Laporan Kasus THT
Laporan Kasus THT
Laporan Kasus THT
Sinusitis
Pembimbing :
dr. Tika
Disusun Oleh :
1710221051
LAPORAN KASUS
Disusun Oleh :
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya, tidak lupa sholawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Anestesi Umum Pada
Pembedahan Laparoskopi + Laparotomi Kistektomi Reseksi Adenomiosis”, yang
merupakan salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik
Departemen Anestesi Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak dalam penyempurnaan laporan kasus ini agar
menjadi lebih baik lagi.
Penulis
BAB I
DESKRIPSI PASIEN
26
dingin ataupun alergi debu dan makanan. Pasien menyangkal adanya nyeri di
daerah tulang pipi, maupun di daerah kening serta tidak ada rasa berat atau nyeri
saat menunduk. Riwayat keluhan nyeri saat menelan disangkal. Riwayat demam
dan trauma pada bagian hidung disangkal. Riwayat penurunan berat badan tiba-
tiba serta keringat dingin saat malam disangkal.
Awalnya pasien berobat di RS Hermina dengan keluhan hidung teras
tersumbat, diberikan obat dan berdasarkan pemeriksaan didapatkan sinusitis.
Kemudian pasien dirujuk ke RS Persahabatan untuk dilakukan tindakan operatif.
Tanda radang (-), pus (-), Preaurikula Tanda radang (-), pus (-),
nyeri tekan(-), fistula (-) nyeri tekan(-), fistula (-)
+ Uji Rinne +
2. Hidung
Rhinoskopi anterior
Kanan Kiri
Lapang Kavum Nasi Lapang
(-) Sekret Mukopurulen
Deviasi (-) Septum Deviasi (-)
Hipertrofi (-) Konka inferior Hipertrofi (-)
Hiperemis (-) Mukosa Hiperemis (-)
(-) Massa (-)
Sinus Paranasal
(-) Pembengkakan Wajah (-)
(-) Nyeri Tekan Dahi (-)
Nyeri Tekan
(-) (-)
Media Orbita
Konka superior
Fossa Rossenmuller
Pemeriksaan Orofaring
Kanan Kiri
Mulut
Hiperemis (-) Mukosa mulut Hiperemis (-)
Hiperemis (-) Palatum molle Hiperemis (-)
Karies (-) Gigi geligi Karies (-)
Simetris Uvula Simetris
Tonsil
Tenang Mukosa Tenang
T1 Besar tonsil T1
Faring
Tenang Mukosa Tenang
+ Post nasal drip +
Laringofaring (Laringoskopi indirect)
Epiglotis
Plika ariepiglotika
Plika vokalis
Rima glotis
4. Leher
Kanan Kiri
Pembesaran (-) Tiroid Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar submental Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar submandibula Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar jugularis superior Pembesaran (-)
II.6 TATALAKSANA
II.6.1 Medikamentosa
- Dekongestan
II.6.2 Operatif
- FESS
II.7 PROGNOSIS
ad vitam : dubia ad bonam
ad functionam : dubia ad bonam
ad sanationam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang
membentang dari os internum disebelah anterior hingga koana di posterior, yang
memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk
terowongan dari depan kebelakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya
menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan
disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares
anterior, disebut dengan vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise.
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior
dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini dibentuk oleh
tulang dan tulang rawan, dinding lateral terdapat konka superior, konka media dan konka
inferior. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang
lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang
terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior
merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan
konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Celah antara
konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara
konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut
meatus superior.
Meatus medius merupakan salah satu celah yang penting dan merupakan celah
yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Disini terdapat muara dari sinus
maksilla, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Dibalik bagian anterior konka
media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk
bulat sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang
berbentuk bulan sabit menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang
dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk
tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus.
Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus
maksilla, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilla merupakan sinus paranasal
terbesar diantara lainnya, yang berbentuk pyramid iregular dengan dasarnya menghadap
ke fossa nasalis dan puncaknya kearah apek prosesus zigomatikus os maksilla.
Vaskularisasi hidung
Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu:
1. Arteri Etmoidalis anterior
2. Arteri Etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika
3. Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang
berasal dari arteri karotis eksterna.
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna. Bagian bawah
rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, diantaranya ialah
ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina
bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka
media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis.
Inervasi hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus
etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari
nervus oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus
dan cabang maksilaris nervus trigeminus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar
mendapat persarafan dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatina.
Ganglion sfenopalatina, selain memberi persarafan sensoris, juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut
serabut sensoris dari nervus maksila, serabut parasimpatis dari n. petrosus superfisialis
mayor dan serabut saraf simpatis dari n. petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum
terletak dibelakang dan sedikit diatas ujung posterior konkha media.
Fungsi penghidu berasal dari nervus Olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina
kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.
2. Penghidu
Hidung berfungsi sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian
atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan
palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat.
Fungsi hidung untuk membantu indra pengecapan adalah untuk
membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan seperti. Juga
untuk membedakan rasa asam.
3. Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
bernyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar sengau (rinolalia). Hidung membantu proses pembentukan
kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir, dan palatum mole. Pada pembentukan
konsonan nasal (m, n, ng) rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum
mole turun untuk aliran udara statik dan mekanik untuk meringankan beban
kepala, proteksi terhadap trauma, dan pelindung panas.
4. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, sistem kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan
menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
2) Klasifikasi Rhinosinusitis
Klasifikasi rhinosinusitis secara klinis dapat dibedakan menjadi akut dan kronis
a. Rhinosinusitis akut (RSA), jika memenuhi kriteria sebagai berikut:
Gejala berlangsung <12 minggu
Terdapat minimal dua gejala berikut:
Hidung tersumbat
Keluar sekret pada hidung
Adanya nyeri tekan pada wajah
Menurunnya fungsi penghidu
Penyebab rhinosinusitis akut dibedakan menjadi virus dan bakteri.
a. Rhinosinusitis viral akut (common cold), umumnya durasi < 10 hari.
b. Rhinosinusitis post viral akut apabila gejala menetap lebih dari 10
hari.
c. Rhinosinusiti bakteri, secara klinis dapat ditegakkan apabila
ditemukan minimal tiga gejala atau lebih tanda berikut:
- Ingus purulen (umumnya unilateral)
- Nyeri berat lokal (biasanya unilateral)
- Demam >380
- Peningkatan laju endap darah (LED) atau C-reactive protein
(CRP)
- Adanya perburukan gejala setelah 5 hari
b. Rhinosinusitis Kronik. Disebut rhinosinusitis kronik jika memenuhi
kriteria berikut:
Gejala >12 minggu
Terdapat minimal dua gejala berikut:
Hidung tersumbat
Keluar sekret pada hidung
Adanya nyeri tekan pada wajah
Menurunnya fungsi penghidu
3) Tatalaksana
Penatalaksanaan dilakukan tergantung penyebabnya. Pada
rinosinusitis viral dapat dilakukan dengan menghilangkan gejala dari
hidung tersumbat dan rinore yang diderita, sedangkan untuk rinosinusitis
yang disebabkan oleh infeksi bakteri dapat dilakukan penatalaksanaan
dengan pemberian antibiotik untuk mengeradikasi infeksi, mencegah
komplikasi dan mencegah penyakit agar tidak menjadi kronis.
Adapun algoritme pendekatan yang disarankan dalam melakukan tatalaksana
dari rinosinusitis dapat dijelaskan pada gambar 7.
Rhinorrhea merupakan cairan atau sekret yang keluar dari hidung. Sekret
atau cairan yang keluar bias bersifat serosa, mukopurulen, ataupun darah.
Rhinorrhea sendiri bukan merupakan suatu penyakit melainkan gejala dari suatu
penyakit. Oleh karena itu anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang baik penting dilakukan guna membantu menegakkan diagnosa
kelainan yang mendasari rhinorrhea. Terapi yang adekuat juga diperlukan guna
menurunkan angka kekambuhan yang disebabkan oleh penyakit-penyakit yang
mendasari rhinorrhea serta komplikasinya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Adams, GL. 1997. BOIES : Buku Ajar Penyakit THT / George L. Adams,
Lawrence R. Boies, Peter H. Higler; alih bahasa, Caroline Wijaya ; editor,
Harjanto Efendi. Ed 6. Jakarta: EGC.
2. Soepardi EA. Et. Al. 2012. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala dan leher. Ed 7. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Indonesia.
3. Moore. Anatomi Klinis
4. Tanto, Chris. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Ed 4. Jakarta: Penerbit Media
Aesculapis
5. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol, Bachert C, Alobid I, Baroody F, et al.
European Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012.
6. Dewey C, Sched MD, Robert M. Acute bacterial rhinosinusitis in adults: part
II.treatment. American Academy Family Physician.Oklahoma.2004
7. Junizaf MH. Benda asing di saluran nafas. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Editor: Soepardi
EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke-7. Jakarta:Balai Penerbit
FK UI. 2012
8. Brożek JL, Bousquet Jean, Cagnani CEB, et al. Allergic Rhinitis and its Impact
on Asthma (ARIA) 2010 Revision.
9. Kim HY, Kim Kyung-Su. Diagnosis and treatment of allergic rhinitis. J
Korean Med Assoc 2010.