Anda di halaman 1dari 4

Ilmu pengetahuan dan teknologi telah memberikan sumbangsih terbesar dalam pendapatan negara.

Penemuan-penemuan tersebut berasal dari otak-otak super para cendekia. Namun, bagaimana jika
ilmuwan Indonesia malah lebih betah tinggal di negeri orang?

Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I4) mencatat sekitar 2.000 ilmuwan Indonesia yang bekerja di
luar negeri. Sebanyak 850 dari jumlah yang ada telah terkumpul data base-nya.

Sekretaris Jenderal I4 Achmad Aditya mengungkapkan kebanyakan para ilmuwan tersebar di benua
Eropa dan Amerika bertahun-tahun sejak kuliah dan bekerja di suatu lembaga atau secara mandiri.
Mereka mengajar, melakukan riset, dan mengembangkan ilmu pengetahuan lainnya di negeri orang.

Dalam International Summit 2010 Ikatan Ilmuwan Indonesia International (I4) pada 16-18 Desember di
Kementerian Pendidikan Nasional akhirnya merumuskan beberapa hal. Para cendekiawan
mengupayakan perbaikan kultur riset guna mendukung pembangunan bangsa dan negara sendiri.

Sebab, sejak berdiri Oktober 2009 lalu, I4 tetap berkomitmen untuk menjadi media jaringan diskusi para
ilmuwan baik lokal maupun internasional. Dalam pertemuan tahun ini misalnya, ilmuwan yang
terkumpul akan dibagi menjadi sebelas kluster, beberapa diantaranya adalah kedokteran dan
bioteknologi, energi, rekayasa industri dan robotika, ilmu pengetahuan dan teknologi serta informatika
dan elektronika.

“Pengklusteran ini agar memudahkan mereka untuk merumuskan program-program sesuai bidangnya
secara otonom,” ujar Ketua panitia I4 ini. Respon pemerintah cukup baik dalam mendukung kegiatan ini.

Sebab, I4 menganggap pendidikan Indonesia sebenarnya tak kalah berkualitas dengan negara-negara
asing apabila potensi para intelektual itu dimanfaatkan untuk kepentingan yang lebih besar. Yakni
mencerdaskan kehidupan bangsa.

“Saya kira ini bukan soal materi (uang), tetapi soal penghargaan,” imbuhnya. Malah, ada ilmuwan
internasional yang rela terbang pulang kampung dengan ongkos pribadi.
Lantas mengapa mereka enggan pulang kampung dan membangun Indonesia? Aditya menjawab:
“Mereka punya alasan pribadi yang berbeda-beda mengapa berkiprah di luar negeri, tidak di tanah air,”
katanya.

Sejauh ini peran ilmuwan di Indonesia hanya sebatas di wilayah pendidikan, mengajar di kampus
umpamanya. Tetapi, masih kurang ilmuwan yang bekerjasama dengan pelaku bisnis. “Ilmuwan bisa
bermanfaat, dan pelaku bisnis perusahaan-perusahaan besar itu memperoleh temuan baru yang
menguntungkan,” papar Aditya.

Sementara itu, Nelson Tansu, salah satu ilmuwan Indonesia internasional yang berkarya di Lehigh
University, AS, kultur riset sangat penting dewasa ini. Diantaranya, memaksimalkan potensi yang ada
sehingga universitas di Indonesia bisa bersaing dengan lembaga pendidikan asing.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa kerjasama tersebut memungkinkan para ilmuwan untuk melakukan
kerjasama riset, pendampingan, sharing fasilitas dan beasiswa. Kerjasama dapat saling menguntungkan
pihak-pihak terkait, yakni pemerintah dan produsen (perusahaan).

Minimnya anggaran juga muncul karena perhatian pemerintah terhadap Iptek masih rendah sehingga
seperti telah dikemukakan di atas kegiatan riset tidak bisa dilaksanakan secara optimal.

Di lain pihak, kalangan industri pun belum akrab dengan hasil inovasi dalam negeri karena mereka lebih
memilih hasil rekayasa luar negeri yang begitu cepat menghasilkan teknologi baru.

Kendati demikian, Rektor Universitas Paramadina punya pandangan lain tentang ilmuwan lokal yang
‘hijrah’ ke luar negeri. Ia mengatakan, banyaknya ilmuwan Indonesia di berbagai negara justru
memberikan banyak keuntungan.

“Jangan sebut tidak nasionalis, mereka secara tak langsung adalah duta-duta bangsa yang bisa
memengaruhi dunia,” cetus Anies. Nasionalisme tidak diukur dari keberadaan seseorang di dalam negeri.
Nasionalisme itu ada di jiwa.
Lagipula para ilmuwan sangat membanggakan negara dalam persaingan dunia internasional. Mereka bisa
sangat menguasai ilmu yang ditekuninya, membangun jaringan dengan ilmuwan internasional,
menguasai berbagai bahasa asing, serta memiliki modal.

Indonesia juga memiliki calon-calon ilmuwan 55 ribu mahasiswa Indonesia di berbagai negara yang
sedang menuntut ilmu mulai dari program sarjana hingga doktor di berbagai bidang. Jumlah mahasiswa
Indonesia di luar negeri ini diharapkan bisa mencapai 200 ribu orang dalam beberapa tahun mendatang.

Menurut I4, harus ada sebuah langkah untuk mengembangkan kemitraan antara pemerintah, dunia
swasta, dan dunia internasional. Inovasi memang kunci kemajuan teknologi dan industri.

Belajar dari kasus kemajuan teknologi dan industri di Jepang, India, dan China, keduanya ternyata saling
berkait dan saling membutuhkan. “Karena itu (kemajuan Iptek) akan lebih baik lagi bila untuk
merangsang inovasi,” ujar Anies.

Lagipula, lanjutnya, pemerintah juga melakukan langkah yang sama di bidang industri, yakni dengan
memberi insentif cukup besar bagi industri yang memakai hasil inovasi dalam negeri, serta
mengembangkan risetnya.

Oleh karena itu, hasil pertemuan tahunan I4 lebih detil menjelaskan tentang usulan, rekomendasi, dan
rencana aksi untuk memperbaiki kondisi Indonesia. Program yang dicanangkan para ilmuwan itu tentu
sangat membutuhkan kerjasama dan dukungan dari pemerintah, dalam hal ini Kementerian-kementerian
sesuai masing-masing kluster.

Salah satu aksi jangka pendek yang akan dilakukan antara lain berupa pembuatan basis data ilmuwan
Indonesia di luar negeri, menyelenggarakan berbagai lokakarya terkait penulisan jurnal ilmiah,
metodologi penelitian, dan etika penulisan. Selanjutnya, menjembatani peneliti Indonesia untuk meneliti
atau mendapatkan beasiswa di luar negeri.

Menurut aturan pemerintah, para penerima beasiswa harus berbakti di Indonesia minimal 2n+1. Artinya,
kalau lama pendidikan lima tahun, ia mesti menebus dulu utangnya selama serbelas tahun.
Atau ia harus mengganti sebanyak dua kali dari nilai beasiswa yang diterimanya. Meski I4 menampik
punya misi membujuk ilmuwan internasional pulang kampung, tetapi Jika fenomena ilmuwan hijrah
(brain drain) ini dibiarkan, harus berapa banyak lagi talent-talent Indonesia ‘dibajak’ negeri orang?

Anda mungkin juga menyukai