BAB I
PENDAHULUAN
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi, dan pembatasan masalah di atas
maka sebagai rumusan masalahnya sebagai berikut:
1. Apakah melalui penerapan model pembelajaran jigsaw dapat meningkatkan motivasi
belajar Matematika tentang bilangan pecahan bagi siswa kelas VI SD 1 Honggosoco
Kecamatan Jekulo Kabupaten Kudus pada semester II tahun pelajaran 2011/2012?
2. Apakah melalui penerapan model pembelajaran jigsaw dapat meningkatkan hasil
belajar Matematika tentang bilangan pecahan bagi siswa kelas VI SD 1 Honggosoco
Kecamatan Jekulo Kabupaten Kudus pada semester II tahun pelajaran 2011/2012?
3. Apakah melalui penerapan model pembelajaran jigsaw dapat meningkatkan motivasi
dan hasil belajar Matematika tentang bilangan pecahan bagi siswa kelas VI SD 1 Honggosoco
Kecamatan jekulo Kabupaten Kudus pada semester II tahun pelajaran 2011/2012?
E. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
a. Untuk meningkatkan motivasi seluruh siswa SD 1 Honggosoco.
b. Untuk meningkatkan hasil belajar bagi siswa SD 1 Honggosoco.
c. Untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar bagi seluruh siswa
SD 1 Honggosoco.
2. Tujuan Khusus
a. Melalui penerapan model pembelajaran jigsaw dapat meningkatkan motivasi
Matematika tentang bilangan pecahan bagi siswa kelas VI SD 1 Honggosoco pada semester
II tahun pelajaran 2011/2012
b. Melalui penerapan model pembelajaran jigsaw dapat meningkatkan hasil belajar
Matematika tentang bilangan pecahan bagi siswa kelas VI SD 1 Honggosoco pada semester
II tahun pelajaran 2011/2012
c. Melalui penerapan model pembelajaran jigsaw dapat meningkatkan motivasi dan hasil
belajar Matematika tentang bilangan pecahan bagi siswa kelas VI SD 1 Honggosoco pada
semester II tahun pelajaran 2011/2012
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Bagi Siswa
a. Dapat meningkatnya motivasi.
b. Dapat meningkatnya hasil belajar.
c. Dapat meningkatnya motivasi dan hasil belajar
2. Manfaat Bagi Peneliti
a. Melalui penerapan model pembelajaran jigsaw dapat meningkatnya motivasi
Matematika tentang bilangan pecahan bagi siswa kelas VI SD 1 Honggosoco pada semester
II tahun pelajaran 2011/2012
b. Melalui penerapan model pembelajaran jigsaw dapat meningkatnya hasil belajar
Matematika tentang bilangan pecahan bagi siswa kelas VI SD 1 Honggosoco pada semester
II tahun pelajaran 2011/2012
c. Melalui penerapan model pembelajaran jigsaw dapat meningkatnya motivasi dan hasil
belajar Matematika tentang bilangan pecahan bagi siswa kelas VI SD 1 Honggosoco pada
semester II tahun pelajaran 2011/2012
3. Manfaat Bagi Sekolah
a. Meningkatnya mutu lulusan
b. Meningkatnya ajang diskusi pemecahan kasus pembelajaran
c. Meningkatnya kerjasama untuk kemajuan sekolah
d. Meningkatnya iklim sekolah yang kondusif
4. Manfaat Bagi Teman Sejawat
a. Sebagai acuan melakukan penelitian
b. Sebagai referensi penelitian yang akan dilakukan
c. Meningkatkan wawasan pembelajaran
d. Memberikan alternative pemecahan kasus pembelajaran
5. Manfaat Bagi Perpustakaan Sekolah
a. Memperkaya hasanah kepustakaan sekolah
b. Sebagai dokumen PTK di sekolah
c. Sebagai bukti laporan penanganan kasus pembelajaran
BAB II
KAJIAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
A. Kajian Teori
1. Motivasi Belajar Matematika
a. Hakikat Motivasi
Menurut Daryanto (1994:141) motivasi adalah dorongan yang timbul untuk melakukan
tindakan. Devinisi senada disampaikan oleh Wahyudin (2008:2.37) motivasi adalah
kecenderungan atau dorongan pada diri individu untuk melakukan suatu tindakan. Motivasi
yang bersumber dari dalam diri individu memiliki potensi yang kuat untuk mewujudkan
gagasan atau imajinasi diri. Apalagi bila didukung situasi dan kondisi yang memadai, maka
gagasan akan mudah direalisasikan. Namun perlu diwaspadai karena motivasi dapat
melahirkan dampak positif dan juga negatif tergantung pada diri seseorang. Motivasi yang
berdampak negatif hendaknya sedapat mungkin diubah menuju dampak yang positif untuk
peningkatan kualitas diri.
Oleh Winataputra (2008:3.15) motivasi didefinisikan sebagai suatu kondisi khusus yang
dapat mempengaruhi individu untuk belajar. Jadi untuk dapat belajar dengan maksimal
siswa memerlukan kondisi yang khusus. Hal ini dimaksudkan agar siswa dalam
mengembangkan potensi dirinya berjalan secara wajar tanpa adanya tekanan dan gangguan
dari luar, karena diri siswa masih labil mudah terimbas pengaruh lingkungan. Motivasi
belajar sangat penting dalam pembelajaran, karena motivasi dapat mendorong kemauan
belajar siswa sehingga siswa memiliki kecenderungan untuk mengulangi apa yang sudah
dipelajari. Proses pengulangan yang terus menerus akan memberikan pemahaman yang
mendalam dan kematangan diri.
Afifudin (1986:110-111) menggolongkan motivasi menjadi dua, yaitu: (1) motivasi
intrinsik yakni bentuk motivasi atau kesediaan untuk belajar karena terdorong oleh rasa
ingin tahu, (2) motivasi ekstrinsik yaitu bentuk motivasi atau kesediaan untuk belajar karena
terdorong oleh keinginan untuk mendapat sesuatu. Bekerjanya kedua motivasi tersebut
tidak selalu sejalan, terkadang berseberangan. Bruner menekankan pentingnya motivasi
intrinsik bila dibanding motivasi ekstrinsik namun bila keduanya saling bersinergi siswa akan
lebih aktif dalam belajar dan berdampak positif
Pada umumnya motivasi intrinsik lebih kuat dari pada motivasi ekstrinsik (Purwanto,
1996:82), namun sebenarnya keduanya saling melengkapi dan menguatkan. Motivasi
ekstrinsik berfungsi bila ada rangsangan dari luar. Motivasi sangat diperlukan dalam
berbagai proses pembelajaran. Dengan adanya motivasi pembelajaran akan lebih bermakna,
lebih efektif dan maksimal. Bila motivasi intrinsik kuat, siswa terlihat aktif dan tekun siswa.
Kesinergian motivasi intrinsik dan ekstrinsik membuat siswa lebih bersemangat dalam
mengekspresikan potensi diri meraih keberhasilan. Motivasi ekstrinsik agar bersinergi
dengan motivasi intrinsik diperlukan pembiasaan yang terus menerus agar tidak
berseberangan. Selama proses pembelajaran diupayakan motivasi tetap terpelihara dan
tidak surut.
Fungsi motivasi belajar adalah untuk meggerakkan siswa belajar aktif dan kreatif,
menyeleksi perbuatan yang harus dilakukan dan mendorong tingkah laku untuk belajar.
Siswa yang memiliki motovasi tinggi akan berpengaruh pada keberhasilan belajarnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa motivasi yang tinggi akan mengantarkan
keberhasilan seseorang dalam mencapai tujuan yang diinginkan secara maksimal.
b. Hakikat Belajar
Belajar berarti perubahan tingkah laku atau penampilan, dengan serangkaian kegiatan,
misalnya membaca, mengamati, mendengarkan dan meniru (Winkel, 1996:21). Perubahan
tingkah laku tidak dapat terjadi secara tiba-tiba melainkan berproses melalui serangkaian
tahapan kegiatan atau latihan yang dilakukan secara serius terpadu dan konsisten untuk
memperoleh beragam kemampuan, keterampilan, dan sikap yang lebih baik dari semula.
Hal ini sejalan dengan Bell-Gredler (1986:1) yang mendefinisikan belajar sebagai proses yang
dilakukan manusia untuk mendapatkan aneka ragam competencies, skill, and attitudes.
Aktivitas belajar dilakukan mulai dari masa bayi hingga akhir hayat dan dapat dilakukan
melalui pendidikan formal, informal, dan non formal, bahkan bisa terjadi di mana pun dan
kapan pun.
Menurut Afifudin (1986:109) belajar diartikan sebagai suatu proses pembentukan atau
perubahan tingkah laku yang mengarah kepada penguasaan pengetahuan, kecakapan,
keterampilan, kebiasaan, sikap yang semuanya diperoleh, disimpan dan dilaksanakan. Dari
kegiatan belajar akan terjadi perubahan menuju peningkatan kualitas dalam pengetahuan,
kecakapan, keterampilan, kebiasaan, dan sikapnya. Jadi yang dihasilkan dari kegiatan belajar
yaitu adanya perubahan tingkah laku yang maju (progresif) dan penyelarasan atau
penyesuaian (adaptif).
Bell-Gredler (1986:317) mengintisarikan konsep belajar menjadi enam teori belajar
secara kontemporer yakni: (1) Teori operant conditioning dari B.F. Skinner; (2) Teori codition
of learning dari Robert Gagne; (3) Teori information processing; (4) Teori cognetiv
development dari Jean Peaget; (5) Teori social learning dari Albert Bandura; (6) Teori
attribution dari Bernard Weiner.
Berkenaan dengan proses belajar yang terjadi pada diri siswa, Gagne dalam
(Winataputra, 2008:1.9-1.11) mengemukakan delapan jenis belajar yaitu: (1) Belajar isyarat
(signal learning); (2) Belajar stimulus-respon (stimulus-response learning); (3) Belajar
rangkaian (chaining learning); (4) Belajar asosiasi verbal (verbal association learning); (5)
Belajar membedakan (discrimination learning); (6) Belajar konsep (concept learning); (7)
Belajar hukum atau aturan (rule lerning); (8) Belajar pemecahan masalah (problem solving
learning);
Agar belajar menjadi bermakna dan memiliki struktur informasi yang kuat, siswa harus
aktif mengidentifikasi prinsip-prinsip kunci yang ditemukannya sendiri, bukan hanya sekedar
menerima penjelasan dari guru saja. Dalam proses pembelajaran siswa benar-benar
dituntut keaktifan dan kreatifitasnya. Siswa harus mampu mendayagunakan potensi diri dan
mengeksplor temuan selama pembelajaran sehingga hasil belajar akan maksimal. Dengan
demikian prinsip belajar tuntas (mastery learning) akan terwujud.
Slameto (2003:2) mendefinisikan belajar sebagai suatu proses usaha yang dilakukan
seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan
sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Perubahan
tingkah laku sebagai hasil dari belajar tidak terjadi secara tiba-tiba melainkan berproses dan
berkelanjutan yang diperolehnya melalui berbagai latihan secara tekun. Lingkungan,
keseriusan, dan frekuensi latihan sangat mempengaruhi hasil belajar yang maksimal.
Angkowo (2007:49) mengemukakan bahwa belajar akan efektif jika dilakukan dengan
suasana menyenangkan. Maka perlu diciptakan suasana dan sistem yang kondusif dalam
pembelajaran. Mensikapi hal tersebut guru sebagai pengajar, fasilitator dan motivator
harus mampu memfasilitasi dan memotivasi siswa agar siswa dapat mengembangkan
potensi dirinya secara maksimal. Sejalan dengan hal tersebut Soedjadi (1991:26)
mengemukakan bahkan mungkin memerlukan perombakan kebiasaan mengajar yang sudah
rutin dewasa ini, dari pembelajaran tradisional menuju ke pembalajaran yang kooperatif,
interaktif, dan inovatif sehingga mutu pembelajaran meningkat
c. Motivasi Belajar
Motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak psikis di dalam individu yang
menimbulkan kegiatan belajar, menjamin kelangsungan belajar dan memberi arah demi
tercapainya tujuan belajar (Winkel, 1991:92). Aktivitas pembelajaran akan menuai hasil
maksimal bila motivasi belajar selama proses pembalajaran meningkat, terarah dan terpadu.
Guru sebagai motivator hendaknya mampu membangkitkan motivasi siswa dalam
pembelajaran. Sedapat mungkin guru harus dapat mimicu motivasi belajar siswa baik
motivasi intrinsik maupun ekstrinsiknya, sehingga siswa selalu bersemangat dan fokus
dalam mengikuti pembelajaran.
Menurut Sumanto (1984:108) faktor yang mempengaruhi motifasi belajar digolongkan
menjadi tiga, yaitu: (1) stimulasi belajar; (2) metode belajar; (3) faktor individual. Motivasi
belajar tidak bersifat statis namun dinamis hal yang demikian dapat dikondisikan,
dimantapkan, dan ditingkatkan. Menurut Dimyati (1999:102) untuk meningkatkan motivasi
belajar dapat ditempuh dengan berbagai cara dan pada prinsipnya adalah pengoptimalan
potensi diri, karena setiap siswa pada dirinya telah melekat potensi yang siap dikembangkan
dan dioptimalkan, untuk itu dalam pembelajaran diperlukan usaha guru membangkitkan
motivasi belajar melalui berbagai model pembelajaran.
Usaha yang dapat dilakukan guru dalam meningkatkan motivasi belajar siswa menurut
Hamalik (2001:167) adalah sebagai berikut: (1). penilaian yang dilakukan secara kontinu
mendorong siswa untuk belajar; (2) pujian dapat mendorong rasa puas dan senang
dapat mendorong semangat belajar; (3) pemberian hadiah baik berupa materi maupun
bintang kehormatan; (4) Kerja kelompok yang harmonis; (5) persaingan yang sehat; (6)
penggunaan media pembelajaran elektrnika dan lain-lain.
Selanjutnya Dimyati (1999:102) menjelaskan untuk meningkatkan motivasi belajar
dapat juga ditempuh dengan cara: (1) mencipkatakan suasana belajar yang menyenangkan;
(2) memberanikan siswa untuk berdiskusi tentang keberhasilan atau kegagalan mencapai
keinginan. Guru juga dapat menggunakan media pembalajaran yang sesuai yakni
menggunakan CD pembelajaran, memanfaatkan lingkungan sebagai sumber pembelajaran,
penerapan motede yang sesuai, pengelolaan kelas yang kondusif, penerapan model
pembelajaran yang kreatif dan inovatif.
b. Hakikat Matematika
Menurut Ruseffendi (1988:23) menyatakan bahwa metematika itu terorganisasikan
dari unsur-unsur yang tidak didevinisikan, definisi-definisi aksioma-aksioma, dan dalil-dalil,
di mana dalil-dalil setelah dibuktikan kebenarannya berlaku secara umum, karena itulah
matematika sering disebut ilmu deduktif. Selanjutnya Johnson dalam (Karso, 2009:1.39-40)
menyatakan bahwa matematika adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan pembuktian
yang logik; matematika adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefiniskan dengan
cermat, jelas, dan akurat representasinya dengan simbol dan padat, lebih berupa bahasa
simbol mengenai arti dari pada bunyi; selanjutnya dijelaskan metematika adalah
pengetahuan struktur yang terorganisasi, sifat-sifat atau teori-teori dibuat secara deduktif
berdasarkan kepada unsur yang tidak didefinisikan, aksioma, sifat, atau teori yang telah
dibuktikan kebenarannya; matematika adalah ilmu tentang pola keteraturan pola atau ide;
dan matematika itu adalah suatu seni, keindahannya terdapat pada keterarutan dan
keharmonisannya.
Matematika dikenal sebagai ilmu dedukatif karena setiap melakukan pembuktian
menggunakan pendekatan deduktif. Dalam sajian pembelajarannya tidak dilakukan secara
melompat-lompat tetapi bertahap dan berkesinambungan, yang dimulai dari pemahaman
ide dan konsep sederhana ke jenjang yang lebih kompleks. Pembelajaran matematika
berkembang dari yang mudah ke yang sukar. Seseorang tidak mungkin mempelajari konsep
lebih tinggi sebelum menguasai prasyarat atau memahami konsep yang lebih rendah.
Reys dalam Karso (2009:1.40) mengatakan bahwa matematika adalah telaahan
tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola pikir, suatu seni, suatu bahasa dan suatu
alat, sedangkan menurut Kline dalam Karso (2009:1.40) bahwa matematika itu bukan
pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi
keberadaannya untuk membantu manusia memahami, menguasai, permasalahan sosial,
ekonomi, dan alam.
Menurut Karso (2009:1.40) matematika disebut ilmu deduktif, karena kita ketahui
bahwa baik isi maupun metode pencarian kebenaran dalam matematika berbeda dengan
ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan umumnya. Metode pencarian kebenaran
yang dipakai oleh matematika adalah metode deduktif, sedangkan ilmu pengetahuan alam
adalah induktif atau eksperimen. Namun dalam matemaika mencari kebenaran itu bisa
dimulai dengan cara induktif, tetapi seterusnya generalisasi yang benar untuk semua
keaadaan harus dibuktikan secara deduktif.
Menurut Hudoyo (1990:4) secara singkat dapat dikatakan bahwa matematika
berkenaan dengan ide-ide, konsep-konsep abstrak yang tersusun secara hierarkis dan
penalarannya deduktif, sedangkan Tambunan dalam Karso (2009:1.42) menyatakan bahwa
matematika adalah pengetahuan mengenai kuantiti dan ruang, salah satu cabang dari
sekian banyak ilmu yang sistematis, teratur dan eksak. Matematika adalah angka-angka
perhitungan yang merupakan bagian dari hidup manusia. Matematika menolong manusia
memperkirakan secara eksak berbagai ide dan kesimpulan. Matematika adalah
pengetahuan atau ilmu mengenai logika dan problem-problem menarik. Matematika
membahas faktor-faktor dan hubungan-hubungannya, serta membahas problem ruang dan
bentuk. Matematika adalah ratunya ilmu.
Pada dasarnya tujuan belajar matematika yang sesuai dengan hakikat matematika
merupakan sasaran utama, sedangkan peranan-peranan teori belajar merupakan strategi
terhadap pemahaman matematika (Karso, 2009:1.42). Ada pun tujuan akhir dari
pembelajaran matematika adalah penguasaan berbagai konsep yang relative abstrak,
dengan beragam teori belajar sebagai jembatan dalam memahami konsep-konsep
matematika.
Menurut Karso (2009:1.43-44) konsep-konsep matematika yang tersusun dalam GBPP
matematika SD dapat dikelompokan ke dalam tiga jenis konsep yaitu: konsep dasar, konsep
yang berkembang, konsep yang harus dibina keterampilannya. Konsep dasar ditanamkan
sebagai prasyarat untuk memahami konsep-konsep selanjutnya. Konsep yang berkembang
merupakan penerapan dari konsep-konsep dasar. Konsep ini akan mudah dipahami apabila
siswa telah menguasi konsep dasar atau konsep prasyaratnya. Konsep yang harus dibina
keterampilannya yakni konsep dasar dan konsep yang berkembang perlu mendapat
pembinaan guru sehingga siswa terbantu penggunaannya dalam kehidupan nyata sehari-
hari.
http://ekagurunesama.blogspot.com/2010/07/definisi-model-pembelajaran.html, diakses:
29 Desember 2012
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2254464-hakikat-model-
pembelajaran/#ixzz2GJK6IoI9, diakses: 29 Desember 2012
http://ilmugreen.blogspot.com/2012/07/hakikat-model-pembelajaran.html, diakses: 29
Desember 2012
http://ninaruspinacivic.blogspot.com/2012/04/makalah-metode-pembelajaran-jigsaw.html,
diakses: 29 Desember 2012
http://yosiabdiantindaon.blogspot.com/2012/11/hakikat-model-pembelajaran-
concept.html, diakses: 29 Desember 2012
Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Revisi ke- 4 Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Tri, Catharina Anni. 2006. Psikologi Belajar. Semarang: UPT MKK UNNES
Udin, S. Winataputra, dkk. 2008. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas
terbuka.
Winkel. 1991. Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar. Jakarta: PT. Gramedia
Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Revisi ke- 4 Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Udin, S. Winataputra, dkk. 2008. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas
terbuka.
Winataputra, dkk. 2008. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka.
Winkel. 1991. Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar. Jakarta: PT. Gramedia