Anda di halaman 1dari 7

PERAN MASYARAKAT SEBAGAI FASILITATOR DALAM MENJAGA KETERTIBAN

DAN KEAMANAN DI WILAYAH KABUPATEN SIGI1:


Oleh: Rizali Djaelangkara2

A. TINNJAUAN KONSEP KEAMANAN


Para pendiri negara sangat sadar bahwa membela negara dan mempertahankan negara
merupakan hak dan kewajiban yang hakiki oleh setiap warga negara yang kemudian dituangkan
dalam Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 30 ayat (1). Implementasi
dari hal tersebut maka negara Indonesia tidak cukup dipertahankan Aparatur kelembgaan negara
saja saja, tetapi perlu sekali mengadakan kerjasama yang serat-eratnya dengan golongan serta
badan-badan di luar tentara dan kepolisian termasuk di luar institusi negara.
Sejarah mengingatkan tentang perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia
pada saat perang kemerdekaan dilaksanakan oleh seluruh lapisan masyarakat secara spontan dan
simultan. Dengan demikian yang wajib mempertahankan dan membela negara Republik Indonesia
serta menyelamatkan rakyat dan bangsa Indonesia seluruhnya dari marabahaya itu tidak lain, yang
mempunyai hak milik sendiri, yaitu rakyat Indonesia seluruhnya.Hal tersebut selaras dengan apa
yang disampaikan oleh mantan Menteri Pertahanan Prof. Dr. Juwono Sudarsono, bahwa rasa aman
di semua aspek kehidupan yang meliputi tata kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya serta
pertahanan dan keamanan bukanlah tanggung jawab pemerintah saja, akan tetapi menjadi
kewajiban seluruh rakyat.

Makna Keamanan nasional dalam arti luas adalah kondisi kehidupan nasional yang bebas
dari berbagai ancaman baik militer maupun non militer, baik yang datang dari luar maupun dari
dalam negeri. Keamanan nasional akan dapat diwujudkan dengan melaksanakan penyelenggaraan
Pertahanan dan Keamanan Negara. Fungsi Pertahanan dan Keamanan ( Hankam ). diselenggarakan
melalui usaha membangun dan membina kemampuan, daya tangkal negara dan bangsa serta
menanggulangi setiap ancaman meliputi sub fungsi pertahanan, sub fungsi keamanan dalam negeri
dan sub fungsi keamanan ketertiban masyarakat. Keseluruhannya
diselenggarakan melalui manajemen damai, manajemen krisis dan manajemen perang, sesuai
dengan ekskalasi ancamannya. Di dalam setiap fungsi tersebut semua kekuatan nasional
mempunyai peran pelibatan sesuai tugas dan fungsinya secara terpadu dan sinergis.

Rasa aman di semua aspek kehidupan yaitu tata kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya dan
Hankam bukanlah tanggungjawab pemerintah saja, akan tetapi menjadi kewajiban seluruh rakyat,
dan oleh karena itu maka sistem pertahanan dan keamanan yang kita susun dinamakan sistem
pertahanan dan keamanan rakyat semesta (Sishankamrata), karena di dalamnya terkandung unsur
kerakyatan di dalam orientasinya yang berarti masalah Hankam diabdikan kepada dan oleh rakyat,

1
Penulis merubah thema dari panitia dari peran masyarakat sebagai mata dan telingan menjadi kata fasilitator, hal ini
dirubah penggunaan kata sebagai mata dan telingah cenderung menempatkan rakyat seakan akan bagian dari
kepentingan kekuasaan/penguasa negara (hegemony), (2) terkesan bersifat top dawn dan monolog. Sedangkan
masyarakat sebagai fasilitator ketertiban dan keamanan, mengandung makna, dalam penanganan hal keamanan tidak
serta merta aspek keselamatan kedaulatan negara semata tetapi di dalamnya mencakup hal yang lebih luas yang
keselamatan dan keamanan manusia sebagai warga masyarakat sipil, yang mampu mandiri, berdaya dan
bertanggungjawab tentang keamanan dan keselematannya di samping adanya tanggungjawab negara. Materi yang
dibawakan pada acara Pembentukan Forum Kewaspadaan dini masyarakat (FKDM) di kecamatan Dolo, Gedung
serbaguna Kantor Camat Dolo, tanggal 23 April 2012.
2
Staf Pengajar FISIP Untad, Ketua Pusat Studi Strategis, Keamanan dan Kebijakan Pembangunan FISIP Untad dan
Narasumber Gubernur Sulteng Periode 2011-2016)
unsur kesemestaan di dalam pelibatannya berarti seluruh potensi serta kemampuan nasional pada
saat dibutuhkan harus dilibatkan dalam upaya Hankamneg dan unsur kewilayahan di dalam
gelarnya berarti untuk mengupayakan optimasi konfigurasi geografi kita tidak disandarkan kepada
satu epicenter kekuatan, akan tetapi merata ke seluruh wilayah nasional.
Pemahaman konsep. Pertahanan dan keamanan sebagai suatu konsep yang merangkum
berbagai subyek, dimensi ancaman, serta sumber daya; dan tidak semata-mata berdimensi tunggal
yang berpusat pada negara. Konsekuensinya, pemahaman atas konsep pertahanan dan keamanan
perlu diperluas untu k menjangkau bukan hanya keamanan sebuah negara sebagai entitas politik
yang sah berdaulat tetapi juga keamanan manusia (human security).

Ancaman Baru Keamanan nasional umumnya dipahami dalam kerangka negara yang berfokus
pada pengakuan resiprokal antara negara. Resiprositas tersebut pada gilirannya menghasilkan
konsep kedaulatan yang terbatas secara teritorial. Tulisan-tulisan lama tentang keamanan nasional
bersandar pada gagasan tentang perlindungan fisik terhadap teritori fisik sebuah negara berdaulat.
Sebab itu, monopoli terhadap penggunaan kekerasan yang absah mutlak berada di tangan negara
dalam wujud angkatan bersenjata. Persoalannya, negara berdaulat tidak sekedar hadir sebagai
protektor teritori fisik melainkan untuk sebuah tujuan yang lebih luas. Dalam tulisan filsuf-filsuf
kontinental seperti Locke, Hobbes dan Adam Smith, negara tidak hanya berfungsi sebagai penjaga
malam melainkan membangun masyarakat yang berkeadaban. Negara adalah sebuah proyek etis
untuk (bahasa pembukaan UUD 1945) melindungi segenap bangsa, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Negara bukan sekadar makhluk politik melainkan
juga kultural yang bersendikan nilai atau prinsip hidup bersama secara berkeadaban. Negara-
kultural biasa disebut sebagai “bangsa”. Konsep “negara-bangsa” pun harus dibaca dalam kerangka
fungsi ganda negara melindungi teritori fisik (batas wilayah) dan non fisik (kultur, keadaban).

Kecenderungan abad-21 ditandai dengan adanya revolusi 4T, yaitu transportation, trade, tourism, dan
telecommunication. Adanya 4T tersebut membuat dunia menjadi sebuah ‘global village’.(Desa Dunia:
Wilayah seakan mengecil) Revolusi 4T di atas menyebabkan terjadinya aliran ‘5 Scapes’ (5 Gerakan
Perpindahan/perputaran) yang semakin deras, yaitu:

1. Technoscape pergerakan teknologi (mekanikal, sistem tata kelola dan informasi) yang menembus batas-
--

batas konvensional. Pemerintah Daerah dan tidak terkecuali Perguruan tinggi, semuanya dituntut harus
mampu menyiapkan diri dalam proses pemberian layanan dan mutu produk luaran dari layanan yang
harus sesuai dengan standar yang semakin ketat.
2. Ethnoscape perpindahan ethnik-demografis yang terkait dengan migrasi, wisata, pengungsian, dan lain-
--

lain. Dalam suatu wilayah akan dihuni dan terjadi pembauran yang mengarah pada masyarakat yang
multi etnik dan multikultural.
3. Finanscape perputaran uang yang pesat melalui mekanisme pasar uang, stock-exchange, dan spekulasi
--

komoditas, investasi modal baik dari luar negeri ata sebaliknya serta privatisasi dan epran swasta dalam
pelayanan publik
4. Mediascape distribusi informasi dan citra yang pesat luar biasa, termasuk teknologi informasi,
--

penggunaan fasiltas telpon seluler dan dunia internet yang semakin jauh menyentuh semua aspek
kehidupan dan wilayah (sampai ke perdesaan).
5. Ideoscape: aliran ideologi antar bangsa yang sulit dibendung. Global Issue seperti HAM, Demokratisasi,
-

Gender, Perubahan Iklim, termasuk pemaksaan konsep-konsep kapitalis seperti Good Governance yang
mengabaikan nilai-nilai kearifan dan kreativitas lokal (Sound Governance)
Revolusi 4T dengan aliran 5-Scape di atas tidak dapat ditolak dan dihindari dan dapat berdampak
negatif maupun positif. Sehingga muncul pertanyaan mendasar, yaitu siapkah Kita menghadapi deraan
revolusi dengan gelombang informasi yang begitu deras dan luar biasa?
Ancaman Keamanan : Tradisional dan Non-Tradisional
Berbicara tentang sistem keamanan nasional tentunya tidak bisa dilepaskan dari defenisi dan
perkembangan konsepsi keamanan itu sendiri. Usaha mewujudkan sistem keamanan nasional yang
kuat sudah pasti memerlukan pemahaman yang mendasar tentang dinamika perkembangan konsepsi
keamanan. Sebagai sebuah konsep, keamanan telah mengalami evolusi pemaknaan yang luas dan
berkembang mengikuti perkembangan dinamika perubahan zaman.
Dalam kajian keamanan, pengertian konsep keamanan setidaknya dapat dilihat dari dua pendekatan
yakni pendekatan tradisional dan non-tradisional. Secara umum, keduanya sama-sama berkutat
mendebatkan wilayah cakupan keamanan (refferent object of security).2 Dalam pendekatan
tradisional, keamanan secara sederhana diartikan sebagai keamanan sebuah negara yang dapat
diancam oleh kekuatan militer negara lain dan harus dipertahankan melalui kekuatan militer negara
itu sendiri. Dalam pendekatan ini, negara (state) menjadi subyek dan obyek dari upaya mengejar
kepentingan keamanan. Pandangan kelompok ini menilai bahwa semua fenomena politik dan
hubungan internasional adalah fenomena tentang negara. Dalam alam pemikiran tradisional ini
negara menjadi inti dalam upaya menjaga keamanan negara.
Seiring dengan berakhirnya perang dingin, diskursus mengenai keamanan pun bergeser tidak lagi
hanya terfokus pada aktor negara. Perkembangan isu-isu strategis seperti globalisasi, demokratisasi,
penegakan HAM dan fenomena terorisme telah memperluas cara pandang dalam melihat
kompleksitas ancaman yang ada dan mempengaruhi perkembangan konsepsi keamanan. Ancaman
tidak lagi hanya berupa ancaman militer tetapi juga meliputi ancaman politik, ancaman sosial,
ancaman ekonomi maupun ancaman ekologis.
Barry Buzan mendefinisikan lima sektor utama yang dicakup dalam pengertian keamanan yang
perlu diwaspadai yakni : (1) the military security yang mencakup dua tingkat pengelolaan
kapabilitas persenjataan negara baik secara ofensif maupun defensif dan persepsi negara terhadap
intensitas satu dengan yang lainnya; (2) the political security yang menaruh perhatian pada
stabilitas organisasi negara, sistem ideologi dan ideologi yang memberi legitimasi kepada
pemerintahan; (3) the economic security yang mencakup pada akses terhadap sumberdaya,
keuangan dan pasar yang untuk menopang tingkat kesejahteraan dan kekuatan negara yang
akseptabel; (4) societal security yang mencakup kelangsungan pola tradisi dari bahasa, budaya,
agama, identitas nasional dan adat termasuk di dalamnya kondisi evolusi yang bisa diterima; dan
(5) environmental security yang menaruh perhatian pada pemeliharaan lingkungan baik secara lokal
maupun global sebagai sebuah dukungan penting terhadap sistem tempat kehidupan manusia
bergantung. Dan masing-masing sektor tidak berdiri sendiri melainkan memiliki ikatan kuat satu
sama lain.
Dalam pendekatan non-tradisional, konsepsi keamanan ditekankan kepada kepentingan
keamanan pelaku-pelaku bukan negara (non-state actors). Konsepsi ini berkembang setelah
menurunnya ancaman militer yang menggerogoti kedaulatan negara dimana di sisi lain
menunjukkan adanya peningkatan ancaman terhadap keamanan manusia pada aspek lain seperti
kemiskinan, penyakit menular, bencana alam, kerusakan lingkungan hidup dan lainnya. Wacana ini
mengemuka ketika para pakar yang dikenal dengan ‘the Copenhagen School’ memperluas refferent
object dari keamanan yang tidak lagi terfokus pada negara melainkan juga memasukkan pentingnya
keamanan manusia.
Sebagai sebuah konsepsi, human security menilai bahwa keamanan juga meliputi keamanan
manusia yang didalamnya mencakup masalah kesejahteraan sosial, perlindungan hak-hak kelompok
masyarakat, kelompok minoritas, anak-anak, wanita dari kekerasan fisik dan masalah-masalah
sosial, ekonomi dan politik. Ciri khas perspektif ini melihat bahwa ancaman utama bagi human
security adalah penolakan hak-hak asasi manusia dan tidak adanya supremasi hukum

B. Faktor Kerentanan yang perlu di Waspadai di Kabupaten Sigi yang Berpotensi


menimbulkan Gangguan Keamanan dan ketertiban

Mencermati kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis, pada kenyataannya


wilayah Kabupaten Sigi memiliki faktor kerentanan dan kerawanan terhadap terjadinya bencana,
baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non-alam maupun faktor manusia. Secara geologis
maupun geografis, Kabupaten Sigi terletak tepat ditengah alur bentangan dari sesar Palu-Koro
yang membentang kurang lebih 1000 Km arau utara keselatan-tenggara, yang mengakibatkan
wilayah kabupaten Sigi sangat rentan terjadi gempa bumi yang disebabkan gempa tektonik oleh
pergerakan lapisan bumi.Berdasarkan pencatatan BMKG (Walhi-2011), dalam kurun 5 bulan
terakhir (akhir 2010), tercatat 3647 gempa bumi yang terjadi di sekitar lembah Palu, yang rata-
rata berkekuatan 1,8 sampai 5,0 SR.
Dilihat secara letak geografis, topografis, dan klimatologi, di mana Kabupaten Sigi terdiri
dari sebagian besar daerah Pegunungan memliki kemiringan lebih ari 450dan Daratan Tinggi
serta sebagain kecil Dataran Rendah, serta terletak terletak di daerah iklim tropis dengan dua
musim yaitu panas dan hujan dengan ciri-ciri adanya perubahan cuaca, suhu dan arah angin yang
cukup ekstrim. Kondisi iklim seperti ini digabungkan dengan kondisi topografi permukaan dan
batuan yang relatif beragam, baik secara fisik maupun kimiawi, menghasilkan kondisi tanah
yang subur. Sebaliknya, kondisi itu dapat menimbulkan beberapa akibat buruk bagi manusia
seperti terjadinya bencana hidrometeorologi seperti banjir, Gerakan tanah, kebakaran hutan dan
kekeringan. Seiring dengan berkembangnya waktu dan meningkatnya aktivitas manusia,
kerusakan lingkungan hidup cenderung semakin parah dan memicu meningkatnya jumlah
kejadian dan intensitas bencana hidro-meteorologi (banjir, Gerakan tanah dan kekeringan) yang
dapt terjadi secara silih berganti. Di samping itu juga di Kabupaten Sigi juga berpotensi
terjadinya bencana akibat faktor biologi (wabah penyakit manusia, penyakit tanaman/ternak,
hama tanaman) serta kegagalan teknologi (kecelakan industri, kecelakaan transportasi,
pencemaran bahan kimia dan B3).
Secara demografis, Kabupaten Sigi yang terdiri dari 15 Kecamatan 156 Desa dengan
jumlah penduduk sebanyak 214.700 Jiwa (Sensus Penduduk BPS 2010), dengan polarisasi etnik
berjumlah 17 Etnik dan terdiri dari 23 Sub-dialeg bahasa. Keragaman etnik dan budaya tersebut
pada sejatinya merupakan modal sosial bagi pembangunan di Kabupaten Sigi. Namun
harmoinisasi dalam keberagaman tersebut masih sangat rentan terjadinya konflik, baik yang
disebabkan oleh fanatisme identitas kelompok yang disebabkan oleh segregasi
teritoral/administrasi wilayah, perbedaan identitas budaya, agama, faktor kesejarahan, yang
semain rentan dengan ditunjang oleh tingkat kesejahteraan masyarakat yang masih rendah, gap
pemerataan pembangunan antar wilayah, serta kases terhadap sumberdaya lokal baik ekonomi,
politik maupun pemerintahan yang belum merata pula. Kondisi mengakibatkan sejak
terbentuknya Kabupaten Sigi hingga medio tahun 2011 telah terjadi 32 kali konflik sosial, baik
yang bersifat horizontal(antara sesama masyarakat antara wilayah/desa), bersifat horiozontal
yang melibatkan masyarakat dengan aparatur/kebijakan negara, maupun bersifat diagonal
sebagai perpaduan sifat konflik tersebut.
Melihat fenomena kerentanan, potensi maupun kejadian bencana di Kabupaten Sigi
tersebut, baik bencana alam maupun bencanakonflik sosial di mana peluang dan eskalasinya
masih sangat besar. Hal ini diakibatkan, di samping beragam faktor kerentanan kondisi alam,
kondisi sosial, ekonomi, politik, budaya yang ada, juga diakibatkan oleh masih rendahnya
kapasitas menghadapai dan menangani bencana, baik di kalangan masyarakat maupun pada
institusi pemerintah daerah di Kabupaten Sigi. Rendahnya kapasitas institusi pemerintahan
bukanlah sebuah kelemahan yang dikehendaki dan bersifat generik dari pelaksana pemerintahaan
yang ada, akan tetapi juga dimaklumi dengan kondisi kabupaten Sigi sebagai Daerah Otonom
Baru (DOB) yang masih perlu melakukan pembangunan dan peletakan landasan awal
pembangunan dan pemerintahan. Akan tetapi karena salah satu sifat dari bencana sering terjadi
secara tiba-tiba, mendesak dan berpotensi melumpuhkan irfrastruktur fisik maupun sosial yang
telah terbangun, bahkan merusak apa yang sudah dihasilkan dari pembangunan, dengan
memperhatikanfenomena kejadian bencana yang disebabkan oleh kondisi Alam dan Sosial
Kabupaten Sigi tersebut, maka urgen keberadaan Forum Kewaspadan Dini masyarakat pada
semua tingkatan Pemerintahan di kabupaten Sigi.

Lebih kanjut kerentanan tersebut secara khusus dapat diraikan sebagai berikut:

a. Kondisi Geomorfologi Kabupaten Sigi, secar Fisik yang terbagi menjadi tiga wilayah yaitu: 1)
kawasan Dataran Rendah, 2) Kawasan Perbukitan, 3) Kawasan Pegunungan, yang mengakibat
hanya sekitar 20-30% Luas Kabupaten Sigi yang dapat dimanfaatkan sebagai Kawasan Budidaya.
Kawasan Lindung terdiri 51%.
b. Kabupaten Sigi merupakan sebuah Daerah Otonom dari segi geo kultural memiliki keberagaman
yang tinggi, baik dari aspek dialeg bahasa, Etnis dan Sub etnis, politik regionalisme yang sempit,
disparitas tingkat kesejahteraan dan perkembangan pembangunan yang masih besar.
c. Mobilitas Nilai buidaya, aktivtas ekonomi dan ancaman gangguan keamanan dan ketertiban karena
letak Kabupaetn Sigi di tengah-tengah wilayah pertumbuhan Sulawesi.
d. Ketersediaa Sarana dan Prasarana yang belum memadai pada Semua Sektor.
e. Kelembagaan dan Kapasitas dan Admisnitrasi pemerintahan Daerah yang belum memadai
f. Base line data semua Potensi Sumberdaya Alam Lokal yang belum terekam secara memadai,
termasuk potensi bahaya dan kerentanan bencana baik alam maupun Sosial,
g. Terjadinya Gap antara kebutuhan lapangan kerja dengan Komptensi tenaga kerja yang ada.
h. Infra Strurktur yang belum memadai, baik Perkantoran Pemerintah, Jalan Penghubung antara
wilayah (wilayah terpencil) maupun fasilitas jalan ke kantong-kantong produksi. Termasuk juga
belum tersedianya infra struktur yang mendukung pembangunan pada semua sektor-sektor lain
yang saling terkait termasuk seperti sektor Pertanian secara Umum, Kesehatan, Pendidikan dan
lain-lain.
i. Kabupaten Sigi berada daerah yang rawan bencana dan rawan konflik.
j. Laju Pembangunan di Daerah sekitar yang membutuhkan tingkatan kapasitas Institusi
Pemerintahan dan Pembangunan Daerah yang harus setara, serta tuntutan pertumbuhan sebuah
daerah otonom baru yang berakibat terjadinya perpindahan hak kemelikan lahan dari pemukim
pertama ke pemukim berikutnya, klaim-klaim lahan karena akibat meningkatnya nilai jual lahan
k. Disharmoni dn distorsi dalam sistem kebijakan dan perencanaan Nasional,
l. Adanya Pemberlakuan Kawasan Bebas Perdagangan Asia dan beberapa isu globalisasi lainnya.
m. Disparitas antara wilayah yang masih tinggi baik dari segi perkembangan ekonomi, akses politik
maupun kaulitas SDM.
n. Dorongan dan tuntutan atas Peran Masyarakat Sipil yang semakin kuat, demokratisasi, multi
kultural dan Penegakan HAM.
C. Peran masyarakat sebagai fasilitator dalam menjaga ketertiban dan keamanan di wilayah
kabupaten Sigi:

1. Tataan lingkup, mencakup Individu, kelompok, keluarga dan masyarakat luas.


Pada tataan ini peran-peran sebagai fasiltator penciptaan/penjagaan suasana ketertiban
dan keamanan dilihat dari peran serta dan inisiatif apakah secara pribadi/individu, dalam
lingkup keluarga, dalam lingkup Ormas dan organisasi kemasyarakatn lainnya
2. Tataan lembaga: Formal, informal dan jaringan, tatan lembaga formla di mana inisiasi
tersebut dilakukan melalui institusi formal baik pemerintah maupun mayarakat, serta
institusi bersifat informal.
3. Tataan Sistem mencakup, Level System, Level Kelembagaan, Level Individu, Level
lembaga dan Level jaringan, mencakup , sebuah pendekatan peserta yang didasrkan atas: (1)
level Kebijakan, yakni upaya peran yang diambil berdasarkan adanya regulasi/kebijakan
tertentu tentang yang mengatur hak/kewajiban dan peran masyarakat (2) level Kelembagaan,
adalah upaya peran serta berdasarkan tindakan formal, kolektif dan melembaga (ada
organisasi permanen), (3) Level individu, adalah upaya peran serta yang ditekankan pada
pemahaman dan peran serta indivisu sebagai bagian masyarakat, (4) Level masyarakat,
adalah upaya peran serta yang berbasis masyarakat baik sebagai kesadaran kolektif
maupun sebagai gerakan masyarakat siaga/waspada bencana. (5) Level Jaringan, adalah
upaya peran serta yang mencakup/berbentuk jejaraing sosial baik yang bersifat horizontal
maupun vertikal, baik seasama jaringan masyarakat sipil maupun antara masyarakat sipil
dengan negara, lintas wilayah dan maupun lintas kelompok.
4. Tataan Kapasitas: Mencakup Pemahaman tentang Kebencanaan, mencakup bencana lama
dan sosial beserta ciri potensi kerentanannya, bentuk kejainannya dan siklus kejadian dan
karakteristik penagangananya. Di sini dituntut bahwa seseorang atau pihak masyarakat
yang berperan serta dan berinisiatif dalam memfasilitasi terrciptanya Sikon Aman tertib,
harus memiliki kemampuan dalam hal:
a. Paham betul apa itu Bencana Alam dan Apa itu Bencana Konflik
b. Memahami ragam karakteristik bahaya/ancaman serta peta bahaya dimaksud.
c. Memahami/mengetahui ciri-ciri faktor kerentanan potensi terjadi bencana, konflik dan
gangguan ketertiban dan keamanan lainnya.
d. Memahami/memiliki sistem Siaga Dini (Early Warning System)3, Sistem Pelaporan,
Sistem Reaksi cepat dan penanggulangannya termasuk Protap.
e. Memahami cara dan mekanisme bekerja menangani bencana alam dan konflik.
f. Berperan dalam membangun dialog dan komunikasi dua arah dari warga ke negara dan
dari negara ke warga.

3
Definisi EWS: sistematisasi pengumpulan dan analisa informasi yang datang dari wilayah krisis dengan
tujuan mengantisipasi Terjadinya bencana/perluasan konflik kekerasan, mengembangkan respon strategis,
memberikan pilihan/opsi terhadap pengambilan keputusan.

Anda mungkin juga menyukai