapisan itu mengandung sejumlah kecil cairan pelumas
yang disekresikan oleh membran. Cairan pleura ini mengurangi gesekan antar
membran dan memungkinkan mereka meluncur dengan mudah di atas satu sama
lain selama bernapas. Cairan pleura juga menyebabkan dua membran menempel
satu sama lain sama seperti film air yang menyebabkan dua gelas mikroskop
meluncur bersama, sebuah fenomena yang disebut surface tension. Radang selaput
pleura, disebut pleuritis, mungkin pada tahap awal menyebabkan rasa sakit karena
gesekan antara lapisan parietal dan visceral pleura. Jika peradangan berlanjut,
cairan berlebih terakumulasi dalam rongga pleura, suatu kondisi yang dikenal
sebagai efusi pleura 26.
Cairan pleura diproduksi oleh pleura parietalis dan selanjutnya diabsorbsi
oleh pleura viseralis. Cairan tersebut terbentuk dari filtrasi plasma melalui endotel
kapiler dan direabsorbsi oleh pembuluh limfe dan vena pleura. Pergerakan dari
pleura parietalis dengan pleura viseralis dapat terjadi karena adanya perbesaan
tekanan hidrostatik dan tekanan osmotik koloid plasma. Hal yang memudahkan
penyerapan cairan pada pleura viseralis adalah beradaan banyak mikrofili disekitar
sel-sel mesotelial.
Dalam kondisi normal seharusnya tidak terdapat rongga yang kosong antara
kedua pleura tersebut, karena pada keadaan normal hanya terdapat sedikit (sekitar
15ml) cairan yang merupakan lapisan titpis6 serosa dan akan bergerak secara
teratur. Dalam keadaan patologis seperti pada kondisi efusi, rongga antara kedua
pleura ini dapat terisi dengan beberapa liter cairan atau udara.
2.4 ETIOLOGI
Cairan efusi pleura dapat berupa transudate atau eksudat. Cairan transudate
disebabkan oleh kebocoran cairan ke rongga pleura yang disebabkan peningkatan
tekanan hidrostatik di pembuluh darah atau penurunan tekanan onkotik kapiler
darah sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi pleura melebihi reabsorbsi oleh
pleura lainnya. Penyebab Efusi pleura transudat biasanya disebabkan oleh penyakit
non-paru seperti:
 Gagal jantung kongestif
 Sindroma nefrotik
 Trauma
 Sirosis hati
 Exposur asbestos
 Urinothoraks

Cairan eksudat merupakan cairan yang berbentuk melalui membrane kapiler


yang permeabelnya abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi dibanding
protein transudate. Bila terjadi proses peradangan maka permeabilitas kapiler
pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial berubah bentuk menjadi
bulat atau kuboidal dan akan mengeluarkan cairan kedalam rongga pleura. Protein
yang terdapat dalam cairan pleura kebanyakan berasal dari saluran kelenjar getah
bening dan proses tersebut akan menyebabkan peningkatan konsentrasi protein
cairan pleura, sehingga menimbulkan eksudat seperti pada kasus pleuritis
tuberculosis. Efusi pleura eksudatif pada umumnya disebabkan oleh penyakit paru7.

Cairan eksudat terbentuk pada kasus seperti:


 Carcinoma bronkial
 Keganasan sekunder (metastasis)
 Emboli paru
 Pneumonia
 Tuberculosis
 Systemic lupus erythematosus (SLE)

Langkah pertama dalam evaluasi pasien dengan efusi pleura adalah untuk
menentukan apakah cairan efusi adalah transudat atau eksudat. Efusi eksudatif
didiagnosis jika pasien memenuhi kriteria Light. Serum untuk protein cairan pleura
atau gradien albumin dapat membantu mengkategorikan transudat sesekali yang
salah diidentifikasi sebagai eksudat oleh kriteria ini. Jika pasien memiliki efusi
transudatif, terapi harus diarahkan pada penyebab seperti gagal jantung atau sirosis
yang mendasarinya. Jika pasien memiliki efusi eksudatif, upaya harus dilakukan
untuk menentukan etiologic yaitu pneumonia, kanker, tuberkulosis, dan emboli
paru merupakan penyebab sebagian besar efusi eksudatif.

Gambar 2 – Kriteria light

2.5 PATOFISIOLOGI
Pada kondisi normal dalam rongga pleura terdapat cairan sekitar 15ml
namun jika cairan yang terbentuk dalam rongga pleura melebihi 15 ml maka akan
diabsorbsi dalam pleura dan disebutkan efusi pleura.
Agar cairan pleura terakumulasi untuk membentuk efusi, kemungkinan
bahwa tingkat masuknya cairan harus meningkat dan tingkat cairan dikeluarkan
harus menurun. Jika hanya ada peningkatan dengan jumlah cairan masuk, maka
akan membutuhkan kecepataan lebih dari 30 kali normal untuk melebihi kapasitas
cadangan limfatik; jika jumlah cairan keluar menurun, diperlukan lebih dari satu
bulan dengan jumlah 12 mL per hari cairan keluar untuk menghasilkan efusi yang
dapat dideteksi oleh x-ray thoraks 3. Keseimbangan antara produksi dan absorbsi
bisa terjadi karena adanya tekanan hidrostatik sebesar 9 cm H2o dan tekanan
osmotic koloid sebesar 10 cm H2o. Jadi, dalam pemandangan klinis, kemungkinan
besar pada pasien dengan efusi terdapat keadaan dimana akumulasi cairan pleura
berlebih yang diakibatkan oleh perubahan atau ketidakseimbangan dengan proses
tersebut.

Gambar 3 – pathogenesis efusi pleura


Kesimbangan tersebut dapat terganggu oleh banyak hal namun beberapa
penyebab dibahas dibawa 8:
1) Infeksi tuberkulosa paru : Mikobakterium tuberkulosa masuk melalui
saluran nafas menuju alveoli kemudian akan terjadi infeksi primer. Dari
infeksi primer ini akan timbul peradangan saluran getah bening menuju
hilus (Limfangitis lokal) dan juga diikuti dengan pembesaran kelenjar
getah bening hilus (limphadinitis regional). Peradangan pada saluran
getah bening akan mempengaruhi permebilitas membran. Permebilitas
membran akan meningkat yang akhirnya dapat menimbulkan akumulasi
cairan dalam rongga pleura. Kebanyakan terjadinya efusi pleura akibat
dari tuberkulosa paru melalui fokus subpleura yang robek atau melalui
aliran getah bening.
2) Pleuritis akibat bakteri piogenik : Permukaan pleura dapat ditempeli
oleh bakteri yang berasal dari jaringan parenkim paru dan menjalar
secara hematogen dan jarang melalui penetrasi diafragma, dinding dada,
atau esofagus.
3) Efusi pleura et causa virus : Efusi karena virus atau mikoplasma agak
jarang terjadi. Bila terjadi jumlahnya tidak banyak dan kejadian hanya
selintas saja. Jenis-jenis virus adalah echo virus, coxsackie virus,
chalmidia, dan yang lain. Cairan efusi biasanya eksudaat dan berisi
leukosit antara 100-6000 per cc. Gejala pada efusi dengan penyebab
virus adalah sakit kepala, demam, malaise, sakit dada, sakit perut.
Diagnosis ditegakan dengan menemukan virus dalam cairan efusi dan
mendeteksi antibody terhadap virus dalam cairan efusi tersebut.
4) Sirosis hati : Efusi pleura pada pasien dengan sirosis hati timbul
bersamaan dengan asites. Secara khas terdapat kesamaan antara cairan
pleura dan asiters, karena terdapat hubungan fungsional antara rongga
pleura dan rongga abdomen melalui saluran getah bening atau jaringan
otot diafragma. Kebanyakan efusi menempel pleura kana (70%) dan
bisa juga terjadi bilateral. Torakosentesis kadang diperlukan untul
mengurangi sesak nafas yang timbul pada pasien tapi bila asites padat
sekali cairan pleura akan timbul lagi dengan cepat.
5) Lupus eritematosus : Pleuritis adalah salah satu gejala yang timbul
belakangan pada penyakit lupus eritematosus sistemik. Selain gejala
dari efusi pleura gejala lain dari penyakit SLE mendahului maka
diagnosis SLE ini menjadi lebih jelas. Hampir 55% pasien dengan SLE
disertai dengan pleuritic dan 25% juga dengan efusi pleura.
6) Gangguan kardiovaskuler : Payah jantung adalah penyebab paling
sering timbulnya efusi pleura. Penyebab lain termasuk pericarditis
kontritiva dan sindrom vena kava superior. Patogensis adalah akibat
terjadinya peningkatan tekanan vena sistemik dan tekanan lapiler
pulmonal akan menurunkan kapasitas reabsorbsi pembuluh darah
subpleura dan aliran getah bening akan ikut menurun atau terhalang
sehingga filtrasi cairan ke pleura dan paru-paru meningkat.
7) Emboli pulmonal : Efusi pleura dapat terjadi pada sisi paru yang terkena
emboli pulmonal. Sering disertai dengan infark paru ataupun tapa
infark. Emboli dapat menyebabkan menurunnya aliran darah arteri
pulmonalis, sehingga terjadi iskemia maupun kerusakan pada parenkim
paru dan mengakibatkan peradangan dengan efusi yang berdarah.
8) Efusi pleura ganas (EPG): didefinisikan sebagai efusi yang
terjadi berhubungan dengan keganasan yang dibuktikan dengan
penemuan sel ganas pada pemeriksaan sitologi cairan pleura atau biopsi
pleura, bila tidak ditemukan sel ganas pada cairan atau hasil biopsi
pleura tetapi ditemukan kanker primer di paru atau organ lain.A
Akumulasi efusi di rongga pleura terjadi akibat peningkatan
permeabiliti pembuluh darah karena reaksi inflamasi yang ditimbulkan
oleh infiltrasi sel kanker pada pleura parietal dan/ atau viseral.
Mekanisme lain yang mungkin adalah invasi langsung tumor yang
berdekatan dengan pleura, obstruksi pada kelenjar limfe, penyebaran
hematogen atau tumor primer pleura (mesotelioma). Gangguan
penyerapan cairan oleh pembuluh limfe pada pleura parietal akibat
deposit sel kanker itu menjadi penyebab akumulasi cairan di rongga
pleura. Pada beberapa kasus, diagnosis penyakit EPG didasarkan pada
sifat keganasan secara klinis, yaitu cairan eksudat yang serohemoragik
/ hemoragik, berulang, masif, tidak responsif terhadap antiinfeksi atau
sangat produktif meskipun telah dilakukan torakosentesis untuk
mengurangi volume cairan intrapleura 9.

2.6 MANIFESTASI KLINIS

Efusi pleura sendiri bukan suatu diagnosis namun merupakan komplikasi


dari penyakit lain. Maka, manifestasi klinis dari efusi pleura sangat bervariasi dan
seringkali berhubungan dengan proses penyakit yang mendasarinya. Nyeri dada
biasa muncul dikarenakan proses inflamasi pleura (infeksi pleura, mesotelioma,
infark pulmonal. Sesak dapat timbul dikarenakan timbunan cairan dalam rongga
pleura yang akan memberikan kompresi patologis pada paru sehingga
ekspansinya terganggu. Batuk pada efusi pleura mungkin disebabkan oleh
rangsangan pada pleura oleh karena cairan pleura yang berlebihan, proses inflamasi
ataupun massa pada paru-paru. Keluhan penurunan nafsu makan dan berat badan
tanpa disertai demam biasanya ditemukan pada efusi pleura karena keganasan 10.

2.7 PEMERIKSAAN FISIK

Pada pemeriksaan fisik thoraks hal-hal berikut dapat diharapkan:


a) Inspeksi – Terdapat peningkatan usaha dan frekuensi pernafasan yang
disertai penggunaan otat bantu pernafasan. Maka pengembangan paru
akan menurun dan gerakan pernafasan / ekspansi dada asimetris, iga
melebar, rongga dada asimetris. Pengkajian batuk yang produktif.
b) Palpasi – Penurunan taktil fremitus. Hal ini paling jelas dengan jumlah
cairan diatas 300 cc. Selain taktil fremitus, pada palpasi juga ditemukan
pergerakan dinding dada yang tertinggal pada dada yang sakit.
c) Perkusi – Suara pada perkusi redup hingga pekak tergantung letakan dan
jumlah cairan yang terbentuk dalam rongga dada 11.
d) Auskultasi – Suara pernafasan menurun dan kadang mengilang pada sisi
yang sakit. Pada posisi duduk, cairan semakin ke atas dan semakin tipis.
Jika terjadi inflamasi, maka terdapat friction rub sebagai suara tambahan
pada auskultasi. Jika terdapat komplikasi seperti atelectasis kompresif
maka dapat menyebabkan bunyi nafas bronkus.

Berikut adalah hasil pemeriksaan fisik dengan hubungan pada volume cairan
yang ditemukan di rongga pleura:
Volume cairan pleura Gambaran klinis
<250-300 cm3 Kemungkinan masih normal
500 cm3 1. Redup pada perkusi.
2. Taktil fremitus menurun atau
melemah.
3. Pernafasan versikuler tetapi
intersitas menurun.

1000cm3 1. Tidak terdapat retraksi


inspirasi, sedikit bulging pada
sela iga.
2. Pernafasan tidak simetris, sisi
sakit akan ketinggalan.
3. Perkusi redup sampai scapula
dan axila.
4. Taktil fremitus melemah atau
menghilang pada bagian
posterior dan lateral.
5. Suara pernfasan
bronkovesikuler.
6. Pada auskultasi terdapat
Egophany pada batas atas
efusi.
Efusi masif (memenuhi satu 1. Terdapat bulging pada sela iga
hemithoraks) 2. Pernafasan ketinggalan pada
sisi yang sakit.
3. Suara nafas menghilang.
4. Pada auskultasi terdapat
Egophony pada bagian apeks.
5. Hati atau Spleen teraba karena
terdapat penekanan diafragma.

Tabel 1 – Volume cairan efusi dan pemeriksaan fisik

2.8 DIAGNOSIS DAN EVALUASI DIAGNOSTIK

Foto thoraks posteroanterior dan lateral biasanya mengkonfirmasi adanya


efusi pleura, tetapi jika ada keraguan, USG atau computed tomography (CT)
scan bersifat definitif untuk mendeteksi efusi kecil dan untuk membedakan
cairan pleura dari penebalan pleura. Jika jumlah cairan pleura sedikit dan tidak
mudah terlihat pada tampilan frontal standar dapat dikenali dalam tampilan
12
dekubitus lateral . Pada x-ray thoraks posteroanterior, cairan pleura bebas
dapat menumpulkan pada sudut kostofrenik, membentuk meniskus secara
lateral atau sembunyikan di lokasi subpulmonic, simulasi hemidiafragma yang
tinggi.
1) Foto thoraks (Plain chest radiograph)
Sensitivitas chest radiograph atau foto thoraks pada kasus efusi
pleura menurut penelitian dari Taghizadieh A et al adalah 66.7% (95% CI:
35.4-88.7) dan spesifisitas terdapat 77.8% (95% CI: 51.9-92.6). Sensitivitas
chest x-ray pada kasus community acquired pneumonia adalah 100.0%
(95% CIL 85.4-100.0) namun spesifisitas 0.0 (95% CI: 0.0-94.5%).
Karena cairan bersifat lebih padat daripada udara, maka cairan yang
mengalir bebas tersebut pertama sekali akan menumpuk di bagian paling
bawah dari rongga pleura, ruang subpulmonik dan sulkus kostofrenikus
lateral. Efusi pleura biasanya terdeteksi pada foto toraks postero anterior
posisi tegak jika jumlah cairan sampai 200 – 250 ml. Foto toraks lateral
dapat mendeteksi efusi pleura sebesar 50 – 75 ml.
Tanda awal efusi pleura yaitu pada foto toraks posteroanterior posisi
tegak maka ditemukan gambaran sudut kostofrenikus yang tumpul baik
dilihat dari depan maupun dari lateral. Dengan jumlah yang besar, cairan
yang mengalir bebas akan menampakkan gambaran meniscus sign dari
posisi posteroanterior. Ketinggian efusi pleura sesuai dengan tingkat batas
tertinggi meniskus. Jika terdapat pneumotoraks atau abses dapat mengubah
tampilan meniskus menjadi garis yang lurus atau menimbulkan air fluid
level. 13

Gambar 4 – Miscus sign pada efusi pleura kanan

Gambar 5 – Posterioanterior ragiograph dengan blunting pada sudut kostofrenikus kiri

Foto toraks lateral dekubitus dapat dilakukan pada kasus dicurigai


sebagai efusi pleura. Efusi pleura sederhana akan mengikuti gravitasi dan
akan terbentuk lapisan antara paru yang mengambang dengan dinding dada.
Gambaran yang tidak seperti biasa mencerminkan adanya lakulasi, abses
atau massa. Foto toraks lateral dekubitus terbalik akan menarik cairan ke
arah mediastinum dan memungkinkan untuk melihat parenkim paru untuk
melihat apakah ada infiltrat atau massa yang ada di balik perselubungan
tersebut.

Gambar 6 – Posisi lateral decubitus kiri pada pasien yang sama dengan cairan pleura dalam
jumlah banyak
Pada kasus efusi pleura masif, seluruh hemitoraks akan terdapat
bayangan opasitas. Pada foto tersebut, pergeseran mediastinum dapat
mengidentifikasi penyebab efusi pleura tersebut. Dengan tidak adanya paru
atau mediastinum yang sakit, akumulasi cairan yang besar akan mendorong
mediastinum ke kontralateral. Ketika mediastinum bergeser ke arah efusi
kemungkinan kelainannya adalah di paru dan bronkus utama atau adanya
obstruksi atau keduanya. Ketika mediastinum tetap di medial kemungkinan
penyebabnya adalah tumor.
Gambar 7 – chest radiograph dengan efusi pleura masif kanan

Berdasarkan foto toraks, efusi pleura diklasifikasikan sebagai small,


moderate,large dan masif. Dikatakan efusi pleura dikatakan small jika cairan yang
mengisi rongga pleura kurang dari sepertiga hemitoraks. Efusi pleura moderate
ketika cairan yang mengisi rongga pleura melebihi sepertiga tetapi kurang dari
setengah hemitoraks. Sedangkan efusi pleura dikatakan large jika cairan yang
mengisi rongga pleura lebih dari setengah hemitoraks 14. Selain itu efusi pleura juga
dapat dinilai sebagai efusi pleura masif jika cairan sudah memenuhi satu hemitoraks
serta menyebabkan pergeseran mediastinum ke arah kontralateral, menekan
diafragma ipsilateral, dan kompresi paru, jika tidak ada lesi endobronkial yang
menyebabkan atelektasis.

2) CT scan thoraks
CT scan toraks lebih sensitif dibandingkan dengan foto toraks biasa
untuk mendeteksi efusi pleura karena dengan pemeriksaan CT scan dapat
mendeteksi efusi yang sangat minimal dengan volume kurang dari 10 mL
dan mungkin dari volume sekecil 2 mL cairan di ruang pleura.dan mudah
menilai luas, jumlah, dan lokasi dari efusi pleura yang terlokalisir. Pada
gambaran CT scan toraks, cairan yang mengalir bebas akan membentuk
seperti bulan sabit dapa daerah paling bawah, sedangkan penumpukan
cairan yang terlokalisir akan tetap berbentuk lenticular dan relatif tetap
berada dalam ruang tersebut. Selain itu, CT scan toraks dapat digunakan
untuk menilai penebalan pleura, ketidakteraturan, dan massa yang
mengarah keganasan dan penyakit – penyakit lain yang menyebabkan efusi
pleura eksudatif. Dengan menggunakan zat kontras intra vena, CT scan
toraks dapat membedakan penyakit parenkim paru, seperti abses paru.
Emboli paru juga dapat terdeteksi dengan menggunakan zat kontras intra
vena.

Gambar 8 - Efusi pleura bebas pada CT (bentuk bulan sabit)

Menurut penelitian Christofer Ms, Sensitivitas densitas efusi 8,5 HU


setinggi 91.7% dan spesifisitas 91.7% pada kasus malignitas efusi pleura
yang dinilai dengan akurasi 91.7% dan penebalan pleura parietal dinilai
dengan sensitivitas 75%, spesifisitas 83.3%, dengan akurasi 79.2% 15.

3) Ultrasonography (USG)
USG toraks merupakan prosedur yang mudah dilakukan dan
merupakan tindakan yang tidak invasif dan dapat dilakukan di tempat tidur
pasien. USG toraks lebih unggul daripada foto toraks dalam mendiagnosis
efusi pleura dan dapat mendeteksi efusi pleura sekecil 5ml. Meskipun
beberapa hal yang detail hanya bisa terlihat pada CT scan, USG dapat
mengidentifikasi efusi yang terlokalisir, membedakan cairan dari penebalan
pleura, dan dapat membedakan lesi paru antara yang padat dan cair. USG
juga dapat digunakan untuk membedakan penyebab efusi pleura apakah
berasal dari paru atau dari abdomen. Keuntungan dari penggunaan USG
toraks untuk menilai efusi pleura adalah, USG dapat dilakukan di tempat
tidur pasien yang sangat berguna untuk identifikasi cepat lokasi diafragma
dan tingkat interkostal untuk menentukan batas atas efusi pleura.

Gambar 9 – Aspek berbeda efusi pleura dengan USG

Menurut penelitian yang dilakukan di Sao Paulo yang


mengabungkan empat studi, ditemukan sensitivitas USG dalam diagnosis
efusi pleura rata-rata adalah 93% (95%, CI: 89% hingga 96%), dan
spesifisitas adalah 96% (95% CI: 95% hingga 98%) 16.
4) MRI
Dalam penelitian Baysal et al mempelajari potensi diffusion‐
weighted imaging (DWI) MRI untuk membedakan efusi pleura transudatif
dan eksudatif. Mereka menemukan bahwa nilai cutoff 3,38 × 10−3 mm2/s
memberikan sensitivitas 90,6% dan spesifisitas 85% berhubungan dengan
mendiagnosis efusi pleura. Modalitas ini telah dilaporkan lebih sensitif jika
dibanding CT scan dalam membedakan efusi yang disebabkan keganasan
dari efusi jinak.

Gambar 10 – Efusi pleura kanan 7mm, kiri 4mm pada pemeriksaan MRI
breast
5) Torakosentesis diagnostic
Torakosentesis yang dilanjutkan dengan analisis cairan pleura dapat
dengan cepat mempersempit diagnosis banding efusi pleura. Sebagian besar
cairan pleura berwarna kekuningan. Temuan ini tidak spesifik karena cairan
berwarna kekuningan terdapat pada berbagai kasus efusi pleura. Namun
tampilan warna lain efusi pleura dapat membantu untuk mendiagnosis
penyebab efusi pleura 21. Cairan yang mengandung darah dapat ditemukan
pada kasus pneumonia, keganasan, dan hemotoraks. Jika warna cairan
sangat keruh atau seperti susu maka sentrifugasi dapat dilakukan untuk
membedakan empiema dari kilotoraks atau pseudokilotoraks, dan
sebagainya. Setelah dilakukan torakosintesis, cairan harus langsung dikirim
untuk analisis biokimia, mikrobiologi dan pemeriksaan sitologi dimana
akan diperiksa jika ditemukan sel – sel keganasan dalam cairan pleura.
Gambar 11 – Thoracentesis
6) Biopsi pleura
Sebelum efusi pleura tegak didiagnosis dan jika dicurgai disebabkan
oleh keganasan atau nodul pada pleura akan tampak pada CT scan
dengan kontras, maka biopsy jarun dengan tuntutan pemeriksaan CT
merupakan salah satu cara yang tepat untuk menegakan penyebab
keganasan.

2.9 TATALAKSANA

Penatalaksanaan yang utama pada kasus efusi pleura adalah dengan


mengurangi gejala yang ditimbulkan oleh cairan pleura dengan mengevakuasi
cairan dari dalam rongga pleura kemudian mengatasi penyakit yang mendasarinya.
Pilihan terapinya bergantung pada jenis efusi pleura, stadium, dan penyakit yang
mendasarinya. Langkah pertama tetap dengan menentukan apakah cairan pleura
bersifat eksudat atau transudat.
I. Penatalaksanaan berdasarkan penyakit mendasari
Pada kasus efusi pleura disebabkan emboli pulomonal (Pulmonary
embolism PE) penatalaksaan tergantung pada penyakit tersebut. Dalam serangkaian
otopsi dari 290 pasien dengan CHF dan efusi pleura, 60 (21%) memiliki emboli
pulmonal. Ketika efusi paraembolik sangat dicurigai, pasien harus dimulai pada
pengobatan heparin dan tes diagnostik untuk emboli pulmonal harus dilakukan
sebelum sebuah thoracentesis dicoba 8,19.
Pada pasien dengan efusi pleura yang tidak terdiagnosis untuk pasien yang telah
diperiksa, CTPA menggunakan tes yang dipilih karena pemeriksaan tersebut
memberikan informasi tentang parenkyme paru, mediastinum, dan permukaan
pleura, yang dapat memberikan petunjuk etiologi efusi pleura. Alasan lain untuk
mendapatkan CTPA daripada scan perfusi pada pasien dengan efusi pleura yang
dicurigai memiliki emboli paru adalah bahwa kehadiran efusi membuat pemindaian
paru lebih sulit untuk menginterpretasi.
Jika penyebab efusi pleura terjadi akibat tuberkulosis, maka
prinsip pengobatan seperti pengobatan tuberkulosis. Pengobatan dengan obat anti
tuberculosis (rifampisin, isoniazid, pirazinamid, etambutol dan
streptomisin) memakan waktu 6-12 bulan. Dosis dan cara pemberian obat seperti
pada pengobatan tuberculosis paru. Pengobatan ini menyebabkan cairan efusi dap
at diserap kembali, tapi untuk menghilangkan eksudat ini dengan cepat
dapat dilakukan torakosentesis 17.
Efusi pleura minimal yang disebabkan oleh proses malignansi terkadang
akan teratasi dengan sendirinya setelah dilakukan tindakan kemoterapi, namun
tindakan pleurodesis harus tetap dilakukan setelah cairan berhasil dievakuasi pada
kasus di mana efusi pleura berulang atau ketika jumlah cairan dalam rongga pleura
tergolong moderat 8,17.
Gambar 12 – Diagnosis dan tatalaksana

II. Torakosentesis
Torakosentesis merupakan pilihan pertama dan merupakan tindakan
yang sederhana untuk kasus efusi pleura, bukan hanya untuk diagnosis tapi
juga untuk mengurangi gejala yang ditimbulkan akibat efusi pleura
tersebut. Tetapi bagaimanapun juga, torakosintesis yang berulang bukan
pilihan yang tepat untuk penanganan efusi pleura ganas yang progresif.
Torakosintesis hanya mengurangi gejala untuk sementara waktu dan akan
membutuhkan kunjungan yang berulang ke rumah sakit untuk
17,21
melakukannya . Indikasi torakosintesis pada kasus efusi pleura
meliputi indikasi diagnostik dan terapeutik.

III. Selang dada (Chest tube)


Pemasangan selang dada dapat dilakukan pada pasien dengan efusi pleura ataupun
pneumotoraks dengan ukuran moderat sampai large, pasien dengan riwayat aspirasi
cairan pleura berulang, efusi pleura yang berulang, pada pasien yang dilakukan
bedah toraks, pasien dengan pneumotoraks yang berhubungan dengan trauma,
hemotoraks, kilotoraks, empiema, atau pada keadaan lain misalnya untuk
pencegahan setelah tindakan pembedahan untuk evakuasi darah dan mencegah
tamponade jantung 14.

Indikasi pemasangan selang dada 22.

a) Pada keadaan darurat

 Pneumothoraks

o Pada semua pasien dengan ventilasi mekanik


o Pneumotoraks yang luas
o Keadaan klinis pasien yang tidak stabil
o Pada pneumotoraks ventil setelah dekompresi dengan jarum
o Pada pneumotoraks berulang atau tetap
o Pada pneumothoraks akibat trauma dada

 Hemopneumotoraks
 Ruptur esophagus dengan kebocoran lambung ke rongga pleura

b) Pada keadaan tidak darurat


o Efusi pleura ganas
o Pengobatan dengan agen sklerotik atau pleurodesis
o Efusi pleura berulang
o Efusi parapneumonik atau empiema
o Kilotoraks

Jenis selang dada yang dapat digunakan adalah sebagai berikut

1) Large-bore kateter : untuk drainase cairan maupun udara, penggunaan large-


bore kateter tetap merupakan tindakan yang optimal dan adekuat.
Bagaimanapun juga, pemasangan large-bore kateter baik dengan metode
blunt dissection maupun dengan trokar masih menunjukkan angka kematian
21
yang signifikan .Ukuran selang dada standar biasanya adalah 32-40 F.
Large-bore kateter sangat umum digunakan untuk berbagai kasus pleura
termasuk di bidang bedah untuk penanganan trauma, pasca operasi dan
empiema. Selain itu, large-bore kateter juga kurang rentan untuk terjadinya
blockage maupun kingking dan sangat cocok untuk kasus – kasus di atas.
Beberapa kekurangan large-bore kateter di antaranya adalah memerlukan
diseksi jaringan, rasa nyeri pada proses pemasangan, luka insisi yang lebih
besar, dan merupakan tindakan yang invasif. Beberapa komplikasi yang
ditimbulkan adalah cedera organ, malposisi, empiema, dan Hambatan 18.
2) Small-bore kateter : disebut juga dengan pigtail kateter. Pigtail kateter
adalah sebuah selang dada ukuran kecil yang digunakan untuk mengalirkan
23
cairan maupun udara dari rongga pleura . Ada banyak jenis small-bore
kateter yang tersedia yaitu mulai dari ukuran 8 F sampai 28 F, tetapi yang
paling sering digunakan adalah ukuran antara 8 F sampai 16 F. Pada kasus
efusi pleura yang lebih kental seperti pada complicated parapneumonic
effusion, empiema dan hemotoraks, sumbatan di selang dada biasanya
terjadi pada kateter dengan ukuran kecil, maka seringkali menggunakan
kateter mulai dari ukuran 16 F atau lebih. Karena small-bore kateter
mempunyai ukuran kecil maka selang berfungsi sebagai mekanisme
pengunci internal dan mencegah terjadinya bocoran atau tercabutnya selang
secara tidak sengaja 24.

3.0 KOMPLIKASI

Komplikasi pemasangan selang dada terdiri dari komplikasi yang terjadi


pada saat prosedur pemasangan dan komplikasi yang timbul setelah selesai
prosedur pemasangan 25.

a. Komplikasi pada saat pemasangan selang dada


1. Malposisi
2. Nyeri
3. Cedera organ
4. Perdarahan

b. Komplikasi yang timbul setelah pemasangan selang dada


1. Fistel dan Emfisema Jaringan
2. Re-expansion Pulmonary Oedema
3. Infeksi pada luka tempat pemasangan dan empiema
4. Pneumotoraks
5. Sumbatan biasanya oleh karena fibrin-fibrin dari proses pembekuan darah.
6. Selang dada tercabut tidak sengja.
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien

Nama : Ibu S
Tanggal lahir : 14-07-1973
Usia : 44 tahun
Jenis Kelamin : Wanita
Nomor MR : 00-80-11-68
Tanggal masuk : 06-06-2018
Tanggal pemeriksaan : 07-06-2018
Pendidikan terakhir : SMA

ANAMNESIS
Keluhan utama
Pasien datang dengan keluhan batuk sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat penyakit sekarang


Pasien datang ke rumah sakit umum siloam dengan keluhan batuk yang
mulai sekitar seminggu sebelum masuk rumah sakit namun sejak 3 hari yang lalu
keluhan batuk memberat. Selain batuk pasien mengaku bahwa 3 hari yang lalu
muncul keluhan sesak nafas dengan keluhan batuk tersebut. Menurut pasien sejak
keluhan sesak mulai hingga hari ini keluhan tersebut makin berat sehingga
menggangu kerja sehari-hari.
Sebelumnya pasien pernah mengalami Ca ovarium dan pasien mengaku
bahwa pada bulan maret 2018 pasien pernah melakukan pemeriksaan CT scan
abdomen sebagai follow-up. Pada pemeriksaan CT scan tersebut ditemukan
penebalan pleura ringan pada basal paru kiri.
Riwayat penyakit dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan batuk dan sesak nafas sebelumnya. Namun
pasien memiliki riwayat Ca ovarium dan sudah mengalami operasi HTSOB yaitu,
histerektomi dan Salpingo-ovorektomi.

Riwayat Kebiasaan
Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok, dan minum alkohol.

Riwayat Pengobatan
Pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan tertentu.

II. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum
Kesan sakit : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4M6V5
Tinggi Badan : 155 cm
Berat Badan : 62 kg

Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 82 x/menit, reguler, equal, isi cukup
Suhu : 37,9°C
Frekuensi nafas : 22 x/menit
Saturasi Oksigen : 99%

Pemeriksaan Khusus
Kepala
 Tengkorak : normosefali
 Muka : normofasial
 Mata
 Palpebra : edema palpebra sinistra (-)
 Kornea : jernih
 Pupil : isokor 2mm, RCL (+/+), RCTL (+/+)
 Sklera : ikterik (-)
 Konjungtiva : anemis (-)
 Telinga : otorrhea (-), serumen (+)
 Hidung : rhinorrhea (-), sekret (-), deviasi (-), cuping
hidung (-)
 Bibir : sianosis (-), mukosa lembab
 Gigi dan gusi : gingivitis (-)
 Lidah : coated tongue (-), mukosa merah, simetris
 Rongga mulut : oral hygiene baik, bersih
 Rongga leher
 Faring : hiperemis (-)
 Tonsil : hiperemis (-), pembesaran (-)
 Kelenjar parotis : pembesaran (-)
Leher
 Inspeksi
 Kelenjar tiroid : skar (-), pembesaran (-), nodul (-)
 Jugular venous pressure : 5±2 mmHg

 Palpasi
 Kaku kuduk : (-)
 Kelenjar tiroid : pembesaran (-), massa (-)
 Kelenjar getah bening : massa (-)

Paru
 Inspeksi : pengembangan paru simetris pada saat statis dan
dinamis, scar
(-), spider naevy (-)
 Palpasi : chest expansion asimetris, taktil vokal fremitus +/+
 Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru
 Auskultasi : suara nafas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung
 Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi : ictus cordis teraba pada ICS 5 midclavicula
sinistra, heave (-), thrill (-)
 Perkusi : tidak dilakukan
 Auskultasi : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
 Inspeksi : bentuk datar, supel, striae (-), caput medusa (-)
 Auskultasi : bising usus (+) normal, metallic sound (-), bruit
aorta (-)
 Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen
 Palpasi : nyeri tekan ringan (-), massa (-) tidak teraba,
splenomegaly
(-), hepatomegaly (-)
Ekstremitas atas
 Look : tidak tampak deformitas , skar (-), edema (-),
muscle wasting
(-), baggy pants (-)
 Feel : nyeri tekan (-), akral hangat, CRT < 2 detik
 Move : range of movement dalam batas normal
Ekstremitas bawah
 Look : tidak tampak deformitas , skar (-), edema (-),
muscle wasting
(-), baggy pants (-)
 Feel : nyeri tekan (-), akral hangat, CRT < 2 detik
 Move : tidak dilakukan

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1) Pemeriksaan lab (07-06-2018)


TEST Results Unit Reference Range
HEMATOLOGY
Haemoglobin 6.80 g/dL 11.20 15.50
Haematocrit 20.00 % 35.00 47.00
Erythrocyte 2.47 10^6/μL 3.80 5.20
(RBC)

White blood 3.52 10^3/μL 3.60 11.00


cell (WBC)
Differential count
Basophil 0 % 0 1
Eosinophil 1 % 1 3
Band 3 % 2 6
Neutrophil
Segmented 66 % 50 70
Neutrophil
Lymphocyte 23 % 25 40
Monocyte 7 % 2 8
Platelet 262.00 10^3/μL 150.00 440.00
count
ESR 10 mm/hours 0 20
MCV, MCH, MCHC
MCV 81.00 fL 80.00 100.00
MCH 27.50 pg 26.00 34.00
MCHC 34.00 g/dL 32.00 36.00
Biochemistry
SGOT 17 U/L 0 32
SGPT 20 U/L 0 33
Ureum 16.0 mg/dL <50.00
Creatinine 0.60 mg/dL 0.5 1.1
eGFR 110.9 mL/mnt/1.73m2
Blood 104.0 mg/dL <200.0
random
glucose
Electrolyte
Sodium (Na) 139 mmol/L 137 145
Potassium 3.9 mmol/L 3.6 5.0
(K)
Chloride (Cl) 99 mmol/L 98 107

2) CT SCAN abdomen dan pelvis dengan IV contrast


Telah dilakukan CT scan abdomen pelvis tanpa dan dengan kontras IV potongan
axial dari puncak diafragma sampai simfisis pubis pada tanggal 19-03-2018
Hasil
Hepar : Densitas hepar menurun
Lien : Tampak nodul hipodens (HU:44) batas tegas pada
lien diameter +/- 1,35cm
Appendix : tervisualisasi diameter +/- 0,8cm
KGB : Lymphadenopathy multiple pada region abdomen
tengah bawah diameter +/- 0,77-1,21cm
Uterus & ovarium : tidak tervisualisasi (post Op HTSOB)
Paru yang tervisualisasi : Penebalan pleura ringan basal paru kiri
Kesan
- Lymphadenopathy multiple pada region abdomen tengah bawah diameter +/-
0,77-1,21cm
- Nodul hipodens (HU:44) batas tegas pada lien diameter +/- 1,35cm
- Suspek Appendicitis chronic
- Penebalan pleura ringan basal paru kiri

3) Pemeriksaan X-ray foto toraks


Hasil

 Paru : Perselubungan pada seluruh lapangan paru


kiri menutupi sinus kostofrenikus dan
diafragma serta batas jantung kiri
 Mediastinum : Terdorong ke sisi kanan
 Trakea dan bronkus : Terdorong ke sisi kanan
 Hilus : Kanan normal
 Jantung : CTR tidak dapat dinilai
 Aorta : Sulit dinilai
 Sela iga : Melebar
 Jaringan lunak : Normal
 Abdomen yang tervisualisasi : Normal
 Leher yang tervisualisasi : Normal

Kesan
Efusi pleura kiri massif

Follow-up
Pada tanggal 08-06-2018
Terpasang WSD pigtail dengan ujung distal setinggi corpus vertebra Th9-10 kiri

RESUME
Pasien wanita umur 44 tahun datang ke rumah sakit umum siloam pada tanggal 06-
06-2018 dengan keluhan batuk sejak 3 hari. Menurut pasien batuk tidak berdahak
namun sekitar seminggu sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami keluhan
sesak nafas. Keluhan sesak nafas makin berat dan menggangu kerja sehari-hari.
Selain keluhan batuk dan sesak nafas pasien tidak merasakan keluhan lain. Ibu S
memiliki riwayat Ca ovarium dan sudah dilakukan Op HTSOB. Sebagai follow up
post-op dilakukan pemeriksaan penunjang CT abdomen kontras dan ditemukan
lymphadenopathy multiple pada region abdomen tengah bawah, nodul hipodens
(HU:44) batas tegas pada lien, dan penebalan pleura ringan basal paru kiri. Dari
pemeriksaan penunjang darah rutin ditemukan anemia. Kemudian dari pemeriksaan
foto toraks ditemukan efusi pleura pada paru kiri.

Diagnosis kerja
Efusi pleura kiri masif et cause metastasis lymphatik

ANALISA KASUS

Pada kasus ini, pasien datang dengan keluhan batuk yang muncul sekitar
seminggu yang lalu namun sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit keluhan batuk
memberat. Menurut pasien batuk tidak berdahak, tidak ada keluhan lain seperti
berkeringat pada malam hari, penurunan berat bedan atau demam. Oleh karena
pasien tidak mengalami keluhan tersebut maka diagnosis TB paru dapat
disingkirkan untuk sementara. Namun pasien mengalami keluhan sesak nafas sejak
3 hari yang lalu. Jika mengobservasi gejala sesak yang dialami oleh pasien lebih
mengarahkan gambaran klinis dari efusi pleura, pneumothoraks atau pneumonia.
Sebelum pasien masuk rumah sakit pada tanggal 7/06/2018, pasien memliki
riwayat Ca ovarium. Pasien telah melakukan pengobatan dan operasi histerektomi
untuk mengangkat ovarium sekaligus uterus. Dari riwayat penyakit sebelumnya
dapat dicurigakan bahwa efusi pada pasien ini disebabkan oleh metastasis ke paru
dari Ca ovarium.
Dari pemeriksaan fisik tidak terdapat yang khas pada pasien ini selain
keluhan yang pasien mengaku sendiri. Pada pemeriksaan jantung pasien, suara
jantung S1 S2 normal dan tidak terdapat suara tambahan seperti gallop atau
murmur. Hal ini dan fakta bahwa pasien ini tidak memiliki keluhan seperti dyspnea
on exersion maka diagnosis gagal jantung dapat di singkirkan. Pada pemeriksaan
paru bunyi pernafasan vesikuler dan tidak terdengar suara rhonki atau wheezing
dapat singkirkan penyakit asma. Chest expansion asimetris namun tidak terdapat
taktil fremitus menurun pada seluruh lapangan paru maka dapat singkirkan
pneumothoraks. Pasien dia tidak memliki riwayat merokok atau minum alkohol.
Ditemukan kadar haemoglobin dan eritrosit rendah pada pemerikaan
hematologi. Dari ini dapat kesan bahwa pasien sedang mengalami anemia. Pasien
kurang yakin jika dia memiliki riwayat anemia sebelum ini.
Pasien datang dengan hasil CT scan telah dilakukan pada tanggal
19/03/2018. Ditemukan beberapa hal yang tidak normal pada pemeriksaan CT
yaitu; pada KGB regio abdomen tengah bawah terdapat lymphadenopathy multiple
dengan ukuran +/- 0,77cm sampai 1,21cm. Kemudian ditemukan nodul hipodens
dengan batas tegas pada lien. Dari hasil tersebut dapat dicurigakan jika terjadi
metastasis dari ca ovarium sebelumnya. Karena sudah dilakukan operasi HTSOB
maka pada CT scan uterus dan ovarium tidak tervisualisasi. Pada pleura paru
ditemukan penebalan ringan yang mengarahkan untuk curiga terjadinya efusi
pleura. Karena pemeriksaan ini dilakukan sekitar 3 bulan sebelum pasien masuk
rumah sakit pada bulan juni, maka, dapat kesan bahwa efusi yang sedang dialami
oleh pasien pada saat ini bersifat kronis.
Pada tanggal 7/06/2018 pasien menjalani foto throaks karena pasien datang
ke rumah sakit dengan keluhan batuk dan sesak nafas yang mencapai tingkat berat
sehingga menggangu kerja sehari-hari. Dari pemeriksaan X-ray foto thoraks
ditemukan perselubungan pada seluruh lapang paru kiri yang menutupi sinus
kostofrenikus dan diafragma serta batas jantung kiri. Trakea, bronkus serta
mediastinum tampak terdorong ke sisi kanan yang lebih sehat. Karena terdapat
cairan pada seluruh lapangan paru kiri maka CTR tidak dapat dinilai dan aorta tidak
tampak. Intercostal space tampak melebar, hal ini khas pada kasus efusi pleura.
Semua tanda-tanda yang ditemukan pada pemeriksaan xray thoraks, mengarahkan
diagnosis ke arah efusi pleura. Karena seluruh lapang paru kiri ditutupi oleh cairan
dan sudah terdapat trakea dan bronkus yang terdorong maka efusi pleura yang telah
dicurgai pada pasien ini mempunyai sifat masif. Maka dari observasi ini dapat
mengkatakan bahwa Ibu S mengalami efusi pleura kiri masif.
Menurut penelitian dari Taghizadieh A et al Sensitivitas chest radiograph
atau foto thoraks pada kasus efusi pleura adalah 66.7% (95% CI: 35.4-88.7) dan
spesifisitas terdapat 77.8% (95% CI: 51.9-92.6). Dengan nilai tersebut tampaknya
cukup dapat diandalkan diagnosis tetapi pemeriksaan radiologis ini bukan terbaik
untuk mendiagnosis efusi pleura.Sensitivitas chest x-ray pada kasus community
acquired pneumonia adalah 100.0% (95% CIL 85.4-100.0) namun spesifisitas 0.0
(95% CI: 0.0-94.5%).
Dari penelitian lain dapat hasil quantitatif bahwa pemeriksaan CT scan
mempunyai sensitivitas setinggi 91.7% dan spesifisitas 91.7% dengan akurasi
91.7% pada kasus efusi keganasan dan pada penebalan pleura parietal dinilai
dengan sensitivitas 75%, spesifisitas 83.3%, dengan akurasi 79.2%. Dari
pemeriksaan USG, terdapat sensitivitas 93% (95%, CI: 89% hingga 96%), dan
spesifisitas adalah 96% (95% CI: 95% hingga 98%) untuk mendiagnosa efusi
pleura. Pemeriksaan MRI memberikan sensitivitas 90,6% dan spesifisitas 85%
berhubungan dengan mendiagnosis efusi pleura.
Jika dibanding dengan pemeriksaan foto thoraks dengan CT scan, USG
dan MRI, maka pemeriksaan dengan nilai sensitivitas dan spesifisitas yang paling
tinggi adalah USG kemudian CT scan dan MRI, terakhir adalah Xray.
Namun pada pasien ini pemeriksaan yang dilakukan adalah xray oleh karena pasien
ini datang dengan keluhan yang masih belum terdiagnosa maka pemeriksaan
radiologis ini diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti
pneumonia dan TB paru sekaligus mengarahkan diagnosis ke arah Efusi pleura.
Dengan pemeriksaan tersebut, terapi yang segera dibutuhkan oleh pasien seperti
pemasangan pigtail catheter dapat dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai