Anda di halaman 1dari 3

TEKNOLOGI PROBIOTIK UDANG WINDU MENDUKUNG INDUSTRIALISASI

Kegagalan dalam budidaya udang windu di Indonesia sejak dua dekade terakhir cukup menjadi
pengalaman berharga bagi pembudidaya agar kasus gagal panen tidak terulang. Kalau kita
menengok ke belakang mengapa terjadi kasus gagal panen pada budidaya udang windu di tambak,
disebabkan karena terjadi serangan penyakit dan non penyakit. Penyakit yang menyerang udang
windu terutama disebabkan oleh jenis pathogen Vibrio harveyi (bakteri kunang-kunang) dan WSSV
(White Spot Syndrome Virus).

Selain karena penyakit, faktor penyebab kegagalan panen udang windu di tambak adalah non
penyakit seperti adanya plankton beracun (Gonyaulax, Gymnodinium, Microcystis, Noctiluca, dsb),
pakan yang mengandung aflatoksin, adanya bahan pencemar (pestisida, bahan kimia, dan logam
berat), maupun oleh adanya perubahan musim (suhu air, salinitas, pH, dan alkalinitas total).

Sudah banyak cara dilakukan peneliti untuk mencegah terjadinya kematian udang windu sebelum
masa panen di antaranya aplikasi probiotik di tambak. Menurut Suwanto (1993) penggunaan bakteri
probiotik tertentu dapat menghambat dan membunuh bakteri patogen (Vibrio harveyi), sehingga
tidak terjadi korum sensing yang dapat menimbulkan sifat patogen. Menurut Verschuere et al.
(2000) dan Poernomo (2004) bahwa penggunaan bakteri probiotik merupakan salah satu cara untuk
menanggulangi penyakit pada usaha budidaya udang. Demikian pula yang telah dilaporkan Gunarto
et al. (2006) tentang perlunya bakteri probiotik di tambak udang.

Badan Litbang KP melalui Balai Penelitian dan Pegembangan Budidaya Air Payau (BPPBAP) Maros
telah melakukan Demfarm Iptekmas seluas 20 ha di Pokdakan Samaturue dan Pokdakan Cahaya
Menralo desa wiringtasi kecamatan Suppa, Pinrang Sulsel dengan teknologi probiotik pada
pembesaran undang windu di tambak. Peneliti BPPBAP Maros, Muharjadi A. MS mengatakan, jenis
bakteri probiotik yang diaplikasikan dalam ujicoba tersebut merupakan hasil seleksi dari 3.976
isolat bakteri yang berasal dari laut, mangrove, dan tambak di Sulawesi Selatan yang diberi nama
probiotik RICA.

Dalam Iptekmas tersebut Pokdakan dibimbing untuk melakukan kultur massal probiotik di tambak.
Untuk melakukan kultur maka jenis pelaralatan yang digunakan untuk kultur massal probiotik di
lokasi demfarm antara lain : Aerator “double power” (AC/DC, tetap hidup walaupun mati listrik) satu
unit yang dilengkapi dengan slang aerasi, pengatur gas, dan batu aerasi, ember besar bertutup untuk
wadah kultur bakteri probiotik, volume ember tergantung jumlah bakteri yang diperlukan, misal 40
L, Ember volume 10-15 L untuk menebar bakteri probiotik ke tambak, Jerigen steril untuk membawa
bakteri probiotik hasil kultur, Corong plastik untuk memasukkan bakteri probiotik ke dalam jerigen,
Gayung air untuk memasukkan bakteri ke dalam jerigen plastik dan untuk menebar bakteri ke
tambak, Takaran atau literan, untuk menakar volume air tambak dan volume molase yang
diperlukan, Timbangan 1-5 kg, untuk menimbang dedak, tepung ikan, yeast (ragi roti), dan molase
(pada awal pengukuran saja, selanjutnya ditandai dengan supidol agar lain kali tidak perlu ditimbang
lagi), Spidol permanen untuk penanda pada takaran yang digunakan, Kompor gas lengkap dengan
tabung gas, slang, dan regulatornya, Panci stainless volume 50 L untuk memasak campuran bahan,
Pengaduk dari kayu untuk mengaduk bahan-bahan yang dimasak, Beberapa ember dengan tutup
dan stoples plastik untuk menyimpan tepung dan bahan-bahan lainnya.
Sedangkan bahan yang diperlukan antara lain: Bakteri probiotik RICA, yaitu isolat BT951, MY1112,
dan BL542 dalam media Nutrient Broth (100-200 mL per 20 L air tambak), Tepung ikan (400 g per 20
L air tambak), Dedak halus (1.000 g per 20 L air tambak), - Ragi roti (yeast) (100 g per 20 L air
tambak), Molase (tetes tebu) 500 g atau sekitar 375 mL per 20 L air tambak, Air tambak 20 L.

Cara kulturnya adalah sebagai berikut: Masak 1.000 g dedak halus dan 400 g tepung ikan dengan
menggunakan 20 L air tambak dalam panci stainless sambil terus diaduk hingga mendidih selama
beberapa menit (sekitar 10 menit). Matikan api, kemudian masukkan ragi roti sebanyak 100 g,
sambil terus diaduk merata. Kemudian masukkan molase 500 g, sambil terus diaduk agar tidak
hangus (gosong), Dinginkan campuran tersebut dengan cara merendam panci ke dalam tambak
atau membaginya ke beberapa tempat agar cepat dingin. Setelah dingin, dibagi ke dalam dua ember.
Masukkan bakteri probiotik sebanyak 50-100 mL per ember. Diaerasi secara terus menerus dengan
aerator AC/DC. Setelah dikultur 3-4 hari, aerasi dimatikan dan bakteri probiotik siap digunakan di
tambak, yaitu 0,2-1 ppm (2-10 L per hektar tambak tradisional plus dengan kedalaman air satu
meter); 1-5 ppm di tambak semi-intensif udang windu dengan padat penebaran hingga 10 ekor/m2;
atau 5-10 ppm di tambak udang intensif dengan padat penebaran hingga 20 ekor/m2.

Bagaimana cara aplikasinya di tambak ? Bakteri probiotik RICA yang telah dikultur 3-4 hari ditebar ke
tambak dengan dosis seperti tersebut sebelumnya sesuai teknologinya. Bakteri probiotik tersebut
dicampur/diencerkan dengan air tambak secukupnya, kemudian ditebar merata ke permukaan air
tambak. Pemberian bakteri probiotik dilakukan seminggu sekali untuk budidaya udang windu
tradisional plus dan semi-intensif. Sedangkan untuk sistem intensif diperlukan penebaran 1-2
kali/minggu tergantung kondisi airnya. Bakteri probiotik RICA yang terbaik adalah sistem pergiliran,
yaitu BT951 diberikan 3-4 kali berturut-turut sejak minggu 2-3 pemeliharaan, kemudian diganti
dengan MY1112 diberikan 3-4 kali berturut-turut, kemudian diganti BL542 diberikan 3-4 kali
berturut-turut, dan diulang lagi dengan BT951 hingga panen.Bakteri probiotik RICA perlu dikultur
selama 3-4 hari agar diperoleh konsentrasi hingga 1010-1012 CFU/mL, sehingga pada saat dipakai di
tambak hanya memerlukan jumlah sedikit (kurang dari 10 L/ha).

Dengan demikian aplikasi bakteri probiotik RICA (BPPBAP) terbukti mampu mengurangi serangan
penyakit vibriosis maupun penyakit bintik putih di tambak udang windu. Aplikasi bakteri probiotik
RICA mampu meningkatkan sintasan dan produksi udang windu di tambak demfarm dengan rata-
rata produksi 250-300 kg/ha/siklus. Padahal produksi udang windu di pokdakan itu sebelumnya
hanya paling tinggi 150 kg/ha/tahun. Menurut Muharjadi A, penggunaan probiotik di tambak akan
epektif jika persiapan tambak, penebaran benur, serta pengelolaan pakan dan air dilakukan secara
benar. Aplikasi bakteri probiotik di tambak udang windu milik rakyat masih perlu dikaji lebih lanjut
pada berbagai sistem budidaya dan kondisi lingkungan yang berbeda. Pada kondisi tambak Tanah
Sulfat Masam (TSM) aplikasi probiotik perlu dibarengi dengan aplikasi kapur dolomit secara rutin
sebanyak 3-5 ppm terutama menjelang atau sesudah hujan.

Di kelompok pembudidaya ikan Samaturue sampai saat ini sudah melakukan kultur massal probiotik
untuk memenuhi kebutuhan anggota kelompoknya dengan bimbingan penyuluh dan peneliti. Untuk
mereplikasi kegiatan iptekmas budidaya udang windu menggunakan probiotik ke petambak udang di
luar kelompok Samaturue maka tugas penyuluh menjadi penting. Terbukti sudah ada beberapa
pokdakan di kecamatan Suppa melakukan kultur probiotik sendiri untuk memenuhi kebutuhan
anggota kelompoknya. Memang nyata menguntungkan dari segi biaya jika harus membeli probiotik
di kios. Kalau membeli di kios harganya menembus Rp.50.000 per liter tanpa menjamin kualitas dan
kuantitas bakterinya. Dengan kultur sendiri bisa menghemat biaya dengan biaya produksi paling
banter Rp.3.000-5.000 perliter dengan kualitas dan jumlah bakteri terjamin. Dengan menyuluhkan
teknologi probiotik pada pembudidaya maka kebangkitan udang windu Sulsel tercapai dan
mensukseskan program industrialisasi kelautan dan perikanan. (Abdul Salam Atjo, S.Pi-Penyuluh
Perikanan BP4K Pinrang, Sulsel).

Tulisan

Anda mungkin juga menyukai