Anda di halaman 1dari 3

REFORMA AGRARIA

Luas hutan Indonesia menyusut

Foto udara menunjukkan kawasan wisata Taman Hutan Raya (Tahura) Djuanda,
Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (27/3/2018). | Raisan Al Farisi /Antara
Foto

Indonesia dikenal punya hutan daratan sangat luas. Hingga 2017, menurut data
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang dilansir Selasa
(3/4/2018), luasnya mencapai 125.922.474 hektare.

Secara umum, luasnya menyusut. Misalnya, dibanding data KLHK pada 2015 yang
dipelajari Lokadata Beritagar.id, luas hutan Indonesia masih sekitar 128 juta
hektare.
Tentu saja penurunan ini akibat kebakaran dan pembalakan liar (deforestasi). Bila
merujuk pada perhitungan Ditjen Planologi KLHK, angka deforestasi Indonesia
periode 2014-2015 mencapai 1,09 juta hektare dan 2015-2016 menjadi 0,63 juta
hektar (h/t Mongabay, 29/1).
Namun pemerintah mengklaim deforestasi berhasil ditekan. Menteri LHK Siti
Nurbaya Bakar mengatakan luas lahan kritis kini mencapai 30.196.799 hektare.
Padahal pada 2016 jumlahnya hanya mencapai 24.303.294 hektare.

Sementara deforestasi yang paling besar menimpa kawasan hutan produksi,


hingga 63 persen (h/t JPNN). Hutan produksi adalah kawasan yang memang
dimanfaatkan untuk memproduksi hasil hutan, baik kayu maupun non-kayu.
Kecuali di pulau Jawa, hutan produksi yang berada di kawasan hutan negara
dikelola oleh Perhutani, perusahaan milik negara.Bila melihat data presentasi
Evolusi Kawasan Hutan, TORA, dan Perhutanan Sosial yang disampaikan Siti
dalam diskusi Forum Merdeka Barat 9, Jakarta, Selasa (3/4), memang hanya hutan
konservasi dan hutan lindung yang luas areanya meningkat sejak 2009.

Sementara hutan produksi terbatas (HPT), hutan produksi tetap (HP), hutan
produksi yang dapat dikonversi (HPK) pada periode yang sama menurun. Pada
periode Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) sebelum 1999; luas HPT mencapai
29,4 juta hektare, HP 32,9 juta hektare, dan HPK 36,03 juta hektare.

Namun setelah penerapan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) 2009;
luas HPT hanya 26,7 juta hektare, HP 29,2 juta hektare, dan HPK 12,8 juta
hektare.

Selain penurunan luas hutan produksi, pemerintah juga dihadapkan pada


persoalan hutan berizin yang dikelola swasta. Hingga 2017, hutan berizin dikelola
swasta (korporasi) mencapai 40,4 juta hektare( 95,76 persen) dan yang dikelola
masyarakat hanya 1,7 juta hektare (4,14 persen).

Rekapitulasi pemberian lahan dan akses hutan. | /Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan
Siti menyebut data ini sebuah ketimpangan pemberian lahan dan akses. Itu sebabnya
pemerintah saat ini bekerja keras untuk mengoreksinya, termasuk memperketat
pemberian izin pelepasan hutan kepada swasta.

Sejak 2015 atau awal mula Kabinet Kerja terbentuk, pemerintah total baru melepas
seluas 305.984 hektare. Itu pun sekitar 232.810 hektare di 26 lokasi disetujui karena
sudah ada izin prinsip pada periode 2012-2014.

Pelepasan kawasan hutan paling banyak terjadi pada periode 2005-2014 yang mencapai
1,6 juta hektare. Luas yang dilepaskan ini melebihi angka pada masa 1985-1998 atau
pada rezim Soeharto (1,08 juta hektare).

Solusi pemerintah untuk mengatasi ini adalah dengan mengubah proporsi


pelepasan hutan untuk masyarakat berdasarkan program reformasi agraria. Jika
sebelumnya 88 persen untuk korporasi dan masyarakat 12 persen, kini menjadi
59-62 persen untuk korporasi dan 38-41 persen untuk masyarakat.

Reforma agraria yang secara teknis disebut Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA)
itu meliputi sembilan juta hektare lahan. Masing-masing legalisasi aset 4,5 juta
hektare dan redistribusi lahan 4,5 juta hektare.

Legalisasi aset meliputi tanah transmigrasi di luar kawasan hutan yang belum
punya sertifikat dan lahan penduduk yang belum bersertifikat. Adapun redistribusi
lahan meliputi hak guna usaha yang sudah kedaluwarsa, tanah terlantar, dan
pelepasan hutan.
Apa bedanya reforma agraria masa lalu dengan masa Kabinet Kerja? Siti
menjelaskan bahwa saat ini pemerintah bukan cuma melakukan redistribusi lahan
dan membiarkan masyarakat berdaya sendiri untuk mengelola asetnya.

Bahkan pemerintah tengah mengkaji agar program ini memberi nilai ekonomi
kepada masyarakat. Program yang dilakukan secara berkelompok adalah dengan
menciptakan koperasi tani hutan agar ada akses terhadap permodalan.

Tak lupa Siti pun mengapresiasi peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di
tingkat tapak untuk mengawal program TORA dan perhutanan sosial ini.
"Walaupun teman-teman LSM ini sangat keras tapi mereka mengawal ini sangat
baik, sehingga program ini berjalan transparan", ujar Siti dalam laman resmi
KLHK.

Anda mungkin juga menyukai