Makalah AIDS DGN PCP
Makalah AIDS DGN PCP
PENDAHULUAN
1
3. Apa saja manifestasi klinis dari PCP ?
4. Bagaimana patofisiologi PCP ?
5. Bagaimana pathway dari PCP ?
6. Bagaimana penatalaksanaan pada PCP ?
7. Bagaimana pencegahan untuk PCP ?
8. Apa saja pemeriksaan penunjang pada PCP ?
9. Bagaimana asuhan keperawatan pasien AIDS (ODHA) dengan PCP ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mahasiswa dapat mengetahui dan memahami konsep teori yang
berkaitan dengan PCP.
1.3.2 Tujuan Khusus
Untuk mahasiswa dapat mengaplikasikan konsep askep AIDS
(ODHA) dengan PCP dalam menyusun asuhan keperawatan nantinya
saat melakukan asuhan keperawatan kepada klien.
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) merupakan infeksi oportunistik
pada infeksi HIV (human immunodeficiency virus) yang disebabkan oleh
Pneumocystis jiroveci. Infeksi Pneumocystis carinii pneumonia terjadi bila
kadar CD4 penderita kurang dari 200 sel/mm3.
Pneumocystis carinii pneumonia diklasifikasikan sebagai jamur. Lebih
dari separuh (70-80%), penderita AIDS paling sedikit mendapatkan paling
sedikit satu episode PCP pada perjalanan klinisnya, dengan mortalitas berkisar
10-40%. Cara penularan/transmisi pada manusia melalui rute respirasi
(pernapasan).
2.2 Etiologi
Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) merupakan infeksi pada paru
yang disebabkan oleh jamur Pneumocystis carinii, sekarang dikenal dengan
nama Pneumocystis jiroveci.
Infeksi Pneumocystis carinii pneumonia terjadi bila kadar CD4
penderita kurang dari 200 sel/mm3. (Fajar YM, 2013)
Nomenklatur terbaru Pneumocystis jiroveci:
Kingdom : Fungi
Subkingdom : Dikarya
Phylum : Ascomycota
Subphylum : Taphrinomycotina
Class : Pneumocystidomycetes
Order : Pneumocystidales
Family : Pneumocystidaceae
Genus : GePneumocystis (Delanoë & Delanoë 1912)
Species : P. Jiroveci
3
Morfologi Siklus hidup
Vavra dan Kucera (1970) membagi Pneumocystis jiroveci menjadi 3
stadium, yaitu:
a. Stadium trofozoit
Bentuk pleomorfik dan uniseluler, berukuran 1- 5 µ dan memperbanyak
diri secara mitosis. Dengan mikroskop elektron dapat dilihat
ultrastrukturnya sebagai berikut: berdinding tipis (20- 40 µ) dengan
beberapa ekspansi tubular yang disebut sebagai filopodium; umumnya
mempunyai 1 inti tetapi kadang dapat lebih dari 2 inti;
mitokondria,retikulum endoplasmik yang kasar; benda-benda bulat (round
bodies dan vakuol-akuol). Pada pewarnaan Giemsa, inti berwarna ungu
gelap dan sitoplasma biru terang tetapi tidak ada ciri lain yang khas.
Juga dapat dilihat dengan pewarnaan “acridine orange”.
Trofozoit yang kecil (1-1,5 µ) ditemukan di dekat kista yang berdinding
tebal, berbentuk bulan sabit menyerupai “intracystic bodies”
(beberapa sumber menyatakan “intracystic bodies” sebagai trofozoit
yang sedang berkembang). Trofozoit yang besar menempel pada
dinding alveolus dan mempunyai dinding tipis yang sama dengan
trofozoit yang kecil tetapi mempunyai filopodium dan pseudopodium
sehingga berbentuk ameboid.
b. Stadium prakista
Merupakan bentuk intermediate antara trofozoit dan kista. Bentuk oval,
ukuran 3-5 µ dan dindingnya lebih tebal (berkisar antara 40-120 µ)
dengan jumlah inti 1-8. Dengan mikroskop, bentuk ini sukar di
bedahkan dari stadium lainnya tetapi dinding yang lebih tebal dari
stadium prakista dapat diwarnai dengan “methenamine silver”
(Matsumoto dan Yoshida, 1986)
c. Stadium kista
Stadium ini merupakan bentuk diagnostik untuk pneumosistosis
(Matsumoto dan Yoshida,1986), juga diduga sebagai bentuk infektif
pada manusia. Dengan mikroskop fase kontras, kista mudah dilihat,
bentuknya bulat dengan diameter 3,5-12 µ (kurang lebih 6 µ),
4
mengandung 8 sporozoit atau trofozoit yang sedang berkembang
(“intracystic bodies”) yang berdiameter 1-1,5µ. Sporozoit tersebut dapat
berbentuk seperti buah peer, bulan sabit atau kadang-kadang terlihat kista
berdinding tipis dengan suatu massa di tengah yang homogen atau
bervakuol. Kista dan trofozoit mudah diwarnai dengan Giemsa atau
dengan cara Gram- Weiger. Pewarnaan dengan Giemsa baik untuk
melihat bagian- bagian dari parasit. Kapsul berwarna ungu merah,
sitoplasma ungu dan inti ungu biru. Kista yang tidak mengambil warna
dianggap sebagai kista yang berdegenerasi. Untuk menemukan kista,
pewarnaan yang paling cocok adalah Gomori- Silver. Tapi dengan warna
ini tidak mungkin diperiksa susunan dalam kista secara detail. Kista
dapat juga dilihat dengan teknik fluoresen dilabel dengan antibodi (Arean,
1971).
5
Gambar 2. Pneumocystis stages were reproduced from a drawing by Dr.
John J. Ruffolo, South Dakota State University, USA published in
Cushion M. Pneumocystis carinii. In: Collier L, Balows A, Sussman M,
editors. Topley and Wilson's Microbiology and Microbial Infections:
Volume 4 Medical Mycology, 9th ed. New York: Arnold Publishing;
1998. p. 674.
Keterangan gambar :
Fase aseksual: bentuk trofozoit (1) bereplikasi secara mitosis (2) ke (3). Fase
seksual: bentuk trofozoit yang haploid berkonjugasi (1) dan menghasilkan
zigot (early cyst, kista muda) yang diploid (2). Zigot membelah diri secara
meiosis dan dilanjutkan dengan membelah diri secara mitosis untuk
menghasilkan 8 nukleus yang haploid (late phase cyst, kista stadium lanjut)
(3). Kista stadium lanjut mengandung 8 sporozoit yang berisi spora
yang kemudian akan keluar setelah terjadi ekskistasi (diyakini bahwa
pelepasan spora terjadi saat terjadi pembelahan pada dinding sel)
( 4 ) . Stadium trofozoit, dimana organisme ini mungkin berkembang
biak melalui binary fission juga diketahui ada.
6
Semakin lama disnpea akan bertambah hebat disertai takipnea, frekuensi
pernapasan meningkat sampai 90-120 x/menit dan bisa sampai terjadi sianosis.
Pada pasien bukan AIDS onsetnya tidak jelas dengan masa inkubasi
sampai 2 bulan. Pada pasien dengan AIDS, masa inkubasinya lebih lama, rata-
rata sekitar 40 hari tetapi dapat sampai setahun dengan berat badan menurun,
malaise, diare, batuk nonproduktif, dispnea progresif dan demam ringan.
2.4 Patofisiologi
Untuk mengontrol PCP terjadi respon inflamasi yang efektif pada
pejamu. Namun demikian inflamasi yang berlebihan juga dapat menyebabkan
jejas paru selama infeksi. PCP yang berat ditandai dengan infiltrasi neutrofil
pada paru yang menyebabkan kerusakan alveolar difus, gangguan pertukaran
gas dan gagal napas. Jadi sesungguhnya, gangguan napas dan kematian lebih
7
berkorelasi dengan beratnya inflamasi dibandingkan dengan organisme yang
masuk.
Respon imun melawan P. Carinii melibatkan interaksi kompleks antara
limfosit T CD4+, makrofag alveolar, neutrofil dan mediator terlarut yang
memfasilitasi pembersihan kuman. Makrofag alveolar berperan sebagai alat
pertahanan paru dengan memakan dan menghancurkan organisme yang masuk
ke dalam paru. Jika tidak ada opsonin pada cairan di permukaan epitel, maka
makrofag berperan memakan P. Carinii ini. Setelah dimakan makrofag,
organisme dimasukkan dalam fagolisosom dan akhirnya dihancurkan.
Fungsi makrofag terganggu pada kasus AIDS, keganasan atau
keduanya, sehingga pembersihan P. Carinii menjadi berkurang. Makrofag
memproduksi berbagai ragam sitokin proinflamasi, kemokin dan metabolit
eicosanoid sebagai respon untuk memfagositosis P. Carinii. Mediator
proinflamasi berperan dalam eradikasi P. Carinii, namun juga menyebabkan
kerusakan jaringan paru.
Pada infeksi P. Carinii, peran sel T CD4+ paling penting, baik pada
manusia maupun binatang. Risiko terjadinya infeksi meningkat jika jumlah sel
T CD4+ di bawah 200 sel/mm3. Sel CD4+ berfungsi sebagai sel memori untuk
menumbuhkan respon inflamasi pada pejamu dengan cara menarik dan
mengaktivasi sel-sel imun efektor, seperti monosit dan makrofag.
Bagaimana mekanisme sel T CD4+ sebagai respon terhadap infeksi P.
Carinii baru dipelajari dalam beberapa tahun terakhir. Mediator proinflamasi
TNFα dan IL-1 yang dilepaskan makrofag diduga memegang peran penting
mengenali respon imun yang dimediasi oleh sel T CD4+. Sel ini berproliferasi
sebagai respon terhadap antigen P. Carinii kemudian melepaskan mediator
sitokin, seperti limfotaktin dan interferon gamma (INFγ). Limfotaktin adalah
suatu kemokin yang berfungsi sebagai penarik sel-sel limfosit pada PCP.
Diikuti oleh INFγ merangsang makrofag melepaskan TNFα, superoksida dan
spesies nitrogen reaktif yang semuanya berperan untuk menghancurkan
organisme.
8
2.5 Pathway
+
Pneumocystis carinii pneumonia
Virus HIV Sistem Imun Menurun
(PCP) dgn kadar CD4 <200 sel/mm3
Menginfeksi paru-paru
Pengeluaran Toksin
Respons Inflamasi
2.6 Penatalaksanaan
Tata laksana kasus PCP sama dengan tata laksana penyakit lain, terdiri
dari tata laksana umum dan spesifik. Tata laksana umum berupa pemberian
terapi suportif seperti pemberian oksigen dan makanan. Oksigen diberikan
untuk menjaga tekanan oksigen arteri (PaO2) diatas 70 mmHg. Ventilator
diperlukan bila PaO2 kurang dari 60 mmHg. Pemberian bronkodilator dapat
dicoba walaupun tidak banyak membantu. Pasien harus dirawat dalam kamar
terisolasi. Penanganan spesifik adalah pemberian obat-obatan.
9
Tabel 2. Daftar dan dosis obat untuk PCP
Nama Obat Dosis Cara Pemberian
Trimetoprim- 5-20 mg/kg Oral atau intravena
Sulfametoksazol 75-100 mg/kg
Sehari dibagi dalam 4
dosis
Pentamidin 4 mg/kg perhari Intravena
600 mg per hari Aerosol
Primakuin plus 30 mg setiap hari Peroral
Klindamisin 600 mg tiga kali sehari Aerosol
Atovakuon 750 mg dua kali sehari Peroral
10
2. Pentamidin
Pentamidin digunakan sebagai terapi lini kedua; merupakan antiprotozoa
yang mekanismenya dalam melawan Pneumocystis belum jelas diketahui.
Pentamidin merupakan obat toksik dengan efek samping antara lain
hipotensi, aritmia, hipoglikemia, gangguan fungsi ginjal, peningkatan
kadar kreatinin dan trombositopenia.
3. Klindamisin dan Primakuin
Terapi kombinasi dua obat ini efektif mengobati PCP derajat ringan
sampai sedang. Kombinasi ini digunakan pada pasien yang tidak toleran
atau gagal pada pengobatan trimetoprimsulfametoksasol atau pentamidin.
Efek samping yang dapat terjadi antara lain rash, demam, neutropenia,
gangguan gastrointestinal dan methemoglobinemia.
4. Atovakuon
Merupakan antimalaria yang merupakan terapi lini kedua pengobatan PCP.
Walaupun ditoleransi lebih baik dibanding trimetoprim-sulfametoksazol,
obat ini kurang efektif. Efek samping yang terjadi yaitu rash, demam,
gangguan gastrointestinal dan gangguan fungsi hati.
11
2. PCP Sedang
Penderita dianjurkan untuk dirawat di rumah sakit. Pengobatan yang
dapat diberikan adalah Trimetoprim-sulfametoksazol 480 mg dua tablet
tiga kali sehari selama 21 hari.
3. PCP Ringan
Penderita dapat diberi kotrimoksazol peroral 480 mg dua tablet sehari
selama 21 hari atau cukup 14 hari jika respons membaik.
2.7 Pencegahan
Profilaksis PCP
Sebelum dikenal pengobatan HAART 10% PCP sering terjadi pada
CD4 lebih dari 200 sel/mm3. Pemberian highly active antiretroviral therapy
(HAART) pada penderita HIV dapat menurunkan kejadian infeksi
oportunistik. Profilaksis dapat diberikan jika CD4 kurang dari 200 sel/mm3
atau limfosit total kurang dari 14% dengan kandidiasis oral atau demam yang
tidak jelas penyebabnya dan berlangsung lebih dari dua minggu. Regimen
yang diberikan adalah kotrimoksazol dua kali sehari, seminggu dua kali atau
dapsone 100 mg peroral per hari atau atavaquone 750 mg peroral dua kali per
12
hari. Profilaksis dihentikan bila CD4 lebih dari 200 sel/mm3 atau limfosit total
lebih dari 14% yang telah berlangsung lebih dari tiga bulan.
Profilaksis primer pada orang dewasa yang terinfeksi HIV. Pasien HIV
yang sebelumnya pernah menderita PCP harus mendapat profilaksis sekunder
jangka panjang, kecuali telah terjadi rekonstitusi dari sistem imun sebagai
hasil pemberian terapi anti retrovirus aktif, yaitu dengan jumlah sel CD4 >
200 sel/mm3. Profilaksis diberikan kembali jika jumlah sel CD4 kembali
menurun di bawah 200 sel/mm3.
13
Gambar 3. Pemeriksaan BAL Gambar 4. Pewarnaan dengan
Gomori methenamin silver
2. Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR)
Pemeriksaan PCR untuk mendeteksi asam nukleat pneumocystis memiliki
sensitivitas serta spesifi sitas tinggi (88% dan 85%) dari bahan yang
diambil dari induksi sputum dan BAL. Diagnosis defi nitif ditegakkan jika
pada pemeriksaan mikroskopis ditemukan kista Pneumocystis jirovecii.
3. Pemeriksaan radiologis
Foto thoraks memperlihatkan infiltrat bilateral difus yang dapat meningkat
menjadi homogen. Infiltrat bilateral dapat simetris mulai dari hilus hingga
ke perifer dan dapat pula meliputi seluruh lapangan paru.
Pada pemeriksaan HRCT (High Resolution Computed Tomography) untuk
kasus pneumocystis carinii pneumonia seringkali ditemukan gambaran
ground glass opacity yang difus atau patchy yaitu sebanyak 92%.
14
4. Pemeriksaan Laboratorium
Berdasarkan penelitian terbaru pemeriksaan serum Beta-D-glucan
merupakan pemeriksaan yang potensial dan dapat digunakan sebagai
sarana untuk mendiagnosis Pneumocystis jirovecii. Sensitivitas
pemeriksaan Beta-D-glucan dalam mendiagnosis pneumocystis jirovecii
mencapai 92% serta spesifitasnya mencapai 65%. Pemeriksaan Beta-D-
glucan berdasarkan reaksi antigen-antibodi untuk mendeteksi suatu infeksi
jamur di dalam darah manusia telah diakui oleh Food and Drug
Administration (Gripaldo R, Lippmann M, 2012).
Pemeriksaan laboratorium lainnya adalah pemeriksaan kadar serum lactate
dehydrogenase (LDH) dalam darah. LDH hasilnya adalah pada pasien
HIV-AIDS sensitivitasnya mencapai 100% dan spesifitasnya mencapai
47%. Sedangkan pada pasien non HIV sensitivitasnya mencapai 63% dan
spesifitasnya mencapai 43%. Secara keseluruhan keakuratan pemeriksaan
LDH untuk mendiagnosis Pneumocystis carinii pneumonia adalah 52%,
pada pasien non HIV 51% sedangkan pada pasien HIV 58%. (Vogel M,
Weissgerber P, Goeppert B, Hetzel J. 2011)
15
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1. Identitas Pasien : Nama, umur, TTL, jenis kelamin, alamat, suku,
pekerjaan, pendidikan, TMRS, tanggal pengkajian dan diagnosa medis.
2. Identitas Penanggung Jawab : Nama, umur, jenis kelamin, alamat,
hubungan dengan pasien.
3. Riwayat Kesehatan dan Keperawatan : Keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat kesehatan keluarga.
4. Pemeriksaan Fisik Head to toe
1) Keluhan utama
2) Tanda-tanda Vital (TTV)
3) Data Dasar Pengkajian
a. Aktivitas/istirahat
Gejala : kelemahan, kelelahan, insomnia
Tanda : letargi, penurunan toleransi terhadap aktivitas.
b. Sirkulasi
Gejala : riwayat adanya GJK kronis
Tanda : takikardia, penampilan kemerahan, atau pucat
c. Makanan/cairan
Gejala : kehilangan nafsu makan, mual, muntah, riwayat diabetes
mellitus
Tanda : sistensi abdomen, kulit kering dengan turgor buruk,
penampilan kakeksia (malnutrisi)
d. Neurosensori
Gejala : sakit kepala daerah frontal (influenza)
Tanda : perusakan mental (bingung)
e. Nyeri/kenyamanan
Gejala : sakit kepala, nyeri dada (meningkat oleh batuk), imralgia,
artralgi.
16
Tanda : melindungi area yang sakit (tidur pada sisi yang sakit
untuk membatasi gerakan)
f. Pernafasan
Gejala : adanya riwayat ISK kronis, takipnea (sesak nafas),
dispnea.
Tanda : sputum: merah muda, berkarat
1 Ispeksi:
Amati bentuk thoraks
Amati Frekuensi napas, irama, kedalamannya
Amati tipe pernapasan: Pursed lip breathing, pernapasan
diafragma, penggunaan otot bantu pernapasan
Tanda-tanda reteraksi intercostalis , retraksi suprastenal
Gerakan dada
Adakah tarikan di dinding dada, cuping hidung, takhipnea
Apakah ada tanda-tanda kesadaran meenurun
2 Palpasi
Gerakan pernapasan
Raba apakah dinding dada panas
Kaji vocal premitus
Penurunan ekspansi dada
3 Auskultasi
Adakah terdenganr stridor
Adakah terdengar wheezing
Evaluasi bunyi napas, prekuensi, kualitas, tipe dan suara
tambahan
4 Perkusi
Suara Sonor/Resonans merupakan karakteristik jaringan
paru normal
Hipersonor, adanya tahanan udara
Pekak/flatness, adanya cairan dalan rongga pleura
Redup/Dullnes, adanya jaringan padat
Timpani, terisi udara
17
g. Keamanan
Gejala : riwayat gangguan sistem imun misal: AIDS, penggunaan
steroid, demam.
Tanda : berkeringat, menggigil berulang, gemetar
18
bersih dengan dokter normal atau
Tidak untuk pemberian tidak.
terjadi obat sesuai 4. Memberikan
Sianosis indikasi: kenyamanan
mukolitik. pada pasien.
5. Alat untuk
menurunkan
spasme bronkus
dengan
mobilisasi
sekret, analgetik
diberikan untuk
memperbaiki
batuk dengan
menurunkan
ketidaknyamana
n tetapi harus
digunakan secara
hati-hati, karena
dapat
menurunkan
upaya
batuk/menekan
pernafasan.
2. Gangguan Setalah 1. Kaji 1. Manifestasi
pertukaran gas dilakukan frekuensi/kedala distress
berhubungan tindakan man dan pernafasan
dengan keperawatan kemudahan tergantung pada
gangguan 3x24 jam bernafas. indikasi derajat
difusi oksigen diharapkan 2. Observasi warna keterlibatan paru
gangguan kulit, membran dan status
pertukaran gas mukosa dan kesehatan umum.
19
dapat kuku. Catat 2. sianosis kuku
teratasi dengan adanya sianosis menunjukkan
kriteria hasil : perifer (kuku) vasokontriksi
Tidak atau sianosis respon tubuh
nampak sentral. terhadap
sianosis 3. Tinggikan demam/menggigil
Nafas kepala dan namun sianosis
normal dorong sering pada daun telinga,
Tidak mengubah membran mukosa
terjadi posisi, nafas dan kulit sekitar
sesak dalam dan batuk mulut
Tidak efektif. menunjukkan
terjadi 4. Kolaborasi hipoksemia
hipoksia Berikan terapi sistemik.
Klien oksigen dengan 3. tindakan ini
tampak benar misal meningkat
tenang dengan nasal inspirasi
GDA dalam plong master, maksimal,
rentang master venturi.. meningkat
normal pengeluaran
secret untuk
memperbaiki
ventilasi tak
efektif.
4. mempertahankan
PaO2 di atas 60
mmHg. O2
diberikan dengan
metode yang
memberikan
pengiriman tepat
dalam toleransi
20
pernapasan.
21
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Pneumocystis carinii pneumonia merupakan penyakit oportunistik HIV
yang disebabkan oleh Pneumocystis jiroveci.
2. Infeksi Pneumocystis carinii pneumonia terjadi bila kadar CD4 penderita
kurang dari 200/mm3.
3. Profilaksis diberikan bila kadar CD4 pada penderita HIV kurang dari 200
sel/mm3.
4. Obat untuk pengobatan PCP antara lain trimetoprim-sulfametoksazol,
primakuin, klindamisin, atovakuon, dan pentamidin.
4.2 Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Dan
sebagai seorang perawat, kita diharapkan dapat mengaplikasikan asuhan
keperawatan kepada klien dengan baik dan benar.
22
DAFTAR PUSTAKA
23
Hutagalung, Sunna. 2008. PNEUMOCYSTIS CARINII PNEUMONIA
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1899/1/132317264.pdf ,
Diakses tanggal 27 Februari 2017)
http://lontar.ui.ac.id/file?file=pdf/metadata-69959.pdf
24