Bronkopneumonia
Oleh:
Pendamping:
Pembimbing:
1
1.2. Tujuan Pembahasan
Dalam penyusunan laporan kasus ini tentunya memiliki tujuan yang
diharapkan berguna bagi pembaca dan khususnya pada penulis sendiri. Tujuan
penyusunan laporan kasus ini adalah sebagai berikut :
1. Melengkapi tugas dokter internship
2. Menambah wawasan tentang kasus bronkopneumonia bagi penulis dan
pembaca.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bronkopneumonia
2.1.1. Definisi
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru; peradangan
pada paru dimana proses peradangannya ini menyebar membentuk bercak-bercak
infiltrat yang berlokasi di alveoli paru dan dapat pula melibatkan bronkiolus
terminal. Walaupun banyak pihak yang sependapat bahwa pneumonia adalah
suatu keadaan inflamasi, namun sangat sulit untuk merumuskan satu definisi
tunggal yang universal. Pneumonia adalah sindrom klinis, sehingga didefinisikan
berdasarkan gejala dan tanda klinis, dan perjalanan penyakitnya. Salah satu
definisi klinis klasik menyatakan pneumonia adalah penyakit respiratorik yang
ditandai dengan batuk, sesak napas, demam, ronki basah, dengan gambaran
infiltrat pada foto rontgen toraks.1
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu
peradangan pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai
bronkiolus dan juga mengenai alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-
anak dan balita, yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri,
virus, jamur dan benda asing. Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh
mikroorganisme, tetapi ada juga sejumlah penyebab non infeksi yang perlu
dipertimbangkan. Bronkopneumonia lebih sering merupakan infeksi sekunder
terhadap berbagai keadaan yang melemahkan daya tahan tubuh tetapi bisa juga
sebagai infeksi primer yang biasanya kita jumpai pada anak-anak dan orang tua.3
Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang
melibatkan bronkus atau bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-
bercak (patchy distribution). Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut
pada paru yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil
disebabkan oleh penyebab non-infeksi yang akan menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.3
3
2.1.2. Epidemiologi
Insidens penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan
kecacatan yang tinggi di seluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus baru
praktek umum berhubungan dengan infeksi saluran napas yang terjadi di
masyarakat (PK) atau di dalam rumah sakit/pusat perawatan (pneumonia
nosokomial/PN). 4
Pada 2015, WHO melaporkan hampir 6 juta anak balita meninggal dunia,
16 persen dari jumlah tersebut disebabkan pneumonia. Berdasarkan data Badan
PBB untuk Anak – Anak (Unicef), pada 2015 terdapat kurang lebih 14 persen dari
147.000 anak dibawah 5 tahun di Indonesia meninggal karena pneumonia.2
2.1.3. Etiologi
Penyebab pneumonia yang biasa dijumpai adalah :
Chlamydia trachomatis
Streptococcus pneumonia
Virus:
4
4 bulan-5 tahun Bakteri:
Chlamydia pneumoniae
Streptococcus pneumonia
Mycoplasma pneumoniae
Virus:
2.1.4. Klasifikasi
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan,
dan pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli
telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti
secara klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan.5
5
Pneumonia yang didapat dari Rumah Sakit (hospital based
pneumonia)
c. Berdasarkan mikroorganisme penyebab
Pneumonia bakteri
Pneumonia virus
Pneumonia mikoplasma
Pneumonia jamur
d. Berdasarkan karakteristik penyakit pneumonia
Pneumonia tipikal
Pneumonia atipikal
e. Berdasarkan lama penyakit
Pneumonia akut
Pneumonia persisten
2.1.5. Patogenesis
Istilah pneumonia mencakup setiap keadaan radang paru dimana beberapa
atau seluruh alveoli terisi dengan cairan dan sel-sel darah. Jenis pneumonia yang
umum adalah pneumonia bakterialis yang paling sering disebabkan oleh
pneumokokus. Penyakit ini dimulai dengan infeksi dalam alveoli, membran paru
mengalami peradangan dan berlubang-lubang sehingga cairan dan bahkan sel
darah merah dan sel darah putih keluar dari darah masuk kedalam alveoli. Dengan
6
demikian, alveoli yang terinfeksi secara progresif menjadi terisi dengan cairan dan
sel-sel, dan infeksi disebarkan oleh perpindahan bakteri dari alveolus ke alveolus.
Dalam keadaan normal, saluran respiratorik mulai dari area sublaring
sampai parenkim paru adalah steril. Saluran napas bawah ini dijaga tetap steril
oleh mekanisme pertahanan bersihan mukosiliar, sekresi imunoglobulin A, dan
batuk. Mekanisme pertahanan imunologik yang membatasi invasi
mikroorganisme patogen adalah makrofag yang terdapat di alveolus dan
bronkiolus, IgA sekretori, dan imunoglobunlin lain. 5
Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer
melalui saluran respiratori. Mula-mula adalah stadium hiperemia, yaitu terjadi
peradangan dan edema akibat reaksi jaringan yang mempermudah proliferasi dan
penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru yang terkena mengalami
konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan
ditemukannya kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium hepatisasi merah.
Selanjutnya, deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukosit PMN
di alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat. Stadium ini disebut stadium
hepatisasi kelabu. Berikutnya, jumlah makrofag meningkat di alveoli, dimana sel
akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang.
Stadium ini disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang
tidak terkena akan tetap normal. 5
Pneumonia viral biasanya berasal dari penyebaran infeksi di sepanjang
jalan napas atas yang diikuti oleh kerusakan epitel respiratorius, menyebabkan
obstruksi jalan napas akibat bengkak, sekresi abnormal, dan debris seluler.
Diameter jalan napas yang kecil pada bayi menyebabkan bayi rentan terhadap
infeksi berat. Atelektasis, edema intersitial, dan ventilation-perfusition mismatch
menyebabkan hipoksemia yang sering disertai obstruksi jalan napas. Infeksi viral
pada traktus respiratorius juga dapat meningkatkan risiko terhadap infeksi bekteri
sekunder dengan mengganggu mekanisme pertahanan normal pejamu, mengubah
sekresi normal, dan memodifikasi flora bakterial. 5
Ketika infeksi bakteri terjadi pada parenkim paru, proses patologik
bervariasi tergantung organisme yang menginvasi. S. penumoniae menempel pada
epitel respiratorius, menghambat kerja silier, dan menyebabkan destruksi seluler
7
dan memicu respons inflamasi di submukosa. Ketika infeksi berlanjut, debris
seluler yang terlepas, sel-sel inflamasi, dan mukus menyebabkan onstruksi jalan
napas, dengan penyebaran infeksi terjadi di sepanjang cabang-cabang bronkial,
seperti pada pneumonia viral. S. pneumoniae menyebabkan edema lokal yang
membantu proliferasi mikroorganisme dan penyebarannya ke bagian paru lain,
biasanya menghasilkan karakteristik sebagai bercak-bercak konsolidasi merata di
seluruh lapangan paru.6
Infeksi streptokokus grup A pada saluran napas bawah menyebabkan
infeksi yang lebih difus dengan pneumonia intersitial. Pneumonia lobar tidak
lazim. Lesi terdiri atas nekrosis mukosa trakeobronkial dengan pembentukan
ulkus yang compang-camping dan sejumlah besar eksudat, edema, dan perdarahan
terlokalisasi. Proses ini dapat meluas ke sekat interalveolar dan melibatkan fasa
limfatika. Pneumonia yang disebabkan S.aureus adalah berat dan infeksi dengan
cepat menjadi jelek yang disertai dengan morbiditas yang lama dan mortalitas
yang tinggi, kecuali bila diobati lebih awal. Stafilokokus menyebabkan
penggabungan bronkopneumoni yang sering unilateral atau lebih mencolok pada
sati sisi ditandai adanya daerah nekrosis perdarahan yang luas dan kaverna tidak
teratur. 1
8
mungkin digunakan. Batuk umumnya dijumpai pada anak besar, tapi pada
neonatus bisa tanpa batuk. 2
Frekuensi napas merupakan indeks paling sensitif untuk mengetahui
beratnya penyakit. Hal ini digunakan untuk mendukung diagnosis dan memantau
tata laksana pneumonia. Pengukuran frekuensi napas dilakukan dalam keadaan
anak tenang atau tidur. Tim WHO telah merekomendasikan untuk menghitung
frekuensi napas pada setiap anak dengan batuk. Dengan adanya batuk, frekuensi
napas yang lebih dari normal serta adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke
dalam (chest indrawing), WHO menetapkan sebagai pneumonia (di lapangan),
dan harus memerlukan perawatan dengan pemberian antibiotik. Perkusi toraks
pada anak tidak mempunyai nilai diagnostik karena umumnya kelainan
patologinya menyebar; suara redup pada perkusi biasanya karena adanya efusi
pleura. 2
Suara napas yang melemah seringkali ditemukan pada auskultasi. Ronkhi
basah halus yang khas untuk pasien yang lebih besar, mungkin tidak terdengar
pada bayi. Pada bayi dan balita kecil karena kecilnya volume toraks biasanya
suara napas saling berbaur, dan sulit untuk diidentifikasi. 2
Secara klinis pada anak sulit membedakan pneumonia bakterial dengan
pneumonia viral. Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia
bakterial awitannya cepat, batuk produktif, pasien tampak toksik, leukositosis, dan
perubahan nyata pada pemeriksaan radiologis. 2
Pneumonia pada neonatus dan bayi kecil
Pneumonia ini sering terjadi akibat transmisi vertikal ibu-anak yang
berhubungan dengan proses persalinan, misalnya melalui aspirasi mekonium,
cairan amnion, dari serviks ibu, atau berasal dari kontaminasi dengan sumber
infeksi dari RS. infeksi juga dapat terjadi karena kontaminasi dari komunitasnya.
Gambaran klinis pneumonia pada neonatus dan bayi kecil tidak khas, mencakup
serangan apnea, sianosis, merintih, napas cuping hidung, takipnea, letargi,
muntah, tidak, mau minum, takikardi atau bradikardi, retraksi subkosta dan
demam. Pada bayi BBLR sering terjadi hipotermi. Keadaan ini sering sulit
dibedakan dengan keadaan sepsis dan meningitis. 6
9
Pneumonia pada balita dan anak yang lebih besar
Gejala klinis yang timbul pada pneumonia yang terjadi pada balita dan
anak yang lebih besar meliputi demam, menggigil, batuk, sakit kepala, anoreksia,
dan kadang-kadang keluhan gastrointestinal (muntah dan diare). Secara klinis
gejala respiratori seperti takipnea, retraksi subkosta (chest indrwaing), napas
cuping hidung, ronki, dan sianosis. Penyakit ini sering ditemukan bersama
konjungtivitis, otitis media, faringitis, dan laringitis. Anak besar dengan
pneumonia lebih suka berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk karena
nyeri dada. Ronki hanya ditemukan bila ada infiltrat alveoler. Apabila ada
keterlibatan dari peradangan bronkiolus seperti pada kejadian bronkopneumoni
maka dapat dijumpai adanya wheezing pada saat dilakukan auskultasi. Bila terjadi
efusi pleura atau empiema, gerakan ekskursi dada tertinggal di daerah efusi.
Gerakan dada juga terganggu bila terdapat nyeri dada akibat iritasi pleura. Bila
efusi bertambah, sesak napas akan semakin bertambah, tetapi nyeri pleura akan
semakin berkurang dan berubah menjadi nyeri tumpul.6
Kadang timbul nyeri abdomen bila terdapat pneumonia lobus kanan bawah
yang menimbulkan iritasi diafragma. Nyeri ini dapat menyebar ke kuadran kanan
bawah dan menyerupai appendisitis. Abdomen mengalami distensi akibat dilatasi
lambung yang disebabkan oleh aerografi atau ileus paralitik. Hati akan teraba bila
tertekan oleh diafragma, atau memang membesar karena terjadi gagal jantung
kongestif sebagai akibat komplikasi pneumonia. 6
2.1.7. Pemeriksaan Penunjang
10
lengkap tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan bakteri secara
pasti. 6
c. Uji Serologis
Uji serologik untuk mendateksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri
tipik mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Secara umum,
uji serologis tidak terlalu bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi bakteri
tipik, namun bakteri atipik seperti Mycoplasma dan chlamydia tampak
peningkatan anibodi IgM dan IgG. 6
d. Pemeriksaan mikrobiologis
Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat diambil dari usap
tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, punksi pleura atau
aspirasi paru. Diagnosis dikatakan definitif apabila kuman ditemukan
dari darah, cairan pleura, atau aspirasi paru. 6Kultur darah jarang positif
pada infeksi Mycoplasma dan Chlamydia. 6
11
Infiltrat alveoler, merupakan konsolidasi paru dengan air
bronchogram. Konsolidasi dapat mengenai satu lobus ( pneumonia
lobaris ), atau terlihat sebagai lei tunggal yang biasanya cukup besar,
berbentuk sferis, batas tidak terlalu tegas, menyerupai lesi tumor
paru, dikenal sebagai round pneumonia. 6
Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada
kedua paru, berupa bercak – bercak infiltrat yang meluas hingga ke
daerah perifer paru, disertai dengan peningkatan corakan
peribronkial. 6
12
2.1.8. Penatalaksanaan
a. Tatalaksana Umum8
Pemberian oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen > 92%
Pada pneumonia berat atau asupan per oral kurang, diberikan cairan
intravena dan dilakukan balance cairan ketat
Antipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga kenyamanan
pasien
Nebulisasi dengan beta 2 agonis dan/atau NaCl dapat diberikan untuk
memperbaiki mucocilliary clearance
b. Pemberian Antibiotik8
Amoksisilin merupakan pilihan pertama untuk antibiotik oral pada
anak <5 tahun karena efektif melawan sebagian besar patogen yang
menyebabkan pneumonia pada anak, ditoleransi dengan baik, dan
murah. Alternatifnya adalah co-amoxiclav, ceflacor, eritromisin,
claritromisin, dan azitromisin.
M. pneumoniae lebih sering terjadi pada anak yang lebih tua maka
antibiotik golongan makrolid diberikan sebagai pilihan pertama secara
empiris pada anak ≥ 5 tahun.
Amoksisilin diberikan sebagai pilihan pertama jika S. pneumoniae
sangat mungkin sebagai penyebab.
Antibiotik intravena diberikan pada pasien pneumonia yang tidak
dapat menerima obat per oral atau termasuk deraja pneumonia berat.
Antibiotik intravena yang dianjurkan adalah : ampisilin dan
kloramfenikol, co-amoxiclav, ceftriaxone, cefuroxime, dan
cefotaxime.
Pemberian antibiotik oral harus dipertimbangkan jika terdapat
perbaikan setelah mendapat antibiotik intravena.
13
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1. Anamnesis Pribadi
Nama : An. MF
Umur : 2 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Bangsa/Suku : Indonesia/Jawa
Agama : Islam
Alamat : jl. Kuantan
Tanggal Masuk : 27 Februari 2018
14
3.4. Status Lokalisata
a. Kepala : Normochepali
o Mata : Tidak ada kelainan
o Telinga : Tidak ada kelainan
o Hidung : Tidak ada kelainan
o Leher : Pembesaran KGB (-)
b. Thorax
o Inspeksi : Simetris, fusiformis, retraksi interkosta (+)
o Palpasi : Stemp fremitus kanan = kiri
o Perkusi : Sonor kanan = kiri
o Auskultasi : Rhonki +/+, wheezing +/+
c. Abdomen
o Inspeksi : Datar
o Palpasi : Soepel, NTE (-)
o Perkusi : Timpani
o Auskultasi : Peristaltik usus (+) Normal
d. Ekstremitas
o Superior : Sianosis (-), Joundice (-)
o Inferior : Sianosis (-), Joundice (-), edema (-)
15
3.7. Diagnosis Awal
Bronkopneumonia
- Diet MB
- Bed Rest
Farmakologi :
16
3.10. Follow Up
27-02-2018
0003
28-02-2018
02-03-2018
Sens : CM KU/ TH/
HR : 100 x/i - Os tampak sakit
02-03-2018 - IVFD D5% : ¼ NS 16 tpm
RR : 24 x/i - Sesak (-) - Inj. Cefotaxime 3x500 gr
02-03-2018
Temp : 36,70C - Batuk (+) - Inj. Dexamethasone 3x2,5
- Rhonki +/+ mg
Bronkopneumonia (perbaikan) - Ventolin ½ respul + NaCl
- Wheezing -/- 0,9% /6 jam
- Puyer batuk 3x1 pulv
17
01-03-2016
Sens : CM KU/ TH/
HR :88 x/i - Sesak (-) - IVFD ¼ NS 16 tpm
RR : 20 x/i - Batuk (+) - Inj. Cefotaxime 3x500 gr
Temp : 36,70C (perbaikan) - Inj. Dexamethasone 3x2,5
- Rhonki +/+ mg
Bronkopneumonia (perbaikan) - Ventolin ½ respul + NaCl
(perbaikan) - Wheezing -/- 0,9% /6 jam
- Puyer batuk 3x1 pulv
- Pasien diizinkan rawat
jalan
18
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus di atas, seorang pasien anak laki-laki umur 2 tahun, datang
diantar oleh orang tuanya dengan keluhan sesak napas. Keluhan sudah dirasakan
sejak 2 jam SMRS. Keluhan juga disertai batuk berdahak dan demam sejak 3 hari
lalu. Sebelumnya pasien belum pernah mengalami keluhan serupa. Riwayat alergi
disangkal. Pasien masih mau makan dan minum.
Pasien ditegakkan diagnosis bronkopneumonia setelah dilakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari pemeriksaan fisik
didapati HR : 120x/ menit, RR: 48x/ menit, SpO2: 93%, retraksi interkosta (+),
dan Temp : 28oC. Dari auskultasi paru dijumpai adanya rhonki (+) dan wheezing
(+) pada kedua lapangan paru. Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin
dijumpai leukosistosis (16.900/ mm3). Pada pemeriksaan thorax x-ray dijumpai
adanya gambaran yang menyokong adanya bronkopneumonia bilateral terutama
kanan.
Pada pasien diberikan terapi cairan parenteral IVFD D5% : ¼ NS 16 tpm,
terapi oksigen via nasal kanul, injeksi antibiotik Cefotaxime, injeksi
Dexamethasone. Pasien juga diberikan nebulisasi ventolin + NaCl 0,9%,
Parasetamol sirup dan puyer batuk sebagai obat oralnya.
Setelah dilakukan perawatan selama 3 hari di ruangan Anggrek, pasien
mengalami perbaikan klinis dan diijinkan pulang untuk rawat jalan.
19
BAB V
KESIMPULAN
20
DAFTAR PUSTAKA
21