Anda di halaman 1dari 26

MASYARAKAT Jurnal Sosiologi Vol. 22, No.

2, Juli 2017: 159-184


DOI: 10.7454/mjs.v22i2.7759

Kontrol Sosial Keluarga dan Kekerasan Kolektif :


Studi Kasus Keterlibatan Pemuda dalam Tawuran
Warga di Johar Baru, Jakarta Pusat1

Dwi Sembodo Aji


Tim Program Kelompok Kerja Revolusi Mental
Email: Dse.aji@gmail.com

Abstrak
Beberapa penelitian yang menyimpulkan bahwa munculnya perilaku kekerasan pada
seseorang disebabkan oleh dua hal yaitu keluarga ( family effect) atau lingkungan kete-
tanggaan (neighborhood effect). Praktik-praktik dalam keluarga seperti kekerasan yang
dilakukan orang tua menentukan kecenderungan anak untuk berprilaku agresif atau
tidak. Pada sisi lain, dalam konteks lingkungan komunitas ketetanggaan dengan kondisi
yang buruk (padat, kumuh, miskin) munculnya kekerasan disebabkan oleh pengaruh
buruk lingkungan tersebut. Hubungan antara lingkungan ketetanggaan yang buruk,
peran keluarga, dan proses terbentuknya perilaku kekerasanbelum banyak dijelaskan.
Tulisan ini berusaha menjelaskan bagaimana peran keluarga dan mekanisme kontrol
keluarga dalam mendukung atau mengurangi perilaku kekerasan serta keterlibatan anak
pada kekerasan kolektif (tawuran) di lingkungan sosial ketetanggaan dengan kondisi
yang buruk. Artikel ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Artikel
dilakukan di sebuah komunitas miskin rawan konflik di Jakarta. Peneliti mengambil
data primer pada keluarga yang memiliki anak dalam kategori pemuda (16-30 tahun),
belum menikah serta terlibat dalam kasus kekerasan (tawuran). Hasilnya, penerapan
pola asuh permisif menyebabkan lemahnya ikatan dan kontrol sosial.

Abstract
Various researches have found that violence is made by two major causes, family effect
and neighbourhood effecct. Violence practices by parents in familial background con-
tributes to aggressive behaviours in children. On the other hand, violence is also pro-
duced by bad living conditions (populous, dirty, and poor health) in the neighourhood.
However, the author discovered that the relations between neighbourdhood, family, and
the process of violent behaviour formation has not been explained clearly. This paper
attempts to explain the role of the family and family control mechanism could increase
or reduce violent behavior and children’s involvement in collective violence (brawl) in a
poor neighbourhood condition. This research uses qualitative methods in a conflictual
society in Jakarta. The researcher collects primary data on youth category (16-30 years
old), single, and involved in violence cases. The author also supports the findings from
previous researches and other relevant studies.

Keywords: violence, collective violence, neighborhood effect, family effect, social


control, parenting

1 Penulis tidak dapat menyelesaikan artikel ini tanpa bantuan dari Daisy Indira, Diatyka
Widya Permata, serta Andi Rahman Alamsyah.
16 0 | DW I SEMBODO AJI

PE N DA H U L UA N

Kekerasan dan konflik sosial adalah salah satu permasalahan


yang kerap muncul pada komunitas padat dan miskin di perkota-
an (Winton, 2004). Data World Bank menunjukkan bahwa dari 50
kota di berbagai dunia, 32 kota memiliki rata-rata angka kekerasan
termasuk pembunuhan lebih tinggi dibanding dengan angka rata-rata
pada tingkat nasionalnya seperti di Panama, Managua, Kathmandu,
London, dan lainnya (World Bank 2011:16-17)2. Seringkali dalam
komunitas padat dan miskin, kekerasan telah membudaya serta men-
jadi bagian dari kehidupan mereka. Menurut Data Statistik Kriminal
BPS, tahun 2013 Jakarta menjadi provinsi dengan jumlah laporan
kejahatan terbesar di Indonesia yaitu mencapai total 49.498 kasus3.
Data yang sama menunjukkan angka risiko kerawanan terkena ke-
jahatan mencapai 213 orang per 100.000 penduduk. Angka tersebut
menunjukkan tingkat kerawanan kejahatan yang cukup tinggi di In-
donesia jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia seperti
Jawa Barat, Riau, Kalimantan Tengah dan lainnya. Selaras dengan
itu, publikasi Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) DKI
Jakarta tahun 2015 mengenai peta kawasan rawan konflik di DKI
Jakarta menunjukkan terdapat setidaknya 16 kecamatan dari 44 ke-
camatan4 yang menjadi wilayah rawan konflik. Kerawanan konflik
itu didasarkan pada beberapa indikator yaitu kemiskinan, kepadatan
penduduk, kekumuhan, tindak pidana, dan kejadian konflik sosial
yaitu tawuran. Data tersebut menunjukkan bahwa DKI Jakarta tidak
hanya rawan terhadap kejahatan kriminal tetapi juga rawan terhadap
konflik termasuk konflik sosial.

2 Angka pembunuhan menjadi salah satu indikator untuk melihat kondisi kekerasan
di suatu wilayah meskipun ukuran kekerasan pada data ini tidak hanya di dasarkan
pada indikator pembunuhan saja tetapi mencakup berbagai macam kekerasan. Lebih
lanjut lihat publikasi world bank Violence and The City: Understanding and Supporting
Community Responses to Urban Violence. 2011.
3 Laporan mengenai kejahatan ini merupakan jumlah total dari berbagai bentuk
tindakan kejahatan dan kriminalitas seperti penodongan, pencopetan, perampokan,
pembunuhan, konflik massal (tawuran) dan lainnya yang dilaporkan kepada Polda
Metro Jaya pada tahun 2013. Lebih lanjut lihat Katalog Badan Pusat Statistik: 4401002
tentang Statistik Kriminal Tahun 2014.
4 Pemetaan wilayah rawan konflik hanya dilakukan di 16 kecamatan dari 44 kecamat-
an (2015) yang ada di wilayah DKI Jakarta. Hal tersebut didasarkan pada data BPS
yang menunjukan bahwa wilayah paling rawan konflik di DKI Jakarta ada 16 kecamat-
an, meskipun tidak berarti bahwa wilayah yang lain tidak memiliki kerawanan konflik.

M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 22 , No. 2 , Ju li 2017: 159-184


KONTROL SOSIAL KELUARGA | 161

Berdasarkan Berita Statistik BPS tahun 2014 mengenai Indeks Po-


tensi Kerawanan Sosial (IPKS) dan data Pemetaan Kawasan Rawan
Konflik 2014 dari Kesbangpol DKI, Kecamatan Johar Baru masuk
ke dalam wilayah dengan tingkat kerawanan sosial dan kerawanan
konflik yang tinggi. Sebanyak 3 kelurahan di Johar Baru masuk ke
dalam 10 besar kelurahan di DKI Jakarta dengan IPKS tertinggi
(BPS 2014). Bahkan secara historis wilayah Johar Baru yang berada di
sekitar wilayah Senen telah lekat dengan berbagai bentuk kejahatan,
konflik dan kekerasan dari skala kecil dan menengah seperti penco-
petan, perampokan, dan tawuran pelajar yang terjadi pada komunitas
miskin dan padat penduduk sampai pada konflik dengan skala besar
seperti kerusuhan Mei 1998 (Tadie 2009). Konflik sosial yang sering
terjadi di wilayah Johar Baru adalah tawuran. Meskipun kondisi ling-
kungan fisik, kepadatan, kemiskinan sedikit atau banyak bisa membe-
rikan pengaruh pada munculnya konflik sosial, seperti tawuran, tapi
penting juga untuk melihat pada proses sosial dalam unit-unit sosial
yang ada di lingkungan sosial terutama keluarga sebagai kelompok
sosial primer. Keluarga turut memberikan andil bagi perkembang-
an anak-anak, dan pengawasan terhadap tindakan mereka. Tulisan
ini berusaha menjelaskan bagaimana peran kontrol sosial keluarga
terhadap keterlibatan anak dalam kekerasan kolektif (tawuran) dan
hubungannya dengan lingkungan sosial komunitas.
Studi sebelumnya menunjukkan sedikitnya ada dua kelompok
yang berargumen mengenai terbentuknya perilaku kekerasan dalam
diri seseorang. Pertama adalah berbagai studi yang fokus pada neigh-
borhood effects (Baird 2012; Harding 2009; Zimmerman dan Messner
2010). Munculnya perilaku kekerasan sangat dipengaruhi oleh kon-
disi lingkungan sosial sebuah komunitas. Kondisi lingkungan sosial
ketetanggan dengan struktur sosial (kelompok-kelompok yangada di
lingkungan), budaya (kebiasaan warga dalam komunitas) dan fisik
(bentuk/struktur bangunan) yang buruk merupakan faktor dominan
yang menentukan terbentuknya pandangan dan perilaku kekerasan
dalam diri seseorang. Lingkungan seperti itu telah mengalami disor-
ganisasi sehingga tidak lagi memiliki kontrol atau regulasi sosial yang
baik. Akibatnya, seseorang menjadi lebih mudah terlibat dengan ber-
bagai praktik kekerasan termasuk kekerasan kolektif seperti tawuran.
Studi-studi itu terlalu meminggirkan posisi keluarga sebagai pihak
yang berpengaruh. Studi tersebut tidak mampu menjelaskan hubung-
an keluarga dengan lingkungan serta aspek proses sosial yang terjadi

M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 22 , No. 2 , Ju li 2017: 159-184


162 | DW I SEMBODO AJI

dalam pembentukan perilaku kekerasan. Kedua adalah studi-studi


yang berpendapat bahwa konstruksi perilaku kekerasan ditentukan
prosesnya di dalam keluarga (Relva, Monterio, dan Mota 2013; Davis
2011; Anderson 2010; Arthur dan Clark 2009).
Pengalaman seseorang di dalam keluarga menentukan kecende-
rungannya untuk bertindak agresif atau tidak. Praktik di dalam kelu-
arga seperti kekerasan orang tua terhadap anak menjadi penyebab dari
munculnya pandangan dan perilaku kekerasan anak sehingga mereka
cenderung melakukan tindakan agresif seperti melakukan pemukulan/
perkelahian dengan orang lain. Analisis semacam itu mengabaikan
pengaruh lain di dalam konteks yang lebih luas yaitu lingkungan
sosial komunitas. Apa yang terjadi pada anak seolah-olah terlepas
dari pengaruh lingkungan sosial ketetanggaan, padahal perkembangan
serta kondisi anak dapat terpengaruh oleh kondisi lingkungan sosial
ketetanggannya.
Berbagai studi di atas menunjukkan bahwa lingkungan sosial ke-
tetanggaan dan keluarga saling bersaing dalam pembentukan perilaku
kekerasan serta keterlibatan anak dalam berbagai praktik kekerasan.
Artikel ini berargumen bahwa keluarga menjadi kelompok penting
yang berperan dalam mengurangi pengaruh buruk lingkungan sosi-
al ketetanggaan terhadap anak (pemuda). Keluarga memiliki peran
dalam mendorong atau mengurangi tumbuhnya perilaku kekerasan,
pandangan mengenai kekerasan maupun keterlibatan anak dalam
kekerasan kolektif (tawuran). Mekanisme kontrol untuk mengurangi
atau menumbuhkan perilaku kekerasan kepada anak ini dapat di-
lihat dengan jelas prosesnya dalam pola-pola asuh yang diterapkan
keluarga. Sayangnya, pola asuh yang permisif menyebabkan lemah-
nya ikatan sosial antara anak dengan keluarga sehingga kontrol yang
dilakukan keluarga menjadi lemah.

K E K E R A S A N KO L E K T I F DA N
KO N T RO L S O S I A L K E L UA RG A

K e k e r a sa n K ol e k t if

Ada banyak definisi mengenai kekerasan, secara umum kekeras-


an didefinisikan sebagai segala bentuk perilaku dari individu atau
kelompok yang mengancam, menyebabkan kerusakan atau cedera
fisik maupun psikologis kepada individu atau kelompok lain (Ray
2012). Kekerasan dapat dilakukan secara individu maupun kelompok
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 22 , No. 2 , Ju li 2017: 159-184
KONTROL SOSIAL KELUARGA | 163

(kolektif). Tulisan ini akan membatasi pembahasan pada kekerasan


secara kolektif. Varshney (2010) menjelaskan bahwa kekerasan ko-
lektif merupakan kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang
terhadap kelompok lain, kelompok terhadap individu, oleh negara
terhadap sekelompok orang dan sekelompok orang terhadap badan
atau lembaga negara. Kekerasan kolektif ada yang memiliki cakupan
luas dan besar seperti kerusuhan dan ada yang cakupannya lebih kecil
dan biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari misalnya adalah cekcok
atau keributan antar kampung. Kekerasan kolektif dengan kekerasan
individual memiliki perbedaan. Menurut Tilly (2003) kekerasan ko-
lektif harus memenuhi beberapa syarat yaitu menyebabkan kerusakan
fisik dan psikis, baik kekerasan secara langsung maupun tidak lang-
sung, harus paling tidak terdiri dari dua atau lebih orang penyebab
kerusakan dan kekerasan merupakan hasil dari koordinasi di antara
orang yang melakukan kerusakan tersebut.
Ada beberapa aspek yang menurut Tilly harus diperhatikan dalam
pembahasan mengenai kekerasan kolektif yaitu aspek ide, perilaku
masyarakat, dan interaksi. Ide berkaitan dengan kesadaran yang me-
landasi tindakan dari individu. Kesadaran ini secara sederhana dapat
diterjemahkan sebagai konsep, kepercayaan, nilai, tujuan yang mere-
sap dalam diri dan menjadi landasan bertindak seseorang, sehingga
ketika seseorang sudah memiliki nilai untuk cenderung bertindak
agresi kepada pihak lain, maka lebih mudah baginya untuk terlibat
dalam kekerasan kolektif. Kedua adalah aspek perilaku masyarakat
(behavior people) yang menekankan pada otonomi atas motif, dorong-
an serta kesempatan yang ada pada masyarakat umum. Aspek tersebut
pada dasarnya menggambarkan respons dan tindakan yang biasa di-
lakukan masyarakat luas dalam kaitannya dengan hal-hal yang dapat
menimbulkan sikap agresi dan kekerasan kolektif misalnya isu-isu
mengenai dominasi, penghormatan, keamanan, keadilan. Apakah da-
lam hal-hal yang berkaitan dengan itu masyarakat cenderung untuk
melakukan perilaku agresif atau kekerasan kolektif atau tidak. Ketiga
dan merupakan aspek yang dapat menghubungkan kedua aspek di
atas adalah aspek interaksi. Menurut Tilly aspek ini berkaitan de-
ngan transaksi atau hubungan antara individu dan kelompok. Aspek
interaksi menjadi aspek utama yang ditekankan Tilly karena interaksi
dapat memunculkan ide mengenai agresi pada pihak lain serta mere-
alisasikan ide tersebut menjadi tindakan agresi yang nyata. Bentuk-

M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 22 , No. 2 , Ju li 2017: 159-184


16 4 | DW I SEMBODO AJI

-bentuk kekerasan kolektif yang ada menurut Tilly misalnya violent


rituals, coordinated destruction, opportunism, brawl dan scattred attack.

M E T O DE PE N E L I T I A N

Artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif. Fokus utama arti-


kel ini adalah pembahasan mengenai proses kontribusi keluarga dalam
mengontrol tumbuhnya perilaku kekerasan serta keterlibatan anak
dalam kekerasan kolektif (tawuran) di komunitas miskin dan rawan
konflik, sehingga pendekatan kualitatif yang mengedepankan pada as-
pek proses secara mendalam dinilai sangat sesuai. Teknik pengumpul-
an data yang digunakan peneliti adalah wawancara mendalam dengan
teknik penentuan informan purposive. Ada tiga keluarga yang diteliti.
Keluarga tersebut memiliki karakteristik tinggal di dalam komunitas
ketetanggaan yang kumuh, padat dan miskin serta memiliki anak
yang terlibat dalam kasus kekerasan (tawuran). Anak yang dimaksud
merupakan anak yang masuk dalam kategori pemuda yaitu mereka
yang berusia 16-30 tahun5 dan belum menikah. Pada masa inipemu-
da masih memiliki kerawanan untuk terlibat dengan berbagai kasus
kekerasan (Munawar 2013). Wawancara mendalam akan dilakukan
kepada sembilan informan dengan rincian tiga orang informan dari
masing-masing keluarga yaitu orang tua (ayah dan ibu) dan satu anak
terlibat dalam kasus kekerasan. Wawancara dilakukan kepada orang
tua dan anak agar diperoleh informasi yang objektif mengenai pro-
ses pembentukan atau kontrol keluarga terhadap perilaku kekerasan
dan keterlibatan mereka dengan tawuran, termasuk informasi objektif
mengenai kondisi lingkungan ketetanggaan yang mereka tempati. Pe-
nelitian dilakukan di daerah Johar Baru, Jakarta Pusat, yang meru-
pakan salah satu wilayah di Jakarta dengan tingkat kerawanan sosial
(konflik) yang tinggi. Sebagai penunjang, penulis juga menggunakan
data sekunder tambahan dari hasil penelitian sebelumnya maupun
data sekunder lain yang relevan dengan penelitian ini.

KO N T RO L S O S I A L DA N P O L A A S U H

Hirschi’s (dalam Aguirre 2002, Barsani 1988; Black 1984; Hof-


fman, 2003; dan Krohn 1984) menjelaskan hubungan antara peri-

5 Berdasarkan UU No. 40 Tahun 2009 mengenai kepemudaan. Pemuda didefinisikan


sebagai warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan
perkembangan yang berusia 16-30 tahun.

M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 22 , No. 2 , Ju li 2017: 159-184


KONTROL SOSIAL KELUARGA | 165

laku kekerasan pada individu dengan kontrol sosial melalui ikatan


sosial. Kontrol sosial sangat berkaitan dengan ikatan sosial individu
dengan institusi di dalam masyarakat (keluarga, sekolah). Ada empat
hal dasar yang bisa mempengaruhi ikatan sosial seseorang yaitu at-
tachment, commitment, involvement, dan belief. Attachment berkaitan
dengan perasaan sensitif dan penghargaan terhadap pendapat orang
lain. Dalam keluarga attachment dapat terbangun melalui interaksi
antar anggota keluarga. Commitment berhubungan dengan keputus-
an untuk bertindak sesuai dengan aturan dan norma, baik di dalam
maupun di luar keluarga. Komitmen terlihat dari kesungguhan ke-
teguhan menjunjung tinggi nilai keluarga maupun masyarakat yang
baik dalam berbagai hal. Involvement berkaitan dengan keterlibatan
seseorang dalam kegiatan di dalam keluarga dan masyarakat. Belief
berkaitan dengan keyakinan terhadap nilai dan norma konvensional
yang ada dalam masyarakat. Empat elemen dasar ini berguna untuk
melihat sejauh mana ikatan sosial yang dimiliki oleh individu.
Pada keluarga, kontrol dan ikatan sosial dibangun melalui sosiali-
sasi dalam bentuk pola asuh. Parsons (dalam Klein dan White 2007)
berpendapat bahwa keluarga merupakan kelompok mendasar dalam
masyarakat serta memiliki fungsi sosialisasi. Sosialisasi merupakan
proses belajar, serta berkaitan dengan proses sistem pola hubungan so-
sial dan interaksi di antara anggota keluarga (Klein dan White 2007).
Fungsi sosialisasi dalam keluarga adalah untuk memproduksi aktor
yang akan menjadi bagian dari masyarakat. Keluarga berusaha meng-
ajarkan, menanamkan, membangun serta mengontrol individu agar
bisa hidup bermasyarakat, tidak bertindak menyimpang dan berlaku
sesuai dengan nilai dan norma yang baik dalam masyarakat. Melalui
mekanisme ini pula kontrol sosial dan ikatan sosial individu dengan
institusi keluarga terbangun. Baumrind (1966) menjelaskan mengenai
tiga jenis pola asuh, yaitu pola asuh otoriter, pola asuh permisif, dan
pola asuh otoritatif. Pola asuh otoriter ditandai dengan pola asuh yang
memberikan pengaturan dan batasan yang tegas dalam berbagai hal
serta sedapat mungkin anak berlaku sesuai dengan peraturan yang
dibuat oleh orang tua. Pola asuh ini cenderung kurang responsif ter-
hadap hak dan keinginan anak karena menekankan ketaatan anak
tanpa memberi kesempatan anak untuk bernegosiasi.
Pola asuh permisif ditandai dengan pola asuh yang responsif yaitu
orang tua lebih melihat keinginan anak serta tidak terlalu memberi-
kan tuntutan untuk berlaku sesuai dengan yang mereka harapkan.

M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 22 , No. 2 , Ju li 2017: 159-184


16 6 | DW I SEMBODO AJI

Dalam hal ini terdapat ketidak konsistenan dalam menerapkan nilai


kedisiplinan, di mana perilaku anak cenderung dibiarkan dan tidak
diberikan hukuman walaupun dinilai buruk. Pola asuh otoritatif di-
maknai sebagai pola asuh yang mempertahankan dan responsif, yaitu
keadaan di mana orang tua menggunakan pendekatan yang rasional
dan demokratis. Orang tua memberikan peraturan dan pemahaman
kepada anak mengapa hal itu diterapkan dalam keluarga serta mem-
berikan ruang negosiasi mengenai nilai dan norma keluarga. Dari hal
tersebut maka pola asuh juga dapat dikatakan sebagai sebuah meka-
nisme sosialisasi dan kontrol terhadap tumbuh atau berkurangnya pe-
rilaku kekerasan pada anak. Pengaruh dari lingkungan ketetanggaan
yang buruk dapat dikontrol oleh keluarga melalui pola asuh tersebut.
Kondisi keluarga yang berbeda termasuk penerapan pola asuh berbe-
da dapat memberikan implikasi yang berbeda pula pada meknisme
kontrol yang ada dalam keluarga dan terbentuknya perilaku anak.

P O L A A S U H PE R M I S I F DA N L E M A H N Y A I K ATA N S O S I A L

Pola asuh sebagai sebuah kesatuan interaksi diantara anggota ke-


luarga (secara kusus antara orang tua dan anak) menjadi basis dalam
pembentukan ikatan sosial individu dengan institusi keluarga (Klein
dan White 2007). Artikel ini menunjukkan bahwa keluarga informan
menerapkan pola asuh permisif. Ada 3 hal hal utama dalam interaksi
sehari-hari di dalam keluarga informan yang menunjukkan penerap-
an pola asuh permisif. Ketiga hal itu adalah konsistensi sosialisasi,
praktik permisif (pembiaran) dan kecenderungan anggota keluarga
terutama orang tua untuk mengikuti keinginan anak. Hanya pada
waktu tertentu anak ditanamkan nilai dan norma secara langsung
melalui peringatan verbal. Proses tersebut lebih sering dilakukan ke-
tika anak telah terlibat dalam kasus tertentu misalnya kekerasan. Se-
luruh keluarga informan hanya memberikan batasan nilai dan norma
secara umum yang merupakan nilai normatif dalam masyarakat yaitu
penghormatan. “Pokoknya anak itu yang penting hormat dan ga bikin
susah orang tua” (wawancara dengan orang tua X, 17 April 2016).
Term “menyusahkan orang tua” merujuk pada kegiatan anak yang
dapat mengganggu kestabilan keuangan keluarga seperti berjudi dan
semacamnya.
“Tidak menyusahkan orang tua” lebih banyak diartikan dengan
hal-hal yang berkaitan dengan konteks ekonomi menunjukkan kondisi

M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 22 , No. 2 , Ju li 2017: 159-184


KONTROL SOSIAL KELUARGA | 167

kelas sosial keluarga mereka. Kondisi keluarga informan yang miskin


membuat hal-hal yang berkaitan dengan uang menjadi masalah yang
cukup sensitif serta dapat menimbulkan pertengkaran di dalam kelu-
arga. Misalnya apa yang terjadi pada keluarga informan L.

Tuh si Y pernah minta modal buat bikin usaha pulsa ame yang
lain. Emak kasih 500 rebu. Usaha kaga jalan, duit malah abis
buat beli burung. Emak marahin banget udah tau keluarga susah,
bikin repot aja. Engga sedikit itu duitnya, yah tapi emak maapin,
namanya juga anak kan ujung-ujungnya yaudah-lah (wawancara
dengan orang tua Y tanggal 23 April 2016)

Sosialisasi nilai dan norma yang tidak secara jelas dan menyeluruh
disampaikan memungkinkan munculnya fleksibilitas intepretasi yang
berbeda antara anak dengan orang tua terhadap nilai dan norma yang
berusaha ditanamkan keluarga. Dalam konteks kekerasan anak dapat
mengintepretasikan terlibat dengan kekerasan menjadi hal yang diper-
bolehkan asal tidak menyinggung fungsi ekonomi keluarga. Kejelasan
dan konsistensi nilai dan norma yang disampaikan orang tua kepada
anak merupakan hal yang penting sebagai landasan bertindak serta
menjadi tahap awal dalam usaha membangun kontrol sosial keluarga.
Kedua, praktek-praktek pembiaran banyak terjadi dalam kehidup-
an sehari-hari. Bagi orang tua, rasa “kasihan” menjadi argumen klasik
untuk melegitimasi tindakan-tindakan permisif terhadap perbuatan
anak yang dapat merugikan diri atau keluarga. Berikut adalah salah
satu contoh tindakan permisif yang dilakukan oleh orang tua.

gua pernah ketahuan nyimpen gele6 dirumah, gua bilang aja punya
temen. Sebenernya nyokap gua sih tau tapi kayanya ga marah,
cuma bilangin doang asal bukan punya gua. (wawancara dengan
Z pada 4 Mei 2016)

Emak akui kalo setau emak emang lingga beberapa kali ikut tuh
tawuran, pernah ampe luka, yudah-lah paling emak bilangin do-
ang jangan gitu lagi tar die juga berubah, kasian kalo dimarah-
-marahin ape digimanain, namanya anak muda kan ada nakalnya
udah gitu sama temen-temen juga kan bukan die doang die juga

6 Merupakan salah satu istilah yang digunakan untuk menyebut ganja.

M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 22 , No. 2 , Ju li 2017: 159-184


16 8 | DW I SEMBODO AJI

khawatir kali namanye diserang kan jaga kampung” (wawancara


dengan orang tuadari informan Y pada 23 April 2016)

Apa yang disampaikan oleh informan di atas menunjukkan bah-


wa praktik-praktik permisif terjadi pada hal yang berbahaya bah-
kan dapat bersinggungan dengan hukum pidana. Tindakan permisif
semacam itu menjadi awal dari pembiasaan untuk melakukan pe-
nyimpangan atau kekerasan termasuk terlibat dalam tawuran. Kontrol
langsung yang dilakukan oleh keluarga adalah kontrol verbal berupa
nasihat dan omelan. Mekanisme hukuman atau pengawasan lanjutan
sebagai salah satu bentuk kontrol kepada anak masih lemah. Kontrol
dan pengawasan orang tua dan anggota keluarga cenderung bersifat
sementara, yaitu pasca anak melakukan perbuatan yang dianggap
merugikan. Implikasi yang muncul adalah tidak adanya efek jera
pada anak. Secara sosiologis, proses sosialisasi dalam pola asuh tidak
terbatas pada aspek verbal tetapi proses belajar dalam keluarga meli-
puti seluruh rangkaian interaksi anak dan anggota keluarga terutama
antara orang tua dan anak (Klein dan White 2007). Segala macam
kegiatan dalam keluarga memiliki aspek simbolik dalam memberikan
pembelajaran kepada anak. Praktik permisif yang dilakukan orang
tua, seperti berpura-pura tidak tahu atau melindungi anak yang me-
lakukan kesalahan secara simbolik menjadi pembelajaran atas pem-
benaran perbuatan anak yang salah.
Ketiga, mengenai kecenderungan orang tua untuk menuruti kei-
nginan anak. Orang tua informan cenderung hanya setuju ketikaa-
nak sering membolos dari sekolah atau tempat bekerja dengan alasan
malas atau tidak nyaman. Orang tua tidak menindaklanjuti lebih
jauh dengan memberikan solusi. Tidak tanggapnya orang tua dalam
memberikan solusi berpengaruh pada proses kontrol serta pendidikan
nilai pada anak dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah (Cros-
swhite dan Kelpermen 2008). Orang tua pada dasarnya merupakan
pihak yang memiliki kuasa di dalam keluarga (Anderson 2010), tetapi
fakta di atas memperlihatkan bahwa orang tua tidak menggunakan
kekuatannya untuk memberikan batasan kepada anak dan memilih
bersifat permisif.
Pola asuh menjadi sebuah proses sosialisasi dan pendidikan dalam
keluarga. Salah satu tujuan dari pendidikan seperti diungkapkan oleh
Freire (2005) untuk menciptakan individu yang merdeka. Merdeka
tidak berarti bebas tanpa batasan, merdeka berarti memiliki kemam-

M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 22 , No. 2 , Ju li 2017: 159-184


KONTROL SOSIAL KELUARGA | 169

puan untuk berpikir kritis dan berpihak kepada kebaikan dan kebe-
naran. Senada dengan itu Ki Hajar Dewantara (dalam Suparlan 2014)
menyatakan bahwa secara filosofis tujuan segala bentuk pendidikan
adalah untuk memanusiakan manusia. Keluarga menjadi salah satu
dari tiga pusat pendidikan utama (selain pendidikan dalam pergu-
ruan dan pendidikan dalam masyarakat luas) dalam mencapai tuju-
an filosofis pendidikan tersebut. Pola asuh permisif yang diterapkan
oleh keluarga informan kenyataannya menghasilkan individu yang
“merdeka” tetapi bukan dalam makna seperti apa yang disampaikan
oleh Freire maupun Ki Hajar Dewantara. Mereka merdeka karena
minimnya batasan diri dalam bertindak dan rendahnya kemampuan
melakukan self-control sehingga mudah melakukan kekerasan.
Baumrind (1991) menjelaskan bahwa semua jenis pola asuh pada
dasarnya memiliki dua aspek dasar yaitu kontrol dan kasih sayang.
Kontrol dalam pola asuh mengacu pada sejauh mana orang tua me-
ngelola perilaku anaknya sedangkan kasih sayang berkaitan dengan
sejauh mana orang tua dapat responsif dan menerima perilaku anak
(Baumrind 1991). Penerapan pola asuh permisif pada keluarga in-
forman diwarnai dengan aspek emosional yang ditunjukkan melalui
sikap-sikap pembiaran atas dasar rasa “kasihan” pada anak. Dam-
paknya, anak minim panduan nilai yang menjadi dasar bagi batasan-
-batasan dalam bertindak. Praktik–praktik permisif yang dilakukan
orang tua atau anggota keluarga lain terus membangun pembiasaan
(budaya) dalam diri anak untuk memaklumi kegiatan yang menyim-
pang.
Penerapan pola asuh permisif menyebabkan keluarga informan
memiliki ikatan sosial yang lemah dan kontrol sosial menjadi lebih
sulit dilakukan. Hirschi’s (dalam Aguirre 2002, Barsani 1988; Black
1984; Hoffman, 2003; dan Krohn 1984) menunjukkan empat aspek
yang dapat menjelaskan bagaimana kondisi ikatan sosial antara in-
dividu dengan institusi. Keempat aspek tersebut adalah attachment,
involvement, belief, dan commitment. Pola asuh permisif melahirkan
ikatan emosial yang kuat tetapi di lain pihak menyebabkan komitmen
yang lemah. Bagi anak, tindakan-tindakan permisif yang dilakukan
orang tua dan anggota keluarga lain dianggap sebagai sebuah kasih
sayang kemudian menimbulkan ikatan emosi mereka dengan orang
tua dan keluarga.
Aspek attachment seperti diungkapkan Hirschi (dalam Aguirre
2002, Barsani 1988; Black 1984; Hoffman, 2003; dan Krohn 1984)

M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 22 , No. 2 , Ju li 2017: 159-184


170 | DW I SEMBODO AJI

adalah aspek yang sangat berhubungan dengan fungsi dasar dari ke-
luarga yaitu proses bagaimana anggota keluarga memperlakukan ang-
gota keluarga lainnya dengan kasih sayang. Attachment tidak selalu
dinilai dari sudut pandang logika, tetapi juga dari moralitas dan aspek
emosional, sehingga secara logis tindakan permisif pada keluarga in-
forman menimbulkan kecenderungan pemahaman yang buruk tetapi
secara emosional sikap permisif pada hal-hal yang berbahaya seperti
terlibat dalam tawuran atau perjudian dianggap sebagai sebuah ben-
tuk kasih sayang dan pembelaan kepada anak. Tindakan orang tua
informan di Johar Baru lebih mengarah kepada tindakan emosional,
dengan pemahaman bahwa orang tua yang baik adalah orang tua
yang bisa memenuhi keinginan serta memaklumi tindakan anak.
Implikasi lain dari penerapan pola asuh permisif pada keluarga
informan adalah komitmen yang lemah. Komitmen berkaitan dengan
kegiatan individu dalam mematuhi serta memprioritaskan nilai dan
norma yang disosialisasikan oleh keluarga. Komitmen tidak muncul
tanpa adanya kepercayaan. Ada setidaknya dua hal yang menyebabkan
anak tidak memiliki komitmen terhadap nilai yang baik dalam kelu-
arga. Pertama adalah akibat sikap pola asuh permisif dalam keluarga,
ada inkonsistensi dalam proses sosialisasi nilai yang baik dan buruk,
sehingga anak tidak mendapatkan panduan nilai yang jelas dan cu-
kup mengenai batasan tindakan yang baik dan buruk. Kedua adalah
minimnya keterlibatan anak dengan kegiatan keluarga. Keterlibatan
anak dalam kegiatan keluarga merupakan hal yang penting untuk
menumbuhkan interaksi yang lebih intensif yang membangun ikatan
sosial dengan keluarga.

Yah gua sih jarang di rumah. Lebih sering di luar maen sama
anak-anak aja. Kalo pas kumpul ama keluarga paling nonton TV
doang, kalo dateng ke saudara apa undangan apa kemana gua kaga
ikut, males gua, kaga enak malu nanti ditanyain udah kerja apa
belom. Lagian gua udah gede juga kaga perlu ikut-ikut gituan.
(wawancara dengan Z, 4 Mei 2016)

Gua jarang dirumah paling malem doang, kumpul ama keluarga


juga bentar doang, ya paling nonton TV atau pas gua balik ma-
kan, yang lainnya mah kaga, pergi-pergi gitu, ikut ketemu saudara.
(wawancara dengan Y, 4 Mei 2016)

M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 22 , No. 2 , Ju li 2017: 159-184


KONTROL SOSIAL KELUARGA | 171

Kutipan wawancara di atas menunjukkan interaksi yang minim


antara anak dengan keluarganya terutama orang tua. Interaksi dan
keterlibatan dengan kegiatan keluarga yang minim menyebabkan
potensi ikatan sosial menjadi berkurang. Menurut informan (anak),
mereka merasa yakin bahwa apa yang disampaikan keluarga adalah
benar, sayangnya konsistensi orang tua dalam mengawasi tindakan
anaknya menjadi permasalahan tersendiri. Gambaran komitmen anak
kepada nilai yang diajarkan keluarga terlihat dari keterlibatan mereka
dalam tawuran. Wawancara dengan informan X, Y dan Z menun-
jukkan bahwa beberapa kali mereka melakukan kekerasan kepada
orang lain hanya karena hal sepele. Misalnya secara tidak sengaja
saling bertatapan dengan orang lain dan terprovokasi, atau mengikuti
teman yang sedang tawuran tanpa mengetahui alasan dan tujuan,
padahal ada larangan dari keluarga mereka melarang terlibat dalam
tawuran jika bukan dalam rangka “membela kampung”.7 Keputusan
untuk mengikuti ajakan teman yang berbeda nilai dengan keluarga
menggambarkan komitmen yang lemah.
Elemen sosial yang diungkapkan oleh Hirschi’s tidaklah selalu
sama pada setiap aspek. Kondisi yang baik pada suatu aspek tidak
selalu diikuti kondisi yang baik pada aspek yang lain. Sangat me-
mungkinkan bagi seluruh aspek untuk berdinamika. Lemahnya ikat-
an sosial dalam diri informan kepada keluarganya bermakna sulitnya
kontrol sosial kepada anak. Secara umum pola asuh melingkupi se-
luruh rangkaian interaksi antara anak dan orang tua, akan tetapi
konsep pola asuh sangat menekankan orang tua sebagai pihak utama
yang memiliki kekuasaan dalam keluarga dan berperan dalam me-
nentukan perkembangan anak. Kondisi pola asuh di dalam keluarga
tidak dapat dilepaskan dari kapabilitas orang tua. Masyarakat In-
donesia masih menganggap bahwa pengasuhan merupakan kegiatan
yang alami dapat dilakukan oleh ayah dan ibu tanpa perlu dipelajari
bagaimana bentuk pola pengasuhan yang baik. Pandangan semacam
itu ini-lah yang menjadi salah satu penyebab mengapa karakteristik
pola asuh permisif yang muncul pada keluarga informan.
Kemampuan untuk menerapkan pola asuh yang tepat memang
tidak lepas dari konteks kelas sosial. Masyarakat kelas bawah biasanya
memiliki pendidikan yang rendah dan akses terhadap sumber daya
yang meningkatkan pemahaman maupun keterampilan pengasuh-

7 Berdasarkan informasi dari orang tua Y dan Z

M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 22 , No. 2 , Ju li 2017: 159-184


172 | DW I SEMBODO AJI

an yang terbatas, akibatnya orang tua tidak dapat menerapkan pola


asuh yang baik sesuai dengan kondisi keluarga atau lingkungan sosial
mereka. Seluruh orang tua dalam keluarga informan memiliki latar
pendidikan yang rendah terutama ibu. Proses pengasuhan yang dila-
kukan hanya didasarkan pada apa yang mereka pelajari dari orang tua
mereka dahulu serta nilai dan norma yang ada di lingkungan sosial
komunitas. Praktik-praktik permisif yang dilakukan oleh orang tua
lebih banyak dilakukan oleh ibu karena interaksi anak lebih banyak
dilakukan dengan ibu dibanding dengan ayah. Penerapan pola asuh
yang permisif pada keluarga menyebabkan ikatan sosial yang lemah.
Lemahnya ikatan sosial berhubungan dengan kontrol sosial bagi pe-
rilaku menyimpang dan keterlibatan anak dalam tawuran (kekerasan
kolektif).

KO N T RO L S O S I A L K E L UA RG A , PE N G A RU H
L I N G K U N G A N K E T E TA N G G A A N
DA N K E K E R A S A N KO L E K T I F

Darmajanti (2013) menjelaskan bahwa tawuran sebagai bentuk


kekerasan kolektif telah menjadi “kebiasaan” dalam kehidupan warga
di Johar Baru. Jika kita merujuk pada konsep Tilly mengenai keke-
rasan kolektif, tawuran yang sering terjadi di Johar Baru merupakan
bentuk dari violent ritual atau brawls. Umumnya ada dua ciri tawuran
di Johar baru. Pertama adalah ciri tawuran yang masuk ke dalam
violent rituals, yaitu sebuah kekerasan kolektif lekat dengan persa-
ingan dalam memperebutkan atau mempertahankan sumber daya
(Tilly 2003). Hasil wawancara dengan informan ditunjang dengan
hasil penelitian sebelumnya dari Darmajanti memperlihatkan bahwa
tawuran yang terjadi di Johar Baru sering kali meluas dan berbasis
wilayah spasial (wilayah tempat tinggal/pemukiman), artinya konflik
sosial yang terjadi disebabkan ketika suatu pihak menyerang wilayah
pemukiman pihak lain. Pihak yang merasa diserang harus memperta-
hankan wilayahnya. Kedua tawuran melibatkan wilayah spasial tetapi
terjadi karena adanya rasa ekspresif yaitu kekerasan yang disebabkan
oleh rasa benci, tidak suka atau sekadar berusaha mengusik kelompok
lain (Larry Ray 2012). Kekerasan ekspresif bisa terjadi di mana saja
dan biasanya tidak direncanakan. Kekerasan ekspresif berbeda de-
ngan kekerasan instrumental yaitu kekerasan yang terjadi merupakan
kekerasan yang sengaja dilakukan sebagai sebuah instrumen untuk

M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 22 , No. 2 , Ju li 2017: 159-184


KONTROL SOSIAL KELUARGA | 173

mendapatkan sumber daya atau menghindari kehilangan sumber daya


serta direncanakan dengan baik (Larry Ray 2012). Di Johar Baru,
tawuran dalam konteks ekspresif biasanya terjadi ketika sekelompok
anak nongkrong bertemu dengan kelompok nongkrong lain. Gesekan
antar kelompok terkadang disebabkan oleh tindakan iseng dari satu
orang menggoda kelompok lain. “Di sana kalo gua ape lu iseng aja
liatin orang juga bisa tawuran apalagi pas lagi pada nongkrong, gam-
pang dah bikin tawuran, banyak yang kaya gitu” (wawancara dengan
L pada 4 Mei 2016). Tawuran ini tidak selalu berbasis wilayah spasial
dan bisa terjadi di mana saja misalnya perkelahian di jalan. Darma-
janti (2013) juga menegaskan bahwa kekerasan di Johar Baru meru-
pakan wujud ekspresi dari komunitas marginal yang terekslusi. Hal
tersebut menunjukkan bahwa Johar Baru memang memiliki konteks
lingkungan sosial ketetanggaan yang buruk.
Darmajanti (2013) dan Munawar (2013) menjelaskan bahwa Johar
Baru merupakan komunitas yang memiliki kerawanan sosial tinggi8.
Selain seringnya terjadi konflik antar warga berupa tawuran, wilayah
ini juga merupakan wilayah dengan kepadatan penduduk yang besar,
bahkan menjadi salah satu yang paling padat di wilayah Jakarta.
Kondisi pemukiman yang padat diperparah dengan kondisi ekono-
mi warga yang miskin. Secara sosiologis faktor struktur lingkungan
sosial tersebut dapat menjadi penunjang mengapa kekerasan kolektif
sering terjadi di wilayah ini. Informan mengatakan bahwa warga di
komunitas ini memiliki kebiasaan berkumpul di pinggir jalan atau
wilayah-wilayah yang dianggap “enak” seperti jembatan dan lainnya
untuk bermain atau hanya duduk-duduk saja. Kelompok nongkrong
bervariasi mulai dari anak-anak sampai pemuda dan orang tua. Ke-
biasaan ini tidak lepas dari aspek struktural yaitu kondisi kepadatan
pemukiman dan kondisi tidak nyaman di keluarga.

ya kalo nongkrong paling ngobrol duduk-duduk aje, sambil nge-


rokok. Ya gua sih seringnya main deket kandang burung daerah
rumah gua, kalo yang lain biasanya pada di jembatan, pinggir
jalan. (wawancara dengan Y pada 4 Mei 2016).

Secara umum tawuran di Johar Baru melibatkan banyak pihak,


mulai dari orang tua, pemuda dan anak-anak, meskipun dari segi

8 Kerawanan sosial tinggi merupakan indeks gabungan yang terdiri dari berbagai ma-
cam indikator seperti kemiskinan, kepadatan, konflik sosial dll.

M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 22 , No. 2 , Ju li 2017: 159-184


174 | DW I SEMBODO AJI

pemicu, pemuda merupakan pihak yang sering menyebabkan tawuran


terlebih dahulu baru kemudian meluas dan disusul keterlibatan dari
pihak lain. “Wah kalo tawuran dari anak-anak remaja ampe orang tua
pada ikut apa lagi kalo tawuran udah gede” (wawancara dengan X, 3
Mei 2016). Keterlibatan pemuda dalam tawuran serta kebiasaan un-
tuk menyelesaikan masalah dengan kekerasan merupakan salah satu
produk dari pengaruh keluarga dan lingkungan sosial ketetanggaan
di komunitas. Pemuda lebih sering terlibat dengan tawuran ketika
mereka sedang bermain dengan teman. Interaksi yang intensif dengan
teman bermain menumbuhkan kepercayaan dan solidaritas. Sayang-
nya nilai yang disampaikan di dalam kelompok bermain belum tentu
merupakan nilai yang baik. Kelompok pemuda termasuk kelompok
bermain yang tidak terkontrol lebih memiliki potensi untuk mela-
kukan kenakalan termasuk kekerasan (Nilan, Demartoto, Wibowo
2011; Harding 2009).
Jack dan Meyner (dalam South dan Crowder 1999; Levental dan
Brook-Gunn 2000; Sampson, Marenoff dan Gannon-Rowley 2002;
Galster 2010) menegaskan adanya mekanisme sosial interaktif dalam
proses pengaruh lingkungan ketetanggaan terhadap perilaku anak.
Proses interaksi dan proses belajar karena pengaruh pergaulan antara
pemuda dengan teman sebaya di Johar Baru dapat diartikan sebagai
sebuah mekanisme collective socialization. Dalam lingkungan ketetang-
gaan, pemuda mendapatkan pemahaman mengenai nilai dan norma
dari apa yang mereka saksikan dan dari aktor yang sering berinter-
aksi dengan mereka di dalam terutama melalui teman bermain. Pada
kelompok bermain/nongkrong biasanya keterlibatan dalam tawuran
didasarkan pada rasa solidaritas untuk ikut membantu teman dalam
bertahan dari serangan kelompok luar. Isu pertemanan (solidaritas)
menjadi salah satu faktor pendorong untuk terlibat dalam tawuran.
Isu mengenai tindakan pemuda yang penuh kekerasan serta ke-
terlibatan mereka dalam tawuran sebenarnya diwarnai oleh isu me-
ngenai keamanan sumber daya (keamanan anggota keluarga, rumah,
fasilitas, wilayah dan sebagainya). Seperti yang telah dijelaskan se-
belumnya bahwa tawuran yang terjadi di Johar Baru bukan hanya
berbasis pada kelompok bermain atau kelompok nongkrong tetapi juga
biasanya berbasis pada konteks spasial wilayah. Seluruh informan me-
ngatakan bahwa alasan mereka ikut terlibat dengan tawuran adalah
untuk mempertahankan diri dan membela kampung serta melindungi
keluarga dan teman.

M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 22 , No. 2 , Ju li 2017: 159-184


KONTROL SOSIAL KELUARGA | 175

Gua ikut tawuran karna gua kampung gua diserang, kalo kita ga
lawan kampung kita bisa abis, mungkin bisa dibakar kali kaya
bagian lain. Gua juga khawatir kan sama ortu gua apalagi gua
punya ade kecil (Wawancara dengan informan Y pada 4 mei 2016)

Kekhawatiran mengenai kondisi keluarga yang akan mengalami


luka serta kerusakan tempat tinggal membuat tawuran biasanya melu-
as dan lebih banyak melibatkan lebih banyak pihak. Kekhawatiran ini
juga menyebabkan mereka lebih memilih bereaksi dengan melakukan
kekerasan dibanding melapor kepada polisi.
Isu keamanan sumber daya menjadi salah satu faktor yang dapat
memperluas pihak yang terlibat dalam konflik termasuk orang tua.
Kondisi itu menggambarkan bagaimana posisi/pandangan keluarga
terhadap tawuran yang sering terjadi di Johar Baru. Meskipun orang
tua informan tidak terlibat secara langsung ketika terjadi tawuran
warga, mereka menyaksikan aksi tawuran yang dilakukan anaknya
namun tidak mampu untuk menarik anak keluar dari tawuran. In-
dikasi lemahnya ikatan sosial terlihat dari kondisi itu, karena kontrol
langsung yang dilakukan orang tua kepada anak pada saat tawuran
berlangsung, tidak mampu menghentikan anak untuk berhenti ikut
tawuran.
Keterlibatan banyak orang tua dalam tawuran warga disaksikan
oleh berbagai pihak di dalam komunitas termasuk anak-anak. Mela-
lui apa yang disaksikan baik pemuda maupun anak-anak mengalami
proses belajar dari orang lain. Keterlibatan orang tua dalam tawuran
secara tidak langsung menjadi role model bagi anak dan menum-
buhkan pandangan bahwa perilaku kekerasan merupakan perilaku
yang boleh dilakukan. Terlibat dengan tawuran sebagai mekanisme
jaga diri agar tidak kehilangan sumber daya merupakan hal yang
harus dilakukan. Akers (dalam Hoffman 2003; dan Krohn 1984)
telah membahas kondisi semacam itu, menurutnya kekerasan tidak
semata dipelajari melalui pengalaman melakukan, secara langsung
tetapi juga melalui social learning yang dipelajari melalui pemodelan.
Perilaku kekerasan dan keterlibatan dalam kekerasan kolektif, seperti
tawuran, merupakan hasil dari social learning yang dipelajari secara
langsung maupun tidak langsung dalam interaksi sehari-hari. Melalui
mekanisme ini rantai kekerasan berupa konstruksi ide mengenai agresi
terus terpelihara di Johar Baru. Lemahnya kontrol keluarga dan tidak

M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 22 , No. 2 , Ju li 2017: 159-184


176 | DW I SEMBODO AJI

konsistennya keluarga pada konteks ini ikut menumbuhkan perilaku


kekerasan anak dan keterlibatannya dengan tawuran.
Charles Tilly (2003) berargumen bahwa aspek penting dalam tin-
dakan kekerasan kolektif adalah interaksi sosial. Temuan lapangan
penelitian ini menegaskan hal itu. Interaksi sosial dengan orang lain
yang berada di lingkungan ketetanggaan terutama peer group dan
intensitas tawuran yang sering melibatkan orang-orang yang menjadi
role model dalam komunitas berimplikasi pada tertanamnya pandang-
an mengenai kekerasan di dalam diri anak/pemuda di lingkungan
tersebut. Interaksi dengan pihak lain menegaskan nilai pribadi, per-
bedaan dengan kelompok lain dan menumbuhkan ide, termasuk ide
mengenai tindakan agresif.
Lalu di mana posisi dan peran keluarga? Parsons (dalam Klein dan
White 2007) menjelaskan bahwa keluarga merupakan kelompok dasar
dalam masyarakat dan memiliki fungsi sosialisasi primer. Pembahasan
di subbab sebelumnya telah menjelaskan mengenai kondisi pola asuh
dan ikatan sosial yang ada pada keluarga informan. Pola asuh permisif
pada keluarga informan berimplikasi pada ikatan sosial yang lemah
tetapi bukan berarti bahwa keluarga tidak melakukan mekanisme
kontrol terhadap anaknya. Kontrol sosial yang dilakukan keluarga
adalah kontrol yang berada pada level produksi ide. Aspek ide ini
menjadi salah satu poin penting dalam keterlibatan anak dengan ta-
wuran. Proses sosialisasi dalam keluarga baik secara verbal yaitu pesan
langsung yang disampaikan orang tua atau anggota keluarga, maupun
nonverbal berupa tindakan yang dilakukan orang tua menjadi basis
untuk memproduksi atau mereproduksi makna mengenai perilaku
kekerasan.
Pada keluarga permisif, penanaman mengenai konsep kekerasan
dilakukan dalam dua momen. Pertama adalah momen pencegahan
ketika sebelum anak terlibat dengan kekerasan. Penanaman ini bia-
sanya tidak secara konsisten dilakukan tetapi lebih intensif dilakukan
ketika ada momen tertentu, misalnya ketika terjadi kasus kekerasan
di daerah lain di luar lingkungan tempat tinggalnya. Orang tua ber-
usaha mengingatkan anak agar tidak terlibat atau memicu tawuran
seperti yang terjadi di wilayah lain. “Ya saya udah sering bilangin
apalagi kalo pas lagi musim misalnya pas puasa, sering saya nasehatin
biar ga ikut tawuran” (wawancara dengan orang tua X pada 24 April
2016). Pada momen seperti itu proses kontrol lebih banyak dilakukan
secara verbal dengan memberikan nasihat. Pemberian nasihat orang

M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 22 , No. 2 , Ju li 2017: 159-184


KONTROL SOSIAL KELUARGA | 17 7

tua ini pada dasarnya menjadi salah satu upaya untuk mengontrol
dan menegaskan nilai pada anak mengenai batasan dalam bertin-
dak. Kontrol verbal melalui nasihat memiliki kekuatan pencegahan
jika dilakukan secara terus-menerus dan konsisten menanamkan nilai
bahwa terlibat dalam tawuran adalah hal yang buruk. Dalam tataran
ide, nilai itu dapat tertanam dengan kuat.
Momen kedua adalah momen ketika anak telah terlibat dalam
kekerasan, kontrol verbal, dan sedikit kekerasan fisik kembali mun-
cul. Akan tetapi sama dengan penjelasan sebelumnya ada banyak
pemakluman dan minim mekanisme punishment. Inkonsistensi me-
nyebabkan jaring kontrol keluarga lemah. Secara normatif seluruh
orang tua informan sepakat bahwa kekerasan merupakan hal yang
buruk, meskipun demikian, bukan berarti konsep mengenai tindakan
kekerasan tidak disosialisasikan oleh keluarga “ya kalo diserang mau
gimana anak kan jadi serang balik buat bertahan”(wawancara dengan
orang tua Z, 24 April 2016). Informasi tersebut menunjukkan bahwa
orang tua informan pada kondisi tertentu menganjurkan kekerasan
sebagai solusi penyelesaian masalah. Dalam konteks bertahan, keke-
rasan diperbolehkan. Artinya dalam konsep bertahan, tidak ada peng-
utamaan negosiasi atau menghindarkan diri dari pertikaian. Bertahan
memiliki arti melawan dan membalas hal yang sama terhadap pihak
yang menyerang dengan kekerasan. Ini menunjukkan batasan dan
inkonsistensi mengenai nilai dan norma mengenai kekerasan yang
ditanamkan keluarga.
Pembahasan mengenai pola asuh akan sangat terbatas jika hanya
membahas apa yang dilakukan dan disampaikan oleh orang tua, ka-
rena sebagai seorang individu anak memiliki kemampuan bernegosi-
siasi dan berpikir. Sering kali argumen bertahan menjadi argumentasi
utama bagi anak untuk terlibat dalam tawuran meskipun tidak dalam
konteks mempertahankan diri seperti yang disampaikan keluarga. In-
konsistensi kontrol verbal dan minimnya mekanisme pemberian hu-
kuman yang tepat ditambah dengan ikatan sosial yang lemah semakin
menyulitkan keluarga untuk dapat mendekonstruksi nilai yang buruk
yang didapatkan dari lingkungan maupun teman bermain.
Kontrol lain dilakukan dengan cara melakukan pengawasan terha-
dap anak. Pengawasan dilakukan orang tua sesekali dengan melihat
anak ke lokasi nongkrong. Biasanya hal ini dilakukan pada masa ke-
tika intensitas tawuran lebih banyak terjadi. Informan yang terlibat
dengan tawuran merupakan pemuda yang tidak memiliki pekerjaan.

M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 22 , No. 2 , Ju li 2017: 159-184


178 | DW I SEMBODO AJI

Mereka lebih sering berada di luar rumah dan nongkrong dengan


teman. Kontrol berupa pengawasan dengan sesekali melihat ke tem-
pat bermain atau sekedar menanyakan apa yang dilakukan sedikit
mampu mencegah anak untuk terlibat dalam kasus tawuran. Tawuran
biasanya terjadi ketika anak-anak sedang bermain dengan kelompok
nongkrong-nya. Proses pencegahan untuk ikut terlibat dengan kekeras-
an dengan menghadirkan orang tua lebih mudah dibanding dengan
menarik anak untuk mundur saat sudah terlanjur terlibat dengan ta-
wuran.
Tindakan manipulatif anak menjadi penyebab lain gagalnya kon-
trol sosial keluarga terhadap anak. Anak sebagai seorang aktor me-
miliki kemampuan berpikir. Tindakan yang menghambat kontrol
orang tua adalah tindakan anak yang bersifat manipulatif. Kondisi
tersebut terjadi ketika anak berusaha mempengaruhi orang tua un-
tuk berpihak dan merasa kasihan kepadanya dengan memanfaatkan
rasa kasih sayang dan harapan orang tua sehingga kesalahan yang
dilakukan anak dapat dimaklumi dengan berbagai cara seperti ber-
bohong, membujuk, dan sebagainya. Biasanya tindakan manipulatif
dilakukan kepada ibu. Implikasi dari tindakan itu adalah membuat
ibu menjadi jauh berpihak kepada anak dan melakukan pembenaran
kepada anak baik di hadapan anggota keluarga yang lain maupun
orang diluar keluarga meskipun anak berada pada posisi yang salah.
Melalui tindakan mempengaruhi ibu, ibu seolah menjadi tameng un-
tuk membela anak dan memaklumi kesalahan yang dilakukan anak.
Tindakan semacam ini mendorong sikap permisif serta melemahkan
kontrol orang tua kepada anak. Jadi, tindakan permisif tidak semata
muncul dari sisi orang tua, tetapi anak sebagai sebuah individu ber-
pikir juga ternyata memiliki peran dalam terciptanya praktik-praktik
permisif di dalam keluarga.
Pembahasan mengenai kontrol sosial keluarga pada kawasan rawan
konflik berarti menggambarkan pertarungan pengaruh antara keluar-
ga dengan lingkungan sekitarnya sehingga menjadi penting bagi kita
untuk membahas jangkauan kontrol. Dari apa yang sudah diuraikan,
dapat dipahami bahwa pola asuh dalam keluarga permisif mengah-
asilkan jangkauan kontrol yang sempit. Keluarga tidak memiliki ke-
mampuan dalam mengubah struktur sosial masyarakat lingkungan
yang kawasan konflik. Hal tersebut bermakna bahwa keluarga tidak
memiliki kemampuan yang besar ketika orang lain dalam komuni-
tas (orang tua lain, pemuda lain) berperilaku penuh kekerasan dan

M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 22 , No. 2 , Ju li 2017: 159-184


KONTROL SOSIAL KELUARGA | 179

mencontohkan kekerasan. Peran keluarga dalam kontrol sosial anak


adalah peran pembentengan diri dengan penanaman nilai dan nor-
ma. Ini menjadi salah satu keterbatasan dari kontrol sosial yang bisa
dilakukan keluarga yang berada dalam lingkungan ketetanggaan yang
buruk. Intervensi perbaikan untuk memutus rantai kekerasan di da-
lam komunitas dengan kondisi lingkungan sosial ketetanggaan yang
buruk tidak dapat dilakukan hanya melalui satu sisi yaitu keluarga
saja atau intervensi pada struktur komunitas saja. Intervensi harus
merupakan kombinasi dari keduanya.
Keluarga memiliki potensi yang besar untuk mengontrol keterlibat-
an anak dalam kekerasan kolektif. Keluarga mempunyai keuntungan
dalam aspek interaksi. Tilly (2003) mengungkapkan bahwa interaksi
merupakan hal yang menjadi dasar mengapa seseorang dapat memi-
liki ide untuk melakukan kekerasan, mewujudkan kekerasan kolek-
tif. Lebih lanjut, menurut Tilly kunci untuk mengurangi kekerasan
kolektif adalah dengan membangun interaksi yang mendekonstruksi
kecenderungan nilai untuk bersifat agresif serta membatasi interaksi
yang dapat membangun nilai yang bersifat mendorong pandangan
agresivitas. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa dengan po-
tensi yang besar keluarga belum mampu secara signifikan untuk me-
ngontrol keterlibatan anak dalam kekerasan karena hasil sosialisasi
sekunder lebih kuat pengaruhnya dibanding sosialisasi primer.
Berdasarkan apa yang disampaikan oleh Tilly, pembentukan ke-
kerasan kolektif harus diidentifikasi dalam hal ide, perilaku individu
dan interaksi sosial. Keluarga memiliki potensi besar dalam dua aspek
yaitu aspek interaksi dan konstruksi ide. Bagi Tilly kekerasan kolektif
hanya dapat terwujud ketika ada interaksi. Ide juga merupakan hasil
dari interaksi, maka keluarga seharusnya memberikan interaksi (pola
asuh) yang baik dan berkualitas.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa interaksi anak lebih intens
dengan teman bermain. Ada beberapa usaha pembatasan interaksi
yang dapat mengurangi potensi keterlibatan dalam konflik misalnya
melarang menginap bersama teman, melarang nongkrong pada malam
hari atau pulang larut malam. Sayangnya hal itu tidak dilakukan
secara kontinyu sehingga anak tidak memegang teguh apa yang di-
sampaikan orang tua. Pada lain pihak usaha dekonstruksi nilai/ide
juga tidak secara konsisten dilakukan. Ini menjadi “lubang besar” pola
asuh permisif untuk mengontrol keterlibatan anak dalam tawuran di
Johar Baru. Keluarga berada pada posisi yang potensial namun gagal

M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 22 , No. 2 , Ju li 2017: 159-184


18 0 | DW I SEMBODO AJI

mengantisipasinya. Pada konteks Johar Baru seringnya terjadi tawuran


yang melibatkan berbagai golongan (orang tua, pemuda) menunjuk-
kan bahwa dari aspek behaviour people, warga Johar Baru mudah
untuk bereaksi dan melakukan kekerasan kolektif. Keluarga tidak
memiliki kemampuan mengubah struktur dan kebiasaan/ kontrol ter-
hadap pihak di luar keluarga misalnya orang-orang dewasa lain yang
terlibat dalam tawuran yang secara tidak langsung mencontohkan
kekerasan, sehingga kontrol sosial keluarga menjadi tidak maksimal.
Untuk menanggulangi itu perlu dibangun kontrol sosial komunitas
dengan memanfaatkan waktu luang pemuda dengan kegiatan yang
lebih produktif.

K E S I M PU L A N

Artikel ini menunjukkan bahwa keluarga gagal melakukan kontrol


sosial kepada anak dalam keterlibatannya dengan kekerasan. Pola asuh
permisif yang diterapkan dalam keluarga tidak menumbuhkan ikat-
an sosial yang kuat, sehingga komitmen anak untuk melaksanakan
nilai yang baik dalam keluarga menjadi lemah. Anak tidak memiliki
self-control dan pikiran yang “kritis” terhadap tindakan mereka. Ke-
luarga memiliki potensi kontrol dalam produksi ide serta pembatasan
interaksi anak kepada pihak lain yang memiliki potensi membuat
anak terlibat dalam tawuran. Potensi itu tidak dimaksimalkan karena
adanya kesalahan dalam penerapan pendekatan pola asuh yang tepat.
Dalam rangka menangkal pengaruh buruk lingkungan sosial ada
usaha-usaha dari keluarga untuk menerapkan mekanisme kontrol
langsung dan tidak langsung. Mekanisme langsung misalnya nasi-
hat/omelan biasanya lebih sering dilakukan setelah anak melakukan
kekerasan, sedangkan mekanisme kontrol tidak langsung misalnya
melalui penanaman nilai norma dan batasan nilai bagi anak melalui
kegiatan keseharian yang memiliki makna simbolik. Mekanisme kon-
trol langsung berada pada jangkauan yang sempit dan hanya terbatas
pada kontrol kepada anak. Mekanisme tidak langsung bisa menja-
di benteng diri bagi anak dalam bertindak, sayangnya inkonsistensi
orang tua dalam mengontrol anak menyebabkan pengaruh mereka
dalam kondisi tertentu kalah dengan pengaruh lingkungan (teman
bermain dan lainnya).
Artikel ini juga menunjukkan kelemahan penggunaan konsep ikat-
an sosial yang dikemukakan Hirschi. Konsep Hirschi lemah dalam

M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 22 , No. 2 , Ju li 2017: 159-184


KONTROL SOSIAL KELUARGA | 181

mengidentifikasi bagaimana aspek-aspek dalam ikatan sosial yang


ada berdinamika dan digunakan dalam mengontrol anak. Selain itu
konsep Hirscis seolah memandang bahwa ikatan sosial tidak selalu
merujuk kepada “good institution”, padahal ada institusi yang memi-
liki karakter tidak baik dan ikatan sosial dengan institusi seperti itu
justru dapat menimbulkan perilaku kekerasan. Konsep Hirschi juga
tidak mampu menjelaskan alasan mengapa institusi yang dianggap
baik tidak berhasil di dalam komunitas dengan kondisi lingkungan
sosial ketetanggaan yang buruk karena dalam konteks kontrol, ikatan
seseorang dengan individu tidak dapat dipisahkan dengan konteks
masyarakat yang lebih luas. Selanjutnya, keluarga sebagai agen so-
sialisasi primer memiliki potensi peran yang besar terutama dalam
aspek interaksi untuk mengonstruksi dan dekonstruksi ide dan aspek
attachment (ikatan emosional dan kepercayaan). Diperlukan pendekat-
an dan penerapan pola asuh yang tepat oleh keluarga untuk mencegah
dan mengontrol anak dari keterlibatan dalam kekerasan kolektif.

DA F TA R PU S TA K A

Aguiirre, Benigno. E. 2002. “Social Control in Cuba.” Latin Americn


Politics and Society 44(2):67-98
Anderson, Kristin L. 2010. “Conflict, Power and Violence in Famili-
es.” National Council on Family Relations 72(3):726-742
Arthur Christine and Roger Clark. 2009. “Determinants of Domestic
Violence: A Cross-National Study.” International Journal of Socio-
logy Of Family 35(2):147-167
Babbie, Earl. 2010. The Practice of Social Research. 12th ed. Belmont
CA: Wadsworth Cengage Learning
Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DKI Jakarta. Peta Kawasan
Rawan Konflik Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015. Diakses dari
http://www.jakarta.go.id/jakv1/application/public/download/bank-
data/PETA_K AWASAN_R AWAN_KONFLIK_PROVINSI_
DKI_JAKARTA.pdf
Baird, Adam. 2012. “The Violent Gang and The Construction Of
Masculinity Amongst Socially Excluded Young Men.” Safer Com-
munities 11(4):179-190
Baumrind, D. 1966. “Effects of Authoritative Parental Control on Child
Behavior.” Child Development 37(4):887-907.

M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 22 , No. 2 , Ju li 2017: 159-184


182 | DW I SEMBODO AJI

Baumrind, D. 1991. “The influence of parenting style on adoles-


cent competence and substance use.” Journal of Early Adolescence
11(1):56-95
Berita Resmi Statistik Indeks Potensi Kerawanan Sosial. BPS DKI
Jakarta. No 16/03/31/Th. XVI/27 Maret 2014
Black, Donald. 1984. Toward a General Theory of Social Control Vo-
lume 1 Fundamentals. London: Academic Press Inc.
Booklet Informasi Statistik Data Strategis DKI Jakarta Desember
2015. Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta.
Boyd, Denise G and Helen L. Bee. 2014. Lifespan Development. New
York: Pearson.
Creswell, J. 2009. Research Design. Thousand Oaks, Calif.: Sage Pub-
lications
Crosswhite, Jennifer M. and Jennifer L. Kerpelman. 2009. “Coercion
Theory, Self-Control, and Social Information Processing: Unders-
tanding Potential Mediators for How Parents Influence Deviant
Behavior.” Deviant Behavior 30(7):611-46.
Darmajanti, Linda. 2013. “The Art of Violence”. Art Reconstruction
of Violence Culture in Multicultural Community Urban Poor Ja-
karta.” Prosiding. The 5th International Conference on Indonesian
Studies: Ethnicity and Globalization.
Davis, L. Ricard. 2011. “Violent Behaviour and Positive Parenting.”
Journal of Aggression, Conflict and Peace Research 3(3):173-177
Freire, Paulo. 2005. “Pedagogy of the Oppressed (30th Anniversary Edi-
tion Translate by Myra Bergman Ramos). Continuum: New York
Harding J David. 2009. “Violence, Older Peers and Socialization of
Adolescent Boys in Disadvantaged Neighborhoods.” American So-
ciological Review 74(3):445-464
Hoffman, John P. 2003. “A Contextual Analysis of Differential Asso-
cition, Social Control, and Strain Theories of Deliquency.” Social
Forces 81(3):753-785
Katalog Badan Pusat Statistik: 4401002 Statistik Kriminal 2014
Klein, David M and James M. White. 2007. Family Theories: An
Introduction. Sage Publication
Krohn, Marvin D, Lonn Lanza-Kaduce, and Ronald L. Akers. 1984.
“Community Context and Theories of Deviant Behavior: An Exa-
mination Of Social Learning and Social Bonding Theories.” The
Sociological Quarterly 25(3):353-372

M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 22 , No. 2 , Ju li 2017: 159-184


KONTROL SOSIAL KELUARGA | 183

Kulis, Stephen, Flavio Francisco Marsiglia, Diane Sicotte, and Tanya


Nieri. 2007. “Neighborhood Effect on Youth Substance Use in A
Southwetern City.” Sociological Perspective 50(2):273-301
Leventhal, Tama and Jeanne Brooks-Gunn. 2000. “The Neighborho-
ods They Live in: The Effect Of Neighbohood Residence on Child
and Adolescent Outcomes.” Psychological Bulleti 126(2):309-337
Munawar, 2013.”Hubungan Konflik Antar Warga dengan Keaman-
an Kemanusiaan dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Wilayah
(Studi Tawuran Warga di Kecamatan Johar Baru Jakarta Pusat
2010-2011).” Jurnal Ketahanan Nasional 19(1):26-31.
Neuman, W.L. (2006). Social Research Methods: Qualitative and Qu-
antiative Approaches. Toronto: Pearson.
Nilan, Pam, Argyo Demartoto and Agung Wibowo. 2011. “Young
Men and Peer Fighting in Solo, Indonesia.” Men and Masculinities
14(4):470-490
Galster, George C. 2010. The Mechanism of Neighborhood Effect
Theory, Evidance and Policy Implication: Wyne State University
Ray, Larry. Volence and Society. 2012. London: Sage Pub
Relva, Ines Carvalho, Otilia Monterio, and Catarina Pinheiro Mota.
2013. “An Exploration Of Sibling Violence Predictors.” Journal Of
Peace Rsesearch 5(1):47-61
Sampson, Robet J., Jeffrey D. Morenoff, and Thomas Gannon-Rowley.
2002. “Assessing ‘Neighborhood Effects’: Social Processes and New
Directions in Research.” Annual Review of Sociology.28:443-478
South, Scott J and Keyle D. Crowder. 1999. “Neighbor Effect on
Family Formation: Concentrated Poverty and Beyond.” American
Sociological Review 64(1):113-132
Suparlan, Henricus. 2014. “Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara
dan Sumbangannya bagi Pendidikan Indonesia.” Jurnal Filsafat
25(1):1-19
Tadie, Jerome. 2009. Wilayah Kekerasan di Jakarta. Depok: Masup
Jakarta
Tilly, Charles. 2003. The Politics of Collective Violence. New York:
Cambridge University Press
Van Hasselt, Vincent B. Et . al. 1984. Handbook of Family Violence.
New York: Plenum Press.
Varshney, Ashutosh. 2010. Collective Violence in Indonesia. New York:
McGraw Hill

M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 22 , No. 2 , Ju li 2017: 159-184


18 4 | DW I SEMBODO AJI

World Bank Social Development, Conflict, Crime and Violence


Team. 2011. Violence and The City: Understanding and Supporting
Community Responses to Urban Violence.
Winton, Ailsa. 2004. “Urban Violence: A Guide to the Literature.”
Environment and Urbanization 16(2):165-84
Zimmerman, Gregory M and Steven F Messner. 2010. “Neighborho-
od Context and the Gender Gap in Adolescent Violent Crime.”
American Sociological Review 75(6):985-980

M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 22 , No. 2 , Ju li 2017: 159-184

Anda mungkin juga menyukai