PENDAHULUAN
1.1.Latar belakang
Darul Islam ataupun Negara Islam Indonesia dapat dikatakan menjadi salah satu peristiwa
yang mengiringi Indonesia pada masa pasca kemerdakaan, 17 Agustus 1945. Gerakan yang
muncul oleh adanya Perjanjian Renville dan memaksa Tentara Indonesia hijrah dari Jawa
Barat oleh karena kekalahan Indonesia dari pihak Belanda. Gerakan ini memberi dampak
besar bagi pemerintahan Indonesia merdeka yang masih belia bukan hanya di Jawa Barat
namun juga telah menyebar ke provinsi lain di Jawa bahkan di luar Jawa. Hal ini tidak
terlepas dari peran R. M. Kartosuwiryo sebagai pimpinan gerakan Darul Islam sekaligus
Imam dan Presiden Negara Islam Indonesia yang juga merupakan politikus terkemuka di
masa sebelum perang terutama di Partai Serikat Islam Indonesia (PSII) dan sifat fanatiknya
terhadap agama dan pandangannya mengenai politik hijrah. Darul Islam bukan hanya
menjadi musuh bagi pemerintahan baru Indonesia dan tentara nasional, tetapi juga bagi
rakyat sipil yang tidak lepas dari dampak kerusuhan dan kekacauan yang dilakukan oleh
anggota Darul Islam. Meskipun pemberontakan ini didominasi oleh para mantan gerilyawan
perang dari beragam daerah namun mereka tetap dipersatukan di bawah bendera Negara
Islam Indonesia dan tetap bersatu oleh hasutan Kartosuwiryo yang menyadarkan bahwa para
mantan gerilyawan dan rakyat, terutama di Jawa Barat, telah ditinggalkan oleh pihak Tentara
Nasional ketika mereka merasa masih membutuhkan perlindungan dari pihak Belanda oleh
penandatanganan Perjanjian Renville oleh Amir Syariffudin. Hingga 1961 kerusuhan terus
berlanjut, korban terus berjatuhan, dan semakin banyak pula aksi yang gencar dilakukan oleh
pihak pemberontak dan pihak Tentara Republik. Perlawanan terhadap Darul Islam dipersulit
dengan adanya Tentara Islam dan Angkatan Bersenjata Islam yang berhasil mereka bentuk
sebagai tenaga penjaga keamanan Negara Islam Indonesia dan sebagai senjata utama dalam
memerangi pihak Indonesia. Hingga pada 1962 Kartosuwiryo ditangkap dan dijatuhi
hukuman mati yang mengawali runtuhnya Negara Islam terutama di Jawa Barat , tetapi
setelah lima belas tahun berlalu gerakan Darul Islam dinyatakan masih tetap ada.
1.2.Rumusan masalah
1.3.Tujuan
Gerakan DI/TII di Jawa Tengah yang dipimpin oleh Amir Fatah dan Mohammad
Mahfud’dh Abdulrachman (Kiai Somalangu).Latar belang terjadinya pemberontakan di Jawa
Tengah tidak jauh berbeda dengan DI/TII Jawa Barat ,yaitu akibat kekecewaan terhadap
Perjanjian Renville.Yang memaksa TNI utuk hijrah ke wilayah RI di Yogyakarta.
Namun,hal ini ditolak oleh Amir Fatah yang merupakan komandan laskar Hizbullah di
Tualangan (Sidoharjo) dan Mojokerto.
Pada tanggal 23 Agustus 1949 Amir Fatah memproklamasikan berdirinya Darul Islam
dan menyatakan bergabung dengan DI/TII di Desa Pangarasan,Tegal dan menyatakan diri
bergabung dengan Kartosuwiryo.Pasukannya dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII) dengan
sebutan Batalion Syarif Hidayat Widjaja Kusuma(SHWK).
Untuk menghancurkan gerakan ini, Januari 1950 dibentuk Komando Gerakan Banteng
Negara (GBN) dibawah Letkol Sarbini.
Pemberontakan DI/TII juga terjadi di daerah Kudus dan Magelang yang dilakukan oleh
Batalyon 426 yang bergabung dengan DI/TII pada bulan Desember 1951. Untuk menumpas
pemberontakan ini pemerintah melakukan “Operasi Merdeka Timur” yang dipimpin oleh Letnan
Kolonel Soeharto, Komandan Brigade Pragolo.
Lalu ,akhirnya melalui Operasi Guntur tahun 1954 gerekan mereka dapat dilumpuhkan
TNI.
DI/TII Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kahar Muzakar .Hal yang melatarbelakangi
gerakan ini adalah berawal dari kekecewaan Kahar Muzzakar yang terhadap penolakan
usulannya untuk memasukkan seluruh anggota Kesatuan Griliya Sulawesi Selatan(KGSS) untuk
masuk kedalam TNI dan dijadikan Brigade Hasanuddin yang kemudian di tolak oleh pemerintah
RI.
Hai itu dikarenakan hanya KGSS yang memenuhi syarat aja yang boleh masuk kedalam anggota
TNI sedangkan anggota yang tidak memenuhi syarat akan dimasukkan ke Korps Cadangan
Naional.
Upaya penumpasan yang dilakukan oleh pemerintah untuk menghancurkan gerakan ini
adalah dengan mengajak Kahar Muzzakar kembali bergabung dengan TNI dan
NKRI.Namun,Kahar malah melarikan diri bersama dengan pasukannya .Pada Februari1965 oleh
pasukan siliwangi Kahar berhasil ditangkap dan tewas tertembak dalam operasi militer TNI.
DI/TII Aceh dipimpin oleh Daud Beureueh .Alasan yang menjadi latar dari gerakan
DI/TII Aceh adalah kekecewaan para tokoh pimpinan masyarakat di Aceh atas dileburnya
provinsi Aceh ke dalam Provinsi Sumatra Utara yang beribukota di Medan. Peleburan provinsi
itu seakan mengabaikan jasa baik masyarakat Aceh ketika perjuangan mempertahankan
kedaulatan Negara Republik Indonesia dimasa revolusi fisik kemerdekaan Indonesia (1945-
1950).
Daud Beureuh sebagi pemimpin Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) sekaligus
mantan Gubernur Aceh memiliki banyak pengikut.Pda 21 September 1953,Daud Beureuh
mengeluarkan maklumat bahwa Aceh merupakn bagian dari NII Kartosuwiryo.
Upaya penumpasan gerakan separatis ini dilakukan dengan aksi damai.Pada 17 Desember
1962 ,diadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh.Secara bertahap ,gerakan DI/TII Aceh
berangsur aman dan kembali pulih.
Pemicu pemberontakan Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan ini adalah kegagalan para
mantan pejuang kemerdekaan asal Kalimantan Selatan untuk diterima di tentara Indonesia saat
itu, APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat). Kebanyakan bekas pejuang ini tidak
bisa masuk tentara karena tidak bisa baca tulis, termasuk Ibnu Hadjar sendiri. Mereka juga
kecewa dengan adanya bekas tentara KNIL (Tentara Hindia Belanda) di APRIS.
Untuk menumpas pemberontakan Ibnu Hajar ini pemerintah menempuh upaya damai
melalui berbagai musyawarah dan operasi militer.
Upaya penumpasan gerakan separatis DI/TII di Kalimantan Selatan akhirnya dilkukan
melalui operasi militer TNI.Ibnu Hadjar pun berhasil ditangkap pada 1959 dan dihukum mati
pada 22 Maret 1965.
Untuk menumpas pemberontakan ini pada bulan januari 1990 pemerintah melakukan
opaerasi kilat yaitu gerakan banteng Negara (GBN) di bawah letnan colonel
sarbini,dan untuk penumpasan pemberontakan di kebumen pemerintah melakukan
operasi merdeka timur yang di pimpin oleh letnan colonel soeharto, komandan
brigade pragolo. Pada awal 1952 pemberontakan ini dapat di padamkan dan sisahnya
di larikan ke jawa barat
pemberontakan DI/TII di aceh dipimpin oleh teungku daud beureuh. Penyebab timbulnya
pemberontakan ini adalah bentuk kecewaan daud beureuh akan status aceh yang di
turunkan dari daerah istimewa menjadi daerah keresidenan di bawah provinsi sumatera
utara pada tahun 1950, pada 21 september 1953, daud beureuh yang waktu itu menjabat
gubernur militer menyatakan bahwa aceh bagian dari NII di bawah pimpinan
kartosuwiryo
untuk menumpas pemberontakan DI/TII di aceh semula pemerintah menggunakan
kekuatan senjata. Lalu atas prakarsa kolonel m yasin, panglima iskandarmuda, pada
tanggal 17-21 desember 1962 diselenggarakan musyawarah kerukunan rakyat aceh yang
mendapat dukungan tokkoh-tokoh masyarakat aceh sehingga pemberontakan DI/TII di
aceh dapat di padamkan
pemberontakan DI/TII di Sulawesi selatan di pimpin oleh kahar muzakkar. Pada tanggal
19 april 1950 ia menuntut pada pemerintah agar pasukannya tergabung dalam komando
grilya Sulawesi selatan dimasukan ke dalam angkatan perang ris ( APRIS ) tuntutan ini
di tolak karena harus melalui penyaringan. Pemerintah melakukan pendekatan kepada
kahar muzakkar, dgn memberikan pangkat letnan colonel namun 17 agustus 1951 kahar
muzakkar beserta anaknya melarikan diri ke hutan dan melakukan aksi terror terhadap
rakyat upaya menghadapi pemberontakan ini, pemerintah melakukan operasi militer dan
berhasil pada bulan februari 1965 kahar muzzakar ditangkap dan di tembak mati dan
pemberontakan pun padam
pada bulan oktober 1950 terjadi pemberontakan DI/TII di Kalimantan selatan yang di
pimpin ibnu hajar para pemberontak melakukan pengacauan dengan menyerang pos-pos
kesatuan TNI upaya menumpasan ini pemerintah mulanya melakukan pendekatan
kepada ibnu hajar dengan diberi kesempatan untuk masuk sebagai anggota TNI. Ibnu
hajar pun menyerah, akan tetapi setelah menyerah ia melarikan diri dan melakukan
pemberontakan lagi. Selanjutnya pemerintah mengarahkan pasukan TNI dan membuat
pada akhir tahun 1959 ibnu hajar beserta anggotanya tertangkap dan di eksekusi mati.
BAB III
PENUTUP
3.1.KESIMPULAN
Darul Islam dan Negara Islam Indonesia merupakan sedikit dari sekian banyak gerakan
pemberontakan di Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan. Gerakan yang muncul
oleh rasa tidak puas terhadap keputusan Indonesia untuk menyetujui Perjanjian Renville
dalam menghadapi kekalahan terhadap agresi militer Belanda dan didorong oleh tokoh
yang amat fanatic terhadap agama Islam dan memiliki pandangan tersendiri terhadap
pemerintahan Reupblik Indonesia masa itu, S. M. Kartosuwiryo. Pergerakan DI/TII
khususnya di Jawa Barat membawa perubahan besar pada kesatuan Indonesia karena
mampu menyebarkan pahamnya mengenai Negara Islam Indonesia hingga ke luar Jawa.
Hal ini memaksa pemerintah Indonesia bersama Tentara Indonesia untuk berpikir keras
dalam menumpas segala jenis pemberontakan yang berhubungan dengan Darul Islam.
Segala jenis upaya telah dilakukan, dimulai dengan amnesti yang dikeluarkan pada masa
Natsir memimpin, upaya demobilisasi bagi para mantan gerilyawan, upaya perundingan
dengan mengirimkan tokoh yang telah lama mengenal Kartosuwiryo, Raden Wali al-Fatah
dan hingga pada masa Perdana Menteri kedua, Sukiman, aksi anti-Darul Islam semakin
gencar dilaksanakan dengan turut melibatkan rakyat sipil dalam Operasi Brata Yudha.
Hingga akhirnya Darul Islam dapat dilumpuhkan dengan ditangkapnya Kartosuwiryo selaku
Imam dan Presiden Negara Islam Indonesia serta pemimpin Darul Islam