Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN

TRAUMA SISTEM PERKEMIHAN : RUPTUR URETRA

I. Pengertian
Cedera uretra adalah suatu cedera yang mengenai uretra sehingga menyebabkan
ruptur pada uretra. Cedera uretra dibedakan menjadi cedera uretra anterior dan cedera
uretra posterior berdasarkan etiologi trauma, tanda klinis, pengelolaan serta
prognosisnya.Ruptur uretra adalah ruptur pada uretra yang terjadi langsung akibat trauma
dan kebanyakan disertai fraktur tulang panggul khususnya os pubis (simpiolisis).
(Aspiani. 2015).
II. Etiologi
Penyebab utama cedera kandung kemih / bladder adalah trauma penetrasi (tajam)
dan trauma tumpul. Penyebab iatrogenik termasuk pasca intervensi bedah dari
ginekologi, urologi, dan operasi ortopedi didekat kandung kemih. Penyebab lain
melibatkan trauma obstetri pada saat melahirkan (Mutaqqin & Sari, 2011).
Trauma kandung kemih / bladder terutama terjadi akibat trauma tumpul pada
panggul, tetapi bisa juga karena trauma tembus seperti luka tembak dan luka tusuk oleh
senjata tajam. Pecahan – pecahan tulang yang berasal dari fraktura dapat menusuk
kandung kemi. Tetapi ruptura kandung kemih yang khas ialah akibat trauma tumpul
panggul atas kandung kemih yang terisi penuh. Tenaga mendadak atas masa urin yang
terbendung di dalam kandung kemih menyebabkan rupture. Perforasi iatrogen pada
kanndung kemih tterdapat pada reseksitransurtral, sistoskopi atau karena manipulasi
dengan peralatan pada kandung kemih ( Scholtmeijer & Schroder, 1996 ).
Kurang lebih 90% trauma tumpul buli-buli adalah akibat fraktur pelvis. Fiksasi
buli-buli pada tulang pelvis oleh fasia endopelvik dan diafragma pelvis sangat kuat
sehingga cedera deselerasi terutama jika titik fiksasi fasia bergerak pada arah berlawanan
(seperti pada fraktur pelvis), dapat merobek buli-buli. Robeknya buli-buli karena fraktur
pelvis bisa pula terjadi akibat fragmen tulang pelvis merobek dindingnya (Purnomo,
2007).
Jadi penyebab terjadinya rupture uretra disebabkan oleh :
a. Adanya trauma pada perut bagian bawah, panggul, genetalia eksterna maupun
perineum.
b. Uretra sama seperti bladder, dapat mengalami cedera/trauma karena fraktur
pelvic. Terjatuh dengan benda membentur selangkangan (stradler injury) dapat
menyebabkan contusio dan laserasi pada uretra. Misalnya saat jatuh dari sepeda.
Trauma dapat juga terjadi saat intervensi bedah. Luka tusuk dapat pula
menyebabkan kerusakan pada uretra.
III. Klasifikasi
a. Ruptur uretra anterior
Mekanisme cedera yang paling sering menyebabkan kerusakan uretra anterior
adalah cedera selangkangan (stradler injury) terutama pada saat bersepada yaitu
uretra terjepit diantara tulang pelvis dan benda tumpul.
Pada ruptur ini biasanya klien mengeluh nyeri, adanya perdarahan per-uretram
atau hematuria jika terdapat robekan pada corpus spongiosum, terlihat adanya
hematoma pada penis atau hematoma kupu-kupu. Pada keadaan ini seringkali klien
tidak dapat miksi.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya daerah memar dan hematoma pada
penis dan skrotum. Oleh karena kerusakan uretra, saat urine melewati uretra, proses
berkemih dapat menyebabkan esktravasasi saluran urine yang menimbulkan
pembengkakan pada skrotum atau area inguinal dengan memberikan gambaran
buterfly haematoma.
b. Ruptur uretra posterior : paling sering pada membranacea
Ruptur jenis ini akan didapatkan pada kondisi patah tulang pelvis, pada daerah
suprapubik dan abdomen bagian bawah dijumpai jejas, hematoma pervesika dan
nyeri tekan.
Pada kondisi parah terjadi ruptur uretra total, bisa ditemukan tanda rangsangan
peritoneum, klien mengeluh tidak bisa buang air kecil sejak terjadi trauma. Klien
biasanya mengalami syok hipovolemia akibat perdarahan dan fraktur pelvis.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda khas meliputi perdarahan per-uretram,
retensio urine, pada pemeriksaan colok dubur didapatkan kelembutan prostat dan
terasa organ prostat seperti melayang di dalam suatu hematoma dan adanya darah
menetes pada sarung tangan mengindikasikan adanya perdarahan masif akibat
trauma pada panggul.
c. Ruptur uretra total
 Penderita mengeluh tidak bisa buang air kecil sejak terjadi ruda paksa.
 Nyeri perut bagian bawah dan daerah supra pubic.
 Pada perabaan mungkin dijumpai kandung kemih yang penuh.
IV. Tanda dan Gejala
Kerusakan uretra ini diindikasikan bila pasien tiak mampu berkemih, penurunan
pancaran urine atau adanya darah pada meatus. Karena kerusakan uretra, saat urine
melewati uretra, proses berkemih dapat menyebabkan ekstravasasi saluran urine yang
menimbulkan pembengkakan pada skrotum atau area inguinal yang mana akan
menyebabkan sepsis dan nekrosis. Darah mungkin keluar dari meatus dan
mengekstravasasi jaringan sekitarnua sehingga menyebabkan ekimosis. Komplikasi dari
trauma uretra adalah terjadinya struktur uretra dan risiko impoten. Impotensi terjadi
karena corpora kavernosa penis, pembuluh darah dan suplai saraf pada area ini
mengalami kerusakan.
V. Patofisiologi
Secara anatomik kandung kemih atau bladder terletak di dalam rongga pelvis
dilindungi oleh tulang pelvis sehingga jarang mengalami cidera. Ruda paksa kandung
kemih karena kecelakaan lau lintas atau kecelakaan kerja dapat menyebabkan fragmen
patah tulang pevis sehingga mencederai buli-buli. Jika fraktur tulang panggul dapat
menimbulkan kontusio atau ruptur kandung kemih, tetapi hanya terjadi memar pada
dinding buli-buli dengan hematuria tanpa ekstravasasi urin. Rudapaksa tumptul juga
dapat menyebabkan ruptur buli-buli terutama bia kandung kemih penuh atau terdapat
kelainan patologik seperti tuberculosis, tumor atau obstruksi sehingga rudapaksa kecil
menyebabkan ruptur.
IV. Pathway

Kandung Kemih/Bladder

Kecelakaan Fraktur tulang panggul Ruda Paksa Tumpul Ruda Paksa Tajam

Patah Tulang Pelvis Kontusio Buli -Buli Ruptur Luka Tusuk / Tembak

Memar

Trauma Bladder

Obstruksi Jejas/Hematoma Abdomen Robekan Pada Dinding Bladder

Inkotinensia Urine Berlanjut Tekanan Kandung Kemih


Perdarahan

Nyeri Tekan Supra Publik


Kateterisasi Kekurangan Darah (Anemi)

Resiko Infeksi Nyeri Akut Risiko Syok


VI. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan curiga trauma
uretra adalah: USG, akan tetapi tidak sesuai karena kondisi yang akut dan posisi organ
retroperitoneal. Penelitian yang dilakukan di Amerika menunjukkan hasil yang signifikan
untuk pemeriksaan dengan menggunakan IVP (Intra Venous Pyelogram).Untuk pasien
dengan kondisi stabil dapat menggunakan pemeriksaan CT-Scan (Pereira et al. 2010).
Uretrografi retrograde telah menjadi pilihan pemeriksaan untuk mendiagnosis
cedera uretra karena akurat, sederhana dan cepat dilakukan pada keadaan trauma.
Sementara CT Scan merupakan pemeriksaan yang ideal untuk saluran kemih bagian atas
dan cedera vesika urinaria dan terbatas dalam mendiagnosis cedera uretra.Sementara
MRI berguna untuk pemeriksaan pelvis setelah trauma sebelum dilakukan rekonstuksi,
pemeriksaan ini tidak berperan dalam pemeriksaan cadera uretra.Sama halnya dengan
USG uretra yang memiliki keterbatasan dalam pelvis dan vesika urinaria untuk
menempatkan kateter suprapubik (Rosentain. 2006).
Pemeriksaan radiologis uretrografi retrograde (RU) direkomendasikan karena
dapat menunjukkan derajat ruptur uretra, parsial atau komplit, serta lokasinya, baik
anterior maupun posterior, sehingga dapat menentukan pilihan tatalaksana akut drainase
kandung kemih. Pemeriksaan RU merupakan pemeriksaan awal, dilakukan dengan
injeksi 20-30 mL materi kontras sambil menahan meatus tetap tertutup, kemudian balon
kateter dikembangkan pada fosa navikularis. RU dapat mengidentifikasi lokasi cedera.
Uretroskopi juga dapat menjadi pilihan yang baik karena berfungsi diagnostik ataupun
terapeutik pada cedera uretra akut. Uretroskopi menjadi pilihan pemeriksaan pertama
pada kasus fraktur penis dan pada pasien perempuan. (Kusumajaya. 2018).

Gambar 1. Uretrografi Retrograde


VII. Penatalaksanaan

Tatalaksana awal kegawatdaruratan bertujuan untuk menstabilkan kondisi pasien dari


keadaan syok karena perdarahan; dapat berupa resusitasi cairan dan balut tekan pada lokasi
perdarahan. Pemantauan harus dilakukan pada hidrasi agresif. Selanjutnya, drainase urin harus
segera dilakukan karena ketidakmampuan berkemih. Pemantauan status volume serta drainase
urin membutuhkan pemasangan kateter uretra, namun pemasangan kateter uretra masih
kontoversial mengingat risiko ruptur inkomplit menjadi komplit karena prosedur
pemasangannya. Diversi dengan kateter suprapubik lebih disarankan. (Kusumajaya. 2018).

1. Trauma Uretra Anterior Laki-Laki


a. Trauma Tumpul
Pada kasus trauma tumpul, penatalaksanaan akut hanya dengan sistostomi
suprapubik atau kateterisasi uretra untuk diversi urin. Uretroplasti segera tidak
diindikasikan, karena pada kasus trauma tumpul uretra anterior sering disertai
kontusio spongiosal yang menyulitkan debridemen dan penilaian anatomi
jaringan sekitar. Tindakan uretroplasti dapat dilakukan setelah 3-6 bulan.
(Kusumajaya. 2018).
b. Trauma Tajam
Trauma tajam uretra anterior ditatalaksana dengan tindakan operasi secepatnya
berupa eksplorasi dan rekonstruksi. Eksplorasi segera dilakukan pada pasien
yang stabil, laserasi, atau luka tusuk kecil yang hanya memerlukan penutupan
uretra sederhana. Defek sebesar 2-3 cm di bulbar uretra atau sampai 1,5 cm pada
uretra pendulosa ditatalaksana dengan anastomosis. Pada defek yang besar atau
yang disertai dengan infeksi (luka gigitan), tatalaksana berupa marsupialisasi
dilanjutkan dengan rekonstruksi dengan graft atau flap setelah 3 bulan. Semua
pasien dilakukan kateter suprapubik. (Kusumajaya. 2018).
2. Trauma Uretra Posterior Laki-Laki
a. Trauma Tumpul
Pada kasus trauma uretra posterior pada lakilaki, tidak dilakukan tindakan
eksplorasi dan rekonstruksi dengan anastomosis karena tingginya angka striktur,
inkontinensia, dan impotensi setelah tindakan. Pada cedera uretra posterior,
penting dibedakan antara ruptur komplit dan inkomplit untuk menentukan
penatalaksanaan berikutnya. Pada ruptur inkomplit, pemasangan kateter
suprapubik atau uretra merupakan pilihan, cedera dapat sembuh sendiri tanpa
jaringan parut yang signifikan. Pada ruptur komplit penatalaksanaan berupa
realignment, eksplorasi, rekonstruksi, dan pemasangan kateter suprapubik.
Jangka waktu 3-6 bulan dianggap cukup untuk menunda operasi sambil
menunggu terbentuknya jaringan parut yang stabil dan penyembuhan luka.
Tindakan berdasarkan saatnya dibagi menjadi :
 Segera <48 jam setelah trauma
 Primer ditunda 2 hari- 2 minggu setelah trauma
 Ditunda >3 bulan setelah trauma. (Kusumajaya. 2018).
b. Trauma Tajam
Eksplorasi segera melalui retropubis dilanjutkan dengan perbaikan primer atau
realignment endoskopik dilakukan setelah pasien dalam kondisi stabil, dan pada
ruptur komplit yang disertai cedera leher buli atau rektal. Stenosis uretra anterior
dapat terbentuk walaupun realignment endoskopik berhasil. Pada pasien tidak
stabil atau gagal operasi, EAU dan AUA merekomendasikan diversi suprapubik
dilanjutkan dengan tindakan uretroplasti. Uretroplasti dilakukan tidak lebih dari
14 hari setelah trauma untuk mencegah diversi suprapubik yang terlalu lama.
Uretroplasti dapat dilakukan dalam 2 minggu setelah trauma, jika defek pendek
dan pasien dapat diposisikan litotomi. (Kusumajaya. 2018).
3. Trauma Uretra Perempuan
Pada pasien perempuan dengan ruptur uretra, penatalaksanaan setelah keadaan
stabil. Operasi rekonstruksi retropubis untuk uretra, buli, dan lantai pelvis jika cedera
leher buli atau uretra proksimal. Jika cedera pada uretra bagian distal, operasi
penjahitan dapat dilakukan transvaginal. (Kusumajaya. 2018).
VIII. Komplikasi
Komplikasi dini setelah rekontrusksi uretra :
 Infeksi
 Hematoma
 Abses periuretral
 Fistel uretrokutan
 Epididimitis
 Strikura uretra
 Khusus pada ruptur uretra posterior dapat timbul impotensi dan inkontinensia

IX. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan Ruptur Uretra


A. Pengkajian
a Pengkajian Primer
1. Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas
pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya
sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka
jalan nafas pasien terbuka (Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin
memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Tulang belakang leher harus
dilindungi selama intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala,
leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi
lidah pada kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
a. Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau
bernafas dengan bebas? Pada kasus luka bakar kaji jalan pernafasan apakah
terdapat cilia pada saluran pernafasan mengalami kerusakan yang disebabkan
oleh asap atau inhalasi.
b. Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
 Adanya snoring atau gurgling
 Stridor atau suara napas tidak normal
 Agitasi (hipoksia)
 Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
 Sianosis
c. Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan
potensial penyebab obstruksi :
 Muntahan
 Perdarahan
 Gigi lepas atau hilang
 Gigi palsu
 Trauma wajah
d. Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
e. Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang
berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
f. Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai
indikasi :
 Chin lift/jaw thrust
 Lakukan suction (jika tersedia)
 Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway
 Lakukan intubasi
2. Pengkajian Breathing (Pernafasan)
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan
keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak memadai,
maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan
drainase tension pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan
ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
a. Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi
pasien.
 Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-
tanda sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest,
sucking chest wounds, dan penggunaan otot bantu pernafasan yanbg
disebabkan karna trauma inhalasi.
 Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga,
subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis
haemothorax dan pneumotoraks.
 Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
b. Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
c. Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut
mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien.
d. Penilaian kembali status mental pasien.
e. Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
f. Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau
oksigenasi:
 Pemberian terapi oksigen
 Bag-Valve Masker
 Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang
benar), jika diindikasikan
 Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway
procedures
g. Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan
terapi sesuai kebutuhan.
3. Circulation
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :
a. Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
b. CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
c. Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian
penekanan secara langsung.
d. Palpasi nadi radial jika diperlukan:
 Menentukan ada atau tidaknya
 Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
 Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
 Regularity
e. Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia
(capillary refill).
4. Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pemeriksaan Neurologis
GCS : E: , V: , M:
Reflex Fisiologis : Reflex Patologis :

Kekuatan Otot :

Skala nyeri :
5. Expose, Examine dan Evaluate
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien atau
menghindari hal-hal yang memiliki pengaruh buruk terhadap kondisi pasien.
b.Pengkajian Sekunder

1) Keluhan Utama
Klien mengalami kencing berdarah, penurunan pancaran urine, nyeri tekan pada
daerah supra pubik dan abdomen bagian bawah, trauma di daerah perineum.
2) Riwayat kesehatan sekarang
Klien mengalami kencing berdarah, penurunan pancaran urine, nyeri tekan pada
daerah supra pubik dan abdomen bagian bawah, trauma di daerah perineum, warna
urine pekat.
3) Riwayatkesehatandahulu
Klien mengalam iriwayat terjatuh dari ketinggian dan mengenai daerah perineum
sehingga terjadi trauma di daerah perineum
4) Alergi
Pengkajian tentang riwayat alergi sangat diperlukan, kerena berkaitan dengan terapi
(khususnya terapi medis dan pemberian diet) pada klien selama dirawat di rumah
sakit.

5) Pemeriksaan Fisik terfokus


a. Kepala :
(1) Rambut : Kebersihankulitkepala
(2) Wajah : Wajahpucatatautidak, terdapatlesiatautidak
(3) Mata :Konjungtivaanemisatautidak, skleraikterikatautidak.
(4) Hidung : Kebersihansekretadaatautidak
(5) Mulut :Mukosamulutmerahatautidak.
(6) Telinga :Kebersihanliangtelinga, adaserumenatautidak.
(7) Leher :Kelenjartiroidmembesaratautidak.
b. Toraks :

1. Inspeksi: Kaji apakah terdapat lesi, frekuensi pernafasan dengan melihat


pergerakan dada klien, kesimetrisan dada saat mengembang, penggunaan otot
bantu pernafasan.
2. Palpasi : Kaji Fremitus Raba untuk mengetahui apakah terdapat cairan, massa.
3. Perkusi : Perkusi dilakukan untuk mengetahui bagaimana kondisi organ yang ada
di rongga toraks. Bunyi ketukan akan menandakan apakah terdapat udara, cairan
ataupun massa dalam rongga toraks.
4. Auskultasi : Kaji suara pernafasan klien apakah mengalami suara nafas tambahan
atau tidak.
a. Abdomen :
1. Inspeksi : Kaji apakah terdapat lesi, jejaspada abdomen
2. Palpasi : Kaji apakah terdapat nyeri tekan serta apakah ada penumpukan cairan
3. Perkusi : Perkusi dilakukan untuk mengetahui bagaimana kondisi organ yang ada
di rongga toraks. Bunyi ketukan akan menandakan apakah terdapat udara, cairan
ataupun massa
4. Auskultasi : Pemeriksaan bising usus dan peristaltic usus

6) Tanda-tanda vital
Pada klien dengan rupture uretra kemungkinan adanya tanda gejala infeksi seperti
adanya perubahan tanda-tanda vital berupa kenaikan suhu tubuh. Kaji penurunan
atau pun peningkatan tekanan darah.
7) Eleminasi
Kaji apakah terdapat darah pada saat pasien kencing, kaji apakah klien mengalami
nocturia, kaji frekuensi kencing klien pada pasien dengan rupture uretra biasanya
mengalami penurunan frekuensi kencing,serta kaji warna urine biasanya warna urine
klien pekat pada pasien dengan rupture uretra, pada klien dengan rupture uretra juga
mengalami retensi urine.
8) Genetalia
Pada pemeriksaan genetalia kaji apakah terdapat pembengkakan pada skrotum atau
area inguinal disebabkan oleh karena kerusakan uretra, saat urine melewati uretra,
proses berkemih dapat menyebabkan ekstravasasi saluran urine yang menimbulkan
pembengkakan pada skrotum atau area inguinal.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko syok berhubungan dengan faktor resiko perdarahan pada robeknya dinding
bladder.
2. Resiko Infeksi berhubungan dengan faktor resiko peningkatan paparan organisme
pathogen lingkungan.
3. Inkontinensia Urine Berlanjut berhubungan dengan adanya trauma bladder ditandai
dengan keluarnya urine konstan tanpa distensi, nokturia lebih dari 2 kali sepanjang
tidur, berkemih tanpa sadar.
4. Nyeri Akut berhubungan dengan agen cedera fisik (trauma) ditandai dengan tampak
meringis, bersikap protektif, gelisah, frekuensi nadi dan tekanan darah meningkat,
sulit tidur.
NO DIAGNOSA KEPERAWATAN SLKI SIKI

1 Resiko syok berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan SIKI Label : Manajemen Syok
Observasi
faktor resiko perdarahan pada keperawatan selama ... x ... jam
□ Monitor status kardiopulmonal (frekuensi
robeknya dinding bladder. diharapkan dapat mengatasi Resiko
dan kekuatan nadi, frekuensi nafas, TD,
syok dengan kriteria hasil :
MAP).
□ Monitor status cairan (intake dan output)
SLKI Label : Status cairan
□ Monitor status oksigenasi dan tingkat
□ Kekuatan nadi cukup membaik kesadaran serta reflek pupil
Terapieutik
(70-130 x/ menit)
□ Pertahankan jalan nafas paten
□ Turgor kulit cukup meningkat
□ Berikan oksigen untuk mempertahankan
□ Tekanan darah cukup membaik
saturasi oksigen
(120/80 mmHg)
□ Berikan posisi modified trendelenberg
□ Membran mukosa cukup membaik
Kolaborasi
□ Kolaborasi pemberian cairan infuse
kristaloid 1-2L pada dewasa
□ Kolaborasi pemberian tranfusi darah jika
perlu

2 Resiko Infeksi berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan SIKI Label : Pencegahan Infeksi
faktor resiko peningkatan paparan keperawatan selama ... x ... jam Observasi
organisme pathogen lingkungan. diharapkan dapat mengatasi resiko □ Monitor tanda dan gejala infeksi local dan
infeksi berlanjut dengan kriteria hasil : sistemik
SLKI Label : Kontrol Risiko Terapeutik
□ Pertahankan teknik aseptic pada pasien
□ Kemampuan bekemih cukup
berisiko tinggi
meningkat □ Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
□ Kemampuan mengidentifikasi
dengan pasien dan lingkungan pasien
faktor resiko infeksi Edukasi
□ Kemampuan melakukan □ Jelaskan tanda dan gejala infeksi
□ Ajarkan cara mencuci tangan yang benar
strategi control resiko infeksi
□ Anjurkan meningkatkan asupan cairan dan
□ Kemampuan mengenali
nutrisi
perubahan status kesehatan
□ Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau
cedera
Kolaborasi
□ Kolaborasi pemberian vaksin/imunisasi jika
perlu

3 Inkontinensia Urine Berlanjut Setelah dilakukan tindakan SIKI Label : Kateterisasi Urine
berhubungan dengan adanya trauma keperawatan selama ... x ... jam □ Periksa kondisi pasien (mis. Kesadaran,
bladder ditandai dengan keluarnya diharapkan dapat mengatasi tanda-tanda vital, distensi kantung kemih,
urine konstan tanpa distensi, nokturia inkontenesia urine berlanjut dengan inkontinensia urin, reflex bekermih )
lebih dari 2 kali sepanjang tidur, kriteria hasil : □ Siapkan peralatan ,bahan-bahan dan rungan

berkemih tanpa sadar. tindakan


SLKI Label : Kontinensia Urine □ Pasang sarung tangan
□ Bersihkan daerah perineal dan preposium
□ Kemampuan bekemih cukup
dengan cairan NaCl atau aquades
meningkat □ Lakukan insersi kateter urine dengan
□ Residu volume urine setelah
berkemih cukup menurun menerapkan prinsip aseptic
□ Distensi kantung kemih cukup □ Isi balon dengan NaCl 0,9 % sesuai anjuran
□ Fiksasi selang kateter diatas simpisis atau di
menurun
□ Frekuensi berkemih cukup paha
□ Berikan label waktu pemasangan
membaik
□ Jelaskan tujuan dan prosedur pemasangan
kateter urine
□ Anjurkan menarik nafas saat insersi selang
kateter
4 Nyeri Akut berhubungan dengan agen Setelah dilakukan tindakan SIKI: Nyeri Akut
cedera fisik (trauma) ditandai dengan keperawatan selama ... x ... jam Intervensi Utama
tampak meringis, bersikap protektif, diharapkan dapat mengatasi nyeri akut Label: Manajemen Nyeri
gelisah, frekuensi nadi dan tekanan dengan kriteria hasil : Observasi:
□ Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
darah meningkat, sulit tidur.
. (SLKI) : Nyeri Akut
frekuensi, kualitas, intensitas nyeri.
Luaran Utama □ Identifikasi skala nyeri
□ Identifikasi respon nyeri non verbal
Label : Tingkat Nyeri
□ Identifikasi factor yang memperberat dan
setelah dilakukan intervensi selama
memperingan nyeri
..x..24jam, diharapkan nyeri akut □ Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
berkurang dengan kriteria hasil: tentang nyeri
□ Keluhan nyeri menurun □ Identifikasi pengaruh budaya terhadap
□ Wajah Tampak Meringis respon nyeri
menurun □ Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas
□ Sikap protektif menurun hidup
□ Kesulitan tidur menurun □ Monitor keberhasilan terapi komplementer
□ Tidak tampak gelisah
yang sudah diberikan
□ Monitor efek saming penggunaan analgetik
Terapeutik :
□ Berikan teknik non farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis. TENS,
hypnosis, akupresure, terapi music,
biofeedback, terapi pijat, aromaterapi, teknik
imajinasi terbimbing, kompres hangat atau
dingin, terapi bermain)
□ Control lingkungan yang memperberat rasa
nyeri (mis. Suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
□ Fasilitasi istirahat dan tidur
□ Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan nyeri.
Edukasi :
□ Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu
nyeri
□ Jelaskan strategi meredakan nyeri
□ Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
□ Anjurkan menggunakan analgetik secara
tepat
□ Ajarkan teknik non farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi :
□ Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
D. Implementasi
Dilakukan sesuai intervensi
E. Evaluasi
a. Evaluasi Formatif : merefleksikan observasi perawat dan analisis terhadap klien
(terhadap respon langsung paa intervensi sikap perawat).
b. Evaluasi sumatif : merefleksikan rekapitulasi dan synopsis observasi dan ala
analisis mengenai status kesehatan klien terhadap waktu. Poer 2012.
DAFTAR PUSTAKA

Aspiani, Yeni. 2015. Buku Ajar Asuhan Keperawatanpad Aklien Dengan Gangguan Sistem
Perkemihan, Aplikasi NANDA NIC NOC. CV. Trans Info Media : Jakarta Timur.

Aru W, Sudoyo, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed.5 Jilid 2. Jakarta :
InternalPublishing

Kusumajaya, Christoper. 2018. Diagnosis dan Tata Laknsana Ruptur Uretra. Departemen Ilmu
Bedah, FK Universitas Katolik Atma Jaya. Jakarta.

Pereira, Bruno. A review of ureteral injuries after external trauma. In Journal of Trauma,
Resuscitation and Emergency Medicine 2010

Rosentein DI, Alsikafi NF .Diagnosis and classification of urethral injuries.In : McAninch JW,
Resinck MI, editors. Urologic clinics of north america. Philadelpia : Elseivers Sanders;
2006 . p. 74-83
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN
KEGAWATDARURATAN

TRAUMA SISTEM PERKEMIHAN : RUPTUR URETRA

OLEH KELOMPOK IV :

1. NI MADE ARI JULIANITA DEWI (P07120216072)


2. PUTU AYU SUTARINI DEWI ( P07120216073)
3. I GEDE ANDRE KRISNANDHA SWARA (P07120216074)
4. KETUT ELFIRASANI (P07120216075)
5. GDE ARYYA ASTAWA PUTRAYANA (P07120216076)
6. NI LUH KOMANG MEGA RATNASARI (P07120216077)
7. IDA AYU PUTU APSARI DEWI (P07120216078)
8. I GUSTI AYU ARI PURNAMAWATI (P07120216079)
9. NI MADE RAI WIDIASTUTI (P07120216080)
10. I DEWA AYU DWI APRIANI (P07120216081)

TINGKAT 4B SEMESTER VII

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR

PRODI D-IV KEPERAWATAN

TAHUN AJARAN 2019

Anda mungkin juga menyukai