Teori Kontingensi Dalam Kepemimpinan Seorang Guru
Teori Kontingensi Dalam Kepemimpinan Seorang Guru
imannugroho32@gmail.com
Abstrak
Teori Kontingensi pertama kali diperkenalkan oleh seorang psikolog bernama Fred
Fielder. Fielder dalam Teori Kontingensi menyatakan bahwa peran pemimpin terhadap
efektifitas anggotanya tergantung pada gaya kepemimpinan yang ia pilih memiliki
kesesuaian terhadap situasi yang terjadi. Gaya kepemimpinan ini dari seseorang dapat diukur
melalui Least Preffered Coworker (LPC) menurut situasi tertentu. Karakteristik situasi
kepemimpinan ini terbagi menjadi tiga variable yaitu, Leader-member Orientation, Task
Structure dan Kekuasaan Jabatan. Menurut Model Fielder, Task-Strucure lebih efektif untuk
mengendalikan situasi rendah dan sedang. Sedangkan Leader-member Orientation akan
lebih efektif mengendalikan situasi dalam tingkat menengah. Dalam jurnal ini akan
dijelaskan pengelompokan gaya kepemimpinan berdasarkan LPC, jenis-jenis situasi dan
penerapan gaya kepemimpinan guru yang sesuai dengan jenis situasi.
Rumusan Masalah : Bagaimana Teori Kontingensi berjalan pada kepemimpinan seorang guru ?
A. PENDAHULUAN
B. LANDASAN TEORITIS
Teori Kontingensi menyatakan bahwa kelompok yang efektif dapat terjadi berdasarkan
bagaimana gaya interaksi memiliki pemimpin dengan bawahannya dan seberapa
berpengaruhnya situasi yang terjadi pada kendali atau perintah dari seorang pemimpin itu
sendiri (Fielder, 1951 dalam Minner 1980). Teori ini juga berpendapat bahwa peran
pemimpin terhadap efektifitas anggotanya tergantung pada gaya kepemimpinan yang ia pilih
memiliki kesesuaian terhadap situasi yang terjadi. Teori ini mengalami dua tahap
pengembangan yaitu pada tahun 1950-1960 melalui studi eksploratori yang menghasilkan
kesimpulan bahwa mustahil memisahkan penelitian dari teori yang ada. Penelitian dalam
pengembangan ini juga menghasilkan sebuah pendapat bahwa, kenerja kelompok yang
saling berinteraksi tergantung pada hubungan timbal balik gaya kepemimpinan dan situasi
yang memiliki kesesuaian atau situasi yang paling menguntungkan (Ashour, 1973b; Rice
dan Kastenbaum, 1983;)
Dalam pengembangan teori, Fielder membuat suatu kumpulan pertanyaan yang disebut
Least Preferred Coworker (LPC) atau dalam Bahasa Indoneisa dimaknai dengan Rekan
Kerja yang Paling Tidak Disukai. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah seorang
anggota itu Task-Oriented (berorientasi tugas) atau Relationship-Oriented (berorientasi
hubungan). Nilai dari jawaban kumpulan pertanyaan LPC ini akan menentukan gaya
kepemimpinan dari seorang pemimimpin nantinya. Fielder (1987) menyatakan bahwa “(…)
the LPC asks that you describe your least preferred coworker. This instruction in effect
defines the least preferred coworker as ineffective and an incompetent on the job. The major
portion of the variance will, therefore, reside in personality items which are not logically
relevant to being a poor coworker and, for this reason, reflect varying degrees of aversive
feelings toward the person with whom one cannot work.” Pernyataan ini lebih jelasnya
yakni, apabila nilai LPC seseorang pemimpin tinggi, maka pemimpin tersebut menginginkan
hubungan yang baik dengan rekan kerjanya atau disebut Relationship-Oriented. Sebaliknya
apabila nilai LPC rendah, maka pemimpin lebih mengutamakan kinerja rekan daripada
hubungannya dengan rekan kerja tersebut atau disebut Task-Oriented. Kesimpulan singkat
yaitu, apabila seorang pemimpin menemukan rekan kerja yang tidak disukai namun ia
mendukung rekan tersebut dalam kinerjanya untuk mencapai tujuan, maka pimpinan
tersebut mengutamakan hubungan. Apabila ia menemui rekan yang tidak disukai dan ia
tidak mendukung maka pimpinan tersebut lebih mengutamakan tugas atau kinerja.
Interpretasi terakhir yakni Nilai Sikap, Rice (1978b) menyebutkan bahwa sikap dalam
hal ini adalah sikap pemimpin terhadap anggotanya. Pemimpin ber-LPC tinggi denganLPC
rendah memiliki perbedaan sikap dan keyakinan dalam menilai rekan kerja yang tidak
disukai. Menurut Rice, sikap yang dipakai dalam penilaian kepercayaan para memimpin
berdasar pada “values” atau nilai-nilai. Sebagai contoh, pemimpin ber-LPC menyebut sisi
negatif anggota seperti: tidak becus atau pemalas, sedangkan LPC rendah menggunakan
bentuk kata “tidak berkompeten” atau “kekurangan motivasi untuk bekerja”.
Kontrol Situasi
Sesuai pendapat Fielder yang menyatakan bahwa lain situasi lain pula gaya
kepemimpinan. Situasi bisa jadi situasi baik ataupun situasi buruk dalam upaya pengaruh
pemimpin untuk memerintah anggotanya. Situasi ini terdiri dari tiga jenis, yang pertama,
Leader-Member Orientation, yaitu hubungan pribadi pemimpin dengan anggotanya. Apabila
antara pemimpin dan anggita terjalin hubungan yang baik, berarti anggota menyukai,
mempercayai dan menghargai pemimpinnya.
Kedua, Task Structure, yaitu tingkat struktur tugas yang diberikan oleh pemimpin untuk
dikerjakan oleh anggotanya. Terdapat empat elemen untuk menilai suatu tugas. Pertama
adalah Kejelasan Tujuan, yaitu ukuran pemahaman anggota terhadap kejelasan/pengertian
tugas yang akan dilaksanakan. Kedua, Ragam Cara Mencapai Tujuan, yaitu macam-macam
prosedur untuk mengerjakan tugas. Ketiga yaitu Pengkhususan Solusi, setiap tugas
mempunyai variasi hasil. Pengkhususan Solusi yaitu mengkhusukan tingkatan yang cocok
untuk sebuah hasil. Elemen terakhir adalah Verifikasi Keputusan, yaitu pengecekan suatu
solusi atau keputusan yang dapat dibuat. Semakin tinggi nilai keempat elemen ini, maka
semakin berpengaruh seorang pemimpin.
Situasi ketiga adalah Kekuatan Jabatan, dimana kekuatan jabatan ini didefinisikan
sebagai kekuatan yang tidak dapat dilepaskan dari posisi pemimpin. Setiap posisi pemimpin
memiliki jumlah kekuatan tertentu, kekuatan jabatan terdiri dari hadiah, sanksi, kenaikan
pangkat dan teguran pemimpin. Seorang pemimpin memiliki kekuasaan besar apabila dia
dapat meberikan penghargaan dan membuat anggota patuh terhadap hukuman atas kesalahan
mereka. Apabila pemimpin memiliki pengaruh kekuasaan yang besar, situasi ini akan
berjalan dengan baik.
Telah dibahas mengenai Teori Kontingensi yang menyatakan bahwa peran pemimpin
terhadap efektifitas anggotanya tergantung pada gaya kepemimpinan yang ia pilih memiliki
kesesuaian terhadap situasi yang terjadi. Dalam hal ini seorang guru harus menerapkan gaya
kepemimpinan yang tepat dalam situasi kelas. Tiap-tiap kelas pasti memiliki anggota atau
Least Prefered Co-worker yang berbeda-beda. Hal ini juga akan membentuk situasi kelas
yang berbeda pula. Berikut akan dijelaskan pemilihan gaya kepemimpin yang sesuai
terhadap masing-masing situasi.
Situasi pertama adalah Leader-Member, tingginya keberhasilan situasi ini dapat dilihat
dari bagaimana anggotanya melakukan pendekatan, meng-interpretasi, dan menetapkan
hubungannya dengan si pemimpin. Keberhasilan tersebut nantinya akan menghasilkan
hubungan antar pribadi yang baik antara anggota dan pimpinan. Sehingga dalam situasi ini
akan terjalin kepercayaan, rasa cinta dan hormat kepada pimpinan. Dalam hal ini, apabila
suatu kelas berada pada situasi Leader-Member, gaya kepemimpian yang paling tepat untuk
terapkan oleh guru adalah Relationship Orientation. Mengapa demikian? Karena Leader-
Member lebih mengutamakan hubungan yang baik antara anggota dan pimpinan. Dengan
hubungan yang baik pula, tugas yang diberikan oleh guru kepada murid akan lebih mudah
tersampaikan dan murid termotivasi untuk mengerjakannya karena tidak ingin membuat
sang pimpinan atau gurunya kecewa.
Situasi yang kedua yakni Task Structure, yaitu susunan tugas yang dibuat oleh pimpinan
untuk dikerjakan oleh anggotanya. Keberhasilan situasi ini tergantung pada empat syarat,
pertama, Kejelasan Tujuan yakni seberapa jelas seorang pimpinan menjelaskan tugas yang
harus dikerjakan. Apabila seorang guru akan meberikan tugas kepada muridnya, mereka
harus menjelaskan maksud dari tugas tersebut sejelas munkin. Dengan memahami tugas
yang akan dikerjakan, murid akan mendapatkan hasil yang memuaskan. Syarat kedua yaitu
prosedur, seorang guru dalam memberikan tugas pasti setelah mereka mengajarkan materi
terlebih dahulu. Dengan penguasaan materi sebelum mengerjakan tugas, murid akan
mempunyai ingatan bagaimana tahapan tugas dari suatu materi harus diselesaikan. Ketiga,
Pengkhususan Solusi, setiap murid pasti memiliki jawaban atau hasil tugas yang berbeda.
Seorang guru tidak dapat sepenuhnya menyatakan bahwa jawaban tugas murid salah karena
sumber acuan murid dalam mengerjakan tugas juga berbeda. Syarat terakhir yaitu Verifikasi
keputusan, apabila tugas yang dikerjakan oleh murid sudah selesai, guru perlu memberikan
koreksi atau penambahan sebagai perbaikan dari kesalahan sehingga tidak ada lagi
kesalahan di masa mendatang. Dalam situasi Task Structure ini, prioritas keberhasilan tugas
lebih diutamakan daripada hubungan antar pribadi, sehingaa gaya kepemimpinan yang
paling tepat untuk diterapkan adalah Task-Oriented.
Kesimpulan
Janssen, O., & Yperen, N.W.V. (2004). Employees’ Goal Orientations, The Quality Of
Leader-Member Exchange, And The Outcomes Of Job Performance And Job Satisfaction.
Academy of Management Journal, Vol. 47, 368–384.
Afridi, A. (2013). Performance & Solo vs. Shared Leadership: A Contingency Theory
Perspective. Journal Of Strategy & Performance Management, 1, 78-88.
Evers, C., & Katyal, K. (2007). Paradoxes Of Leadership: Contingencies And Critical
Learning. South African Journal of Education, Vol 27(3), 377–390.
Houghton, D.G., & Yoho, S.K. (2005). Toward a Contingency Model of Leadership and
Psychological Empowerment: When Should Self-Leadership Be Encouraged?. Journal of
Leadership and Organizational Studies, 11, 4.