6.1 - Potongan Materi PDF
6.1 - Potongan Materi PDF
1
2
Terdapat lima isu pokok masa kepresidenan Habibie yang harus dituntaskan. Isu
tersebut adalah (1) masa depan reformasi, (2) masa depan ABRI, (3) masa depan
wilayah-wilayah konflik yang berusaha memisahkan diri dari NKRI, (4) masa depan
Soeharto, keluarganya, harta kekayaan serta kroni-kroni mereka, dan (5) masa depan
perekonomian dan kesejahteraan rakyat. Untuk mengawal masalah ini, pemerintah
fokus untuk memperbaiki berbagai perundang-undangan, terutama peninjauan
kembali undang-undang tentang subversi. Hal ini terwujud dengan dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 26 tahun 1999 tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor
II/PNPS/ tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi pada 19 Mei 1999.
Selain itu, perhatian serius diberikan tentang otonomi daerah dengan dikeluarkannya
UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No 25 tahun 1999 tentang
perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dampak dari otonomi
ternyata melahirkan delapan provinsi baru dan puluhan kabupaten/kota. (Chairudin,
2011a; Simanjuntak, 2003)
Dalam beberapa minggu setelah mejabat Presiden, Habibie mulai
membebaskan para tahanan politik. Hal ini menjadi penting untuk memulai
keterbukaan dan rekonsiliasi. Beberapa tokoh yang dibebaskan adalah para
pemberontak regional dan tokoh-tokoh PKI yang telah berusia lanjut. Selain itu,
ABRI juga membebaskan beberapa aktivis mahasiswa yang telah menghilang sejak
masa kampanye pemilu 1997. (Ricklefs, 2008)
Hal ini kemudian mendorong banyak kalangan untuk membentuk partai-partai politik
yang dipersiapkan untuk pemilihan umum. Setelah diundangkan, jumlah partai politik
yang terdaftar mencapai 141. Setelah diverifikasi oleh tim 11 Komisi Pemilihan
Umum, jumlah tersebut menjadi sebanyak 98. Akan tetapi tidak seluruhnya mengikuti
pemilihan umum. Pada akhirnya hanya terdapat 48 partai saja yang berpartisipasi
dalam pemilihan umum 1999. Salah satu capaian di bidang politik pada pemerintahan
Habibie adalah berhasilnya pelaksanaan Pemilihan Umum 1999. Pemilu kali ini
diikuti oleh 48 partai. Partai tersebut adalah sebagai berikut.
Semula banyak kalangan yang menduga bahwa pemilu pertama ini akan diwarnai
konflik. Akan tetapi, ternyata kekhawatiran tersebut tidak terbukti. Pada 7 Juni 1999,
pemungutan suara berjalan relatif aman. Hasil dari pemilu kali ini disahkan pada 3
Agustus 1999.
Tabel 1. Hasil Pemilihan Umum 1999
Partai Suara Masuk Kursi di DPR
Jumlah % Jumlah* %
PDIP 35.689.073 33,74% 153 33,12%
Golkar 23.741.749 22,44% 120 25,97%
PPP 11.329.905 10,71% 58 12,55%
PKB 13.336.982 12,61% 51 11,04%
PAN 7.528.956 7,12% 34 7,36%
PBB 2.049.708 1,94% 13 2,81%
Partai Keadilan 1.436.565 1,36% 7 1,52%
PKP 1.065.686 1,01% 4 0,87%
PNU 679.179 0,64% 5 1,08%
PDKB 550.846 0,52% 5 1,08%
Lainnya 8.378.012 7,92% 12 2,60%
Total 105.786.661 462
Keterangan *) dengan stembus accord (penggabungan sisa suara)
Sumber: Diolah dari Pemilu Untuk Pemula, 2010: 41-42
Pada pemilu kali ini, PDI Perjuangan sebagai partai yang dipimpin oleh Megawati
Soekarnoputri tampil dengan perolehan gemilang. Hal ini dilatarbelakangi sentimen
Sukarnoisme yang berkembang dan bangkitnya kesadaran masyarakat untuk
berpartisipasi secara lebih terbuka di bidang politik. Di sisi ini Megawati mampu
menampilkan diri dan partainya sebagai partai yang ditindas oleh Orde Baru, sehingga
momentum ini sangat mendorong lahirnya simpati dari masyarakat. Pada pemilihan
ini, masih dipilih anggota DPR dari kelompok ABRI sejumlah 38 orang. Dengan
demikian, total keseluruhan jumlah anggota DPR pada tahun 1999 adalah 500
anggota.
Setelah kenaggotaan DPR dan MPR hasil pemilu tersusun, diselenggarakanlah
Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat pada 1-21 Oktober 1999. Pada 1
Oktober sebanyak 700 anggota DPR/MPR dilantik. Terpilih sebagai Ketua MPR
adalah Amien Rais. Sementara itu, Akbar Tanjung menduduki ketua DPR. Pada
sidang tersebut, Habibie menyampaikan pidato pertanggungjawaban di tanggal 14
Oktober 1999. Akan tetapi, setelah melalui proses pemandangan umum, sejumlah
kota di Jawa, Bali, dan Medan. Kekecewaan masyarakat kemudian mereda setelah
Megawati Soekarnoputri terpilih menjadi wakil presiden dengan mengalahkan
Hamzah Haz pada voting di MPR dengan suara 396 berbanding 284. Sementara itu 5
suara menyatakan diri abstain. Mulai tanggal 21 Oktober 1999, megawati dilantik
sebagai wakil presiden mendampingi Gus Dur. (Simanjuntak, 2003; Ricklefs, 2008)
Untuk menjalankan pemerintahan, pada 26 Oktober presiden dan wakil
mengumumkan susunan kabinet. Kabinet ini terdiri ata 32 menteri dan 3 pejabat
negara setingkat menteri negara. Walaupun kabinet ini sengaja tidak diberi nama,
masyarakat kerap menyebut sebagai Kabinet Persatuan Nasional. Di dalamnya
terdapat kompromi-komprimi dan akomodasi dari beragam kelompok. Dalam
penyusunannya, kabinet disusun bersama dengan Ketua DPR (Akbar Tanjung), Ketua
MPR (Amien Rais), dan Panglima TNI (Wiranto). Dalam susunan menterinya, Gus
Dur menghapus Departemen Penerangan dan Departemen Sosial. Kabinet ini
kemudian dilantik pada 29 Oktober 1999. (Simanjuntak, 2003; Ricklefs, 2008)
Pembubaran dua departemen sempat menuai kontroversi. Hal ini kemudian
memicu reaksi dari DPR yang menganggap pemerintahan Gus Dur justru lebih
banyak diwarnai dengan intrik pergantian kabinet. Dari sini, DPR kemudian
menggunakan hak interpelasinya untuk meminta keterangan dari presiden pada 18
November 1999. Pada acara ini, presiden tetap bersikukuh dengan kebijakannya dan
menyatakan DPR seperti Taman Kanak-Kanak. Inilah yang lantas menyebabkan
hubungan antara DPR dan Presiden memanas. (Simanjuntak, 2003; Ricklefs, 2008)
Perjalanan kabinet di masa Gus Dur diwarnai dengan pergantian menteri.
Bahkan pada 23 Agustus 2000 presiden mengumunkan susunan kabinet baru.
Penyusunan kabinet kali ini melibatkan Presiden, Wakil Presiden, serta tim tiga
(Susilo Bambang Yudhoyono, Erna Witoelar, dan Ryaas Rasyid). Namun demikian
pada saat pembacaan susunan nama, Megawati berhalangan hadir karena diduga ada
beberapa nama yang tidak sesuai. Terbentuknya kabinet baru ini ternyata banyak
mendapatkan sorotan negatif seperti kurang dilibatkannya partai politik dan
kompetensi personalia yang diragukan. Hal ini mengakibatkan makin berkurangnya
dukungan dari parlemen terhadap presiden. (Simanjuntak, 2003; Chairudin, 2011b)
Pada masa pemerintahannya, Gus Dur tidak secara resmi mengumumkan
program kerja kabinet. Presiden menjelaskan bahwa Wakil Presiden bertugas
menangani permasalahan daerah seperti Irian Jaya, Maluku, dan Riau. Selain itu,
wakil presiden juga bekerja untuk mengawasi kehidupan bangsa di bidang HAM dan
lingkungan hidup. Sementara itu masalah Presiden menangani secara langsung
permasalahan tentang Aceh, masalah ekonomi, dan pengembangan kelautan. Di sini,
menteri-menteri bekerja dengan petunjuk dan pengawasan ketat oleh presiden dan
wakil. (Simanjuntak, 2003; Chairudin, 2011b)
Dalam bidang politik luar negeri, Gus Dur kerap melakukan kunjungan ke
berbagai negara. Sebulan setelah menjadi presiden, ia mengunjuni negara-negara
ASEAN dan beberapa negara besar di kawasan Jepang, Amerika Serikat, Qatar,
Kuwait, Yorgania dan Republik Rakyat Cina. Di Januari 2000, ia melakukan
kunjungan kenegaraan ke Swiss untuk mengikuti Forum Ekonomi Dunia dan
dilanjutkan ke Arab Saudi. Pada bulan Februari ia mengunjungi Inggris, Perancis,
Belanda, Jerman, dan Italia. Dalam perjalanan pulang ia singgah di Indoa, Korea
Selatan, Thailand, dan Brunei Darussalam. Di Bulan Maret ia mengunjungi Timor
Leste. Di bulan April Afrika Selatan dikunjungi oleh Gus Dur dan dilanjutkan ke
Kuba untuk menghadiri G-77. Perjalanan itu dilanjutkan lagi ke Meksiko dan Hong
Kong. Pada bulan Juni Gus Dur kembali mengunjungi Amerika Serikat, Jepang,
Perancis, Iran, Pakistan, dan Mesir. Di tahun 2001, ia melakukan junjungan ke
Australia.(Chairudin, 2011b; Musa, 2010)
Seringnya Gus Dur melakukan perjalanan dinas ke luar negeri menuai
kontroversi. Kunjungannya ke berbagai negara ditanggapi negatif oleh beberapa
kalangan karena seolah meninggalkan permasalahan yang terjadi di dalam negeri.
Akan tetapi, Gus Dur beralasan bahwa kunjungannya ke berbagai negara memiliki
arti strategis untuk menjaga Indonesia tetap memiliki eksistensi di mata internasional.
Beberapa hal yang disasar dari rutinnya perjalanan politik luar negeri antara lain (1)
menjalin kembali kerjasama dengan luar negeri yang sempat menegang akibat
permasalahan Timor Timur, (2) meminta dukungan terhadap perjuangan menjaga
kedaulatan negara karena beberapa tokoh gerakan separatis bertempat tinggal di luar
negeri, serta (3) meyakinkan tentang kondisi Indonesia yang kondusif bagi para
investor.
Dalam pemerintahannya, berbagai kebijakan acap kali kontroversial. Akhirnya,
banyak pihak yang berbeda pandangan dan berseberangan dengan sikap politik Gus
Dur. Tidak terkecuali dari kalangan parlemen yang pada akhirnya menggelar sidang
istimewa dan menurunkan Gus Dur dari kursi kepresidenan. Ketegangan Presiden dan
DPR diawali dari dugaan terlibatnya presiden terhadap pencairan dan penggunaan
dana yayasan Dana Kesejahteraan Karyawan (Yanatera) Bulog senilai 35 milyar dan
dana bantuan Sultan Brunei Darussalam sebesar 2 juta dollar AS. Ke dua
permasalahan ini disebut sebagai Buloggate dan Bruneigate. Permasalahan ini
mendorong DPR membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk mengusutnya. Pansus
menyimpulkan bahwa presiden patut diduga berperan dalam pencairan dan
penggunaan dana Yanatera Bulog. Presiden juga dianggap inkonsisten dalam
pernyataan mengenai aliran dana dari Sultan Brunei. Hasilnya adalah memorandum
yang ditujukan kepada presiden pada 1 Februari 2001. Dalam memorandum, presiden
dianggap telah melanggar sumpah jabatan dan ketetapan tentang penyelenggaraan
negara yang bebas KKN. Akan tetapi pada pertemuan di sidang paripurna DPR
tanggal 28 Maret 2001, presiden menolak isi memorandum tersebut. (Simanjuntak,
2003; Chairudin, 2011b; Ricklefs, 2008)
Setelah keluarnya memorandum dan jawaban dari presiden, kondisi politik
makin memanas. Di parlemen muncul gerakan untuk segera menyelenggarakan
sidang istimewa MPR. Bahkan, Megawati secara tegas menyatakan
ketidakcocokannya dengan presiden. Sementara itu, DPR kembali menjtuhkan
memorandum kedua pada 30 April 2001 setelah mendengarkan pemandangan dari
fraksi-fraksi. Dengan keluarnya memorandum kedua ini, Presiden diberikan
kesempatan satu bulan lagi untuk memperbaiki kinerjanya. Akan tetapi, apabila dalam
satu bulan Presiden tidak mengindahkan, DPR akan meminta MPR untuk menggelar
Sidang Istimewa. Hal ini kemudian terbukti dengan diselenggarakannya rapat
paripurna DPR pada 30 Mei 2001 yang meminta kepada MPR untuk segera
mengadakan Sidang Istimewa. DPR menilai presiden dianggap tidak mengindahkan
memorandum DPR sehingga dianggap melanggar UUD 1945. (Simanjuntak, 2003)
Menanggapi hal itu, presiden berkeinginan untuk menyelesaikan permasalahan
secara damai. Pada 9 Juli 2001, diundanglah para ketua partai politik. Akan tetapi
upaya ini gagal total, karena hanya dihadiri oleh ketua PKB. Pada situasi yang makin
memanas ini, Presiden justru melakukan tindakan kontroversial yang memerintahkan
Menko Polsoskam dan Wakil Kapolri untuk mengambil tindakan tegas secara hukum
Proses penghitungan suara berlangsung selama sebulan dan hasil akhir diumumkan
pada 5 Mei 2004. Pada pemilu kali ini Golkar kembali memperoleh kemenangan.
Sementara itu untuk DPD berhasil dipilih 128 anggota dari 32 provinsi. Hasil pemilu
2004 adalah sebagai berikut. (Sekretariat Jenderal KPU, 2010)
Tabel 3. Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR tahun 2004.
Partai Suara Masuk Kursi di DPR
Jumlah % Jumlah* %
Partai Golongan Karya 24.461.104 21,62% 128 23,27%
Partai Demokrasi 20.710.006 18,31% 109 19,82%
Indonesia Perjuangan
Partai Kebangkitan 12.002.885 10,61% 52 9,45%
Bangsa
Partai Persatuan 9.226.444 8,16% 58 10,55%
Pembangunan
Partai Demokrat 8.437.868 7,46% 55 10,00%
Partai Keadilan 8.149.457 7,20% 45 8,18%
Sejahtera
Partai Amanat Nasional 7.255.331 6,41% 53 9,64%
Partai Bulan Bintang 2.965.040 2,62% 11 2,00%
Partai Bintang 2.944.529 2,60% 14 2,55%
Reformasi
Partai Damai Sejahtera 2.424.319 2,14% 13 2,36%
Lainnya 14.548.767 12,86% 12 2,18%
Total 113.125.750 100,00% 550 100,00%
Sumber: Diolah dari Pemilu Untuk Pemula, 2010: 43.
Pada pemilihan umum ini dipilih untuk pertama kali pasangan presiden dan wakilnya.
Ada lima pasangan calon yang bersaing memperebutkan posisi presiden dan wakil.
Ke lima pasanagn tersebut adalah
a. Wiranto dan Salahuddin Wahid (dicalonkan oleh Partai Golongan Karya)
b. Megawati Soekarnoputri dan Ahmad Hasyim Muzadi (dicalonkan oleh Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan)
c. Amien Rais dan Siswono Yudo Husodo (dicalonkan oleh Partai Amanat Nasional)
d. Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla (dicalonkan oleh Partai
Demokrat, Partai Bulan Bintang, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia)
e. Hamzah Haz dan Agum Gumelar (dicalonkan oleh Partai Persatuan
Pembangunan)
Gambar 6. Lima Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu 2004
Sumber: wikipedia.org
Pada putaran pertama, belum dapat ditentukan pemenang karena belum mencapai
persyaratan lebih dari 50%. Oleh karena itu, dilakukanlah pemilihan untuk putaran
kedua yang diikuti oleh pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi dan
Susilo Bambang Yudhoyono-Muhammad Jusuf Kalla. Dari pemilihan ini akhirnya
terpilih Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla sebagai presiden
dan wakil presiden RI untuk periode 2004-2009. (Sekretariat Jenderal KPU, 2010)
Hasil pemilihan umum 2004 menjadi penanda babak baru demokrasi di Indonesia.
Dengan ini masyarakat dapat memilih langsung calon wakil rakyat dan presidennya.
negeri beralih ke negara tetangga. Pada Januari-Agustus 1999, nilai investasi Jepang
menurun sebesar 70%. Angka pengangguran langsung dan tindak langsung akibat
krisis masih mencapai 60,76 juta orang. Selain itu, praktik inefisiensi dan pemborosan
ekonomi akibat pola ekonomi besar yang berkait dengan patron-patron politik tingkat
tinggi serta maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme masih belum tertangani secara
tuntas. Permasalahan ini menjadi tugas berat bagi pemerintahan Abdurrahman Wahid
dan jajaran kabinetnya. (Radjab, 1999; van Zanden dan Marks, 2012; Ricklefs, 2008).
Terdapat beberapa catatan tentang pemulihan perekonomian pada masa
Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pada Januari 2000 kembali dilakukan
penandatanganganan persetujuan ketiga dengan IMF dan berlanjut sampai Desember
2002. Konsekuensinya, ada beberapa agenda jangka menengah meliputi: (1) kerangka
makroekonomi jangka menengah, (2) kebijakan restrukturisasi, (3) menata ulang
institusi perekonomian, serta (4) memperbaiki manajemen sumber daya alam. Namun
demikian, terdapat beberapa kendala dalam mengimplementasikan program karena
kurangnya koordinasi antara menteri-menteri ekonomi serta konflik antara
pemerintah dengan Bank Indonesia yang baru mendapatkan status independen. Di
satu sisi, terdapat ketidakpastian dalam susunan kabinet. Selain itu, desentralisasi
(otonomi daerah) serta memburuknya hubungan pemerintah dengan parlemen juga
membuat reformasi ekonomi pada periode ini kurang berjalan mulus. (Chairudin,
2011b)
Pada masa Gus Dur, pertumbuhan perekonomian mendekati 5%. Namun,
kondisi ini belum mampu mengembalikan ekonomi Indonesia seperti sebelum krisis.
Walaupun ekspor di tahun 2001 meningkat, kondisi perekonomian internasional
justru tidak mendukung karena pada masa itu Amerika Serikat dan Jepang justru
mengalami pertumbuhan ekonomi yang melambat. Dua negara tersebut merupakan
tujuan utama ekspor Indonesia. Di satu sisi rupiah kembali melemah di kisaran Rp
11.000, sehingga menyebabkan lesunya sektor riil dan moneter serta terjadinya
lonjakan biaya restrukturisasi utang luar negeri. Selain itu, harga kebutuhan pokok di
pasaran semakin meningkat. (Hakim dan Giovani, 2012; Aswicahyono, 2007)
Pergantian pemerintahan dari Gus Dur ke Megawati ternyata cukup memberi
kepercayaan dan optimisme di kalangan masyarakat dan ivestor. Segera setelah
kabinet baru dilantik, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS mengalami penguatan dari
Rp 9.337 menjadi Rp 9.100. Program pemulihan ekonomi yang dilakukan oleh Masa
pemerintahan Megawati Soekarnoputri adalah privatisasi BUMN, pengelolaan
hutang luar negeri, restrukturisasi keuangan, dan usaha kecil menengah. Pada masa
Megawati, di tahun 2002, perekonomian telah tumbuh 3,7% meningkat dibanding
tahun sebelumnya, akan tetapi kondisi ini belum didukung oleh struktur yang
seimbang. Pada pidato kenegaraan di tahun 2004, Megawati melaporkan beberapa
kemajuan perekonomian. Pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari target yang
ditentukan sebesar 4,8% walau masih berada di bawah potensi perekonomian
Indonesia dan belum mampu mengurangi pengangguran dan kemiskinan secara
signifikan. Selain itu diperkirakan pada tahun 2005 pertubuhan ekonomi meningkat
menjadi 5,4%. (Hakim dan Giovani, 2012; Aswicahyono, 2007; Zanden dan Marks,
2012)
Dalam pembangunan stabilitas makroekonomi, pemerintahan Megawati dinilai
cukup berhasil. Hal ini disebabkan kebijakan pengembangan kelembagaan,
independensi Bank Indonesia dalam mengambil kebijakan moneter, serta penataan
ulang Kementerian Keuangan. Namun demikian, ada beberapa catatan dalam
penyelenggaraan reformasi “mikro” di bidang perekonomian yang ditandai dengan
investasi asing langsung yang negatif. Buruknya iklim investasi di akhir pemerintahan
Megawati didorong lambatnya usaha privatisasi oleh karena sikap pemerintah yang
ambivalen terhadap konsep privatisasi serta pembatalan UU Kelistrikan oleh
Mahkamah Konstitusi pada 2003. Di dalam UU ini terdapat kesempatan untuk
meningkatkan partisipasi swasta melalui terbuka melalui unbundling di sektor
kelistrikan yang diharapkan mampu menurunkan biaya listrik bagi konsumen. Secara
keseluruhan, pemerintahan Megawati telah mampu memulihkan kembali stabilitas
ekonomi, tetapi masih lemah dalam mempercepat pertumbuhan. (Aswicahyono,
2007; Zanden dan Marks, 2012)
Reformasi tidak hanya mengubah aspek politik dan ekonomi, tetapi juga kehidupan
sosial budaya masyarakat. Salah satu capaian penting sebagai dampak reformasi
adalah kebebasan menyampaikan pendapat. Pada 26 Oktober 1998, pemerintah
berhasil mengeluarkan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Menyampaikan pendapat di muka umum
merupakan salah satu hak asasi manusia yang dijamin dalam pasal 28 Undang-undang
Dasar 1945 dan sejalan dengan pasal 19 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia
yangberbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan
mengeluarkanpendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari,
menerima danmenyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apapun juga dan
dengan tidakmemandang batas-batas.” (Chairudin, 2011a)
Pada masa Habibie, pengetatan terhadap penerbitan media massa dikendurkan
dan membebaskan siapapun untuk menerbitkan media. Selain itu, dikeluarkan pula
Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Dalam pasal 4 dijelaskan bahwa
kemerdekaan pers dijamin sebagai hak azasi warga negara. Melalui undang-undang
tersebut, dihapuskan Surat Ijin Usaha Perusahaan Pers (SIUPP) yang dikeluarkan oleh
Departemen Penerangan. Dengan dicabutnya SIUPP kewenangan Departemen
Penerangan dalam mengawasi dan menekan media massa menjadi berkurang. Hal ini
menjadi penanda keberhasilan pencapaian reformasi dalam aspek penyuaraan
aspirasi.
Satu capaian penting dalam hal sosial budaya ditorekhan oleh Abdurrahman
Wahid. Ia dikenal sebagai sosok yang mendorong pluralisme dan keterbukaan.
Perhatiannya kepada kelompok minoritas telah membawanya tampil sebagai sosok
penting pembawa perdamaian bangsa. Salah satunya adalah perhatian besar Gus Dur
terhadap masyarakat Tionghoa. Pada masa Orde Baru melalui Instrukri Presiden
Nomor 14 tahun 1967 tentang agama kepercayaan dan adat istiada Cina, aktivitas
sosial budaya masyarakat keturunan Tionghoa sangat terbatas. Berbagai perayaan
adat dilarang untuk dilakukan di muka umum. Oleh karena itu, Gus Dur mencabut
inpres tersebut dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 6 tahun 2000. Setelah itu, aktivitas sosial budaya masyarakat Tionghoa
menjadi lebih terbuka. Oleh pemerintah imlek ditetapkan sebagai libur nasional dan
Konghucu diakui sebagai salah satu agama resmi perhatiannya yang sangat besar
terhadap etnis tionghoa mengantarkan Gus Dur dinobatkan sebagai Bapak Tionghoa.
(Ricklefs, 2008; Chairudin, 2011b)
D. Rangkuman
Selamat, Anda telah berhasil menyelesaikan materi tentang kehidupan politik dan
ekonomi di awal reformasi. Dengan demikian, Anda diharapkan mampu menganalisis
perkembangan kehidupan politik dan ekonomi Bangsa Indonesia pada masa awal
Reformasi. Hal-hal penting yang telah Anda pelajari dalam modul ini adalah sebagai
berikut.
1. Reformasi telah mendorong perubahan besar dalam perpolitikan di tingkat
nasional sampai daerah. Lima tahun setelah reformasi, telah terjadi tiga kali
pergantian presiden. Pada masa itu, perubahan politik sudah sangat terasa, hingga
akhirnya melalui pemilu 2004 masyarakat dapat memilih secara langsung
wakilnya untuk duduk di parlemen serta presiden dan wakilnya. Pada tahun-tahun
ini pula, partai politik bermunculan, sehingga mengembalikan pemilihan umum
seperti sebelum Orde Baru. Sifat sentralisasi pemerintahan telah berubah menjadi
sangat desentralistik dengan adanya otonomi.
2. Krisis keuangan Asia telah membawa Indonesia memasuki keterpurukan. Kondisi
ini mengakibatkan pemerintah harus bekerja ekstra keras untuk dapat
mengembalikan kondisi ekonomi seperti sebelum krisis. Berbagai upaya
dilakukan sampai pada akhirnya Indonesia kembali bangkit, walau masih dengan
keterbatasan. Di satu sisi reformasi juga telah membawa perubahan dalam kondisi
masyarakat. Keterbukaan dalam menyampaikan gagasan dan akomodasi terhadap
kepentingan-kepentingan minoritas menemukan momentum untuk bangkit.
3. Pada bidang pertahanan dan keamanan, serangkaian konflik dan kekerasan pecah.
Selain itu ancaman disintegrasi juga mengintai. Tiga wilayah di awal reformasi
menjadi rentang untuk memisahkan diri, yakni Timor Timur, Aceh, dan Irian
Jaya. Pemisahan wilayah akhirnya terjadi dengan dilakukannya referendum di
Timor Timur. Untungnya, perpecahan tersebut tidak merembet ke daerah lain.
Penyelesaian konflik pada tiap kepemimpinan hampir tidak pernah tuntas,
terutama pada masa awal Reformasi. Hal ini tidak lain karena jalannya
pemerintahan sangatlah singkat.
Daftar Pustaka
Aning S, Floriberta. 2005. 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia: Biografi Singkat
Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah Indonesia di Abad 20.
Yogyakarta: Narasi.
Aswicahyono, Haryo dan David Christian. 2007. Perjalanan Reformasi Ekonomi
Indonesia 1997-2016. Econimics Working Paper 02-2017. CSIS Working Paper
Series.
Chairudin. 2011a. Jasa-Jasa Presiden RI: B.J. Habibie. Boyolali: Hamudha Prima
Media.
Chairudin. 2011b. Jasa-Jasa Presiden RI: Abdurrahman Wahid. Boyolali: Hamudha
Prima Media.
Chairudin. 2011c. Jasa-Jasa Presiden RI: Megawati Soekarnoputri. Boyolali: Hamudha
Prima Media.
Fernandes, Frans S. 1989. Hubungan Internasional dan Peranan Bangsa Indonesia Suatu
Pendekatan Sejarah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Hakim, Abdul dan Guswildan Giovani. 2012. “Perbandingan Perekonomian dari masa
Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono (1945-2009).” Ekonomika-Bisnis,
3(2): 161-180.
Juwono, Vishnu. 2001. “Abdurrahman Wahid dan Agenda Pasca-SI MPR. Dalam
Perjalanan Politik Gus Dur. 2010. Jakarta: Kompas. Hlm. 252-260.
Madinier, Rémy. 2017. “Dari Revolusi hingga Reformasi: Perjalanan Mutasi Politik yang
Tak Kunjung Selesai.” Dalam Rémy Madinier (ed). Revolusi Tak Kunjung Selesai
Potret Indonesia Masa Kini. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia & IRASEC.
Hlm. 129-185.
Musa, Ali Masykur. 2010. Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur. Jakarta: Erlangga.
Poesponegoro, Marwati Djoned dan Nugroho Notosusanto (ed). 2010. Sejarah Nasional
Indonesia VI. Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka.
Radjab, Suryadi A. 1999. “Presiden Gus Dur dan Perbaikan Ekonomi.” Dalam
Perjalanan Politik Gus Dur. 2010. Jakarta: Kompas. Hlm. 31-37.
Ricklefs, M.C. 2010. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Terjemahan. Jakarta:
Serambi.
Sekretariat Jenderal KPU. 2010. Pemilu untuk Pemula. Jakarta: Komisi Pemilihan
Umum.
Simanjuntak, P.N.H. 2003. Kabinet-Kabinet Republik Indonesia dari Awal Kemerdekaan
sampai Reformasi. Jakarta: Djambatan.
Tim Litbang Kompas. 1999. Partai-Partai Politik Indonesia Ideologi, Strategi, dan
Peogram. Jakarta: Kompas.
Van Zanden, Jan Luiten dan Daan Marks. 2012. Ekonomi Indonesia 1800-2010 Antara
Drama dan Keajaiban Pertumbuhan. Jakarta: Kompas dan KITLV.