Anda di halaman 1dari 7

TEORI KONTINGENSI DALAM KEPEMIMPINAN SEORANG GURU

Oleh : Iman Nugroho

Universitas Singaperbangsa Karawang

Jl,Ronggowaluyo, Paseurjaya, Telukjambe Timur, Karawang

imannugroho32@gmail.com

Abstrak

Teori Kontingensi pertama kali diperkenalkan oleh seorang psikolog bernama Fred
Fielder. Fielder dalam Teori Kontingensi menyatakan bahwa peran pemimpin terhadap
efektifitas anggotanya tergantung pada gaya kepemimpinan yang ia pilih memiliki
kesesuaian terhadap situasi yang terjadi. Gaya kepemimpinan ini dari seseorang dapat diukur
melalui Least Preffered Coworker (LPC) menurut situasi tertentu. Karakteristik situasi
kepemimpinan ini terbagi menjadi tiga variable yaitu, Leader-member Orientation, Task
Structure dan Kekuasaan Jabatan. Menurut Model Fielder, Task-Strucure lebih efektif untuk
mengendalikan situasi rendah dan sedang. Sedangkan Leader-member Orientation akan
lebih efektif mengendalikan situasi dalam tingkat menengah. Dalam jurnal ini akan
dijelaskan pengelompokan gaya kepemimpinan berdasarkan LPC, jenis-jenis situasi dan
penerapan gaya kepemimpinan guru yang sesuai dengan jenis situasi.

Kata Kunci : Kontingensi, Guru, Kepemimpinan, Pemimpin dan Situasi.

Rumusan Masalah : Bagaimana Teori Kontingensi berjalan pada kepemimpinan seorang guru ?

A. PENDAHULUAN

Fielder berpendapat bahwa keefektifan seseorang dalam memimpin tergantung pada


kemampuan orang tersebut dalam mengendalikan situasi yang berlangsung. Dalam bahasan
jurnal ini, yang dimaksud sebagai objek pemimpin adalah guru, maka dalam hal ini seberapa
efektif seorang guru dapat mengengendalikan situasi di dalam kelas dengan baik. Gaya
kepemimpinan yang harus diterapkan oleh guru dapat dibagi menjadi dua, yakni Task
Orientation dan Relationship Orientation. Guru dengan LPC tinggi cenderung berorientasi
pada hubungan baik dengan muridnya, sedangkan guru dengan LPC rendah akan
berorientasi pada kinerja siswanya dalam menyelesaikan tugas.

Tingakat pengaruh instruksi guru terhadap muridnya tergantung pada gaya


kepemimpinan yang ia pilih dalam jenis situasi tertntu. Situasi pertama, yaitu Leader-
Member, guru yang berhasil dalam situasi ini yakni guru yang dipercaya, dihormati dan
dicintai oleh anggotanya. Situasi kedua yaitu Task Structue, dimana efiektifitas dan efisiensi
pengorganisasian tugas dari pemimpin atau guru kepada muridnya menjadi tolak ukur
keberhasilan situasi ini. Situasi terakhir yakni Kekuasaan Jabatan, yakni bagaimana seorang
guru menerapkan penghargaan dan hukuman untuk memperkuat pengaruhnya sebagai
pemimpin. Dalam jurnal ini akan dijelaskan bagaimana gaya kepemimpinan dan situasi
tersebut saling berinteraksi dan bergantung.

B. LANDASAN TEORITIS

Hakikat Teori Kontingensi

Teori Kontingensi menyatakan bahwa kelompok yang efektif dapat terjadi berdasarkan
bagaimana gaya interaksi memiliki pemimpin dengan bawahannya dan seberapa
berpengaruhnya situasi yang terjadi pada kendali atau perintah dari seorang pemimpin itu
sendiri (Fielder, 1951 dalam Minner 1980). Teori ini juga berpendapat bahwa peran
pemimpin terhadap efektifitas anggotanya tergantung pada gaya kepemimpinan yang ia pilih
memiliki kesesuaian terhadap situasi yang terjadi. Teori ini mengalami dua tahap
pengembangan yaitu pada tahun 1950-1960 melalui studi eksploratori yang menghasilkan
kesimpulan bahwa mustahil memisahkan penelitian dari teori yang ada. Penelitian dalam
pengembangan ini juga menghasilkan sebuah pendapat bahwa, kenerja kelompok yang
saling berinteraksi tergantung pada hubungan timbal balik gaya kepemimpinan dan situasi
yang memiliki kesesuaian atau situasi yang paling menguntungkan (Ashour, 1973b; Rice
dan Kastenbaum, 1983;)

Klasifikasi Gaya Kepemimpinan Berdasarkan LPC

Dalam pengembangan teori, Fielder membuat suatu kumpulan pertanyaan yang disebut
Least Preferred Coworker (LPC) atau dalam Bahasa Indoneisa dimaknai dengan Rekan
Kerja yang Paling Tidak Disukai. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah seorang
anggota itu Task-Oriented (berorientasi tugas) atau Relationship-Oriented (berorientasi
hubungan). Nilai dari jawaban kumpulan pertanyaan LPC ini akan menentukan gaya
kepemimpinan dari seorang pemimimpin nantinya. Fielder (1987) menyatakan bahwa “(…)
the LPC asks that you describe your least preferred coworker. This instruction in effect
defines the least preferred coworker as ineffective and an incompetent on the job. The major
portion of the variance will, therefore, reside in personality items which are not logically
relevant to being a poor coworker and, for this reason, reflect varying degrees of aversive
feelings toward the person with whom one cannot work.” Pernyataan ini lebih jelasnya
yakni, apabila nilai LPC seseorang pemimpin tinggi, maka pemimpin tersebut menginginkan
hubungan yang baik dengan rekan kerjanya atau disebut Relationship-Oriented. Sebaliknya
apabila nilai LPC rendah, maka pemimpin lebih mengutamakan kinerja rekan daripada
hubungannya dengan rekan kerja tersebut atau disebut Task-Oriented. Kesimpulan singkat
yaitu, apabila seorang pemimpin menemukan rekan kerja yang tidak disukai namun ia
mendukung rekan tersebut dalam kinerjanya untuk mencapai tujuan, maka pimpinan
tersebut mengutamakan hubungan. Apabila ia menemui rekan yang tidak disukai dan ia
tidak mendukung maka pimpinan tersebut lebih mengutamakan tugas atau kinerja.

Interpretasi lebih jauh mengenai hasil LPC

Keabsahan LPC telah lama menimbulkan berbagai macam kesalahpahaman, berselang


berjalannya waktu, muncullah lima interpretasi mengenail hasil nilai dari LPC. Pertama,
Social Distance (Jarak Sosial), atau dewasa ini disebut Pendapat Kemiripan di antara Lawan.
Interpretasi ini yakni, subjek menunjukan lebih sedikit Pendapat Kemiripan antara dirinya
dengan anggota kelompok yang tidak disukai dibandingkan dengan dirinya dengan anggota
yang ia sukai. Artinya, orang yang memiliki nilai LPC tinggi akan sesuia bila berada di
lingkungan yang penuh tekanan sosial dan lebih cenderung dapat bekerja sama dengan
anggota dari kelompok lain.

Kedua, Task-Orientation vs. Relationship-Orientation, seperti yang sudah dijelaskan


sebelumnya, seorang pemimpin yang memiliki nilai LPC tinggi diartrikan sebagai pemimpin
yang memiliki kemauan tinggi untuk mempertahankan hubungan internal yang baik.
Sedangkan seorang pemimpin dengan nilai LPC rendah lebih menginginkan keberhasilan
kinerja. Dapat terlihat bahwa pemimpin dengan LPC tinggi pada umumnya berorientasi pada
hubungan dan mereka mendapatkan kepuasan apabila hubungan baik yang dibina
antarpribadi berjalan lancar. Sedangkan pemimpin dengan LPC rendah mendapatkan
kepuasan dari kesuksesan tugas yang dikerjakan.

Ketiga, Kompleksitas Kognitif, interpretasi ini membahas tentang perbedaan pandangan


pemimpin dengan LPC tinggi dan rendah terhadap anggota yang tak disukai. Walaupun
tidak disukai, pemimpin dengan LPC tinngi tetap memandang anggota tersebut tentu
memiliki kepribadian baik, meski pemimpin ini juga tahu bahwa anggota tersebut memiliki
sisi negatif. Ini berarti, pemimpin dengan LPC tinggi memberi nilai kepada anggota yang
tidak disukai dengan dua elemen, yaitu sisi positif dan sisi negatifnya. Sebagi contoh,
seorang pemimpin menilai anggota sebagai pribadi yang ramah dan lembut, sedangakn ia
juga meresa bahwa si anggota ini juga sering mebuat frustasi dan memiliki efisiensi yang
rendah. Di sisi lain, pemimpin dengan LPC rendah hanya menilai melalui satu pandangan
saja, misalnya ia akan menilai anggota yang tidak dia sukai bukan hanya tidak efisien, tetapi
juga sombong dan sebagainya.

Keempat adalah Susuna Motivasi, Fielder (1972) menyadari adanya ketidak-


konsistensian empiric dalam intrepetasi kedua yaitu Relation Orientation vs. Task
Orientation. Hal utama dalam ketidak konsistensian ini dapat digaris bawahi pada gagasan
yang menyatakan, gaya individu (kebutuhan, motivasi) dan perilaku seorang pemimpin
adalah dua hal yang saling berkaitan. Seagaimana diketahui bahwa mengukur nilai LPC
seseorang berarti juga mengukur perilaku orang tersebut. Dalam hubungannya dengan
ketidak konsistenan empirik interpretasi, Fileder memperkenalkan “Motivation Hierarcy”
atau “Tingkatan Motivasi”. Dalam Susunan Motivasi ini, Fielder melepas kaitan antara gaya
kepemimpinan dan perilaku yang terdapat pada gagasan di atas. Gaya kepemimpinan
didefinisikan sebagai “The underlying need structure of the individualwhich motivates his
behavior in various situations…” (Fielder, 1967;P.36). Di sisi lain, Perilaku Kepemimpinan
diartikan sebagai “…the particular acts in which a leader engages in the course of directing
and coordinating the work of his group members” (p.36). Makna kata “Susunan” merujuk
pada peng-strukturan perilaku pemimpin, dimana perlaku pemimpin ini dapat dicapai
tergantung pada pemenuhan “kebutuhannya”. Maksud dari hal tersebut dapat digambarkan
apabila hubungan antarpribadi tidak berjalan lancar, maka seorang pemimpin ber-LPC tinggi
akan berfokus pada perbaikan hubungan tersebut. Dan apabila kebutuhan atas hubungan
baik berada di level yang tinggi, maka pemimpin berfokus pada kebutuhan yang kedua,
yakni pengakuan dan ketenaran. Pada pemimpin ber_LPC rendah, mereka memenuhi
kebutuhan orientasi tugas apabila tugas yang mereka kerjakan tidak berada dalam bahaya
atau masalah. Apabila kebutuhan ini sudah terpenuhi, maka mereka berfokus pada
kebutuhan yang kedua, yakni menjalin hubungan yang baik antarpribadi atau anggotanya.
Mereka percaya, dengan hubungan yang baik maka penyelesaian tugas akan menjadi mudah.

Interpretasi terakhir yakni Nilai Sikap, Rice (1978b) menyebutkan bahwa sikap dalam
hal ini adalah sikap pemimpin terhadap anggotanya. Pemimpin ber-LPC tinggi denganLPC
rendah memiliki perbedaan sikap dan keyakinan dalam menilai rekan kerja yang tidak
disukai. Menurut Rice, sikap yang dipakai dalam penilaian kepercayaan para memimpin
berdasar pada “values” atau nilai-nilai. Sebagai contoh, pemimpin ber-LPC menyebut sisi
negatif anggota seperti: tidak becus atau pemalas, sedangkan LPC rendah menggunakan
bentuk kata “tidak berkompeten” atau “kekurangan motivasi untuk bekerja”.

Kontrol Situasi

Sesuai pendapat Fielder yang menyatakan bahwa lain situasi lain pula gaya
kepemimpinan. Situasi bisa jadi situasi baik ataupun situasi buruk dalam upaya pengaruh
pemimpin untuk memerintah anggotanya. Situasi ini terdiri dari tiga jenis, yang pertama,
Leader-Member Orientation, yaitu hubungan pribadi pemimpin dengan anggotanya. Apabila
antara pemimpin dan anggita terjalin hubungan yang baik, berarti anggota menyukai,
mempercayai dan menghargai pemimpinnya.

Kedua, Task Structure, yaitu tingkat struktur tugas yang diberikan oleh pemimpin untuk
dikerjakan oleh anggotanya. Terdapat empat elemen untuk menilai suatu tugas. Pertama
adalah Kejelasan Tujuan, yaitu ukuran pemahaman anggota terhadap kejelasan/pengertian
tugas yang akan dilaksanakan. Kedua, Ragam Cara Mencapai Tujuan, yaitu macam-macam
prosedur untuk mengerjakan tugas. Ketiga yaitu Pengkhususan Solusi, setiap tugas
mempunyai variasi hasil. Pengkhususan Solusi yaitu mengkhusukan tingkatan yang cocok
untuk sebuah hasil. Elemen terakhir adalah Verifikasi Keputusan, yaitu pengecekan suatu
solusi atau keputusan yang dapat dibuat. Semakin tinggi nilai keempat elemen ini, maka
semakin berpengaruh seorang pemimpin.

Situasi ketiga adalah Kekuatan Jabatan, dimana kekuatan jabatan ini didefinisikan
sebagai kekuatan yang tidak dapat dilepaskan dari posisi pemimpin. Setiap posisi pemimpin
memiliki jumlah kekuatan tertentu, kekuatan jabatan terdiri dari hadiah, sanksi, kenaikan
pangkat dan teguran pemimpin. Seorang pemimpin memiliki kekuasaan besar apabila dia
dapat meberikan penghargaan dan membuat anggota patuh terhadap hukuman atas kesalahan
mereka. Apabila pemimpin memiliki pengaruh kekuasaan yang besar, situasi ini akan
berjalan dengan baik.

Penerapan Teori Kontingensi : Implementasi Situasi dan Pemilihan Gaya


Kepemimpinannya untuk Gruru

Telah dibahas mengenai Teori Kontingensi yang menyatakan bahwa peran pemimpin
terhadap efektifitas anggotanya tergantung pada gaya kepemimpinan yang ia pilih memiliki
kesesuaian terhadap situasi yang terjadi. Dalam hal ini seorang guru harus menerapkan gaya
kepemimpinan yang tepat dalam situasi kelas. Tiap-tiap kelas pasti memiliki anggota atau
Least Prefered Co-worker yang berbeda-beda. Hal ini juga akan membentuk situasi kelas
yang berbeda pula. Berikut akan dijelaskan pemilihan gaya kepemimpin yang sesuai
terhadap masing-masing situasi.

Situasi pertama adalah Leader-Member, tingginya keberhasilan situasi ini dapat dilihat
dari bagaimana anggotanya melakukan pendekatan, meng-interpretasi, dan menetapkan
hubungannya dengan si pemimpin. Keberhasilan tersebut nantinya akan menghasilkan
hubungan antar pribadi yang baik antara anggota dan pimpinan. Sehingga dalam situasi ini
akan terjalin kepercayaan, rasa cinta dan hormat kepada pimpinan. Dalam hal ini, apabila
suatu kelas berada pada situasi Leader-Member, gaya kepemimpian yang paling tepat untuk
terapkan oleh guru adalah Relationship Orientation. Mengapa demikian? Karena Leader-
Member lebih mengutamakan hubungan yang baik antara anggota dan pimpinan. Dengan
hubungan yang baik pula, tugas yang diberikan oleh guru kepada murid akan lebih mudah
tersampaikan dan murid termotivasi untuk mengerjakannya karena tidak ingin membuat
sang pimpinan atau gurunya kecewa.

Situasi yang kedua yakni Task Structure, yaitu susunan tugas yang dibuat oleh pimpinan
untuk dikerjakan oleh anggotanya. Keberhasilan situasi ini tergantung pada empat syarat,
pertama, Kejelasan Tujuan yakni seberapa jelas seorang pimpinan menjelaskan tugas yang
harus dikerjakan. Apabila seorang guru akan meberikan tugas kepada muridnya, mereka
harus menjelaskan maksud dari tugas tersebut sejelas munkin. Dengan memahami tugas
yang akan dikerjakan, murid akan mendapatkan hasil yang memuaskan. Syarat kedua yaitu
prosedur, seorang guru dalam memberikan tugas pasti setelah mereka mengajarkan materi
terlebih dahulu. Dengan penguasaan materi sebelum mengerjakan tugas, murid akan
mempunyai ingatan bagaimana tahapan tugas dari suatu materi harus diselesaikan. Ketiga,
Pengkhususan Solusi, setiap murid pasti memiliki jawaban atau hasil tugas yang berbeda.
Seorang guru tidak dapat sepenuhnya menyatakan bahwa jawaban tugas murid salah karena
sumber acuan murid dalam mengerjakan tugas juga berbeda. Syarat terakhir yaitu Verifikasi
keputusan, apabila tugas yang dikerjakan oleh murid sudah selesai, guru perlu memberikan
koreksi atau penambahan sebagai perbaikan dari kesalahan sehingga tidak ada lagi
kesalahan di masa mendatang. Dalam situasi Task Structure ini, prioritas keberhasilan tugas
lebih diutamakan daripada hubungan antar pribadi, sehingaa gaya kepemimpinan yang
paling tepat untuk diterapkan adalah Task-Oriented.

Situasi terakhir yaitu Kekuatan Jabatan, kemampuan memerintah untuk mempengaruhi


anggota sangat diperlukan. Seorang guru harus mampu membuat muridnya patuh terhadap
perintah yang ia berikan. Kepatuhan ini didapatkan melalui reward dan punishment, guru
akan memberikan reward apabila muridnya berhasil melaksanakan perintah dan memberikan
hukuman jika mereka melakukan kesalahan saat menjalankan perintah. Dalam situasi
Kekuatan Jabatan ini, hubungan antara guru dengan murid lebih diutamakan untuk
menghasilkan kepatuhan. Sehingga gaya kepemimpinan yang dipakai yaitu Relationship
Oriented.

Kesimpulan

Pembentukan situasi kelas bergantung pada karakteristik siswa yang terlibat di


dalamnya. Pengendalian situasi kelas ini dapat dilakukan dengan penelaahan jenis situasi
untuk kemudian dipilihkan gaya kepemimpinan yang paling sesuai. Dengan demikian,
ketepatan penerapan teori kontingensi akan berdampak pada kekuatan pengaruh guru untuk
mengatur kondusifitas kelas. Dimana, kelas yang kondusif akan menghasilkan kualitas
belajar yang baik. Selain itu, kelas yang kondusif akan mendukung konsentrasi siswa dalam
mengerjakan tugas sebagai bentuk perintah dari pemimpin atau guru. Penyelasaian tugas
yang baik ini akan mempermudah dalam pencapaian tujuan yang telah direncanakan.
Daftar Pustaka

Verkerk, P. J. (1990). Fiedler's Contingency Model of Leadership Effectiveness :


Background And Recent Developments, 2-12.

Janssen, O., & Yperen, N.W.V. (2004). Employees’ Goal Orientations, The Quality Of
Leader-Member Exchange, And The Outcomes Of Job Performance And Job Satisfaction.
Academy of Management Journal, Vol. 47, 368–384.

Afridi, A. (2013). Performance & Solo vs. Shared Leadership: A Contingency Theory
Perspective. Journal Of Strategy & Performance Management, 1, 78-88.

Evers, C., & Katyal, K. (2007). Paradoxes Of Leadership: Contingencies And Critical
Learning. South African Journal of Education, Vol 27(3), 377–390.

Houghton, D.G., & Yoho, S.K. (2005). Toward a Contingency Model of Leadership and
Psychological Empowerment: When Should Self-Leadership Be Encouraged?. Journal of
Leadership and Organizational Studies, 11, 4.

Anda mungkin juga menyukai