Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Geopolitik merupakan sistem politik atau peraturan yang berwujud
kebijaksanaan dan strategi nasional berdasarkan dorongan dari aspirasi nasional
geografik yang memiliki dampak secara langsung ketika kebijakan tersebut
dilaksanakan atau tidak dilaksanakan. Geopolitik memiliki hubungan yang erat
dengan aspek geografi sosial dimana segala sesuatu dikaitkan dengan karakteristik
geografi suatu negara.
Sebagai salah satu contoh yaitu kedudukan manusia di Bumi sebagai khalifah
memiliki tiga hubungan yaitu manusia dengan tuhan, antar manusia dan manusia
dengan mahluk disekitarnya. Selain itu manusia melaksanakan tugas atau
kegiatannya dengan dua bidang, yakni bidang filosofis dan bidang universal.
Dengan keadaan negara Indonesia sebagai negara kepulauan, membuat Indonesia
memiliki kekuatan dan kelemahan. Kekuatannnya yaitu posisi geografis yang
strategi dan kekayaan SDA, sementara kelemahannya yaitu dengan
keanekaragaman masyarakat yang harus disatukan dan terbilang cukup sulit.
Dalam menyelenggarakan negara Indonesia untuk mencapai berbagai tujuan
negara, Indonesia harus memiliki prinsip-prinsip dasar sebagi pedoman agar tidak
mudah terombang-ambing dalam perjuangan mencapai cita-cita dan tujuan nasional
tersebut. Dalam wawasan nusantara terkandung konsepsi geopolitik Indonesia yaitu
unsur ruang yang kini berkembang tidak saja secar fisik geografis, melainkan dalam
pengertian secara keseluruhannya. (Sudardinata, 2015)
Wawasan nusantara merupakan cara pandang bangsa Indonesia tentang diri
dan lingkungannya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang sesuai dengan
geografis wilayah nusantara dalam mencapai tujuan negara. Wawasan nusantara
mengajarkan bagaimana pentingnya persatuan dan kesatuan dalam segala aspek
kehidupan bangsa dan negara dalam rangka mencapai cita-cita dan tujuannya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi wawasan nusantara diantaranya yaitu wilayah
atau geografi yang menyangkut asas kepulauan, kepulauan Indonesia, konsepsi

1
tentang wilayah lautan, karakteristik dan wilayah nusantara serta faktor geopolitik
dan geostrategi.
Istilah geopolitik pertamakali muncul dikemukakan oleh Frederich Ratzal
seorang ilmu bumi politil yang selanjutnya diperluas oleh Rudolf Kjellen seorang
sarjana ilmu politik Swedia. Menurutnya ilmu bumi politik mempelajari fenomena
geofrafi dan aspek politik, sementara geopolitik mempelajari fenomena politik dari
aspek geografi. Kemudian muncul berbagai pandangan menurut beberapa ahli yang
lainnya seperti Haushofer.
Pandangan geopolitik indonesia didasarkan pada nilai ketuhanan dan
kemanusiaan yang luhur dengan jelas dan tegas tertuang dalam pembukaan UUD
1945. Dalam hubungan internasional, bangsa Indonesia berpijak pada paham
kebangsaan yang membentuk suatu wawasan kebangsaan dan menolak faham
Chauvinisme.
Strategi politik yaitu upaya bagaimana mencapai tujuan atau sasaran yang
ditetapkan sesuai dengan keinginan politik. Karena strategi merupakan upaya
pelaksanaan, maka strategi merupakan seni yang implementasinya didasarkan pada
intuisi, perasaan dan hasil pengamalan. Sebagai contoh adalah pertimbangan
geostrategis untuk negara dan bangsa Indonesia dalam berbagai aspek lain (selain
geografis) seperti demografi, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam.
Geostrategi diartikan sebagai metode atau aturan-aturan untuk mencapai cita-
cita dan tujuan melalui proses pembangunan yang terarah. Bagi bangsa Indonesia
geostrategi diartikan sebagai metode untuk mewujudkan cita-cita proklamasi,
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, melalui proses
pembangunan nasional.
Salah satu kasus ialah “Masalah Perbatasan Indonesia dengan Timor Leste “Di
era modern ini banyak sekali negara yang melakukan hubungan dengan negara lain
untuk memenuhi kebutuhan negaranya. Hubungan yang dijalin tersebut terikat
dengan hukum internasional. Tentu kita mengetahuidengan adanya hukum
internasional sangat berdampak positif dalam menjaga ketertiban hubungan
internasional. Namun, belum tentu suatuhubungan hukum yang terjadi antara para
pihak tidak selalu berjalan lancar. Adakalanya timbul ketidak serasian yang

2
kemudian menimbulkan sengketa diantara kedua belah pihak. Wilayah merupakan
hal yang sering disangkut pautkan dengan kedaulatan. Saat wilayah suatu negara
dilanggar oleh negara lain, sama dengan mengganggu kedaulatan suatu negara.
Sama halnya dengan negara Indonesia dan Timor Leste, karena suatuwilayah
kedua negara tersebut bersengketa. Timor leste merupakan suatu negara yang
dulunya termasuk kedalam wilayah Indonesia. Setelah merdeka pada tanggal 20
Mei 2002, Timor Leste resmi memisahkan diri dan membentuk negara baru yaitu
Republic Rakyat Demokratik Timor Leste. Persoalan kemerdekaan Timor Leste
tentunya menjadi cabuk tersendiri bagi pemerintah Indonesia yang tidak mampu
menjaga wilayah kedaulatan dan malah memilih opsi untuk memerdekaan Timor
Leste.
Persoalan disintegrasi Timor Leste dari Indonesia tidak selesai sampai
disitusaja, masalah pelik yang sering muncul yakni masalah perbatasan. Ada
beberapa wilayah perbatasan antara Indonesia – Timor Leste yang masih belum
disepakati dan masih menjadi klaim antar dua negara tersebut. Oleh karena itu,
makalah ini disusun untuk mengupas lebih jauh lagi konflik antara Indonesia dan
Timor Leste atas perebutan wilayah perbatasan tersebut juga dan mengupas
penyebab dan berbagai cara yang ditempuh untuk menyelesaikan sengketa tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
A. Bagaimana sengketa perbatasan Indonesia - Timor Leste?
B. Apa penyebab sengketa antara Indonesia - Timor Leste?
C. Bagaimana cara penyelesaian sengketa antar Indonesia - Timor Leste?
1.3 Tujuan
A. Untuk mengetahui sengketa internasional Indonesia - Timor Leste
B. Untuk mengetahui penyebab sengketa antara Indonesia - Timor Leste
C. Untuk mengetahui cara penyelesaian sengketa antar Indonesia - Timor Leste

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sengketa antara Indonesia – Timor Leste
Timor Leste merupakan bagian dari wilayah Indonesia setelah pemerintah
Indonesia menginvasikan wilayah tersebut. Namun karena adanya berbagaimacam
gugatan dunia internasional mengenai keabsahan invasi ABRI(sekarang TNI)
terhadap Timor Leste dipertanyakan, pelanggaran HAM berat dan ringan menjadi
suatu polemik di masyarakat internasional menjelang akhir tahun 1990-an atau
tepatnya tahun-tahun menjelang 2000. Yang pada saat itu Indonesia juga
mengalami krisis politik dan ekonomi yang luar biasa pada tahun 1998 yang
terkenal dengan sebutan reformasi. Situasi tersebut dimanfaatkan oleh Jose Ramos
Horta untuk meminta dukungan internasional guna menekan pemerintah Indonesia.
Akhirnya pada tanggal 30 agustus 1999 pemerintah Indonesia dibawah presiden
Habibie mengadakan referendum untuk Timor Leste dan akhirnya Timor Leste
ingin memisahkan diri dari Indonesia.
Terbentuknya perbatasan Indonesia-Timor-Leste, tidak lepas dari sejarah
masuknya Belanda ke wilayah Timor yang kemudian membagi wilayah ini menjadi
dua bagian, yaitu Timor Portugis yang berpusat di Dili dan Timor Barat beribu kota
di Kupang. Pembagian ini sesungguhnya berlangsung sejak akhir abad ke-17 dan
ditetapkan dalam suatu Klausul Traktat tahun 1904. Dalam konteks perebutan
wilayah tersebut, tahun 1701 untuk pertama kalinya Portugis memproklamir Timor
Timur sebagai daerah kolonialnya dan pada saat yang hampir bersamaan pihak
Belanda pun mengklaim Timor Barat sebagai wilayahnya. Sejak tahun 1643, kapal-
kapal Belanda mendarat di pulau Timor untuk ikut dalam perdagangan kayu
cendana. Kedatangan Belanda ini, serta merta mengurangi dominasi Portugis dalam
perdagangan kayu cendana sehingga dalam waktu singkat perebutan dominasi
perdagangan kayu cendana di antara kedua bangsa Eropa ini pun tidak dapat
dihindari. Sehingga pada tahun 1755, ketika keduanya menandatangani “Contrac of
Paravinci” yang membagi pulau Timor menjadi dua bagian, yaitu bagian Barat
(yang berpusat di Kupang) menjadi milik Belanda dan bagian Timur (yang berpusat
di Dili) menjadi milik Portugis. Walaupun keduanya telah menandatangani kontrak,

4
tetapi penetapan tapal batas tidak pernah dinegosiasikan secara jelas. Kontrak
Paravinci hanya menyebutkan bahwa Timor menjadi dua bagian, tanpa
menyebutkan detail tapal batas yang ada. Perjanjian tapal batas baru ditandatangani
dalam bentuk Treaty di Den Haag, tahun 1859.
Kemerdekaan Timor Leste membuktikan bahwa pemerintah Indonesia tidak
dapat menjaga wilayah kedaulatannya. Kemerdekaan yang diberikan itu juga tidak
menyelesaikan masalah-masalah yang di hadapi Indonesia malah timbul persoalan-
persoalan baru. Masalah perbatasan menjadi hal yang lumrah untuk diperdebatkan
mengingat kedua negara tersebut hanya berbatasan dengan tapal batas.
Hingga sekarang pemerintah Indonesia dan Timor Leste masih mempersoalkan
masalah perbatasan antara keduanegara di atas lahan seluas 1.211,7 hektare yang
terdapat di dua titik batas yang belum terselesaikan. Dua titik batas yang masih
dipersoalkan antara kedua negara yakni wilayah di Desa Oepoli, Kabupaten
Kupang, yang berbatasan dengan distrik Oecusse, Timor Leste, dengan luas 1.069
hektare dan Batas lainnya yang masih bermasalah terletak di Bijai Suna, DesaOben,
Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), yang juga berbatasan dengan distrik
Oecusse, Timor Leste, seluas 142,7 ha.
Wilayah perbatasan ini sering menimbulkan konflik antara warga perbatasan
yang banyak memakan korban jiwa, memang pada tahun 2005 pemerintah
Indonesia dan Timor Leste bertemu di Bali untuk membahas masalah tapal batas
kedua negara. Namun seiring berkembang isu politik dan ekonomi antar kedua
negara, wilayah perbatasan tersebut masih menyisakan persoalan.
Pemerintah Indonesia akhirnya mengambil keputusan untuk memberikan
referendum atas nasib timor leste, dan akhirnya dari hasil referendum tersebut
rakyat timor-timur berkendak untuk memisahkan diri dari Indonesia. Timor-leste
dulunya adalah wilayah jajahan dari portugis, namun pada tahun sekitar 1975an
Indonesia menginvasi timor leste dan akhirnya menjadi wilayah negara Indonesia.
Berbagai macam gugatan dunia internasional mengenai keabsahan invasi ABRI
(TNI Kalo sekarang) terhadap timor leste dipertanyakan, pelanggaran HAM berat
dan ringan menjadi suatu polemic di masyarakat internasional menjelang akhir
tahun 1990-an atau tepatnya tahun-tahun menjelang 2000. Yang pada saat itu

5
Indonesia juga mengalami krisis politik dan ekonomi yang luar biasa pada tahun
1998 yang terkenal dengan sebutan reformasi.
Situasi tersebut dimanfaatkan oleh Jose Ramos Horta untuk meminta dukungan
internasional guna menekan pemerintah Indonesia. Akhirnya pada tanggal 30
agustus 1999 pemerintah Indonesia dibawah presiden Habibie mengadakan
referendum untuk timor leste dan akhirnya timor leste ingin memisahkan diri
Indonesia. Namun timor-timur resmi merdeka dari Indonesia 20 mei 2002 dan
berganti nama menjadi Republic Rakyat Demokratik Timor Leste setelah
bergabung menjadi anggota PBB.
Persoalan kemerdekaan Timor leste tentunya menjadi cabuk tersendiri bagi
pemerintah Indonesia yang tidak mampu menjaga wilayah kedaulatan dan malah
memilih opsi untuk memerdekaan timor leste. Persoalan disintegrasi Timor Leste
dari Indonesia tidak selesai sampai disitu saja, masalah pelik yang sering muncul
yakni masalah perbatasan. Ada beberapa wilayah perbatasan antara Indonesia –
timor leste yang masih belum disepakati dan masih menjadi klaim antar dua negara
tersebut. Pemerintah Indonesia dan Timor Leste masih mempersoalkan masalah
perbatasan antara kedua negara di atas lahan seluas 1.211,7 hektare yang terdapat di
dua titik batas yang belum terselesaikan. Dua titik batas yang masih dipersoalkan
antara kedua negara yakni wilayah di Desa Oepoli, Kabupaten Kupang, yang
berbatasan dengan distrik Oecusse, Timor Leste, dengan luas 1.069 hektare dan
Batas lainnya yang masih bermasalah terletak di Bijai Suna, Desa Oben, Kabupaten
Timor Tengah Utara (TTU), yang juga berbatasan dengan distrik Oecusse, Timor
Leste, seluas 142,7 ha.
Namun seiring berkembang isu politik dan ekonomi antar kedua negara,
wilayah perbatasan tersebut masih menyisakan persoalan. Pada Oktober 2013,
Pemerintah Republik Demokratik Timor Leste membangun jalan di dekat
perbatasan Indonesia-Timor Leste, di mana menurut warga Timor Tengah Utara,
jalan tersebut telah melintasi wilayah NKRI sepanjang 500 m dan juga
menggunakan zona bebas sejauh 50 m. Padahal berdasarkan nota kesepahaman
kedua negara pada tahun 2005, zona bebas ini tidak boleh dikuasai secara sepihak,
baik oleh Indonesia maupun Timor Leste. Selain itu, pembangunan jalan oleh

6
Timor Leste tersebut merusak tiang-tiang pilar perbatasan, merusak pintu gudang
genset pos penjagaan perbatasan milik Indonesia, serta merusak sembilan kuburan
orang-orang tua warga Nelu, Kecamatan Naibenu, Kabupaten Timor Tengah
Utara. Pembangunan jalan baru tersebut kemudian memicu terjadinya konflik
antara warga Nelu, Indonesia dengan warga Leolbatan, Timor Leste pada Senin, 14
Oktober 2013.
Eskalasi konflik semakin meningkat setelah terjadi insiden penggiringan 19
ekor sapi milik warga Indonesia yang diduga digiring oleh warga Timor Leste
masuk ke wilayah mereka. Selanjutnya, 10 warga Indonesia didampingi enam
anggota TNI Satgas-Pamtas masuk ke wilayah Timor Leste untuk mencari 19 ekor
sapi tersebut. Sementara itu, ratusan warga lainnya dari empat desa di Kecamatan
Naibenu berjaga-jaga di perbatasan dan siap perang melawan warga Leolbatan,
Desa Kosta, Kecamatan Kota, Distrik Oekussi, Timor Leste. Berita terakhir yang
terkumpul dari media massa, warga masih berjaga-jaga di perbatasan. Sengketa
perbatasan tersebut harus mendapat tindakan dengan melakukan komunikasi politik
berupa pertemuan maupun negosiasi ulang, sehingga konflik tersebut tidak
berkembang dan malah menjadi konflik yang besar dan terbuka.
Konflik tersebut bukan pertama kali terjadi di perbatasan Indonesia-Timor
Leste. Satu tahun sebelumnya, konflik juga terjadi di perbatasan Timur Tengah
Utara-Oecussi. Pada 31 Juli 2012, warga desa Haumeni Ana, Kecamatan Bikomi
Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT, terlibat bentrok dengan warga
Pasabbe, Distrik Oecussi, Timor Leste. Bentrokan ini dipicu oleh pembangunan
Kantor Pelayanan Bea Cukai, Imigrasi, dan Karantina (CIQ) Timor Leste di zona
netral yang masih disengketakan, bahkan dituduh telah melewati batas dan masuk
ke wilayah Indonesia sejauh 20 m. Tanaman dan pepohonan di tanah tersebut
dibabat habis oleh pihak Timor Leste. Setelah terlibat aksi saling ejek, warga dari
kedua negara kemudian saling lempar batu dan benda tajam sebelum akhirnya
dilerai oleh aparat TNI perbatasan dan tentara Timor Leste. Menurut Kepala Desa
Haumeni Ana, Petrus Asuat, Selasa (16/9/2014) mengatakan, enam titik yang
berpotensi konflik itu yakni Subina di Desa Inbate, Pistana di Desa Nainaban dan

7
Desa Sunkaen, Tububanat di Desa Nilulat, Oben di Desa Tubu, Nefonunpo dan
Faotben di Desa Haumeni Ana.
Walaupun jika kita melihat konflik perbatasan memang kejadian yang muncul
agaknya lebih bersifat komunal antar warga Pasabbe, Distrik Oecussi, Timor Leste
dan desa Haumeni Ana, Kecamatan Bikomi Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara,
NTT. Namun dua warga desa yang berbeda negara ini menyebabkan isu konflik
maupun eskalasinya menjadi urusan dua negara yakni Indonesia dan Timor Leste.
2.2 Penyebab sengketa antara Indonesia - Timor Leste
1. Pembangunan jalan di dekat perbatasan Pada Oktober 2013, Pemerintah
Republik Demokratik Timor Leste membangun jalan di dekat perbatasan
Indonesia-Timor Leste, di mana menurut warga Timor Tengah Utara, jalan
tersebut telah melintasi wilayah NKRI sepanjang 500 m dan juga menggunakan
zona bebas sejauh 50 m.Padahal berdasarkan nota kesepakataan kedua negara
pada tahun 2005, zona bebas ini tidak boleh dikuasai secara sepihak, baik oleh
Indonesia maupun Timor Leste. Selain itu, pembangunan jalan oleh Timor Leste
tersebut merusak tiang-tiang pilar perbatasan, merusak pintu gudang genset pos
penjagaan perbatasan milik Indonesia, serta merusak sembilan kuburan orang-
orang tua warga Nelu, Kecamatan Naibenu, Kabupaten Timor Tengah Utara.
Pembangunan jalan baru tersebut kemudian memicu terjadinya konflik antara
warga Nelu, Indonesia dengan warga Leolbatan, Timor Leste pada Senin, 14
Oktober 2013.
2. Insiden penggiringan 19 ekor sapi, Eskalasi konflik semakin meningkat setelah
terjadi insiden penggiringan 19ekor sapi milik warga Indonesia yang diduga
digiring oleh warga Timor Lestemasuk ke wilayah mereka. Selanjutnya, 10
warga Indonesia di dampingi enam anggota TNI Satgas-Pamtas masuk ke
wilayah Timor Leste untuk mencari 19 ekor sapi tersebut. Sementara itu, ratusan
warga lainnya dari empat desa di Kecamatan Naibenu berjaga-jaga di perbatasan
dan siap perang melawan warga Leolbatan, Desa Kosta, Kecamatan
Kota, DistrikOekussi, Timor Leste.
3. Pembangunan di wilayah zona netral/telah melebihi batas wiayah. Konflik
tersebut bukan pertama kali terjadi di perbatasan Indonesia-TimorLeste. Satu

8
tahun sebelumnya, konflik juga terjadi di perbatasan Timur Tengah Utara-
Oecussi. Pada 31 Juli 2012, warga desa Haumeni Ana,Kecamatan Bikomi Utara,
Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT, terlibat bentrok dengan warga Pasabbe,
Distrik Oecussi, Timor Leste. Bentrokan ini dipicu oleh pembangunan Kantor
Pelayanan Bea Cukai, Imigrasi, danKarantina (CIQ) Timor Leste di zona netral
yang masih disengketakan, bahkan dituduh telah melewati batas dan masuk ke
wilayah Indonesia sejauh 20 m. Tanaman dan pepohonan di tanah tersebut
dibabat habis oleh pihak Timor Leste. Setelah terlibat aksi saling ejek, warga
dari kedua negara kemudian saling lempar batu dan benda tajam sebelum
akhirnya dilera ioleh aparat TNI perbatasan dan tentara Timor Leste. Menurut
Kepala Desa Haumeni Ana, Petrus Asuat, Selasa (16/9/2014) mengatakan, enam
titik yang berpotensi konflik itu yakni Subina di Desa Inbate, Pistana di Desa
Nainaban dan Desa Sunkaen, Tububanat di Desa Nilulat, Oben di Desa Tubu,
Nefonunpo dan Faotben di Desa Haumeni Ana.
4. Membuka lahan pertanian di zona netral puluhan warga distrik Oecusi Timor
Leste dilaporkan membuka lahan pertanian di zona netral Sunkaen (Pistana)
yang merupakan satu dari empat titik sengketa antara Indonesia dan Timor Leste
yang berada di sepanjang perbatasan Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa
Tenggara Timur. Luas lahan yang di garap itu diperkirakan mencapai 3000
meterpersegi. Pembukaan lahan tersebut tentu saja merupakan sebuah
pelanggaran. Kedua negara sudah sepakat untuk menjadikan ke-empat lokasi
sengketa sebagai daerah netral. Kedua negara tidak boleh melakukan aktifitas
apapun di daerah itu. Warga Oecusi secara sepihak telah mengklaim lokasi
Sungkaen sebagai wilayah Timor Leste. Empat titik sengketa di wilayah itu
meliputi Manusasi, Haumeni Ana, Inbate, dan Sungkaen. Pemerintah kedua
negara sudah berulang kali melakukan survei dan pemetaan dilokasi
yangmenjadi sengketa. Apalagi tim negosiasi kedua negara memiliki bukti
historis dan sejarah yang berbeda mengenai kepemilikan lahan yang
disengketakan.
2.3 Cara penyelesaian sengketa antar Indonesia - Timor Leste

9
Persoalan kemapanan secara ekonomi maupun yang disebut sebagai
kesejahterahan adalah entry point yang harus segara mendapat tindakan dari
kedua negara. Intervensi militer memang dibutuhkan dalam ranah pendekatan
keamanan secara tradisional namun pendekatan human security harus lebih
diutamakan, karena ini menyangkut persoalan hak warga negara dan menyangkut
nama baik negara serta keamanan negara tentunya. Penyelesaian konflik perdana
Menteri Timor Leste, Xanana Gusmao, melakukan kunjungan resmi dan menemui
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk melakukan diskusi terkait sengketa
batas. Berdasarkan perjanjian perbatasan darat 2012, kedua negara telah
menyepakati 907 koordinat titik-titik batas darat atau sekitar 96% dari panjang
total garis batas. Garis batas darat tersebutada di sektor Timur (Kabupaten Belu)
yang berbatasan langsung dengan Distrik Covalima dan Distrik Bobonaro
sepanjang 149,1 km dan di sektor Barat (Kabupaten Kupang dan Kabupaten
Timor Tengah Utara) yang berbatasan langsung dengan wilayah enclave Oecussi
sepanjang 119,7 km.
Dalam upaya diplomasi untuk menyelesaikan sisa segmen yang belum
disepakati, hambatan yang perlu diantisipasi adalah perbedaan pola pendekatan
penyelesaian yang digunakan oleh masing-masing pihak. Pihak Timor Leste
dengan dipandu oleh ahli perbatasan UNTEA menekankan bahwa penyelesaian
perbatasan hanya mengacu kepada traktat antara Belanda-Portugis Tahun 1904
dan sama sekali tidak berkenan memperhatikan dinamika adat-istiadat yang
berkembang di wilayah tersebut. Sementara itu, pihak Indonesia mengusulkan
agar pendapat masyarakat adat ikut dipertimbangkan.
Pada tahun 2016 ini sedang berlangsung joint field survey (survei lapangan
bersama) yang dilakukan otoritas Indonesia dengan Timor Leste. Hal tersebut
dilakukan, terkait perundingan mengenai batas wilayah darat. Kemlu RI secara
konsisten sudah menyampaikan keberatan atas pembangunan secara
permanen oleh pihak Timor Leste. Perwakilan Kemlu RI juga telah melakukan
pemeriksaan lebih lanjut mengenai rincian letak wilayah perbatasan antara
Indonesia dan Timor Leste. Tak hanya Kemlu, Menko Polhukam Luhut Binsar
Pandjaitan juga bernjanji untuk memeriksa informasi mengenai pendirian

10
bangunan permanen di wilayah sengketa ini. Adapun solusi damai dari sengketa
ini adalah :
1. Harus diakui penyelesaian sengketa tersebut tidak bisa dilakukan secara instan
terlebih dengan pendekatan kekerasan. Konflik hanya akan bisa diselesaikan
secara bertahap dengan dialog dan negosiasi, yang tidak saja melibatkan instansi
terkait, tetapi juga melibatkan warga masyarakat yang tinggal di perbatasan
kedua negara. Dalam kaitan ini, persoalan demarkasi hendaknya harus
memperhatikan kekhususan wilayah perbatasan dimana warga yang tinggal
saling menyebelah memiliki hubungan kekeluargaan yang erat.
2. Penyelesaian secara adat sebaiknya dibawa secara berjenjang pada tingkat yang
lebih tinggi, yaitu pada tingkatan pemerintah daerah dan kemudian tingkat
nasional melalui suatu perjanjian antara pemerintah Indonesia dan Timor Leste.
3. Sementara belum dicapai kesepakatan antara kedua negara, wilayah sengketa
tersebut hendaknya dijadikan sebagai free zone, yaitu suatu area yang tidak
diperkenankan adanya suatu aktivitas. Diharapkan dengan status tersebut tidak
menjadi sengketa masyarakat di perbatasan, dengan demikian persoalan dapat
diminimalisir.
4. Hanya dengan cara bottom up, dengan memperhatikan kearifan lokal di atas,
berbagai persoalan di perbatasan Indonesia-Timor Leste dapat diselesaikan
secara damai dan diterima oleh kedua warga perbatasan. Untuk mencapai hal
tersebut tentu dibutuhkan proses dialog panjang yang menguji kesabaran dan
memakan waktu lama. Namun tentu ini bukan suatu hal sia-sia yang seharusnya
patut ditempuh. (Ganewati Wuryandari)

11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Timor Leste merupakan bagian dari wilayah Indonesia setelah pemerintah
Indonesia menginvasikan wilayah tersebut. Namun karena adanya berbagai
macam gugatan dunia internasional mengenai keabsahan invasi
ABRI(sekarang TNI) terhadap Timor Leste dipertanyakan, pelanggaran HAM
berat dan ringan menjadi suatu polemic di masyarakat internasional menjelang
akhir tahun 1990-an atau tepatnya tahun-tahun menjelang 2000. Yang pada
saat itu Indonesia juga mengalami krisis politik dan ekonomi yang luar biasa
pada tahun 1998 yang terkenal dengan sebutan reformasi. Situasi tersebut
dimanfaatkan oleh Jose Ramos Horta untuk meminta dukungan internasional
guna menekan pemerintah Indonesia. Akhirnya pada tanggal 30 agustus 1999
pemerintah Indonesia dibawah presiden Habibie mengadakan referendum
untuk Timor Leste dan akhirnya Timor Leste ingin memisahkan diri dari
Indonesia.
2. Sengketa perbatasan yang terjadi antara Indonesia dan timor leste memang
lebih disebabkan perebutan lahan petanian (sumber daya alam) antara kedua
warga negara yakni warga desa Haumeni Ana, Kecamatan Bikomi Nilulat,
Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur dan warga Pasabbe,
Distrik Oecussi, Timor Leste. Permasalahan mengenai penetepan sengketa
batas wilayah antar kedua negara juga menjadi pemicu, namun pendekatan
pembangunan ekonomi berupa kesejahterhaan dan tingkat pendidikan juga
berpengaruh dalam konflik tersebut.
3. Pada tahun 2016 ini sedang berlangsung joint field survey (survei
lapanganbersama) yang dilakukan otoritas Indonesia dengan Timor Leste.
Haltersebut dilakukan, terkait perundingan mengenai batas wilayah
darat.Kemlu RI secara konsisten sudah menyampaikan keberatan atas
pembangunan secara permanen oleh pihak Tinor Leste. Perwakilan KemluRI
juga telah melakukan pemeriksaan lebih lanjut mengenai rincian letak wilayah
perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste. Tak hanya Kemlu, Menko

12
Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan juga bernjanji untuk memeriksa informasi
mengenai pendirian bangunan permanen di wilayah sengketa ini.
3.2 Saran
Bagi para pembaca, penulis menyarankan jangan terlalu puas dengan makalah
ini dan jika pembaca ingin membuat makalah yang sama dengan judul makalah ini ,
penulis berharap agar menambah ide ide yang didapat oleh pembaca dari sumber
lain.

13
DAFTAR PUSTAKA
http://akhmadawaludin.web.ugm.ac.id/geopolitik-dan-geostrategi/ ( diakses pada
tanggal 26 September 2019)

https://www.kompasiana.com/www.burhanhernandez.com/5559e93ab67e610c7dd366af
/analisa-konflik-perbatasan-indonesia-timor-leste ( diakses pada tanggal 26 September
2019)

http://politik.lipi.go.id/in/kolom/politik-internasional/280-mencari-solusi-damai-
sengketa-perbatasan-di-timor.html ( diakses pada tangga 26 September 2019)

https://ugm.ac.id/id/berita/16602-penyelesaian-sengketa-perbatasan-darat-indonesia-
timor-leste-harus-kedepankan-jalan-dam ( diakses pada tanggal 26 September 2019)

14

Anda mungkin juga menyukai