A
DENGAN PERILAKU KEKERASAN
DI RUANG AKUT RSKD AMBON
DISUSUN OLEH
KELOMPOK 1 AKUT
A. Definisi
Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk
melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya
tingkah laku tersebut (Purba, dkk: 2008). Menurut Stuart dan Sundeen
(2005), perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri
sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk
mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif.
Pada pasien perilaku kekerasan mengungkapkan rasa kemarahan secara
fluktuasi sepanjang rentang adaptif dan maladaptif. Marah merupakan
perasaan jengkel yang timbul sebagai respons terhadap kecemasan/kebutuhan
yang tidak terpenuhi yang tidak dirasakan sebagai ancaman (Stuart &
Sundeen: 2005). Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktivitas
sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang
sangat kuat. Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang, menghancurkan
atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal ini
disalurkan maka akan terjadi perilaku agresif (Purba, dkk: 2008).
Keberhasilan individu dalam berespon terhadap kemarahan dapat
menimbulkan respon asertif yang merupakan kemarahan yang diungkapkan
tanpa menyakiti orang lain dan akan memberikan kelegaan pada individu
serta tidak akan menimbulkan masalah. Kegagalan yang menimbulkan
frustasi dapat menimbulkan respon pasif dan melarikan diri atau respon
melawan dan menentang. Respon melawan dan menentang merupakan respon
yang maladaptif yaitu agresi-kekerasan (Purba dkk: 2008).
B. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan
menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang dijelaskan
oleh Townsend (2005) adalah:
a. Teori biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh
terhadap perilaku:
1) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls
agresif: sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus.
Neurotransmitter juga mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau
menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik merupakan sistem
informasi, ekspresi, perilaku, dan memori. Apabila ada gangguan pada
sistem ini maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial
perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal maka
individu tidak mampu membuat keputusan, kerusakan pada penilaian,
perilaku tidak sesuai, dan agresif. Beragam komponen dari sistem
neurologis mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat
impuls agresif. Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya
perilaku agresif. Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan
pusat agresif.
2) Biokomia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine,
dopamine, asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam
memfasilitasi atau menghambat impuls agresif. Teori ini sangat
konsisten dengan fight atau flight yang dikenalkan oleh Selye dalam
teorinya tentang respons terhadap stress.
3) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara
perilaku agresif dengan genetik karyotype XYY.
4) Gangguan otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi
perilaku agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang
menyerang sistem limbik dan lobus temporal; trauma otak, yang
menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan
epilepsi, khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap
perilaku agresif dan tindak kekerasan.
b. Teori psikologi
1) Teori psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk
mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak
berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan
tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat
meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam kehidupannya.
Perilaku agresif dan kekerasan merupakan pengungkapan secara
terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.
2) Teori pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka,
biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena
dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku
tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak memiliki persepsi
ideal tentang orang tua mereka selama tahap perkembangan awal.
Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru
pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya
ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang
mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman fisik akan cenderung
untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa.
c. Teori sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan
struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang
secara umum menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk
menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada
perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari bahwa
kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara
konstruktif. Penduduk yang ramai/padat dan lingkungan yang ribut
dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial
dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.
C. Faktor Presipitasi
Menurut Yosep (2009) faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku
kekerasan sering kali berkaitan dengan:
a. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas
seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah,
perkelahian masal dan sebagainya.
b. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
d. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan
dirinya sebagai seorang yang dewasa.
e. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
f. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan
keluarga.
D. Tanda dan Gejala
Yosep (2009) mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku kekerasan
adalah sebagai berikut:
a. Fisik
1) Muka merah dan tegang
2) Mata melotot/ pandangan tajam
3) Tangan mengepal
4) Rahang mengatup
5) Postur tubuh kaku
6) Jalan mondar-mandir
b. Verbal
1) Bicara kasar
2) Suara tinggi, membentak atau berteriak
3) Mengancam secara verbal atau fisik
4) Mengumpat dengan kata-kata kotor
5) Suara keras
6) Ketus
c. Perilaku
1) Melempar atau memukul benda/orang lain
2) Menyerang orang lain
3) Melukai diri sendiri/orang lain
4) Merusak lingkungan
5) Amuk/agresif
d. Emosi
1) Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman
2) Rasa terganggu, dendam dan jengkel
3) Bermusuhan, mengamuk, dan ingin berkelahi
4) Menyalahkan dan menuntut
e. Intelektual
1) Mendominasi
2) Cerewet
3) Kasar
4) Berdebat
5) Meremehkan dan sarkasme
f. Spiritual
1) Merasa diri berkuasa dan benar
2) Mengkritik pendapat orang lain
3) Menyinggung perasaan orang lain
4) Tidak perduli dan kasar.
g. Sosial
1) Menarik diri, pengasingan
2) Penolakan
3) Kekerasan
4) Ejekan dan sindiran.
h. Perhatian
1) Bolos
2) Mencuri
3) Melarikan diri
4) Penyimpangan seksual.
E. Mekanisme Terjadinya Perilaku Kekerasan
Menurut Iyus Yosep (2009) kemarahan diawali oleh adanya stressor
yang berasal dari internal atau eksternal. Stressor internal seperti penyakit,
hormonal, dendam, kesal sedangkan stressor eksternal bisa berasal dari
lingkungan seperti ledekan, cacian, makian, hilangnya benda berharga,
tertipu, penggusuran, bencana dan sebagainya. Hal tersebut akan
mengakibatkan kehilangan atau gangguan pada sistem individu (disruption
and loss). Hal yang terpenting adalah bagaimana individu memaknai setiap
kejadian yang menyedihkan atau menjengkelkan tersebut (personal meaning).
Bila seseorang memberi makna positif, misalnya kemacetan adalah
waktu untuk beristirahat, penyakit adalah sarana penggugur dosa, suasana
bising adalah melatih persyarafan telinga maka ia akan dapat melakukan
kegiatan secara positif (compensatory act) dan tercapai perasaan lega
(resolution). Bila ia gagal dalam memberikan makna menganggap segala
sesuatunya sebagai ancaman dan tidak mampu melakukan kegiatan positif
misalnya: olah raga, menyapu atau baca puisi saat ia marah dan sebagainya.
Maka akan muncul perasaan tidak berdaya dan sengsara (helplessness).
Perasaan itu akan memicu timbulnya kemarahan (anger). Kemarahan yang
diekspresikan keluar (exspressed outward) dengan kegiatan yang konstruktif
dapat menyelesaikan masalah. Kemarahan yang diekspresikan dengan
kegiatan destruktif dapat menimbulkan perasaan bersalah dan menyesal
(guilt). Kemarahan yang dipendam akan menimbulkan gejala psikomatis
(painfull symptom).
Perasaan marah normal terjadi pada setiap individu, namun perilaku yang
dimanifestasikan oleh perasaan marah dapat berfungsi sepanjang rentang adaptif
dan mal adaptif.
(Gambar 1)
Provokasi
(ancaman atau kebutuhan yang tidak terpenuhi)
Stress
Cemas
Marah
Marah berkepanjangan
Depresi Agresi
2.6 ASKEP PERILAKU KEKERASAN
Pengkajian
1. Identitas
Meliputi data-data demografi seperti nama, usia, pekerjaan, dan tempat
tinggal klien
2. Keluhan utama
Biasanya klien memukul anggota keluarga atau orang lain.
3. Alasan masuk
Tanyakan pada klien atau keluarga:
a. Apa yang menyebabkan klien atau keluarga datang ke rumah sakit?
b. Apa yang sudah dilakukan oleh keluarga untuk mengatasi masalah ini?
c. Bagaimana hasilnya?
4. Tinjau kembali riwayat klien untuk adanya stressor pencetus dan data
signifikan tentang:
a. Kerentanan genetika-biologik (misal, riwayat keluarga)
b. Peristiwa hidup yang menimbulkan stress dan kehilangan yang baru
dialami
c. Episode-episode perilaku kekerasan di masa lalu
d. Riwayat pengobatan
e. Penyalahgunaan obat dan alkohol
f. Riwayat pendidikan dan pekerjaan
5. Faktor predisposisi
Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan faktor
predisposisi, artinya mungkin terjadi / tidak terjadi perilaku kekerasan
jika faktor tersebut dialami oleh individu:
a. Psikologis, kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi
yang kemudian dapat timbul agresif atau amuk. Masa kanak-
kanak yang tidak menyenangkan yaitu perasaan ditolak, dihina,
dianiaya atau saksi penganiayaan.
b. Perilaku, reinforcement yang diterima saat melakukan kekerasan,
sering mengobservasi kekerasaan dirumah atau diluar rumah,
semua aspek ini menstimulasi individu mengadopsi perilaku
kekerasan.
c. Sosial budaya, budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif
agresif) dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap pelaku
kekerasan akan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan
diterima (permisive).
d. Bioneurologis, banyak pendapat bahwa kerusakan sistem limbik,
lobus frontal, lobus temporal dan ketidakseimbangan
neurotransmiter berperan dalam terjadinya perilaku kekerasan
6. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi dapat bersumber dari klien , lingkungan atau interaksi
dengan orang lain. Kondisi klien seperti kelemahan fisik, keputusasaan,
ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi penyebab
perilaku kekerasan. Demikian pula dengan situasi lingkungan yang ribut,
padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang
dicintai/ pekerjaan dan kekerasan merupakan faktor penyebab yang lain.
Interaksi sosial provokatif dan konflik dapat memicu perilaku kekeraaan.
7. Tanda dan gejala
Padapengkajian awal dapat diketahui alasan utama klien dibawa
kerumah sakit adalah perilaku kekersan dirumah. Kemudian perawat
dapat melakukan pengkajian dengan cara obsevasi dan wawancara. Data
perilaku kekerasan yang diperoleh melalui observasi dan wawancara
tentang perilaku berikut ini:
a. Muka merah dan tegang
b. Pandangan tajam
c. Mengatupkan rahang dengan kuat
d. Mengepalkan tangan
e. Jalan mondar-mandir
f. Bicara kasar
g. Suara tinggi, menjerit atau berteriak
h. Mengancam secara verbal atau fisik
i. Melempar atau memukul benda/ orang lain
j. Merusak barang atau benda
k. Tidak mempunyai kemampuan untuk mencegah perilaku kekerasan.
l. tanda-tanda kekambuhan serta tindakan perawatan sendiri.
Pohon masalah
Resiko mencederai orang lain/lingkungan
Perilaku kekerasan
11. K l i e n m e n d a p a t k a n 11.1 Keluarga dapat 11.1.1 Identifikasi kemampuan keluarga dalam merawat
dukungan keluarga mendemonstrasikan cara klien sesuai dengan yang telah dilakukan keluarga
dalam melakukan cara merawat klien terhadap klien selama ini
pencegahan perilaku 11.1.2 Jelaskan keuntungan peran serta keluarga dalam
k e k e r a s a n merawat klien
11.1.3 Jelaskan cara- cara merawat klien :
a. Terkait dengan cara mengontrol perilaku marah
secara konstruktif
b. Sikap dan cara bicara
c. Membantu klien mengenal penyebab marah dan
pelaksanaan cara pencegahan perilaku kekerasan
11.1.4 Bantu keluarga mendemonstrasikan cara merawat
klien
11.1.5 Bantu keluarga mengngkapkan perasaannya setelah
melakukan demonstrasi
11.1.6 Anjurkan keluarga mempraktikannya pada klien
selama di rumah sakit dan melanjutkannya setelah
pulang ke rumah.
DAFTAR PUSTAKA
Anna, budi. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN(basic course). Jakarta: EGC
Keliat, Budi Ana. 1999. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Edisi 1. Jakarta: EGC
Keliat, Budi Ana. 2001. Peran Serta Keluarga dalam Perawatan Klien Gangguan Jiwa. Jakarta: EGC.
Keliat, Budi Anna, d kk. 2005. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC
Maramis, W.F. 2004. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga University press, Surabaya.
Purba J. M, dkk. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah Psikososial dan Gangguan
Jiwa. Medan: Usu Press
Purba, J. M, dkk. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah Psikososial dan Gangguan
Jiwa. Medan: Usu Press.
Stuart dan Sundeen. 2005. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 3. Jakarta: EGC.
Stuart, G.W., and Laraia, M.T. (1998). Principles and practice of psychiatric nursing. Fifth edition.
St. Louis: Mosby Year Book.
Townsend, Mary C. 2005. Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan Psikiatri, Pedoman untuk
Pembuatan Rencana Perawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
Townsend, MC. 1998. Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan Psikiatri: Pedoman untuk
Pembuatan Rencana Keperawatan. Jakarta : EGC
...
STRATEGI PELAKSANAAN I
A. Proses Keperawatan
1. Kondisi Pasien
Data Subjektif:
Pasien mengatakan benci atau kesal pada seseorang dan suka membentak dan menyerang
orang yang mengusiknya jika sedang kesal atau marah.
Data Objektif:
Pasien menjawab pertanyaan dengan nada bicara rendah dan cepat.
Pasien nampak tegang saat berinteraksi.
Mata pasien menuju kepada penanya.
Pasien menjawab pertanyaan dengan singkat.
2. Pasien koperatif.
Diagnosa Keperawatan
Resiko Perilaku Kekerasan
3. Tujuan Khusus
Membantu pasien melatih mengendalikan perilaku kekerasan dengan cara fisik pertama.
4. Tindakan Keperawatan
a. Mengidentifikasi penyebab, tanda dan gejala, perilaku kekerasan yang dilakukan, akibat
perilaku kekerasan.
b. Jelaskan cara mengontrol perilaku kekerasan: fisik, obat, verbal, spritual.
c. Latihan cara mengontrol perilaku kekerasan secara fisik: tarik nafas dalam dan pukul kasur
dan bantal
B. Strategi komunikasi
1. Orientasi:
“Selamat pagi ibu, perkenalkan nama saya AA, panggil saya A, hari ini saya akan berbincang-
bincang dengan ibu.”
“Nama ibu siapa? Senangnya di panggil apa?”
“Bagaimana perasaan ibu saat ini, masih ada rasa kesal atau marah?”
“Baiklah, kita akan berbincang-bincang sekarang tentang perasaan marah ibu.”
“Berapa lama ibu mau kita berbincang-bincang? Bagaimana jika 10 menit?”
“Di mana enaknya kita duduk-duduk untuk berbincang-bincang, ibu? Bagaimana jika di ruang
tamu?”
2. Kerja:
“Apa yang menyebabkan ibu marah? Apakah sebelumnya ibu pernah marah? Apa
penyebabnya? Samakah dengan sekarang?
“Pada saat ibu sedang marah apa yang ibu rasakan?
“Apakah ibu merasa kesal, terus dada ibu berdebar – debar, mata melotot, rahang terkatup rapat
dan tangan mengepal?”
“Setelah itu apa yang ibu lakukan?
“Apa kerugian dari cara yang ibu lakukan ? Menurut ibu, adakah cara yang lebih baik? Maukah
ibu belajar cara mengungkapkan marah dengan baik tanpa menimbulkan kerugian?”
“Ada beberapa cara mengatasi marah, ibu. Salah satunya dengan cara fisik. Jadi menyalurkan
marah lewat kegiatan fisik. Dari beberapa cara tadi bagaimana jika kita belajar satu cara dulu?”
“Begini ibu, jika tanda – tanda marah tadi sudah ibu rasakan, maka ibu berdiri, lalu tarik napas
dari hidung, tahan sebentar lalu keluarkan napas perlahan – lahan melalui mulut sambil
membayangkan bahwa ibu sedang mengeluarkan kemarahan. Silahkan ibu mencoba
melakukannya. Lakukan sampai lima kali. Bagaimana perasaanya?”
“Nah, sebaiknya latihan ini ibu lakukan secara rutin, sehingga jika sewaktu-waktu rasa
marahnya muncul, ibu sudah terbiasa melakukannya.”
3. Terminasi:
“Bagaimana perasaan ibu setelah berbincang-bincang tentang kemarahan ibu?”
“Ya jadi apa penyebab marahnya ibu (sebutkan), dan yang ibu rasakan (sebutkan), yang ibu
lakukan (sebutkan) serta akibatnya (sebutkan).”
“Coba selama saya tidak ada ibu mencoba mengingat lagi penyebab marah ibu yang lalu, apa
yang ibu lakukan bila marah, yang belum kita bahas dan jangan lupa latihan nafas dalamnya ya
ibu.”
“baik, bagaimana jika dua jam lagi saya datang dan kita latihan cara yang lain untuk mencegah
atau mengontrol marah. Tempatnya disini saja ibu. Selamat pagi.”
STRATEGI PELAKSANAAN II
A. Proses Keperawatan
1. Kondisi Pasien
Data Subjektif:
Pasien mengatakan senang dan sedikit tenang setelah ber- kenalan.
Pasien mengatakan rasa kesal sedikit menghilang setelah tarik napas dalam.
Data Objektif:
A. Proses Keperawatan
1. Kondisi Pasien
Data Subjektif:
Pasien mengatakan perasaanya senang
Pasien mengatakan masih ingat dengan yang diajarkan sebelumnya
Data Objektif:
A. Proses Keperawatan
1. Kondisi Pasien
Data Subjektif:
Pasien mengatakan ia sering berdoa
Pasien mengatakan perasaanya senang
Pasien mengatakan masih ingat dengan yang diajarkan sebelumnya
Data Objektif:
Pasien dapat melakukan berdoa namun melakukannya dengan cepat.
Pasien nampak tenang saat berinteraksi.
Mata pasien menatap penanya.
Pasien menjawab pertanyaan dengan singkat.
2. Pasien koperatif.
Diagnosa Keperawatan
Resiko Perilaku Kekerasan
B. Strategi Komunikasi
1. Orientasi:
“ Selamat pagi ibu, bagaimana perasaan ibu hari ini”
“ Kemarin sudah kita pelajari bahwa jika ibu akan marah dan muncul perasaan kesal, berdebar-
debar, mata melotot, selain napas dalam maka ibu juga bisa memukul bantal atau kasur”
“ Kemudian setelah amarahnya reda, ibu bisa bicara baik-baik kepada orang yang membuat ibu
marah. Nah, bagaimana sudah dilatih semuanya? Bagus! Bagaimana perasaan marahnya?”
“ Hari ini kita akan bicara mengenai cara mencegah amarah dengan cara ibadah.”
“ Dimana enaknya kita berbincang-bincang? Berapa lama? Bagaimana jika 15 menit?”
2. Kerja
“Coba ceritakan kegiatan ibadah yang ibu lakukan. Bagus... Wah banyak sekali. Yang mana
yang mau kita coba?”
“Nah, jika ibu sedang marah, coba ibu langsung duduk dan tarik napas dalam, jika tidak reda
juga segera rebahkan badan agar rileks. Bila masih tidak reda juga, segera berdoa lagi.”
“Ibu bisa berdoa secara teratur untuk mencegah kemarahan jangan lupa memohon ampun
kepada tuhan dan memohon agar terlindungi dari sifat pemarah.”
3. Terminasi:
“Bagaimana perasaan ibu setelah kita bercakap-cakap tentang cara mengontrol amarah dengan
beribadah tadi?”
“Mari kita masukkan jadwal berdoa dan ibadah lainnya kedalam jadwal sehari-hari ibu.”
STRATEGI PELAKSANAAN V
RESIKO PERILAKU KEKERASAN
A. Proses Keperawatan
1. Kondisi Pasien
Data Subjektif:
Pasien mengatakan ia sering berdoa
Pasien mengatakan perasaanya senang
Pasien mengatakan masih ingat dengan yang diajarkan sebelumnya
Data Objektif:
Pasien dapat melakukan berdoa namun melakukannya dengan cepat.
Pasien nampak tenang saat berinteraksi.
Mata pasien menatap penanya.
Pasien menjawab pertanyaan dengan singkat.
2. Pasien koperatif.
Diagnosa Keperawatan : Resiko Perilaku Kekerasan
B. Strategi Komunikasi
1. Orientasi:
“ Selamat pagi ibu, sesuai janji saya kemarin hari ini kita ketemu lagi”
“Bagaimana ibu, sudah dilakukan latihan tarik nafas dalam, pukul kasur bantal, bicara yang
baik serta berdoa ?”
“Bagaimana kalau sekarang kita bicara dan latihan tentang cara minum obat yang benar untuk
mengontrol rasa marah”.
“Dimana enaknya kita berbincang-bincang ? Bagaimana kalau ditempat kemarin”
“ Berapa lama ibu mau kita berbincang-bincang ? Bagaimana kalau 15 menit”
2. Kerja
“Ibu sudah dapat obat dari dokter?”
“Berapa macam obat yang ibu minum ? Warnanya apa saja ? Jam berapa ibu minum ?”
“Perawat menjelaskan manfaat dan efek samping dari obat”
3. Terminasi:
“Bagaimana perasaan ibu setelah kita bercakap-cakap tentang cara minum obat yang benar?”
“Coba ibu sebutkan lagi jenis obat yang ibu minum ! Bagaimana cara minum obat yang benar”
“Nah, sudah berapa cara mengontrol persaan marah yang kita pelajari ? Sekarang kita
tambahkan jadwal kegiatannya dengan minum obat”