Anda di halaman 1dari 62

DIKTAT

ANTROPOLOGI PARIWISATA

IDA BAGUS GDE PUJAASTAWA

PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA
2017

1
KATA PENGANTAR

Diktat ini disusun untuk melengkapi bahan ajar dalam


mata kuliah Antropologi Pariwisata, yakni spesialisasi dari Ilmu
Antropologi yang memfokuskan perhatiannya pada masalah-
masalah sosial-budaya yang berkaitan dengan perkembangan
sektor kepariwisataan.
Pariwisata pada dasarnya merupakan fenomena multi
dimensi yang mencakup dimensi ekonomi, politik, lingkungan,
sosial-budaya dan lainnya. Meskipun di satu sisi perkembangan
industri pariwisata lebih dipandang sebagai fenonena ekonomi
atau bisnis, namun di sisi lain pariwisata juga merupakan
fenomena perjumpaan kebudayaan yang memiliki implikasi
sosial-budaya yang cukup kompleks. Kenyataan inilah antara lain
yang mendorong Ilmu Antropologi untuk mengembangkan
kajiannya guna memahami berbagai fenomena sosial-budaya
yang terkait dengan perkembangan sektor kepariwisataan.
Meski usianya masih relatif muda, namun keberadaan
Antropologi Pariwisata diharapkan dapat memberi manfaat, baik
manfaat akademos yang berkaitan pengembangan keilmuan,
khususnya Ilmu Antropologi, maupun manfaat praktis yang
berkaitan dengan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan
pembangunan di bidang kepariwisataan.

Denpasar, 6 Juli 2017

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii

BAB I DEFINISI, PERKEMBANGAN ANTROPOLOGI DAN 1


KELAHIRAN ANTROPOLOGI PARIWISATA
1.1 Definisi 2
1.2 Perkembangan Antropologi dan Sejarah Kelahiran 2
Antropologi Pariwisata

BAB II PENDEKATAN ANTROPOLOGI PARIWISATA 5


2.1 Pendekatan Diakronik 5
2.2 Pendekatan Sinkronik 8

BAB III KONSEP PARIWISATA DAN TIPOLOGI WISATAWAN 10


3.1 Konsep Legal Formal 10
3.2 Definisi Pariwisata dari Berbagai Dimensi 11
3.3 Tipologi Wisatawan 16

BAB IV TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN 20


KONSEP PERJUMPAAN KEBUDAYAAN
4.1 Taha-tahap Perkembangan Pariwisata 20
4.2 Beberapa Konsep Perjumpaan Kebudayaan 21
4.3 Akulturasi sebagai Strategi Antisipasi Perjumpaan 23
Kebudayaan
4.4 Bentuk-bentuk Pengaruh Pariwisata terhadap 25
Masyarakat Lokal

BAB V PARIWISATA BUDAYA SEBAGAI KONSEP DASAR 26


PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN PROVINSI BALI

BAB VI DAMPAK POSITIF DAN NEGATIF PARIWISATA 31

BAB VII OTONOMI DAERAH DAN PARIWISATA 36

BAB VIII PARIWISATA DAN PARTISIPASI MASYARAKAT 39

BAB IX PARIWISATA SEBAGAI FENOMENA GLOBALISASI DAN 42


LOKALISASI

BAB X BEBERAPA MASALAH KEPARIWISATAAN BALI 45


10.1 Ketimpangan 45
10.2 Kependudukan 47
10.3 Eksistensi Subak 49

Bab XI BEBERAPA PENDEKATAN SEBAGAI SOLUSI 53

DAFTAR PUSTAKA 57
ii

2
BAB I
DEFINISI, PERKEMBANGAN ILMU ANTROPOLOGI
DAN SEJARAH KELAHIRAN ANTROPOLOGI PARIWISATA

1.1 Definisi
Pariwisata pada dasarnya merupakan fenomena multi
dimensi atau yang mencakup : dimensi ekonomi, politik,
lingkungan, sosial-budaya, dan lainnya. Oleh karenanya untuk
memahami fenomena kepariwisataan secara menyeluruh dan
mendalam diperlukan pendekatan yang bersifat multi disiplin
seperti disiplin ilmu ekonomi, politik, lingkungan, antropologi,
dan lainnya.
Peran disiplin ilmu antropologi dalam pariwisata adalah
untuk memahami fenomena-fenomena sosial-budaya yang
berkaitan dengan bidang pariwisata. Dalam rangka itu lahirlah
Antropologi Pariwisata yang didefinisikan sebagai ilmu bagian
atau spesialisasi dari ilmu antropologi yang secara khusus
memfokuskan perhatiannya pada masala-masalah sosial-budaya
yang terkait dengan kepariwisataan.
Perkembangan Antropologi Pariwisata dirintis oleh N.H.
Graburn, melalui karyanya : The Anthropology of Tourism
(1975). Sejak itu, Antropologi merupakan spesialisasi ilmu
Antropologi yang memfokuskan perhatian pada masalah-
masalah sosial-budaya yang terkait dengan bidang
kepariwisataan. Peran Ilmu Antropologi menjadi semakin penting
mengingat perkembangan pariwisata sebagai industri perjalanan
telah menimbulkan implikasi sosial-budaya yang kompleks.
Dimensi sosial-budaya yang menjadi fokus kajian
Antropologi Pariwisata mencakup sistem sosial dan sistem
budaya yang berkembang dalam rangka pariwisata. Sistem
sosial yang dimaksud di sini adalah suatu sistem yang terwujud

1
sebagai tindakan berpola berkaitan dengan kedudukan dan
peranan individu-individu dalam konteks pariwisata. Sedangkan
sistem budaya merupakan seperangkat ide yang terdiri dari
unsur-unsur nilai, norma, hukum, dan aturan yang menjadi
pedoman bagi setiap tindakan dalam rangka pariwisata.

1.2 Perkembangan Ilmu Antropologi dan Sejarah


Kelahiran Antropologi Pariwisata.

Antropologi, ilmu yang mempelajari manusia dan


kebudayaannya diperkirakan muncul pada pertengahan abad
XIX. Ilmu antropologi dibangun dari data etnografi masyarakat
non-Ero-Amerika (Asia, Afrika, oceania) dan merupakan bahan
mentah ilmu Antropologi. Bila dibandingkan dengan
perkembangan kebudayaan Ero-Amerika pada waktu itu,
kebudayaan masyarakat non Ero-Amerika dipandang sebagai
kebudayaan yang masih berada pada tingkat perkembangan
yang rendah (sederhana). Erat kaitannya dengan pandangan
tersebut, teori yang paling populer mendasari ilmu ini adalah
teori evolusi kebudayaan, yang menjelaskan bahwa masyarakat
dan kebudayaan berkembang dari tingkat rendah ke tingkat
yang lebih tinggi (kompleks) yang didorong oleh kekuatan dari
dalam (internal). Sedangkan ilmu Antropologi yang pada waktu
itu dapat dikatakan sebagai ilmu orang-orang Eropa dan Amerika
untuk mengakaji masyarakat dan kebudayaan non-Ero-Amerika
yang relatif masih sederhana. Oleh karenanya, ilmu Anthripologi
yang mendominasi tahap-tahap awal perkembangan Antropologi
dapat dikategorikan sebagai Anthropology of Archaic Society
atau Anthropoloy of Traditional Society
Kemudian, sekitar awal abad XX terjadi perubahan yang
cukup mendasar dalam rangka perkembangan masyarakat dan
kebudaqyaan manusia, yaitu adanya gejala makin meluasnya

2
pengaruh peradaban modern (Barat) terhadap masyarakat dan
kebudayaan non-Ero-Amerika. Bersamaan dengan kian
meluasnya pengaruh peradaban Barat, makin berkurang pula
masyarakat non-Ero-Amerika yang tidak tersentuh oleh
pengaruh kebudayaan Barat. Atau dengan kata lain masyarakat
dan kebudayaan tradisional kian banyak berubah akibat
menyebarnya pengaruh peradaban Barat. Hal tersebut
membawa implikasi terhadap fokus kajian ilmu Antropologi,
yakni mengkaji masyarakat dan kebudayaan tradisional yang
sedang mengalami perubahan. Sehubungan dengan itu
Antropologi disebut Anthropology of Changing Native.
Sejak sekitar awal tahun 1930 maka berkembang pula
beberapa gejala baru yang dihadapi oleh ilmu Antropologi.
Gejala-gejala yang dimaksud adalah :
(1) Hilangnya masyarakat dan kebudayaan asli yang sama
sekali bebas dari pengaruh peradaban barat;
(2) Makin berkembangnya masyarakat dan kebudayaan
dengan ciri-ciri kompleks (modern);
(3) Makin bertambahnya Antropolog yang berasal dari
masyarakat non-Ero-Amerika.
Gejala-gejala tersbut merupakan perspektif bvru bagi
perkembangan ilmu Antropologi baik dilihat dari subyek dan
obyek ilmu tersebut. Begitu pula dalam hal memberikan tekanan
kepada arti ilmu Antropologi yang makin mengarah kepada ilmu
yang berfungsi ganda, baik sebagai ilmu teoritis (akademis)
maupun sebagai ilmu terapan (praktis). Maka sejak fase ini
berkembang suatu ilmu Antropologi yang dikategorikan sebagai
Anthropology of Complex Society.
Salah satu sisi kehidupan masyarakat kompleks adalah
kian berkembangnya pranata untuk memenuhi dorongan
keinginan manusia akan hiburan. Kehidupan masyarakat modern

3
yang bersifat kompleks ditandai dengan penggunaan energi,
waktu, dan pikiran yang intensif. Hal tersebut menyebabkan
terakumulasinya kelelahan fisik dan pikiran yang menuntut
adanya penyegaran kembali (refreshing) dengan menikmati
berbagai jenis hiburan. Pada masyarakat modern pemenuhan
tuntutan akan hiburan atau memanfaatkan waktu luang
merupakan kebutuhan yang sangat penting, meskipun untuk itu
orang harus menghabiskan biaya yang tidak sedikit.
Dalam perkembangan selanjutnya, upaya-upaya
pemenuhan akan hiburan tersebut dikelola secara lebih intensif
sehingga melahirkan bentuk industri pariwisata seperti yang
dikenal sekarang ini, di mana keberadaannya menimbulkan
berbagai fenomena yang berpengaruh signifikan terhadap
kehidupan masyarakat. Fenomena yang dimaksud di antaranya
adalah berkembangnya fenomena sosial-budaya berkaitan
dengan perkembangan industri pariwisata. Atau dengan kata lain
keberadaan pariwisata disadari sebagai salah satu faktor yang
mempengaruhi dinamika sosial-budaya masyarakat.
Kenyataan tersebut mendorong ilmu Antropologi untuk
mengembangkan kajiannya pada masalah-masalah sosial-
budaya yang berkaitan dengan bidang pariwisata. Berdasarkan
hal tersebut lahirlah ilmu Antropologi Pariwisata yang
merupakan spesialisasi ilmu Antropologi yang memfokuskan
kajiannya pada masalah-masalah sosial-budaya yang berkaitan
dengan bidang pariwisata. Kehadiran Antropologi Pariwisata
diharapkan dapat berperan bagi perkembangan dan
pengembangan pariwisata yang lebih memberikan manfaat
positif bagi kehidupan sosial-budaya masyarakat seperti
revitalisasi dan konservasi budaya.

4
BAB II
PENDEKATAN ANTROPOLOGI PARIWISATA

2.1 Pendekatan Diakronik


Pendekatan ini berpijak pada gejala perubahan atau
perkembangan sosial-budaya sebagai doktrin pokok. Dalam hal
ini pariwisata diasumsikan sebagai variabel bebas atau faktor
yang mempengaruhi terjadinya perubahan sosial-budaya.
Perubahan atau perkembangan sebagai doktrin pokok diakronis
dapat terwujud dalam empat model berdasarkan indikator-
indikator sebagai berikut.

(a) Indikator Waktu


Pemahaman terhadap fenomena perubahan dapat
dilakukan dengan menggunakan indikator waktu, yakni melalui
komparasi atau perbandingan antara kondisi sosial-budaya
sebelum adanya faktor yang mempengaruhi terjadinya
perubahan dan kondisi sosial-budaya setelah adanya faktor yang
mempengaruhi terjadinya perubahan.

Pendekatan ini dapat digunakan untuk memahami


pengaruh atau dampak pariwisata terhadap aspek-aspek sosial-
budaya pada masyarakat. Hal tersebut dapat dilakukan dengan
mengadakan studi komparasi atau perbandingan mengenai
kondisi sosial-budaya pada waktu sebelum dan sesudah
berkembangnya sektor pariwisata pada masyarakat tertentu.
Misalnya, seorang peneliti ingin memahami bagaimana
pengaruh pariwisata terhadap eksisitensi sistem subak di suatu
tempat di Bali. Masalah tersebut dapat difahami dengan
melakukan studi komparasi atau perbandingan mengenai
keberadaan berbagai komponen sistem subak (seperti luas
lahan, sistem organisasi, infrastruktur, dan lain sebagainya)

5
pada waktu sebelum dan sesudah berkembangnya pariwisata.
Apabila hasil perbandingan tersebut menunjukkan adanya
perbedaan-perbedaan, seperti makin penyempitan luas lahan
pertanian akibat alih fungsi lahan, berkurangnya organisasi
subak, terganggunya infrastruktur subak, dan lain sebagainya,
maka hal tersebut menunjukkan bahwa perkembangan
pariwisata telah menyebabkan terjadinya perubahan terhadap
keberadaan sistem subak.

Skema Perubahan Berdasarkan dimensi waktu

(b) Indikator Ruang


Konsekwensi logis dari pariwisata sebagai fenomena
perjumpaan atau kontak budaya adalah terjadinya proses
perubahan atau perkembangan sosial-budaya yang disebabkan
oleh persebaran unsur-unsur kebudayaan dari suatu tempat ke
tempat yang lain (proses difusi).
Seperti diketahui bahwa pariwisata pada dasarnya
merupakan fenomena kontak atau perjumpaan
antarkebudayaan, di mana masyarakat tuan rumah dihadapkan
dengan budaya pariwisata dan budaya wisatawan. Untuk itu

6
tuan rumah dituntut untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian
seperti menggunakan bahasa, norma-norma, fasilitas-fasilitas,
dan unsur-unsur budaya asing lainnya. Disadari atau tidak,
keberadaan unsur-unsur budaya luar tersebut lambat laun akan
diserap ke dalam kebudayaan tuan rumah. Hal tersebut dapat
mengakibatkan terjadi perubahan-perubahan sosial-budaya pada
masyarakat tuan rumah.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam rangka studi
mengenai proses difusi kebudayaan dalam konteks pariwisata
adalah :
(1) Difusi atau persebaran kebudayaan tidak terjadi secara
utuh atau totalitas, melainkan bersifat parsial, yakni
unsur-unsur tertentu saja.
(2) Unsur-unsur kebudayaan yang didifusikan mengalami
penyesuaian-penyesuaian dalam hal bentuk, struktur,
fungsi, dan makna di lingkungan kebudayaan
penerima.

(c) Indikator Tingkat

Pariwisata juga dapat menimbulkan proses perubahan


atau perkembangan aspek sosial-budaya dari tingkat rendah
atau sederhana menuju tingkat yang lebih tinggi atau kompleks.
Misalnya, dalam bidang pertanian dapat terjadi perubahan pola-
pola teknologi pertanian dari pertanian subsisten (untuk
memenuhi konsumsi keluarga) menjadi pertanian industri untuk
memenuhi tuntutan bisnis pariwisata. Hal tersebut dapat
difahami sebagai suatu bentuk perkembangan dari sistem
pertanian tradisional menuju sistem pertanian yang lebih
modern.

7
(c) Indikator Ruang, Waktu, dan Tingkat

Perubahan atau perkembangan sosial-budaya dapat


berawal dari suatu tempat kemudian berdifusi atau menyebar ke
tempat lain dan di tempat yang baru unsure tersebut mengalami
perkembangan pada tingkat-tingkat tertentu dalam kurun waktu
tertentu.

Skema Perubahan
Berdasarkan Dimensi Ruang, Waktu, dan Tingkat

Misalnya, unsur-unsur bahasa Inggris menyebar dari


tempat asalnya ke berbagai tempat di dunia. Lambat laun, di
tempat-tempat yang baru tersebut keberadaan unsur-unsur
bahasa Inggris kian mengalami perkembangan sehingga
akhirnya bahasa Inggris menjadi bahasa untuk komunikasi
internasional dengan logat atau dialek yang beragam.

2.2 Pendekatan Sinkronik


Pendekatan sinkronik digunakan untuk memahami pola
atau prinsip-prinsip dasar dari fenomena sosial-budaya.
Termasuk dalam pendekatan sinkronik adalah pendekatan
fungsional-struktural yang digunakan untuk memahami fungsi
dan struktur dari setiap gejala atau fenomena sosial-budaya.
Fenomena sosial-budaya yang dimaksud mencakup berbagai
gejala yang berada dalam tataran sistem budaya (idea),
perilaku (action), dan fisik (material).

8
Pemahaman terhadap fungsi dari suatu fenomena sosial-
budaya lebih mengacu kepada manfaat dari fenomena sosial-
budaya yang bersangkutan. Dalam kajian antropologi Pariwisata,
pendekatan fungsional dapat digunakan untuk memahami
manfaat dari fenomena-fenomena sosial-budaya yang berkaitan
dengan bidang kepariwisataan. Misalnya, fungsi subak bagi
pariwisata.

Sementara pemahaman terhadap struktur dari suatu


fenomena sosial-budaya lebih mengacu kepada prinsip-prinsip
yang mengatur hubungan antar aspek dalam suatu kesatuan
gejala yang bersifat integral. Ibarat memahami struktur pada
sebuah mesin, pendekatan struktural lebih memfokuskan
perhatian pada jenis-jenis komponen serta prinsip-prinsip
mekanika yang mengatur hubungan antar komponen dalam
mesin itu. Demikian pula dalam mengkaji struktur masyarakat.
Kajian struktural lebih memfokuskan perhatian pada kedudukan
dan peranan individu dalam masyarakat serta prinsip-prinsip
yang mengatur hubungan antar individu dalam masyarakat
sehingga tercipta suatu bentuk integrasi sosial.

9
BAB III
KONSEP PARIWISATA DAN TIPOLOGI WISATAWAN

3.1 Konsep Legal Formal


Di Indonesia secara legal formal konsep pariwisata
tertuang dalam Undang-undang Kepariwisataan Republik
Indonesia Nomor 10 Tahun 209 tentang Kepariwisataan.
Rumusan konsep pariwisata mengacu pada konsep wisata yang
didefinisikan sebagai berikut.
Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi
tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan
pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang
dikunjungi dalam jangka waktu sementara.

Berdasarkan konsep wisata seperti didefinisikan di atas,


maka dapat dirumuskan sejumlah konsep lainnya yang berkaitan
dengan wisata, seperti konsep wisatawan, pariwisata,
kepariwisataan, daya tarik wisata, daerah tujuan wisata, dan
lainnya. Berikut adalah beberapa rumusan yang dimaksud.

(1) Wisatawan adalah orang yang melakukan wisata;

(2) Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata


dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang
disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah,
dan pemerintah daerah;

(3) Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang


terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi
serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud
kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi
antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama
wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan
pengusaha;

(4) Daya Tarik Wisata adalah segala sesuatu yang


memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa
keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil

10
buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan
kunjungan wisatawan;

(5) Daerah tujuan pariwisata yang selanjutnya disebut


Destinasi Pariwisata adalah kawasan geografis yang
berada dalam satu atau lebih wilayah administratif
yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas
umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta
masyarakat yang saling terkait dan melengkapi
terwujudnya kepariwisataan.

3.2 Definisi Pariwisata dari Berbagai Dimensi

Selain definisi di atas, definisi tentang pariwisata yang


berkembang di dunia sesungguhnya sangat beragam dan
memiliki penekanan pada dimensi yang berbeda-beda. Hal
tersebut disebabkan karena pariwisata pada dasarnya
merupakan fenomena multi dimensi yang dapat didekati dari
berbagai perspektif. Uraian berikut adalah kategorisasi definisi
pariwisata dari berbagai dimensi seperti dikemukakan oleh
Adriani dalam http://jejakwisata.com (diakses 3 Maret 2017).

3.2.1 Dimensi Spasial


Dari berbagai definisi tentang pariwisata, definisi yang
berkembang lebih awal adalah definisi yang lebih menekankan
pada dimensi spasial atau ruang (Gartner, 1996: 4). Definisi ini
menekankan pada perjalanan seseorang atau sekelompok orang
ke suatu tempat yang jauh dari lingkungan tempat tinggalnya
dan atau tempat kerjanya dalam jangka waktu sementara. Salah
satu contoh definisi yang dimaksud adalah definisi yang diajukan
Airey (dalam Smith and French, 1994) sebagai berikut.

“Tourism is the temporary short-term movement of people


to destinations outside the places where they normally live
and work, and their activities during their stay at these
destinations” .

11
Selain pergerakan ke tempat yang jauh dari lingkungan
tempat tinggal dan tempat kerja, Airey juga menambahkan
kegiatan atau aktivitas wisatawan selama berada di destinasi
pariwisata sebagai bagian dari pariwisata.
Definisi pariwisata yang diajukan World Tourism
Organization (WTO) pun memfokuskan pada sisi demand
(permintaan) dan dimensi spasial, dengan menetapkan dimensi
waktu untuk perjalanan yang dilakukan wisatawan, yaitu tidak
lebih dari satu tahun berturut-turut.
“Tourism comprises the activities of persons travelling to
and staying in places outside their usual environment for
not more than one consecutive year for leisure, business
and other purposes not related to the exercise of an
activity remunerated from within the place visited”

Definisi yang diajukan WTO di atas juga menekankan pada


tujuan perjalanan yang dilakukan, yaitu untuk leisure (mengisi
waktu luang), bisnis, dan tujuan lain yang tidak terkait dengan
kegiatan mencari nafkah di tempat yang dikunjunginya.
Beberapa definisi lain juga menetapkan nilai-nilai tertentu
untuk jarak tempuh dan lama perjalanan yang biasanya
dikembangkan untuk memudahkan perhitungan statistik
pariwisata, seperti :
 Committee of Statistical Experts of the League Nations
(1937) menetapkan waktu paling sedikit 24 jam bagi
perjalanan yang dikategorikan sebagai perjalanan wisata.
 The United States National Tourism Resources Review
Commission (1973) menetapkan jarak paling sedikit 50 mil
untuk perjalanan wisata.
 United States Census Bureau (1989) menetapkan jarak100
mil untuk perjalanan yang dikategorikan sebagai
perjalanan wisata.

12
 Kanada mensyaratkan jarak 25 mil untuk kategori
perjalanan wisata.
 Biro Pusat Statistik (BPS) Indonesia menetapkan angka
lama perjalanan tidak lebih dari 6 bulan dan jarak tempuh
paling sedikit 100 km untuk perjalanan wisata.
Definisi pariwisata dari dimensi spasial ini di Indonesia
didefinisikan sebagai kegiatan wisata, seperti yang tercantum
dalam UU Kepariwisataan No. 10 tahun 2009 pasal 1, yaitu
kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk
tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari
keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu
sementara.

3.2.2 Dimensi Industri (Bisnis)


Definisi pariwisata yang dipandang dari dimensi industri
atau bisnis memfokuskan pada keterkaitan antara barang dan
jasa untuk memfasilitasi perjalanan wisata. Smith, 1988 (dalam
Seaton and Bennett 19964) mendefinisikan pariwisata sebagai
kumpulan usaha yang menyediakan barang dan jasa untuk
memfasilitasi kegiatan bisnis, bersenang-senang, dan
memanfaatkan waktu luang yang dilakukan jauh dari lingkungan
tempat tinggalnya.
“..the aggregate of all businesses that directly provide
goods or services to facilitate business, pleasure, and
leisure activities away from the home environment”.

Craig-Smith and French (1994: 2), mendefinisikan


pariwisata sebagai keterkaitan antara barang dan jasa yang
dikombinasikan untuk menghasilkan pengalaman berwisata.
“..... a series of interrelated goods and services which
combined make up the travel experience”.

13
Definisi pariwisata sebagai industri/bisnis inilah yang di
dalam UU Kepariwisataan RI No. 10 tahun 2009 didefinisikan
sebagai pariwisata, yaitu berbagai macam kegiatan wisata dan
didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh
masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah.

3.2.3 Dimensi Sosial-Budaya


Pariwisata juga dapat dipandang sebagai bagian dari
fenomena sosial-budaya. Definisi pariwisata dari dimensi sosial-
budaya menitikberatkan perhatian pada hal-hal yang terkait
dengan perjalanan wisata, kegiatan yang dilakukan selama
berada di destinasi wisata, dan fasilitas-fasilitas yang dibangun
untuk memenuhi kebutuhan wisatawan.
“Tourism is the temporary movement of people to
destinations outside their normal places of work and
residence, the activities undertaken during their stay in
those destinations, and the facilities created to cater to
their needs” (Mathieson and Wall dalam Gunn, 2002: 9).

Definisi lainnya dikemukakan oleh Chadwick (994) yang


menitikberatkan pada tiga aspek utama, yakni pergerakan
manusia, aspek ekonomi atau industri, sistem interaksi
antarmanusia, serta kebutuhan dan layanan untuk merespon
kebutuhan tersebut.

“…identified three main concepts: the movement of


people; a sector of the economy or industry; and a broad
system of interacting relationship of people, their needs,
and services that respond to these needs”.

Ada pula definisi yang menekankan pada interaksi antara


elemen lingkungan fisik, ekonomi, dan sosial budaya, sebagai
berikut.

14
“an open system of five elements interacting with broader
environments; the human element; tourists; three
geographical elements: generating region, transit route,
and destination region; and an economic element, the
tourist industry. The five are arranged in functional and
spatial connection, interacting with physical, technological,
social, cultural, economic, and political factors. The
dynamic element comprises persons undertaking travel
which is to some extent, leisure-based and which involves
a temporary stay away from home of at least one night”
(Leiper dalam Gartner, 1996: 6) :

Definisi lainnya yang lebih sederhana diajukan oleh


Hunziker, 1951 (dalam French, Craig-Smith, Collier, 1995: 3),
yang mendefinisikan pariwisata, sebagai berikut.

“..... the sum of the phenomena and relationship arising


from the travel and stay of non-residents, in so far as the
do not lead to permanent residence and are not connected
with any earning activity”

Definisi yang menekankan dimensi sosial-budaya,


khususnya aspek sejarah dan budaya adalah seperti yang
diajukan oleh MacCannell, 1992 (dalam Herbert, 1995 : 1),
sebagai berikut.
“Tourism is not just an aggregate of merely commercial
activities; it is also an ideological framing of history, nature
and tradition; a framing that has the power to reshape
culture and nature to its own needs”.

Definisi di atas memandang Pariwisata bukanlah hanya


kegiatan bisnis atau komersial semata, melainkan juga
merupakan wahana bagi upaya untuk merevitalisasi sejarah,
alam, dan kebudayaan. Dengan demikian pembangunan
pariwisata berbwawasan budaya di samping bertujuan untuk
memperoleh manfaat bagi kesejahteraan ekonomi, juga
memberi manfaat bagi pelestarian budaya dan lingkungan
setempat.

15
3.2.4 Dimensi Akademis
Dari dimensi akademis, pariwisata tidak hanya dilihat dari
sisi supply atau demand saja, tetapi melihat keduanya sebagai
dua aspek yang saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain.
“Tourism is a study of man away from his usual habitat, of
the industry which responds to his needs and of the
impacts that both he and the industry have on the host
sosiocultural, economic and physical environment”.

Pariwisata dari dimensi ini didefinisikan sebagai studi yang


mempelajari perjalanan manusia ke luar dari lingkungannya,
industri yang merespon kebutuhan manusia yang melakukan
perjalanan, dan dampak yang ditimbulkan oleh pelaku
perjalanan maupun industri terhadap lingkungan sosial-budaya,
ekonomi, maupun lingkungan fisik setempat (Jafar Jafari, 1977
dalam Gartner, 1996: 7).
Definisi Jafar Jafari di atas mereduksi dimensi spasial
sebagai faktor pembatas perjalanan wisata. Definisi tersebut
mengisyaratkan bahwa faktor jarak tidaklah bersifat ketat,
melainkan relatif. Dengan demikian, seseorang dapat
melakukan kegiatan wisata asalkan kegiatan tersebut dilakukan
dengan melakukan perjalanan meninggalkan lingkungannya
(tempat tinggal atau tempat kerjanya) tanpa memperhatikan
jarak secara ketat.

3.3 Tipologi Wisatawan


Ada berbagai macam tipologi wisatawan, tergantung dari
jenis kriteria yang digunakan untuk merumuskan tipologi itu.
Atas dasar kriteria kenegaraan, misalnya, kita mengenal
wisatawan asing dan domistik, atau yang di Indonesia disebut
dengan wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara.
Tipologi lainnya juga dapat diajukan berdasarkan kriteria tujuan

16
wisata, ciri-ciri fisik, usia, fasilitas akomodasi yang digunakan,
dan lain-lain.
Salah satu tipologi wisatawan yang dibuat berdasarkan
kriteria peranan dan kelembagaannya diajukan oleh Cohen
(1972) sebagai berikut :
(a) The Organized Mass Tourist
Wisatawan tipe ini membeli package tour yang telah
diorganisasikan oleh agen perjalanan wisata. Acara-
acara mereka sepenuhnya diatur oleh agen perjalanan
dan hampir tidak ada keputusan sendiri yang diambil
oleh tipe wisatawan ini.
(b) The Individual Mass Tourist
Wisatawan tipe ini mirip dengan tipe pertama, di mana
acara perjalanannya mayoritas dikelola oleh agen
perjalanan, namun bobot pengambilan keputusan
sendiiri oleh wisatawan lebih besar.
(c) The Explorer
Wisatawan tipe ini lebih bersifat individualis dan
mengelola sendiri acara perjalanan mereka. Mereka
berusaha mengadakan hubungan dengan masyarakat
lokal, namun tidak sepenuhnya meninggalkan cara-
cara hidup menurut lingkungan mereka sendiri.
(d) The Drifter
Wisatawan tipe ini sepenuhnya mengelola sendiri
perjalanan mereka dan dapat menggunakan berbagai
fasilitas umum yang digunakan oleh masyarakat lokal.
Meraka berinteraksi intensif dan berbaur dalam
kehidupan masyarakat lokal dan mengkonsumsi jenis-
jenis makanan yang ada pada masyarakat lokal.

17
Dua tipe wisatawan yang pertama disebut institutionalized
tourist dan dua tipe yang terakhir disebut non institutionalized
tourist. Elemen dasar yang menjadi ciri penting bagi tipe
institutionalized tourist adalah standarisasi dan produksi massa.
Berdasarkan ciri-ciri fisiknya, wisatawan dapat
digolongkan atas wisatawan hippies dan non-hippies. Pada
mulanya istilah hippies ditujukan kepada kelompok pemakai
hard drugs (narkoba) seperti madat (opium), morfine, heroin,
cocain yang terdapat pada bunga madat (poppy flower). Hard
drugs tersebut umumnya dikonsumsi dengan menggunakan
pipa penghisap dengan posisi badan sedemikian rupa (hip).
Selanjutnya istilah hippies juga ditujukan kepada semua orang
pengguna narkotika & obat-obatan berbahaya yang bersifat
synthetic chemicals (narkoba).
Pada tahun 1965 – 1968 istilah hippies diperluas oleh
media massa, yaitu termasuk pula kelompok pemuda yang
menolak nilai-nilai atau way of life yang telah berlaku turun-
temurun dalam masyarakat. Mereka mencoba menciptakan
kebiasaan yang baru yang disebut youth culture.
Ciri-ciri hippies yang mula-mula ditentukan oleh faktor fisik
kemudian meluas pula pada ciri-ciri non-fisik sebagai berikut.
(a) Pekerjaan
Kaum hippies umumnya tidak memiliki pekerjaan
tetap & lebih menyukai pekerjaan berjangka waktu
pendek;
(b) Agama
Kaum hippies umumnya kurang mentaati kaidah-
kaidah agama yang berlaku secara umum &
cenderung menciptakan semacam agama baru yang
bersifat sinkretik yang merupakan kombinasi dari
unsur-unsur dari berbagai sumber.

18
(b) Mode
Kaum hippies cenderung memilih mode (misalnya
pakaian & rambut) dengan gaya yang aneh dan luar
biasa.
(c) Kesadaran
Kaum hippies pada umumnya mengembangkan
kesadaran yang lain dari biasanya.

19
BAB IV
TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN PARIWISATA
DAN KONSEP PERJUMPAAN KEBUDAYAAN

4.1 Tahap-Tahap Perkembangan Pariwisata

Foster dan Greenwood mengemukakan bahwa


perkembangan pariwisata berlangsung melalui 3 tahap, yaitu :
(a) Tahap Penemuan (Discovery)
Tahap penemuan ditandai oleh penemuan suatu obyek
wisata yang biasanya terjadi secara kebetulan oleh
orang-orang yang memiliki watak petualang seperti
penjelajah atau pecinta alam. Kedatangan mereka ke
tempat itu lebih banyak untuk melakukan kegiatan
yang bersifat santai seperti berburu, atau sekadar
menyalurkan hasrat kecintaan mereka terhadap
pesona keindahan alam.
(b) Tahap munculnya Tanggapan & Inisiatif Lokal (local
response)
Tahap munculnya tanggapan atau inisiatif lokal adalah
kelanjutan dari tahap penemuan. Pada tahap ini suatu
obyek wisata mulai dikenal berkat promosi yang
dilakukan oleh penemunya, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Sejalan dengan itu para
wisatawan (baik domistik maupun asing) mulai datang
mengunjungi tempat tersebut. Kedatangan para
wisatawan ini memberikan rangsangan bagi penduduk
setempat untuk memberikan respon dalam rangka
memperoleh manfaat daripadanya. Mereka kemudian
mendirikan beraneka fasilitas kepariwisataan. Namun
keberadaan fasilitas tersebut umumnya kurang

20
memadai baik secara kualitas maupun kuantitas
karena kemunculannya bersifat spontan dan swadaya.
(c) Tahap Instistusionalisasi (Institusionalized)
Tahap instistusionalisasi merupakan kelanjutan dari
tahap munculnya tanggapan dan inisiatif lokal. Pada
tahap ini jumlah kunjungan wisatawan semakin
meningkat sehingga keberadaan fasilitas
kepariwisataan juga makin ditingkatkan baik kualitas,
kuantitas, dan keanekaragamannya sehingga
mencapai tingkat kemapanan. Jadi pada tahap ini
perkembangan suatu obyek wisata betul-betul
mencapai perkembangan yang optimal.

4.2 Beberapa Konsep Berkaitan dengan Pariwisata


Sebagai Fenomena Perjumpaan Kebudayaan

Pariwisata merupakan fenomena perjumpaan kebudayaan


di mana kebudayaan yang satu dengan yang lain saling
mempengaruhi. Dalam hal ini kebudayaan lokal (penerima)
cenderung berkedudukan sebagai variabel yang dipengaruhi
(dependent variabel) & kebudayaan asing sebagai variabel yang
mempengaruhi (independent variabel).

Skema Interaksi antara Kebudayaan Asing dan Kebudayaan Lokal


dalam Konteks Pariwisata

Dalam konteks pariwisata, interaksi antara kebudayaan


wisatawan dengan kebudayaan tuan rumah cenderung

21
menimbulkan perubahan-perubahan pada kebudayaan tuan
rumah.
Proses perjumpaan kebudayaan menimbulkan
konsekwensi-konsekwensi sebagai berikut :
(a) Substitusi :
Fungsi unsur-unsur kebudayaan lokal diambil alih oleh
unsur-unsur kebudayaan asing dengan perubahan
struktural yang minimum;
(b) Sinkretisme :
Terbentuknya sistem baru dari percampuran unsur-
unsur kebudayaan lokal dengan unsur-unsur
kebudayaan asing dengan kemungkinan terjadinya
perubahan kebudayaan yang cukup berarti;
(c) Adisi :
Penambahan unsur-unsur kebudayaan asing ke dalam
kebudayaan lokal;
(d) Dekulturasi :
Hilangnya bagian-bagian substansial dari kebudayaan
lokal;
(e) Orijinalisasi :
Munculnya unsur-unsur kebudayaan yang baru untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru sebagai akibat
dari kondisi yang berubah;
(f) Revitalisasi :
Bangkitnya atau menguatnya daya tahan kebudayaan
lokal dari pengaruh-pengaruh budaya asing.
(g) Penolakan :
Perubahan kebudayaan yang terjadi akibat pengaruh
asing tidak dapat diterima oleh sebagian besar
masyarakat sehingga dapat menyebabkan
pemberontakan atau gerakan kebangkitan.

22
4.3 Akulturasi sebagai Konsep Strategi Antisipasi
Perjumpaan Kebudayaan

Pariwisata dapat dipandang sebagai fenomena perjumpaan


kebudayaan antara kebudayaan wisatawan dengan kebudayaan
penerima. Konsekwensi logis dari proses perjumpaan
kebudayaan tersebut pada gilirannya menimbulkan perubahan-
perubahan pada kebudayaan penerima. Contoh kongkrit
mengenai hal tersebut, misalnya, dalam bidang bahasa,
masyarakat lokal mulai menyerap unsur-unsur bahasa asing
sehingga menggeser peran unsur-unsur bahasa lokal. dalam
bidang kesenian, berbagai jenis kesenian asing seperti musik,
film, dan mode Barat kian digemari dan dengan mudah diserap
oleh masyarakat lokal sehingga menggeser atau paling tidak
menyaingi peran kesenian lokal. Demikian pula dengan gaya
hidup, disadari atau tidak, tidak sedikit warga masyarakat
lokal telah meniru gaya hidup wisatawan yang cenderung bebas
dan individual. Akumulasi dari persoalan-persoalan tersebut
tentunya dapat menimbulkan perubahan-perubahan pada
kebudayaan lokal. Di samping itu, pariwisata juga dapat
merangsang munculnya pergeseran fungsi kebudayaan lokal
seperti sekularisasi dan komersialisasi kesenian sakral dan lain
sebagainya.
Kasus Hawaii nampaknya dapat dijadikan pelajaran
berharga bagi setiap masyarakat yang menitikberatkan
pariwisata saebagai sektor penghasil devisa handalan.
Perkembangan industri pariwisata hawaii yang begitu pesat tidak
saja membawa manfaat ekonomi yang besar, tetapi juga
menimbulkan kerugian sosial-budaya yang cukup parah.
Kebudayaan pendatang pencari kerja dan wisatawan yang begitu
dominan akhirnya menenggelamkan kebudayaan tuan rumah

23
dan penduduk asli Hawaii akhirnya menjadi kaum minoritas dan
merasa terasing dan terpinggirkan di negrinya sendiri.
Bercermin dari kasus Hawaii tersebut, kiranya konsep
akulturasi dapat diacu sebagai strategi untuk mengantisipasi
konsekwensi-konsekwensi negatif yang muncul dari proses
perjumpaan kebudayaan.
Akulturasi adalah suatu proses kebudayaan yang timbul
bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan
tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan
asing yang berbeda sedemikian rupa, sehingga unsur-
unsur kebudayaan asing tersebut lambat laun diterima dan
diolah ke dalam kebudayaan penerima tanpa
menghilangkan kepribadian kebudayaan penerima.

Implikasi dari pernyataan di atas adalah bahwa dalam


proses akulturasi kebudayaan, khususnya dari perspektif
kebudayaan penerima terdapat sekurang-kurangnya tiga gejala :
(a) Adanya kreativitas dari pendukung kebudayaan
penerima untuk mengolah unsur-unsur kebudayaan
asing;
(b) Adanya usaha yang bersifat adaptif dalam membentuk
suatu integrasi dan penyesuaian terhadap kebudayaan
asing;
(c) Adanya upaya untuk melestarikan dan merevitalisasi
kebudayaan sendiri.
Secara teoritik, berkaitan dengan proses akulturasi,
terdapat sejumlah unsur kebudayaan asing yang mudah diterima
oleh kebudayaan penerima dan di lain pihak juga terdapat
sejumlah unsur kebudayaan asli (kebudayaan penerima) yang
sukar digantikan oleh unsur-unsur kebudayaan asing. Unsur-
unsur kebudayaan asing yang mudah diterima oleh kebudayaan
penerima mencakup :

24
(1) Unsur-unsur kebudayaan yang bersifat kongkrit
(principle of concretness). Unsur-unsur ini meliputi
unsur-unsur kebudayaan material terutama benda-
benda atau alat-alat yang mudah ditiru pemakaiannya;
(2) Unsur-unsur kebudayaan yang mempunyai kegunaan
yang besar (principle of utility);
(3) Unsur-unsur kebudayaan yang mudah disesuaikan
dengan kondisi masyarakat penerima (principle of
integration).
Sedangkan unsur-unsur kebudayaan asli (kebudayaan
penerima) yang sulit digantikan oleh unsur-unsur kebudayaan
asing mencakup :
(1) Unsur-unsur kebudayaan yang sudah berfungsi secara
meluas (principle of function);
(2) Unsur-unsur kebudayaan yang sudah dipelajari sejak
dini dalam proses sosialisasi individu-individu dalam
masyarakat (principle of early learning);
(3) Unsur-unsur kebudayaan yang berkaitan dengan
agama atau religi (principle of religion)

4.4 Bentuk-Bentuk Pengaruh Perkembangan Pariwisata


Terhadap Masyarakat Lokal

Perkembangan pariwisata di suatu daerah dapat membawa


sejumlah pengaruh bagi masyarakat lokal (setempat). Bentuk-
bentuk pengaruh perkembangan pariwisata terhadap masyarakat
lokal antara lain sebagai berikut.

Dalam Bidang Ekonomi:


a. Standardisasi fasilitas-fasilitas pariwisata
b. Meningkatnya keperluan akan barang & jasa

25
c. Meluasnya kesempatan kerja
d. Perubahan pola kerja
e. Diet masyarakat menjadi lebih baik
f. Berkembangnya beraneka ragam kerajinan.

Dalam Bidang Sosial-Budaya :


a. Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat akibat
migrasi para pencari kerja.
b. Berkembangnya pola hubungan sosial yang lebih bersifat
impersonal
c. Meningkatnya mobilitas kerja
d. Mundurnya aktivitas gotong-royong dan tolong-menolong
e. Berkembangnya konflik antargenerasi (generasi tua
dengan generasi muda)
f. Mundurnya batas usia kawin rata-rata & mengecilnya
jumlah anggota keluarga
g. Adanya perubahan stratifikasi sosial dan munculnya cara-
cara baru dalam menilai tingkatan status.
h. Berkembangnya kesempatan pendidikan.
i. Masuknya ide-ide baru.
j. Meningkatnya gejala penyimpangan sosial (social
deviance) seperti kejahatan, penggunaan narkoba,
pergaulan bebas, dan PMS.
k. Komersialisasi kebudayaan.
l. Berkembangnya masalah-masalah lingkungan..

26
BAB V
PARIWISATA BUDAYA SEBAGAI
KONSEP DASAR PEMBANGUNAN PARIWISATA BALI

Tonggak sejarah perkembangan kepariwisataan di daerah


Bali dimulai sekitar tahun duapuluhan. Ketika itu, promosi
perusahaan maskapai perdagangan Belanda berhasil menarik
minat orang-orang Eropa untuk mengunjungi Pulau Bali dengan
eksotisme kebudayaan Bali sebagai daya tarik dominan. Setelah
mengalami gejolak pasang-surut, sejak tahun 1969, pariwisata
di daerah Bali kian berkembang ke arah pariwisata massa yang
dibarengi dengan pembangunan berbagai infrastruktur seperti
pengembangan bandara Ngurah Rai dan berbagai fasilitas
akomodasi pariwisata lainnya.

Dalam perkembangan selanjutnya, dengan tetap


mempertahankan pariwisata budaya sebagai corak dominan,
berkembang pula jenis-jenis pariwisata lainnya sebagai
alternatif penunjang. Adapun jenis-jenis pariwisata daerah Bali
berdasarkan komplementaritas potensi dan motif wisata adalah :
wisata Budaya, wisata konvensi, wisata spiritual, wisata
lingkungan, wisata pertanian, dan lain-lain.

Menyikapi perkembangan kepariwisataan daerah Bali yang


menunjukkan gejala kian meningkat, Pemerintah Daerah Bali
melalui Perda Nomor 3 tahun 1974, menetapkan bahwa jenis
kepariwisataan yang dikembangkan di daerah Bali adalah
pariwisata budaya. Pariwisata budaya adalah salah satu jenis
pariwisata yang dalam pengembangannya ditunjang oleh faktor
kebudayaan . Kebudayaan yang dimaksud adalah kebudayaan
Bali yang dijiwai oleh agama Hindu. Konsep ini dilandasi oleh
proposisi bahwa kebudayaan berfungsi terhadap pariwisata
menurut pola hubungan yang bersifat linier dan satu arah.

27
Dalam aplikasinya, konsep ini cenderung dimaknai sebagai
obyektivikasi kebudayaan di mana kebudayaan semata-mata
diposisikan sebagai obyek demi kepentingan pariwisata.
Sejalan dengan gencarnya wacana mengenai konsep
pembangunan berwawasan budaya dan lingkungan, dilakukan
penyempurnaan terhadap Perda Nomor 3 tahun 1974 menjadi
Perda Nomor 3 Tahun 1991, yang menetapkan pariwisata
budaya sebagai jenis kepariwisataan yang dalam perkembangan
dan pengembangannya menggunakan kebudayaan Bali yang
dijiwai oleh agama Hindu yang merupakan bagian dari
kebudayaan nasional sebagai potensi dasar yang paling
dominan, yang di dalamnya tersirat suatu cita-cita akan adanya
hubungan timbal balik antara pariwisata dan kebudayaan
sehingga keduanya berkembang secara serasi, selaras, dan
seimbang. Konsep ini dilandasi oleh proposisi bahwa kebudayaan
dan pariwisata harus berada dalam pola hubungan interaktif
yang bersifat dinamik dan progresif (lihat Geriya, 1996).
Pada tahun 2012 diterbitkan tentang Kepariwisataan
Budaya Bali (Perda Nomor 2 Tahun 2012). Dalam perda tersebut
dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan kepariwisataan
budaya Bali adalah :
kepariwisataan Bali yang berlandaskan kepada
Kebudayaan Bali yang dijiwai oleh ajaran Agama Hindu
dan falsafah Tri Hita Karana sebagai potensi utama dengan
menggunakan kepariwisataan sebagai wahana
aktualisasinya, sehingga terwujud hubungan timbal-balik
yang dinamis antara kepariwisataan dan kebudayaan yang
membuat keduanya berkembang secara sinergis, harmonis
dan berkelanjutan untuk dapat memberikan kesejahteraan
kepada masyarakat, kelestarian budaya dan lingkungan.

Adapun tujuan Kepariwisataan budaya Bali adalah sebagai


berikut.

28
a. Melestarikan kebudayaan Bali yang dijiwai oleh nilai-
nilai Agama Hindu;
b. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi;
c. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
d. Menciptakan kesempatan berusaha;
e. Menciptakan lapangan kerja;
f. Melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya;
g. Mengangkat citra bangsa;
h. Memperkukuh rasa cinta tanah air dan kesatuan
bangsa; dan
i. Mempererat persahabatan antarbangsa.
Sedangkan arah pembangunan kepariwisataan budaya Bali
diarahkan untuk :

a. Meningkatkan harkat dan martabat, serta


memperkukuh jati diri masyarakat Bali;
b. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat Bali secara
merata dan berkelanjutan; dan
c. Melestarikan lingkungan alam Bali sebagai basis
penyangga kehidupan masyarakat dan kebudayaan Bali
secara berkelanjutan.
Pada dasarnya Perda Kepariwisataan Budaya Bali mengacu
pada konsep pembangunan pariwisata berwawasan budaya,
yakni pariwisata yang bertumpu pada kebudayaan sebagai
potensi daya tarik dominan sekaligus menjadikan pariwisata
sebagai wahana untuk memajukan kebudayaan. Konsep ini
dipandang sangat penting dan relevan mengingat pariwisata
sebagai fenomena modern mengandung sejumlah konsekwensi
terhadap kebudayaan masyarakat lokal atau tuan rumah.
Perkembangan pariwisata pada tingkat tertentu di samping
membawa manfaat positif bagi perekonomian, juga kerap

29
menimbulkan ancaman bagi keberadaan budaya tuan rumah.
Menyadari hal tersebut, maka konsep pengembangan pariwisata
budaya hendaknya tidak dimaknai sebagai upaya untuk menggali
dan mengembangkan potensi kebudayaan sebagai komoditas
pariwisata semata, tetapi juga sebagai upaya pelestarian dan
pemberdayaan kebudayaan lokal.

30
BAB VI
DAMPAK POSITIF DAN NEGATIF PARIWISATA

Dalam kerangka ideal, model kebijakan pembangunan


pariwisata dewasa ini diharapkan lebih berpihak bagi
kesejahteraan ekonomi rakyat serta mampu memberikan
manfaat bagi pelestarian budaya dan lingkungan secara merata
dan berkelanjutan. Namun demikian, dalam kenyataannya
manfaat-manfaat ekonomi yang diperoleh dari sektor pariwisata
masih kerap dibarengi oleh berbagai masalah sosial-budaya
bahkan juga lingkungan. Tidak terlepas dari kenyataan bahwa
pariwisata merupakan suatu komuditas, sehingga dipandang
dari sisi ini pariwisata merupakan suatu gejala ekonomi. Sebagai
komoditas, pariwisata mencakup mata rantai kegiatan yang
sangat panjang dan mampu menggerakkan sektor-sektor
ekonomi lainnya dengan jangkauan yang sangat luas. Sejumlah
besar tenaga kerja terserap ke dalam sektor pariwisata dan
sektor-sektor lainnya yang terkait. Semua itu akan memperluas
kesempatan kerja dan dan sekaligus menyebarkan pemerataan.
Dampak sosial-ekonomi lainnya yang sering terjadi adalah
masalah pertanahan seperti praktik-praktik spekulasi pembelian
tanah dan konsentrasi pemilikan tanah yang biasanya terpusat di
tangan pemilik modal. Akibatnya, para petani yang menjual
tanahnya tidak saja kehilangan lahan-lahan produktif yang
mereka miliki, tetapi juga kehilangan pekerjaan sebagai petani,
sehingga memaksa mereka harus mencari nafkah di luar sektor
pertanian. Di samping itu praktik jual-beli tanah dapat pula
menimbulkan konflik di kalangan masyarakat berkaitan dengan
pembebasan kawasan tertentu untuk suatu proyek pariwisata.
Di samping dapat dipandang sebagai gejala ekonomi,
pariwisata juga dapat dipandang sebagai gejala sosial-budaya,

31
karena pariwisata merupakan fenomena interaksi lintas budaya,
yakni hubungan timbal-balik antar individu atau kelompok orang
yang memiliki perbedaan-perbedaan identitas budaya,
lingkungan sosial, sikap mental, dan susunan psikologis
(Nettekoven, 1976; Wahab, 1989 : 65). Interaksi yang bersifat
akumulatif dan intensif antara wisatawan dengan masyarakat
setempat dapat menimbulkan dampak atau perubahan sosial-
budaya yang bersifat positif ataupun negatif. Dengan kata lain,
interaksi lintas budaya yang muncul dalam pariwisata dapat
menjadi keberuntungan atau malapetaka, dan hal ini sangat
tergantung pada kebijakan pengembangan pariwisata yang
diterapkan oleh pemerintah setempat. Dampak pariwisata dinilai
bersifat negatif apabila menimbulkan perubahan-perubahan yang
tidak diinginkan atau merugikan eksistensi kebudayaan
masyarakat setempat. Sebaliknya dampak pariwisata dinilai
positif apabila mampu memberikan manfaat bagi kesejahteraan
ekonomi masyarakat, revitalisasi dan konservasi bagi eksistensi
kebudayaan masyarakat setempat, serta pelestarian lingkungan.
Dampak pariwisata terhadap kehidupan sosial-budaya
masyarakat Bali telah lama mendapat sorotan dari berbagai
pihak. Berkenaan dengan ini dijumpai adanya perbedaan
pendapat antara pihak yang berpandangan pesimis dan optimis
terhadap keberadaan Bali pada masa mendatang.
Pihak yang berpandangan pesimis menganggap
kebudayaan Bali telah mengalami komoditisasi dan penurunan
derajat karena banyak unsur kebudayaan yang dialihfungsikan
atau dikomersialisasikan sebagai komuditas dagangan. Selain itu
ada pula yang melihat perkembangan pariwisata Bali telah
membawa daerah ini menjadi Eropa kedua, atau mengarah
kepada Waikikianization (Seda, 1990 : 59; Noronha, 1976 :
177; Stanton, 1978).

32
Di pihak lain ada pula pandangan optimis bahwa
perkembangan pariwisata di Bali membawa dampak positif
terhadap kebudayaan setempat. Seperti misalnya McKean
(1978), menyatakan bahwa kehadiran wisatawan ke Bali justru
dapat memperkokoh benteng pertahanan kebudayaan setempat.
Hal tersebut tampak pada masyarakat Bali, di mana
perkembangan pariwisata dipandang sebagai fenomena
modernisasi bagi masyarakat dan kebudayaan Bali yang
sesungguhnya berlangsung melalui pelestarian tradisi masa lalu.
Hal tersebut dikemukakan oleh Mc Kean (1973 : 26), sebagai
berikut :

“tourism is very much a part of the modern tradition, but it


is built on the foundation laid during the little and great
tradition, without wich it would never been started and
without wich it will not florish in the future”.

Keinginan besar para wisatawan untuk menikmati


kebudayaan Bali melahirkan apa yang disebutnya sebagai
involusi kebudayaan, yaitu elaborasi yang semakin baik dalam
bentuk dan praktik-praktik kebudayaan, seperti apa yang
tercermin dalam berbagai jenis kesenian tradisional yang kian
sering dan meluas dipertunjukkan daripada beberapa tahun
silam. Begitu pula pada masyarakat yang secara langsung
terlibat dalam pariwisata mampu mengembangkan lembaga-
lembaga yang ada sejalan dengan tuntutan dunia pariwisata,
seperti yang dikemukakan oleh Bagus, (1990 : 6), sebagai
berikut :

“.... Dalam hal inilah kita melihat di daerah pariwisata di


Bali perubahan bentuk dan struktur organisasi banjar
serta desa dalam melaksanakan hidup berwarga dan hidup
berupacara di daerah pariwisata. Perubahan ini bukan
suatu kemunduran melainkan sebaliknya merupakan suatu
peningkatan isi lembaga sosial tadi. Dengan kata lain,
dapat dikatakan bahwa dalam penyesuaian itu didapat

33
ketahanan untuk survival serta yang baru itu menjadi
bagian struktur masyarakat Bali”.

Pariwisata memberikan peluang kepada masyarakat


setempat untuk memperoleh berbagai manfaat dengan cara
menawarkan barang atau jasa yang lazim pula disebut produk
wisata. Produk wisata tersebut terdiri dari tiga jenis, yaitu : (1)
daya tarik daerah tujuan wisata, termasuk pula citra yang
dibayangkan oleh wisatawan; (2) fasilitas di daerah tujuan
wisata yang mencakup akomodasi, usaha pengolahan makanan,
hiburan, dan rekreasi; dan (3) kemudahan-kemudahan
mencapai daerah tujuan wisata. Selain itu, produk wisata tidak
hanya mempunyai segi-segi yang bersifat ekonomis, tetapi juga
segi-segi yang bersifat sosial, psikologis, dan alamiah. Produk
wisata itu dihasilkan oleh berbagai perusahaan, masyarakat, dan
alam. Jasa angkutan, penginapan, dan penyelenggaraan wisata
merupakan jasa-jasa yang disediakan oleh berbagai perusahaan.
Jasa-jasa seperti kondisi jalan, keramahtamahan penduduk,
kemanan, dan kenyamanan, merupakan jasa-jasa yang
disediakan oleh masyarakat. Keindahan pemandangan alam,
pantai, hutan, laut, dan sebagainya merupakan jasa-jasa yang
disediakan oleh alam. Dalam kaitan ini tentu tidak bisa pula
diabaikan beraneka rupa produk wisata yang berbentuk benda
seperti berbagai jenis makanan, minuman, atau cindramata yang
sangat dibutuhkan oleh wisatawan. Keseluruhan barang dan jasa
atau beberapa di antaranya merupakan hal yang bisa
ditawarkan oleh masyarakat setempat kepada wisatawan
(Spillane, 1989 : 88-89).
Pemanfaatan barang dan jasa baik yang disediakan oleh
lingkungan alamiah maupun lingkungan sosial-budaya dapat
menimbulkan dampak biofisik, dan atau sosial-ekonomi, serta
sosial-budaya. Dampak biofisik terutama berkaitan dengan

34
perubahan yang terjadi pada sistem lingkungan alamiah, baik
karena rekayasa atau sebagai akibat ulah wisatawan. Perubahan
ekosistem karena rekayasa merupakan tindakan yang disengaja
dan secara sadar dimaksudkan untuk menambah daya tarik
obyek wisata, misalnya pembangunan berbagai fasilitas
pariwisata sehingga atau aspek rekreasi yang didapat oleh
wisatawan dinilai melebihi daripada sebelumnya. Namun di sisi
lain mungkin saja terjadi perekayasaan itu menimbulkan
perubahan-perubahan yang tidak diinginkan, karena
menimbulkan gangguan terhadap ekosistem. Sedangkan dampak
yang ditimbulkan oleh ulah wisatawan adalah perubahan atau
gangguan yang terjadi sebagai akibat dari kelakuan wisatawan,
baik disadari atau tidak disadari, disengaja atau tidak disengaja,
sehingga menimbulkan perubahan yang diinginkan atau tidak
diinginkan terhadap ekosistem. Dengan demikian, dapatlah
dikatakan bahwa pengembangan suatu kawasan sebagai obyek
wisata dapat menimbulkan dampak biofisik, sosial-ekonomi,
maupun sosial-budaya, baik yang bersifat positif maupun
negatif. Selanjutnya, apapun bentuk dampak tersebut akan
berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat. Seperti
misalnya, kerusakan suatu ekosistem sebagai akibat kebijakan
pembangunan pariwisata yang tidak memperhatikan kelestarian
lingkungan maupun karena ulah wisatawan yang bersifat
vandalisme, dapat menurunkan daya tarik ekosistem yang
bersangkutan, yang pada gilirannya dapat menurunkan jumlah
kunjungan wisatawan. Akhirnya manfaat yang diterima oleh
mereka yang mengelola atau bergerak di bidang usaha
pariwisata dengan sendirinya akan berkurang. Begitu pula
sebaliknya, dampak sosial-ekonomi yang memberikan
kesuksesan secara otomatis akan memberikan pengaruh positif
terhadap kesejahteraan yang mereka harapkan.

35
BAB VII
OTONOMI DAERAH DAN PARIWISATA

UU Nomor 22 Tahun 1999 juga memberikan peluang yang


lebih luas bagi daerah dalam pengelolaan berbagai potensi
sumber daya; kewenangan merumuskan dan menetapkan
berbagai aturan (perda) tanpa harus memohon persetujuan dari
pusat; meningkatkan pemberdayaan masyarakat melalui
peranserta masyarakat baik dalam perencanaan, pelaksanaan,
maupun evaluasi berbagai program pembangunan, dan lain
sebagainya. Di balik peluang yang besar tersebut juga terdapat
sejumlah tantangan yang perlu diatasi secara serius dan bijak.
Di antaranya adalah munculnya egoisme sektoral dan atau
arogansi kabupaten/kota dalam mengelola berbagai potensi
sumber daya yang dimilikinya demi kepentingan rumah
tangganya sendiri. Arogansi sektoral dapat terjadi dalam bentuk
prioritas berlebihan bagi sektor-sektor tertentu yang dianggap
strategis tanpa mempedulikan keberadaan sektor-sektor lainnya.
Sedangkan arogansi kabupaten/kota dapat terjadi dalam bentuk
pengelolaan potensi sumber daya secara sepihak oleh
kabupaten/kota tertentu tanpa mempedulikan kepentingan
kabupaten/kota lainnya akan sumber daya yang sama.
Penekanan otonomi di tingkat kabupaten/kota dapat
merangsang pengembangan pariwisata yang lebih berorientasi
pada pertumbuhan ekonomi (growth oriented development)
sebagai upaya untuk meningkatkan PAD bagi masing-masing
kabupaten/kota. Hal tersebut dikhawatirkan akan dapat
menimbulkan berbagai persoalan dalam bidang ekonomi, sosial-
budaya, lingkungan, dan lain sebagainya. Hal ini di atas dapat
membangkitkan kembali roh pendekatan advocacy menghantui

36
perkembangan pariwisata di Bali. Pendekatan advocacy memiliki
tujuan utama untuk menggali dan mengembangkan potensi
sumber daya alam dan sosial-budaya sebagai obyek atau daya
tarik wisata yang seringkali mengabaikan hak-hak budaya tuan
rumah (Spillane, 1994 : 28). Pendekatan ini sangat populer pada
tahun enampuluhan di mana hampir semua negara mengakui
bahwa pariwisata mempunyai potensi yang cukup besar dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Berbagai potensi
pariwisata digali dan dimanfaatkan untuk mendukung
bermacam-macam kegiatan ekonomi, menciptakan lapangan
kerja baru, memperoleh devisa asing, dan motif-motif ekonomi
lainnya.
Pengembangan pariwisata yang didominasi oleh motivasi
untuk memperoleh devisa semata justru kerap menjadi
bumerang bagi perekonomian rakyat. Selama ini upaya untuk
meningkatkan penerimaan devisa cenderung dilakukan melalui
pembangunan berbagai fasilitas kepariwisataan berskala besar,
karena cara inilah yang dianggap paling efektif untuk
mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD). Manfaat
pembangunan fasilitas pariwisata berskala besar umumnya
kurang berpihak pada pemberdayaan ekonomi rakyat.
Kebutuhan akan lahan untuk pembangunan berbagai fasilitas
akomodasi berskala besar kerap menjadi ancaman bagi
perekonomian rakyat (petani). Cepat atau lambat, lahan-lahan
pertanian yang merupakan sumber produksi ekonomi rakyat
dikhawatirkan akan terus berpindah ke tangan pemilik modal.
Akibatnya, banyak orang yang harus kehilangan mata
pencahariannya. Sementara itu, terbatasnya kualitas SDM yang
mereka miliki menyebabkan mereka menjadi sulit untuk
berperan di sektor pariwisata.

37
Kebijakan otonomi daerah di samping merupakan peluang
sekaligus juga merupakan tantangan bagi perlindungan budaya
lokal. Dari sisi peluang, otonomi daerah memberikan
kesempatan yang luas kepada masing-masing kabupaten/kota
untuk menjaga dan mengembangkan kebudayaannya masing-
masing tanpa khawatir akan adanya intervensi pemerintah pusat
atau pihak luar lainnya. Namun sebaliknya, motifasi ekonomi
yang berlebihan dapat menjadi bumerang dan membangkitkan
kembali roh pendekatan advocacy yang kerap mengabaikan
hak-hak budaya tuan rumah dan cenderung memposisikan
budaya sebagai komuditas ekonomi semata. Akibatnya, manfaat
– manfaat ekonomi yang diperoleh dari sektor pariwisata harus
ditebus dengan kerugian-kerugian sosial-budaya.
Dari sisi ekologis, eksploitasi berbagai potensi sumber
daya lingkungan kian ditoleransi dengan mengatasnamakan
kepentingan pariwisata. Kontroversi pembangunan Vila Bukit
Berbunga (Bedugul) yang mencuat belum lama ini kiranya
relevan dijadikan contoh kasus. Hal tersebut merupakan contoh
yang baik tentang arogansi pariwisata terhadap lingkungan,
meskipun lingkungan yang dimaksud merupakan kawasan
konservasi yang sangat vital artinya bagi keseimbangan ekologi
pulau Bali.
Pulau Bali merupakan sebuah ekosistem pulau kecil
dengan berbagai keterbatasan sumber daya alam dan rentan
terhadap usikan lingkungan. Kewenangan otonomi yang luas di
tingkat kabupaten/kota dapat menimbulkan pengelolaan
lingkungan yang bersifat eksplotatif dan parsial. Cepat atau
lambat, hal tersebut dikwatirkan akan menimbulkan berbagai
persoalan lingkungan tidak saja bagi kabupaten/kota yang
bersangkutan, tetapi juga bagi lingkungan kabupaten/kota
lainnya dan lingkungan pulau Bali pada umumnya.

38
BAB VIII
PARIWISATA DAN PARTISIPASI MASYARAKAT

Wacana mengenai pembangunan berwawasan kerakyatan


merupakan reaksi keras terhadap kebijakan pembangunan
konglomerasi yang selama ini lebih berpihak pada pemilik modal
yang pada umumnya bukan berasal dari anggota masyarakat
setempat.
Pembangunan berwawasan kerakyatan lebih
mengedepankan peningkatan ekonomi rakyat dan
pemberdayaan masyarakat. Para pemikir dan praktisi
pembangunan pedesaan telah lama menyadari bahwa
pembangunan konglomerasi kerap merugikan masyarakat
setempat. Masyarakat sebagai pemilik sah atas sumber daya
setempat justru kerap mengalami marginalisasi sehingga
kualitas hidupnya justru menurun dibandingkan sebelum adanya
pembangunan. Atas dasar itu beberapa ahli lain menekankan
pentingnya pembangunan dari bawah, pembangunan sebagai
social learning, dan pembangunan harus mulai dari bawah
(buttom up).
Pembangunan dengan paradigma yang dibalik ini
menuntut adanya partisipasi masyarakat lokal dalam berbagai
tahap pembangunan, sehingga pengelolaan pembangunan
benar-benar dilakukan oleh mereka yang hidup dan
kehidupannya paling dipengaruhi oleh pembangunan tersebut,
atau apa yang dkenal dengan community-based resource
management atau community management (Korten, 1986).
Ada tiga alasan dasar yang diajukan Korten mengenai
mengapa community management sangat penting sebagai
ancangan dasar pembangunan.

39
Pertama, adanya local variety (varietas lokal) yang tidak
dapat diberikan perlakukan sama. Situasi daerah yang berbeda
menuntrut sistem pengelolaan yang berbeda pula dan
masyarakat lokallah yang paling memahami situasi daerahnya.
Kedua, adanya local resources (sumber daya lokal) yang
secara tradisional telah dikelola oleh masyarakat setempat dari
generasi ke generasi. Pengalaman mengelola sumber daya
setempat yang telah diwariskan secara turun-temurun umumnya
menimbulkan akumulasi pengetahuan tentang pengelolaan.
Pengambilalihan pengelolaan ini akan dapat menimbulkan rasa
ketersinggungan masyarakat, dan masyarakat bersikap antipati
terhadap proyek pembangunan.
Ketiga, local accountability (tanggung jawab lokal) yang
berarti bahwa pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat
setempat biasanya lebih bertanggung jawab, karena berbagai
hal yang mereka lakukan terhadap sumber daya akan
berpengaruh langsung terhadap kehidupan mereka. Pengelolaan
oleh pihak luar kerap tidak mengandung kedekatan moral
dengan masyarakat lokal, sehingga tidak merasa mempunyai
tanggung jawab moral yang tinggi.
Belakangan ini kesadaran akan pentingnya pendekatan
pembangunan pariwisata berdimensi kerakyatan terasa kian
meningkat, mengingat dalam kenyataannya selama ini manfaat
pariwisata lebih banyak berpihak pada para pemilik modal yang
umumnya berasal dari luar masyarakat setempat (Westand
Brechin, 1991; Wells dan Brandon, 1992). Pengembangan
industri pariwisata bersekala besar dan padat modal umumnya
sangat kurang melibatkan peran serta masyarakat setempat,
bahkan justru mengakibatkan terjadinya proses marginalisasi
terhadap hak-hak komunitas budaya lokal. Berkaitan dengan hal
ini Cernea, (1991), menyatakan bahwa baik di negara-negara

40
maju maupun berkembang masyarakatnya sering merasa tak
berdaya untuk mempengaruhi pola-pola pembangunan
pariwisata.
Pembangunan pariwisata berdimensi kerakyatan mengacu
kepada pembangunan pariwisata yang berasal dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat. Pendekatan ini pada dasarnya juga
merupakan model pemberdayaan masyarakat yang memberikan
lebih banyak peluang kepada masyarakat lokal untuk
berpartisipasi secara efektif dalam kegiatan-kegiatan
pembangunan. Hal ini berarti memberi wewenang atau
kekuasaan kepada masyarakat lokal untuk memobilisasi
kemampuan mereka sendiri dalam mengelola sumber daya
setempat. Kedudukan mereka adalah sebagai pemeran utama
dalam membuat keputusan dan melakukan kontrol terhadap
kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi kehidupannya (Cernea,
1991). Pendekatan ini melibatkan masyarakat sebagai proses
pengembangan dirinya. Pendekatan ini berbeda dengan
pendekatan pewaris (beneficiary approach) di mana masyarakat
hanya menerima keuntungan tetapi tidak diberi wewenang.

41
BAB IX
PARIWISATA SEBAGAI FENOMENA GLOBALISASI
DAN LOKALISASI

Seperti disampaikan pada bab terdahulu bahwa Pariwisata


dapat dipandang sebagai fenomena perjumpaan kebudayaan
antara kebudayaan tuan rumah, kebudayaan wisatawan, dan
kebudayaan pendatang pencari kerja. Konsekwensi logis bagi
suatu daerah yang secara sengaja membuka diri untuk
dikunjungi wisatawan, adalah masuknya berbagai pengaruh
kebudayaan asing ke dalam lingkungan kebudayaan tuan rumah.
Pengaruh kebudayaan asing akan terasa kian meningkat ketika
perkembangan pariwisata mengarah pada pariwisata massa.
Pariwisata massa menuntut adanya fasilitas-fasilitas dan layanan
dengan standar internasional. Ini berarti masuknya unsur-unsur
budaya global merupakan hal yang tidak terhindarkan.
Perubahan tidak saja terjadi sebagai konsekwensi logis dari
respon adaptasi budaya tuan rumah terhadap tuntutan dunia
pariwisata itu sendiri, tetapi juga sebagai akibat kontak lintas
budaya antara tuan rumah dengan wisatawan dan kelompok
pendatang pencari kerja.

Lemahnya strategi dalam mengantisipasi perkembangan


pariwisata massa dapat menenggelamkan eksistensi kebudayaan
tuan rumah. Oleh beberapa pihak, perkembangan pariwisata
massa di Bali dikhawatirkan dapat meyeret kebudayaan Bali ke
tengah arus globalisasi dan membawa daerah ini menjadi Eropa
kedua, atau mengarah kepada Waikikinization (lihat Seda,
1990 : 59; Noronha, 1976 : 177; Stanton, 1989). Sebaliknya,
ada pula pandangan yang menyatakan bahwa kehadiran
wisatawan justru dapat memperkokoh benteng pertahanan
kebudayaan tuan rumah. Seperti yang dikemukakan oleh Mc

42
Kean (1973 : 26), mengenai pariwisata di Bali, bahwa pariwisata
dipandang sebagai fenomena modernisasi masyarakat dan
kebudayaan Bali yang sesungguhnya berlangsung melalui
pelestarian tradisi masa lalu. Kedatangan para wisatawan ke Bali
melahirkan apa yang disebutnya sebagai involusi kebudayaan,
yaitu elaborasi yang semakin baik dalam bentuk dan praktik-
praktik kebudayaan, seperti yang tercermin dalam berbagai jenis
kesenian tradisional yang kian sering dan meluas dipertunjukkan
daripada sebelumnya.
Konsep pariwisata budaya kiranya harus dipandang
sebagai mekanisme pertahanan jati diri bagi komunitas lokal. Hal
ini dipandang penting mengingat pariwisata tidak selalu
membawa anugerah tetapi terkadang juga musibah. Pengaruh
perkembangan industri pariwisata terhadap penduduk asli di
Hawaii kiranya layak dijadikan pelajaran yang sangat berharga.
Perkembangan industri pariwisata Hawaii di bawah format
hegomoni Amerika tidak mampu diadaptasi oleh penduduk
Hawaii. Hal tersebut menyebabkan mereka kian terpinggirkan
dan menjadi komunitas yang terisolasi dan menutup diri.
Menyadari kenyataan tersebut akhirnya konsep pengembangan
pariwisata Hawaii dievaluasi kembali sebagai upaya untuk
menemukan kembali jati diri kebudayaan penduduk asli Hawaii
(lihat Pujaastawa, 1993 : 13 – 14; Trijono, 1996 : 143).
Sebaliknya, seperti yang dikemukakan oleh Jonathan
Friedman dalam Being in the World : Globalization and
Localization, 1990, bahwa terdapat berbagai bentuk respon
budaya lokal terhadap pengaruh globalisasi sebagai strategi
identifikasi diri, definisi diri, dan pemeliharaan diri komunitas
lokal. Suku Ainu di Jepang, misalnya, memelihara identitas
mereka melalui revitalisasi budaya untuk menunjukkan
eksistensi mereka kepada dunia modern. Tujuannya adalah

43
untuk mendapatkan pengakuan sebagai kelompok etnis
tersendiri. Tidak ada kepentingan otonomi politik, melainkan
untuk diterima secara sama sebagaimana layaknya penduduk
Jepang yang lain. Mereka membangun struktur desa tradisional
Ainu dan memproduksi kerajinan tangan Ainu dengan harapan
turis dan orang kota akan datang melihat gaya tradisional
mereka. Meskipun tinggal dalam masyarakat luas mereka tetap
membangun rumah dengan gaya Ainu yang disebut chise.
Banyak tradisi ritual yang dikembangakan di desa tradisional
mereka. Turis dan orang kota datang ke desa mereka bukan
hanya membeli produk Ainu, tetapi juga belajar bagaimana cara
membuat, bahkan mendengar tentang sejarah, mitologii, ritual,
merasakan masakan, dan tinggal di rumah suku Ainu.
Keseluruhan proyek turisme orang Ainu dapat dilihat sebagai
strategi perwujudan diri melalui bentuk komuditas yang
mencakup proses identitas kultural yang lebih luas (Trijono,
1996 : 136 – 147).

44
BAB X
BEBERAPA MASALAH KEPARIWISATAAN DI BALI

10.1 Ketimpangan
Sejak beberapa dekade terakhir ini banyak negara
berkembang mulai melirik sektor pariwisata sebagai sumber
penghasil devisa sehubungan dengan makin melemahnya daya
saing komoditas andalan mereka. Di samping itu, ancaman krisis
ekonomi global juga semakin mendorong negara-negara di
berbagai belahan dunia untuk memprioritaskan pembangunan
sektor pariwisata sebagai upaya pemulihan ekonomi.
Kenyataan di atas menyebabkan roh pendekatan advocacy
yang lebih berorientasi pada keuntungan ekonomi kembali
menghantui perkembangan pariwisata di sejumlah negara
berkembang. Pendekatan advocacy memiliki tujuan utama
untuk menggali dan mengembangkan potensi sumber daya alam
dan sosial-budaya sebagai obyek atau daya tarik wisata yang
seringkali mengabaikan hak-hak tuan rumah (Spillane, 1994 :
28). Pendekatan ini sangat populer pada tahun enampuluhan di
mana hampir semua negara mengakui bahwa pariwisata
mempunyai potensi yang cukup besar dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Berbagai potensi pariwisata digali dan
dimanfaatkan untuk mendukung bermacam-macam kegiatan
ekonomi, menciptakan lapangan kerja baru, memperoleh devisa
asing, dan motif-motif ekonomi lainnya.
Demikian pula di Indonesia, sejak munculnya krisis minyak
dunia yang disusul oleh resesi ekonomi dunia yang
mengakibatkan menurunnya penerimaan devisa negara secara
drastis, maka oleh pemerintah Orde Baru dinyatakan secara
tegas bahwa peningkatan devisa melalui ekspor non migas, jasa-
jasa, dan pariwisata harus merupakan perjuangan habis-

45
habisan1. Disadari atau tidak, hal tersebut ternyata semakin
mendorong pengembangan pariwisata Indonesia ke arah
pendekatan advocacy, di mana berbagai potensi kepariwisataan
lebih dipandang sebagai komuditas ekonomi semata. Terlebih
lagi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Otonomi Daerah memberikan peluang sekaligus
tantangan yang lebih besar kepada masing-masing daerah untuk
mengelola potensi kepariwisataannya.
Dalam rangka pengembangan sektor kepariwisataan di
Bali, pada masa Orde Baru, Pemerintah Daerah Bali melalui
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 258
Tahun 1993 Tentang Kawasan Wisata Bali, telah menetapkan 21
(dua puluh satu) kawasan wisata yang ada di sembilan daerah
tingkat II. Belakangan ini kebijakan tersebut banyak mendapat
sorotan karena dianggap menunjukkan ketimpangan-
ketimpangan yang semakin serius. Ketimpangan yang dimaksud
di antaranya adalah pengembangan kawasan wisata yang lebih
berorientasi kepada pengembangan kawasan pantai. Dari dua
puluh satu kawasan wisata yang ditetapkan itu, tujuh belas
kawasan merupakan kawasan pantai. Berdasarkan tingkat
perkembangannya hingga sejauh ini baru empat kawasan yang
termasuk kategori kawasan sudah berkembang, sedangkan
sisanya masih tergolong kawasan sedang berkembang dan
belum berkembang. Keseluruhan kawasan wisata yang termasuk
kategori sudah berkembang adalah kawasan pantai yang
terletak di wilayah Bali Selatan, yakni kawasan wisata Sanur,
Kuta, Tuban, dan Nusa Dua (Diparda Tingkat I Bali, 1997 : 66 –
70).

1
Pidato Kenegaraan Presiden Soeharto di depan Sidang Dewan Perwakilan
Rakyat pada tanggal 16 Agustus 1988.

46
Kenyataan di atas mencerminkan bahwa berbagai kegiatan
dan fasilitas kepariwisataan di Bali lebih banyak terkonsentrasi di
wilayah Bali Selatan. Hal tersebut telah menimbulkan sejumlah
dampak sebagai berikut :
(1) Semakin melebarnya kesenjangan ekonomi antara
penduduk di wilayah Bali Selatan dengan
penduduk di wilayah Bali lainnya;
(2) Semakin meningkatnya kepadatan penduduk di
wilayah Bali Selatan yang disebabkan oleh makin
meningkatnya arus migrasi pencari kerja di sektor
pariwisata dan sektor-sektor lainnya yang terkait;
(3) Semakin meningkatnya ancaman terhadap ketahanan
identitas kebudayaan lokal, khususnya kebudayaan
masyarakat Bali Selatan;
(4) Semakin meningkatnya potensi konflik yang
disebabkan oleh semakin ketatnya persaingan dalam
memperebutkan sumber-sumber rezeki yang sama;
dan
(5) Semakin meningkatnya ancaman terhadap mutu dan
kapasitas daya dukung lingkungan di wilayah Bali
Selatan.

10.2 Kependudukan
Masalah kependudukan merupakan agenda klasik bagi
pembangunan di berbagai negara berkembang di dunia. Di satu
sisi penduduk merupakan potensi atau modal dasar bagi
pembangunan, namun di sisi lain persoalan kependudukan juga
kerap menjadi kendala bagi pembangunan itu sendiri.
Dalam rangka mengatasi masalah kependudukan,
pemerintah Indonesia sejak zaman orde baru telah melancarkan
berbagai kebijakan kependudukan. Di antaranya adalah

47
pengendalian jumlah penduduk melalui program Keluarga
Berencana (KB) dan pemerataan persebaran penduduk melalui
program transmigrasi.
Provinsi Bali tergolong daerah yang cukup berhasil dalam
pengendalian jumlah penduduk baik melalui penerapan Program
Keluarga Berencana Sistem Banjar maupun transmigrasi. Namun
demikian, keberhasilan tersebut seakan tiada berarti karena
pertumbuhan penduduk Bali justru kian meningkat oleh
gencarnya arus kedatangan kaum migran ke daerah ini.
Romantisme pariwisata yang disertai anggapan tentang
ketahanan industri pariwisata terhadap berbagai krisis kiranya
telah mempengaruhi orang untuk mengambil keputusan
bermigrasi ke Bali. Ibarat peribahasa “ada gula ada semut”,
gemerlapnya dunia kepariwisataan tidak saja menarik minat
para wisatawan untuk datang berkunjung, tetapi juga
merangsang kehadiran kaum migran untuk berebut rezeki di
daerah ini. Di samping itu, fenomena krisis multi dimensi yang
melanda negeri ini secara berkepanjangan kian mendorong
penduduk di berbagai daerah untuk bermigrasi ke Bali.
Sedangkan di pihak lain, penduduk lokal yang tidak memperoleh
manfaat dari sektor pariwisata justru memilih meninggalkan
tanah kelahirannya untuk mencari harapan baru di daerah
transmigrasi. Hal tersebut merupakan suatu fenomena yang
sangat ironis yang dapat dimaknai sebagai kebijakan yang
kurang adil yang pada gilirannya dapat menimbulkan
ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Makin meningkatnya kehadiran penduduk migran ke Bali
merupakan fenomena tersendiri bagi daerah ini. Kehadiran
mereka tidak saja terkonsentrasi di daerah-daerah perkotaan,
tetapi juga di daerah kawasan wisata, bahkan sampai ke
pelosok pedesan. Apabila persoalan tersebut tidak diantisipasi

48
dan ditanggulangi secara serius dan bijak, maka cepat atau
lambat masalah kependudukan di Bali akan berkembang menjadi
semakin kompleks, seperti :
(1) Meningkatnya persaingan di berbagai sektor lapangan
kerja
(2) Meningkatnya ancaman terhadap ketahanan identitas
budaya lokal
(3) Meningkatnya potensi konflik bernuansa SARA
(4) Menurunnya mutu dan kapasitas daya dukung
lingkungan
(5) Terganggunya citra kepariwisataan di Bali
Beberapa dari persoalan di atas bahkan telah dan tengah terjadi
di sejumlah daerah di Indonesia dan merupakan ancaman yang
serius bagi keutuhan integrasi Bangsa. Persoalan-persoalan yang
dimaksud misalnya konflik bernuansa SARA di Maluku dan Poso,
konflik antara orang Dayak dan orang Madura di Kalimantan
Barat konflik antara golongan pribumi dan nonpribumi dan lain
sebagainya.

10.3 Eksistensi Subak di Tengah Perkembangan


Pariwisata

Keberadaan Subak di Bali selain menjadi perhatian para


pakar pembangunan sektor pertaniaan dan pedesaan, juga
sangat menarik perhatian para wisatawan dari berbagai belahan
dunia. Secara formal subak diartikan sebagai masyarakat
hukum adat yang bersifat sosio-agraris-religius, yang terdiri dari
para petani yang menggarap sawah pada suatu areal
persawahan yang mendapatkan air dari suatu sumber2. Geertz
(1980), memberikan batasan subak sebagai areal persawahan

2
PERDA Bali No.02/DPRD/1972.

49
yang mendapatkan air irigasi dari suatu sumber mata air.
Berdasarkan atas serangkaian studi lapangan, Sutawan, dkk.,
(1986), menyatakan definisi subak sebagai organisasi petani
lahan basah yang mendapatkan air irigasi dari satu sumber mata
air secara bersama, memiliki satu atau lebih pura subak, yaitu
Pura Bedugul (tempat pemujaan Dewi Sri, manifestasi Tuhan
sebagai Dewi Kesuburan), serta mempunyai kebebasan dalam
mengatur rumah tangganya sendiri maupun dalam hubungan
dengan pihak luar.
Dari sejumlah batasan mengenai Subak tersebut , secara
garis besar subak memiliki tiga aspek pokok, yaitu aspek
religius, sosial, dan fisik. Dalam konsep budaya lokal (Bali)
ketiga aspek tersebut merupakan aspek-aspek Tri Hita Karana
yang berarti “Tiga Penyebab Kesejahteraan”, yaitu : (1)
Parhyangan (lingkungan spiritual), (2) Pawongan (lingkungan
sosial), dan (3) Palemahan (lingkungan alamiah). Berkenaan
dengan itu, untuk mencapai kesejahteraan maka manusia
hendaknya senantiasa menjaga hubungan yang seimbang dan
harmonis dengan lingkungan spirtitualnya, lingkungan sosialnya,
dan lingkungan alam sekitarnya. Sebaliknya hubungan yang
tidak seimbang dan tidak harmonis diyakini akan dapat
mengganggu kesejahteraan hidup umat manusia.
Unsur parhyangan memberikan nuansa religius yang
mengekspresikan hubungan manusia dengan lingkungan
spiritual. Setiap Subak dilengkapi dengan tempat suci (pura)
yang disebut Pura Ulun Suwi atau Bedugul yang dibangun tidak
jauh dari sumber mata air, bendungan, atau bagian hulu
kawasan persawahan. Di tempat suci tersebut para petani
menyelenggarakan berbagai jenis ritual keagamaan yang
berkaitan dengan sistem bercocok tanam, seperti : ritual
memohon kesuburan, memohon hujan, menolak bala (hama dan

50
penyakit tanaman), dan lain sebagainya. Unsur pawongan
mengacu kepada aspek sosial (manusia), yakni para petani yang
terhimpun dalam organisasi subak yang lazim disebut krama
subak. Dalam rangka menjalankan fungsinya, organisasi subak
dilengkapi dengan awig-awig berupa seperangkat aturan
mengenai tata-tertib organisasi serta hak dan kewajiban para
anggotanya. Unsur palemahan merupakan komponen
infrastruktur yang terdiri dari lingkungan fisik alamiah berupa
areal persawahan yang disebut uma atau carik dengan berbagai
macam fasilitas sistem irigasinya.
Dalam konteks dunia kepariwisataan, subak merupakan
daya tarik yang menyajikan perpaduan atraksi alam dan budaya
agraris yang unik. Panorama rice terrace yang mempesona dan
berbagai aktivitas pertanian serta tradisi ritual masyarakat
agraris merupakan pemandangan dunia pedesaan sehari-hari
yang hampir tidak pernah luput dari rekaman lensa kamera
wisatawan. Diakui atau tidak, subak merupakan aset yang
sangat berharga yang telah banyak memberikan kontribusi bagi
dunia kepariwisataan di Bali. Namun demikian, keberadaan
subak kini justru terancam oleh perkembangan sektor pariwisata
sendiri. Alih fungsi lahan pertanian untuk pembangunan
beraneka macam fasilitas akomodasi yang terus berlanjut secara
tidak terkendali, merupakan awal dari sebuah bencana.
Terancamnya eksistensi subak pada umumnya berawal dari
perubahan pada aspek palemahan yang ditandai dengan
berubahnya fungsi lahan-lahan pertanian yang merupakan
infrastruktur utama dari sistem Subak. Selanjutnya perubahan
tersebut mempengaruhi keberadaan aspek pawongan dan
parhyangan.
Fenomena perubahan yang telah menimpa subak-subak di
sejumlah kawasan wisata merupakan dampak dari kebijakan

51
yang kurang dilandasi konsep Tri Hita Karana. Kawasan-kawasan
persawahan yang sebelumnya berfungsi sebagai daya tarik
wisata, cepat atau lambat beralih fungsi menjadi kawasan hotel,
toko kesenian, restoran, dan berbagai fasilitas akomodasi
lainnya. Meskipun terkadang masih ada lahan yang tersisa di
sekitarnya, namun tidak lagi dapat berfungsi sebagaimana
mestinya karena infrastruktur penunjangnya telah banyak
berubah atau bahkan lenyap sama sekali. Akibatnya, mata
pencaharian bercocok tanam yang merupakan bagian inti dari
kebudayaan agraris, semakin ditinggalkan dan banyak petani
memilih bekerja di sektor lain. Organisasi subak pun menjadi
semakin kehilangan fungsinya dan terancam bubar dengan
sendirinya sejalan dengan hilangnya ikatan kepentingan bersama
di antara mereka. Begitu pula dengan aspek parhyangan, di
mana pura subak terancam kehilangan nilai religiusnya dan
menjadi monumen yang tidak bermakna karena berbagai macam
ritual yang berkaitan dengan sistem bercocok tanam dipandang
sudah tidak relevan lagi (Pujaastawa, 2000).
Apabila fenomena seperti di atas terus berlanjut dan
konsep pembangunan pariwisata berwawasan budaya,
lingkungan, dan berkelanjutan hanya sekadar retorika belaka,
maka dikhawatirkan suatu saat keindahan alam Pulau Dewata
hanyalah tinggal lukisan dan keunikan budayanya hanyalah
tinggal kenangan.

52
BAB XI
BEBERAPA PENDEKATAN SEBAGAI SOLUSI

Pada tahun tujuhpuluhan, pendekatan advocacy yang


cenderung mengedepankan motif-motif ekonomi mulai
mendapat kritikan, karena dalam kenyataannya kegiatan
kepariwisataan juga kerap menimbulkan kerugian-kerugian.
Kritik tersebut banyak dilontarkan oleh kalangan ahli
antropologi. Melihat kenyataan tersebut kemudian muncul
pendekatan cautinary yang cenderung menolak pendekatan
advocacy. Pendekatan cautinary lebih menekankan bahwa
pariwisata dapat mengakibatkan banyak kerugian dalam aspek
sosial-budaya, ekonomi, dan ekologi.
Kedua pendekatan di atas saling bertentangan, kemudian
muncul pendekatan baru, yakni pendekatan adaptancy yang
menyadari bahwa pariwisata mempunyai dampak positif dan
negatif. Pendekatan ini berpandangan bahwa pengaruh negatif
pariwisata dapat dikontrol sesuai dengan kondisi-kondisi
setempat. Cara berpikir baru ini dilandasi oleh pandangan bahwa
alam dan budaya dapat digabungkan dalam satu konteks.
Pendekatan ini mengusulkan strategi pembangunan pariwisata
dalam sekala terbatas, pariwisata terkontrol, pariwisata
berkelanjutan, pariwisata budaya, dan pariwisata lingkungan.
Pendekatan adaptancy menyadarkan orang akan bahaya
pariwisata massa. Oleh karenanya pendekatan ini mengusulkan
beraneka ragam bentuk alternatif pengembangan pariwisata dan
menyesuaikan bentuk pariwisata dengan pandangan dan selera
tuan rumah dan wisatawan. Berdasarkan hal tersebut
pendekatan adaptancy mengusulkan beberapa alternatif
pariwisata yang bersifat khusus seperti : pariwisata perkebunan
(agri-turism), pariwisata sesuai dengan situasi dan kondisi

53
(approriate tourism), pariwisata seimbang (balanced tourism),
pariwisata sekala kecil (cottage tourism) dan jenis-jenis
pariwisata khusus lainnya.
Selain itu, ada pendekatan alternatif yang dikenal sebagai
pendekatan developmental. Pendekatan ini berpandangan bahwa
pariwisata harus dapat disesuaikan dengan keadaaan
masyarakat tuan rumah dan peka terhadap selera masyarakat
tuan rumah. Pendekatan alternatif ini mengurangi jurang
pemisah antara hak dan tanggung jawab dari wisatawan, tuan
rumah, dan perantara atau agen pariwisata.
Masing-masing pendekatan di atas cenderung bersifat
parsial. Untuk memahami pariwisata secara menyeluruh, maka
pariwisata hendaklah disadari sebagai fenomena multi dimensi
yang di dalamnya mencakup dimensi-dimensi ekonomi, sosial-
budaya, ekologi, dan lain sebagainya. Oleh karenanya
pengembangan pariwisata harus dilakukan melalui pendekatan
terpadu yang melibatkan berbagai bidang keilmuan (multi
disiplin). Pendekatan terpadu ini pada dasarnya bersifat
knowledge based dan mengintegrasikan beberapa bidang
pengetahuan sebagai landasannya (Spillane, 1994 : 30). Di
samping cenderung menggunakan teori dan metode dari
berbagai disipilin ilmu yang terkait, pendekatan ini tetap
membuka diri terhadap pendekatan-pendekatan lain dan secara
selektif menggabungkan pendekatan-pendekatan tersebut di
mana masing-masing pendekatan memberikan sumbangannya
sendiri.
Pendekatan-pendekatan yang relevan digunakan dalam
rangka memformulasikan model kebijakan pengembangan
pariwisata di wilayah Bali mencakup pendekatan pembangunan
pariwisata berdimensi kerakyatan, berwawasan budaya, dan
berwawasan lingkungan. Dengan demikian, formulasi model

54
yang dilahirkan diharapkan akan mampu memberikan manfaat
yang lebih berpihak kepada peningkatan kesejahteraan rakyat,
pelestarian budaya dan lingkungan setempat secara
berkelanjutan.
Belakangan ini kesadaran akan pentingnya pendekatan
pembangunan pariwisata berdimensi kerakyatan terasa kian
meningkat, mengingat dalam kenyataannya selama ini manfaat
pariwisata lebih banyak berpihak pada para pemilik modal yang
umumnya berasal dari luar masyarakat setempat
Pengembangan industri pariwisata berskala besar dan padat
modal umumnya sangat kurang melibatkan peran serta
masyarakat setempat, bahkan justru mengakibatkan terjadinya
proses marginalisasi terhadap hak-hak komunitas budaya lokal.
Pembangunan pariwisata berdimensi kerakyatan mengacu
kepada pembangunan pariwisata yang berasal dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat. Pendekatan ini pada dasarnya juga
merupakan model pemberdayaan masyarakat yang memberikan
lebih banyak peluang kepada masyarakat lokal untuk
berpartisipasi secara efektif dalam kegiatan-kegiatan
pembangunan. Hal ini berarti memberi wewenang atau
kekuasaan kepada masyarakat lokal untuk memobilisasi
kemampuan mereka sendiri dalam mengelola sumber daya
setempat. Kedudukan mereka adalah sebagai pemeran utama
dalam membuat keputusan dan melakukan kontrol terhadap
kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi kehidupannya.
Pendekatanini melibatkan masyarakat sebagai proses
pengembangan dirinya. Pendekatan ini berbeda dengan
pendekatan pewaris (beneficiary approach) di mana masyarakat
hanya menerima keuntungan tetapi tidak diberi wewenang.
Pendekatan pembangunan pariwisata berwawasan budaya
dipandang sangat penting dan relevan mengingat pariwisata

55
dipandang sebagai fenomena modern telah lama disadari
mengandung sejumlah konsekwensi terhadap kebudayaan
masyarakat lokal atau tuan rumah (hosts). Menurut Smith
(1989, 6 - 17), perkembanagn pariwisata pada tingkat tertentu
di samping membawa manfaat positif bagi perekonomian, juga
kerap menimbulkan ancaman bagi keberadaan budaya tuan
rumah. Menyadari hal tersebut, maka pengembangan pariwisata
di wilayah Bali kiranya sangat perlu mengedepankan potensi
kebudayaan setempat sebagai daya tarik sekaligus sebagai
upaya untuk mempertahankan kelestariannya.
Demikian pula dengan pendekatan pembangunan
pariwisata berwawasan lingkungan menuntut adanya
pengelolaan dan pemanfaatan potensi ekologi sebagai daya tarik
wisata yang sekaligus merupakan upaya konservasi.

56
DAFTAR PUSTAKA

Bagus, I Gusti Ngurah, 1990 : “Dari Obyek ke Subyek : Mengada


dan Menjadi dalam Proses Pengembangan Pariwisata”
dalam Widya Pustaka, Tahun VII, Nomor 4, Juli 1990.
Denpasar : Fakultas sastra Universitas Udayana.
Geertz, Cliffiord. 1980 : “Organization of Balinese Subak”, dalam
Coward E.W. Jr. (ed.) : Irrigation and Agricultural
Development in Asia. Cornell University, Ithaca.
Geriya, Wayan. 1996. Pariwisata dan Dinamika Kebudayaan
Lokal, Nasional, Global Bunga Rampai Antropologi
Pariwisata. Denpasar : Upada Sastra.
Jonathan Friedman, 1990 : Being the World : Globalization and
Localization, Theory, Culture, and Society. London : Sage
Publications.
Korten, David C. 1986 (ed.). Community Management : Asian
Experience and Perspektives. Connncticut : Kumarian
Press.
MacKinnon, John & Kathy Graham Child dan Jim Thorsell, 1993 :
Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Mc. Kean, Philip Erick, 1973 : Cultural Involution Tourist Balinese
and The Process of Modernization in An Anthropological
Perspective. Disertasi Phd. Departemen Antropologi,
Brown University, USA.
McNeely, Jeffrey A., 1992 : Ekonomi dan Kenekaragaman Hayati
: Mengembangkan dan Memanfaatkan Perangsang
Ekonomi untuk Melestarikan Sumber Daya Hayati.
(Kusdyantinah Sb., penerjemah). Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia.
Nettekoven, Lothar. 1976. “Mechanism of Intercultural
Interaction” dalam Emanuel de Kudt (ed.) : Tourism
Pasport to Development. New York : Oxford University
Press.
Noronha, Raymond, 1976 : “Paradise Reviewed: Tourism in
Bali”, dalam Emanuel de Kudt (ed.) : Tourism Pasport to
Development?. New York : Oxford University Press.
Perda No. 3 Tahun 1974
Perda No. 3 Tahun 1991
Perda No. 2 Tahun 2012

57
Pitana, I Gde. 1999. Kepariwisataan Bali dalam Konteks Global
dan Otonomi Daerah. Makalah Semiloka Perencanaan
Pembangunan Bali 2000 – 2004, Pusat Penelitian
Kebudayaan dan Kepariwisataan UNUD bekerjasama
dengan BAPPEDA Propinsi Bali, Denpasar, Nopember 1999.
Pujaastawa, I.B.G. 1993. “Menyimak Sisi Lain Perkembangan
Pariwisata Bali”. dalam : Sunari Penjor Wahana
Komunikasi dan Informasi Antropologi Tahun I, No.1,
Januari 1993, Halaman : 13 – 14. Denpasar : Jurusan
Antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Pujaastawa, I.B.G. 2000. “Irrigation and Tourism”, dalam : Bali
Travel News Vol. II No.22, Oct. 27 – Nov. 9, Tahun 2000.
Pujaastawa, I.B.G. 2001. Pola Pengembangan Pariwisata
Terpadu Bertumpu pada Model Pemberdayaan Masyarakat
di Wilayah Bali Tengah. Kerjasama Kementerian Riset dan
Teknologi RI Lembaga Ilmu Prngetahuan Indonesia dan
Universitas Udayana, Denpasar.
Pujaastawa, I.B.G. 2002. Pariwisata Subak : Menjaga Identitas
Kultural dan Keseimbangan Ekologi Bali Tengah. Makalah
Simposium Internasional Jurnal Antropologi Indonesia III,
Denpasar, 16 – 19 Juli 2002.
Seda, Frans,1990 : “Bali Semakin Memprihatinkan”, dalaim:
Usahawan Indonesia, XIX, No. 12. Jakarta : lembaga
Management FE – UI, Halaman : 59.
Smith, valene L. (ed.), 1989 : Hosts and Guests The
Anthropology of Tourism Second Edition. Philadelphia :
University of Pensylvania.
Soekadijo, R.G. 2000. Anatomi Pariwisata Memahami Pariwisata
Sebagai “System Linkage”. Jakarta : Penerbit PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Spillane,S.J. James, J., 1994 : Pariwisata Indonesia Siasat
Ekonomi dan Rekayasa Kebudayaan. Yogyakarta : Penerbit
Kanisius.
Stanton, Max E. 1989 : “The Polynesian Cultural Center : A
Multi-Ethnic Model of Seven pacific Cultures”, dalam
Valene L. Smith (ed.) Hosts and Guests The Anthropology
of Tourism Second Edition. Philadelphia : University of
Pensylvania.
Sutawan, dkk., 1986 : Studi Mengenai Subak Gede : Suatu
Wadah Koordinasi Antar Subak di Bali. Kerjasama Sub

58
Dinas Pengairan Dinas Pekerjaan Umum Propinsi Bali
dengan Universitas Udayana, Denpasar.
Suwantoro, Gamal. 2001. Dasar-Dasar Pariwisata. Yogyakarta :
Penerbit Andi
Trijono, Lambang., 1996. “Globalisasi Modernitas dan Krisis
Negara Bangsa : Tantangan Integrasi Nasional dalam
Konteks Global”, dalam : Nasionalisme dan Berakhirnya
Negara- Bangsa. Analisis CSIS Tahun XXV, No. 2 Maret –
April 1996, Halaman : 136 – 148.
Wahab, Salah. 1996. Manajemen Kepariwisataan. (Alih bahasa :
Frans Gomang). Jakarta : PT. Pradnya Paramita.
Yoety, Oka A. 1996. Anatomi Pariwisata. Bandung : Penerbit
Angkasa.

59

Anda mungkin juga menyukai