Abstrak
Beberapa penelitian yang menyimpulkan bahwa munculnya perilaku kekerasan pada
seseorang disebabkan oleh dua hal yaitu keluarga ( family effect) atau lingkungan kete-
tanggaan (neighborhood effect). Praktik-praktik dalam keluarga seperti kekerasan yang
dilakukan orang tua menentukan kecenderungan anak untuk berprilaku agresif atau
tidak. Pada sisi lain, dalam konteks lingkungan komunitas ketetanggaan dengan kondisi
yang buruk (padat, kumuh, miskin) munculnya kekerasan disebabkan oleh pengaruh
buruk lingkungan tersebut. Hubungan antara lingkungan ketetanggaan yang buruk,
peran keluarga, dan proses terbentuknya perilaku kekerasanbelum banyak dijelaskan.
Tulisan ini berusaha menjelaskan bagaimana peran keluarga dan mekanisme kontrol
keluarga dalam mendukung atau mengurangi perilaku kekerasan serta keterlibatan anak
pada kekerasan kolektif (tawuran) di lingkungan sosial ketetanggaan dengan kondisi
yang buruk. Artikel ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Artikel
dilakukan di sebuah komunitas miskin rawan konflik di Jakarta. Peneliti mengambil
data primer pada keluarga yang memiliki anak dalam kategori pemuda (16-30 tahun),
belum menikah serta terlibat dalam kasus kekerasan (tawuran). Hasilnya, penerapan
pola asuh permisif menyebabkan lemahnya ikatan dan kontrol sosial.
Abstract
Various researches have found that violence is made by two major causes, family effect
and neighbourhood effecct. Violence practices by parents in familial background con-
tributes to aggressive behaviours in children. On the other hand, violence is also pro-
duced by bad living conditions (populous, dirty, and poor health) in the neighourhood.
However, the author discovered that the relations between neighbourdhood, family, and
the process of violent behaviour formation has not been explained clearly. This paper
attempts to explain the role of the family and family control mechanism could increase
or reduce violent behavior and children’s involvement in collective violence (brawl) in a
poor neighbourhood condition. This research uses qualitative methods in a conflictual
society in Jakarta. The researcher collects primary data on youth category (16-30 years
old), single, and involved in violence cases. The author also supports the findings from
previous researches and other relevant studies.
1 Penulis tidak dapat menyelesaikan artikel ini tanpa bantuan dari Daisy Indira, Diatyka
Widya Permata, serta Andi Rahman Alamsyah.
16 0 | DW I SEMBODO AJI
PE N DA H U L UA N
2 Angka pembunuhan menjadi salah satu indikator untuk melihat kondisi kekerasan
di suatu wilayah meskipun ukuran kekerasan pada data ini tidak hanya di dasarkan
pada indikator pembunuhan saja tetapi mencakup berbagai macam kekerasan. Lebih
lanjut lihat publikasi world bank Violence and The City: Understanding and Supporting
Community Responses to Urban Violence. 2011.
3 Laporan mengenai kejahatan ini merupakan jumlah total dari berbagai bentuk
tindakan kejahatan dan kriminalitas seperti penodongan, pencopetan, perampokan,
pembunuhan, konflik massal (tawuran) dan lainnya yang dilaporkan kepada Polda
Metro Jaya pada tahun 2013. Lebih lanjut lihat Katalog Badan Pusat Statistik: 4401002
tentang Statistik Kriminal Tahun 2014.
4 Pemetaan wilayah rawan konflik hanya dilakukan di 16 kecamatan dari 44 kecamat-
an (2015) yang ada di wilayah DKI Jakarta. Hal tersebut didasarkan pada data BPS
yang menunjukan bahwa wilayah paling rawan konflik di DKI Jakarta ada 16 kecamat-
an, meskipun tidak berarti bahwa wilayah yang lain tidak memiliki kerawanan konflik.
K E K E R A S A N KO L E K T I F DA N
KO N T RO L S O S I A L K E L UA RG A
K e k e r a sa n K ol e k t if
M E T O DE PE N E L I T I A N
KO N T RO L S O S I A L DA N P O L A A S U H
P O L A A S U H PE R M I S I F DA N L E M A H N Y A I K ATA N S O S I A L
Tuh si Y pernah minta modal buat bikin usaha pulsa ame yang
lain. Emak kasih 500 rebu. Usaha kaga jalan, duit malah abis
buat beli burung. Emak marahin banget udah tau keluarga susah,
bikin repot aja. Engga sedikit itu duitnya, yah tapi emak maapin,
namanya juga anak kan ujung-ujungnya yaudah-lah (wawancara
dengan orang tua Y tanggal 23 April 2016)
Sosialisasi nilai dan norma yang tidak secara jelas dan menyeluruh
disampaikan memungkinkan munculnya fleksibilitas intepretasi yang
berbeda antara anak dengan orang tua terhadap nilai dan norma yang
berusaha ditanamkan keluarga. Dalam konteks kekerasan anak dapat
mengintepretasikan terlibat dengan kekerasan menjadi hal yang diper-
bolehkan asal tidak menyinggung fungsi ekonomi keluarga. Kejelasan
dan konsistensi nilai dan norma yang disampaikan orang tua kepada
anak merupakan hal yang penting sebagai landasan bertindak serta
menjadi tahap awal dalam usaha membangun kontrol sosial keluarga.
Kedua, praktek-praktek pembiaran banyak terjadi dalam kehidup-
an sehari-hari. Bagi orang tua, rasa “kasihan” menjadi argumen klasik
untuk melegitimasi tindakan-tindakan permisif terhadap perbuatan
anak yang dapat merugikan diri atau keluarga. Berikut adalah salah
satu contoh tindakan permisif yang dilakukan oleh orang tua.
gua pernah ketahuan nyimpen gele6 dirumah, gua bilang aja punya
temen. Sebenernya nyokap gua sih tau tapi kayanya ga marah,
cuma bilangin doang asal bukan punya gua. (wawancara dengan
Z pada 4 Mei 2016)
Emak akui kalo setau emak emang lingga beberapa kali ikut tuh
tawuran, pernah ampe luka, yudah-lah paling emak bilangin do-
ang jangan gitu lagi tar die juga berubah, kasian kalo dimarah-
-marahin ape digimanain, namanya anak muda kan ada nakalnya
udah gitu sama temen-temen juga kan bukan die doang die juga
puan untuk berpikir kritis dan berpihak kepada kebaikan dan kebe-
naran. Senada dengan itu Ki Hajar Dewantara (dalam Suparlan 2014)
menyatakan bahwa secara filosofis tujuan segala bentuk pendidikan
adalah untuk memanusiakan manusia. Keluarga menjadi salah satu
dari tiga pusat pendidikan utama (selain pendidikan dalam pergu-
ruan dan pendidikan dalam masyarakat luas) dalam mencapai tuju-
an filosofis pendidikan tersebut. Pola asuh permisif yang diterapkan
oleh keluarga informan kenyataannya menghasilkan individu yang
“merdeka” tetapi bukan dalam makna seperti apa yang disampaikan
oleh Freire maupun Ki Hajar Dewantara. Mereka merdeka karena
minimnya batasan diri dalam bertindak dan rendahnya kemampuan
melakukan self-control sehingga mudah melakukan kekerasan.
Baumrind (1991) menjelaskan bahwa semua jenis pola asuh pada
dasarnya memiliki dua aspek dasar yaitu kontrol dan kasih sayang.
Kontrol dalam pola asuh mengacu pada sejauh mana orang tua me-
ngelola perilaku anaknya sedangkan kasih sayang berkaitan dengan
sejauh mana orang tua dapat responsif dan menerima perilaku anak
(Baumrind 1991). Penerapan pola asuh permisif pada keluarga in-
forman diwarnai dengan aspek emosional yang ditunjukkan melalui
sikap-sikap pembiaran atas dasar rasa “kasihan” pada anak. Dam-
paknya, anak minim panduan nilai yang menjadi dasar bagi batasan-
-batasan dalam bertindak. Praktik–praktik permisif yang dilakukan
orang tua atau anggota keluarga lain terus membangun pembiasaan
(budaya) dalam diri anak untuk memaklumi kegiatan yang menyim-
pang.
Penerapan pola asuh permisif menyebabkan keluarga informan
memiliki ikatan sosial yang lemah dan kontrol sosial menjadi lebih
sulit dilakukan. Hirschi’s (dalam Aguirre 2002, Barsani 1988; Black
1984; Hoffman, 2003; dan Krohn 1984) menunjukkan empat aspek
yang dapat menjelaskan bagaimana kondisi ikatan sosial antara in-
dividu dengan institusi. Keempat aspek tersebut adalah attachment,
involvement, belief, dan commitment. Pola asuh permisif melahirkan
ikatan emosial yang kuat tetapi di lain pihak menyebabkan komitmen
yang lemah. Bagi anak, tindakan-tindakan permisif yang dilakukan
orang tua dan anggota keluarga lain dianggap sebagai sebuah kasih
sayang kemudian menimbulkan ikatan emosi mereka dengan orang
tua dan keluarga.
Aspek attachment seperti diungkapkan Hirschi (dalam Aguirre
2002, Barsani 1988; Black 1984; Hoffman, 2003; dan Krohn 1984)
adalah aspek yang sangat berhubungan dengan fungsi dasar dari ke-
luarga yaitu proses bagaimana anggota keluarga memperlakukan ang-
gota keluarga lainnya dengan kasih sayang. Attachment tidak selalu
dinilai dari sudut pandang logika, tetapi juga dari moralitas dan aspek
emosional, sehingga secara logis tindakan permisif pada keluarga in-
forman menimbulkan kecenderungan pemahaman yang buruk tetapi
secara emosional sikap permisif pada hal-hal yang berbahaya seperti
terlibat dalam tawuran atau perjudian dianggap sebagai sebuah ben-
tuk kasih sayang dan pembelaan kepada anak. Tindakan orang tua
informan di Johar Baru lebih mengarah kepada tindakan emosional,
dengan pemahaman bahwa orang tua yang baik adalah orang tua
yang bisa memenuhi keinginan serta memaklumi tindakan anak.
Implikasi lain dari penerapan pola asuh permisif pada keluarga
informan adalah komitmen yang lemah. Komitmen berkaitan dengan
kegiatan individu dalam mematuhi serta memprioritaskan nilai dan
norma yang disosialisasikan oleh keluarga. Komitmen tidak muncul
tanpa adanya kepercayaan. Ada setidaknya dua hal yang menyebabkan
anak tidak memiliki komitmen terhadap nilai yang baik dalam kelu-
arga. Pertama adalah akibat sikap pola asuh permisif dalam keluarga,
ada inkonsistensi dalam proses sosialisasi nilai yang baik dan buruk,
sehingga anak tidak mendapatkan panduan nilai yang jelas dan cu-
kup mengenai batasan tindakan yang baik dan buruk. Kedua adalah
minimnya keterlibatan anak dengan kegiatan keluarga. Keterlibatan
anak dalam kegiatan keluarga merupakan hal yang penting untuk
menumbuhkan interaksi yang lebih intensif yang membangun ikatan
sosial dengan keluarga.
Yah gua sih jarang di rumah. Lebih sering di luar maen sama
anak-anak aja. Kalo pas kumpul ama keluarga paling nonton TV
doang, kalo dateng ke saudara apa undangan apa kemana gua kaga
ikut, males gua, kaga enak malu nanti ditanyain udah kerja apa
belom. Lagian gua udah gede juga kaga perlu ikut-ikut gituan.
(wawancara dengan Z, 4 Mei 2016)
KO N T RO L S O S I A L K E L UA RG A , PE N G A RU H
L I N G K U N G A N K E T E TA N G G A A N
DA N K E K E R A S A N KO L E K T I F
8 Kerawanan sosial tinggi merupakan indeks gabungan yang terdiri dari berbagai ma-
cam indikator seperti kemiskinan, kepadatan, konflik sosial dll.
Gua ikut tawuran karna gua kampung gua diserang, kalo kita ga
lawan kampung kita bisa abis, mungkin bisa dibakar kali kaya
bagian lain. Gua juga khawatir kan sama ortu gua apalagi gua
punya ade kecil (Wawancara dengan informan Y pada 4 mei 2016)
tua ini pada dasarnya menjadi salah satu upaya untuk mengontrol
dan menegaskan nilai pada anak mengenai batasan dalam bertin-
dak. Kontrol verbal melalui nasihat memiliki kekuatan pencegahan
jika dilakukan secara terus-menerus dan konsisten menanamkan nilai
bahwa terlibat dalam tawuran adalah hal yang buruk. Dalam tataran
ide, nilai itu dapat tertanam dengan kuat.
Momen kedua adalah momen ketika anak telah terlibat dalam
kekerasan, kontrol verbal, dan sedikit kekerasan fisik kembali mun-
cul. Akan tetapi sama dengan penjelasan sebelumnya ada banyak
pemakluman dan minim mekanisme punishment. Inkonsistensi me-
nyebabkan jaring kontrol keluarga lemah. Secara normatif seluruh
orang tua informan sepakat bahwa kekerasan merupakan hal yang
buruk, meskipun demikian, bukan berarti konsep mengenai tindakan
kekerasan tidak disosialisasikan oleh keluarga “ya kalo diserang mau
gimana anak kan jadi serang balik buat bertahan”(wawancara dengan
orang tua Z, 24 April 2016). Informasi tersebut menunjukkan bahwa
orang tua informan pada kondisi tertentu menganjurkan kekerasan
sebagai solusi penyelesaian masalah. Dalam konteks bertahan, keke-
rasan diperbolehkan. Artinya dalam konsep bertahan, tidak ada peng-
utamaan negosiasi atau menghindarkan diri dari pertikaian. Bertahan
memiliki arti melawan dan membalas hal yang sama terhadap pihak
yang menyerang dengan kekerasan. Ini menunjukkan batasan dan
inkonsistensi mengenai nilai dan norma mengenai kekerasan yang
ditanamkan keluarga.
Pembahasan mengenai pola asuh akan sangat terbatas jika hanya
membahas apa yang dilakukan dan disampaikan oleh orang tua, ka-
rena sebagai seorang individu anak memiliki kemampuan bernegosi-
siasi dan berpikir. Sering kali argumen bertahan menjadi argumentasi
utama bagi anak untuk terlibat dalam tawuran meskipun tidak dalam
konteks mempertahankan diri seperti yang disampaikan keluarga. In-
konsistensi kontrol verbal dan minimnya mekanisme pemberian hu-
kuman yang tepat ditambah dengan ikatan sosial yang lemah semakin
menyulitkan keluarga untuk dapat mendekonstruksi nilai yang buruk
yang didapatkan dari lingkungan maupun teman bermain.
Kontrol lain dilakukan dengan cara melakukan pengawasan terha-
dap anak. Pengawasan dilakukan orang tua sesekali dengan melihat
anak ke lokasi nongkrong. Biasanya hal ini dilakukan pada masa ke-
tika intensitas tawuran lebih banyak terjadi. Informan yang terlibat
dengan tawuran merupakan pemuda yang tidak memiliki pekerjaan.
K E S I M PU L A N
DA F TA R PU S TA K A