Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PORTOFOLIO RUMAH SAKIT

KASUS MEDIK

SEORANG ANAK LAKI-LAKI 7 TAHUN DENGAN

OBS. KEJANG ec. EPILEPSI

Disusun oleh:
dr. Tutut Setyani

Pendamping:
dr. Rizkiyah Prabawanti

PROGRAM DOKTER INTERNSIP


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. R. SOETIJONO BLORA
2018 - 2019
Berita Acara Presentasi Portofolio

Pada hari ini tanggal Januari 2019 telah dipresentasikan portofolio oleh :
Nama : dr. Tutut Setyani
Judul/Topik : Seorang anak laki – laki 7 tahun dengan obs. Kejang ec. epilepsi
Nama Pendamping : dr. Rizkiyah Prabawanti
Nama Wahana : RSUD Dr. R. Soetijono Blora

No Nama Peserta Presentasi Tanda Tangan


1. 1.
2. 2.
3. 3.
4. 4.
5. 5.
6. 6.
7. 7.

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesunguhnya.

Pendamping,

dr. Rizkiyah Prabawanti


NIP

2
TOPIK : Kejang
Tanggal (Kasus) : Presenter : dr. Tutut Setyani
Tanggal Presentasi : Pendamping : dr. Rizkiyah Prabawanti
Tempat Presentasi : RSUD dr. R. Soetijono Blora
Obyektif Presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatu Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
s
Deskripsi :
Pasien datang ke IGD dengan keluhan kejang di rumah 1x sekitar jam 21.30.
Kejang terjadi tiba-tiba pada saat pasien sedang tidur, tiba-tiba kejang selama 1
menit. Kejang diseluruh tubuh disertai kaku dan kelojotan, pasien dalam keadaan
tidak sadar. Saat kejang, mata memandang keatas, lidah tidak tergigit tapi keluar
lendir berbusa muntahan makanan dari mulut pasien, lalu kejang berhenti sendiri.
Setelah kejang selesai, pasien kembali sadar dan gelisah kemudian tertidur. Riwayat
demam disangkal. Riwayat trauma kepala disangkal. Makan minum seperti biasa,
BAK normal, BAB normal.
Pasien sebelumnya tidak pernah sakit seperti ini. Sakit hanya batuk pilek
biasa dan dibawa ke dokter lalu sembuh. Orang tua tidak pernah memeriksakan soal
gangguan tumbuh kembangnya dan hanya dipijat tradisional saja.
Tujuan :
1. Mengetahui penegakan diagnosis kejang ec. epilepsi
2. Mengetahui penatalaksanaan kejang
Bahan Bahasan Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit
Cara Membahas Diskusi Presentasi dan Diskusi E-mail Pos
DATA PASIEN Nama : An. M No. Registrasi :
Nama Klinik : IGD Telp : - Terdaftar sejak :
Data utama untuk bahan diskusi :
1. Diagnosis : Obs. Kejang ec. Epilepsi
2. Gambaran Klinis (Riwayat Penyakit Sekarang)
Pasien datang ke IGD dengan keluhan kejang di rumah 1x sekitar jam 21.30.
Kejang terjadi tiba-tiba pada saat pasien sedang tidur, tiba-tiba kejang selama 1
menit. Kejang diseluruh tubuh disertai kaku dan kelojotan, pasien dalam keadaan
tidak sadar. Saat kejang, mata memandang keatas, lidah tidak tergigit tapi keluar

3
lendir berbusa muntahan makanan dari mulut pasien, lalu kejang berhenti sendiri.
Setelah kejang selesai, pasien kembali sadar dan gelisah kemudian tertidur. Riwayat
demam disangkal. Riwayat trauma kepala disangkal. Makan minum seperti biasa,
BAK normal, BAB normal.
Pasien sebelumnya tidak pernah sakit seperti ini. Sakit hanya batuk pilek
biasa dan dibawa ke dokter lalu sembuh. Orang tua tidak pernah memeriksakan soal
gangguan tumbuh kembangnya dan hanya dipijat tradisional saja.
Sekitar jam 22.15 saat pasien hendak di transfer ke bangsal tiba – tiba pasien
muntah 1x. Diberikan inj. Odr 1mg bolus iv pelan.
Kemudian jam 22.25 pasien tiba – tiba kejang, tangan dan kaki kaku, mata
mendelik ke atas lalu diberikan diazepam bolus 4mg. lalu pasien mengalami
penurunan kesadaran. 30 menit kemudian pasien sadar.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
• Alergi : Disangkal
• Sakit paru : Disangkal
• Sakit jantung : Disangkal
• Dyspepsia : Disangkal
• Kejang : Disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
• Hipertensi : Disangkal
• Diabetes mellitus : Disangkal
• Sakit jantung : Disangkal
• Sakit paru : Disangkal
• Epilepsi : Diakui (Simbah)
5. RIWAYAT PENGOBATAN
Pasien belum mendapat pengobatan sama sekali
6. RIWAYAT KELAHIRAN
Riwayat kelahiran pasien dilahirkan cukup bulan dengan operasi karena partus lama.
7. RIWAYAT TUMBUH KEMBANG
Pasien mengalami keterlambatan perkembangan, saat ini pasien belum bisa bicara,
pasien bisa merangkak usia 2 tahun, bisa berjalan usia 3,5 tahun. Dan sekarang sekolah
di SLB.
8. RIWAYAT PEMBERIAN ASI
Riwayat ASI hanya 4 bulan.

4
9. RIWAYAT IMUNISASI
Riwayat imunisasi lengkap.
DAFTAR PUSTAKA :
Terlampir
HASIL PEMBELAJARAN :
1. Mengetahui penegakkan diagnosis kejang
2. Mengetahui penatalaksanaan kejang

I. SUBJECTIVE

Keluhan Utama : Kejang

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke IGD dengan keluhan kejang di rumah 1x sekitar jam 21.30. Kejang
terjadi tiba-tiba pada saat pasien sedang tidur, tiba-tiba kejang selama 1 menit. Kejang
diseluruh tubuh disertai kaku dan kelojotan, pasien dalam keadaan tidak sadar. Saat
kejang, mata memandang keatas, lidah tidak tergigit tapi keluar lendir berbusa muntahan
makanan dari mulut pasien, lalu kejang berhenti sendiri. Setelah kejang selesai, pasien
kembali sadar dan gelisah kemudian tertidur. Riwayat demam disangkal. Riwayat trauma
kepala disangkal. Makan minum seperti biasa, BAK normal, BAB normal.
Pasien sebelumnya tidak pernah sakit seperti ini. Sakit hanya batuk pilek biasa dan
dibawa ke dokter lalu sembuh. Orang tua tidak pernah memeriksakan soal gangguan
tumbuh kembangnya dan hanya dipijat tradisional saja.
Sekitar jam 22.15 saat pasien hendak di transfer ke bangsal tiba – tiba pasien muntah
1x. Diberikan inj. Odr 1mg bolus iv pelan.
Kemudian jam 22.25 pasien tiba – tiba kejang, tangan dan kaki kaku, mata mendelik
ke atas lalu diberikan diazepam bolus 4mg. lalu pasien mengalami penurunan kesadaran.
30 menit kemudian pasien sadar.

5
II. OBJECTIVE

PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 20 September 2018)

STATUS INTERNA

• Kesadaran :Compos Mentis / E4M6V5 GCS = 15


• Keadaan umum :Tampak sakit sedang
• Gizi : Kurang
• Tanda vital
TD :101/68 mmHg
Nadi : 97x/menit
Pernafasan : 22 x/menit
Suhu : 36,7°C
Berat Badan : 13 Kg
• Kepala : Mesocephale
• Mata : Pupil isokor, Reflek +/+, lebar pupil 2/2, konjungtiva anemis (-/-),
Sklera ikterik (-/-)
• Hidung : Nafas cuping hidung (-/-), sekret (-/-).
• Telinga : Discharge (-/-)
• Mulut : Sianosis (-/-)
• Leher :Simetris, Tidak ada pembesaran limfonodi
• Kulit : Petekie (-/-), Ruam (-/-), Ikterus (-/-), Sianosis (-/-)
THORAX
• Pulmo :
 Inspeksi : hemithorax dextra et sinistra simetris, retraksi ICS (-/-)
 Palpasi : Nyeri (-/-), stem fremitus simetris normal
 Perkusi : Sonor (+/+)
 Auskutasi : SDV (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
• Cor :
 Inspeksi : Ictus cordis tampak 2 cm medial linea midclavicula
 Palpasi : Ictus cordis teraba tidak kuat angkat
 Perkusi :
 Batas atas : ICS II, Linea parasternal sinistra
 Batas kanan : ICS VI, 2 cm medial Linea midclavicula sinistra
 Batas kiri : ICS V, Linea parasternal dextra
 Batas pinggang : ICS III, Linea parasternal sinsitra
 Auskutasi : BJ I-II Reguler, Bising jantung (-)
• Abdomen
 Inspeksi : Datar simetris.
 Auskutasi : Peristaltik (+) normal, Bruits (-)
 Perkusi : Timpani
 Palpasi : Supel, NT (-).

6
 Hepar : Tidak teraba membesar
 Lien : Tidak teraba membesar
• Ekstremitas : Akral hangat,edema(-).
• Tanda rangsang meningeal : -

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil Lab darah tanggal 20 September 2018


Darah Rutin
• Eritrosit :360 /mm3
• Hb : 11,9 mg/dl
• Leukosit : 11,6/mm3
• Trombosit : 322.000/mm3
• Hematokrit : 35,2%
Elektrolit
• Natrium : 141,0 mmol/L
• Kalium serum : 3,96 mmol/L
• Chlorida : 104,3 mmol/L
• GDS : 107
• Gol. darah : O

III. DIAGNOSIS
Obs. Kejang
Epilepsi Umum Simtomatik

DIFFERENT DIANOSIS
Meningitis
Ensefalitis

IV. PENATALAKSANAAN
• O2 3 lpm NK
• Infus D5 1/4NS 69cc/jam
• Inj. Sibital loading 250mg di IGD, selanjutnya 30mg/12jam (diencerkan dalam NaCl
0,9% s.d 24cc kecepatan 50ml/jam)
• Inj Ceftriaxone 650mg/12jam
• Inj. Dexamethason 2,5mg/8jam
• Inj paracetamol 120mg jika demam
• CT Scan polos cito
• Rencana lumbal pungsi bila curiga meningitis
• Rencana EEG
• Urinalisis + feses rutin

7
V. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam

8
TINJAUAN PUSTAKA

KEJANG
1. DEFINISI
Kejang merupakan perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai
akibat dari aktivitas neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik serebral yang
berlebihan (betz & Sowden,2002).
2. ETIOLOGI
Kejang dapat disebabkan oleh berbagai patologis termasuk tumor otak, trauma,
bekuan darah pada otak, meningitis, ensefalitis, gangguan elektrolit, gejala putus
alcohol, gangguan metabolic, uremia, overhidrasi, toksik subcutan, dan sebagian
kejang merupakan idiopatik (tidak diketahui etiologinya).

EPILEPSI
1. DEFINISI
Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan tidak
terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.3
Epilepsi menurut JH Jackson (1951) didefinisikan sebagai suatu gejala akibat
cetusan pada jaringan saraf yang berlebihan dan tidak beraturan.Cetusan tersebut
dapat melibatkan sebagian kecil otak (serangan parsial atau fokal) atau yang lebih luas
pada kedua hemisfer otak (serangan umum). Epilepsi merupakan gejala klinis yang
kompleks yang disebabkan berbagai proses patologis di otak. Epilepsi ditandai dengan
cetusan neuron yang berlebihan dan dapat dideteksi dari gejala klinis, rekaman
elektroensefalografi (EEG), atau keduanya. Epilepsi adalah suatu kelainan di otak
yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang (lebih dari satu episode).3
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau
for epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak
yang ditandai oleh adanya factor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang
epileptik,perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi social
yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang
epileptik sebelumnya.Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda
dan/atau gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang
berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.4

9
Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi >30 menit atau kejang berulang
tanpa disertai pemulihan kesadaran diantara dua serangan kejang.(4)

2. ETIOLOGI
Etiologi Epilepsi kemungkinan disebabkan oleh:
a. Aktivitas saraf abnormal akibat proses patologis yang mempengaruhi otak
b. Gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di otak akibat trauma
otak pada saat lahir atau cedera lain
c. Pada bayi  penyebab paling sering adalah asfiksi atau hipoksia waktu lahir,
trauma intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik, malformasi congenital
pada otak, atau infeksi
d. Pada anak-anak dan remaja  mayoritas adalah epilepsy idiopatik, pada umur
5-6 tahun  disebabkan karena febril
e. Pada usia dewasa penyebab lebih bervariasi  idiopatik, karena birth
trauma, cedera kepala, tumor otak (usia 30-50 th), penyakit serebro vaskuler
(> 50 th)
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :
a. Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi ±50% dari penderita
epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetic, awitan biasanya
pada usia >3tahun. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan alat-alat
diagnostic yang canggih kelompok ini semakin sedikit.
b. Epilepsi simptomatik : disebabkan oleh kelainan / lesi pada susunan saraf
pusat. Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP),
gangguan metabolic, malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum, lesi
desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik serta kelainan
neurodegenerative. Selain itu juga disebabkan karena kerusakan otak yang
luas. Cedera sewaktu lahiran adalah penyebab paling umum dari epilepsi
simtomatik umum. Selain kejang, pasien biasanya mengalami masalah
neurologis seperti keterbelakangan mental/ serebral palsy.
c. Epilepsy kriptogenik : dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum
diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan
epilepsy mioklonik.7

10
3. KLASIFIKASI
Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan epilepsi dan
klasifikasi sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktor-faktor
tipe bangkitan (umum atau terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau idiopatik), usia
dan situasi yang berhubungan dengan bangkitan. Sedangkan klasifikasi epilepsi
menurut bangkitan epilepsi berdasarkan gambaran klinis dan elektroensefalogram.
Klasifikasi ILAE (1981) untuk tipe bangkitan epilepsi adalah :3
• Bangkitan parsial/fokal
1) Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
2) Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
a. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
b. Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
3) Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau
klonik)

• Bangkitan Umum (Konvulsi atau Non-Konvulsi)


1) Bangkitan lena (absence)
Lena (absence), sering disebut petitmal.Serangan terjadi secara tiba-
tiba, tanpa di dahului aura.Kesadaran hilangselama beberapa detik, di tandai
dengan terhentinya percakapan untuk sesaat, pandangan kosong, atau mata
berkedip dengan cepat.Hampir selalu pada anak-anak, mungkin menghilang
waktu remaja atau diganti dengan serangan tonik-klonik.
2) Bangkitan mioklonik
Mioklonik, serangan-serangan ini terdiri atas kontraksi otot yang
singkat dan tiba-tiba, bisa simetris dan asimetris, sinkronis atau
asinkronis.Muncul akibat adanya gerakan involuntar sekelompok otot skelet
yang muncul secara tiba-tiba dan biasanya hanya berlangsung
sejenak.Biasanya tidak ada kehilangan kesadaran selama
serangan.Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi
lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat.
3) Bangkitan tonik
Tonik, serangan ini terdiri atas tonus otot dengan tiba-tiba meningkat

11
dari otot ekstremitas, sehingga terbentuk sejumlah sikap yang khas.Berupa
pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan
ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi
tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi.Biasanya
kesadaran hilang hanya beberapa menit terjadi pada anak 1-7 tahun.
4) Bangkitan atonik/astatik
Atonik, serangan atonik terdiri atas kehilangan tonus tubuh. Keadaan
ini bisa di menifestasikan oleh kepala yang terangguk-angguk, lutut lemas,
atau kehilangan total dari tonus otot dan Px bisa jatuh serta mendapatkan
luka-luka. Biasanya penderita akan kehilangan kekuatan otot dan terjatuh
secara tiba-tiba.Bangkitan ini jarang terjadi.
5) Bangkitan klonik
Klonik, serangan di mulai dengan kehilangan kesadaran yang di
sebebkan aleh hipotonia yang tiba-tiba atau spasme tonik yng
singkat.Keadaan ini diikuti sentakan bilateralyang lamanya 1 menit sampai
beberapa menit yang sering asimetris dan bisa predominasi pada satu
anggota tubh. Serangan ini bisa bervariasi lamanya, seringnya dan bagian
dari sentakan ini satu saat ke satu saat lain.
6) Bangkitan tonik-klonik
Tonik-Klonik, biasa di sebut grandmal. Merupakan jenis serang klasik
epilepsi serangan ini di tandai oleh suatu sensasi penglihatan atau
pendengaran selama beberapa saat yang diikuti oleh kehilangan kesadaran
secara cepat.Secara tiba-tiba penderita akan jatuh disertai dengan teriakan,
pernafasan terhenti sejenak kemudian diiukti oleh kekauan tubuh. Setelah
itu muncul gerakan kejang tonik-klonik (gerakan tonik yag disertai dengan
relaksaki). Pada saat serangan, penderita tidak sadar, bisa menggigit lidah
atau bibirnya sendiri, dan bisa sampai mengompol. Pasca serangan,
penderita akan sadar secara perlahan dan merasakan tubuhnya terasa lemas
dan biasanya akan tertidur setelahnya.
4. PATOFISIOLOGI
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan dari
pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi,
pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan
menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan
12
perambatan aktivitas serangan epileptik.Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion
di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion
menerobos membran neuron.

Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal


mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial
aksi secara tepat dan berulang-ulang. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak
apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara
bersamasama, membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak. Badai listrik tadi
menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang berbeda (lebih dari 20
macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak yang terkena dan terlibat.Dengan
demikian dapat dimengerti apabila epilepsi tampil dengan manifestasi yang sangat
bervariasi.
Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan ion
klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan demikian
konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel ( intraseluler ), dan konsentrasi ion
natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium

13
pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel,
keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium. Bangkitan epilepsi karena transmisi
impuls yang berlebihan di dalam otak yang tidak mengikuti pola yang normal,
sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.
Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara
serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.
1. Fungsi jaringan neuron penghambat ( neurotransmitter GABA dan Glisin ) kurang
optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.
2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat dan Aspartat )
berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi
GABA (gamma aminobutyric acid ) tidak normal. Pada otak manusia yang menderita
epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk
inhibisi potensial postsinaptik ( IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah
lewat reseptor GABA. Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptic
disebabkan oleh hilang atau kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan
neurotransmitter inhibitorik utama pada otak. Ternyata pada GABA ini sama sekali
tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset membuktikan bahwa
perubahan pada salah satu komponennya bias menghasilkan inhibisi tak lengkap yang
akan menambah rangsangan. Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron
saja, sekelompok besar atau seluruh neuron otak secara serentak.Lokasi yang berbeda
dari kelompok neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan
epileptik. Secara teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang
optimal (GABA) sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan,
sementara itu fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat) berlebihan. Berbagai
macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan antara
neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer, kongenital, hipoksia,
infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin.Kelainan tersebut dapat mengakibatkan
rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga
mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai. Daerah yang rentan
terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh karena
setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, maka
serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan yang
lebih luas.Pada pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi yang mati selalu
14
didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu tidak mengherankan bila
lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di lobus temporalis dimana
terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi dapatan. Pada bayi dan
anak-anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena efek traumatik,
gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya.Efek ini dapat berupa
kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia atau kerusakan pada neuron atau glia,
yang pada gilirannya dapat membuat neuron glia atau lingkungan neuronal
epileptogenik.Kerusakan otak akibat trauma, infeksi, gangguan metabolisme dan
sebagainya, semuanya dapat mengembangkan epilepsi.Akan tetapi anak tanpa brain
damage dapat juga menjadi epilepsi, dalam hal ini faktor genetik dianggap
penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal serta benigne centrotemporal
epilepsy.Walaupun demikian proses yang mendasari serangan epilepsi idiopatik,
melalui mekanisme yang sama.
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi
pada sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak mempunyai kegiatan listrik
yang disebabkan oleh adanya potensial membrane sel. Potensial membrane neuron
bergantung pada permeabilitas selektif membrane neuron, yakni membrane sel mudah
dilalui oleh ion K dari ruang ekstraseluler ke intraseluler dan kurang sekali oleh ion
Ca, Na dan Cl, sehingga di dalam sel terdapat kosentrasi tinggi ion K dan kosentrasi
rendah ion Ca, Na, dan Cl, sedangkan keadaan sebaliknya terdapat diruang
ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi ion-ion inilah yang menimbulkan potensial
membran.
Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrite-dendrit dan badan-
badan neuron yang lain, membentuk sinaps dan merubah polarisasi membran neuron
berikutnya. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang
memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi yang
menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah
melepaskan listrik. Diantara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut
glutamate,aspartat dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal
ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis
lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang.Hal ini misalnya
terjadi dalam keadaan fisiologik apabila potensial aksi tiba di neuron.Dalam keadaan
istirahat, membrane neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam
keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membrane neuron
15
dan seluruh sel akan melepas muatan listrik.
Oleh berbagai factor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau
mengganggu fungsi membaran neuron sehingga membrane mudah dilampaui oleh ion
Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan
depolarisasi membrane dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan
terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron
merupakan dasar suatu serangan epilepsy. Suatu sifat khas serangan epilepsy ialah
bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Di duga
inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic.Selain itu juga
system-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron
tidak terus-menerus berlepasmuatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat
menyebabkan suatu serangan epilepsy terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat
habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak.
5. GEJALA
• Kejang parsial simplek
Serangan dimana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala berupa
“déjàvu” : perasaan dimana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya.
 Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat di
jelaskan.
 Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian
tubuh tertentu.
 Gerakan yang tidak dapat di kontrol pada bagian tubuh tertentu
 Halusinasi

• Kejang parsial (psikomotor) kompleks


Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya
bertahanlebih lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan
mengingat waktu serangan.
Gejalanya meliputi :
 gerakan seperti mencucur atau mengunyah
 melakukan gerakan yang sama berulang – ulang atau memainkan pakaiannya
 Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling dalam
keadaan seperti sedang bingung

16
 Gerakan menendang atau meninju yang berulang – ulang
 Berbicara tidak jelas seperti menggumam

• Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal).


Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahap
tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini pasien
dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja.Serangan jenis ini biasa
didahului oleh aura.
Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum serangan dapat berupa :
merasa sakit perut , baal, kunang – kunang , telinga berdengung.
Pada tahap tonik pasien dapat : kehilangan kesadaran, kehilangan
keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan yang
jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik : terjadi
kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau buang air besar
tidak dapat di kontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa
lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan semacam ini.

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium,
natrium, bilirubin, ureum dalam darah. Yang memudahkan timbulnya kejang
ialah keadaan hipoglikemia, hypokalemia, hipomagnesia, hiponatremia,
hypernatremia, hiperbilirubinemia, dan uremia. Penting puladiperiksa pH darah
karena alkalosis mungkin disertai kejang. Pemeriksaan cairan otak dapat
mengungkapkan adanya radang pada otak atau selaputnya,toksoplasmosis susunan

17
saraf sentral, leukemia yang menyerang otak, metastasis tumor ganas, adanya
perdarahan otak atau perdarahan subaraknoid.10,11
a. Pemeriksaan radiologis
Arteriografi dan pneumoensefalografi dilakukan bila perlu.
Elektroensefalografi (EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang informatif
yang dapat memastikan diagnosis epilepsy. Gelombang yang ditemukan pada EEG
berupa gelombang runcing, gelombang paku, runcing lambat, paku lambat.
Pemeriksaan tambahan lain adalah pemeriksaan foto polos kepala
b. Pemeriksaan psikologis atau psikiatris
Untuk diagnosis bila diperlukan uji coba yang dapat menunjukkan naik
turunnya kesadaran.
c. Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis
epilepsi.Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi
struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan
abnormal.
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya misal gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang
lambat yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu mempunyai
gambaran EEG yang khas, misalnya spasme infantile mempunyai gambaran
EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang paku ombak
3 siklus per detik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG
gelombang paku / tajam / lambat dan paku majemuk yang timbul secara
serentak (sinkron).

18
Gambar

Pembentukan EEG

Gambar: profil EEG pada pasien Epilepsi

19
MEKANISME TERJADINYA EPILEPSI PADA KEJANG DEMAM
Kejang demam yang berlangsung singkat tidak bahaya dan tidak menimbulkan
gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya
disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi
otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnea, asidosis laktat disebabkan
oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur
dan suhu tubuh makin meningkat yang disebabkan meningkatnya aktifitas otot dan
selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian diatas
adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya
kejang yang lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang
mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema
otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak.
Kejang demam yang berlangsung lama dapat menimbulkan kerusakan anatomi
otak berupa kehilangan neuron dan gliosis terutama di daerah yang peka seperti
hipokampus dan amigdala. Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah
mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi “matang” dikemudian
hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Kejang demam dapat berkembang
menjadi epilepsi diperkirakan melalui mekanisme biokimiawi, neurofisiologi,
neuropatologi, inhibisi dan eksitasi, dan efek kindling (stimulasi berulang “menurunkan
ambang batas” untuk terjadinya kejang kembali).
Menurut beberapa kepustakaan sebagaimana dikutip oleh Raharjo, kejang demam
menjadi epilepsi kemungkinan melalui mekanisme sebagai berikut :
1. Kejang yang lamanya lebih dari 30 menit akan mengakibatkan kerusakan DNA
dan protein sel sehingga menimbulkan jaringan parut. Jaringan parut ini dapat
menghambat proses inhibisi. Hal ini akan mengganggu keseimbangan inhibisi-
eksitasi, sehingga mempermudah timbulnya kejang.
2. Kejang yang berulang akan mengakibatkan kindling effect sehingga rangsang
dibawah nilai ambang sudah dapat menyebabkan kejang.
3. Kejang demam yang berkepanjangan akan mengakibatkan jaringan otak
mengalami sklerosis, sehingga terbentuk fokus epilepsi.
4. Kejang demam yang lama akan mengakibatkan terbentuknya zat toksik berupa
amoniak dan radikal bebas sehingga mengakibatkan kerusakan neuron.
5. Kejang demam yang lama akan mengakibatkan berkurangnya glukosa oksigen,
dan aliran darah otak sehingga terjadi edema sel, akhirnya neuron menjadi rusak.
20
7. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama dari terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup penderita
yang optimal. Ada beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut antara lain
menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek samping
ataupun dengan efek samping seminimal mungkin serta menurunkan angka kesakitan
dan kematian.10
Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi farmaka mendasar pada
beberapa faktor antara lain blok kanal natrium, kalsium, penggunaan potensi efek
inhibisi seperti GABA dan menginhibisi transmisi eksitatorik glutamat.
Dalam farmakoterapi, terdapat prinsip-prinsip penatalaksanaan untuk epilepsi
yakni:13,14
a. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsi sudah
dipastikan, terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun. Selain itu
pasien dan keluarganya harus terlebih dahulu diberi penjelasan mengenai
tujuan pengobatan dan efek samping dari pengobatan tersebut.
b. Terapi dimulai dengan monoterapi
c. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan secara bertahap
samapai dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat.
d. Apabila dengan penggunakan OAE dosis maksimum tidak dapat mengontrol
bangkitan, maka ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah mencapai dosis
terapi, maka OAE pertama dosisnya diturunkan secara perlahan.
e. Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti bangkitan
tidak terkontrol dengan pemberian OAE pertama dan kedua.
Berikut merupakan OAE pilihan pada epilepsi berdasarkan mekanisme kerjanya :
a. Karbamazepin : Blok sodium channel konduktan pada neuron, bekerja juga
pada reseptor NMDA, monoamine dan asetilkolin.
b. Fenitoin : Blok sodium channel dan inhibisi aksi konduktan kalsium dan
klorida dan neurotransmitter yang voltage dependen
c. Fenobarbital : Meningkatkan aktivitas reseptor GABA , menurunkan
eksitabilitas glutamate, menurunkan konduktan natrium, kalium dan kalsium.
d. Valproat : Diduga aktivitas GABA glutaminergik, menurunkan ambang
konduktan kalsium (T) dan kalium.
e. Levetiracetam : Tidak diketahui
21
f. Gabapetin : Modulasi kalsium channel tipe N
g. Lamotrigin : Blok konduktan natrium yang voltage dependent
h. Okskarbazepin : Blok sodium channel, meningkatkan konduktan kalium,
modulasi aktivitas channel.
i. Topiramat : Blok sodium channel, meningkatkan influks GABA-Mediated
chloride, modulasi efek reseptor GABA.
j. Zonisomid : Blok sodium, potassium, kalsium channel. Inhibisi eksitasi
glutamate.
Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat dihentikan
tanpa kekambuhan.Penghentian sebaiknya dilakukan secara bertahap setelah 2 tahun
bebas dari bangkitan kejang.

Ada 2 syarat yang penting diperhatikan ketika hendak menghentikan OAE yakni:
a. Syarat umum yang meliputi :
- Penghentian OAE telah didiskusikan terlebih dahulu dengan pasien/keluarga
dimana penderita sekurang-kurangnya 2 tahun bebas bangkitan.
- Gambaran EEG normal
- Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula setiap bulan
dalam jangka waktu 3-6bulan.
- Bila penderita menggunakan 1 lebih OAE maka penghentian dimulai dari 1
OAE yang bukan utama.
b. Kemungkinkan kekambuhan setelah penghentian OAE
- Usia semakin tua, semakin tinggi kemungkinan kekambuhannya.
- Epilepsi simtomatik
- Gambaran EEG abnormal
- Semakin lamanya bangkitan belum dapat dikendalikan.
- Penggunaan OAE lebih dari 1
- Masih mendaptkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi
- Mendapat terapi 10 tahun atau lebih.
- Kekambuhan akan semakin kecil kemungkinannya bila penderita telah bebas
bangkitan selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul
kembali maka pengobatan menggunakan dosis efektif terakhir, kemudian
evaluasi.

22
Penatalaksanaan Saat Kejang
Biasanya kejang deman berlangsung singkat dan pada waktu psien datang kejang
sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat
menghentikan kejang adalah diazepam diberikan secara intravena. Dosis diazepam iv
adalah 0,3 – 0,5 mg/kg,BB perlahan – lahn dengan kecepatan 1- 2 mg/menit atau dalam
waktu 3 – 5 menit, dengan dosis maksimal 20mg. obat yang praktis dan dapat diberikan
oleh orang tua atau dirumah dalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5 –
0,75 mg/kgBB tau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan BB kurang dari 10kg dan 10
mg untuk BB lebih dari 10kg. Atau diazepoam rektal dengan dosis 5mg untuk anak
dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak diatas usia 3 tahun. Bila setelah
pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dpat diulang lagi dengan caradan
dosis yang sma dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2x pemberian diazepam
rektal masih tetap kejang, dianjurkan kerumah sakit. Dirumah sakit dpat diberikan
diazepam iv dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kg/BB. Bila kejng belum berhenti diberikan
fenitoin secara iv dengan dosis wal 10 – 20 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1
mg/kgBB/hari, dimulai 12 jam setelah dosisi awal. Bila dengan fenitoin kejang belum
berhenti maka pasien harus dirawat diruang intensif. Bila kejang telah berhenti,
pemberian obat selajutnya tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang demam
sederhana atau kompleks dan faktor resikonya.

23
ALGORITMA KEJANG DEMAM

Pemberian obat pada saat demam

Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko
terjadinya kejang demam (level I, rekomendasi D), namun para ahli di Indonesia sepakat
bahwa antipiretik tetap dapat diberikan (level III, rekomendasi B). Dosis parasetamol
yang digunakan adalah 10 –15 mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5
kali. Dosis Ibuprofen 5-10 mg/kg/kali ,3-4 kali sehari
Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang
cukup berat pada 25-39% kasus. Meskipun jarang, asam asetilsalisilat dapat
menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga
penggunaan asam asetilsalisilat tidak dianjurkan (level III, rekomendasi E).

Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam
menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30%-60% kasus, begitu pula dengan
diazepam rektal dosis 0,5 mg/kg setiap 8 jam pada suhu > 38,5 0C (level I, rekomendasi

24
A).
Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang
cukup berat pada 25-39% kasus. Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat
demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam (level II rekomendasi E)

Indikasi pemberian obat rumat


Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri sebagai berikut
(salah satu):
1. Kejang lama > 15 menit
2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya
hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus.
3. Kejang fokal
4. Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:
• Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.
• Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan.
• kejang demam > 4 kali per tahun

Lama pengobatan rumat


Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara
bertahap selama 1-2 bulan.

Edukasi pada orang tua


Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat
kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal.
Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara yang diantaranya:

1. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik.


2. Memberitahukan cara penanganan kejang
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat
adanya efek samping obat.

Beber1apa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang


1. Tetap tenang dan tidak panik
2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher
3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan
atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan
memasukkan sesuatu kedalam mulut.
4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.
5. Tetap bersama pasien selama kejang

25
6. Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti.
7. Bawa kedokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih

Vaksinasi
Sejauh in tidak ada kontra indikasi untuk melakukan vaksinasi terhadap anak
yang mengalami kejang demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi sangat jarang.
Angka kejadian pasca vaksinasi DPT adalah 6-9 kasus per 100.000 anak yang divak-
sinasi sedangkan setelah vaksinasi MMR 25-34 per 100.000.
Dianjurkan untuk memberikan diazepam oral atau rektal bila anak demam,
terutama setelah vaksinasi DPT atau MMR. Beberapa dokter anak merekomendasikan
parasetamol pada saat vaksinasi hingga 3 hari kemudian.

8. PROGNOSIS
Prognosis epilepsi tergantung pada beberapa hal, diantaranya jenis epilepsi, faktor
penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Pada 50 70% penderita
epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50% pada suatu
waktu akan dapat berhenti minum obat.21 Prognosis epilepsi dihubungkan dengan
terjadinya remisi serangan baik dengan pengobatan maupun status psikososial, dan status
neurologis penderita. Batasan remisi epilepsi yang sering dipakai adalah 2 tahun bebas
serangan (kejang) dengan terapi. Pada pasien yang telah mengalami remisi 2 tahun harus
dipertimbangkan untuk penurunan dosis dan penghentian obat secara berkala.
Batasan lain yang dipakai untuk menggambarkan remisi adalah bebas serangan
(remisi terminal) minimal 6 bulan dalam terapi OAE. Setelah tercapai bebas serangan
selama >6 bulan atau >2 tahun dengan terapi, maka perlu dipikirkan untuk menurunkan
dosis secara berkala sampai kemudian obat dihentikan, perlu mempertimbangkan risiko
terjadinya relaps setelah penghentian obat. Berbagai faktor predikator yang
meningkatkan risiko terjadinya relaps adalah usia awitan pada remaja / dewasa, jenis
epilepsi sekunder, dan adanya gambaran abnormalitas EEG. Berbagai penelitian
memperlihatkan bahwa penderita epilepsi memiliki risiko kematian yang lebih tinggi
dibanding populasi normal. Risiko kematian yang paling tinggi adalah pada penderita
epilepsi yang disertai defisit neurologi akibat penyakit kongenital. Kematian pada
penderita epilepsi anak-anak paling sering disebabkan oleh penyakit susunan saraf pusat
yang mendasari timbulnya bangkitan epilepsi.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Accessed on February 22th 2014 :


http://www.searo.who.int/LinkFiles/Technical_documents_Ment-134.pdf
2. Tjahjadi,P.,Dikot,Y,Gunawan,D. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. In :
Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.2005.
p119-127.
3. Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(Perdossi). Pedoman Tatalaksana Epilepsy.Jakarta: Penerbit Perdossi;2012.
4. Heilbroner, Peter. Seizures, Epilepsy, and Related Disorder,Pediatric
Neurology: Essentials for General Practice. 1sted. 2007
5. Accessed on February 22th 2014:
http://www.who.int/mental_health/neurology/epilepsy_atlas_introdion.pdf
6. Accessed on February 22th 2014: http://www.epilepsyfoundation.org/about/statistics.cfm
7. Accessed on February 22th 2014 :
http://epilepsiindonesia.com/pengobatan/epilepsi-dan-anak/pahami-gejala-epilepsi-
pada-anak-2
8. Shorvon SD. HANDBOOK OF Epilepsy Treatment Forms, Causes and Therapy in
Children and Adults. 2nd ed. America: Blackwell Publishing Ltd.2005
9. P r i c e d a n W i l s o n . 2 0 0 6 . Patofisiologi: Konsep Klinis Proses -
Proses Penyakit.Ed: 6. Jakarta: EGC
10. Aminoff MJ dkk. Clinical Neurology. 6thed. New York: McGraw-Hill.
11. Wilkinson I. Essential neurology. 4thed. USA: Blackwell Publishing.
200515.PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakarta.
200816.http://www.medscape.com/viewarticle/726809
12. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat;
2009.p.439.
13. Utama H. Antiepilepsi dan Antikonvulsi dalam Farmakologi dan terapi. 5th ed.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2005.

27
28
29

Anda mungkin juga menyukai