Anda di halaman 1dari 10

Unsur-Unsur Hadis

(Makalah ini dibuat sebagai tugas Mata Kuliah Qur’an Hadis di Madrasah)
Dosen pengampu:
Purwidianto M.pd

Disusun oleh : Kelompok 3

Inas Karimah (1707015157)

Shiratu Tazkiyah (1707015041)

Dea Octaviany (1707015117)

FAKULTAS AGAMA ISLAM


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAM ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF.DR. HAMKA
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat serta
hidayah-Nya dan petunjuknya sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini
yang berjudul "Unsur-Unsur Hadis".

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah "Qur;an Hadis di
Madrasah " yang diberikan oleh dosen pengampu. Kami menyadari sepenuhnya masih jauh
dari kata sempurna dan banyak terdapat kesalahan baik dari segi penulisan maupun
pembahasan.

Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun akan selalu dipertimbangkan untuk
menyempurnakan isinya agar sesuai dengan harapan pembaca. Hanya kepada allah penulis
berserah diri, kami berharap semoga makalah yang kami buat bias bermanfaat bagi semua
pihak dan meningkatkan kualitas juga membangun moral bangsa pada umumnya. Semoga
Allah SWT memberikan petunjuk serta rahmatnya kepada kita semua.

Jakarta, 29 September 2019

Tim Penyusun
Kelompok 3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an, yang menjadi pedoman umat
islam di dunia. Hadits merupakan penjelas hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an yang
masih bersifat global maupun hukum yang belum ada di dalam al-Qur’an.
Hadits adalah pekataan, perbuatan, persetujuan dan sifat-sifat nabi Muhammad SAW.
Didalam hadits terdapat 3 unsur yang tidak bisa di pisahkan, yaitu sanad, matan dan rawi.
Shahih tidaknya hadits terdapat dalam matan dan sanadnya. Sehubungan dengan 3 unsur
hadits tersebut,di bawah ini akan dijelaskan mengenai sanad, matan dan rawi hadits.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian sanad, matan, rawi ?
2. Apa Syarat-syarat periwayatan hadits ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa pengertian sanad, matan, rawi
2. Untuk mengetahui apa saja syarat-syarat periwayatan hadits
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Rawi, Matan, Sanad hadits


1. Rawi (periwayatan)
Riwayat menurut bahasa adalah memindahkan dan menukil berita dari
seseorang kepada orang lain. Sedangkan menurut istilah adalah memindahkan
hadits dari seorang guru kepada orang lain, atau membukukannya ke dalam
kumpulan hadits. Yang disebut rawi adalah orang yang menyampaikan /
menuliskan dalam suatu kitab apa yang pernah di dengar /di terimanya dari
seseorang (gurunya). Bentuk jamak : Ruwat, perbuatan menyampaikan hadits
tersebut dinamakan me-rawi(riwayat)kan hadits.hadits yang pernah disusun
oleh Imam Bukhori bernama (shohih al-Bukhori).
Hadits tersebut diriwayatkan oleh beberapa Rawi, yakni :
a. Ibnu Umar r.a. sebagai rawi pertama
b. Ikhrimah bin kholid sebagai rawi kedua
c. Handhalah bin Abi Sufyan sebagai rawi ketiga
d. Ubaidullah bin Musa sebagai rawi keempat
e. Imam Bukhori sebagai rawi keempat / terakhir
Selain disebut sebagai rawi kelima,Imam Bukhori juga disebut “mukhorrij”
yakni orang menukil /mencatat hadits tersebut pada kitabnya yang pertama “Al-
Jami’us Shohih”. Dengan kata lain,imam bukhori sebagai pentahrij dari hadits
tersebut.
Memindahkan hadits dari seseorang guru kepada orang lain /dewan
/membukanya kedalam dewan hadits menurut istilah ahli hadits disebut riwayat.
Para ulama’ mengklasifikasi para rawi dari banyak dan sedikitnya hadits yang
mereka riwayatkan dan peran mereka dalam bidang ilmu hadits menjadi beberapa
tingkat dan setiap tingkat diberi julukan secara khusus, yaitu sebagai berikut.
1) Al-Musnid adalah orang yang meriwayatkan beserta sanadnya, baik ia
mengetahui kandungan hadits yang diriwayatkan atau sekedar meriwayatkan.
2) Al-Muhaddits, menurut Ibnu Sayyidi an-nas, al-muhaddits adalah orang yang
mencurakan perhatiannya terhadap hadits, baik dari segi riwayah maupun
dirayah. Menurut Ibnu Al-Jazari muhaddits adalah orang yang menguasai
hadits dari segi riwayah dan mengembangkannya dari segi dirayah.
3) Al-Hafizh, menurut Ibnu al-Jazari al-hafizh adalah orang yang meriwayatkan
seluruh hadits yang diterimanya dan hafal akan hadits yang di butuhkan
dirinya.
4) Al-Hujjah, gelar ini di berikan kepada Al-Hafizh yang terkenal tekun.
5) Al-Hakim, rawi yang menguasai seluruh hadits, sehingga hanya sedikit hadits
yang terlewat.
6) Amir al-Mu’minin fi al Hadits, gelar tertinggi di berikan kepada orang
kemampuannya melebihi semua orang di atas,
Jadi yang menjadi ukuran tingkat keilmuan para ulama’ hadits adalah daya
hafal mereka, bukan banyaknya kitab yang mereka miliki.

2. SANAD

Sanad menurut bahasa adalah sandaran yang dapat di pegang /dipercayai kaki
bukit / kaki gunung.sedangkan menurut istilah adalah jalan yang menyampaikan kita
kepada matan hadits. Sanad disebut juga thariq / wajh.
Yang dimaksud dengan musnid adalah orang yang menerangkan hadits dengan
menyebut sanadnya. Sedangkan musnad adalah hadits yang disebut dengan
diterangkan seluruh sanadnya yang sampai kepada nabi SAW.
Pengertian lain tentang musnad ialah kitab hadits yang didalamnya di koleksikan
oleh penyusunnya. Hadits – hadits yang di riwayatkan oleh seorang shahaby dalam
satu bab tertentu kemudian di riwayatkan oleh shahaby yang lain dalam bab yang
lain.
Karena kitab musnad itu banyak jumlahnya, maka biasanya untuk
membedakan kitab musnad yang satu dengan yang lain maka dihubungkan kata –
kata itu dengan nama penyasunnya. Misalnya : Musnad Ahmad, Musnad Abdul
Qosim Al- Baghawi,Musnad Said Ibnu Mansyur dan lain – lain. Dengan demikian
kitab musnad adalah kitab hadits yang disusun berdasarkan nama perawi pertama
atau sanad terakhir.
3. MATAN
Dari segi hadits matan berarti punggung jalan (muka jalan) atau tanah yang
keras dan tinggi. Dari segi istilah matan (matnul hadits) yang berarti materi berita
yang berupa sabda, perbuatan / taqrir nabi SAW yang terletak setelah sanad yang
terakhir.
Secara umum, mtan dappat diartikan selain sesuatu pembicaraan yang berasal
/ tentang Nabi,juga berasal dari sahabat atau tabi’in. Selain istilah : Rawi, Sanad,
Matan, ada beberapa istilah lain, yakni: Istikhraj, mukhorrij dan mustakhrij.
Apalagi kita setelah mengambil atau mengutip matan hadits dari suatu kitab
tertentu (seumpama kitab shahihnya imam bukhori), kemudian mencari matan hadits
yang sama di tempat lain dengan sanad yang berbeda dari sanad imam bukhari, tetapi
sanad yang berbeda itu akhirnya dapat di temukan dengan sanad imam bukhari yang
akhir, maka pekerjaan yang demikian itu dinamakan istikhraj,takhrij atau ikhraj.
Orang yang mengerjakan yang demikian itu disebut mukharrij atau mustakhrij.
Apabila usaha mukharrij itu di himpun dalam sebuah kitab,maka kitab itu
disebut kitab mustakhraj. Istilah mukharrij berarti orang yang menukil atau mencatat
hadits pada kitab hadits yang di susunnya. Sedangkan takhrij berarti menjelaskan.
Bahwa hadits tersebut terdapat dalam suatukitab hadits tertentu. Adapun yang di
maksud dengan isnad adalah menerangkan atau menjelaskan sanadnya hadits (jalan
datangna hadits) atau jalan menyandarkan hadits, sedangkan shighat isnad adalah
lafadz–lafadz yang ada dalam sanad yang di gunakan oleh rawi -rawi pada waktu
menyampaikan hadits.
B. Kriteria dan Syarat-syarat Periwayatan hadits
Para ulama’ mengklasifikasi para rawi dari banyak dan sedikitnya hadits yang
mereka riwayatkan dan peran mereka dalam bidang ilmu hadits menjadi beberapa
tingkat dan setiap tingkat diberi julukan secara khusus, yaitu sebagai berikut.
a) Al-Musnid adalah orang yang meriwayatkan beserta sanadnya, baik ia
mengetahui kandungan hadits yang diriwayatkan atau sekedar meriwayatkan.
b) Al-Muhaddits, menurut Ibnu Sayyidi an-nas, al-muhaddits adalah orang yang
mencurakan perhatiannya terhadap hadits, baik dari s egi riwayah maupun
dirayah. Menurut Ibnu Al-Jazari muhaddits adalah orang yang menguasai
hadits dari segi riwayah dan mengembangkannya dari segi dirayah.
c) Al-Hafizh, menurut Ibnu al-Jazari al-hafizh adalah orang yang meriwayatkan
seluruh hadits yang diterimanya dan hafal akan hadits yang di butuhkan
dirinya.
d) Al-Hujjah, gelar ini di berikan kepada Al-Hafizh yang terkenal tekun.
e) Al-Hakim, rawi yang menguasai seluruh hadits, sehingga hanya sedikit hadits
yang terlewat.
f) Amir al-Mu’minin fi al Hadits, gelar tertinggi di berikan kepada orang
kemampuannya melebihi semua orang di atas, Jadi yang menjadi ukuran tingkat
keilmuan para ulama’ hadits adalah daya hafal mereka, bukan banyaknya kitab yang
mereka miliki.
Jumhur imam hadits dan fikih sepakat bahwa syarat bagi orang yang dapat di
pakai hujjah riwayatnya hendaknya adil dan dhobith hadits yang diriwayatkannya.
Perinciannya adalah rawi tersebut seorang muslim, baligh, berakal sehat, terbebas
dari sebab-sebab kefasikan dan hal-hal yang merusak muru’ah, benar-benar sadardan
tidak lalai, kuat hafalan apabila hadits yang diriwayatkan berdasarkan
hafalannya,dan tepat tulisan,apabila hadits secara makna, disyaratkan baginya untuk
mengetahui kata-kata yang tepat seperti aslinya.
Apabila kita perhatikan, akan kita dapati semua sifat itu berpangkal pada dua
hal, yaitu keadilan dan kedhobith-an. Berikut ini penjelasan satu persatu dari kedua
hal tersebut .

1. Al-‘adalah (keadilan)
adalah merupakan suatu watak dan sifat yang sangat kuat yang mampu
mengarahkan orangnya kepada perbuatan taqwa, menjauhi perbuatan mungkar
dan segala sesuatu yang akan merusak harga dirinya.
Faktor-faktor ‘adalah adalah sebagai berikut:
a) Beragama islam. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surah Al -Baqarah
ayat 282, yang atinya “….dari saksi-saksi yang engkau ridai”. Sementara
oaring yang tidak beragama islam pasti akan mendapatkan keridaan seperti
itu.
b) Baligh. Hal ini merupakan suatu paradigma akan kesanggupan untuk
memikul tanggung jawab mengemban kewajiban dan meninggalkan hal -hal
yang dilarang.
c) Berakal sehat. Sifat itu harus dimiliki oleh seorang perawi a gar dapat
berlaku jujur dan berbicara tepat.
d) Taqwa. Yaitu menjauhi dosa-dosa besar dan tidak membiasakan perbuatan-
perbuatan dosa kecil.
e) Berperilaku yang sejalan dengan muru’ah (harga diri yang agamis) serta
meninggalkan hal-hal yang bisa mungkin merusaknya.
2. Dhobith (kuat hafalan)
Yang dimaksud dhobith oleh muhadditsin adalah sikap penuh kesadaran dan
tidak lalai, kuat hafalan apabila hadits yang diriwayatkan berdasarkan
hafalannya, benar tulisannya apabila hadits yang diriwayatkan berdasarkan
tulisan, semntara apabila ia meriwayatkan hadits secara makna maka ia akan tahu
persis kata-kata apa yang sesuai untuk digunakan.
1. Akibat cacatnya ‘adalah
a) Kafir
b) anak kecil
c) Gila
d) Fasik
e) Hadits yang diriwayatkan orang yang baru bertaubat dari dusta, dalam
berbicara akan dapat di terima. Namun, para ulama menolak hadits yang
diriwayatkan oleh orang yang bertaubat dari dusta yang pernah di sengaja
terhadap hadits Rasulullah SAW.
f) Hadits riwayat ahli bidah. Ahli bidah adalah orang yang fasik karena
menyalahi akidah yang bersifat sunah.
g) Perawi yang minta upah.

2. Akibat cacatnya ke-dhobith-an


1) Tidak dapat diterima hadits riwayat orang yang dikenal menenrima talqin
dalam hadits. Talqin adalah ditunjukkan kepada seorang perawi hadits yang
bukan riwayatannya.
2) Tidak dapat diterima hadits riwayat orang yang banyak meriwayatkan hadits
syadz – yang asing dan meragukan dan hadits yang menkar yang menyalahi
riwayat orang lain yang lebih syiqat.
3) Tidak dapat diterima hadits riwayat orang yang dikenal sering lupa dalam
meriwayatkan hadits.
4) Meriwayatkan suatu hadits dan telh dijelaskan kepadanya akan kesalahannya,
tetapi ia tidak memperbaiki dan tetap meriwayatkan hadits tersebut dengan
cara yang sama, maka gugurlah riwayatannya dan tidak dapat di nukil.
5) Tidak dapat diterima riwayat orang yang tidak hati-hati terhadap naskah yang
ia riwayatkan hadits dari suatu kitab sumber.[6]
Persyaratn yang digunakan para ahli hadits dalam menentukan cacat rawi ternyata lebih
cepat daripada untuk menetapkan keadaan mereka. Untuk yang terakhir itu mereka menerima
begitu saja tanpa menyebutkan dalih-dalih derdasarkan pendapat yang shahih dan masyhur.
Adapun dalam menentukan yang pertama, mereka yakin dahwa dalam menetukan sifat adil
menghukumi kepastian pendapat orang berbeda-beda, berlebih-lebih.
Sikap yang cenderung ketat dan selektif tersebut lahir dari perasaan para kritikus hadits
akan nilai hadits yng di riwayatkan. Bagaimana hadits bukan ucapan manusia biasa atau
bait-bait syair atau bahkan pidato atau cerita. Hadits adalah peraturan-peraturan yang
hanya boleh di kutip dari sumber yang benar dan sepenuhnya dapat dipercaya. Isnad yang
lemah tenyunya mengakibatkan lemahya matan yang di riwayatakan. Oleh karena itulah
mereka lebih mengutamakan memeperoleh isnad yang tinggi dari orang-orang yang
terpercaya.
Dalam menilai cacat atau adilnya rawi para kritikus hadits memiliki beberapa istilah
yang menunjukkan keberagaman dan berubahannya istilah tersebut. Hal ini sesuai dengan
keberagaman keadaan para rawi dari segi kuat dan kemahnya serta dalam segi biasa
dipercaya atau patut diragukan.
Ibnu Hajar membagi istilah tersebut dalam dua belas tingkatan:
a. Sahabat
b. Orang yang sangat terpuji
c. Orang yang bersikap eksklusif
d. Orang yang jujur
e. Orang yang kurang lagi, seperti, yang jujue tetapi buruk pahalanya
f. Orang yang memiliki sedikit hadits, namun mengakui bahwa hadtsnya tidak layak di
abaikan
g. Orang yang meriwayatkan lebih dari satu hadits namun tidak dipercaya
h. Orang yang tidak memiliki kepercayaan / orang yang lemah
i. Orang yang hanya memberikan riwayat kepada seorang yang tidak bisa dipercaya
atau orang tidak di akui
j. Orang yang tidak bisa dipercaya sama sekali dan di anggap lemah karena adanya
cacat
k. Orang yang dicurigai berdusta
l. Orang yang memang “benar” berdusta atau gemar menciptakn hadits maudluk, dan
sebagainya.
Dalam menilai rawi adil, mereka cukup menggunakan syarat berakal, dewasa, islam,dan
tidak dengan terang-terangan melakukan kefasikan, sebab hakikat riwayatan adalah
mempelajari kitab, bukan mengutip dengan cara dialog dan gengan mendengarkan secara
langsung. Syarat islam berlaku ketika seorang menyampaikan hadits, bukan ketika
membawanya atau menanggungnya.
BAB III

Penutup

1. Kesimpulan
Riwayat menurut bahasa adalah memindahkan dan menukil berita dari
seseorang kepada orang lain. Sedangkan menurut istilah adalah memindahkan
hadits dari seorang guru kepada orang lain, atau membukukannya ke dalam
kumpulan hadits. Yang disebut rawi adalah orang yang menyampaikan /
menuliskan dalam suatu kitab apa yang pernah di dengar /di terimanya dari
seseorang (gurunya). Bentuk jamak : Ruwat, perbuatan menyampaikan hadits
tersebut dinamakan me-rawi(riwayat)kan hadits.hadits yang pernah disusun oleh
Imam Bukhori bernama (shohih al-Bukhori).
Sanad menurut bahasa adalah sandaran yang dapat di pegang /dipercayai kaki
bukit / kaki gunung.sedangkan menurut istilah adalah jalan yang menyampaikan kita
kepada matan hadits. Sanad disebut juga thariq / wajh. Yang dimaksud dengan
musnid adalah orang yang menerangkan hadits dengan menyebut sanadnya.
Sedangkan musnad adalah hadits yang disebut dengan diterangkan seluruh
sanadnya yang sampai kepada nabi SAW.
Pengertian lain tentang musnad ialah kitab hadits yang didal amnya di koleksikan
oleh penyusunnya. Hadits – hadits yang di riwayatkan oleh seorang shahaby dalam
satu bab tertentu kemudian di riwayatkan oleh shahaby yang lain dalam bab yang
lain.
Dari segi hadits matan berarti punggung jalan (muka jalan) atau tanah yang
keras dan tinggi. Dari segi istilah matan (matnul hadits) yang berarti materi berita
yang berupa sabda, perbuatan / taqrir nabi SAW yang terletak setelah sanad yang
terakhir.
Secara umum, mtan dappat diartikan selain sesuatu pembicaraan yang berasal
/tentang Nabi,juga berasal dari sahabat atau tabi’in. Selain istilah : Rawi, Sanad,
Matan, ada beberapa istilah lain, yakni: Istikhraj, mukhorrij dan mustakhrij.
DAFTAR PUSTAKA
Ash shiddieqy, M. Hasbi. 2001. sejarah dan pengantar ilmu hadits. Semarang: PT.
Pustaka Rizki putra.
Ash shalih, Subhi. 1993. Membahas ilmu-ilmu hadits. Jakarta: Pustaka Firdaus
https://kajian-ekonomi.blogspot.com/2014/12/makalah-rawi-sanad-dan-matan.html

Anda mungkin juga menyukai