Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Distosia yang secara literatur berarti persalinan yang sulit, memiliki karakteristik
kemajuan persalinan yang abnormal atau lambat. Persalinan abnormal atau lambat umum terjadi
bila ada disproporsi antara ukuran bagian terbawah janin dengan jalan lahir. Pada presentasi
kepala, distosia adalah indikasi yang paling umum saat ini untuk seksio sesaria primer. CPD
(cephalopelvic disproportion) adalah akibat dari panggul sempit, ukuran kepala janin yang besar,
atau lebih sering kombinasi dari kedua di atas. Setiap penyempitan diameter panggul yang
mengurangi kapasitas pelvis dapat mengakibatkan distosia selama persalinan. Panggul sempit
bisa terjadi pada pintu atas panggul, midpelvis, atau pintu bawah panggul, atau umumnya
kombinasi dari ketiganya. Karena CPD bisa terjadi pada tingkat pelvic inlet, outlet dan midlet,
diagnosisnya bergantung pada pengukuran ketiga hal tersebut yang dikombinasikan dengan
evaluasi ukuran kepala janin.1 Panggul sempit disebut-sebut sebagai salah satu kendala dalam
melahirkan secara normal karena menyebabkan obstructed labor yang insidensinya adalah 1-3%
dari persalinan.2,3,4

Apabila persalinan dengan panggul sempit dibiarkan berlangsung sendiri tanpa


pengambilan tindakan yang tepat, timbul bahaya pada ibu dan janin. Bahaya pada ibu dapat
berupa partus lama yang dapat menimbulkan dehidrasi serta asidosis, dan infeksi intrapartum,
ruptur uteri mengancam serta resiko terjadinya fistula vesikoservikalis, atau fistula
vesikovaginalis, atau fistula rektovaginalis karena tekanan yang lama antara kepala janin dengan
tulang panggul. Sedangkan bahaya pada janin dapat berupa meningkatkan kematian perinatal,
dan perlukaan pada jaringan di atas tulang kepala janin bahkan bisa menimbulkan fraktur pada os
parietalis.5,6

Panggul sempit dikatakan sebagai salah satu indikasi persalinan seksio sesarea yang
kejadiannya semakin meningkat dalam tiga dekade terakhir. Angka seksio sesarea di Amerika

Universitas Sumatera Utara


Serikat meningkat dari 4,5% pada tahun 1965 menjadi 23% pada tahun 1985. Pada tahun 2007,
angka seksio sesaria adalah 31.8% - angka seksio tertinggi yang pernah dilaporkan di Amerika
Serikat. Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists (2003), kira-kira 60%
seksio sesaria primer di Amerika Serikat dihubungkan dengan distosia7. Di Inggris insiden
meningkat kurang dari 5% pada tahun 1973 menjadi 10% pada tahun 1986. Di Indonesia, angka
seksio sesarea di RSUD. Dr. Pirngadi Medan meningkat dari 20,4% pada tahun 1994 menjadi
34,83% pada tahun 1998. 8,9,10

Pengukuran panggul (pelvimetri) merupakan cara pemeriksaan yang penting untuk


mendapatkan keterangan tentang keadaan panggul. Pada wanita dengan tinggi badan kurang dari
150 cm dapat dicurigai adanya kesempitan panggul. Pelvimetri dengan pemeriksaan dalam
(manual) mempunyai arti yang penting untuk menilai secara agak kasar pintu atas panggul serta
panggul tengah, dan untuk memberi gambaran yang jelas mengenai pintu bawah panggul.
Dengan pelvimetri rontgenologik diperoleh gambaran yang jelas tentang bentuk panggul dan
ukuran-ukuran dalam ketiga bidang panggul. Akan tetapi pemeriksaan ini dalam masa kehamilan
beresiko, khususnya bagi janin. Menurut English James,dkk CT pelvimetri tingkat radiasinya
terhadap janin lebih kurang sepertiga dari tingkat radiasi secara X-ray pelvimetri sehingga lebih
aman penggunaannya, namun tetap saja membahayakan janin. Oleh sebab itu tidak dapat
dipertanggung jawabkan untuk menjalankan pelvimetri rontgenologik secara rutin pada masa
kehamilan, kecuali atas indikasi yang kuat.5,11

Menurut Barron, dkk pemeriksaan X-ray pelvimetri lebih akurat dibandingkan


pemeriksaan manual dalam menentukan ukuran panggul. Sedangkan menurut penelitian yang
dilakukan Floberg J pada 798 primigravida diperoleh nilai yang hampir bersamaan antara
pemeriksaan klinis dengan X-ray namun pemeriksaan secara klinis kurang sensitif dibandingkan
X-ray pelvimetri. 12,13,14
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Raman,S.dkk yang membandingkan
pemeriksaan X-ray pelvimetri dengan CT pelvimetri menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan
secara statistik yang bermakna antara pemeriksaan X-ray pelvimetri dibandingkan CT pelvimetri
dengan sensitivitas 85% dan spesifisitas 85%, namun CT pelvimetri lebih disukai karena tingkat
radiasinya lebih rendah, lebih menyenangkan bagi pasien dan lebih cepat pelaksanaannya.

Universitas Sumatera Utara


Sedangkan menurut Sporii S.dkk pada tahun 2002 MRI pelvimetri memiliki tingkat resolusi
yang tinggi dan lebih akurat dalam mengukur tulang panggul dengan tingkat variasi 1%
dibandingkan CT pelvimetri dengan tingkat variasi sekitar 10%, serta mudah digunakan
meskipun pada pasien yang gemuk dan tanpa reposisi berulang. Namun pada penelitian ini
digunakan X-ray pelvimetri karena lebih terjangkau masyarakat dan hasilnya tidak berbeda
secara statistik dibandingkan CT pelvimetri.15,16,17
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Krishnamurthy tahun 2005, menurut standar
radiologi pada 331 wanita yang melahirkan secara seksio sesaria pada kehamilan pertamanya, di
dapati pelvis tidak adekuat sebanyak 248 kasus (75%) dan yang adekuat sebanyak 83 kasus
(25%).18
Kennedy dan Greenwald dkk menyatakan bahwa wanita dengan perawakan pendek
(<152 cm atau 60 inci) dan ukuran sepatu kecil (<4.5) lebih mungkin persalinannya mengalami
komplikasi disproporsi sefalopelvik atau terhentinya dilatasi dan penurunan janin, dengan
demikian lebih mungkin mengalami panggul sempit.19

Aflah N. 2009 dalam tesisnya menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna
antara tinggi badan dengan distansi interspinarum tetapi tidak ditemukan hubungan yang
bermakna antara tinggi badan dengan diameter panggul lain seperti conjugata vera, conjugata
transversa, conjugata obliqua, dan distansi intertuberum.20

Mahmood A.Tahir 1988 dkk menyatakan bahwa ukuran sepatu atau panjang telapak
kaki bukanlah prediktor klinis untuk meramalkan disproporsi sefalopelvik dan walaupun tinggi
badan ibu adalah panduan yang lebih baik untuk meramalkan adekuasi panggul pada persalinan,
80% ibu dengan tinggi badan kurang dari 160 cm melahirkan secara pervaginam.21

Jadi pelvimetri klinis dan pelvimetri radiologi dapat digunakan sebagai alat untuk
menegakkan diagnosa panggul sempit dimana pelvimetri klinis kurang akurat dibandingkan
dengan pelvimetri radiologis. Akan tetapi tetapi pelvimetri klinis lebih sering digunakan untuk
menegakkan diagnosa panggul sempit tanpa konfirmasi dengan pelvimetri radiologis karena
kekhawatiran mengenai efek samping pada janin akibat pajanan radiasi sehingga perlu prediktor
lain yang menyokong kearah diagnosa panggul sempit yaitu diantaranya adalah tinggi badan dan

Universitas Sumatera Utara


ukuran panjang telapak kaki dapat menjadi prediktor untuk panggul sempit walaupun ukuran
telapak kaki masih kontroversial untuk dapat digunakan sebagai prediktor panggul sempit.

Pada Departemen Obstetri-Ginekologi FK-USU Medan belum ada penelitian yang


menghubungkan panjang tapak kaki dengan ukuran pintu atas panggul baik yang didapatkan
secara pelvimetri klinis maupun pelvimetri radiologis sehingga peneliti berniat melakukan
penelitian ini di Departemen Obstetri-Ginekologi FK-USU Medan.

1.2. Rumusan Masalah

Pemeriksaan pelvimetri klinis dan pelvimetri radiologis adalah alat untuk menegakkan
diagnosa panggul sempit dimana pelvimetri radiologis merupakan standar baku untuk diagnosa
panggul sempit. Pelvimetri radiologis tidak dilakukan sebelum seksio sesaria karena
kekhawatiran tentang efek bahaya radiasinya pada janin. Satu penelitian menyatakan bahwa
diperoleh nilai yang hampir sama pelvimetri klinis dengan X-ray pelvimetri namun pelvimetri
klinis kurang sensitif dibandingkan dengan X-ray pelvimetri. Sehingga perlu prediktor lain
untuk meramalkan ukuran panggul atas seperti ukuran panjang telapak kaki dan tinggi badan.
Dalam hal ini peneliti berniat meneliti hubungan antara ukuran panjang telapak kaki dan
tinggi badan ibu dengan ukuran pintu atas panggul pada pasien postseksio sesaria atas
indikasi panggul sempit dan disproporsi sefalopelvik baik yang diukur dengan pelvimetri
klinis maupun dengan pelvimetri radiologis. Dengan demikian masalah penelitian ini adalah:
1. Apakah terdapat hubungan antara ukuran panjang telapak kaki ibu dengan ukuran pintu
atas panggul pada pasien pasca seksio sesaria atas indikasi panggul sempit dan
disproporsi sefalopelvik ?
2. Apakah terdapat hubungan antara tinggi badan ibu dengan ukuran pintu atas panggul
pada pasien pasca seksio sesaria atas indikasi panggul sempit dan disproporsi
sefalopelvik ?

Universitas Sumatera Utara


1.3. Hipotesis Penelitian

1. Ada hubungan antara ukuran panjang telapak kaki ibu dengan ukuran pintu atas panggul
pada pasien pasca seksio sesaria atas indikasi panggul sempit dan disproporsi
sefalopelvik.
2. Ada hubungan antara tinggi badan ibu dengan ukuran pintu atas panggul pada pasien
pasca seksio sesaria atas indikasi panggul sempit dan disproporsi sefalopelvik.

1.4. Tujuan Penelitian


1.4.1. Tujuan Umum
1. Untuk melihat hubungan antara ukuran panjang telapak kaki ibu dengan ukuran pintu atas
panggul
2. Untuk melihat hubungan antara tinggi badan ibu dengan ukuran pintu atas panggul

1.4.2. Tujuan Khusus


1. Untuk melihat karakteristik ukuran panjang telapak kaki
2. Untuk melihat karakteristik ukuran tinggi badan ibu

1.5. Manfaat Penelitian


1. Pasien pasca seksio sesaria atas indikasi panggul sempit dan disproporsi sefalopelvik
dapat mengetahui ukuran panggul sebenarnya guna mempersiapkan diri secara mental
dan ekonomi dalam persalinan berikutnya.
2. Diharapkan dari penelitian ini dapat membantu mengurangi angka kejadian seksio sesaria
berulang.
3. Dengan diketahuinya akurasi pelvimetri klinis untuk menegakkan diagnosa panggul
sempit, pertimbangan yang cermat untuk tindakan selanjut menjadi lebih baik.
4. Dapat meramalkan kejadian panggul sempit dari ukuran panjang telapak kaki dan tinggi
badan ibu

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai