Anda di halaman 1dari 24

AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

EPISTEMOLOGI, ONTOLOGI DAN AKSIOLOGI HUKUM ISLAM


Oleh: Mifathul Huda*

Abstrak
Hukum Islam adalah hukum Tuhan yang taken from granted, ia tidak pernah
mengalami perubahan sejak diturunkan hingga akhir kehidupan. Sebagai hukum yang
universal ia memiliki karakteristik yang senantiasa bisa dilaksanakan kapan saja, di mana
saja dan oleh siapa saja. Universalitas hukum Islam didukung oleh seperangkat mashadir al-
ahkam yaitu al-Qur’an dan Assunah yang turun dari Allah ta’ala melalui rasulNya. Selain
itu ada pula adilah al-ahkam yang dirumuskan oleh para cendekiawan Islam. Hukum Islam
yang secara global terdapat di dalam al-Qur’an di jelaskan oleh al-Sunnah yang
dikembangkan oleh para juris Islam. Hasilnya adalah hukum Islam yang senantiasa up to
date hingga akhir zaman.
Pendekatan filsafati untuk mengkaji hukum Islam telah menghasilkan bagaimana ia
merupakan metode dalam memperoleh ilmu pengetahuan melalui epistemology. Pada tataran
keberadaannya ia menjadi satu disiplin ilmu yang telah kokoh berdiri di atas basis keilmuan
berdasarkan wahyu, sehingga secara ontology ilmu hukum Islam menjadi hal unik dalam
studi hukum. Aksiologi hukum Islam tercermin dari aplikasi dan implementasi yang konsisten
dilakukan umat Islam sebagai hasil dari pemikiran tokoh-tokohnya.

Key Word: Epistemologi, Ontologi, Aksiologi, Hukum Islam

A. Pendahuluan dipastikan keaslian teks al-Qur’an tersebut?


Dalam tradisi sejarah dan keilmuan Apa persisnya signifikansi itu ke dalam
Islam, filsafat hukum Islam merupakan bentuk aturan dan kehidupan sosial,
disiplin baru, sehingga jika dilihat dalam sehingga perlu disebut dalam al-Qur’an?
pembidangan ilmu keislaman tradisional, Kewenangan apakah yang sah untuk
nama “filsafat hukum” belum dikenal. mengekspresikan signifikansi itu ke dalam
Kajian yang memiliki kemiripan dalam bentuk aturan hukum demikian sehingga
pembahasan seperti itu dalam tradisi Islam peradilan mesti peduli? Tindakan hukum
adalah ushul fikih. Adapun penjelasannya apa sajakah yang perlu diambil agar norma
bisa dimulai dari ilustrasi berikut ini. tersebut bisa tegak? Apa tujuan diaturnya
Pengadilan Agama masa kini bisa saja tindakan hukum tersebut?. Pertanyaaan itu
mengizinkan seorang istri menggugat cerai sekalipun belum setegas perumusannya,
atas dasar dia mengalami penderitaan menjadi pertanyaan pokok dalam usul fikih,
karena suaminya kawin lagi atau poligami. yang merupakan kajian klasik hukum Islam
Keputusan untuk menceraikan di sini dianggap mirip dengan kajian filsafat
adalah “pengaturan manusia” yang hukum Islam.
bersumber dari ketentuan ketuhanan dalam Ushul fiqh sebagai sebuah disiplin
al-Qur’an bahwa istri harus diperlakukan yang pertama kali digagas asy-Syafi’i
dengan baik.1 sebagaimana dikatakan Imran Ahsan Khan
Tapi antara teks al-Qur’an dan Nyazee merupakan ratunya ilmu keislaman
keputusan pengadilan tersebut terdapat (the queen of Islamic sciences).2 Di
serangkaian pertanyaan panjang. Dari mana
2
Imran Ahsan Khan Nyazee, Theories of Islamic
Law, (Pakistan: Islamic Research Institute and
* Dosen Fakultas Syariah STAIN Pontianak. International Institute of Islamic Thought, 1945),
1
Al-Qur’an, al Nisa’ (4) : 19 hlm. 1.

Epistemologi, Ontologi dan … 305


AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

samping kedudukannya sebagai salah satu tentang dan justifikasi bagi pelbagai
metodologi dalam kajian hukum Islam, inferensi atau kesimpulan.5
ushul fiqh merupakan cabang ilmu yang Kajian tentang epistemologi, ber-
dalam banyak hal berkaitan dengan cabang- dasarkan pengertiannya, merupakan bagian
cabang ilmu keislaman lainnya, seperti dari filsafat yang menelaah tentang hakikat,
ilmu tafsir, ilmu hadis dan ilmu kalam.3 jangkauan, pengandaian, dan pertanggung-
Ushul fiqh sebagai disiplin yang mengkaji jawaban pengetahuan. Kendatipun
hukum, bukan hanya mempelajari masalah- demikian, epistemologi tidak hanya
masalah hukum dan legitimasi dalam suatu ditemukan secara terang-terangan sebagai
konteks sosial dan institusional, melainkan posisi atau ajaran mengenai pengetahuan.
juga melihat persoalan hukum sebagai Sebagaimana setiap pemahaman mengenai
masalah epistemologi. Dengan kata lain suatu kenyataan tertentu, sikap dan
ushul fiqh tidak hanya berisi analisis tindakan yang dilakukan terhadapnya, serta
mengenai argumen dan penalaran hukum tingkah laku berhubungan dengannya
belaka, akan tetapi di dalamnya juga mengandaikan suatu filsafat atau teori
terdapat pembicaraan mengenai logika tersembunyi tertentu, demikian pula setiap
formal, teologi dialektik, teori linguistik pengetahuan atau ilmu mengandaikan
dan epistemologi hukum. Bahkan Arkoun sebuah epistemologi tertentu yang
secara tegas berpendapat bahwa ushul fiqh mendasarinya. Seperti halnya seorang filsuf
telah menyentuh epistemologi kontemporer.4 berkewajiban mengungkapkan, menilai,
Epistemologi adalah cabang filsafat mengembangkan, mengoreksi, atau
yang mengkaji tentang hakikat dan pelbagai membongkar pengandaian-pengandaian di
batasan pengetahuan. Epistemologi menguji dalam pemahaman mengenai kenyataan,
suatu struktur, asal-usul, dan kriteria demikian pula seorang epistemolog
pengetahuan. Epistemologi juga berhubung- mempunyai kewajiban untuk menyelidiki
an dengan sejumlah permasalahan yang pengetahuan atau ilmu untuk memaparkan,
berkaitan dengan antara lain: persepsi menganalisis pengandaian-pengandaian
inderawi (sense perseption), suatu relasi dasar yang menjadi latar belakangnya.6
antara “yang mengetahui” (the knower) Meskipun begitu, secara ontologis
dengan “objek yang diketahui” (the object ilmu ushul fiqh dapat dikelompokkan
known), suatu jenis kemungkinan tentang
5
pengetahuan dan tingkatan-tingkatan Donald Gotterbarn dalam Barnes dan Noble,
New American Encyclopedia (USA: Grolier
kepastian bagi setiap jenis pengetahuan, Incorporated, 1991), hlm. 221.
6
suatu hakikat kebenaran, serta suatu hakikat Kajian tentang teori pengetahuan disebut juga
dengan epistemologi (Yunani: episteme =
knowledge, pengetahuan; dan logos = teori).
Definisi epistemologi secara umum adalah teori
3
Terutama ketika berbicara tentang kaidah-kaidah pengetahuan (theory of knowledge). Istilah ini
bahasa. Lihat Subhi as-Salih, Mabahis fi ‘Ulum pertama kali digunakan pada tahun 1854 oleh
al-Qur’an, cet 9 (Beirut: Dar al-‘Ilm li al- J.F. Ferrier yang membuat perbedaan antara dua
Malayin,1977), hlm. 299-312 dan; as-Salih, cabang filsafat yaitu ontologi (Yunani: on =
‘Ulum al-Hadis wa Mustalahuh, cet. 9 being, wujud, ada; dan logos = teori) dan
(Beirut:Dar al-‘Ilm li al-Malayin,1977), hlm. epistemologi. Ontologi sering disinonimkan
113-114. dengan metafisika, meskipun yang disebutkan
4
Muhammad Arkoun, Nalar Islami dan Nalar terakhir ini dapat berarti ontologi yang
Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, merupakan teori tentang apa, juga berarti pula
alih bahasa Rahayu S. Hidayat, (Jakarta: INIS, epistemologi sebagai teori pengetahuan. Baca:
1994), hlm. 52. Donald Gotterbahm, hal. 221.

306 Epistemologi, Ontologi dan …


AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

menjadi empat point yaitu (1) nilai-nilai itu,yang sedikit banyak telah dipaparkan
aturan hukum (2) dasar-dasar aturan hukum dalam ilmu ushul fiqh.
(al-adillah al-syar’iah) (3) cara atau
metoda menganalogikan dalil menjadi B. Hakekat Hukum Islam
hukum, dan (4) ketentuan ijtihad, taqlid, Para ushuliyyin mendefinisikan
dialektika kontradiktif, dan tarjih. Ushul- “hukum syar’i” sebagai “titah Ilahi yang
fiqh merupakan khazanah kekayaan ilmu tertuju kepada perbuatan manusia yang
yang secara langsung atau tidak langsung, berisi tuntutan, penetapan atau pemberian
turut memperkaya model keagamaan kita. alternatif”. Sebagai “titah Ilahi” berarti
Pelaksanaan syariat Islam akan susah menyiratkan suatu pandangan, pertama,
seandainya ilmu ini tidak ada, sebab ushul- hukum dalam Islam bersumber pada Tuhan.
fiqh dianggap sebagai penuntun fiqh yang Hal ini tampak dalam pernyataan
merupakan jawaban bagi kehidupan kita. ushuliyyin, khususnya al-Ghazali bahwa
Ilmu ini dapat menjawab beberapa masalah sumber hukum Islam itu adalah satu yaitu
yang diajukan, maka agar kita dapat firman Allah.7 Rasulullah tidak
memanfaatkan, kita harus mengetahui merupakan sumber hukum, Beliau
jawaban apa yang perlu dibawakan oleh hanyalah merupakan seorang utusan yang
ilmu ini, setelah kita mengajukan menyampaikan hukum Illahi. Hukum itu
pertanyaan. Di sini kita memerlukan hanyalah milik Tuhan semata (shahib al-
jawaban yang benar, dan bukan debat kusir syari'). Kedua, hukum itu mendahului dan
atau jawaban plintiran (safsathah). Lalu tidak didahului serta membentuk dan tidak
muncul pertanyaan, bagaimana kita dibentuk oleh masyarakat. Dalam beberapa
mencari jawaban yang benar? Masalah ini, kajian, ushul fikih menganut suatu faham
oleh kajian filsafat disebut epistemology, mengenai hukum sebagai objek yang
dan landasan epistemologi ilmu disebut terlepas dari sebagian manusia yang
metoda ilmiah. Dengan kata lain, metoda mempersepsikannya. Hukum sudah ada
ilmiah adalah cara yang dilakukan itu sebelum manusia dan masyarakat ada,
dalam menyusun pengetahuan yang oleh manusia tinggal menemukannya dan tidak
filsafat ilmu disebut teori kebenaran. membuatnya. Oleh karena itu hukum syar’i
Ushul-fiqh mempunyai ciri spesifik merupakan “man discoved law” bukan
yang tersusun mengenai apa (ontology), “man made law”. Inilah yang dimaksud
bagaimana (epistemology) dan untuk apa dengan pernyataan bahwa hukum itu
(aksiologi). Ketika landasan ini saling eternal (qadim).8
berkaitan, maka ontology ushul fiqh terkait Titah Ilahi merupakan kalam Allah
dengan epistemologinya, epistemology yang merupakan salah satu sifat-Nya yang
ushul-fiqh terkait dengan aksiologinya, dan qadim. Namun perlu ditegaskan bahwa
begitulah seterusnya. Jadi kalau kita ingin “kalam” mempunyai dua pengertian yaitu,
membicarakan epistemilogi ushul-fiqh, ungkapan mental (kalam nafsi) dan
maka kita harus mengaitkannya dengan
ontology, dan aksiologi. Tetapi dalam 7
Husein Hamid Hasan, Al Hukm al Syar’i ‘Inda
tulisan ini, kita hanya sekadar membahas al Usuliyyin, (Kairo: Dar al Nahdah al
tentang apa (hakekat dan konsepsi) hukum Misriyyah, 1972), 27.
8
Islam, sumber dan metode memperoleh Al Ghazali, al Mustasfa min Ilmi al Ushul,
(Kairo: Syirkah al Tiba’ah al Fanniyah al
hukum Islam dan tujuan hukum Islam Muntahidah, 1971), 119.

Epistemologi, Ontologi dan … 307


AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

ungkapan verbal (kalam lafdzi). Perbedaan diketahui oleh manusia, dan dengan
ini tampaknya sejalan dengan kegandaan demikian ia tidak mempunyai arti apa-apa.
(teks dan makna) yang terdapat dalam Di sini para ahli hukum dan teolog Islam
semua bahasa antara makna dan kata. sejak zaman yang relatif dini
Makna adalah konstruk mental yang mempersoalkan: bagaimanakah caranya
terdapat pada pikiran seseorang di mana hukum itu dimanifestasikan oleh Tuhan
kata adalah ungkapan verbalnya. sehingga dapat diketahui oleh manusia. Hal
Sedangkan "kata qadim” menurut al- ini memang sangat berhubungan dengan
Ghazali, adalah ungkapan mental yang problem pada kajian etika. Menurut para
tidak tersusun dari huruf, suara atau kata. ushuliyyin hukum mengikuti nilai baik dan
Sedangkan kalam Allah yang didengar oleh buruk dalam arti apa yang ternyata baik
Nabi dan didengar oleh umatnya tidak dikehendaki oleh hukum dan apa yang
termasuk tatanan gaib yang abadi buruk tidak mungkin diperintahkan oleh
melainkan termasuk tatanan ciptaan yang hukum.
baru yang merupakan replika dari kalam Karenanya dalam konteks hukum
Allah yang qadim itu.9 Islam, pembuat hukum (Sahib al Syari’)
Sebagai titah Illahi yang bersifat adalah hanya Tuhan semata, sedangkan
eternal (qadim), hukum, karenanya adalah manusia adalah sebatas berusaha
benda dalam tatanan gaib bersama wujud menemukan, menggali, discovered hukum
Tuhan yang gaib pula. Sebagaimana Islam tersebut.
dahulunya hukum – meskipun manusia
sebagai subjeknya – belum ada, bahkan C. Konsepsi Hukum Islam
setelah manusia ada berkat ciptaan Allah. Untuk dapat menangkap pengertian
Hukum, mungkin saja masih berada dalam hukum Islam secara lebih komprehensip
kegaibannya tanpa manusia mempersepsi- tiga istilah perlu dikaji, yaitu: "syari’ah",
kannya. Memang, pada mulanya manusia "fikih" dan "hukum syar’i". Ketiga kata ini
menaati pemanifestasian dan pemunculan sering sekali digunakan untuk menyebut
hukum.10 "hukum Islam". Pengertian ketiga istilah
Hal ini berarti, sebagaimana yang tersebut sebagaimana berikut:
ditegaskan Weiss, penggambaran suatu
pengertian yang sangat khas orang Muslim 1. Syari’ah
mengenai bagaimana sesuatu yang Syari’ah berasal dari kata Arab “al-
termasuk tatanan gaib yang abadi menjadi syariah” dan sinonim dengan kata “al-
manifes dan memasuki ruang waktu dalam syir’ah”. Secara leksikal keduanya berarti
tatanan ciptaan. Pemanifestasian alam gaib “jalan menuju mata air”.11 Ungkapan “jalan
ke dalam alam nyata itu melalui ucapan menuju mata air” ini mengandung konotasi
yang didengar Nabi. Dari sinilah kita mulai “keselamatan”. Berangkat dari pengertian
memasuki lingkungan bahasa. Sebagai titah ini dikatakan bahwa agama yang dibawa
Ilahi yang qadim, hukum tidak dapat oleh masing-masing Nabi disebut
“syari’ah” karena merupakan jalan menuju
9
Ibid., 119. kepada keselamatan abadi. Dalam al-
10
Bernard Weiss, The Search for God’s Law:
11
Islamic Yurisprudence in The Writing of Saikh Al Qurtubi, al Jami’ li Ahkam al-Qur'an, (Kairo:
al Din al Amidi, (Salt Lake City: University of Dar al Katib al Arabi li al Tiba’ah wa an Nasr,
Utah Press, 1992), 54-55. 1967), VI, 211.

308 Epistemologi, Ontologi dan …


AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

Qur’an kata tersebut dipakai dalam arti agama Islam. Ia menyatakan bahwa
“agama sebagai jalan lurus yang ditetapkan masalah kasus cabang agama, seperti
Allah untuk diikuti oleh manusia agar kewarisan, hukum halal dan halal, masalah
memperoleh keselamatan”. pidana dan talak harus dikembalikan
Beberapa ahli tafsir al-Qur’an klasik kepada syari’ah yang dasarnya adalah dalil-
seperti Mujahid (104 H/722 M) dalil sam’i (revelasional), sedangkan
menafsirkan kata-kata “al-syari’ah” dan masalah pokok agama dikembalikan
“al-syir’ah” sebagai “agama” (al-din).12 kepada sejumlah prinsip yang didasarkan
Namun di lain pihak terdapat pula pendapat kepada dalil akal, pengalaman intuisi.
yang membedakan syari’ah dengan “al-din” Janganlah dicampuradukkan antara
(agama). Syari’ah merujuk kepada aspek– masalah akidah yang didasarkan kepada
aspek hukum dari agama, sementara “al- dalil rasional (‘aqliyyah) dengan masalah
din” merupakan aspek akidah dari agama. cabang agama yang didasarkan kepada dalil
Qatadah (118 H/736 M), ahli tafsir lainnya, revelasional (sam’i).15 Pengertian yang
dilaporkan dalam konteks penafsiran al- diberikan al-Asy’ari terhadap syari’ah
Maidah (5): 48 menyatakan bahwa agama masih tetap dipakai hingga sekarang seperti
(yang dibawa oleh semua Nabi) itu satu, dapat dilihat penggunanan frase “fakultas
tetapi syari’ah-nya berbeda.13 Maksudnya syari’ah”, “bank syari’ah” dan judul
adalah inti ajaran agama semua Nabi yaitu beberapa buku, serta sejumlah peraturan
ajaran tauhid adalah sama. Yang berbeda perundangan muslim. Berbeda dengan
adalah ketentuan-ketentuan hukum dalam Asy’ari, Syatibi (790 H/1388 M)
masing-masing agama Nabi tersebut. mengartikan “syari’ah” sebagai
Sejalan dengan Qatadah adalah Abu “keseluruhan ketentuan agama yang
Hanifah (150 H/820 M) yang membedakan mengatur tingkah laku, ucapan dan
antara syari’ah dan din di mana syari’ah kepercayaan manusia”. Pengertian ini
merupakan kewajiban agama yang harus menggambarkan syari’ah dalam arti luas
dijalankan, sedangkan “al din” adalah yang meliputi aspek hukum dan aspek
pokok-pokok keimanan seperti doktrinal.16
kepercayaan kepada Allah kepada hari Dari apa yang dikemukakan di atas
kiamat dan lainnya.14 dapat dilihat bahwa terminologi “syari’ah”
Dalam perkembangan kemudian kata dipakai dalam dua pengertian, yaitu: dalam
“syari’ah” kadang-kadang digunakan untuk arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti
merujuk kepada aspek hukum dari agama luas, syariah dimaksudkan keseluruhan
Islam dan kadang dipakai juga untuk norma agama Islam yang meliputi baik
menyebut aspek hukum dan agama itu aspek doktrinal maupun aspek praktis.
sekaligus. Al-Asy’ari (324 H/935 M) teolog Dalam arti sempit “syari’ah” merujuk pada
terkenal secara tegas memaknai syari’ah aspek praktis dari ajaran Islam yaitu,
untuk merujuk pada aspek hukum dari bagian yang terdiri dari norma yang
mengatur tingkah laku konkret manusia
12
al Jasiyah (18); 25 dan al Maidah (5): 48.
13 15
Abu Hayyan, Tafsir al Bahr al Muhit, (Beirut: Al Asy’ari, Kitab al Luma’ fi Radd ‘ala Ahl al
Dar al Kutub al Ilmiyyah, 1993), I, 514. Zig wa al Bida’, (Beirut: al Matba’ah al
14
Ahmad Hassan, Early Development of Islamic Kasulikiyyah, 1952), 94-95.
16
Law, (Delhi: Adam Publishers & Distributors, Al Syatibi, al Muwafaqat fi Usul al Ahkam,
1994), 7. (Beirut: Dar al Fikr, 1341 H), I, 153.

Epistemologi, Ontologi dan … 309


AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

seperti ibadah, nikah, jual beli, perkara di tingkah laku manusia yang ditetapkan
pengadilan, penyelenggaraan negara dan melalui al-Qur’an, penjelasan Nabi, ijma
lainnya. Apabila istilah “hukum Islam” ummat dan ijtihad para ahli hukum.22
hendak digunakan untuk menerjemahkan Perlu dicatat bahwa dari uraian di
istilah “syari’ah”, maka “syariah” yang atas tampak bahwa syari’ah dalam arti
dimaksud syari’ah adalah dalam arti sempit dan fikih dalam arti hukum itu
sempit.17 sendiri merujuk kepada himpunan hukum -
hukum syar’i yang mengatur tingkah laku
2. Fikih manusia. Jadi keduanya menunjuk kepada
Kata “fikih” diambil dari kata Arab hal yang sama dan memang dalam arti
“fiqh”. Dalam bahasa Indonesia secara pemakaian umum dan secara praktis
leksikal berarti “faham”, “mengerti” atau syari’ah dalam arti sempit dan fikih dalam
“mengetahui”.18 Kemudian dikembangkan hukum itu sendiri digunakan dalam
menjadi “pengertian, pengetahuan dan pengertian yang sinonim. Di Indonesia UU
pemahaman mendalam mengenai No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas
19
sesuatu”. UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan
Sebagai sebuah istilah, fikih dipakai menyatakan dalam pasal 1 ayat (12) bahwa
dalam dua arti, pertama, sebagai ilmu prinsip Syari’ah (yang berlaku dalam
hukum (yurisprudensi) dan kedua, sebagai perbankan) adalah aturan perjanjian
hukum itu sendiri (law).20 Dalam arti berdasarkan hukum Islam. Adalah jelas
sebagai ilmu hukum, fikih didefinisikan bahwa ketentuan hukum Islam yang
sebagai ilmu yang mengkaji hukum-hukum berlaku dalam transaksi perbankan adalah
(norma) syari’ah yang menyangkut tingkah fikih dalam arti ketentuan yang merupakan
laku manusia yang bersumber dari dalil hasil ijtihad. Di samping itu terdapat
dalil partikuler.21 Al-Ghazali beberapa buku yang menggunakan judul
mendefinisikan fikih dalam pengertian ilmu Syari’at Islam tetapi maksudnya adalah
hukum sebagai ilmu yang mengkaji fikih Islam.23
hukum-hukum syar’i yang ditetapkan Apa yang dikemukakan di atas
mengenai tingkah laku orang menjadi menunjukkan bahwa secara praktis dalam
subjek hukum seperti hukum wajib, beberapa kata syari’ah dan fikih digunakan
sunnah, haram, fasad, sah dan lain secara sinonim dan dapat dipertukarkan
sebagainya. Sedangkan dalam arti sebagai yang satu dengan yang lain. Hal ini
hukum itu sendiri, fikih dimaksudkan memang dapat dimengerti karena syari’ah
sebagai kumpulan hukum syar’i mengenai dan fikih keduanya tidak dapat dipisahkan
satu sama lain. Syari’ah memerlukan fikih
17
Syamsul Anwar, “Islamic Jurisprudence of dalam rangka penjabarannya menjadi
Christian-Muslim Relations”, Al Jami’ah, No. peraturan rinci guna menghadapi situasi
60, Tahun 1997, 134.
18
Nyazee, Theories of Islmic Law: The
kongkrit, sementara fikih mestilah
Methodology of Ijtihad, (Islamabad: Islamic
Research Insitute, 1994), 20-21.
19
Ahmad Hassan, Early Development of Islamic
22
Law, 1. Ahmad Zarqa’, al Fiqh al Islami fi Saubuhi al
20
Ahmad Zarqa’, al Fiqh al Islami fi Saubuhi al Jadid, 51.
23
Jadid, (Beirut: Dar al Fikr, 1967), I, 54-55. Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islami wa
21
Salam Madkur, al Fiqh al Islami, ( ttp: Maktabah Adillatuhu, (Damaskus: Dar al Fikr, 1980), IV,
Abdullah Wahbah, 1995), 44. 837.

310 Epistemologi, Ontologi dan …


AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

bersumber kepada syari’ah, sehingga tidak Mesir yang terkenal dengan “qawl qadim”
mungkin ada fikih tanpa syari’at.24 dan “qawl jadid”.
Meskipun antar kedua konsep Analisis mengenai syari’ah dan fikih
"syari’ah" dan "fikih" tidak dapat dipisah- ini menjelaskan konsep hukum Islam
kan, pandangan lebih kritis menyatakan dilihat dari segi formalnya dalam
bahwa keduanya dibedakan. Syari’ah keseluruhan, yaitu sebagai “body of Islamic
merupakan ketetapan Illahi yang legal rules” atau himpunan hukum syar’i
diwahyukan, dan pembuatnya (Syari’) yang mengatur tingkah laku manusia.
adalah Tuhan sendiri, sementara fikih
adalah upaya manusia untuk memahami 3. Hukum Syar’i
syari’ah dan karena itu subjeknya adalah Apakah hukum syar’i itu sendiri?
manusia yang disebut “faqih”. Sesuai Uraian mengenai pengertian hukum syar’i
dengan arti literal fikih, yaitu paham, ini akan menjelaskan konsep hukum Islam
mengerti atau tahu maka fikih merupakan dilihat dari segi hakekat dan substansinya.26
kumpulan hukum Islam yang merupakan Arti etimologi hukum dalam bahasa
hasil pemahaman dan interpretasi terhadap Indonesia diserap dari bahasa Arab “al
syari’ah yang diwahyukan Tuhan. Salah hukm” yang secara harfiyah dalam bahasa
seorang ahli hukum Islam kontemporer aslinya dipakai untuk berbagai pengertian
melukiskan syari’ah sebagai jalan lempang sesuai dengan konteksnya, misalnya
yang digariskan Tuhan untuk manusia, diartikan sebagai keputusan, ketetapan,
sementara fikih merupakan rambu-rambu peraturan, ketentuan, kekuasaan,
yang dibuat kemudian untuk memudahkan pemerintahan, dekrit, norma atau nilai
lewat dijalan tersebut.25 hukum.27
Konsekuensi pandangan ini adalah Asal mula makna "hukum" dalam
bahwa syari’ah merupakan kewenangan bahasa Arab adalah "mencegah". Hakim
(otoritas) Ilahi dan manusia tidak dapat dinamakan "hakim", karena keputusannya
melakukan intervensi guna merubahnya. mencegah orang untuk bertindak yang tidak
Sebaliknya fikih bisa berubah setiap saat semestinya dan dengan keputusan hakim
sesuai dengan perubahan kondisi manusia. itu orang tersebut tercegah untuk
Fikih zaman lampau dapat saja berbeda dan menyimpang dari hal yang benar.28 Selain
memang demikian adanya dengan fikih itu, kata “al hukm” juga berarti bijaksana
masa kini dan fikih Arab berbeda dengan (hikmah). Karena keputusan hakim yang
fikih Indonesia sebagaimana halnya fikih sifatnya mencegah dari perilaku yang
Syafi’i berbeda fikih Hanafi. Bahkan fikih menyimpang dari kebenaran merupakan
Syafi’i sendiri mengalami perubahan suatu hal yang bijaksana. Secara umum
sehingga terjadi perbedaan ketika di Irak kata “al hukm” berarti “al qada bi al adl”
dengan fikih ketika beliau menetap di 26
Syamsul Anwar, Epistemologi Hukum Islam,
125-126.
27
Ahmad Hassan, The Principles of Islmic
Jurisprudence, The Commad of The Syari’ah
24
Syamsul Anwar, Epistemologi Hukum Islam, and Judicial Norm, (Delhi: Adam Publishers &
Disertasi Tahun 2000, IAIN Sunan Kalijaga Distributors, 1994), 7.
28
Yogyakarta, 124. M Salam Madkur, al Hukmu al Tahyiri au
25
An Na’im, Towars an Islamic Reformation.,Civil Nadzariyyah al Ibahah inda Usuliyyin wa al
Liberties, Human Rights, and International Law, Fuqaha, (Mesir: Dar al Nahdah al Arabiyyah,
(Syracuse: Syracuse University Press, 1990), 50. 1965), 16.

Epistemologi, Ontologi dan … 311


AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

(memutuskan dengan adil). Dalam bahasa itu berisi tuntutan, alternasi (pemberian
Arab kata "hukum" dipakai dalam arti kata pilihan) atau penetapan.30
benda (bi al makna isim maf’ul), seperti arti Terdapat dua pemahaman mengenai
kata yang baru disebutkan, dan arti kata maksud titah Ilahi (khitab Allah) dalam
kerja (bi al makna masdarayn), yaitu definisi diatas. Pertama pandangan teoritisi
"memutuskan", "menetapkan", hukum Islam (ushuliyyin) dari aliran
"memerintah", "berkuasa". Mutakallimin (Syafi’iyah) dan kedua
Secara umum hukum dalam bahasa pandangan teoritisi hukum Islam dari aliran
Arab dipakai dalam arti "menetapkan Hanafiyah (Fuqaha). Menurut para teoritisi
sesuatu yang lebih baik untuk menyatakan hukum Islam dari aliran Mutakalimin
hubungan afirmasi maupun negasi (dalam dengan "titah Ilahi" di sini dimaksudkan
arti kata kerja)" atau "ketetapan mengenai sebagai "pernyataan mental (al-kalam
hubungan afirmasi atau negasi sesuatu yang nafsi) yang merupakan isi dari pernyataan
lain (dalam kata benda)". Misalnya seorang verbal (al kalam lafdzi) dan bukan
menyatakan gedung itu bagus atau gedung pernyataan verbal itu sendiri".31 Pernyataan
tidak bagus. Di sini orang tetap menetapkan verbal itu adalah ungkapan dalam wujud
gedung itu bagus atau tidak bagus. kata–kata dari pernyataan mental. Seperti
Tindakan orang itu mensifati gedung ditegaskan oleh al-Qarafi (684 H/1285 M),
tersebut (kata kerja) dan pernyataannya hukum adalah pernyataan mental dan
mengenai gedung itu bagus (kata benda) bukan pernyataan verbal, karena verbal itu
adalah hukum menurut pengertian hukum. adalah dalil hukum. Jadi yang dimaksud
Contoh lain adalah tentang penetapan dengan titah Ilahi sebagai hukum di sini
kualifikasi hakim perihal penetapan hukum adalah pengertian yang terkandung dalam
bersalah atau tidak. Pernyataan afirmasi firman Allah dan sabda Nabi yang menyapa
atau negasi mengenai hubungan dua hal perbuatan manusia, sedangkan teks firman
menyangkut hubungan kausal alam fisik Allah atau teks Hadits Nabi adalah dalil
disebut hukum alam. Apabila menyangkut hukum. Hal ini dapat dibandingkan dengan
hubungan logika pikiran disebut hukum kita mengatakan, di dalam konteks hukum
akal, apabila menyangkut masalah syari’ah positif, bahwa pasal undang-undang itu
disebut hukum syar’i.29 adalah sumber hukum, hukumnya adalah isi
Secara teknis dalam teori hukum yang dirumuskan dalam Undang-Undang
Islam, hukum syar’i didefinisikan sebagai tersebut.32
"titah (khithab) Ilahi menyangkut perbuatan Selanjutnya titah Ilahi itu bisa
subjek hukum, titah yang berupa tuntutan, berwujud mewajibkan, melarang,
perizinan dan penetapan". Definisi ini menganjurkan, memakruhkan atau mem-
mengandung dua hal, pertama, bahwa bolehkan manusia sebagai subjek hukum
hukum itu adalah titah Illahi yang tertuju untuk melakukan atau tidak melakukan.
kepada manusia sebagai subjek hukum
menyangkut tingkah lakunya. Kedua, 30
Sadr al Syari’ah, al Taudih fi Hal Gawamid al
bahwa hukum yang merupakan titah Ilahi Tanqih, (Kairo: Dar al Ahd al Jadid li al Tiba’ah,
1957), I, 13-14.
31
Al Ghazali, al Mustasfa min Ilmi al Ushul, 119-
200.
32
Al Qarafi, Tanqih al Fusul fi Ikhtilaf al Mahsul,
29
Syamsul Anwar, Epistemologi Hukum Islam, (Beirut: Maktabah Kulliyat al Azhariyyah,
127. 1973), 67-68.

312 Epistemologi, Ontologi dan …


AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

Dan bisa berupa menetapkan hubungan dua Mutakalimin melihat titah itu dari sudut
hal yang satu menjadi sebab, syarat atau sumbernya yaitu pembuat hukum Syari’,
penghalang bagi yang lain. Contohnya sehingga diartikan aksi-Nya menyapa
adalah berbagai firman Allah dalam manusia. Fuqaha melihat titah itu dari segi
keharusan memenuhi perjanjian yang telah efek yang ditimbulkan terhadap manusia.
dilaksanakan, pelarangan seseorang untuk Adapun hukum sebagai kategori dan
makan riba berlipat-lipat atau pembunuh penilaian tingkah laku, hal ini sebenarnya
tidak boleh menerima dari warisan telah disinggung bahwa hukum yang
terbunuh.33 merupakan titah Ilahi yang ditujukan
Uraian di atas memperlihatkan bahwa kepada perbuatan manusia itu berisi
para teoritisi hukum Islam aliran tuntutan, perizinan atau penetapan.
Mutakallimin mengkonsepsikan hukum Tuntutan, sebagai isi dari titah ilahi itu, ada
dalam arti kata kerja, karena hukum tidak kalanya berupa tuntutan melakukan suatu
lain dari tindakan pembuat hukum Syar’i perbuatan seperti tuntutan melakukan
mewajibkan, melarang, menganjurkan, sesuatu perbuatan agar memenuhi
memakruhkan atau membolehkan subjek perjanjian, atau agar tidak membunuh jiwa
hukum untuk melakukan atau tidak yang diharamkan oleh Allah. Begitu juga
melakukan suatu perbuatan atau dengan hukum tuntutan seperti wajib,
menetapkan kaitan dua hal di mana yang nadab, tahrim, karahah dan mubah.36
satu menjadi sebab, syarat atau jadi Penetapan adalah bahwa Pembuat hukum
penghalang yang lain.34 syar’i menetapkan kaitan atau hubungan
Adapun para teoritisi hukum Islam dua hal yang satu dijadikan sebab, syarat
dari aliran Fuqaha mengkonsepsikan atau penghalang bagi yang lain. Seperti
hukum sebagai efek yang timbul dari titah hubungan peristiwa pembunuhan sengaja
Ilahi bukan titah itu sendiri, dengan dengan peristiwa penjatuhan pidana qisas.
demikian hukum termasuk kategori Ia menetapkan bahwa peristiwa
penderitaan, yaitu efek yang timbul dari pembunuhan sengaja menjadi sebab
adanya aksi Tuhan menyapa tingkah laku dijatuhkannya pidana qisas kepada pelaku
manusia. Apabila Syari’ memerintahkan pembunuhan.
pemenuhan perjanjian maka efek dari Paparan di atas memperlihatkan
perintah itu adalah pemenuhan perjanjian adanya delapan kategori hukum, yaitu ijab,
itu menjadi wajib.35 tahrim, nadab, karahah, ibahah, penetapan
Meskipun tampak berbeda kedua sebab, penetapan syarat, penetapan
konsep hukum yang dikemukakan di atas, penghalang. Lima kategori pertama
pada hakekatnya tidak berbeda dinamakan hukum taklifi dan tiga terakhir
substansinya karena kedua belah pihak hukum wadli, sedangkan yang bersifat
sama mengakui hukum sebagai titah Ilahi, alternasi dinamakan tahyir. Apabila
perbedaannya terletak hanya pada sudut dihubungkan dengan perbuatan manusia,
pandang pijakan awal masing-masing. maka perbuatan tersebut menjadi wajib,
haram, mandub, makruh, mubah, sebab,
33
Al Ma’idah (5); 1. syarat atau penghalang. Dengan demikian
34
Al Ghazali, al Mustasfa min Ilmi al Ushul, I, 59-
60.
35 36
Amin Badsyah, Taisir al Tahrir, (Beirut: Dar al Syamsul Anwar, Epistemologi Hukum Islam,
‘Ilmiyyah, tt), II, 129. 134.

Epistemologi, Ontologi dan … 313


AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

nampak bahwa hukum syar’i itu merupakan bahwa ia serta hukum yang wajib ditaati itu
kategorisasi terhadap perbuatan manusia datang dari Allah.
namun bukan kategorisasi yang bersifat Al-Qur'an merupakan sumber dari
deskriptif belaka, melainkan kategorisasi segala sumber hukum, darinya ditimbang
normatif karena di dalamnya terkandung hukum-hukum lain. Dalam merumuskan
suatu penilaian. Justru tidak berlebihan semua hukum, manusia jika menghendaki
apabila dikatakan bahwa hakekat hukum kemashlahahan dan keselamatan harus
syar’i adalah merupakan penilaian Ilahi berpedoman dan berwawasan al-Qur'an.
terhadap perbuatan manusia.37 Penentangan dan perlawanan terhadap al-
Qur'an merupakan pengingkaran terhadap-
D. Sumber Hukum Islam nya. Hukum dan undang-undang buatan
Kata–kata "sumber hukum Islam" manusia tidak boleh menyalahi kaidah-
merupakan terjemahan dari mashadir al- kaidah hukum al-Qur'an. Kesesuaian dan
ahkam oleh ulama fikih dan ushul klasik kesejiwaan hukum dengan al-Qur'anlah
atau adillah al-syar'iah oleh ulama sekarang yang dikehendaki. Dengan cara ini manusia
yang diartikan sebuah wadah yang memperoleh kesejahtera-annya.
merupakan tempat penggalian norma- Bukti yang menyatakan bahwa al-
norma hukum dan ini hanya berlaku pada Qur'an merupakan sumber dan dalil hukum
al-Qur'an dan Sunnah.38 Sedangkan dalil yang utama dan pokok, dapat ditemukan
merupakan petunjuk yang membawa kita dalam al-Qur'an sendiri. Seluruh al-Qur'an
kepada usaha untuk menemukan hukum dari segi lafadz dan maknanya adalah qat’iy
atau sebagai media untuk menemukan al wurud. Artinya semua lafadz dan makna
hukum, seperti ijma, qiyas, istihsan, dalam al-Qur'an datang dari Allah tanpa
istislah, sad al-zari’ah, istishhab, ‘amal ahl diragukan lagi keasliannya. Dengan
al-Madinah, syar’u man qablana, demikian semua lafadz adalah mutawatir.
mashlahah mursalah, dan lain sebagainya. Sedangkan dari segi dalalah hukumnya
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang sebagian qathi wurud sebagian lagi dzanni
diturunkan kepada Nabi Muhammad dalam al-dalalah. Qath’i al-dalalah berarti
bahasa Arab dengan perantaraan Malaikat ketentuan hukumnya tidak membutuhkan
Jibril sebagai hujjah (argumentasi) bagi- penafsiran lagi. Sedangkan ketentuan
Nya dalam mendakwahkan kerasulan-Nya hukum dzanni al-dalalah adalah
dan sebagai pedoman hidup bagi manusia mengandung dan menampung berbagai
yang dapat dipergunakan untuk mencari penafsiran.
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat
serta media untuk bertaqarrub kepada Allah E. Nilai Epistemik Sunnah.
dengan membacanya. Tidak ada Sedangkan sunnah adalah suatu
perselisihan pendapat di antara kaum laporan mengenai masa lalu, khususnya
muslimin tentang al-Qur'an itu sendiri laporan seputar Nabi menyangkut
sebagai hujjah yang kuat bagi mereka dan perkataanya, perbuatannya dan persetujuan
diam yang ditunjukinya (taqrir). Pertanya-
an yang timbul dari segi epistemologi
37
Ibid., 136.
38
Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 81.
40 Ibid, 83.

314 Epistemologi, Ontologi dan …


AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

adalah mungkinkah kita mengetahui masa sejarah.41 Kepastian kita tentang historisitas
lampau?39 figur ini persis sama dengan kepastian kita
Para ushuliyyin, sebagimana diamati tentang adanya tempat-tempat yang jauh
oleh Weiss, menyadari bahwa pengetahuan dari kita dan belum pernah kita kunjungi
kita tentang masa lalu itu terbatas adanya, seperti Mekkah, Baghdad, Mesir, Cina dan
karena masa lalu itu telah lenyap buat sebagainya. Barang siapa yang
selamanya dan tidak mungkin dihadirkan mengingkari semua ini adalah benar-benar
kembali secara empiris. Apa yang masih gila dan keras kepala. Persoalannya adalah
tersisa tentangnya dalam rekaman atau bagaimana pengetahuan hal-hal di luar
dalam memori kolektif masyarakat tidaklah jangkauan pengalaman inderawi manusia
memadai untuk dianggap sebagai suatu itu dimungkinkan, pada zamannya para
pengetahuan yang pasti. Maksimal yang ushuliyyin klasik berhadapan dengan para
dapat kita lakukan dalam upaya penganut paham empiris, yang berpendapat
merekontruksi masa lalu itu adalah bahwa tiada pengetahuan yang diluar
membuat opini yang tentatif (dzanni). pengalaman inderawi manusia.
Bahkan berlaku juga terhadap laporan Menurut ushuliyyin pengalaman
sekitar Nabi sendiri yang merupakan inderawi bukan satu-satunya sumber
sumber ajaran dan sumber agama. Namun andalan yang masih bagi pengetahuan
sebaliknya para ahli ushuliyyin juga manusia. Di samping indera masih terdapat
menyadari bahwa merelatifikasi sejarah sumber lain yang valid asalkan
masa silam secara menyeluruh adalah suatu pengetahuan mengenai peristiwa atau objek
tindakan kebodohan dari sudut pandang yang jauh dan di luar jangkauan
agama berarti pengingkaran terhadap pengalaman empiris manusia dapat
wahyu itu sendiri yang merupakan diperoleh. Prinsip yang melandasi
peristiwa masa lalu. Oleh karena itu pengetahun ini diambil dari prinsip yang
menurut para ushuliyyin pastilah ada suatu sama ketika diterapkan di peradilan.
bagian dari masa lalu itu dan barangkali Melalui kesaksian yang benar dari para
merupakan inti sejarahnya yang dapat kita saksi, hakim di pengadilan dihubungkan
ketahui secara pasti. Atas dasar itu para kepada peristiwa sebenarnya dari kasus
ushuliyyin membedakan pengetahuan yang sedang ia tangani. Kesaksian
tentang masa lalu menjadi pengetahuan memungkinkan kita memperluas di luar
yang bersifat pasti (qath’i) dan pengetahuan capaian pengalaman individual kita, seperti
yang bersifat tentatif (zhanni).40 pengetahuan kita tentang keberadaan kota-
Kita tentu yakin dengan pasti bahwa kota yang jauh yang belum pernah kita
figur seperti Abu Hanifah, Syafi’i atau kunjungi.42
bahkan Nabi Muhammad sediri adalah Dalam pengetahuan sejarah mengenai
figur historis yang benar-benar ada dalam zaman lampau, kesaksian serangkaian
orang yang disebut rawi dalam teori 'ulum
39
Syamsul Anwar, Epistemologi Hukum Islam,
Disertasi, Tahun 2000, IAIN Sunan Kalijaga,
41
272. Al-Ghazali, al Mustasfa min Ilmi al Ushul,
40
Bernad Weiss, “Knowledge of The Past: The (Kairo: Syirkah al Tiba’ah al Fanniyah al
Theory of Tawatur According to Al-Ghazali”, Muftahidah, 1971), 156.
42
SI, LXI, (Paris:, 1985), 84. Sebagaimana dikutip Heer (ed), Islamic Law and Yurisprudence,
oleh Syamsul Anwar dalam Epistemologi (London: University of Washinton Press, 1990),
Hukum Islam, 273. 9.

Epistemologi, Ontologi dan … 315


AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

al-hadits dan pembentukan sanad yang Mayoritas ushuliyyin menyatakan


menghubungkan kita ke masa lalu menjadi bahwa pengetahuan yang dihasilkan
jembatan yang memungkinkan kita melalui laporan mutawatir termasuk
memiliki pengetahuan tentang masa silam pengetahuan niscaya, yaitu pengetahuan
itu. Seperti ditegaskan oleh Syafi’i, dasar yang tercipta dalam diri manusia
pengetahuan kita tentang perintah Nabi sedemikian rupa tanpa ia menyadari proses
tidak lain adalah laporan tentang dan penalaran diskursif yang terjadi. Seperti
berasal darinya seperti halnya dasar terjadi pembunuhan dan sejumlah banyak
pengetahuan hakim di pengadilan untuk orang yang menyaksikan peristiwa itu
memberikan suatu keputusan hukum adalah tentang kejadiannya maka laporan orang
laporan dari kesaksian saksi. Pada pertama barangkali menimbulkan asumsi
hakekatnya adalah laporan mengenai yang belum begitu kuat. Namun laporan
peristiwa lampau yang telah terjadi. Oleh orang kedua, ketiga dan selanjutnya
karena itu kriteria yang diterapkan untuk menambah kuat keyakinan kita tentang
menguji kebenaran laporan zaman silam itu peristiwa yang terjadi.45
adalah seperti kriteria untuk menguji Jenis yang kedua adalah ahad.
kesaksian para saksi.43 Laporan soliter ini tidak menghasilkan
Karenanya ada dua kategori laporan, pengetahuan pasti, melainkan hanya
yaitu laporan mutawatir dan ahad. Laporan menimbulkan pengetahuan tentatif, dan ini
mutawatir merupakan laporan yang merupakan bagian terbesar dari laporan
dialirkan melalui banyak jalur yang masa silam diseputar Nabi.
sedemikian rupa di mana tidak
memungkinkan terjadinya persekongkolan F. Otentikasi Sunnah dan Kriteria
untuk memalsukannya. Sedangkan laporan Kebenaran
tunggal (ahad) adalah laporan yang Sunnah adalah sebuah pernyataan
disampaikan melalui satu jalur atau lebih historis yang bersifat singuler dan bukan
tetapi tidak mencapai derajat mutawatir. merupakan deskripsi menyeluruh mengenai
Secara epistemologis laporan mutawatir bagian tertentu dari masa silam. Adanya
menimbulkan pengetahuan (ilmu). sunnah dari Ibn Mas’ud yang mengatakan:
Mutawatir sendiri berarti bertubi-tubi atau “ apa yang dipandang baik oleh kaum
beruntun. Jadi keberuntunan serta muslimin adalah baik di sisi Allah” adalah
banyaknya jalur dan sumber laporan sebuah penyataan singular mengenai satu
tersebut menimbulkan kepastian tentang peristiwa, yaitu peristiwa Ibn Mas’ud
kebenaran isinya. Laporan mutawatir pernah membuat pernyataan. Apabila
termasuk laporan jenis ini, yaitu laporan Sunnah dipersempit lagi maksudnya
yang kebenaran isinya diketahui dengan dibatasi hanya pada pernyataan
berdasarkan laporan itu sendiri, tanpa historis masa silam seputar Nabi yang
tergantung kepada atau ditentukan oleh lazimnya disebut "hadits", maka tampak
verifikasi empiris.44 bahwa setiap hadits adalah suatu penyataan
singular di sekitar Nabi.46

43
Al Syafi’i, Ihtilaf al Hadits, (Beirut: Dar al
45
Kutub al Ilmiyah, 1986), 12-13. Al-Ghazali, Al Mustasfa min Ilmi al Ushul, 170.
44 46
Syamsul Anwar, Epistemologi Hukum Islam, Syamsul Anwar, Epistemologi Hukum Islam,
281. 283-284.

316 Epistemologi, Ontologi dan …


AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

Bagi para ahli hukum Islam seperti baru dikatakan berprestasi apakah nilai
halnya seluruh sejarahwan adalah penting sembilan atau aktif dalam kelas atau
bahwa pernyataan singular historis itu menjadi rujukan pertanyaan bagi temannya.
benar. Bagi para ahli hukum Islam Hal ini akan lebih kentara lagi dalam
kebenaran khabar atau singular sekitar Nabi penyelidikan historis mengenai zaman
itu memiliki arti penting karena pernyataan lampau yang telah lenyap selamanya dan
tersebut menjadi premis yang kepadanya karena itu fakta harus direkontruksi.48
dikaitkan kebenaran hukum yang Kenyataan fakta yang menjadi acuan
disimpulkan dari penyataan historis kebenaran suatu pernyatan menurut teori
tersebut. Lalu di sini kita berhadapan korespondensi harus ditetapkan dan karena
dengan maksud pernyatan benar itu. Dalam itu terutama dalam kajian sejarah fakta
filsafat epistemologis dikembangkan tidak seluruhnya lepas dari kontruksi
beberapa teori kebenaran, namun untuk subjek membawa teori korespondensi
pengkajian kebenaran laporan sejarah mendekati perbatasan dengan teori
dianggap dua teori yang relevan, yaitu teori koherensi. Menurut teori ini ukuran
korespondensi dan teori koherensi.47 kebenaran suatu pernyatan adalah
Menurut teori kebenaran koherensinya dengan pernyataan terdahulu
korespondensi suatu pernyataan adalah yang sudah diterima kebenarannya. Jadi
benar apabila pernyatan itu sesuai dengan pernyataan disini tidak dihadapkan kepada
fakta, dan sebaliknya apabila tidak sesuai fakta melainkan dihubungkan kepada
dengan fakta maka pernyataan itu tidak pernyatan lain.
benar. Jadi inti teori kebenaran Hubungannya dengan sunnah bahwa
korespondensi adalah penekanan pada untuk menentukan khabar atau hadits
ekuivalensi kebenaran dan kenyatan atau digunakan metode otentikasi seperti
fakta. Misalnya untuk menguji apakah dikemukakan diatas yang mulai dengan
pernyatan sekarang hujan, adalah benar kita penelitian sanad dan dengan penelitian
harus pergi keluar rumah dan melihat matan. Sanad pada hakekatnya bukan
apakah memang faktanya ada hujan atau sebuah teori yang dikonstruksi, melainkan
tidak. Hanya apabila di luar memang hujan sebuah fakta yang terlepas dari subjek yang
pernyataan tersebut adalah benar jika tidak mengkajinya, sanad itu ada meskipun ia
berarti salah. Contoh hujan diatas adalah juga harus ditetapkan keabsahannya.
contoh yang sederhana. Persoalannya Namun sekali ia dinyatakan sah adalah
apabila fakta tidak sesederhana dan tidak suatu fakta. Kebenaran khabar atau hadits
selalu mudah untuk ditangkap guna diacukan kepadanya. Oleh karena itu
menjadi acuan kebenaran suatu pernyataan. kiranya tidak terlalu berlebihan apabila
Fakta sering harus dirumuskan dan dikatakan bahwa teori kebenaran dalam
ditetapkan. Apabila kita hendak menguji kajian khabar dan hadits bermula dengan
dalam suatu kelas misalnya, ada dua anak kebenaran korespondensi. Hanya saja
yang berprestasi, maka kita harus teorisasi hukum Islam dan ahli hadits tidak
merumuskan bagaimanakah seorang siswa mencukupkan dirinya dengan penelitian
sanad, tetapi dilanjutkan dengan penelitian
47
FR. Arkensanit, Refleksi tentang Sejarah,
Pendapat-pendapat Modern tentang Sejarah,
48
Dick Hartono (terj), (Jakarta: Gramedia, 1987), Syamsul Anwar, Epistemologi Hukum Islam,
112-113. 286.

Epistemologi, Ontologi dan … 317


AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

matan, yaitu memeriksa isi pernyataan dalam diri penerima laporan secara tanpa
dengan khabar atau hadits apakah sesuai terelakkan.50
dengan pernyatan lain yang sudah diterima
kebenarannya seperti penyataan al-Qur'an G. Metode Penemuan Hukum Islam
hadis sahih lainnya dan kriteria lain. Jadi Dalam perspektif ushul fiqih,
dengan demikian jelas di sini diterapkan setidaknya terdapat tiga pola (tariqat) atau
teori kebenaran koherensi. Secara metode ijtihad, yaitu bayani (linguistik),
keseluruhan dalam pengkajian khabar atau ta’lili (qiyasi: kausasi) dan istislahi
hadits digabungkan teori kebenaran seperti (teleologis).51 Ketiganya, dengan
dikemukakan terdahulu. modifikasi di sana sini, merupakan pola
Akan tetapi penyelidikan dan umum yang dipergunakan dalam
perdebatan mengenai kekurangan dan menemukan dan membentuk peradaban
kelebihan masing-masing dari kedua teori fiqih dari masa ke masa. Dengan berbagai
kebenaran ini membawa kepada pola dan basis epistemik inilah lahir dan
kesimpulan bahwa keduanya bukan teori tersusun ribuan kitab fiqih dengan derivasi
yang bertentangan satu sama lain. Justru cabang yang bermacam-macam di
sebaliknya saling melengkapi teori dalamnya.
korespondesi menunjukkan kepada apa Pola ijtihad bayani adalah upaya
yang kita maksudkan bila mengatakan penemuan hukum melalui interpretasi
bahwa suatu pernyataan benar dan teori kebahasaan. Konsentrasi metode ini lebih
koherensi menunjukkan bagaimana berkutat pada sekitar penggalian pengertian
menetapkan kebenaran suatu penyataan. makna teks. Usaha ini mengandung
Dengan kata lain yang pertama kelemahan jika dihadapkan dengan
mendefinisikan konsep kebenaran dan yang permasalahan yang baru yang hanya bisa
kedua menunjukkan ukuran untuk diderivasikan dengan makna yang jauh dari
49
mengecek kebenaran. teks. Pola implementasi inilah yang
Kebenaran khabar mutawatir tidak berkembang dan dipergunakan oleh para
dapat dimasukkan ke dalam teori kebenaran mujtahid hingga abad pertengahan dalam
yang ada, karenanya teori kebenaran jenis merumuskan berbagai ketetapan hukum.
ini adalah tersendiri dan dapat disebut Mereka hanya melakukan reproduksi
sebagai teori kebenaran mutawatir. makna dan belum melakukan produksi
Pengetahuan mutawatir bukan kebenaran makna baru.
inferensial, data eksternal bukan objek Sebagai pengembangan, sebenarnya
verifikasi empiris untuk mendapatkan pada masa kontemporer ini mulai ada
pengetahuan itu. Tetapi data empiris itu upaya rethinking metode ini dengan
harus ada untuk terwujudnya pengetahuan memakai alat bantu filsafat bahasa yang
mutawatir hanya analisanya berlangsung 50
Al Baqillani, Kitab al Tamhid, (Beirut: al
secara tanpa disadari prosesnya. Hal ini Maktabah al Syarqiyyah, 1957), 11
karena sifat tawatur. Kebenaran laporan ini 51
Ijtihad istihsani tidak dianggap sebagai pola
merupakan suatu keniscayaan yang tercipta ijtihad yang berdiri sendiri dengan alasan
beberapa bagian aplikasinya masuk bahasan
ijtihad qiyasi dan sebagian yang lain dalam
katagori istislahi, Lihat lebih lanjut pada
Muhammad Ma’ruf ad-Dawalibi, al-Madhal ila
‘Ilm Usul al-Fiqh, (Ttp: Dar al-Kitab al-Jadid,
49
Ibid., 290. 1965), hlm. 419

318 Epistemologi, Ontologi dan …


AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

memungkinkan dapat melakukan produksi cabang yang memiliki persamaan illat.53


makna baru. Salah satu pendekatan Dalam epistemologi hukum Islam pola ini
dimaksud adalah interpretasi produktif teraplikasi melalui qiyas. Dasar rasional
yang dikemukakan oleh Gadamer.52 aplikasi pola ini adalah adanya keyakinan
Interpretasi produktif sebagai model dari kuat mujtahid yang melakukan qiyas
hermeneutika memiliki relevansi tersendiri mengenai adanya suatu atribut (wasf) pada
dalam upaya interpretasi terhadap kasus pokok yang menjadi alasan
penemuan hukum Islam. Mekanisme ditetapkannya hukum yang berlaku
interpretasi produktif Gadamer ini dimulai terhadap kasus tersebut dan atribut yang
dengan memandang suatu teks tidak hanya sama terdapat pada kasus cabang sehingga
terbatas pada masa lampau (masa teks itu hukum kasus pokok itu berlaku pada kasus
dibuat) tetapi memiliki keterbukaan untuk cabang.
masa kini dan mendatang untuk ditafsirkan Dengan melihat dasar dan pola
menurut pandangan suatu generasi. Sebagai operasionalnya, terlihat bahwa metode ini
hal yang bersifat historis, sebuah sangat gagap jika harus dihadapkan pada
pemahaman sangat terkait dengan sejarah, penyelesaian berbagai kasus baru yang
yaitu merupakan gabungan dari masa lalu muncul. Ke-monolitik-an metode ini
dengan masa sekarang. menguasakan hukum segala persoalan
Namun, upaya ini sepertinya tidak aktual kepada nas, dengan cara
begitu berkembang. Karena kurangnya menempelkan hukum masalah di dalam nas
spisifikasi analisis sosial dan tiadanya (asal) kepada cabang. Deduktifitas qiyas –
mekanisme operasional yang jelas adalah di dengan sendiri– menjauhkannya dari
antara faktor kurang berkembang dan nuansa empirical approach, alih-alih
diminatinya metode ini. Akhirnya, apriori equilibrium approach bagi sebuah
54
asumsi muncul bahwa pengembangan metode, yang mengakibatkan produk
penafsiran teks dengan memakai tawaran hukum yang dihasilkan terasa utopis, sui
Gadamer ini, bagaimanapun diusahakan, generis, dan “ngawang-ngawang”, tidak
tetap saja akan terjebak dengan hegemoni menyelesaikan masalah. Karena, ideal
makna lama dari pada pencapaian makna sebuah metode penemuan hukum tidak
baru. Dalam konteks sebagai sarana bantu semata berpijak pada nalar bayani (bahasa,
penyelesaian kasus hukum baru, upaya teks, nas) akan tetapi perpaduan gerak nalar
penafsiran ini berimplikasi pada pencapaian bayani dan nalar alami (perubahan
status hukum yang tetap rigid dan kaku. empirik).
Karena, upaya maksimal yang dapat Upaya penemuan metode yang
dilakukan hanya mampu memodifikasi prospektif-futuristik sebenarnya dapat
makna baru teks, membuat metode ini diharapkan pada pola ijtihad istislahi yang
hanya cocok dipakai dalam ranah terbatas. 53
Lihat uraian metode ini pada Mahsun Fuad,
Sedangkan pola ijtihad ke dua yaitu “Ijtihad Ta’lili sebagai Metode Penemuan
ta’lili (kausasi) berusaha meluaskan proses Hukum Islam (Telaah dan Perbandingannya
berlakunya hukum dari kasus nas ke kasus dengan Analogi Hukum positif),” Hermenia
Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol.3, No. 1,
Januari-Juni 2004, hlm. 57-79.
54
Yang penulis maksud dengan istilah
52
Lihat lebih lanjut pada Hans George Gadamer, “equilibrium approach” adalah pendekatan yang
Truth and Method, (New York: The Seabury mengkombinasikan secara seimbang (adil) aspek
Press,1975). teks dan konteks atau normatif dan historis.

Epistemologi, Ontologi dan … 319


AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

lebih memberi ruang kepada kemungkinan bahwa kajian metode hukum Islam
analisis sosial. Namun usaha yang dirintis memang terfokus dan tidak lebih dari pada
oleh al-Ghazali55 dan tertata sebagai bidang analisis teks.58 Lebih dari itu, definisi di
keilmuan yang mantap dan terstruktur di atas juga memberi petunjuk bahwa hukum
tangan as-Syatibi56 ini tidak begitu dalam Islam hanya dapat dicari dan
berkembang, dipakai sebagai piranti ijtihad. diderivasi dari teks-teks wahyu saja (law in
Alasan umum realitas ini adalah tiadanya book). Sementara itu, realitas sosial empiris
kata mufakat di antara pemikir akan yang hidup dan berlaku di masyarakat
otensitas dan landasan epistemik pola ini (living law) kurang mendapatkan tempat
sebagai metode penemuan hukum Islam. yang proporsional di dalam kerangka
Sebagaimana akan terlihat nanti betapa metodologi hukum Islam klasik.
prospek metode ini akhirnya hilang dan Lemahnya analisis sosial empiris
baru muncul pada akhir-akhir ini dengan (lack of empiricism) inilah yang disinyalir
format, struktur dan kemasan yang modern. oleh banyak pihak menjadi satu kelemahan
Sampai di sini, terasa sekali kesan mendasar dari cara berpikir dan pendekatan
bahwa studi hukum Islam yang dalam metode penemuan hukum Islam
berkembang selama ini adalah semata-mata selama ini.[64] Dari tiga model metode
bersifat normatif dan sui-generis. Kesan penemuan hukum Islam yang merupakan
demikian ini sesungguhnya tidak terlalu jabaran dari ushul fiqh klasik di atas, adalah
berlebihan, karena jika kita cermati dari ilustrasi nyata akan semua asumsi sulitnya
awal dan mendasar, usul al-fiqh sendiri – kajian hukum Islam memberi proporsi yang
yang nota bene merupakan induk dasar seimbang bagi telaah empiris. Studi ushul
metode penemuan Islam itu sendiri— al-fiqh pada akhirnya masih berputar pada
selalu saja didefinisikan sebagai " ‫اﻟﻘﻮاﻋﺪ‬ pendekatan doktriner-normatif-deduktif dan
‫"ﻹﺳﺘﻨﺒﺎط اﻵﺣﻜﺎم اﻟﺸﺮﻋﯿﺔ اﻟﻌﻤﻠﯿﺔ ﻣﻦ أدﻟﺘﮭﺎ اﻟﺘﻔﺼﯿﻠﯿﺔ‬ tetap saja bersifat sui-generis.59
“seperangkat kaidah untuk mengistimbath-
kan hukum syar’i amali dari dalil-dalilnya H. Tujuan Hukum Islam
yang tafsili”.57 Bangunan hukum dalam Islam telah
Istilah yang tidak pernah lepas jadi terlebih dahulu sebelum para ahli
tertinggal dari semua definisi usul al-fiqh
tersebut adalah kalimat‫ ﻣﻦ أدﻟﺘﮭﺎ اﻟﺘﻔﺼﯿﻠﯿﺔ‬. Ini 58
Secara tegas Hasyim Kamali bahkan menyebut
memberi kesan sekaligus membuktikan bahwa ushul al-fiqh merupakan ilmu yang
menjelaskan sumber-sumber hukum dan
sekaligus metode deduksi hukum dari sumber-
55
Mengenai konsep maslahah al-Ghazalli, lihat al- sumber tersebut. M. Hasyim Kamali, Principles
Ghazalli, Al Mustasfa min Ilm al-Usul, (Beirut of Islamic Jurisprudence, (Cambridge: The
Dar al-Fikr, tt), terutama hlm 251. Islamic Texts Society, 1991), hlm. 1. Cetak
56
Mengenai konsep maslahah lihat pada asy- miring dari penulis.
59
Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, (Ttp: Lihat Abdul Hamid A. Abu Sulayman, Towards
Dar al-Fikr, 1341 H). an Islamic Theory of International Relation:
57
Abu Zahrah misalnya mendefinisikannya New Direction for Methodology and Thought,
sebagai ‫اﻟﻌﻠﻢ ﺑﺎ اﻟﻘﻮاﻋﺪ اﻟﺘﻲ ﺗﺮﺳﻢ اﻟﻤﻨﺎ ھﺞ ﻹﺳﺘﻨﺒﺎط اﻷﺣﻜﺎم‬ 2nd Edition, (Herndon, Virginia: IIIT, 1994),
‫ اﻟﻌﻤﻠﯿﺔ ﻣﻦ ادﻟﺘﮭﺎ اﻟﺘﻔﺼﯿﻠﯿﺔ‬. . Lihat Abu Zahroh, Usul hlm. 87-92. Idem, Crisis in the Muslim Mind,
al-Fiqh, ( ttp.: Dar al-Fikr al-‘Araby, tt.), hlm. 7. alih bahasa Yusuf Talal Delorenzo, 1st Edition,
Wahhab Khallaf juga mendefinisikannya sebagai (Herndon, Virginia: IIIT, 1993), hlm. 43-45.
‫اﻟﻌﻠﻢ ﺑﺎ اﻟﻘﻮاﻋﺪواﻟﺒﺤﻮث اﻟﺘﻲ ﯾﺘﻮﺻﻞ ﺑﮭﺎ إﻟﻰ إﺳﺘﻔﺎدة اﻷﺣﻜﺎم‬ Lihat juga Akh. Minhaji, “A Problem of
‫ اﻟﺸﺮﻋﯿﺔ اﻟﻌﻤﻠﯿﺔ ﻣﻦ ادﻟﺘﮭﺎ اﻟﺘﻔﺼﯿﻠﯿﺔ‬.. Lihat Abdul Methodological Approach to Islamic Law
Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Studies”, al-Jami’ah Journal of Islamic Studies,
Dar al-Qalam, tt.), hlm. 12. No. 63/VI tahun 1999, hlm. iv-v.

320 Epistemologi, Ontologi dan …


AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

memikirkan untuk membuat konsep atau Abu Zahrah mengatakan bahwa hukum
teori tentang tujuan hukum Islam. Orang Islam mengambil individu sebagai fokus
pertama yang berhasil menyusun teori pembinaan. Pertama-tama Islam membidik
tujuan hukum dalam Islam dengan individu agar memiliki keimanan dan sifat
sistematis adalah al-Ghazali. Ia hidup bisa dipercaya sebagai cara untuk mencapai
ketika pengkajian dalam hukum Islam telah tujuan sosialnya. Ibadah yang dimaksud
disusun lengkap. Al-Ghazali mengemuka- sebagai cara mendidik individu agar
kan teorinya tentang maqashid syari’ah berguna bagi masyarakat dan
Islam. Istilah yang dikemukakannya menjauhkannya diri dari sifat me-
menjadi terkenal dan dipergunakan untuk mentingkan diri sendiri. Abu Zahrah
menunjuk apa yang sekarang dikenal mengutip ayat al-Qur'ani, Hadits Nabi dan
sebagai tujuan hukum. Pada pokoknya, berbagai tata cara ibadah yang
tujuan hukum dalam Islam adalah maslahah mencerminkan hikmah ibadah, mulai dari
yang secara bahasa sama artinya dengan shalat sampai haji.62
manfa’ah (manfaat) dan sering diberi Selain itu, hukum Islam juga
pengertian sebagai kepentingan manusia. bertujuan menegakkan keadilan di kalangan
Al-Ghazali mengatakan bahwa masyarakat. Keadilan harus tegak mulai
maqashid syari’ah dibagi menjadi dua dari peradilan sampai pada mu’amalah
wilayah, yaitu maslahah dunia dan akhirat. (hubungan antar manusia). Ajaran Islam
Masing-masing wilayah ditegakkan dengan juga menegaskan persamaan manusia di
dua langkah, yaitu langkah tahshil muka hukum, tanpa memandang kekayaan,
(mengusahakan terpenuhinya manfaah) dan pangkat, rasa, golongan, kelas dan
ibqa’ (usaha menghilangkan mudarat).60 sebagainya. Artinya Abu Zahrah hanya
Kedua wilayah tersebut dilebur lalu dibagi merekontruksi dari kemapanan yang ada
ke dalam lima sektor maslahah (kulliat al- bukan membuat spekulasi seperti yang
khams), yaitu nafs (perlindungan terhadap terjadi dalam sejarah pemikiran Barat. Ia
nyawa), aql (perlindungan terhadap akal), mengutip ayat, hadits, meneliti fikih yang
din (perlindungan terhadap agama), nasl telah ada untuk melakukan penyimpulan
(perlindungan terhadap keturunan) dan mal induktif.63
(perlindungan terhadap hak milik). Masing-
I. Makna Maqasid Syari’ah
masing didukung oleh aturan hukum Islam Secara lughawi (bahasa), maqashid
(fikih) dalam seluruh bab sebagaimana syari’ah terdiri dari dua kata, “maqashid”
yang tercantum dalam kitab-kitab fikih. dan “syari’ah”. Maqashid adalah berarti
Aturan ini dikelompokkan dalam tiga kesengajaan atau tujuan. Syari’ah secara
kategori, yaitu peringkat dharuriyat, hajiyat bahasa berarti “tahadur amwadi ila al ma’”
dan tahsiniyat.61 yang berarti jalan menuju sumber air, yang
Pemikir Islam belakangan ada yang dapat diartikan dengan jalan ke arah
memasukkan dua hal lagi ke dalam tujuan sumber pokok kehidupan.64 Dalam periode
hukum Islam, yaitu bahwa hukum Islam
bertujuan mendidik manusia dan keadilan. 62
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu al Ushul Fiqh,
Jakarta: MTDII, 1972), 200-202.
60 63
Al-Ghazali, Syifa’ al Ghalil, (Baghdad: tnp, Muhammad Abu Zahrah, Ushul al Fiqh, (tt: Dar
1971), 159-160. al Fikr al Arabi, tt), 364.
61 64
Al-Ghazali, al Mustasfa min Ilmi al Ushul, I, Akhmad Raisuni, Nadzariyyat al Maqashid Inda
161.. al Al-Syathibi, (Rabath: Dar al Aman, 1991), 67.

Epistemologi, Ontologi dan … 321


AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

awal, syari’ah merupakan nusus al hukum Islam yang disyari’atkan baik dalam
muqaddasah dari al-Qur'ani dan sunnah Al-Qur'ani maupun sunnah melainkan di
yang mutawatir yang sama sekali belum dalamnya terdapat kemaslahatan.
dicampuri oleh pemikiran manusia, Karenanya kandungan inti dari maqashid
sehingga dalam wujud seperti ini disebut syariah adalah kemaslahatn umat, yang
thariqah mustaqimah. dapat terlihat bukan secara teknis belaka
Apabila kita teliti arti syari’ah secara tapi juga dalam upaya dinamika dan
bahasa diatas, dapat kita katakan bahwa pengembangan hukum selanjutnya.
terdapat keterkaitan kandungan makna
antara syari’ah dan air, dalam arti J. Eksplanasi Maqasid Syari’ah
keterikatan antara cara dan tujuan. Sesuatu Tujuan hukum harus diketahui oleh
yang hendak dituju tentu merupakan mujtahid dalam rangka mengembangkan
sesuatu yang amat penting. Syariah adalah pemikiran hukum dalam Islam secara
cara atau jalan. Air adalah sesuatu yang umum dan menjawab persoalan hukum
hendak dituju. Pengaitan antara syari’at dan kontemporer yang kasusnya tidak diatur
air tampaknya dimaksudkan untuk secara eksplisit oleh Al-Qur'ani dan Hadits.
memberikan penekanan pentingnya syari’at Lebih dari itu, tujuan hukum Islam harus
dalam memperoleh sesuatu yang penting diketahui dalam rangka mengetahui,
yang disimpulkan dengan air. Penyimbulan apakah suatu kasus masih dapat diterapkan
air ini cukup tepat karena air merupakan berdasarkan suatu ketentuan hukum, karena
unsur alam yang sangat penting. adanya perubahan struktur sosial, hukum
Begitu juga dengan pandangan Al- tersebut tidak dapat diterapkan. Dengan
Syathibi sebagai tokoh yang mengelaborasi demikian pengetahuan tentang maqashid
lebih jauh tentang maqashid syari’ah. syari’ah menjadi kunci bagi keberhasilan
Kandungan maqashid syariah atau tujuan mujtahid dalam ijtihadnya. Tentu yang
hukum adalah kemaslahatan manusia. dimaksud dalam persoalan hukum di sini
Pemahaman maqashid syari’ah mengambil adalah hukum yang menyangkut bidang
porsi yang besar dalam kajian Al-Syathibi. mu’amalah.65
Menurut pandangannya maqashid syari’ah Diakui bahwa pada dasarnya bidang
bertitik tolak dari bahwa semua kewajiban mu’amalah dalam ilmu fikih dapat
(taklif) diciptakan dalam rangka diketahui makna dan rahasianya oleh
merealisasikan kemaslahatan manusia. Tak manusia (ma’qulat al-ma'na). Sepanjang
satupun hukum Allah dalam pandangannya maslahah itu argumentatif maka
yang tidak mempunyai tujuan. Hukum yang penelusuran terhadap masalah–masalah
tidak mempunyai tujuan sama dengan taklif mu’amalah menjadi penting. Dalam hal ini
ma la yuthaq (memberikan sesuatu yang tak mujtahid dapat, bahkan harus,
dapat dilaksanakan). Sesuatu hal yang tak mempertanyakan mengapa Allah Swt dan
mungkin terjadi pada hukum Tuhan. Rasul-Nya menetapkan hukum tertentu
Abu Zahrah dalam kaitan ini dalam bidang mu’amalah. Pertanyaan
menegaskan bahwa tujuan hakiki hukum semacam ini lazim dikemukaan dalam
Islam adalah kemaslahatan. Tak satupun filsafat hukum Islam. Pengaruh lebih lanjut
65
Satria Effendi M Zein, “Maqashid Syariah dan Satria Effendi M Zein, “Maqashid Syariah dan
Perubahan Sosial”, Dialog, (Balitbang Depag, Perubahan Sosial”, Dialog, (Balitbang Depag,
No 33, Tahun XV, 1991), 21 No 33, Tahun XV, 1991), 21

322 Epistemologi, Ontologi dan …


AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

dari pertanyaan tersebut adalah, apakah bertentangan. Dalam hal ini peringkat
suatu aturan hukum tertentu masih dapat dharuriyah menempati urutan pertama
diterapkan dalam kasus hukum yang lain.66 disusul oleh hajiyat, kemudian disusul oleh
Tujuan Allah mensyariatkan hukum- tahsiniyat. Namun di sisi lain dapat dilihat
Nya adalah untuk memelihara bahwa peringkat ketiga melengkapi
kemaslahatan manusia, sekaligus untuk peringkat kedua, dan peringkat kedua
menghindari mafsadat, baik di dunia melengkapi peringkat pertama.
maupun di akhirat. Tujuan tersebut hendak Yang dimaksud dengan "memelihara
dicapai melalui taklif, yang pelaksanaannya kelompok dharuriyat" adalah memelihara
tergantung pada pemahaman sumber kebutuhan yang bersifat esensial bagi
hukum utama yaitu, al-Qur'ani dan Hadist. kehidupan manusia. Kebutuhan yang
Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan esensial itu adalah memelihara agama,
di dunia dan akhirat, berdasarkan penelitian jiwa, akal, keturunan dan harta dalam batas
ushuliyyin, ada lima unsur pokok yang jangan sampai eksistensi ke lima pokok itu
harus dipelihara dan diwujudkan, ke lima terancam. Tidak terpenuhinya atau tidak
pokok tersebut adalah agama, jiwa, akal, terpeliharanya kebutuhan itu akan berakibat
keturunan, dan harta. Seorang mukallaf terancamnya eksistensi ke lima pokok di
akan memperoleh kemaslahatan, ketika ia atas. Berbeda dengan kelompok hajiyyat,
dapat memelihara ke lima aspek pokok tidak termasuk kebutuhan yang essensial,
tersebut, sebaliknya ia akan merasakan melainkan kebutuhan yang dapat
adanya mafsadah, ketika ia tidak dapat menghindarkan manusia dari kesulitan
memelihara ke lima unsur dengan baik.67 dalam hidupnya. Tidak terpeliharanya
Menurut al-Syathibi, penetapan kelima kelompok ini tidak mengancam eksistensi
pokok di atas didasarkan atas dalil–dalil al- ke lima pokok di atas, tetapi hanya akan
Qur'ani dan Hadits. menimbulkan kesulitan bagi mukallaf.
Dalil tersebut berfungsi sebagai Kelompok ini erat kaitannya dengan
qawaid kulliyat dalam menetapkan kulliyat rukhsah atau keringanan dalam fikih.
khams. Atau al-Qur'ani yang dijadikan Sedangkan kebutuhan dalam kelompok
dasar pada umumnya adalah ayat-ayat tahsiniat adalah kebutuhan yang menunjang
Makkiyah, yang tidak di-nasakh dan ayat- peningkatan martabat seseorang dalam
ayat madaniyah yang mengukuhkan ayat masyarakat dan di hadapan Tuhannya,
Makkiyah. Guna kepentingan menetapkan sesuai dengan kepatutan.68
hukum, kelima unsur di atas dibedakan Guna memperoleh gambaran yang
menjadi tiga peringkat, dharuriyat, hajiat, utuh tentang teori maqashid syari’ah,
dan tahsiniyat. Pengelompokan ini berikut ini akan dijelaskan kelima pokok
didasarkan pada tingkat kebutuhan dan kemaslahatan dengan peringkatnya masing-
skala prioritasnya. Urutan peringkat ini masing.69 Uraian ini bertitik tolak dari
akan terlihat kepentingannya, ketika kemaslahatan yaitu: agama, jiwa, akal,
kemaslahatan yang ada pada masing- keturunan dan harta. Berikut penjabaran
masing peringkat satu sama lain dari kemaslahatan tersebut adalah:

66
Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam,
68
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 104. Ibid, II, 4.
67 69
Al Al-Syathibi, al Muwafaqat fi Ushul al Fiqh, Al Buti, Dawabith al Maslahah fi al Syari’ah al
(tt: Dar al fikr, tt), III, 62-64. Islamiyah, (Beirut: Muasasah, tt), 249-254.

Epistemologi, Ontologi dan … 323


AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

1. Memelihara Agama eksistensi manusia, melainkan hanya


Berdasarkan kepentingannya, dapat mempersulit hidupnya. Ketiga, memelihara
dibedakan menjadi tiga peringkat: pertama, jiwa dalam peringkat tahsiniyat, seperti
dengan peringkat dharuriyah, yaitu ditetapkannya tata cara makan dan minum.
memelihara dan melaksanakan kewajiban Hal ini hanya berhubungan dengan
keagaman yang masuk peringkat primer, kesopanan dan etika sama sekali tidak akan
seperti melaksanakan shalat lima waktu. mengancam eksistensi jiwa manusia,
Kalau shalat itu diabaikan, maka akan ataupun mempersulit kehidupan
71
terancamlah eksistensi agama. Kedua, seseorang.
memelihara agama dalam hajiyat, yaitu
melaksanakan ketentuan agama, dengan 3. Memelihara Akal
maksud menghindari kesulitan, seperti Memelihara akal dapat dilihat dari
shalat jamak dan shalat qashar bagi orang segi kepentingannya, terbagi menjadi tiga
yang sedang bepergian. Kalau ketentuan ini peringkat yaitu: pertama, memelihara akal
tidak dilaksanakan maka tidak akan dalam peringkat dharuri, seperti
mengancam eksistensi agama, melainkan diharamkannya meminum minuman keras
hanya akan mempersulit orang yang dan kewajiban menuntut ilmu, jika tidak
melakukannya. Ketiga, dalam peringkat diindahkan, maka akan berakibat
tahsiniyat, yaitu mengikuti petunjuk agama terancamnya eksistensi akal. Kedua, dalam
guna menjunjung tinggi martabat manusia, peringkat hajiat, seperti anjuran
sekaligus melengkapi pelaksanaan mengembangkan ilmu pengetahuan dalam
kewajiban terhadap Tuhan, misalnya mengembangkan peradaban manusia,
menutup aurat, baik di dalam maupun sekiranya hal ini dilakukan, maka tidak
diluar salat, membersihkan badan, pakaian akan merusak akal, tetapi akan mempersulit
dan tempat. Kegiatan ini erat kaitannya diri dalam kaitannya dengan
dengan akhlak terpuji.70 pengembangan ilmu pengetahuan. Ketiga,
dalam peringkat tahsiniat, seperti
2. Memelihara Jiwa menghindarkan diri dari menghayal atau
Memelihara jiwa, berdasarkan tingkat mendengarkan sesuatu yang tidak
kepentingannya dapat dibedakan menjadi berfaedah. Hal ini kaitannya dengan etiket
tiga peringkat; pertama, dalam peringkat yang tidak akan mengancam eksistensi akal
dharuriyat, seperti memenuhi kebutuhan secara langsung.
pokok berupa makanan untuk
mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan 4. Memelihara Keturunan
pokok ini diabaikan, maka akan berakibat Memelihara keturunan ditinjau dari
terancamnya eksistensi jiwa manusia. segi kebutuhannya dapat dibedakan dalam
Kedua, memelihara jiwa, dengan peringkat tiga peringkat: pertama, dalam peringkat
hajiyyat, seperti diperbolehkan berburu dharuri, seperti disyari’atkannya nikah dan
binatang untuk menikmati makanan yang dilarang berzina. Kalau kegiatan ini
lezat dan halal. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka eksistensi keturunan akan
diabaikan, maka tidak akan mengancam terancam. Kedua, dalam peringkat hajiat,
seperti ditetapkannya keturunan menyebut-
70
Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam,
71
129. Ibid., 129-130.

324 Epistemologi, Ontologi dan …


AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

kan mahar bagi suami pada waktu akad menyempurnakan terhadap pelaksaaan
nikah dan diberikan hak dan kewajiban tujuan syariat Islam. Dalam peringkat
diantara keduanya. Sedangkan dalam kasus dharuri, misalnya ditentukan batas minimal
rumah tangga akan mengalami kesulitan, minuman yang memabukkan dalam rangka
jika ia tidak ada aturan relasi hak dan memelihara akal atau ditetapkan adanya
kewajiban pada situasi rumah tangga yang perimbangan dalam hukum qisas, untuk
tidak harmonis. Ketiga, dalam peringkat memelihara jiwa. Dalam peringkat hajji,
tahsiniat, seperti disyariatkannya khitbah misalnya ditetapkan khiyar dalam jual beli
dan walimat al-‘ursy dalam perkawinan. untuk memelihara harta atau kafa’ah dalam
Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi perkawinan, untuk memelihara keturunan.
kegiatan perkawinan. Jika diabaikan, maka Sedangkan dalam peringkat tahsiniat
tidak akan mengancam eksistensi keturunan misalnya ditetapkan tata cara taharah dalam
dan tidak mempersulit orang yang rangka pelaksanaan shalat untuk
melakukan perkawinan.72 memelihara agama.

5. Memelihara Harta K. Kesimpulan


Dilihat dari segi kepentingannya, Pembicaraan tentang filsafat hukum
memelihara harta dapat dibedakan dalam Islam, sebenarnya tidak didudukkan untuk
tiga tahap: pertama, dalam tahap dharuri, saling menafikan atau membongkar dan
seperti disyari’atkannya tentang tata cara membuat yang baru ilmu ushul fiqh,
pemilikan harta dan larangan mengambil melainkan semata-mata cerminan dan
harta orang lain dengan cara tidak sah. perhatian utama yang diberikan oleh
Apabila aturan ini dilanggar maka masing-masing pemikir. Ada kalanya
berakibat terancamnya eksistensi harta. seseorang lebih suka berbicara tentang
Kedua, dalam tahap hajiat, seperti hukum sebagai bersumber dari Tuhan.
disyari’atkannya jual beli dengan cara Orang lain lebih suka berbicara tentang
hutanga atau “salam”. Apabila ini tidak metode menggali hukum dari sumbernya.
terpakai maka tidak mengancam eksistensi Sementara pemikir lain lebih suka
harta melainkan akan mempersulit orang berbicara tentang tujuan dan seterusnya.
yang memerlukan modal. Ketiga, dalam Kajian-kajian yang bervariasi dewasa ini
tahap tahsiniat, seperti ketentuan tentang semestinya digunakan sebagai cara
menghindarkan diri dari pengecohan atau mempertajam analisa dalam wacana hukum
penipuan, hal ini erat kaitannya dengan Islam.
etika ber-muamalah atau etika bisnis. Hal Dengan kata lain teori hukum Islam
ini juga akan berpengaruh kepada sah sebenarnya telah ditulis lengkap dengan
tidaknya jual beli itu.73 segala isinya, mulai dari sumber hukum,
Dalam setiap peringkat, terdapat hal– validitas sumber hukum, cara
hal atau kegiatan yang bersifat memperlakukan sumber hukum, cara
mengatasi maslahah, metode penggalian
72
hukum, tujuan hukum dan sebagainya,
Wael B Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam
Pengantar untuk Ushul Fikih Madzab Sunni, E sehingga secara nyata telah di bahas dalam
Kusnadiningrat dan Abdul Haris bin Wahid hukum Islam meliputi aspek ontologis,
(terj.), (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2000), epistemologis dan aksiologis yaitu hakekat
248-250.
73
Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, 131. hukum, sumber dan cara memperoleh

Epistemologi, Ontologi dan … 325


AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

hukum dan tujuan hukum. Ketika sebuah dengan merunut konsep tujuan hukum yang
“negara Islam” misalnya, menjatuhkan dirumuskan oleh para ahli demi
hukum potong tangan bagi pencuri itu jelas kepentingan manusia.
prosesnya mulai dari fakta tekstual berupa Penonjolan hukum Islam sebagi
al Qur’an dan Sunnah sampai putusan hukum illahi, bukan hukum hasil buatan
hukum. manusia merupakan cerminan dari janji
Hukum Islam merupakan “kerjasama” kesanggupan untuk memelihara kebenaran
antara Tuhan dan manusia. Yang bagian illahi agar terjaga sepanjang masa supaya
Allah lebih kurang tak bisa diubah lagi, selalu siap diekplorasi disetiap zaman
sementara manusia berwenang apa yang ketika dibutuhkan.
menjadi bagiannya. Dalam hukum Islam
juga ada berbagai aliran madhzab, tetapi L. Daftar Pustaka
semuanya menerima al Qur’an, Sunnah dan Al-Qur’an Al Karim
ijtihad sebagai sumber hukum. Ketiganya Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul
merupakan platform minimal yang al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam, tt.)
disepakati dalam pembentukan aturan Abdullah M Husein al ‘Amiri, Dekontruksi
hukum. Sumber Hukum Islam Pemikiran
Ketika sudah diyakini bahwa hukum Hukum Naj ad Din al Thufi, (Jakarta:
Islam adalah hukum Tuhan, sumber hukum Gaya Media Pratama, 2004)
telah jelas, tugas manusia telah jelas, maka Abu Hayyan, Tafsir al Bahr al Muhit,
seluruh kebaikan yang ditemukan oleh (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyyah,
sejarah pemikiran manusia sampai dewasa 1993)
ini, bisa dipergunakan untuk mempertajam Abu Zahroh, Usul al-Fiqh, ( ttp.: Dar al-
atau melengkapi aspek-aspek pemikiran Fikr al-‘Araby, tt.),
hukum dalam Islam. Tampaknya Ahmad Hassan, Early Development of
pandangan dalam filsafat hukum Islamic Law, (Delhi: Adam
konvensional (umum) pun juga amat Publishers & Distributors, 1994)
berguna dipelajari oleh ahli hukum Islam Ahmad Hassan, The Principles of Islmic
agar keseluruhan kerja pemikiran hukum Jurisprudence, The Commad of The
dalam Islam dilakukan dengan seimbang, Syari’ah and Judicial Norm, (Delhi:
sehingga produk pemikiran hukum menjadi Adam Publishers & Distributors,
aturan yang benar-benar matang dan 1994)
komprehensif. Ahmad Zarqa’, al Fiqh al Islami fi Saubuhi
Di sini hukum Islam mampu al Jadid, (Beirut: Dar al Fikr, 1967)
memenuhi dambaan sebuah hukum yang Akh. Minhaji, “A Problem of
berlaku secara universal dan abadi. Karena Methodological Approach to Islamic
manusia kemudian mempunyai hak untuk Law Studies”, al-Jami’ah Journal of
menemukan hukum, memberikan tafsiran, Islamic Studies, No. 63/VI tahun
mengembangkan dan lain sebagainya, 1999,
maka hukum Islam bisa menjadi hukum Akh. Minhaji, “Reorientasi Kajian Ushul
yang sesuai dengan kesadaran hukum Fiqih”, al-Jami’ah Journal of Islamic
masyarakat, yang tumbuh dan berkembang Studies, No. 63/VI tahun 1999.
bersama masyarakat. Hukum Islam juga
dalam batas tertentu diputuskan oleh hakim

326 Epistemologi, Ontologi dan …


AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

Akhmad Raisuni, Nadzariyyat al Maqashid Bernard Weiss, The Search for God’s Law:
Inda al Al-Syathibi, (Rabath: Dar al Islamic Yurisprudence in The Writing
Aman, 1991), of Saikh al Din al Amidi, (Salt Lake
Al Al-Syathibi, al Muwafaqat fi Ushul al City: University of Utah Press, 1992)
Fiqh, (tt: Dar al fikr, tt), III, 62-64. Donald Gotterbarn dalam Barnes dan
Al Asy’ari, Kitab al Luma’ fi Radd Noble, New American Encyclopedia
‘ala Ahl al Zig wa al Bida’, (Beirut: (USA: Grolier Incorporated, 1991)
al Matba’ah al Kasulikiyyah, 1952) Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar
Al Baqillani, Kitab al Tamhid, (Beirut: al baru Van Hoeve, 1997)
Maktabah al Syarqiyyah, 1957) Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam,
Al Buti, Dawabith al Maslahah fi al (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997)
Syari’ah al Islamiyah, (Beirut: FR. Arkensanit, Refleksi tentang Sejarah,
Muasasah, tt) Pendapat-pendapat Modern tentang
Al Ghazali, al Mustasfa min Ilmi al Ushul, Sejarah, Dick Hartono (terj),
(Kairo: Syirkah al Tiba’ah al (Jakarta: Gramedia, 1987)
Fanniyah al Muntahidah, 1971) Hans George Gadamer, Truth and Method,
Al Qarafi, Tanqih al Fusul fi Ikhtilaf al (New York: The Seabury Press,1975)
Mahsul, (Beirut: Maktabah Kulliyat Heer (ed), Islamic Law and Yurisprudence,
al Azhariyyah, 1973) (London: University of Washinton
Al Qurtubi, al Jami’ li Ahkam al-Qur'an, Press, 1990)
(Kairo: Dar al Katib al Arabi li al Husein Hamid Hasan, Al Hukm al Syar’i
Tiba’ah wa an Nasr, 1967) ‘Inda al Usuliyyin, (Kairo: Dar al
Al Syafi’i, Ihtilaf al Hadits, (Beirut: Dar al Nahdah al Misriyyah, 1972)
Kutub al Ilmiyah, 1986) Imran Ahsan Khan Nyazee, Theories of
Al-Ghazali, Syifa’ al Ghalil, (Baghdad: tnp, Islamic Law, (Pakistan: Islamic
1971) Research Institute and International
Amin Abdullah, “Paradigma alternative Institute of Islamic Thought, 1945).
Pengembangan Usul Fikih dan M Arkoun, Pemikiran Arab, Yudian W
Dampaknya pada Fikih Asmin (Terj), (Yogyakarta: Pustaka,
Kontemporer”, dalam Ainurrafiq 1996), 71.
(Ed), Madzhab Yogya: Menggagas M Salam Madkur, al Hukmu al Tahyiri au
Paradigma Ushul Fikih Nadzariyyah al Ibahah inda
Kontemporer, (Yogyakarta; ar-Ruzz Usuliyyin wa al Fuqaha, (Mesir: Dar
Press, 2002) al Nahdah al Arabiyyah, 1965)
Amin Badsyah, Taisir al Tahrir, (Beirut: M. Hasyim Kamali, Principles of Islamic
Dar al ‘Ilmiyyah, tt) Jurisprudence, (Cambridge: The
An Na’im, Towars an Islamic Islamic Texts Society, 1991),
Reformation.,Civil Liberties, Human Mahsun Fuad, “Ijtihad Ta’lili sebagai
Rights, and International Law, Metode Penemuan Hukum Islam
(Syracuse: Syracuse University Press, (Telaah dan Perbandingannya
1990) dengan Analogi Hukum positif),”
as-Salih, ‘Ulum al-Hadis wa Mustalahuh, Hermenia Jurnal Kajian Islam
cet. 9 (Beirut:Dar al-‘Ilm li al- Interdisipliner, Vol.3, No. 1, Januari-
Malayin,1977) Juni 2004

Epistemologi, Ontologi dan … 327


AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

Muhammad Abu Zahrah, Ushul al Fiqh, (tt: Haris bin Wahid (terj.), (Jakarta:
Dar al Fikr al Arabi, tt) Rajagrafindo Persada, 2000)
Muhammad Arkoun, Nalar Islami dan Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islami wa
Nalar Modern: Berbagai Tantangan Adillatuhu, (Damaskus: Dar al Fikr,
dan Jalan Baru, alih bahasa Rahayu 1980)
S. Hidayat, (Jakarta: INIS, 1994) Zarkasi Abdul Salam dan Oman
Muhammad Ma’ruf ad-Dawalibi, al- Fathurrahman, Pengantar Ilmu Fiqh-
Madhal ila ‘Ilm Usul al-Fiqh, (Ttp: Ushul Fikih I, (Yogyakarta; LESFI,
Dar al-Kitab al-Jadid, 1965) 1994).
Nuruddin Itr, Ulumul Hadits, (Bandung:
Rosdakarya, 1997)
Nyazee, Theories of Islmic Law: The
Methodology of Ijtihad, (Islamabad:
Islamic Research Insitute, 1994)
Sadr al Syari’ah, al Taudih fi Hal Gawamid
al Tanqih, (Kairo: Dar al Ahd al
Jadid li al Tiba’ah, 1957)
Salam Madkur, al Fiqh al Islami, ( ttp:
Maktabah Abdullah Wahbah, 1995)
Satria Effendi M Zein, “Maqashid Syariah
dan Perubahan Sosial”, Dialog,
(Balitbang Depag, No 33, Tahun XV,
1991)
Subhi as-Salih, Mabahis fi ‘Ulum al-
Qur’an, cet 9 (Beirut: Dar al-‘Ilm li
al-Malayin,1977)
Syamsul Anwar, “Islamic Jurisprudence of
Christian-Muslim Relations”, Al
Jami’ah, No. 60, Tahun 1997
Syamsul Anwar, Epistemologi Hukum
Islam, Disertasi Tahun 2000, IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Wel B Hallaq, “On inductive
Corroboration, Probability, and
Certainy”, dalam Islamic Law and
Yurisprudence, Nicholas heer (Ed)
Wael B Hallaq, A History of Legal
Theoriies: An Introducion to Sunni
Usul Fikih, (Cambridge: University
Press, 1997)
Wael B Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam
Pengantar untuk Ushul Fikih Madzab
Sunni, E Kusnadiningrat dan Abdul

328 Epistemologi, Ontologi dan …

Anda mungkin juga menyukai