Anda di halaman 1dari 35

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA PPOK

1. 1 .1 DEFINISI

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah kondisi penyakit yang dapat dicegah dan
diobati dengan karakteristik berupa keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel.
Keterbatasan aliran udara bersifat progresif dan berkaitan dengan reaksi peradangan paru
terhadap partikel atau gas berbahaya1 Pada PPOK, bronkitis kronik dan emfisema sering
ditemukan bersama, meskipun keduanya memiliki proses yang berbeda. Akan tetapi menurut
PDPI 2010, bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena bronkitis
kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan diagnosis patologi.
Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh pembentukan mukus
yang meningkat dan bermanifestasi sebagai batuk kronik. Emfisema merupakan suatu
perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai oleh pembesaran alveoulus dan duktus
alveolaris serta destruksi dinding alveolar.2
Pasien PPOK terkadang mengalami eksaserbasi akut. Hal ini berarti timbulnya
perburukan dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi
atau faktor lainnya seperti polusi udara, kelelahan, atau timbulnya komplikasi. Eksaserbasi dan
komorbid berkontribusi dalam keparahan pada pasien PPOK.1,2

1.1.2 EPIDEMIOLOGI

WHO menunjukkan tahun 1990 PPOK menempati urutan ke-6 sebagai penyebab utama
kematian di dunia dan akan menempati urutan ke-3 setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker.
Diperkirakan jumlah pasien PPOK sedang hingga berat di Asia mencapai 56,6 juta dengan
prevalensi 6,3%. Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan emfisema
menduduki peringkat ke - 5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan
utama. SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronik
dan emfisema menduduki peringkat ke - 6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia.2
Riskesdas 2013 melaporkan sebanyak 3.5% populasi Bali mengalami PPOK dan 9.4% pada
Kabupaten Karangasem.3

Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut 2


• Kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70 %)

1
• Pertambahan penduduk.
•Meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada tahun 1960-an menjadi 63 tahun
pada tahun 1990-an.
• Industrialisasi.
• Polusi udara terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di pertambangan.

1.1.3 ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

Adapun faktor resiko terjadinya PPOK antara lain1,2:


1. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih
penting dari faktor penyebab lainnya.
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :
a. Riwayat merokok
- Perokok aktif
- Perokok pasif
- Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-
rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :
- Ringan : 0-200
- Sedang : 200-600
- Berat : >600
2. Riwayat terpajan polusi udara di dalam dan diluar ruangan
3. Hipereaktiviti bronkus/ Asma
4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
5. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia
6. Jenis kelamin
7. Usia
8. Status Sosioekonomi

1.1.4 PATOFISIOLOGI

Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel
goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis. Emfisema
ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding
alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis emfisema:4

2
- Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke perifer,
terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok lama,
- Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata dan
terbanyak pada paru bagian bawah,
- Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas distal, duktus
dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura.4
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan
struktural pada saluran napas kecil yaitu: inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan hipertropi
otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.4
Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK yang
diakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran nafas bagian proksimal, perifer,
parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya suatu inflamasi yang kronik dan
perubahan struktural pada paru. Terjadinya peningkatan penebalan pada saluran nafas kecil
dengan peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar saluran
nafas mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas kecil berkurang
akibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi, yang meningkat sesuai berat
sakit.2
Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan seimbang.
Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi kerusakan di paru. Radikal bebas
mempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai macam
penyakit paru.2
Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan menyebabkan
terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya akan menimbulkan kerusakan sel dan
inflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan sel makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut akan
menyebabkan dilepaskannya faktor kemotataktik neutrofil seperti interleukin 8 dan leukotrien
B4, tumuor necrosis factor (TNF),monocyte chemotactic peptide (MCP)-1 dan reactive oxygen
species (ROS). Faktor-faktor tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan protease yang
akan merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding alveolar dan
hipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan menyebabkan dilepaskannya limfosit CD 8,
selanjutnya terjadi kerusakan seperti proses inflamasi. Pada keadaan normal terdapat
keseimbangan antara oksidan dan antioksidan.2
Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat menginduksi batuk kronis
sehingga percabangan bronkus lebih mudah terinfeksi. Penurunan fungsi paru terjadi sekunder
setelah perubahan struktur saluran napas. Kerusakan struktur berupa destruksi alveol yang
3
menuju ke arah emfisema karena produksi radikal bebas yang berlebihan oleh leukosit dan
polusi dan asap rokok.2

Gambar 1. Patofisiologi PPOK

1.1.5 TANDA DAN GEJALA

PPOK sudah dapat dicurigai pada hampir semua pasien berdasarkan tanda dan gejala.
Diagnosis lain seperti asma, TB paru, bronkiektasis, keganasan dan penyakit paru kronik
lainnya dapat dipisahkan. Anamnesis lebih lanjut dapat menegakkan diagnosis.1,2

Gejala klinis yang biasa ditemukan pada penderita PPOK adalah sebagai berikut2:
a. Batuk kronik
Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan dalam 2 tahun terakhir yang
tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Batuk dapat terjadi sepanjang hari atau
intermiten. Batuk kadang terjadi pada malam hari.
b. Berdahak kronik
Hal ini disebabkan karena peningkatan produksi sputum. Kadang kadang pasien
menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk. Karakterisktik batuk dan
dahak kronik ini terjadi pada pagi hari ketika bangun tidur.
c. Sesak napas

4
Terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi
dengan sesak nafas yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan.
Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, gunakan ukuran sesak napas sesuai skala sesak.

Skala Sesak Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas


0 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat
1 Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik
tangga 1 tingkat
2 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak
3 Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah
beberapa menit
4 Sesak bila mandi atau berpakaian

Tabel 1. Skala sesak5


1.1.6 DIAGNOSIS
Penilaian PPOK terdiri dari1:
 Menilai gejala
 Menilai derajat keterbatasan aliran udara menggunakan spirometri
 Menilai resiko eksaserbasi
 Menilai komorbid (penyakit penyerta)
Diagnosis PPOK ditegakkan berdasarkan anamnesis, dengan gejala yaitu batuk, produksi
sputum, sesak napas dan riwayat pajanan terhadap faktor risiko. Tanda dan gejala klinis seperti
sesak napas dan waktu ekspirasi memanjang bisa digunakan untuk menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan penunjang yang baku adalah spirometri. Bila spirometri tidak tersedia, diagnosis
PPOK harus ditegakkan menggunakan cara lain yang ada.2
Tingkat keparahan PPOK diukur dari skala sesak napas. Menurut American
Thoracic Society (ATS) penggolongan PPOK berdasarkan derajat obstruksi saluran napas yaitu
ringan, sedang, berat dan sangat berat. Gejala ini ditandai dengan sesak napas pada penderita
yang dirinci sebagai berikut :5
 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat dengan skala 0.
 Terganggu oleh sesak napas saat bergegas waktu berjalan atau sedikit mendaki nilai 1
skala ringan. Serta pengukuran spirometri menunjukkan nilai VEP1 ≥ 50 %.
 Berjalan lebih lambat daripada orang lain yang sama usia karena sesak napas, atau harus
berhenti sesaat untuk bernapas pada saat berjalan walau jalan mendatar nilai 2 skala
sedang.

5
 Harus berhenti bila berjalan 100 meter atau setelah beberapa menit berjalan nilai 3 skala
berat.
 Sesak napas tersebut menyebabkan kegiatan sehari-hari terganggu atau sesak napas saat
menggunakan atau melepaskan pakaian, nilai 4 skala sangat berat. Pada penderita
PPOK derajat berat sudah terjadi gangguan fungsional sangat berat serta membutuhkan
perawatan teratur dan spesialis respirasi.
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan
hingga berat. Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :2

A. Gambaran Klinis
a. Anamnesis
1. Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
2. Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
3. Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
4. Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misalnya berat badan lahir rendah
(BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
5. Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
6. Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi.

b. Pemeriksaan fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan .
• Inspeksi
- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema
tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
• Palpasi
- Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar

6
• Perkusi
- Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar
terdorong ke bawah
• Auskultasi
- suara napas vesikuler normal, atau melemah
- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa
- ekspirasi memanjang
- bunyi jantung terdengar jauh
 Pink puffer: Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan
pernapasan pursed - lips breathing.
 Blue bloater: Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat
edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
 Purse - lips breathing: sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi
yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi
CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi
pada gagal napas kronik.

Tabel 2. Kriteria diagnosis staging PPOK

1.1.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Pemeriksaan rutin
1. Faal paru
• Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP).
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP ( % ).
- Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %. VEP1
merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan

7
memantau perjalanan penyakit.Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin
dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan
memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.

Pasien yang dicurigai PPOK harus ditegakkan diagnosisnya menggunakan spirometri.


Direkomendasikan spirometri untuk semua perokok 45 tahun atau lebih tua, terutama mereka
yang dengan sesak napas, batuk, mengi, atau dahak persisten. Meskipun spirometri merupakan
gold standard dengan prosedur sederhana yang dapat dilakukan di tempat, tetapi itu kurang
dimanfaatkan oleh praktisi kesehatan.1,2
Kunci pada pemeriksaan spirometri ialah rasio FEV1 (Forced Expiratory Volume in 1 s)
dan FVC (Forced Vital Capacity). FEV1 adalah volume udara yang pasien dapat keluarkan
secara pak dalam satu detik pertama setelah inspirasi penuh. FEV1 pada pasien dapat diprediksi
dari usia, jenis kelamin dan tinggi badan. FVC adalah volume maksimum total udara yang
pasien dapat hembuskan secara paksa setelah inspirasi penuh.1,6
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2015,
PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut.1
1. Derajat 0 (berisiko)
Gejala klinis : Memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi sputum, dan dispnea.
Ada paparan terhadap faktor resiko.
Spirometri : Normal.
2. Derajat I (PPOK ringan)
Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi sputum.Sesak napas
derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1
Spirometri : FEV1 > 80%
3. Derajat II (PPOK sedang)
Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi sputum. Sesak napas
derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas).
Spirometri : 50% < FEV1 < 80%
4. Derajat III (PPOK berat)
Gejala klinis : Sesak napas derajat sesak 3 dan 4. Eksaserbasi lebih sering terjadi Spirometri
: 30% < FEV1 < 50%
5. Derajat IV (PPOK sangat berat)
Gejala klinis : Pasien derajat III dengan gagal napas kronik. Disertai komplikasi kor
pulmonale atau gagal jantung kanan.

8
Spirometri : FEV1 < 30%
• Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian
dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan <
200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil.
2. Darah rutin (Hb, Ht, leukosit)
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain.
Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar .
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)
Pada bronkitis kronik :
- Normal
- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus.

b. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)


1. Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total (KPT),
VR/KRF, VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
2. Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal.

9
3. Uji provokasi bronkus.
- Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat
hipereaktiviti bronkus derajat ringan
4. Uji coba kortikosteroid.
- Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau
metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2minggu yaitu peningkatan
VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak
terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid.
5. Analisis gas darah.
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
6. Radiologi
- CT - Scan resolusi tinggi
- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang tidak
terdeteksi oleh foto toraks polos
- Scan ventilasi perfusi, mengetahui fungsi respirasi paru
7. Elektrokardiografi.
- Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi
ventrikel kanan.
8. Ekokardiografi.
- Menilai fungsi jantung kanan
9. Bakteriologi
- Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan
untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran
napas berulng merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di
Indonesia.
10. Kadar alfa-1 antitripsin
- Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda),
defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.

10
1.1.7 Penatalaksanaan
A. Penatalaksanaan umum PPOK2
Tujuan penatalaksanaan :
- Mengurangi gejala
- Mencegah eksaserbasi berulang
- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
- Meningkatkan kualiti hidup penderita
Derajat dan Rekomendasi pengobatan PPOK
Derajat Karakteristik Rekomendasi Pengobatan

Semua Derajat  Edukasi (hindari faktor pencetus)


 Bronkodilator kerja singkat
(SABA, Antikolinergik cepat,
Xantin)bila perlu
 Vaksin Influenza
Derajat I (PPOK VEP1/KVP < 70%,  Bronkodilator kerja singkat
ringan) VEP1 ≥ 80% Prediksi (SABA, Antikolinergik cepat,
dengan atau tanpa Xantin)bila perlu
gejala

Derajat II (PPOK VEP1/KVP < 70%; 1. Pengobatan reguler dengan


sedang) 50% < VEP1 < 80% bronkodilator.
Prediksi dengan atau  Agonis B-2 kerja panjang
tanpa gejala (LABA) sebagai terapi
pemeliharaan
 Antikolinergik kerja lama
sebagai terapi pemeliharaan
 Simptomatik
2. Rehabilitasi (edukasi, nutris,
rehabilitasi respirasi)
Derajat III (PPOK VEP1/KVP < 70%; 1. Pengobatan reguler dengan
berat) 30% < VEP1 < 50% bronkodilator.

11
Prediksi dengan atau  Agonis B-2 kerja panjang
tanpa gejala (LABA) sebagai terapi
pemeliharaan
 Antikolinergik kerja lama
sebagai terapi pemeliharaan
 Simptomatik
 Kortikosteroid bila diberikan
respon klinis atau eksaserbasi
berulang
 PDE-4 inhibitor
2. Rehabilitasi (edukasi, nutris,
rehabilitasi respirasi)
Derajat IV (PPOK VEP1/KVP < 70%; 1. Pengobatan reguler dengan
sangat berat) VEP1 < 30% Prediksi bronkodilator.
atau gagal nafas atau  Agonis B-2 kerja panjang
gagal jantung kanan (LABA) sebagai terapi
pemeliharaan
 Antikolinergik kerja lama
sebagai terapi pemeliharaan
 Simptomatik
 Kortikosteroid bila diberikan
respon klinis atau eksaserbasi
berulang
 PDE-4 inhibitor
2. Rehabilitasi (edukasi, nutris,
rehabilitasi respirasi)
3. Terapi oksigen jangka panjang
jika gagal nafas
4. Ventilasi mekanis noninvasif
5. Pertimbangan terapi pembedahan

Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi2 :


1. Edukasi

12
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil. Edukasi
pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang
ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan
mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat
reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan
pengobatan dari asma. Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktiviti optimal
4. Meningkatkan kualiti hidup
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah
o Pengetahuan dasar tentang PPOK
o Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
o Cara pencegahan perburukan penyakit
o Menghindari pencetus (berhenti merokok)
o Penyesuaian aktivitas.
2. Obat – obatan

Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan
inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat
diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang (
long acting ).
Macam - macam bronkodilator :
- Golongan antikolinergik.Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).
- Golongan agonis beta – 2. Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan
jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser
dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan
jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
13
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta – 2. Kombinasi kedua golongan obat ini akan
memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda.
Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
- Golongan xantin. Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka
panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin
darah.2

Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau prednison.
Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif
yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.2

Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :2
- Lini I : amoksisilin, makrolid
- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon makrolid baru
Perawatan di Rumah Sakit : dapat dipilih
- Amoksilin dan klavulanat
- Sefalosporin generasi II & III injeksi
- Kuinolon per oral
ditambah dengan yang anti pseudomonas
- Aminoglikose per injeksi
- Kuinolon per injeksi
- Sefalosporin generasi IV per injeksi
-
Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N -
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan
sebagai pemberian yang rutin.

14
Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous.
Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai
pemberian rutin.

Antitusif
Diberikan dengan hati – hati.

Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk
mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ -
organ lainnya.2
Manfaat oksigen
- Mengurangi sesak
- Memperbaiki aktivitas
- Mengurangi hipertensi pulmonal
- Mengurangi vasokonstriksi
- Mengurangi hematokrit
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
- Meningkatkan kualiti hidup

Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas
akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan
napas kronik.2

Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya
kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik
dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah
mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan
analisis gas darah.2
15
Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki
kualiti hidup penderita PPOK Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi
adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai: simptom pernapasan
berat, beberapa kali masuk ruang gawat darurat, dan kualitas hidup yang menurun. Program
rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan latihan pernapasan.2

1.1.9 PPOK Eksaserbasi Akut


Eksaserbasi Akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan
kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya sepertinya polusi
udara, kelelahan, atau timbulnya komplikasi. Ada pun beberapa gejala dari eksaserbasi2:
 Sesak bertambah
 Produksi sputum meningkat
 Perubahan warna sputum

Penyebab eksaserbasi PPOK tersering adalah infeksi virus di saluran pernapasan atas dan
infeksi di cabang trakeobronkial. Tujuan dari pengobatannya adalah untuk mengurangi dampak
eksaserbasi dan untuk mencegah perkembangan eksaserbasi. Prinsip penatalaksanaan PPOK
pada eksaserbasi akut adalah mengatasi segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah
terjadinya gagal napas. Bila telah menjadi gagal napas segera atasi untuk mencegah kematian.1,2
Penilaian untuk eksaserbasi pada PPOK adalah dengan menilai riwayat eksaserbasi yang
pernah dialami dan penggunaan spirometri1:
Dua eksaserbasi atau lebih dalam setahun atau FEV1 < 50% dari nilai terprediksi adalah
indikator sebagai resiko tinggi eksaserbasi. Dua kali atau lebih pasien PPOK yang dirawat
dipertimbangkan sebagai resiko tinggi.1
Derajat eksaserbasi pada PPOK2:
 Tipe I (eksasebasi berat) memiliki 3 gejala
 Tipe II (eksaserbasi sedang) memiliki 2 gejala
 Tipe III (eksaserbasi ringan) memiliki 1 gejala ditambah infeksi saluran nafas,
peningkatan batuk, peningkatan mengi dan peningkatan pernafasan, nadi meningkat.
Penyebab paling umum dari suatu eksaserbasi adalah infeksi thorakobrokial dan polusi
udara, sepertiga penyebab eksaserbasi berat tidak dapat diketahui. Penanganan Eksaserasi
dapat dilakukan dirumah (untuk eksaserbasi yang ringan) atau dirumah sakit (untuk eksaserbasi

16
sedang dan berat). Penatalaksanaan eksaserbasi akut ringan dilakukan oleh pasien yang telah
diedukasi dengan cara:

1. Menambah dosis bronkodilator atau mengubah dari bronkodilator yang digunakan dari
bentuk inhaler ke bentuk nebuliser.
2. Menggunakan oksigen bila aktivitas dan tidur
3. Menggunakan mukolitik
4. Menambahkan ekspektoran
Kejadian eksaserbasi yang berulang menyebabkan penurunan faal paru yang ditunjukkan
dengan penurunan VEP1, penurunan faal paru selain menurunkan kualitas hidup juga
memudahkan terjadinya kolonisasi bakteri di saluran nafas. Bakteri menempel pada epitel
saluran nafas menimbulkan jejak sehingga terjadi proses inflamasi memicu pelepasan sitokin
pro-inflamasi seperti TNF-a dan IL-1 β, derajat inflamasi sebanding dengan bacterial load dan
patogenitas bakteri, proses inflamasi menimbulkan gejala eksaserbasi.7

Bila dalam 2 hari tidak ada perbaikan maka pasien harus segera ke dokter. Terapi yang
diberikan pada rumah sakit antara lain1,2:

1. Terapi oksigen adekuat


Pada eksaserbasi akut terapi oksigen adalah hal yang pertama dan utama, bertujuan
untuk memperbaiki hipoksemia dan mencegah keadaan yang mengancam jiwa. PaO2>60
mmHg atau saturasi O2 >90%, evaluasi ketat hiperkapnia. Pada pasien hipoksemia
diberikan oksigen dengan target saturasi 88-92% .
2. Bronkodilator
Diberikan Short-acting inhaled beta2-agonists (SABA) dengan atau tanpa short-acting
anticholinergik lebih disukai.
3. Systemic Kortikosteroid :
Kortikosteroid sistemik memperpendek waktu penyembuhan, meningkatkan fungsi
paru (FEV1) dan PaO2 dan mengurangi resiko relaps, kegagalan terapi, dan mengurangi
waktu rawat di rumah sakit. Direkomendasikan dosis predison 40 mg per hari selama 5
hari.
4. Antibiotik.
Antibiotik harus diberikan pada pasien dengan :
 3 tanda cardinal, yaitu:
 Sesak bertambah

17
 Produksi sputum meningkat
 Perubahan warna sputum
 Pasien yang membutuhkan ventilasi mekanik.

1. 2 PNEMONIA
Pnemonia didefinisikan sebagai suatu peradangan akut parenkim paru yang disebabkan
oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pnemonia yang disebabkan oleh
Mycobacterium Tuberculosis tidak termasuk. 2
Pnemonia komunitas merupakan peradangan akut parenkim paru yang didapatkan di
masyarakat dan merupakan penyakit yang sering terjadi dan bersifat serius, berhubungan
dengan angka kesakitan dan angka kematian, khususnya usia lanjut dan pasien dengan
komorbid. Infeksi saluran nafas bawah termasuk pneumonia komunitas menduduki urutan ke-
3 dari 30 penyebab kematian di dunia. Sebagai tatalaksana, kriteria CURB65 dapat dilakukan
untuk pasien.2

Tabel 4. CURB 65 skoring

1.3 PENYAKIT JANTUNG KORONER


Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah salah satu penyakit kardiovaskuler yang
disebabkan oleh penyempitan dan penyumbatan pembuluh arteri yang mengalirkan darah ke
otot jantung. Penyempitan arteri koroner dimulai dengan terjadinya aterosklerosis (kekakuan

18
arteri) maupun yang sudah terjadi penimbunan lemak (plaque) pada dinding arteri koroner,
baik dengan gejala klinis maupun tanpa gejala. Sebesar 60% penyebab kematian di dunia,
disebabkan oleh PJK.8,9
Faktor resiko PJK ada yang dapat diubah dan tidak dapat diubah. Merokok salah satu
faktor resiko yang dapat diubah. Berdasarkan klasifikasi American Heart Assosiation (AHA)
merokok sebagai faktor risiko independen dan ATP III sebagai mayor risk factor. Apabila kita
merokok, iritan yang ada dalam asap rokok selain berpengaruh langsung pada paru-paru, juga
masuk ke dalam darah yang mengakibatkan, antara lain ; denyut jantung lebih cepat, pembuluh
darah cepat kaku dan mudah spasme karena gas CO dan nikotin akan merusak endotel sehingga
semakin reaktif, dan gas CO akan menurunkan oksigen sel darah merah, sel-sel darah lebih
gampang menggumpal karena juga terjadi peningkatan fibrinogen, peningkatan agregasi
platelet dan akan menurunkan HDL kolesterol yang semuanya akan menyebabkan terjadinya
aterosklerosis. Begitu juga dengan hipertensi juga dapat menyebabkan PJK. 9

1.4 PENYAKIT PENYERTA LAIN


PPOK sering diikuti dengan penyakit lain (komorbid) yang mungkin memiliki dampak
yang signifikan dalam prognosis. Umumnya, adanya penyakit penyerta tidak harus mengubah
pengobatan PPOK dan penyakit penyerta harus ditatalaksana sebagai pasien yang tidak
menderita PPOK. Resiko Pasien PPOK meningkat pada penyakit1:

1. Penyakit kardiovaskular (termasuk penyakit jantung iskemik, gagal jantung, atrial fibrilasi,
dan hipertensi) adalah komorbid mayor pada pasien PPOK dan kemungkinan menjadi penyakit
paling penting yang menyertai PPOK.
2. Osteoporosis/ depresi dan kecemasan:
Sering kurang terdiagnosis dan dihubungkan dengan status kesehatan dan prognosis yang
buruk.
3. Lung cancer: Sering terjadi pada pasien PPOK; menjadi penyebab kematian paling sering
pada PPOK ringan
4. Infeksi: infeksi saluran pernapasan sering terjadi pada PPOK.
5. Sindrom metabolic dan gejala diabetes:
Sering terjadi pada pasien PPOK dan kemudian akan memberikan dampak terhadap prognosis.

19
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. IPA
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 77 tahun
Status : Menikah
Agama : Hindu
Alamat : Bebandem
Pekerjaan : pensiun
Tanggal Masuk : 19 April 2018

II. ANAMNESIS PENYAKIT


1. Keluhan utama :
Sesak nafas memburuk 2 hari SMRS

Keluhan tambahan :

Batuk berdahak

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan sesak nafas memburuk 2 hari SMRS. Demam tidak ada. Sesak
disertai batuk dengan dahak yang berwarna kekuningan yang lebih kental dari biasanya
(sebelumnya berwarna putih). Selama hari terakhir sesak, rasa sesak terus memburuk
hingga pasien tidak bisa tidur, sulit makan minum dan harus duduk.

Sakit kepala, nyeri tenggorokan, sulit menelan, nyeri dada, jantung berdebar, sakit
perut, mual/ muntah disangkal. BAB/ BAK normal.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien sebelumnya sudah terdiagnosa PPOK dan saat ini hampir selalu dalam keadaan
terlihat sesak. Riwayat terasa sesak terasa mulai 10 tahun lalu. Pasien terakhir rawat
inap di RSUD Karangasem untuk sesak yang berlebih sekitar 3 bulan lalu. Pasien
membutuhkan pemakaian Ventolin setiap hari, pasien tidur dengan menggunakan
beberapa bantal. Biasa pasien juga suka batuk namun tidak sebanyak saat ini, dahak
lebih sedikit dan juga berwarna putih.

20
3. Riwayat Penyakit Keluarga :
Hipertensi, diabetes serta riwayat penyakit jantung disangkal oleh pasien. Kaki pasien
tidak pernah bengkak.

4. Riwayat Pemakaian Obat :


Pasien belum berobat ke dokter selama sesak 2 hari ini dan hanya memakai oksigen
tabung dalam bentuk nasal cannule dan hirupan Ventolin yang ada di rumahnya.
Oksigen serta Ventolin yang dipakai pasien sempat memperbaiki kondisinya namun
kondisi kemudian memburuk lagi.

Pasien rutin berobat ke kontrol ke dokter SpPD tiap bulan

Riwayat Kebiasaan Sosial :


Pasien adalah seorang PNS pensiunan. Pasien mengaku adalah perokok berat pada
masa mudanya, dapat beberapa bungkus per hari. Pasien berhenti merokok saat sudah
sesak.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : lemah


Kesadaran : GCS 15
Tekanan Darah : 140/80 mmHg
Nadi : 110X/menit
Pernafasan : 40X/menit, SpO2 89%
Suhu : 36,0 o C di axilla

1. Kulit

 Warna : Sawo matang


 Turgor : Kembali Cepat (Normal)
 Sianosis : (-)
 Ikterus : (-)
 Anemia : (-)

21
2. Kepala

 Rambut : Beruban, distribusi normal, sukar dicabut


 Wajah : Simetris, edema (-), deformitas (-)
 Mata : Konj. palp. inf. pucat (-/-)
Cekung (-/-) Sklera ikterik (-/-)
Refleks cahaya langsung (+/+)
Refleks cahaya tidak langsung (+/+)
Pupil isokor 3 mm/3 mm

 Telinga : Sekret (-), perdarahan (-), tanda radang (-)


 Hidung : Sekret (-), perdarahan (-), nafas cuping hidung (-)

 Mulut

 Bibir : pucat (-), sianosis (-)


 Lidah : kotor (-), tremor (-), papil lidah atropi (-)
 Tonsil : T1-T1, hiperemis (-)
 Faring : Hiperemis (-)

2. Leher

− Pembesaran KGB : (-)


− Kelenjar thyroid : Pembesaran (-)
− Trakhea : Letak medial

3. Axilla : Pembesaran KGB (-)

22
4. Thorax Anterior

● Inspeksi

Bentuk Barrel Chest, dada simetris, pernafasan torakoabdominal, retraksi dada (+)

● Palpasi

Tactile vocal fremitus pasien tidak dinilai. Pasien dalam keadaan sesak dan sulit
bernafas. Palpasi dada menunjukkan hasil simetris kanan dan kiri. Jarak antar iga
lebar

● Perkusi

Paru Kanan Paru Kiri

Lap. Paru Atas Hipersonor Hipersonor

Lap. Paru Tengah Hipersonor Hipersonor

Lap. Paru Bawah Hipersonor Hipersonor

● Auskultasi :

Paru Kanan Paru Kiri

Lap. Paru Atas Ves vesikuler menurun, Ves vesikuler menurun, Rh


Rh (-), Wh (+) (-), Wh (+)

Lap. Paru Ves vesikuler menurun, Ves vesikuler menurun, Rh


Tengah Rh (-), Wh (+) (-), Wh (+)

Lap. Paru Ves vesikuler menurun, Ves vesikuler menurun, Rh


Bawah Rh (-), Wh (+) (-), Wh (+)

5. Thorax Posterior

● Tidak dilakukan

23
6. Jantung

● Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat

● Palpasi : ictus cordis tidak teraba

● Auskultasi :

S1 S2 reguler (+), murmur (-), gallop, terdengar paling keras dekat epigastrium

7. Abdomen

● Inspeksi : supel, distensi (-)

● Palpasi : Tidak ada nyeri tekan

Hepar dan Lien tidak teraba, ballottement ginjal (-/-)

● Perkusi : Tympani (+)

● Auskultasi : Peristaltik (+)

8. Ekstremitas

Ekstremitas semua hangat. Tanda-tanda sianosis perifer ataupun edema tidak


ditemukan.

24
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto Thorax AP

25
2. EKG (15-16 September 2015)

3. Laboratorium

Parameter Results Units

WBC 7.8 103/uL

RBC 4.68 106/uL

HGB 14.2 g/dL

HCT 43.7 %

MCV 93.4 fL

MCH 30.3 Pg

MCHC 32.5 g/L

26
PLT 245 103/uL

RDW-CV 13.9 %

PDW 10.6 fL

MPV 8.7 fL

NEUT# 16.0 103/uL

NEUT% 5.10 %

MXD% 65.4 %

LYM% 22.4 %

MXD# 1.00 103/uL

LYM# 1.70 103/uL

Cholestrol 161 mg/dL

Triglyceride 26.8 mg/dL

HDL direct 33.2 mg/dL

LDL direct 82 mg/dL

Glucose 88.6 mg/dL

SGOT 10.8 U/L

SGPT 8.3 U/L

Creatinine 0.75 mg/dL

Urea 30.4 mg/dL

27
IV. DIAGNOSIS SEMENTARA
PPOK eksaserbasi akut + pneumonia

V. PENATALAKSANAAN
 Awal masuk UGD: Nebulizer farbivent 1X dan O2 NC 6 lpm (SatO2 = 99%)
 Rawat ruangan
 O2 4 lpm
 IVFD NS 8 tpm
 Farbivent ulang tiap 8 jam
 Methylprednisolone inj 2 x 62.5 mg
 Levofloxacin inj 1 x 500 mg
 Ambroxol 3 x CH 1

VI. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia
Quo ad functionam : dubia
Quo ad sanactionam : dubia

FOLLOW UP HARIAN

Tgl/Hari
S O A P
Rawatan

20/4/2018 Sesak dan Vital Sign : PPOK O2 4 lpm


batuk Kes : compos eksaserbasi akut IVFD NS 8 tpm
(H-2) membaik. mentis + pneumonia +
Farbivent ulang tiap 8
Demam TD : 110/60 CAD OMI
tidak ada mmHg anteroseptal jam
N : 96 x/mnt Methylprednisolone inj 2
RR : 24 x/mnt
x 62.5 mg
T : 36,5 oC

Cor: dbn

28
Pulmo: Levofloxacin inj 1 x 500
Ves menurun. mg (H-2)
Rh-/- whz+/+
Ambroxol 3 x CH 1
Asetosal 1 x 80 mg tab
21/4/2018 Sesak dan Vital Sign : PPOK Pasien BPL
batuk Kes : compos eksaserbasi akut Levofloxacin inj 1 x 500
(H-3) membaik. mentis + pneumonia +
mg (H-3 inj terakhir)
Demam TD : 90/60 CAD OMI
tidak ada mmHg anteroseptal Obat pulang
N : 80 x/mnt Levofloxacin tablet 1x
RR : 24 x/mnt
500 mg
T : 36 oC
Methylprednisolone
tablet 3 x 4 mg
Ventolin 3 x 2 puff
Ambroxol 3 x CH 1
Asetosal tablet 1 x 80 mg

29
BAB III
ANALISA KASUS

Berdasarkan anamnesis, keluhan utama yang dialami pasien adalah sesak yang
disertai dengan batuk berdahak. Dahak berubah warna serta jumlahnya semakin banyak.
Pasien juga memiliki riwayat PPOK dan juga adalah perokok berat. Pasien juga sebelumnya
3 bulan lalu dirawat untuk keluhan yang serupa di rumah sakit. PPOK yang dimiliki di rumah
juga dapat digolongkan cukup berat, pasien memiliki tabung oksigen di rumahnya dan
menggunakan Ventolin hampir setiap hari. Sejauh dari anamnesis, diagnose pasien mengarah
pada PPOK eksaserbasi akut yang dapat disebabkan oleh pneumonia. Pasien juga
menyangkal adanya riwayat penyakit jantung dan tidak pernah mengalami bengkak pada
tubuh terutama kaki.

Pasien memiliki faktor risiko mengalami PPOK diantara lain: usia lanjut, dan juga
memiliki riwayat sebagai perokok aktif berat. Keluarga pasien menyatakan bahwa pasien
merokok sebanyak beberapa bungkus rokok per hari dalam masa mudanya. Indeks Brinkman
pasien masih kurang begitu jelas namun dapat diduga >600.

Pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda khas PPOK juga dapat ditemukan pada pasien.
Pasien merupakan penderita PPOK tipe emfisema pink puffer. Pasien berbadan kurus,
memiliki pursed lips breathing, sesak hingga duduk, memiliki barrel chest, sela iga yang
melebar, bunyi jantung yang letaknya menurun dekat epigastrium, suara paru vesikuler
menurun, dan wheezing. Apabila dilakukan pemeriksaan patologi pada paru pasien, diduga
dapat terlihat alveoli membesar dengan bentuk dalamnya sudah rusak dibandingkan bronkus
paru yang mengecil dan penuh dengan sputum.

Pada foto thorax terdapat gambaran hiperinflasi, hiperlusen, diafragma yang


mendatar, serta jantung bentuk pendullum. Gambaran ini khas untuk pasien PPOK. Pada paru
pasien juga ditemukan gambaran infiltrate yang mengarah kepada pneumonia.

Pada EKG terdapat beberapa gambaran yang dapat ditemukan:

 Pasien stabil dan memiliki sinus rhythm


 Lead 1 negatif dan avF positif menandakan right axis deviation khas untuk PPOK
 Tidak terdapat P pulmonale ataupun P mitrale
 PR interval normal hampir memanjang (200 ms/ 5 kotak kecil)

30
 QRS: kurus, pendek (low voltage oleh karena paru mengembang). Terdapat poor R
wave progression. Q patologis V1-V5
 Tidak terdapat ST elevasi ataupun depresi
 Tidak terdapat tall T ataupun inverted T wave

Gambaran khas EKG PPOK dapat menunjukkan:

 P pulmonale
 Right axis deviation
 Depolarisasi atrium terlambat hingga segmen PR dan ST “jatuh”
 QRS voltase rendah

Gambaran EKG pasien sesuai dengan pasien PPOK yang memilik myocardial infarct lama.

Hasil laboratorium pasien relatif normal. WBC 7.6 103/uL, Hb 14.2 g/dL, Plt 245.
Hasil laboratorium tidak jelas mengarah pada infeksi bakteri. Hasil trigeliserida 26.8 mg/dL
dan HDL 33.2 pasien rendah, hal ini dapat disebabkan oleh karena keadaan PPOK dan sesak
pasien yang menyebabkan tubuh mengkonsumsi kalori lebih dan jumlah makan yang sedikit.
Hasil liver function tests dan renal function tests pasien juga normal.

Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pasien dapat


diberikan diagnose PPOK eksaserbasi akut, pneumonia, serta old myocard infarct. Walau
tanpa eksaserbasi akut, pasien menderita PPOK dirawat di rumahnya dan selalu dalam
keadaan sesak, menggunakan oksigen dan Ventolin terus menerus. Walau mungkin pasien
tidak pernah melakukan spirometry ataupun uji bronkodilator, berdasarkan klinisnya pasien
dapat dinilai memiliki PPOK derajat berat dalam kategori staging manapun.

Pneumonia yang diderita pasien dapat juga dilihat cukup berat. Berdasarkan kriteria
CURB 65, pasien sebaiknya dirawat di rumah sakit. Pasien tidak mengalami kebingungan
ataupun tekanan darah yang terlalu rendah, namun memiliki uremia (30.4 mg/dL), usia diatas
65 tahun, dan nafas yang sangat cepat (40x. menit, SpO2 89%). Berdasarkan kriteria CURB
65 pasien memiliki tingkat mortalitas yang tinggi yaitu 22%.

Obat-obatan yang didapatkan pasien untuk PPOK eksaserbasi akut juga sudah sesuai
dengan apa yang seharusnya didapatkan. Pasien mendapatkan nebule farbivent (ipratropium
bromide dan albuterol sulfate) yang adalah golongan SABA dan antikolinergik. Pasien juga
mendapatkan terapi oksigen, antibiotik levofloxacin, steroid sistemik serta obat batuk

31
mukoltik. Antibiotik yang didapatkan oleh pasien dapat dibenarkan walaupun hasl lab tidak
terlalu buruk oleh karena indikasi dari CURB 65 serta pasien yang memiliki ketiga tanda
PPOK eksaserbasi akut yaitu sesak bertambah, produksi sputum meningkat, dan perubahan
warna sputum. Pemberian oksigen serta steroid sistemik sangat membantu perbaikan pasien
kepada kesembuhan. Pasien pada saat diberikan nebulizer farbivent pada awal segera
mengalami perbaikan gejala dan hal tersebut merupakan suatu pertanda baik untuk prognosis
pasien. Pada akhirnya pasien hanya dirawat di rumah sakit selama 2 hari dengan SpO2 >90%
dan dapat pulang dan dijadwalkan untuk kontrol minggu depannya.

Pada saat pasien pulang, pasien diberikan Ventolin puff, lanjutan antibiotik
levofloxacin oral, dan metilprednisolone. Sebagai bronkodilator, pasien sebaiknya diberikan
jenis LABA dan juga steroid inhalasi dibandingkan Ventolin saja. LABA dapat bekerja
selama 12 jam dan dapat hanya sebanyak 2X sehari. Contoh LABA adalah formoterol,
bambuterol, dan salmeterol. Terdapat juga ultra-LABA yang memiki durasi kerja selama 24
jam. Contoh ultra-LABA adalah indacaterol, olodaterol, dan vilanterol. Selain itu, pasien juga
dapat diberikan edukasi lebih mengenai penyakitnya dan juga diajarkan latihan pernafasan
untuk PPOK dalam bentuk nafas pursed lip dan penggunaan diafragma. Fisioterapi mungkin
dapat berguna bagi pasien namun dapat diingat bahwa ia terutama terdapat dalam golongan
emfisema dibandingkan bronkitis kronis.

Selain PPOK, pasien juga memiliki infark miokard lama. Pada hal ini pasien
mendapatkan aspirin 1x80 mg sebagai pencegahan sekunder. Selain itu, pasien juga dapat
diberikan obat-obatan statin, namun dapat juga diketahui bahwa nilai kolestrol dan
trigliserida pasien sudah cukup rendah. Untuk penanganan lebih baik pasien juga dapat
dilakukan ekokardiografi.

32
BAB IV
KESIMPULAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinisikan sebagai penyakit atau gangguan
paru yang memberikan kelainan ventilasi berupa ostruksi saluran pernapasan yang bersifat
progresif dan tidak sepenuhnya reversible dan berkaitan dengan respon inflamasi abnormal
paru terhadap partikel asing atau gas yang berbahaya. Eksaserbasi Akut pada PPOK berarti
timbulnya perburukan dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat
disebabkan infeksi atau faktor lainnya sepertinya polusi udara, kelelahan, atau timbulnya
komplikasi. Ada pun beberapa gejala dari eksaserbasi antara lain: sesak bertambah, produksi
sputum meningkat, dan perubahan warna sputum.
Penyebab eksaserbasi PPOK tersering adalah infeksi virus di saluran pernapasan atas dan
infeksi di cabang trakeobronkial. Tujuan dari pengobatannya adalah untuk mengurangi dampak
eksaserbasi dan untuk mencegah perkembangan eksaserbasi. Dua kali atau lebih pasien PPOK
yang dirawat meningkatkan resiko kematian. Tujuan dari pengobatannya adalah untuk
mengurangi dampak eksaserbasi dan untuk mencegah perkembangan eksaserbasi.
PPOK dapat diobati dengan bermacam terapi tergantung dengan tingkat keparahannya.
Selain berhenti merokok, pasien dapat diberikan bronkodilator, awalnya yang berjenis short
acting pada eksaserbasi, dan kemudian yang long acting. Pasien kemudian juga dapat diberikan
steroid inhalasi, pemberian oksigen, dan pada akhirnya ventilasi mekanik pada kasus yang
sangat berat.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global Strategy for The
Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. 2015

2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK):
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. 2010.

3. [RISKESDAS] Riset Kesehatan Dasar. 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia.

4. Algaff, Hood, dkk. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University
Press.

5. Ferguson GT, Enright PL, Buist AS, Higgins MW. Office Spirometry for Lung Health
Assessment in Adults: A Consensus Statement from TheNational Lung Health Education
Program.

6. Wiyono HW. Penyakit Paru Obstruktif Kronik; Tantangan dan Peluang. Pidato Pada
Upacara Pengukuhan Sebagai Guru Besar Tetap Dalam Bidang Pulmonologi dan Ilmu
Kedokteran Respirasi Pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 28 Februari
2009.

7. Suradi, dkk. Hubungan antara Penyalit Paru Obstruktif Eksaserbasi Akut dengan Hasil
Kultur Sputum Bakteri pada Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta. J Respir Indo. 2012; 32
(4): 218-22.

8. Farissa, IP. 2012. Komplikasi pada Pasien Infark Miokard Akut ST Elevasi (STEMI) yang
Mendapat Maupun tidak Mendapat Terapi Reperfusi. Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro.

9. Umar F, dkk. Perilaku Meroko dan Lingkungan Pemukiman Pasien Rawat Jalan Penyakit
Jantung Koroner di Makassar. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin:
Makassar. P. 23-24.

10. Surjanto E, Sutanto YS. The Relationship Between Underlying Disease OF Respiratory
Failure With The Treatment’s Output on Hospitalized Patients In Dr. Moewardi Hospital
Surakarta. 2009. Universitas Sebelas Maret Surakarta. P.2

34
11. Sutanto RP. Penyakit Paru Obstriktif Kronis dengan Gejala Pre Hipertensi pada Pasien Laki-
Laki Lanjut Usia. Medula Unila. 2013; 1(4): 94-100.

12. PERKI. 2015. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut Edisi Ketiga. P. 65.

13. Fahri I, Dianiati, Yunus F. Efek Peradangan Sistemik pada PPOK terhadap Sistem
Kardiovaskular. Departemen Ilmu Penyakit Jantung dan Kedokteran Vaskular FKUI.
Jakarta. p.1-10.

35

Anda mungkin juga menyukai