Anda di halaman 1dari 8

Nama : Briyan Efflin Syahputra

NIM : 16919006
Program Studi : Magister Akuntansi, Program Pascasarjana, Fakultas Ekonomi
Universitas Islam Indonesia
Email dan Blog : briyanefflin@gmail.com; briyanworld.blogspot.com
Perihal : Ujian Takehome Mata Kuliah Auditing Lanjutan

KASUS FRAUD
“Laporan Keuangan Ganda Bank Lippo, Informasi Yang Menyesatkan”

A. Profil Singkat Bank Lippo


Bank Lippo merupakan Bank yang lahir atas merger dari Bank Perniagaan Indonesia dan
Bank Umum Asia. Bank ini secara resmi beroperasi atas nama Bank Lippo pada tahun 1948
yang dipimpin oleh Mochtar Riady. Cikal bakalnya lahirnya Bank ini diawali ketika Mochtar
Riady membeli sebagian saham di Bank Perniagaan Indonesia. Lahirnya Bank ini juga
merupakan cikal bakal terbentuknya Grup Lippo. Akan tetapi pada tahun 2008, nama Bank
Lippo secara resmi akan hilang dari perbankan nasional, dikarenakan Bank ini telah merger
dengan Bank Niaga. Akibatnya nama Bank Lippo akan dihilangkan dan menjadi Bank CIMB
Niaga (Detik, 2008; Kompas, 2008). Adanya merger ini diawali ketika Khazanah sebagai
pemiliki mayoritas CIMB Groups Holdings mengakuisisi kepemilikan mayoritas Bank Lippo
pada tanggal 30 September 2005, yang kemudian seluruh kepemilikan saham ini beralih tangan
menjadi milik CIMB Group. Sebagai bentuk patuhnya CIMB Group pada Single Presence Policy
(SSP) akhirnya secara resmi Bank Lippo di merger dengan Bank Niaga (CIMB Niaga, 2017).

B. Ringkasan Kasus “Laporan Keuangan Ganda Bank Lippo”


Pada tanggal 28 November 2002 Bank Lippo mempublikasikan laporan keuangannya untuk
periode per 30 September 2002. Pada publikasi tersebut, tercatat bahwa total aktiva yang dimiliki
oleh Bank Lippo per 30 September 2002 sebanyak Rp 24 triliun dengan laba bersih sebanyak Rp
98 miliar. Selain itu pada publikasi tersebut, pihak manajemen Bank Lippo juga menyatakan
bahwa laporan keuangan tersebut telah di audit dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Namun, permasalahan dan keanehan muncul ketika adanya perbedaan isi laporan keuangan Bank
Lippo untuk periode per 30 September 2002 yang dilaporkan Bank Lippo kepada Bursa Efek
Jakarta (BEJ) pada tanggal 27 Desember 2002 dengan laporan keuangan yang sebelumnya telah
dipublikasikan sendiri oleh pihak Bank Lippo. Berdasarkan laporan yang terdapat di BEJ, total
aktiva yang dimiliki oleh Bank Lippo berubah menjadi Rp 22,8 triliun (turun Rp 1,2 triliyun).
Selain itu, ternyata Bank Lippo harusnya mencatat kerugian sebesar Rp 1,3 triliun, yang awalnya
berdasarkan publikasi dari pihak Bank Lippo, perusahaan tersebut tercatat memperoleh laba
(Tempo, 2003b). Munculnya laporan keuangan ganda ini langsung ditanggapi oleh pihak KAP
yang mengaudit LK Bank Lippo yaitu Ernst and Young, Sarwoko dan Sanjaya. Menurut KAP
tersebut, laporan keuangan yang dipublikasikan oleh Bank Lippo tanggal 27 November 2002
tersebut merupakan LK yang belum selesai diaudit oleh KAP tersebut, hanya LK yang
dilaporkan ke BEJ yang telah diaudit (Tempo, 2003b).
Berdasarkan kejadian tersebut, pihak Bank Lippo berdalih, penyebab adanya perbedaan
tersebut dikarenakan terjadinya penurunan nilai agunan yang diambil alih (AYDA) yang
awalnya Rp 2,393 triliun turun menjadi Rp 1,42 triliun. Penurunan aset ini juga berdampak pada
nilai capital Adequacy Ratio (CAR) yang turun menjadi 4,23% (awalnya 24,77%). Akan tetapi,
alasan yang diberikan oleh pihak Bank Lippo tersebut dibantah oleh beberapa pihak. Beberapa
pihak menduga bahwa Bank Lippo telah melakukan manipulasi laporan keuangan secara
sengaja. Hal ini dibuktikan dengan melihat aset agunan yang dimiliki Bank Lippo. Agunan yang
dijadikan aset oleh Bank Lippo tersebut ternyata merupakan aset yang berasal dari Grup Lippo,
yaitu PT Bukit Sentul Tbk; PT Lippo Karawaci Tbk; PT Lippo Securities Tbk; PT Panin
Insurance Tbk; PT Lippo Cikarang Tbk; dan PT Hotel Prapatan (Sumantyo, 2003). Atas kasus
ini BEJ, meminta Bank Lippo untuk mengadakan paparan publik (paling lambat 15 Januari
2003). Paparan tersebut berisikan pernyataan/penjelasan pihak Bank Lippo terkait adanya
laporan keuangan ganda Bank Lippo Per 30 September 2002 dan menjelaskan kinerja keuangan
perusahaan hingga periode 31 Desember 2002 (Tempo, 2003b).

C. Penyelesaian Kasus Oleh Pihak Berwenang


Bank Lippo telah terbukti melakukan kecurangan dengan mempublikasikan laporan
keuangan yan menyesatkan bagi publik. Atas perbuatan tersebut, Badan Pengawas Pasar Modal
(Bappepam) memutuskan untuk memberikan peringatan yang keras untuk pihak Bank Lippo dan
memberikan sanksi administratif bagi Bank Lippo tersebut (Tempo, 2003a). Sanksi
Administratifnya yaitu pihak Bank Lippo harus membayarkan denda ke kas Negara sebesar Rp
2.500.000.000 saja (Tempo, 2003c). Selain itu Bappepam juga mewajibkan pihak manajemen
Bank Lippo untuk menyerahkan laporan kemajuan (progress report) pada BEJ seminggu sekali
di mulai tanggal 24 Febuari sampai dengan keluarnya laporan keuangan tahunan auditan tahun
2002.
Bappepam tidak hanya memberikan sanksi kepada pihak Bank Lippo saja, akan tetapi
Bappepam juga memberikan sanksi berupa denda kepada KAP Ernst and Young, Sarwoko dan
Sanjaya selaku KAP yang bertanggung jawab atas audit Laporan Keuangan Bank Lippo pada
periode tersebut. Pihak KAP tersebut diwajibkan untuk membayar denda ke kas Negara hanya
sebesar Rp 3.500.000 saja (Tempo, 2003c). Pemberian sanksi kepada KAP ini dikarenakan KAP
ini dianggap lalai menjalankan tugasnya sebagai pihak yang memeriksa laporan keuangan Bank
Lippo pada periode tersebut, sehingga menyebabkan adanya laporan keuangan ganda tersebut
yang berdampak pada penyesatan informasi pada publik.

D. Analisa Kasus
1. Analisis Penyebab
Berdasarkan data yang telah dijelaskan pada ringkasan kasus di atas, dapat dilihat bahwa
pihak Bank Lippo sudah tampak sekali melakukan tindakan manipulasi laporan keuangan, dapat
terlihat adanya perbedaan isi laporan keuangan yang awalnya mereka publikasikan secara
mandiri dengan laporan keuangan yang di laporkan di BEJ. Manipulasi yang paling terlihat
adalah pihak Bank Lippo dengan sengaja memanipulasi data aktiva dan labanya, yang mana di
keduanya mengalami peningkatan cukup signifikan dibanding dengan data yang sebenarnya.
Pada dasarnya perusahaan yang melakukan tindakan manipulasi laporan keuangan, terutama
memanipulasi untuk meningkatkan nilai pos tertentu ditujukan agar perusahaan tersebut “terlihat
memiliki kinerja yang baik di hadapan pihak eksternal” padahal tidak. Dampaknya biasanya
pada peningkatan harga saham ataupun untuk memikat hati pihak eksternal seperti investor untuk
menginvestasikan dananya melalui pembelian saham. Contoh lainnya adalah agar dimudahkan
untuk memperoleh suntikan dana dari pihak kreditur. Tidak menutupi bahwa tujuan awal atau
penyebab pihak manajemen tersebut melakukan manipulasi tersebut guna untuk memperoleh
keuntungan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, terutama untuk memikat para calon
investor untuk segera menanamkan saham pada Bank Lippo, terlebih lagi pada publikasi laporan
keuangan yang dilakukan secara mandiri oleh Bank Lippo tersebut, menyatakan bahwa laporan
keuangan tersebut telah di audit dan mendapatkan opini WTP (padahal belum di audit). Dengan
diperolehnya opini WTP pada perusahaan tersebut berarti telah menunjukan bahwa laporan
keuangan tersebut telah disusun secara wajar dan sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan
(SAK) yang berlaku, yang artinya laporan keuangan Bank Lippo bebas dari berbagai praktik
ilegal terlebih lagi fraud. Tentunya dengan diperoleh opini WTP tersebut, turut berperan penting
untuk memikat hari para investor untuk investasi pada Bank Lippo.
Praktik manipulasi yang dilakukan oleh pihak Manajemen Bank Lippo tersebut, juga telah
menunjukan bahwa pihak manajemen juga turut melakukan tindakan/praktik manajemen laba.
Menurut Herawaty (2008) manajemen laba merupakan tindakan judgement dalam laporan
keuangan yang dapat merubah laporan keuangan yang akhirnya dapat menyesatkan pihak-pihak
yang berkepentingan dengan perusahaan. Contohnya pada kasus ini terlihat pada laba pe 30
September 2002 yang seharusnya mengalami kerugian sebesar Rp 1,3 triliun, kemudian diganti
oleh pihak manajemen dengan memperoleh laba bersih sebanyak Rp 98 miliar. Padahal
manajemen laba yang dilakukan tersebut bertujuan negatif yang dapat merugikan banyak pihak.
Praktik manajemen laba ini tentunya terkesan negatif, karena pihak manajemen Bank Lippo
melakukannya untuk menarik banyak investor agar menanamkan dananya pada Bank Lippo.
Secara keseluruhan, menurut penulis penyebab utama munculnya kasus ini dikarenakan
lemahnya implementasi Good Corporate Governance (GCG) pada manajemen Bank Lippo. Jika
implementasi GCG Bank Lippo terlaksana dengan baik, maka kasus manipulasi laporan
keuangan yang terjadi pada Bank Lippo ini tidak akan terjadi/dapat dihindari. Hal ini
dikarenakan menurut Guna dan Herawaty (2010) pada dasarnya tujuan dengan dilaksanaknnya
GCG ini bertujuan untuk membuat berbagai/serangkaian mekanisme yang dapat mencegah dan
membatasi asimetri informasi, termasuk contohnya adalah manajemen laba.
Dalam pelaksanaannya, GCG dilaksanakan dengan 5 prinsip utama, antara lain
akuntanbilitas, transparansi, responbility, indepedensi, dan keadilan. Berkaitan dengan kasus
yang melanda Bank Lippo ini, terlihat bahwa perusahaan ini telah melanggar 2 prinsip dari GCG
tersebut, yaitu transparansi dan responsibility. Prinsip transparansi menjelaskan bahwa dalam
pelaksanaannya perusahaan harus menyampaikan setiap informasi dengan jelas, akurat, dapat
dipertanggungjawabkan, dan tentunya tidak menyesatkan. Informasi yang dimaksud termasuk
informasi yang terdapat pada laporan keuangan di sebuah perusahaan. Sedangkan yang dimaksud
dengan prinsip responsibility ialah suatu organisasi dalam pelaksanaan setiap
kegiatan/operasional harus sesuai dengan aturan yang berlaku. Berkaitan dengan kasus ini,
apabila pihak manajemen Bank Lippo sepakat dan berkomitmen untuk melaksanakan GCG
dengan baik, maka kasus manipulasi laporan keuangan ini dapat terhindarkan. Hal ini
dikarenakan, dalam pelaksanaanya jika pihak manajemen menjalankan dengan baik GCG-nya,
maka tentunya pihak manajemen akan senantiasa mengawasi/mengontrol pembuatan Laporan
Keuangan agar sesuai dengan aturan/standarnya (pelaksanaan prinsip transparansi dan
responbility). Sehingga dapat dipastikan salah satu penyebab utama adanya kasus manipulasi
laporan keuangan ini terjadi dikarenakan lemahnya dalam pelaksanaan GCG pada manajemen
Bank Lippo.

2. Analisis Dari Perspektif Hukum


Akhir dari perjalanan kasus yang menimpa Bank Lippo ini yaitu Bank Lippo terbukti
bersalah dikarenakan adanya kasus laporan keuangan ganda ini. Atas kasus ini, Bappepam selaku
lembaga yang berwenang memutuskan bahwa Bank Lippo hanya akan mendapatkan sanksi
administratif berupa denda sebesar Rp 2.500.000.000.
Menurut penulis, sanksi yang diterima oleh Bank Lippo tidak tepat. Melihat fakta dari
kasus ini, secara jelas bahwa pihak manajemen Bank Lippo telah terbukti melakukan manipulasi
laporan keuangan dan membuat pernyataan bahwa laporan keungan tersebut telah di audit
(padahal belum), yang berdampak pada penyesatan informasi terhadap pihak-pihak yang
berkepentingan. Atas fakta tersebut, sudah dapat dilihat bahwa kasus ini telah melanggar Pasal
93 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal, yang berarti
kasus ini tergolong sebagai kasus pidana bukan hanya tergolong pelanggaran administrasi saja.
Pasal 93 tersebut berbunyi: Setiap Pihak dilarang, dengan cara apa pun, membuat pernyataan
atau memberikan keterangan yang secara material tidak benar atau menyesatkan sehingga
mempengaruhi harga Efek di Bursa Efek apabila pada saat pernyataan dibuat atau keterangan
diberikan :
 Pihak yang bersangkutan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa pernyataan atau
keterangan tersebut secara material tidak benar atau menyesatkan; atau
 Pihak yang bersangkutan tidak cukup berhati-hati dalam menentukan kebenaran material
dari pernyataan atau keterangan tersebut.
Dampak dengan pelanggaran Pasal 93 tersebut ialah pihak yang melakukan tindakan
penyesatan informasi tersebut (dalam hal ini Bank Lippo) seharusnya mendapatkan sanksi
pidana berupa kurungan penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp
15.000.000.000.

E. Dampak Kasus
Adapun dampak dari kasus ini antara lain:
1. Menambah deret panjang kasus skandal manipulasi laporan keuangan yang berakibat
turunnya kepercayaan publik atas Perusahaan Publik, terutama atas kinerja akuntan dan
auditor yang terlibat.
2. Merugikan investor yang mendapatkan informasi menyesatkan atas Laporan Keuangan Bank
Lippo tersebut (yang dipublikasikan oleh pihak Bank Lippo di Media Massa), terlebih lagi
investor yang telah membeli saham tersebut. Hal ini dikarenakan setelah mencuatnya kasus
laporan keuangan ganda tersebut, harga saham Bank Lippo mengalami penurunan yang
drastis, dan hal ini tentunya menyebabkan kerugian bagi investor-investor tersebut.
3. Sanksi yang diberikan tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, menunjukan masih lemahnya
penegakan hukum di Indonesia. Tentunya ini berdampak pada kepercayaan publik atas
kinerja para penegak hukum di Negara ini yang masih takut dengan beberapa pihak yang
berkuasa di Negara ini. Diketahui bahwa terdapat pihak yang dianggap “orang kuat” yang
menjadi komisaris di Bank Lippo, sehingga membuat takutnya para penegak hukum tersebut
dalam menegakan keadilan.

F. Kesimpulan
Kasus manipulasi laporan keuangan yang terjadi pada Bank Lippo ini pada dasarnya
dapat dihindarkan untuk tidak terjadi, ketika pihak manajemen Bank Lippo tersebut telah
berkomitmen untuk menjalankan konsep GCG dengan baik. Selain itu Peran akuntan sebagai
pihak yang menyusun laporan keuangan tersebut tentunya juga akan sangat membantu dalam
pencegahan kasus fraud seperti ini. Peran yang dimaksud adalah para akuntan tersebut
seharusnya dalam pelaksanaan profesinya harus sesuai dengan kode etik profesinya, sehinga
ketika menemukan adanya pihak tertentu yang ingin melakukan melakukan praktik fraud seperti
pada kasus ini, akuntan yang bertanggung jawab harusnya dapat menolak untuk tidak melakukan
hal tersebut (karena melanggar kode etik). Dan jika pun akuntan tersebut mendapatkan tekanan
oleh dari pihak tertentu, para akuntan tersebut dapat melakukan tindakan whistle-blowing dengan
melaporkannya kepada pihak direksi ataupun komisaris perusahaan, bahkan dapat di laporkan
kepada pihak eksternal yang berwenang. Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya berabagi
praktik fraud di sebuah organiasasi. Whistle-blowing sendiri jika didefinisikan ialah tindakan
pegawai (atau mantan) untuk mengungkapkan berbagai tindakan ilegal atau tidak etis kepada
pihak manajemen puncak atau kepada pihak eksternal yang berwenang maupun kepada publik
(Bouville, 2007).
Melalui kasus ini, kita juga dapat dilihat betapa pentingnya makna dari “laporan auditor”
yang dijadikan sebagai lisensi bahwa sebuah laporan keuangan telah diaudit oleh pihak yang
berwenang. Dampak jika suatu organisasi mengabaikannya adalah dapat dilihat dari kasus ini,
apabila suatu organisasi mengakui telah di audit, akan tetapi pada kenyataannya tidak, maka hal
ini dapat dianggap sebagai kesalahan serius karena berpotensi untuk menyesatkan publik. Selain
itu, kasus ini juga menunjukan bahwa masih lemahnya penegakan hukum pada Negara
Indonesia. Sekuat apapun bukti yang dikumpulkan, tidak akan berpengaruh jika pihak yang
dijadikan pelaku tersebut memiliki kuasa untuk membuat hukum berpihak padanya. Maka
harapan kedepannya, Negara ini perlu berbenah diri, terlebih lagi berkaitan dengan penegakan
hukum, guna untuk menegakan keadilan. Dan hal ini akan berdampak pada kembalinya
kepercayaan publik pada penegakan hukum di Indonesia.

REFERENSI
Bouville, M. (2007). Whistle-blowing and Morality. Journal of Business Ethics, 81(3), 579–585.

CIMB Niaga. (2017). Sejarah Perusahaan CIMB Niaga. Diambil 10 Agustus 2017, dari
https://www.cimbniaga.com/in/about-us/index.html

Detik. (2008). Bank Lippo Lenyap, CIMB Niaga Dikibarkan. Diambil 11 Agustus 2017, dari
https://finance.detik.com/moneter/1030154/bank-lippo-lenyap-cimb-niaga-dikibarkan-

Guna, W. I., & Herawaty, A. (2010). Pengaruh Mekanisme Good Corporate Governance,
Independensi Auditor, Kualitas Audit dan Faktor Lainnya Terhadap Manajemen Laba.
Jurnal Bisnis dan Akuntansi, 12(1), 53–68.

Herawaty, V. (2008). Peran Praktek Corporate Governance Sebagai Moderating Variable dari
Pengaruh Earnings Management Terhadap Nilai Perusahaan. Jurnal Akuntansi dan
Keuangan, 10(2), 97–108.
Kompas. (2008). Lippo Niaga Jadi CIMB Niaga. Diambil 10 Agustus 2017, dari
http://nasional.kompas.com/read/2008/11/03/10152216/lippo.niaga.jadi.cimb.niaga.
Sumantyo, R. (2003). Kasus Bank Lippo dan Degradasi Kepercayaan Publik. Diambil 8 Agustus
2017, dari http://www.suaramerdeka.com/harian/0302/24/eko1.htm

Tempo. (2003a). Bapepam: Skandal Lippo Adalah Kasus Pidana. Diambil 7 Agustus 2017, dari
https://m.tempo.co/read/news/2003/03/11/0565210/bapepam-skandal-lippo-adalah-kasus-
pidana

Tempo. (2003b). Bapepam Periksa Kantor Akuntan Publik Bank Lippo. Diambil 7 Agustus
2017, dari https://m.tempo.co/read/news/2003/02/03/0562286/bapepam-periksa-kantor-
akuntan-publik-bank-lippo

Tempo. (2003c). BEJ Anggap Kasus Laporan Keuangan Bank Lippo Selesai. Diambil 7 Agustus
2017, dari https://bisnis.tempo.co/read/news/2003/03/18/0566701/bej-anggap-kasus-
laporan-keuangan-bank-lippo-selesai

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal. Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai