Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Di dunia kejadian cedera
kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus dari jumlah di atas 10%
penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan lebih dari 100.000 penderita menderita
berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala tersebut.
Dari seluruh kasus cedera kepala>80%--nya adalah cedera kepala ringan. Porsi yang
lebih sedikit ditempati oleh cedera kepala sedang dan berat. Insiden terbanyak adalah kelompok
usia produktif( terutama usia 15-24 tahun dan usia lanjut (>65 tahun). Cedera kepala lebih
banyak dialami oleh laki-laki dibandingkan perempuan. Cedera kepala adalah suatu gangguan
traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam
substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. Cedar kepala lebih sering dialami
oleh laki-laki dibandingkan perempuan. Pada trauma kepala diklasifikasikan menggunakan
skala koma Glasgow.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Cedera kepala atau trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala, baik secara
maupuan ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis(gangguan
fisik, kognitif, fungsi psikososial) baik temporer maupun permanen. Cedera kepala dapat
dibagi menjadi 3 yakni cedera kepala ringan, cedera kepala sedang dan cedera kepala berat.
Adapun penilaian klinis untuk menentukkan klasifikasi klinis dan tingkat kesadaran pada
pasien cedera kepala menggunakan metode skala koma Glasgow(Glasgow Coma Scale).
B. Anatomi
1. Anatomi kulit kepala
Kulit kepala menutupi cranium dan meluas dari linea nuchalis superior pada os occipitale
sampai margo supraorbitalis ossis frontalis. Ke arah lateral kulit kepala meluas lewat fascia
temporalis ke arcus zygomaticus. Kulit kepala terdiri dari lima lapis jaringan yang terdiri atas
skin(kulit), connective tissue (jaringan ikat), aponeurosis epicranialis (galea
aponeurotica),loose connective tissue (jaringan ikat spons)dan pericranium. Lapisan tersebut
biasa disebut dengan scalp.
2. Anatomi Tulang Kepala
Tengkorak membentuk rangka kepala dan muka, termasuk mandibula. Kranium
mempunyai dua bagian besar, yakni kalvaria (atap tengkorak)yang sering disebut
neurokranium dan Viscerocranium (tulang-tulang yang membentuk wajah)

a.Neuroccranium dibentuk oleh :


1. Os. Frontale
2. Os. Parietale
3. Os. Temporale
4. Os. Sphenoidale
5. Os. Occipitalis

b.Viscerocranium dibentuk oleh :


1. Os. Maksilare
2. Os. Palatinum
3. Os. Nasale
4. Os. Lacrimale
5. Os. Zygomatikum
6. Os. Concha nasalis inferior
7. Vomer
8. Os. Mandibulare
Gambar 1: Anatomi Tulang kepala
3. Anatomi System Syaraf Otak
Otak terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otakyang dibentuk oleh
mesensefalon, pons, dan medulla oblongata. Bila kalvaria dan dura mater disingkirkan, di
bawah lapisan arachnoid mater kranialis dan pia mater kranialis terlihat gyrus, sulkus, dan
fisura korteks serebri. Sulkus dan fisura korteks serebri membagi hemisfer serebri menjadi
daerah lebih kecil yang disebut lobus.

a. Serebrum(Otak Besar)
Serebrum adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri dari dua hemisfer.
Hemisfer kanan berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kiri dan hemisfer
kiri berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kanan. Masing-masing
hemisfer terdiri dari empat lobus.Bagian lobus yang menonjol disebut gyrus dan
bagian lekukan yang menyerupai parit disebut sulkus. Keempat lobus tersebut
masing-masing adalah lobus frontal, lobus parietal, lobus oksipital dan lobus
temporal.
i. Lobus parietal
Merupakan lobus yang berada di bagian tengah serebrum. Lobus parietal
bagian depan dibatasi oleh sulkus sentralis dan bagian belakang oleh garis
yang ditarik dari sulkus parieto-oksipital ke ujung posterior sulkus
lateralis (Sylvian). Daerah ini berfungsi untuk menerima impuls dari
serabut saraf sensorik thalamus yang berkaitan dengan segala bentuk
sensasi dan mengenali segala jenis rangsangan somatic.
ii. Lobus frontal
Merupakan bagian lobus yang ada dibagian paling depan dari serebrum.
Lobus ini mencakup semua korteks anterior sulkus sentral dari Rolando.
Pada daerah ini terdapat area motorik untuk mengontrol gerakan otot-otot,
gerakan bola mata; area broca sebagai pusat bicara;dan area prefrontal
(area asosiasi) yang mengontrol aktivitas intelektual
iii. Lobus temporal
Berada di bagian bawah dan dipisahkan dari lobus oksipital oleh garis
yang ditarik secara vertikal ke bawah dari ujung atas sulkus lateral.Lobus
temporal berperan penting dalam kemampuan10 pendengaran,
pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara.
iv. Lobus oksipital
berada dibelakang lobusparietal dan lobus temporal.Lobus ini
berhubungan dengan rangsangan visual yang memungkinkan manusia
mampu melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina
mata.
Gambar 2. Area Otak

b. Serebelum (Otak Kecil)


Serebelum atau otak kecil adalah komponen terbesar kedua otak.
Serebelumterletak di bagian bawah belakang kepala,
berada dibelakang 11 batang otak dan dibawah lobus oksipital,
dekat dengan ujung leher bagian atas.Serebelum adalah pusat tubuh dalam
mengontrol kualitas gerakan. Serebelum juga mengontrol banyak fungsi otomatis
otak, diantaranya: mengatur sikap atau posisi tubuh, mengontrol keseimbangan,
koordinasi otot dan gerakan tubuh. Selain itu, serebelum berfungsi menyimpan dan
melaksanakan serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan
mengendarai mobil, gerakan tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu dan
sebagainya

c. Batang Otak
Batang otak berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala bagian dasar
dan memanjang sampai medulla spinalis. Batang otak bertugas untuk mengontrol
tekanan darah, denyut jantung, pernafasan, kesadaran, serta pola makan dan tidur.
Bila terdapat massa pada batang otak maka gejala yang sering timbul berupa
muntah, kelemahan otat wajah baik satu maupun dua sisi, kesulitan menelan,
diplopia, dan sakit kepala ketika bangun
i. Mesensefalon
Atau otak tengah (disebut juga mid brain) adalah bagian teratas dari
batang otak yang menghubungkan serebrum dan serebelum. Saraf kranial
III dan IV diasosiasikan dengan otak tengah. Otak tengah berfungsi dalam
hal mengontrol respon penglihatan, gerakan mata,12 pembesaran pupil
mata, mengatur gerakan tubuh dan pendengaran
ii. Pons
Merupakan bagian dari batang otak yang berada diantaramidbrain dan
medulla oblongata. Pons terletak di fossa kranial posterior. Saraf Kranial
(CN) V diasosiasikan dengan pons.
iii. Pons
Merupakan bagian dari batang otak yang berada diantara midbrain dan
medulla oblongata. Pons terletak di fossa kranial posterior.Saraf Kranial
(CN) V diasosiasikan dengan pons.

C. Epidemiologi

Cedera kepala merupakan salah satu jenis cedera yang terbanyak di unit gawat darurat di
Amerika Utara dengan perkiraan satu juta kasus pertahun1. Cedera kepala sering terjadi di
negara industri, menyerap banyak pasien pada saat prima kehidupan3. Menurut Brain Injury
Assosiation of America, cedera kepala merupakan suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang
dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik.

Lebih dari 80% penderita yang datang ke ruang emergensi selalu disertai cedera kepala.
Sebagian besar cedera kepala disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, berupa tabrakan sepeda
motor, mobil, sepeda dan penyeberang jalan yang ditabrak. Sisanya disebabkan oleh jatuh dari
ketinggian, tertimpa benda (ranting pohon, kayu dll), olahraga, korban kekerasan (misalnya
senjata api, golok, parang, batang kayu, palu)2.
Cedera otak dapat terjadi akibat benturan langsung atau tidak langsung pada kepala. Benturan
dapat dibedakan dari macam kekuatannya, yakni kompresi, akselerasi dan deselerasi
(perlambatan). Kelainan dapat berupa cedera otak fokal atau difus dengan atau tanpa fraktur
tengkorak. Cedera fokal dapat menyebabkan memar otak, hematom epidural, hematom
subdural atau intraserebral. Cedera difus dapat menyebabkan gangguan fungsional saja, yakni
gegar otak atau cedera struktural lain yang difus4.

D. Patofisiologi

-Pukulan langsung

Dapat menyebabkan kerusakan otak pada sisi pukulan (coup injury) atau pada sisi yang
berlawanan dari pukulan ketika otak bergerak dalam tengkorak dan mengenai dinding yang
berlawanan (countrecoup injury)5.
- Rotasi/Deselerasi

Fleksi, ekstensi, atau rotasi leher menghasilkan serangan pada otak yang menyerang
titik-titik tulang dalam tengkorak (misalnya pada sayap dari tulang sfenoid). Rotasi yang hebat
juga menyebabkan trauma robekan di dalam substansia alba otak dan batang otak yang
menyebabkan cedera axonal dan bintik-bintik perdarahan intraserebral.

- Tabrakan

Otak sering terhindar dari trauma langsung kecuali jika berat (terutama pada anak-anak
dengan tengkorak yang elastis).

- Peluru

Peluru menyebabkan hilangnya jaringan seiring dengan trauma. Pembengkakan otak


merupakan masalah akibat disrupsi tengkorak yang secara otomatis menekan otak. Derajat
cedera otak primer secara langsung berhubungan dengan jumlah kekuatan yang mengenai
kepala. Kerusakan sekunder terjadi akibat komplikasi sistem pernapasan (hipoksia,
hiperkarbia, obstruksi jalan napas), perdarahan intrakranial, edema serebral, epilepsi, infeksi
dan hidrosefalus.
E. Klasifikasi
Tumpul

Mekanisme
Tajam/tembus

Ringan

Berat-ringannya
Sedang
cedera

Berat

Linier

Diastase

Kalvaria

Comminuted

Cedera kepala Depressed


Morfolologi Fraktur tulang

Fossa anterior

Basiis Cranii Fossa media

Fossa posterior

Kontusio cerebri

Kerusakan fokal Laserasi

Perdarahan
Kerusakan intrakranial
primer

Diffuse Axonal
Injury (DAI)
Kerusakan difus
Lesi intrakranial
Diffuse Vascular
Injury (DVI)
Diffuse hypoxic-
ischemic damage
Kerusakan
sekunder
Diffuse brain
swelling

Sumber:
1
Buku Panduan Advanced Traumatic Life Suport edisi 8. 2008. Komisi Trauma Ikatan Ahli
Bedah Indonesia.
2
Japardi I. Cedera Kepala. 2004. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi
klasifikasi yaitu berdasarkan:

1. Berdasarkan mekanisme cedera

Cedera otak secara luas dapat dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera otak tumpul
biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau pukulan benda tumpul.
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak dan bacok1.

2. Beratnya cedera
- Cedera kepala ringan/minor

Cedera otak ringan ditandai dengan GCS 13-15, pasien biasanya sadar dengan penuh dan
terbangun setelah cedera kepala dengan satu atau lebih gejala sakit kepala, pucat, mual, episode
tunggal muntah, sulit berkonsentrasi atau penglihatan kabur3. Sebagian besar pasien cedera
otak ringan pulih sempurna. Kurang lebih 3% mengalami perburukan dengan hasil gangguan
neurologis hebat apabila tidak terdeteksi lebih dini. Pasien juga dapat memiliki gejala sisa yang
menetap seperti nyeri kepala kronik, gangguan tidur dan ingatan1.

Survei sekunder sangat penting pada evaluasi pasien dengan cedera otak ringan. Catat
mekanisme cedera, dengan memperhatikan apakah adanya kehilangan kesadaran, termasuk
lama durasi pasien tidak memberikan respon, adanya kejang dan derajat kesadaran. Pastikan
apakah ada amnesia sebelum (retrograde) dan sesudah (antegrade). Tentukan berat-ringannya
nyeri kepala dan catat waktu yang dibutuhkan pasien untuk kembali menjadi GCS 15 dengan
cara pemeriksaan berkala/serial1.

- Cedera kepala sedang

Cedera otak sedang ditandai dengan GCS 9-12, pasien biasanya tidak koma tetapi
mengalami konfusi yang menetap, perubahan tingkah laku, kesadaran kurang dari normal,
pusing ekstrim, atau tanda neurologik fokal seperti hemiparesis, harus dirawat di rumah sakit
dan menjalani pemeriksaan CT scan. Mayoritas pasien dengan cedera sedang mengalami
perbaikan setelah 1 sampai 6 minggu. Selama minggu pertama, kesadaran, sifat mudah marah,
ingatan, dan penampilan mental berfluktuasi3.

- Cedera kepala berat

Cedera otak berat ditandai dengan GCS 3-8, pasien dengan cedera kepala berat tidak
mampu melakukan perintah sederhana walaupun status cardiopulmonernya telah stabil. Cedera
otak sering diperburuk akibat cedera sekunder. Pasien cedera otak berat dengan hipotensi
mempunyai mortalitas dua kali lebih banyak dibanding dengan pasien tanpa hipotensi1.

3. Morfologi

Fraktur tulang

Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak. Fraktur dapat berbentuk
garis/linier atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur linier merupakan
80% dari semua fraktur tulang tengkorak dan paling sering berkaitan dengan hematoma
subdural atau epidural3. Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan
dengan teknik “bone window” untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis
fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih
rinci1.

- Fraktur basiis cranii fossa anterior2

Lokasi : bagian posterior dari fossa anterior, dibatasi oleh os. Sphenoid, processus clinoidalis
anterior dan jugum sphenoidalis.

Manifestasi klinis :

 Ekimosis periorbita (brill hematom/racoon eyes/panda eyes), memiliki batas yang


tegas, selalu terletak dibawah tepi orbita (orbital rim), manifestasi perlahan 12-24 jam
gambaran jelas.
 Hematom subkonjungtiva tidak memiliki tepi yang jelas ke arah posterior.
 Anosmia (cedera N.1)
 Rhinorea (akibat kebocoran cairan LCS).

- Fraktur basiis cranii fossa media2


Lokasi :

 Bagian anterior berbatasan dengan fossa anterior


 Bagian posterior dibatas pyramida os. Temporalis, processus clinoidalis posterior dan
dorsum sella.

Manifestasi klinis :

 Ekimosis mastoid (Battle’s sign)


 Otorrhea (berisi cairan LCS)
 Hemotympanum
 Paresis N. VII/N. VIII (parase otot wajah dan gangguan kehilangan pendengaran)

- Fraktur basiis cranii fossa posterior2

Lokasi : dasar kompartemen infratentorial.

Manisfestasi klinis : sering disertai gejala dan tanda yang tidak jelas yang dapat menimbulkan
kematian segera. Terdapat memar pada mastoid (Battle’s sign).

4. Lesi intrakranial

Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai lesi fokal atau lesi difus, walaupun kedua
jenis lesi ini sering terjadi bersamaan1.

Lesi fokal

- Perdarahan Epidural (EDH/Epidural Hematom)

Perdarahan epidural relatif jarang terjadi, lebih kurang 0,5% dari semua cedera otak dan
9% dari pasien yang mengalami koma. Hematoma epidural secara tipikal berbentuk bikonveks
atau cembung sebagai akibat dari pendorongan perdarahan terhadap duramater yang sangat
melekat di tabula interna tulang kepala. Sering terletak di area temporal atau temporoparietal
dan biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.
Gumpalan darah yang terjadi biasanya berasal dari pembuluh arteri, namun dapat juga terjadi
akibat robekan dari sinus vena besar maupun fraktur tulang tengkorak1. EDH bifrontal sering
terjadi pada anak dan bayi. Pada fase awal, pasien tidak menunjukkan gejala/tanda. Pada fase
lanjut, pasien mengeluhkan sakit kepala, mual, muntah, penurunan kesadaran, dan adanya
gejala neurologik seperti pupil anisokor2.

- Perdarahan Subdural (SDH/Subdural Hematom)

Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural, kira-kira 30% dari
cedera otak berat. Perdarahan ini sering terjadi akibat robekan pembuluh darah atau vena-bena
kecil dipermukaan korteks serebri. Pada pemeriksaan CT scan, SDH berbentuk cekung karna
perdarahan subdural biasanya mengikuti dan menutupi permukaan hemisfer otak. Lebih lanjut
adalah kerusakan otak yang berada di bawah perdarahan subdural biasanya lebih berat dan
prognosisnya lebih buruk daripada perdarahan epidural1.

- Kontusio dan perdarahan intraserebral

Kontusio serebri sering terjadi (20% sampai 30% dari cedera otak berat). Sebagian besar
terjadi di lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian otak.
Kontusio serebri dalam waktu beberapa jam atau hari dapat berkumpul menjadi perdarahan
intraserebral atau kontusio yang luas sehingga menyebabkan lesi desak ruang yang
membutuhkan operasi.
F. Pemeriksaan Fisik

- Pemeriksaan refleks pupil

- GCS (Glasgow Coma Scale)

- FOUR score (the Full Outline of Unresponsiveness)


G. Fraktur Tulang Kepala

Fraktur tulang kepala atau tengkorak dapat terjadi pada atap maupun dasar tengkorak,
dapat berbentuk garis atau bintang, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Adanya tanda-
tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan kita untuk melakukan
pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eyes
sign), ekimosis retroaurikular (battle’s sign), kebocoran cairan serebrospinal dari hidung
(rhinorrhea) atau dari telinga (otorrhea) dan gangguan fungsi saraf kranialis VII (fasialis) dan
VII (gangguan pendengaran) yang mungkin timbul segera atau beberapa hari paska trauma
kepala.

1. Perdarahan Intrakranial

a. Perdarahan Subgaleal

Subgaleal hematoma adalah perdarahan antara periosteum dan galea


aponeurosis. Sebagian besar terjadi karena tindakan vaccum pada saat persalinan
(ventouse assisted delivery), dimana terjadi ruptur pada vena emissary (penghubung
antara dural sinus dan vena scalp) yang menyebabkan akumulasi darah dibawah
aponeurosis dan di permukaan periosteum. Subgaleal hematoma juga sering terjadi
pada trauma kepala, perdarahan intrakranial, atau fraktur tengkorak. Hal-hal tersebut
tidak berhubungan secara signifikan dengan tingkat keparahan perdarahan subgaleal.
2. Perdarahan Epidural

Perdarahan epidural adalah perdarahan antara tulang kranial dan duramater, yang
biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea media. Kelainan ini pada fase awal tidak
menunjukkan gejala atau tanda. Baru setetelah hematoma bertambah besar akan terlihat tanda
pendesakan dan peningkatan tekanan intrakranial. Penderita akan mengalami mual dan muntah
diikuti dengan penurunan kesadaran. Gejala perdarahan epidural yang klasik atau temporal
berupa kesadaran yang semakin menurun (biasanya somnolen), disertai oleh anisokoria pada
mata ke sisi dan mungkin terjadi hemiparese kontralateral.

3. Perdarahan Subdural

Perdarahan subdural adalah perdarahan yang terletak diantara duramater dan arakhnoid.
Perdarahan subdural merupakan perdarahan intrakranial yang paling sering terjadi.
Karakteristik perdarahan subdural biasanya dibagi berdasarkan ukuran, lokasi dan lama
kejadian.

a. Perdarahan subdural akut

Secara umum perdarahan subdural akut terjadi dibawah 72 jam dan biasanya
pasien dalam keadaan koma. Gejala klinis perdarahan subdural akut dapat berupa
pusing, mual, bingung, penurunan kesadaran, sulit berbicara, henti napas dan
hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.

b. Perdarahan subdural subakut

Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi dari hari ketiga hingga minggu
ketiga setelah cedera.

c. Perdarahan subdural kronis

Perdarahan subdural kronis biasanya terjadi setelah 21 hari atau lebih. 25 hingga
50 persen dari pasien yang menderita perdarahan subdural kronis tidak memiliki
riwayat trauma kepala, biasanya trauma kepala yang terjadi adalah trauma kepala
ringan. Gejala klinis dari perdarahan ini dapat berupa penurunan kesadaran, pusing,
kesulitan berjalan atau keseimbangan, disfungsi kognitif atau hilang ingatan,
perubahan kepribadian, defisit motorik, kejang, dan inkontinensia.
4. Perdarahan Subarachnoid

Perdarahan subarachnoid adalah ekstravasasi darah ke dalam rongga subaraknoid yang


terdapat di antara lapisan piamater dan membran araknoid. Etiologi yang paling sering dari
perdarahan subaraknoid non traumatik adalah pecahnya aneurisma intrakranial (berry
aneurism). Gejala klinisnya biasanya tampak sepuluh hingga dua puluh hari setelah terjadinya
ruptur. Gejala yang paling sering berupa sakit kepala, nyeri daerah orbital, diplopia, gangguan
penglihatan, gangguan sensorik dan motorik, kejang, ptosis, disfasia.

5. Perdarahan Intraventrikular

Perdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah pada ventrikel otak.


Perdarahan intraventrikular selalu timbul apabila terjadi perdarahan intraserebral.

6. Perdarahan Intraserebral

Perdarahan intraserebral merupakan penumpukan darah pada jaringan otak yang


semakin lama semakin banyak dan menimbulkan tekanan pada jaringan otak sekitar. Hal ini
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial yang dapat menyebabkan konfusi dan letargi.
Gejala klinis biasanya timbul dengan cepat bergantung pada lokasi perdarahan. Gejala yang
paling sering adalah sakit kepala, nausea, muntah, letargi atau konfusi, kelemahan mendadak
atau kebas pada wajah, tangan atau kaki yang biasanya pada satu sisi, hilangnya kesadaran,
hilang penglihatan sementara, dan kejang.

H. Pemeriksaan radiologi

Indikasi Pemeriksaan Radiologis

Tidak semua pasien dengan cedera kepala membutuhkan pemeriksaan neuroradiologis.


Penelitian menunjukkan bahwa kurang dari 10% pasien dengan cedera kepala ringan ternyata
memiliki hasil yang positif pada pemeriksaan CT scan, dimana kurang dari 1% yang
membutuhkan intervensi. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada sejumlah kecil pasien yang
diuntungkan dengan pencitraan radiologis.

Pasien harus diperiksa secara klinis dan diagnosis dibuat berdasarkan apakah pada
pemeriksaan fisik dan riwayat perjalanan penyakit menunjukkan cedera kepala sedang hingga
berat atau cedera kepala ringan. CT, MRI, atau radiografi tengkorak tidak diperlukan untuk
pasien berisiko rendah. Risiko rendah didefinisikan sebagai mereka yang tidak menunjukkan
gejala atau hanya pusing, sakit kepala ringan, kulit kepala lecet, atau hematoma, usia lebih dari
2 tahun, dan tidak memiliki temuan yang berisiko sedang ataupun tinggi.

Pasien dengan resiko sedang adalah mereka yang memiliki salah satu kondisi berikut:
riwayat penurunan tingkat kesadaran beberapa waktu ataupun setelah terjadi cedera kepala,
sakit kepala berat atau progresif, kejang pasca-trauma, muntah terus menerus, multipel trauma,
cedera wajah yang serius, tanda-tanda dari fraktur tengkorak basilar (hemotympanum,
“raccoon eyes”, rinorrea atau otorrea), dugaan kekerasan pada anak, gangguan perdarahan, atau
usia lebih muda dari 2 tahun.

Pasien berisiko tinggi adalah mereka dengan salah satu kondisi berikut: temuan
neurologis fokal, pasien dengan derajat kesadaran berdasarkan GCS dengan skor 8 atau kurang,
dipastikannya terdapat penetrasi tengkorak, gangguan metabolik, keadaan postictal, atau
penurunan atau depresi tingkat kesadaran (tidak berhubungan dengan narkoba, alkohol , atau
obat-obatan depresan pada system saraf pusat lainnya). Jika terdapat cedera sedang atau berat
dan pasien dengan kondisi neurologis yang tidak stabil, CT scan harus dilakukan untuk
menyingkirkan adanya hematoma. Jika pasien dengan kondisi neurologis yang stabil, MR scan
lebih digunakan untuk mencari cedera dengan penekanan parenkim. Dalam cedera kepala
ringan (tanpa kehilangan kesadaran atau defisit neurologis), pasien dapat hanya diobservasi.
Jika sakit kepala terus-menerus terjadi setelah trauma, CT scan harus dilakukan.

1. Foto Polos Kepala


Foto polos kepala hanya menunjukkan ada tidaknya patah tulang, dan tidak
mampu menghasilkan visibilitas yang baik pada otak atau adanya darah untuk
menunjukkan cedera intrakranial. Adanya patah tulang tengkorak tanpa kelainan
neurologis tidak begitu signifikan. Patah tulang tengkorak yang ditentukan berdasarkan
pemeriksaan foto polos kepala pada pasien dengan cedera kepala ringan telah
dilaporkan dengan angka sangat rendah, mulai dari 1,9% hingga 4,3%. Patah tulang
tengkorak tidak selalu berarti cedera intrakranial yang signifikan, meskipun tidak
adanya patah tulang tengkorak, pasien dapat memiliki kelainan patologis yang
signifikan pada intrakranialnya.

Foto polos kepala sangat membantu pada pasien yang dicurigai tidak cedera
akibat kecelakaan, patah tulang tengkorak depresi, cedera kepala akibat penetrasi oleh
benda asing, atau trauma kepala pada anak-anak kurang dari 2 tahun,walaupun tanpa
gejala neurologis.
a. Fraktur pada Tulang Tengkorak

Pemeriksaan foto polos kepala untuk melihat pergeseran (displacement) fraktur


tulang tengkorak, tetapi tidak dapat menentukan ada tidaknya perdarahan
intrakranial. Fraktur pada tengkorak dapat berupa fraktur impresi (depressed
fracture), fraktur linear, dan fraktur diastasis (traumatic suture separation). Fraktur
impresi biasanya disertai kerusakan jaringan otak dan pada foto terlihat sebagai
garis atau dua garis sejajar dengan densitas tinggi pada tulang tengkorak (Gambar
9.a). Fraktur linear harus dibedakan dari gambaran pembuluh darah normal atau
dengan garis sutura interna, yang tidak bergerigi seperti sutura eksterna. Garis
sutura interna bersifat superimposisi pada sutura yang bergerigi, sedangkan fraktur
akan menyimpang dari itu di beberapa titik. Selain itu, pada foto polos kepala,
fraktur ini terlihat sebagai garis radiolusen, paling sering di daerah parietal (Gambar
9.a). Garis fraktur biasanya lebih radiolusen daripada pembuluh darah dan arahnya
tidak teratur. Fraktur diastasis lebih sering pada anak-anak dan terkihat sebagai
pelebaran sutura (Gambar 9.a).

Gambar Gambaran Fraktur Impresi (kiri), Fraktur Linear (tengah),


dan Fraktur Diastasis (kanan) pada Foto Polos Kepala
2. CT scan pada Trauma Kepala

Dengan CT scanisi kepala secara anatomis akan tampak dengan jelas. Pada trauma
kepala, fraktur, perdarahan dan edema akan tampak dengan jelas baik bentuk maupun
ukurannya. Indikasi pemeriksaan CT scanpada kasus trauma kepala adalah seperti
berikut:

1. Bila secara klinis didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang dan berat.

2. Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak.

3. Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii.

4. Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan kesadaran.

5. Sakit kepala yang hebat.

6. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan


otak.

7. Kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral.

Melalui pemeriksaan ini dapat dilihat seluruh struktur anatomis kepala, dan merupakan
alat yang paling baik untuk mengetahui, menentukan lokasi dan ukuran dari perdarahan
intrakranial.
a.
Interpretasi Gambaran CT Scan pada Trauma Kepala

i. Fraktur Tulang Kepala

Fraktur pada dasar tengkorak seringkali sukar dilihat. Fraktur dasar


tengkorak (basis kranii) biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan
dengan teknik “Jendela Tulang” (bone window) untuk mengidentifikasi
garis frakturnya. Fraktur dasar tengkorak yang melintang kanalis
karotikus dapat mencederai arteri karotis (diseksi, pseuoaneurisma
ataupun trombosis) perlu dipertimbangkan untuk dilakukan pemeriksaan
angiography cerebral.
Gambar . Gambaran Fraktur Basis Kranii pada
CT Scan Kepala

Pada Gambar 10, memperlihatkan gambaran fraktur tulang temporal petrous kiri, yang
melibatkan telinga tengah (panah kecil). Dapat dilihat juga adanya gambaran sedikit udara
pada fossa posterior dari tulang tengkorak (panah terbuka).

ii. Perdarahan Epidural

Hematoma epidural didefinisikan sebagai perdarahan ke dalam ruang


antara duramater, yang tidak dapat dipisahkan dari periosteumtengkorak
dan tulang yang berdekatan

Hematoma epidural biasanya dapat dibedakan dari hematoma subdural


dengan bentuk bikonveks dibandingkan dengan crescent-shape dari
hematoma subdural. Selain itu, tidak seperti hematoma subdural,
hematoma epidural biasanya tidak melewati sutura. Hematoma epidural
sangat sulit dibedakan dengan hematoma subdural jika ukurannya kecil.
Dengan bentuk bikonveks yang khas,elips, gambaran CT scan
padahematoma epidural tergantung pada sumber perdarahan, waktu
berlalu sejak cedera, dan tingkat keparahan perdarahan. Karena
dibutuhkan diagnosis yang akurat dan perawatan yang cepat, diperlukan
pemeriksaan CT scan dengan cepat dan intervensi bedah saraf

Pada Gambar 11, pasien mengalami kecelakaan kendaraan bermotor,


terlihat peningkatan kepadatan (hiperdens) di daerah lenticular pada CT
Scan aksial non kontras di wilayah parietalis kanan. Ini biasanya terjadi
akibat pecahnya arteri meningeal media. Sedikit perdarahan juga terlihat
di lobus frontal kiri (perdarahan intraserebral).
Gambar . Gambaran Perdarahan Epidural pada
CT Scan Kepala Non-kontras

III.3.2.3 Perdarahan Subdural

Sebelum CT scan dan teknologi pencitraan magnetik (MRI), hematoma subdural


didiagnosis hanya berdasarkan efek massa, yang digambarkan sebagai perpindahan dari
pembuluh darah pada angiogram atau sebagai kalsifikasi kelenjar hipofisis pada foto polos
kepala. Munculnya CT scan dan MRI telah menjadi pilihan diagnosik rutin bahkan untuk
perdarahan kecil.

Temuan CT scan dalam hematoma subdural tergantung pada lamanya perdarahan


(Gambar 11).

Pada fase akut, hematoma subdural muncul berbentuk bulan sabit, ketika cukup besar,
hematoma subdural menyebabkan pergeseran garis tengah. Pergeseran dari gray matter-white
matter junction merupakan tanda penting yang menunjukkan adanya lesi.

Gambar 13. Gambaran Perdarahan Subdural pada CT


Scan

Jika ditemukan hematoma subdural pada CT


scan, penting untuk memeriksa adanya cedera terkait
lainnya, seperti patah tulang tengkorak (Gambar 14), kontusio intra parenkimal, dan darah pada
subaraknoid (Gambar 14). Adanya cedera parenkim pada pasien dengan hematoma subdural
adalah faktor yang paling penting dalam memprediksi hasil klinis mereka.
Gambar 14. Gambaran Perdarahan Subdural dengan Fraktur Tengkorak (kiri)
dan Perdarahan Subdural disertai Perdarahan Subarakhnoid (kanan)

III.3.2.4 Perdarahan Subaraknoid

Pada CT scan, perdarahan subaraknoid (SAH) terlihat mengisi ruangan subaraknoid


yang biasanya terlihat gelap dan terisi CSF di sekitar otak. Rongga subaraknoid yang biasanya
hitam mungkin tampak putih di perdarahan akut. Temuan ini paling jelas terlihat dalam rongga
subaraknoid yang besar.

Gambar 15. Gambaran Perdarahan Subarakhnoid


pada CT Scan Kepala

Ketika CT scan dilakukan beberapa hari atau minggu setelah perdarahan awal, temuan
akan tampak lebih halus. Gambaran putih darah dan bekuan cenderung menurun, dan tampak
sebagai abu-abu. Sebagai tambahan dalam mendeteksi SAH, CT scan berguna untuk
melokalisir sumber perdarahan.

III.3.2.5 Perdarahan Intraserebral

Perdarahan intraserebral biasanya disebabkan oleh trauma terhadap pembuluh darah,


timbul hematoma intraparenkim dalam waktu ½-6 jam setelah terjadinya trauma. Hematoma
ini bisa timbul pada area kontralateral trauma. Pada CT scan sesudah beberapa jam akan
tampak daerah hematoma (hiperdens), dengan tepi yang tidak rata.
Gambar 17. Gambaran Perdarahan Intraserebral pada CT Scan Kepala

III.3.2.6 Perdarahan Intraventrikular

Perdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah pada ventrikel otak.


Perdarahan intraventrikular selalu timbul apabila terjadi perdarahan intraserebral (Gambar
18).Pada perdarahan intraventrikular akan terlihat peningkatan densitas dari gambaran CT scan
kepala. Jika terlambat ditangani, perdarahan intraventrikular akan menyebabkan terjadinya
ventrikulomegali pada sistem ventrikel (hidrosefalus) dari gambaran CT scan.

Gambar 18. Gambaran Perdarahan Intraserebral disertai


Perdarahan Intraventrikular pada CT Scan Kepala

I.
BAB III

LAPORAN KASUS

Nama pasien : An Dv
Umur : 16 tahun
Alamat : Ngawen 04/03 Botoputih
Kunjungan RS : 29 November 2018
No. RM : 00272346

1. Anamnesis

A. Keluhan Utama
Post Kecelakaan Lalu Lintas

B. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang tidak sadar setelah post Kecelakaan Lalu Lintas
C. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat penyakit serupa (tidak ditanyakan).

Riwayat hipertensi dan DM (tidak ditanyakan)

D. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat penyakit serupa (tidak ditanyakan)

Riwayat hipertensi dan DM (tidak ditanyakan).


2. Pemeriksaan Fisik

KU : Pasien tidak sadar

Kesadaran : Coma

Vital Sign : TD : 140/100 mmhg

Nadi : 90x/menit

T : 36oC

RR : 22 x/menit.

SpO2 :100%

GCS :E1V1M1

Kepala : terdapa hematom pada tempoparietalis deksta

Thorax

Inspeksi : simetris, jejas (-)

Perkusi : sonor

Palpasi : tidak ada ketinggalan gerak

Auskultasi : SDV (+/+), suara jantung SI / SII regular

Abdomen

Inspeksi : datar, jejas (-)

Auskultasi : bising usus (+)

Perkusi : timpani

Palpasi : supel , nyeri tekan (-)

Ekstremitas :

Inspeksi :tampak adanya deformitas pada genu sinistra


3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan CT-SCAN Cranium

4. Diagnosis :

Cedera Kepala Berat

5. Tatalaksana

Infus RL 20 tpm syringe pump dobutamin

Infus Dexketo 2A 20 tpm Injeksi Ranitidin 2x1

Infus Asering 20tpm Intubasi+ventilator

Injeksi Manitol 250 mg(ekstra)

Injeksi Piracetam 3 gr(ekstra)

Injeksi ceftriaxone 2x1


BAB IV

PEMBAHASAN

Cedera kepala berat merupakan suatu kegawatdaruratan medis dimana apabila tidak
ditangani dengan cepat akan fatal. Penanganan pertama pada cedera kepala berat adala primary
survey yaitu:

1. Airway  menjaga jalan nafas dan kontrol servikal.

2. Breathing  menjaga pernafasan dengan ventilasi

3. Circulation  resusitasi cairan intravena.

4. Dissability  status neurologi dinilai dengan menilai tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi
pupil.

5. Exposure  membuka baju pasien untuk melihat apakah ada cedera lainnya tetapi harus
cegah hipotermia

- Secondary survey : riwayat AMPLE

A : Alergi

M : Medikasi

P : Past Illness (penyakit penyerta)/Pregnancy

L : Last meal

E : Event/Enviroment (lingkungan) yang berhubungan dengan kejadian perlukaan.

Untuk tindakan selajutnya adalah mengotrol tekanan intracranial dan mengontrol


pendarahan. Pemeriksaan penunjan sangat penting terutama pemeriksaan CT-SCA dengan
kontras untuk mengetahui lokasi pendarahan.
BAB V

KESIMPULAN

Trauma kepala adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa struktur kepala
sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak.
Berdasarkan Skala Koma Glasgow, trauma kepala dibagi atas trauma kepala ringan (SKG 14-
15), sedang (SKG 9-13) dan berat (SKG 3-8). Trauma kepala dapat menimbulkan perdarahan
intrakranial berupa fraktur yulang kepala, perdarahan epidural, perdarahan subdural,
perdarahan subarakhnoid, perdarahan intraventrikular, dan perdarahan intraserebral.
Pemeriksaan foto polos kepala digunakan untuk melihat pergeseran (displacement) fraktur
tulang tengkorak, tetapi tidak dapat menentukan ada tidaknya perdarahan intrakranial.
Pemeriksaan tomografi komputer(CT Scan) kepala sangat berguna pada trauma kepala
karena isi kepala secara anatomis akan tampak dengan jelas. Pada trauma kepala, fraktur,
perdarahan dan edema akan tampak dengan jelas baik bentuk maupun ukurannya.

.
DAFTAR PUSTAKA

1. American College of Surgeons. Advance Trauma Life Support For Doctor. 7th ed.
2004. USA: First Impression.

2. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I. Radiologi Diagnostik. Edisi 7. 2001. Balai


Penerbit FKUI

3. Snell RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi ke -6. 2006.Jakarta:
EGC.
4.
Irwan O. Trauma Kepala. Fakultas Kedokteran Universitas Riau. 2006.

5. Mansjoer A., Suprohaita, Wardhani WI., SetiowulanW. Kapita Selekta Kedokteran.


Edisi Ketiga. 2000. Jakarta: Media Aesculapius.

6. Malueka R. G. Radiologi Diagnostik.Edisi 2. 2007. Yogyakarta: Pustaka Cendekia


Press Yogyakarta

7.

Anda mungkin juga menyukai