Laporan Kasus THT

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

Sinusitis

Pembimbing :

dr. Tika

Disusun Oleh :

Desi Dwi Astuti

1710221051

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ANESTESI

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PERSAHABATAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ‘VETERAN’ JAKARTA

PERIODE 19 NOVEMBER 2018 – 22 DESEMBER 2018


LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

Anestesi Umum Pada Pembedahan Laparoskopi + Laparotomi Kistektomi Reseksi


Adenomiosis

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian

Departemen Anestesi RSUP Persahabatan

Disusun Oleh :

Desi Dwi Astuti 1710221051


Pembimbing :

dr. Navy G.H.M Lolong W, SpAn KIC


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya, tidak lupa sholawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Anestesi Umum Pada
Pembedahan Laparoskopi + Laparotomi Kistektomi Reseksi Adenomiosis”, yang
merupakan salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik
Departemen Anestesi Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada dr. Navy G.H.M Lolong W,


SpAn KIC selaku pembimbing dalam penyusunan laporan kasus ini. Disamping
itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua dan teman-
teman dokter muda yang telah memberikan dukungan moril dalam penyusunan
laporan kasus ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak dalam penyempurnaan laporan kasus ini agar
menjadi lebih baik lagi.

Jakarta, Desember 2018

Penulis
BAB I
DESKRIPSI PASIEN

II.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. E
Jenis kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir / Usia : 9-06-1959 / 59 th
Alamat : Cipinang Pulo Maja no.1 002/010, Cipinang Besar
Utara, Jatinegara, Jakarta Timur
Agama : Islam
Pendidikan : Sarjana
Pekerjaan : PNS
Status : Menikah
Tanggal Berobat : 07-01-2019
Pukul : 09.38

II.3 ANAMNESIS (SUBJEKTIF)


Anamnesis telah dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 08 Januari 2019 di
Ruang Mawar Atas RSUP Persahabatan pukul 06.30 WB

II.3.1 Keluhan Utama :


Hidung kiri terasa tersumbat sejak 3 bulan yang lalu.

II.3.2 Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien mengengeluhkan hidung kiri terasa tersumbat sejak 3 bulan yang
lalu sehingga menjadi sering sulit untuk bernafas. Keluhan hidung tersumbat
dirasakan semakin memberat sejak 1 minggu. Saat tidur malam pasien cendrung
bernafas melalui mulutnya. Pasien juga mengeluhkan keluar cairan dari hidung
kiri yang berwana bening yang lama kelamaan berubah warna menjdai hijau dan
kental serta berbau. Selain itu, pasien juga mengeluhkan nyeri kepala bagian kiri.
Pasien menyangkal sering keluar darah dari hidung, pilek dan batuk,
menyangkal bersin-bersin yang hebat di pagi hari serta menyangkal adanya alergi

26
dingin ataupun alergi debu dan makanan. Pasien menyangkal adanya nyeri di
daerah tulang pipi, maupun di daerah kening serta tidak ada rasa berat atau nyeri
saat menunduk. Riwayat keluhan nyeri saat menelan disangkal. Riwayat demam
dan trauma pada bagian hidung disangkal. Riwayat penurunan berat badan tiba-
tiba serta keringat dingin saat malam disangkal.
Awalnya pasien berobat di RS Hermina dengan keluhan hidung teras
tersumbat, diberikan obat dan berdasarkan pemeriksaan didapatkan sinusitis.
Kemudian pasien dirujuk ke RS Persahabatan untuk dilakukan tindakan operatif.

II.3.3 Riwayat Penyakit Dahulu :


- Diabetes Melitus disangkal
- Hipertensi disangkal

II.3.4 Riwayat Penyakit Keluarga :


- Tidak ada keluhan serupa pada keluarga

II.3.5 Riwayat Pengobatan :


Pasien sudah pernah berobat ke RS Hermina dengan keluhan hidung teras
tersumbat, diberikan obat dan berdasarkan pemeriksaan didapatkan sinusitis.
Kemudian pasien dirujuk ke RS Persahabatan untuk dilakukan tindakan operatif.

II.3 PEMERIKSAAN FISIK (OBJEKTIF)


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Berat Badan : 55 kg
Tinggi Badan : 160 cm
TD : 130/70
Nadi : 80
Suhu : 36.5
RR : 20
II.3.1 Status Generalis :
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks pupil (+/+)
pupil bulat isokor
Telinga : Lihat status lokalis
Hidung : Lihat status lokalis
Mulut : Mukosa bibir lembab, gusi berdarah (-), gigi ada karies (-)
Tenggorok : Lihat status lokalis
Leher : Lihat status lokalis
Ekstremitas : Akral hangat, udem (-/-), CRT < 2 detik

II.3.2 Status Lokalis THT :


1. Telinga
AD AS

Normotia, hiperemis (-), Aurikula Normotia, hiperemis (-),


edema (-), helix sign (-), edema (-), helix sign (-),
tragus sign (-) tragus sign (-)

Tanda radang (-), pus (-), Preaurikula Tanda radang (-), pus (-),
nyeri tekan(-), fistula (-) nyeri tekan(-), fistula (-)

edema (-), hiperemis (-), Retroaurikula edema (-), hiperemis (-),


nyeri tekan (-), fistula (-), nyeri tekan (-), fistula (-),
tumor (-), sikatriks (-) tumor (-), sikatriks (-)

Hiperemis (-), edema (-), MAE Hiperemis (-), edema(-),


sekret (-), serumen (-), sekret(-), serumen (-),
massa (-) massa (-)
Refleks cahaya (+), Membran timpani Refleks cahaya (+),
perforasi (-), sekret (-), perforasi (+),
serumen (-) sekret (-), serumen (-)

+ Uji Rinne +

Tidak ada lateralisasi Uji Weber Tidak ada lateralisasi

Normal Schwabach Normal

2. Hidung
Rhinoskopi anterior
Kanan Kiri
Lapang Kavum Nasi Lapang
(-) Sekret Mukopurulen
Deviasi (-) Septum Deviasi (-)
Hipertrofi (-) Konka inferior Hipertrofi (-)
Hiperemis (-) Mukosa Hiperemis (-)
(-) Massa (-)
Sinus Paranasal
(-) Pembengkakan Wajah (-)
(-) Nyeri Tekan Dahi (-)
Nyeri Tekan
(-) (-)
Media Orbita

(+) Nyeri Tekan Pipi (+)


3. Tenggorokan
Nasofaring (Rhinoskopi posterior)

Konka superior

Torus tubarius Tidak Dilakukan

Fossa Rossenmuller

Pemeriksaan Orofaring
Kanan Kiri
Mulut
Hiperemis (-) Mukosa mulut Hiperemis (-)
Hiperemis (-) Palatum molle Hiperemis (-)
Karies (-) Gigi geligi Karies (-)
Simetris Uvula Simetris
Tonsil
Tenang Mukosa Tenang
T1 Besar tonsil T1
Faring
Tenang Mukosa Tenang
+ Post nasal drip +
Laringofaring (Laringoskopi indirect)

Epiglotis

Plika ariepiglotika

Plika ventrikularis Tidak Dilakukan

Plika vokalis

Rima glotis
4. Leher

Pemeriksaan Kelenjar Tiroid dan KGB

Kanan Kiri
Pembesaran (-) Tiroid Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar submental Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar submandibula Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar jugularis superior Pembesaran (-)

Pembesaran (-) Kelenjar jugularis media Pembesaran (-)


Pembesaran (-) Kelenjar jugularis inferior Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar suprasternal Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar supraklavikularis Pembesaran (-)

II.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


II.4.1 Pemeriksaan Laboratorium

NAMA TES HASIL UNIT NILAI


RUJUKAN
HEMATOLOGI
Hemoglobin 10.6 L g/dl 13.0 – 16.0
Hematokrit 30.7 L % 40.0 – 48.0
Eritrosit 3.35 L 10^6/µL 4.50 – 5.50
MCV 91.6 fl 82.0-92.0
MCH 31.6 H pg 27.0-31.0
MCHC 34.5 g/dl 32.0-36.0
Leukosit 6.52 10^3/µL 5.00 – 10.00
Trombosit 209 10^3/µL 150 - 400
HITUNG JENIS
Basofil 0.9 % 0-1
Eosinofil 5.4 H % 1 -3
Neutrofil 68.1 % 5.20 – 76.0
Limfosit 19.5 L % 20 – 40
Monosit 13.3 % 2–8
RDW-CV 13.3 11.5-14.5
HEMOSTASIS
Masa Perdarahan IVY 4.00 menit 1.00 – 6.00
PT + INR

Masa Protrombin (PT)


PT Pasien 10.9 detik 9.8 – 11.2
Kontrol 11.4 detik
INR 0.97
APTT
APTT Pasien 33.1 detik 3.10 – 47.0
Kontrol 34.2 detik
KIMIA KLINIK
SGOT 16 U/L 5 – 34
SGPT 22 U/L 0 – 55
Protein Total 6.20 g/dL 6.0-7.8
Ureum Darah 51 mg/dL 18 – 55
Kreatinin Darah 1.2 mg/dL 0.6 – 1.2
eGFR 175 mL/min/1.73
m2
GDS 175 mg/dL 70 – 200
Albumin 4.00 g/dL 3.5-5.2
Globulin 2.20 g/dL 1.80-3.90
Albumin-Globulin Rasio 1.8 >=1
Bilirubin Total 0.40 mg/dL 0.10-1.20
Bilirubin Indirek 0.17 mg/dL 0.0-0.3
Elektrolit
Na Darah 137 mEq/L 135-145
K Darah 4.10 mEq/L 3.50-5.00
Cl Darah 106.0 mEq/L 98.0-107.0
II.5 DIAGNOSIS KERJA
- Rhinosinusitis Jamur Kiri

II.6 TATALAKSANA
II.6.1 Medikamentosa
- Dekongestan
II.6.2 Operatif
- FESS

II.7 PROGNOSIS
ad vitam : dubia ad bonam
ad functionam : dubia ad bonam
ad sanationam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II. 1 Anatomi Hidung


Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung dalam. Hidung luar menonjol pada garis
tengah diantara pipi dengan bibir atas, struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga
bagian yaitu:
1. Paling atas kubah tulang yang tak dapat digerakkan
2. Di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan
3. Paling bawah adalah lobolus hidung yang mudah digerakkan.
Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks. Agak keatas dan belakang
dari apeks disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut sampai kepangkal
hidung dan menyatu dengan dahi. Kolumela membranosa mulai dari apeks, yaitu
diposterior bagian tengah pinggir dan terletak sebelah distal dari kartilago septum.
Titik pertemuan kolumela dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung. Disini
bagian bibir atas membentuk cekungan dangkal memanjang dari atas kebawah
yang disebut filtrum, sebelah latero-superior dibatasi oleh ala nasi dan sebelah
inferior oleh dasar hidung.

Gambar 1. Anatomi Hidung Luar

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang
membentang dari os internum disebelah anterior hingga koana di posterior, yang
memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk
terowongan dari depan kebelakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya
menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan
disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares
anterior, disebut dengan vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise.

Gambar 2. Anatomi Hidung Dalam

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior
dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini dibentuk oleh
tulang dan tulang rawan, dinding lateral terdapat konka superior, konka media dan konka
inferior. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang
lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang
terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior
merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan
konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Celah antara
konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara
konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut
meatus superior.
Meatus medius merupakan salah satu celah yang penting dan merupakan celah
yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Disini terdapat muara dari sinus
maksilla, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Dibalik bagian anterior konka
media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk
bulat sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang
berbentuk bulan sabit menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang
dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk
tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus.
Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus
maksilla, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilla merupakan sinus paranasal
terbesar diantara lainnya, yang berbentuk pyramid iregular dengan dasarnya menghadap
ke fossa nasalis dan puncaknya kearah apek prosesus zigomatikus os maksilla.

Gambar 3. Sinus Paranasal

Vaskularisasi hidung
Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu:
1. Arteri Etmoidalis anterior
2. Arteri Etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika
3. Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang
berasal dari arteri karotis eksterna.
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna. Bagian bawah
rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, diantaranya ialah
ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina
bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka
media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis.

Gambar 4. Vaskularisasi Hidung

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri


sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor,
yang disebut pleksus kieesselbach (little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superfisialis dan mudah cedera oleh truma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya. Vena divestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena
oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernesus.

Inervasi hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus
etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari
nervus oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus
dan cabang maksilaris nervus trigeminus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar
mendapat persarafan dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatina.
Ganglion sfenopalatina, selain memberi persarafan sensoris, juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut
serabut sensoris dari nervus maksila, serabut parasimpatis dari n. petrosus superfisialis
mayor dan serabut saraf simpatis dari n. petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum
terletak dibelakang dan sedikit diatas ujung posterior konkha media.
Fungsi penghidu berasal dari nervus Olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina
kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

Gambar 5. Inervasi Hidung

II.2. Fisiologi Hidung


1. Respirasi
Udara inspirasi masuk hidung menuju sistem respirasi melalu nares anterior,
lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah
nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan atau arkus. Udara
yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Pada cuaca yang
panas, udara hampir jenuh oleh uap air sehingga terjadi sedikit penguapan udara
inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada cuaca dingin akan terjadi sebaliknya.
Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 370c. Fungsi
pengaturan suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah
epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas.
Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan
disaring di hidung oleh:
1. Rambut (vibrissae)
2. Silia
3. Palut lendir
Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang
lebih besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.

2. Penghidu
Hidung berfungsi sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian
atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan
palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat.
Fungsi hidung untuk membantu indra pengecapan adalah untuk
membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan seperti. Juga
untuk membedakan rasa asam.
3. Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
bernyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar sengau (rinolalia). Hidung membantu proses pembentukan
kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir, dan palatum mole. Pada pembentukan
konsonan nasal (m, n, ng) rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum
mole turun untuk aliran udara statik dan mekanik untuk meringankan beban
kepala, proteksi terhadap trauma, dan pelindung panas.

4. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, sistem kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan
menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

II.3. Sistem Transpor Mukosilier


Sistem transpor mukosilier merupakan sistem pertahanan aktif rongga hidung
terhadap virus, bakteri, jamur atau partikel berbahaya lain yang terhirup bersamau udara.
Efektivitas sistem transpor mukosilier dipengaruhi oleh kualitas silia dan palut lendir.
Palut lendir dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenar seromusinosa
submukosa.
Bagian bawah dari palut lendir terdiri dari cairan serosa sedangkan bagian dari
permukaannya terdiri dari mukus yang lebih elastik dan banyak mengandung protein
plasma seperti albumin, IgG, IgM dan faktor komplemen. Sedangkan cairan serosa
mengandung laktoferin, lisozim, inhibitor lekoprotease dan IgA sekretorik.
Glikoprotein yang dihasilkan oleh sel mukus penting untuk pertahanan lokal yang
bersifat antimikrobial. IgA berfungsi untuk mengeluarkan mikroorganisme dari jaringan
dengan mengikat antigen tersebut pada lumen saluran napas, sedagkan IgG beraksi dalam
mukosa dengan memicu reaksi inflamasi jika terpajan dengan antigen bakteri.
Pada sinus maksila, sistem transport mukosilier menggerakkan sekret sepanang
dinding anterior, medial, posterior dan lateral serta atap rongga sinus membentuk
gambaran halo atau bintang yang mengarah ke ostium alamiah. Setingi ostium, sekret
akan lebih kental tetapi drainasenya lebih cepat untuk mencegah tekanan negatif dan
berkembangnya infeksi. Kerusakan mukosa yang ringan tidak akan menghentikan atau
mengubah transport dan sekret akan melewati mukosa yang yang rusak tersebut. Jika
sekret lebih kental, sekret akan terhenti pada mukosa yang mengalami defek.
Gerakan sistem mukosilier pada sinus frontal mengikuti gerakan spiral. Sekret akan
berjalan menuju septum interfrontal, kemudian ke atap, dinding lateral dan bagian inferior
dari dinding anterior dan posterior menuju resesus frontal. Gerakan spiral menuju ke
ostiumnya terjadi pada sinus sfenoid, sedangkan pada sinus etmoid terjadi gerakan
rektilinear jika ostiumnya terletak di dasar sinus atau gerakan spiral jika ostium terdapat
pada salah satu dindingnya.
Terdapat dua rute besar transport mukosilier pada dinding lateral:
1. Merupakan gabungan sekresi sinus frontal, maksila dan etmoid anterior.
Sekretnya bergabung di dekat infundibulum etmoid selanjutnya berjalan
menuju tepi prosesus unsinatus, dan sepanjangn dinding medial konka inferior
menuju nasofaring melewati bagian anterior orifisium tuba eustachius.
Transport aktif berlanjut ke batas epitel bersilia dan skuamosa di nasofaring,
selanjutnya jatuh ke bawah dibantu dengan gaya gravitasi dan proses menelan.
2. Merupakan gabungan sekresi sinus etmoid posterior dan sfenoid yang bertemu
di resesus sfenoetmoid dan menuju nasofaring pada bagian postero-superior
orifisium tuba eustachius.
Sekret yang berasal dari meatus superior dan septum akan bergabung dengan sekret
rute pertama, yaitu di inferior dari tuba eustachius. Sekret dari septum akan
berjalan vertikal ke arah bawah terlebih dahulu kemudian ke belakang dan menyatu
di bagian inferior tuba eustachius.
II.4. Rhinosinusitis
1) Definisi Rhinosinusitis
Rhinosinusitis pada dewasa dapat diartikan inflamasi hidung dan sinus paranasal yang
digolongkan menjadi dua gejala atau lebih gejala, salah satu harus terpenuhi seperti
hidung tersumbat/obstruksi/kongesti atau keluarnya cairan nasal baik anterior atau post
nasal drip:

2) Klasifikasi Rhinosinusitis
Klasifikasi rhinosinusitis secara klinis dapat dibedakan menjadi akut dan kronis
a. Rhinosinusitis akut (RSA), jika memenuhi kriteria sebagai berikut:
 Gejala berlangsung <12 minggu
 Terdapat minimal dua gejala berikut:
 Hidung tersumbat
 Keluar sekret pada hidung
 Adanya nyeri tekan pada wajah
 Menurunnya fungsi penghidu
Penyebab rhinosinusitis akut dibedakan menjadi virus dan bakteri.
a. Rhinosinusitis viral akut (common cold), umumnya durasi < 10 hari.
b. Rhinosinusitis post viral akut apabila gejala menetap lebih dari 10
hari.
c. Rhinosinusiti bakteri, secara klinis dapat ditegakkan apabila
ditemukan minimal tiga gejala atau lebih tanda berikut:
- Ingus purulen (umumnya unilateral)
- Nyeri berat lokal (biasanya unilateral)
- Demam >380
- Peningkatan laju endap darah (LED) atau C-reactive protein
(CRP)
- Adanya perburukan gejala setelah 5 hari
b. Rhinosinusitis Kronik. Disebut rhinosinusitis kronik jika memenuhi
kriteria berikut:
 Gejala >12 minggu
 Terdapat minimal dua gejala berikut:
 Hidung tersumbat
 Keluar sekret pada hidung
 Adanya nyeri tekan pada wajah
 Menurunnya fungsi penghidu
3) Tatalaksana
Penatalaksanaan dilakukan tergantung penyebabnya. Pada
rinosinusitis viral dapat dilakukan dengan menghilangkan gejala dari
hidung tersumbat dan rinore yang diderita, sedangkan untuk rinosinusitis
yang disebabkan oleh infeksi bakteri dapat dilakukan penatalaksanaan
dengan pemberian antibiotik untuk mengeradikasi infeksi, mencegah
komplikasi dan mencegah penyakit agar tidak menjadi kronis.
Adapun algoritme pendekatan yang disarankan dalam melakukan tatalaksana
dari rinosinusitis dapat dijelaskan pada gambar 7.

Gambar 7. Algoritme pendekatan dalam tatalaksana rinosinusitis akut5

Menurut The European Position Paper on Rhinosinusitis and


Nasal Polyps (EPOS) 2012 merekomendasikan pemberian antibiotik harus
diberikan pada pasien dengan gejala yang berat seperti discharge yang
bewarna, nyeri local (VAS >7), demam (>380C), peningkatan laju endap
darah (LED) atau C-reactive protein (CRP) serta gejala yang timbul lebih
berat dari gejala sebelumnya.5 Adapun pengobatan antibiotik seperti
golongan cephalosporin (cefpodoxime, cefuroxime, cefdinir, ceftriaxone)
dan amoxicillin/clavulanate potassium dapat direkomendasikan sebagai
pengobatan inisial.6 Pasien dilakukan rujuk jika ditemukan beberapa
kondisi sebagai berikut periorbital edema,eritema, globe dysplaced,
penglihatan ganda, oftalmoplegia, pengurangan lapangan penglihatan,
nyeri kepala yang hebat unilateral atau bilateral, bengkak pada bagian
frontal, tanda-tanda meningitis dan tanda-tanda neurologis lainnya.
BAB III
KESIMPULAN

Rhinorrhea merupakan cairan atau sekret yang keluar dari hidung. Sekret
atau cairan yang keluar bias bersifat serosa, mukopurulen, ataupun darah.
Rhinorrhea sendiri bukan merupakan suatu penyakit melainkan gejala dari suatu
penyakit. Oleh karena itu anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang baik penting dilakukan guna membantu menegakkan diagnosa
kelainan yang mendasari rhinorrhea. Terapi yang adekuat juga diperlukan guna
menurunkan angka kekambuhan yang disebabkan oleh penyakit-penyakit yang
mendasari rhinorrhea serta komplikasinya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Adams, GL. 1997. BOIES : Buku Ajar Penyakit THT / George L. Adams,
Lawrence R. Boies, Peter H. Higler; alih bahasa, Caroline Wijaya ; editor,
Harjanto Efendi. Ed 6. Jakarta: EGC.
2. Soepardi EA. Et. Al. 2012. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala dan leher. Ed 7. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Indonesia.
3. Moore. Anatomi Klinis
4. Tanto, Chris. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Ed 4. Jakarta: Penerbit Media
Aesculapis
5. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol, Bachert C, Alobid I, Baroody F, et al.
European Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012.
6. Dewey C, Sched MD, Robert M. Acute bacterial rhinosinusitis in adults: part
II.treatment. American Academy Family Physician.Oklahoma.2004
7. Junizaf MH. Benda asing di saluran nafas. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Editor: Soepardi
EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke-7. Jakarta:Balai Penerbit
FK UI. 2012
8. Brożek JL, Bousquet Jean, Cagnani CEB, et al. Allergic Rhinitis and its Impact
on Asthma (ARIA) 2010 Revision.
9. Kim HY, Kim Kyung-Su. Diagnosis and treatment of allergic rhinitis. J
Korean Med Assoc 2010.

Anda mungkin juga menyukai