Anda di halaman 1dari 102

Perceraian boleh karena zinah fisik?

Ryan Calvin

Matius 5:31-32

I) Perceraian pada jaman Yesus.

1) Yang diucapkan Yesus dalam ay 31 lagi-lagi merupakan ajaran ahli-


ahli Taurat tentang Perjanjian Lama.

Ay 31: “Telah difirmankan juga: Siapa yang menceraikan isterinya


harus memberi surat cerai kepadanya”.

NASB: “And it was said, ‘Whoever sends his wife away, let him give
her a certificate of divorce’” (= Dan telah dikatakan: ‘Siapapun yang
menceraikan istrinya, hendaklah ia memberinya surat cerai’).

2) Text Perjanjian Lama yang dipersoalkan.

Ul 24:1-4 - “(1) ‘Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan


menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai
lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya,
lalu ia menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan
itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya, (2) dan jika
perempuan itu keluar dari rumahnya dan pergi dari sana, lalu menjadi
isteri orang lain, (3) dan jika laki-laki yang kemudian ini tidak cinta
lagi kepadanya, lalu menulis surat cerai dan menyerahkannya ke
tangan perempuan itu serta menyuruh dia pergi dari rumahnya, atau
jika laki-laki yang kemudian mengambil dia menjadi isterinya itu mati,
(4) maka suaminya yang pertama, yang telah menyuruh dia pergi itu,
tidak boleh mengambil dia kembali menjadi isterinya, setelah
perempuan itu dicemari; sebab hal itu adalah kekejian di hadapan
TUHAN. Janganlah engkau mendatangkan dosa atas negeri yang
diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu”.
Pada jaman itu ada kontroversi / perdebatan antara Rabbi Shammai
versus Rabbi Hillel. Mereka adalah 2 rabbi Yahudi yang
bertentangan pendapat tentang syarat perceraian yang mereka
tafsirkan dari Ul 24:1-4.

Catatan:

 perlu dicamkan bahwa sebetulnya Ul 24:1-4 sama sekali tidak


memberikan ijin cerai ataupun syarat perceraian. Ul 24:1-4 itu
hanya menekankan bahwa kalau seseorang menceraikan istrinya,
dan istrinya itu lalu menjadi istri dari laki-laki lain, dan lalu
pernikahan kedua itu juga putus, maka laki-laki pertama itu tidak
boleh mengambil kembali perempuan itu menjadi istrinya lagi.

Secara implicit, bagian ini justru memperingatkan orang untuk


tidak gampang-gampang bercerai, karena kalau suatu hari ia
menyesal dan ingin rujuk, ia tidak bisa rujuk [kalau istri yang
dicerai itu belum kawin lagi, maka rujuk diijinkan (1Kor 7:11),
tetapi ia kalau sudah kawin lagi, rujuk tidak lagi dimungkinkan].

 kalaupun dalam prakteknya, Musa menyuruh seorang suami yang


menceraikan istrinya untuk memberikan surat cerai, itu tidak
berarti bahwa perceraian itu diijinkan. Perceraian tetap dilarang,
tetapi diberikan peraturan kalau hal itu terjadi.

Bandingkan dengan Ul 21:15-17 - “‘Apabila seorang mempunyai


dua orang isteri, yang seorang dicintai dan yang lain tidak
dicintainya [KJV/Lit: ‘hated’ (= dibenci)], dan mereka melahirkan
anak-anak lelaki baginya, baik isteri yang dicintai maupun isteri
yang tidak dicintai, dan anak sulung adalah dari isteri yang tidak
dicintai, maka pada waktu ia membagi warisan harta kepunyaannya
kepada anak-anaknya itu, tidaklah boleh ia memberikan bagian
anak sulung kepada anak dari isteri yang dicintai merugikan anak
dari isteri yang tidak dicintai, yang adalah anak sulung. Tetapi ia
harus mengakui anak yang sulung, anak dari isteri yang tidak
dicintai itu, dengan memberikan kepadanya dua bagian dari segala
kepunyaannya, sebab dialah kegagahannya yang pertama-tama:
dialah yang empunya hak kesulungan.’”.

Apakah text ini mengijinkan polygamy, dan lebih-lebih apakah text


ini mengijinkan seorang yang melakukan polygamy itu mencintai
seorang istri dan membenci istri yang lain? Tentu saja tidak, tetapi
Tuhan tahu bahwa itu pasti akan terjadi, dan karena itu di sini Ia
memberikan peraturan kalau hal itu terjadi.
 dalam hal ini perlu diwaspadai terjemahan yang salah dari KJV
yang berbunyi sebagai berikut: ‘When a man hath taken a wife,
and married her, and it come to pass that she find no favour in his
eyes, because he hath found some uncleanness in her: then let
him write her a bill of divorcement, and give it in her hand, and
send her out of his house. And when she is departed out of his
house, she may go and be another man’s wife. And if the latter
husband hate her, and write her a bill of divorcement, and giveth it
in her hand, and sendeth her out of his house; or if the latter
husband die, which took her to be his wife; Her former husband,
which sent her away, may not take her again to be his wife, after
that she is defiled; for that is abomination before the LORD: and
thou shalt not cause the land to sin, which the LORD thy God
giveth thee for an inheritance’ (= Pada waktu seorang laki-laki
telah mengambil seorang istri, dan menikah dengan dia, dan
terjadilah bahwa ia tidak menyenangkan dalam matanya, karena
ia telah menemukan suatu kenajisan dalam dia: maka hendaklah
ia menuliskan surat perceraian, dan memberikannya ke
tangannya, dan menyuruhnya keluar dari rumahnya. Dan pada
waktu ia meninggalkan rumah itu, ia boleh pergi dan menjadi istri
orang laki-laki lain. Dan jika suami yang belakangan ini
membencinya, dan menulis baginya surat cerai, dan
memberikannya kepadanya, dan mengusirnya dari rumahnya;
atau jika suami yang belakangan ini, yang mengambilnya sebagai
istri, mati; suaminya yang terdahulu, yang telah mengusirnya,
tidak boleh mengambil dia kembali menjadi istrinya, setelah ia
dinajiskan; karena itu merupakan kekejian di hadapan TUHAN:
dan engkau akan menyebabkan negeri, yang diberikan TUHAN
Allahmu kepadamu sebagai warisanmu ini, berdosa).

Yang digaris-bawahi itu salah terjemahan. Kesalahan


penterjemahan ini menyebabkan dalam KJV ini kelihatannya
memang perceraian dan pernikahan lagi itu memang diijinkan,
padahal dalam terjemahan. yang seharusnya tidaklah demikian.
Dalam terjemahan dari NKJV (New King James Version)
kesalahan ini sudah dibetulkan.

a) Rabbi Shammai menyoroti kata-kata ‘yang tidak senonoh’ dalam


Ul 24:1.

KJV: ‘some uncleanness’ (= suatu kenajisan).

RSV/NASB: ‘some indecency’ (= ketidak-senonohan).

NIV: ‘something indecent’ (= sesuatu yang tidak senonoh).


Kelihatannya Barclay menganggap bahwa Rabbi Shammai
berpendapat bahwa kata-kata ‘yang tidak senonoh’ dalam Ul 24:1
menunjuk pada perzinahan. Jadi ia berkata bahwa menurut rabbi
Shammai perceraian diijinkan hanya kalau terjadi perzinahan.

Barclay tentang Mat 5:31-32: “Shammai and his school defined


‘some indecency’ as meaning unchastity and nothing but unchastity.
‘Let a wife be as mischievous as the wife of Ahab,’ they said, ‘she
cannot be divorced except for adultery.’” (= Shammai dan
kelompoknya mendefinisikan ‘yang tidak senonoh’ sebagai ‘ketidak-
murnian’ / ‘perzinahan’ dan tidak ada yang lain kecuali
‘perzinahan’. ‘Biarlah seorang istri sama jahatnya seperti istri
Ahab’, kata mereka, ‘ia tidak bisa diceraikan kecuali
karena perzinahan) - hal 152.

Catatan: saya tidak terlalu mengerti pandangan Barclay, karena


kata ‘unchastity’ bisa diterjemahkan bermacam-macam. Tetapi
dari bagian akhir kutipan itu, terlihat bahwa Barclay
menganggapnya sebagai ‘perzinahan’. Yang ini tidak diragukan
karena Barclay menggunakan kata ‘adultery’ yang memang
berarti ‘perzinahan’.

Tasker kelihatannya mempunyai pandangan yang sama dengan


Barclay, karena ia mengatakan sebagai berikut:

Tasker (Tyndale): “Jesus favoured the interpretation put on


Deutronomy 24:1 by the stricter school of Jewish intrepreters” [=
Yesus setuju / menyokong penafsiran tentang Ul 24:1 oleh kelompok
/ aliran yang lebih ketat dari penafsir Yahudi (maksudnya tentu
saja adalah Shammai)] - hal 69.

Tetapi John Stott mempunyai pandangan berbeda. Menurutnya,


Rabbi Shammai tidak menganggap hal itu sebagai suatu
perzinahan, karena perzinahan diancam dengan hukuman mati,
bukan dengan perceraian. Jadi, istilah itu dianggap menunjuk
pada pelanggaran sexual, tetapi belum sampai pada perzinahan /
persetubuhan.

John Stott: “‘something shameful’ (NEB, RSV) or ‘something


indecent’ (NIV) in his wife. This cannot refer to adultery on her part,
for this was punishable by death, not divorce. So what was it? During
the first century B. C. the rival pharisaic parties led by Rabbi Shammai
and Rabbi Hillel were debating this very thing. Shammai was strict and
understood ‘something indecent’ (whose Hebrew root alludes to
‘nakedness’ or ‘exposure’) as a sexual offence of some kind which,
though left undefined, fell short of adultery or promiscuity” [=
‘sesuatu yang memalukan’ (NEB, RSV) atau ‘sesuatu yang tidak
senonoh’ (NIV) dalam diri istrinya. Ini tidak bisa menunjuk pada
perzinahan karena perzinahan dijatuhi hukuman mati, bukan
perceraian. Lalu itu menunjuk pada apa? Selama abad pertama S.
M. kelompok-kelompok Farisi yang bersaingan dipimpin oleh Rabbi
Shammai dan Rabbi Hillel memperdebatkan hal ini. Shammai
sangat ketat dan mengartikan ‘yang tidak senonoh’ (yang akar kata
bahasa Ibraninya menunjuk pada ‘ketelanjangan’ atau
‘pembukaan’) sebagai pelanggaran sexual yang sekalipun tidak
didefinisikan, tetapi tidak sampai pada perzinahan atau
persetubuhan] - ‘Involvement’, vol II, hal 164.

James Hurley mempunyai pandangan yang sama dengan John


Stott, tetapi ia juga secara explicit mengatakan bahwa ada
perbedaan pendapat tentang apa yang dimaksudkan oleh rabbi
Shammai.

James B. Hurley: “The school of Shammai took a much stricter stand.


They understood Moses to permit divorce only for a ‘shameful thing’
or ‘indecency’ ... Scholars have debated the precise meaning of Moses’
phrase and Shammai’s use of it” (= Kelompok Shammai mengambil
arti yang jauh lebih ketat. Mereka mengartikan Musa mengijinkan
perceraian hanya karena ‘sesuatu yang memalukan’ atau’ ketidak-
senonohan’ ... Para penafsir berdebat tentang arti yang tepat dari
ungkapan yang digunakan oleh Musa, dan penggunaan oleh
Shammai terhadap ungkapan itu) - ‘Man and Woman in Biblical
Perspective’, hal 97-98.

James B. Hurley: “The school of Shammai ... allowed divorce only for
‘ a shameful thing’ or ‘an indecency’. It is difficult to tell what
Shammai meant by the phrase. Many scholars have translated it as
‘unchastity’. By ‘unchastity’ some scholars meant ‘illicit sexual
relations’; others meant ‘unbecoming behaviour’. The Talmudic
rabbis seem to have similar uncertainty. In some text ‘an indecency’ is
left to stand in its ambiguity. Elsewhere the rabbis add further
explanations such as spinning in the street, going out ‘uncovered’, or
not wearing enough clothes ... These actions were regarded as flagrant
violations of marital propriety and as potentially seductive” [=
Kelompok Shammai ... mengijinkan perceraian hanya karena ‘hal
yang memalukan’ atau ‘suatu ketidak-senonohan’. Adalah sukar
untuk mengatakan apa yang dimaksud Shammai dengan istilah ini.
Banyak penafsir menterjemahkannya sebagai ‘unchastity’. Ada
penafsir yang mengartikan kata ‘unchastity’ ini sebagai ‘hubungan
sex yang haram’; dan penafsir-penafsir yang lain mengartikan
‘kelakuan yang tidak pantas’. Rabbi-rabbi dalam kitab Talmud
kelihatannya mempunyai ketidak-pastian yang mirip. Dalam
sebagian text kata-kata ‘an indecency’ / ‘suatu ketidak-senonohan’
itu dibiarkan dalam arti gandanya. Di tempat lain rabbi-rabbi
menambahkan penjelasan-penjelasan lebih lanjut seperti berputar /
pusing di jalan (?), pergi ke luar dengan telanjang, atau tidak
mengenakan pakaian yang cukup ... Tindakan-tindakan ini
dianggap sebagai pelanggaran yang menyolok dari kesopanan
pernikahan dan sebagai sangat memungkinkan untuk menggoda] -
‘Man and Woman in Biblical Perspective’, hal 100.

b) Rabbi Hillel menyoroti kata-kata ‘ia tidak menyukai lagi


perempuan itu’ dalam Ul 24:1 dan lalu menafsirkan bahwa segala
tindakan istri yang tidak menyenangkan suami boleh dijadikan
alasan untuk menceraikan istri (termasuk tindakan yang remeh
seperti menggosongkan makanan waktu masak, bicara terlalu
keras sehingga terdengar oleh tetangga dsb).

Adam Clarke: “Rabbi Akiba said, ‘If any man saw a woman
handsomer than his own wife, he might put his wife away; because it is
said in the law, ‘If she find not favour in his eyes.’ Deut. 24:1” (=
Rabbi Akiba berkata: ‘Jika ada orang yang melihat seorang
perempuan yang lebih cantik dari istrinya sendiri, ia boleh
menyingkirkan / menceraikan istrinya; karena dikatakan dalam
hukum Taurat: ‘Jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan
itu’. Ul 24:1) - hal 74.

Adam Clarke: “Josephus, the celebrated Jewish historian, ‘in his


Life’, tells us, with the utmost coolness and indifference, ‘About this
time I put away my wife, who had borne me three children, not being
pleased with her manners.’” (= Josephus, ahli sejarah Yahudi yang
terkenal, ‘dalam kehidupannya’, memberitahu kita, dengan sikap
dingin dan acuh tak acuh, ‘Kira-kira pada saat ini aku
menyingkirkan / menceraikan istriku, yang telah melahirkan bagiku
3 anak, karena aku tidak senang dengan kelakuannya’) - hal 74.

Jelas bahwa pandangan Hillel lebih banyak diterima, khususnya oleh


orang laki-laki, dari pada pandangan Shammai! Ini, ditambah dengan
fakta bahwa proses perceraian merupakan suatu proses yang sangat
mudah, membuat pernikahan merupakan sesuatu yang sangat
rawan / tidak aman.

Barclay: “The process of divorce was extremely simple. The bill of


divorcement simply ran: ‘Let this be from me thy writ of divorce and letter
of dismissal and deed of liberation, that thou mayest marry whatsoever
man thou wilt.’ All that had to be done was to hand that document to the
woman in the presence of two witnesses and she stood divorced” (= Proses
perceraian sangat sederhana. Surat perceraian hanya berbunyi: ‘Inilah
surat perceraianmu dariku dan surat pembebasan dan tindakan
kemerdekaan, supaya engkau bisa menikahi siapapun yang engkau
kehendaki’. Semua yang harus dilakukan adalah menyerahkan
dokumen itu ke tangan perempuan itu di hadapan dua saksi dan
perempuan itu sudah diceraikan) - hal 151.

Barclay: “Human nature being such as it is, it is easy to see which school
would have the greater influence. In the time of Jesus divorce had grown
easier and easier, so that a situation had arisen in which girls were
actually unwilling to marry, because marriage was so insecure” (=
Melihat keadaan manusia, adalah mudah untuk mengetahui pihak
mana yang mempunyai pengaruh yang lebih besar. Pada jaman Yesus
perceraian telah menjadi makin lama makin mudah, sehingga muncul
suatu situasi dimana gadis-gadis betul-betul tidak mau menikah,
karena pernikahan begitu ‘tidak pasti / aman’) - hal 152.

II) Ajaran Yesus tentang perceraian.

Ay 32: “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan


isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan
siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah”.

Bdk. Mat 19:9 - “Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa


menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan
perempuan lain, ia berbuat zinah.’”.

1) “Setiap orang yang menceraikan isterinya”.

Matius hanya mempersoalkan suami yang menceraikan istri, karena


Matius menujukan Injilnya terutama untuk orang-orang Yahudi,
dimana yang banyak terjadi adalah kasus suami menceraikan istri,
dan tidak pernah terjadi sebaliknya. Tetapi Markus yang menuliskan
Injilnya kepada orang-orang non Yahudi, juga melarang istri
menceraikan suaminya.

William Hendriksen: “Matthew was writing primarily to Jews, among


whom the rejection of a wife by her husband was well-known, but not
vice-versa. Mark, writing to Gentiles, includes both possibilities
(10:11,12). But naturally Matt. 5:32 applies to the wife who ‘puts away’
her husband as well as to the husband who does the same to his wife” [=
Matius menulis terutama kepada orang-orang Yahudi, di antara siapa
penolakan seorang istri oleh suaminya merupakan sesuatu yang
terkenal, tetapi tidak sebaliknya. Markus, menulis kepada orang-orang
non Yahudi, mencakup kedua kemungkinan (10:11,12). Tetapi tentu
saja Mat 5:32 berlaku bagi istri yang menceraikan suaminya sama
seperti bagi suami yang melakukan hal yang sama terhadap istrinya] -
hal 305 (footnote).

Mark 10:11-12 - “Lalu kataNya kepada mereka: ‘Barangsiapa


menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup
dalam perzinahan terhadap isterinya itu. Dan jika si isteri menceraikan
suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah.’”.

2) Kalimat perkecualian: ‘kecuali karena zinah’.

Ada macam-macam pandangan tentang bagian ini.

a) Ada yang menganggap kalimat perkecualian ini sebagai tidak


sah, karena Markus dan Lukas tidak mempunyainya.

Barclay: “It is now that we are face to face with one of the most real
and most acute difficulties in the New Testament. ... The difficulty is -
and there is no escaping it - that Mark and Matthew report the words
of Jesus differently. ... both Mark and Luke make the prohibition of
divorce absolute; with them there are no exceptions whatsoever. But
Matthew has one saving clause - divorce is permitted on the ground of
adultery. ... In the last analysis we must choose between Matthew’s
version of this saying and that of Mark and Luke. We think there is
little doubt that the version of Mark and Luke is right. ... Matthew’s
saving clause is a later interpretation inserted in the light of the
practice of the Church when he wrote” (= Sekarang kita berhadapan
dengan salah satu dari kesukaran-kesukaran yang paling nyata dan
paling akut dalam Perjanjian Baru. Kesukarannya adalah - dan
tidak ada jalan untuk lolos dari kesukaran ini - bahwa Markus dan
Matius melaporkan kata-kata Yesus secara berbeda. ... Baik Markus
maupun Lukas membuat larangan perceraian itu mutlak; pada
mereka tidak ada perkecualian apapun. Tetapi Matius mempunyai
satu kalimat perkecualian - perceraian diijinkan dengan alasan
perzinahan. ... Pada analisa terakhir kita harus memilih antara versi
Matius dari kata-kata ini dan versi Markus dan Lukas. Kami
berpendapat bahwa tidak diragukan bahwa versi dari Markus dan
Lukaslah yang benar. ... Kalimat perkecualian Matius merupakan
penafsiran belakangan yang dimasukkan dalam terang dari praktek
dari Gereja pada saat ia menulis) - hal 200-202.

Catatan: ayat dalam Markus adalah Mark 10:11-12; sedangkan


ayat dalam Lukas adalah Luk 16:18.
Mark 10:11-12 - “Lalu kataNya kepada mereka: ‘Barangsiapa
menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup
dalam perzinahan terhadap isterinya itu. Dan jika si isteri
menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat
zinah.’”.

Luk 16:18 - “Setiap orang yang menceraikan isterinya, lalu kawin


dengan perempuan lain, ia berbuat zinah; dan barangsiapa kawin
dengan perempuan yang diceraikan suaminya, ia berbuat zinah.’”.

Tetapi perlu diketahui bahwa dalam Mat 5:32 maupun Mat 19:9
tidak ada perbedaan manuscripts. Semua manuscripts
mempunyai kalimat perkecualian tersebut.

Komentar-komentar tentang ‘kalimat perkecualian’ dalam


Mat 19:9 dan Mat 5:32 yang tidak ada dalam Markus dan Lukas:

John Stott:

 “Because it does not occur in the parallel sayings in Mark and


Luke, many scholars have been too ready to dismiss it. Some
suggest that it was an early scribal interpolation and no part of
Matthew’s original text. But there is no manuscript evidence that it
was a gloss; even the alternative reading of Codex Vaticanus,
retained in the RSV margin, does not omit the clause. Other
scholars attribute the clause to Matthew himself, and / or to the
church in which he was writing, but deny that Jesus ever spoke it.
But its omission by Mark and Luke is not in itself a sufficient
ground for rejecting it as an editorial invention or interpretation by
the first evangelist. It is perfectly possible to suppose that Matthew
included it for his Jewish readership who were very concerned
about the permissible grounds for divorce, whereas Mark and Luke,
writing for Gentile readers, did not have the same concern. Their
silence is not necessarily due to ignorance; it may equally well be
that they took the clause for granted. Pagan cultures regarded
adultery as a ground for divorce. So did both the Jewish schools of
Hillel and Shammai, in spite of their disagreements on other points.
This was not in dispute” [= Karena itu (kalimat perkecualian)
tidak ada dalam kata-kata yang paralel dari Markus dan Lukas,
banyak penafsir yang terlalu siap untuk membuangnya. Sebagian
mengusulkan bahwa itu merupakan suatu penyisipan awal dari
penyalin dan bukan bagian dari text orisinil Matius. Tetapi tidak
ada bukti manuscripts bahwa itu merupakan catatan /
keterangan; bahkan dalam pembacaan yang berbeda dari Codex
Vaticanus, yang dipertahankan dalam catatan tepi dari RSV,
tidak membuang kalimat itu. Penafsir-penafsir lain menganggap
bahwa kalimat itu berasal dari Matius sendiri, dan / atau dari
gereja kepada siapa ia menulis, tetapi menyangkal bahwa Yesus
pernah mengucapkannya. Tetapi tidak adanya kalimat itu dalam
Markus dan Lukas bukan merupakan alasan yang cukup untuk
menolaknya sebagai suatu ciptaan redaksi atau penafsiran oleh
penginjil pertama itu (Matius). Adalah mungkin untuk
menganggap bahwa Matius mencakupnya karena pembaca
Yahudinya yang sangat memperhatikan tentang dasar-dasar
yang memungkinkan perceraian, sedangkan Markus dan Lukas,
yang menulis kepada pembaca-pembaca non Yahudi, tidak
mempunyai perhatian yang sama. Diamnya mereka tidak harus
disebabkan oleh ketidak-tahuan; juga mungkin bahwa mereka
menganggap kalimat itu sudah jelas / pasti (sehingga tidak perlu
ditulis). Kebudayaan kafir menganggap perzinahan sebagai
dasar perceraian. Demikian juga kedua kelompok / aliran dari
Hillel dan Shammai, sekalipun mereka mempunyai ketidak-
cocokan dalam hal-hal lain. Ini tidak diperdebatkan] -
‘Involvement’, vol II, hal 169-170.

 “It seems far more likely that its absence from Mark and Luke is
due not to their ignorance of it but to their acceptance of it as
something taken for granted. After all, under the Mosaic law
adultery was punishable by death (although the death penalty for
this offence seems to have fallen into disuse by the time of Jesus);
so nobody would have questioned that marital unfaithfulness was a
just ground for divorce. Even the rival Rabbis Shammai and Hillel
were agreed about this” [= Jauh lebih memungkinkan bahwa
tidak adanya kalimat perkecualian dalam Markus dan Lukas
bukan disebabkan karena ketidak-tahuan mereka tentang hal
itu, tetapi karena mereka menerima hal itu sebagai sesuatu yang
sudah pasti / jelas. Dalam jaman Musa, perzinahan dihukum
dengan hukuman mati (sekalipun hukuman mati untuk
pelanggaran ini kelihatannya sudah tidak dilakukan pada jaman
Yesus); sehingga tak seorangpun akan mempertanyakan bahwa
ketidak-setiaan pernikahan merupakan alasan yang benar untuk
perceraian. Bahkan Rabbi Shammai dan Hillel yang bersaingan
setuju tentang hal ini] - ‘The Message of the Sermon on the
Mount’, hal 96,97.

Tasker (Tyndale): “There is no manuscripts evidence for the omission


of the exception-clause” (= Tidak ada bukti manuscripts untuk
penghapusan dari kalimat perkecualian) - hal 96.
A. T. Robertson: “An unusual phrase that perhaps means ‘except for
a matter of unchastity.’ ... McNeile denies that Jesus made this
exception because Mark and Luke do not give it. He claims that the
early Christians made the exception to meet a pressing need, but one
fails to see the force of this charge against Matthew’s report of the
words of Jesus” (= Suatu ungkapan yang tidak biasa, yang mungkin
berarti ‘kecuali karena persoalan ketidak-murnian / perzinahan’. ...
McNeille menyangkal bahwa Yesus membuat perkecualian ini
karena Markus dan Lukas tidak memnberikannya. Ia mengclaim
bahwa orang-orang Kristen abad-abad awal membuat perkecualian
untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak, tetapi seseorang gagal
untuk melihat kekuatan dari tuduhan terhadap laporan Matius
tentang kata-kata Yesus) - ‘Word Pictures in the New Testament’,
vol I, hal 47.

A. T. Robertson memberi komentar tambahan tentang kata-kata


McNeile ini:

“That in my opinion is gratuitous criticism which is unwilling to accept


Matthew’s report because it disagrees with one’s views on the subject
of divorce. He adds: ‘It cannot be supposed that Matthew wished to
represent Jesus as siding with the school of Shammai.’ Why not, if
Shammai on this point agreed with Jesus?” (= Dalam pandangan saya
merupakan suatu kritik yang serampangan / tidak beralasan / tidak
pada tempatnya jika seseorang tidak mau menerima laporan Matius
karena laporan itu tidak cocok dengan pandangannya tentang
pokok perceraian. Ia menambahkan: ‘Tidak bisa dianggap bahwa
Matius ingin menggambarkan Yesus sebagai berpihak kepada
kelompok / aliran Shammai’. Mengapa tidak, jika Shammai dalam
hal ini setuju dengan Yesus?) - ‘Word Pictures in the New
Testament’, vol I, hal 155.

Catatan: dari kata-kata yang terakhir ini kelihatannya A. T.


Robertson menganggap bahwa Shammai mengijinkan perceraian
hanya kalau terjadi perzinahan (sama seperti pandangan Barclay
tentang Shammai).

b) Kata yang diterjemahkan ‘zinah’ adalah PORNEIA, dan kata


PORNEIA ini biasanya diterjemahkan ‘fornication’ (= percabulan),
dan ini biasanya dibedakan dengan kata Yunani MOICHEIA, yang
biasanya diartikan ‘adultery’ (= perzinahan).

Biasanya ‘adultery’ (= perzinahan) dianggap menunjuk pada


tindakan orang yang sudah menikah, sedangkan ‘fornication’ (=
percabulan) menunjuk pada tindakan orang yang belum menikah.
Ini menyebabkan ada yang menafsirkan bahwa yang Yesus
maksudkan adalah:

1. Perzinahan yang dilakukan sebelum pernikahan, dan baru


diketahui sesudah pernikahan. Bandingkan dengan Ul 22:13-
21 - orang kawin tetapi tidak didapati tanda keperawanan.

John Stott: “The Greek word is PORNEIA. It is normally


translated ‘fornication’, denoting the immorality of the unmarried,
and is often distinguished from MOICHEIA (‘adultery’), the
immorality of the married. For this reason some have argued that
the exceptive clause permits divorce if some pre-marital sexual sin
is later discovered” [= Kata Yunaninya adalah PORNEIA.
Biasanya kata itu diterjemahkan ‘percabulan’, menunjuk pada
tindakan tidak bermoral dari orang yang belum menikah, dan
kata itu sering dibedakan dari MOICHEIA (‘perzinahan’),
tindakan tidak bermoral dari orang yang sudah
menikah. Karena alasan ini beberapa orang berargumentasi
bahwa kalimat perkecualian mengijinkan perceraian jika dosa
sexual yang terjadi sebelum pernikahan ditemukan / diketahui
belakangan] - ‘The Message of the Sermon on the Mount’, hal
97.

Matthew Henry tentang Mat 19:9: “Dr. Whitby understands this,


not of adultery, but (because our Saviour uses the word porneia -
fornication) of uncleanness committed before marriage, but
discovered afterward; because if it were committed after, it was a
capital crime, and there needed no divorce” [= Dr. Whitby
mengerti ini, bukan sebagai perzinahan, tetapi (karena
Juruselamat kita menggunakan kata porneia / PORNEIA -
percabulan) kenajisan yang dilakukan sebelum pernikahan,
tetapi baru diketemukan kemudian; karena jika itu dilakukan
setelah pernikahan, itu harus dihukum mati, dan tidak perlu ada
perceraian] - hal 270.

2. Perzinahan yang dilakukan pada masa pertunangan tingkat


dua dalam adat Yahudi.

Dalam tradisi mereka ada beberapa tahap menuju pernikahan:

a. Pertunangan I (engagement).

Pertunangan I ini terjadi pada waktu dua orang yang diper-


tunangkan itu masih kecil, dimana mereka dipertunangkan
oleh orang tua mereka, dan mereka belum saling kenal.
Pertunangan I ini bisa dibatalkan.

b. Pertunangan II (bethrotal).

Pertunangan II ini terjadi setelah dua orang tadi sudah


cukup umur. Pada saat pertunangan II ini mereka sudah
disebut ‘suami istri’ (bdk. Ul 22:23-24; dalam ay 23nya
disebutkan ‘bertunangan’ tetapi dalam ay 24nya disebut
sebagai ‘istri’) tetapi mereka belum tinggal bersama dan
mereka belum boleh melakukan hubungan sex. Dalam
tradisi Yahudi saat itu, pemutusan pertunangan II ini
dianggap sebagai perceraian dan dianggap sebagai dosa.
Pertunangan II ini hanya berlangsung 1 tahun.

c. Pernikahan.

Pandangan ini menganggap bahwa perzinahan itu terjadi pada


masa pertunangan tingkat dua. Bandingkan dengan kasus
Yusuf yang hendak menceraikan Maria, karena ia mengira
bahwa Maria mengandung dari perzinahan.

The Wycliffe Bible Commentary tentang Mat 19:9: “If


fornication be regarded as a general term including adultery (an
identification most uncertain in the New Testament), then our Lord
allowed divorce only for the cause of infidelity by the wife. ...
However, if fornication be viewed in its usual meaning, and
referred here to unchastity by the bride during betrothal (cf.
Joseph’s suspicious, Mt 1:18,19), then Christ allowed no grounds
what ever for divorce of married persons. Thus he agreed neither
with Shammai nor Hillel” [= Jika percabulan dianggap sebagai
suatu istilah umum yang mencakup perzinahan (suatu
identifikasi yang sangat tidak pasti dalam Perjanjian Baru),
maka Tuhan kita mengijinkan perceraian hanya karena ketidak-
setiaan oleh istri. ... Tetapi, jika percabulan dipandang dalam
artinya yang biasa, dan di sini menunjuk pada perzinahan oleh
mempelai perempuan pada masa pertunangan (bdk. kecurigaan
Yusuf, Mat 1:18-19), maka Kristus tidak mengijinkan dasar
apapun untuk perceraian dari orang-orang yang menikah.
Dengan demikian Ia tidak setuju baik dengan Shammai ataupun
Hillel] - hal 963.

Westminster Confession of Faith, chapter XXIV, No 5a -


“Adultery or fornication committed after a contract, being detected
before marriage, giveth just occasion to the innocent party to
dissolve the contract” (= Perzinahan atau percabulan yang
dilakukan setelah suatu kontrak / perjanjian, yang dideteksi
sebelum pernikahan, memberikan alasan yang benar kepada
pihak yang tidak bersalah untuk membubarkan kontrak /
perjanjian).

Catatan: kata-kata dari Westminster Confession of Faith di sini


tidak berarti bahwa Westminster Confession of
Faith menyetujui penafsiran ini. Ini terlihat dari pasal 24 ayat 5b
yang nanti saya kutip di bawah. Westminster Confession of
Faith hanya menganggap bahwa dalam kasus seperti itu,
perceraian diijinkan. Dasar yang dipakai adalah kasus Yusuf
dan Maria (Mat 1:18-19).

Keberatan terhadap pandangan ini:

a. Dalam Mat 19, Yesus dan orang-orang Farisi tidak sedang


berbicara tentang pertunangan, tetapi tentang pernikahan.
Dan dalam Mat 19, text-text Kitab Suci yang dipersoalkan,
yaitu Ul 24:1-4 dan Kej 2:24, semua berbicara tentang
pernikahan, bukan pertunangan.

Mat 19:3-10 - “(3) Maka datanglah orang-orang Farisi


kepadaNya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya: ‘Apakah
diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan
apa saja?’ (4) Jawab Yesus: ‘Tidakkah kamu baca, bahwa Ia
yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka
laki-laki dan perempuan? (5) Dan firmanNya: Sebab itu laki-
laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan
isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. (6)
Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena
itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan
manusia.’ (7) Kata mereka kepadaNya: ‘Jika demikian,
apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan
surat cerai jika orang menceraikan isterinya?’ (8) Kata Yesus
kepada mereka: ‘Karena ketegaran hatimu Musa
mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula
tidaklah demikian. (9) Tetapi Aku berkata kepadamu:
Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu
kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.’ (10) Murid-
murid itu berkata kepadaNya: ‘Jika demikian halnya
hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin.’”.

b. Arti dan penggunaan dari kata PORNEIA.


 Kata PORNEIA tidak hanya menunjuk pada dosa sexual
dari orang yang belum menikah, tetapi kata ini
merupakan istilah umum yang artinya luas, dan
mencakup hal-hal seperti:

 incest (1Kor 5:1).

 homosex (Yudas 7).

 perzinahan (Yer 3:2,6 versi LXX).

 Ada penafsir mengatakan bahwa kata PORNEIA


digunakan dalam Sirakh 23:23 (salah satu kitab dari
kitab-kitab Apocrypha / Deutrokanonika) dan menunjuk
pada dosa dari seorang pezinah perempuan, yang jelas-
jelas sudah menikah.

Pulpit Commentary (tentang Mat 19:9): “it is not correct to


say that PORNEIA denotes solely the sin of unmarried
people. All illicit connection is described by this term, and it
cannot be limited to one particular kind of transgression. In
Ecclus. 23:23 it is used expressly of the sin of an
adulteress” (= tidak benar untuk mengatakan bahwa
PORNEIA hanya menunjuk pada dosa dari orang yang
belum menikah. Semua hubungan gelap / haram
digambarkan oleh istilah ini, dan itu tidak bisa dibatasi
pada satu jenis pelanggaran tertentu. Dalam Sirakh 23:23
kata itu digunakan secara jelas tentang dosa dari seorang
perzinah perempuan) - hal 244-245.

Catatan:

 jangan mencampur-adukkan kitab yang dalam


bahasa Inggris disebut ‘Ecclesiastes’ (= kitab
Pengkhotbah) dengan ‘Ecclesiasticus’. Yang terakhir
ini menunjuk kepada salah satu dari kitab-kitab
Apocrypha / Deutrokanonika, yang dalam bahasa
Indonesia (Kitab Suci Katolik) disebut ‘kitab Sirakh’.

 Sirakh 23:22-23 - “Demikianlah halnya seorang istri


yang meninggalkan suaminya dan dari orang lain
melahirkan waris. Sebab pertama-tama ia tidak taat
kepada hukum dari Yang Mahatinggi, keduanya ia
bersalah terhadap suaminya, ketiganya ia berzinah
dengan melacur, dan akhirnya melahirkan anak dari
laki-laki lain”.

 John Stott: “PORNEIA was, in fact, a generic word for


sexual infidelity or ‘marital unfaithfulness’ (NIV) and
included, ‘every kind of unlawful sexual intercourse’ (Arndt-
Gingrich)” [= dalam faktanya, PORNEIA merupakan kata
umum untuk ketidak-setiaan sexual atau ‘ketidak-setiaan
pernikahan’ (NIV) dan mencakup ‘setiap jenis hubungan
sex yang tidak sah’ (Arndt-Gingrich)] - ‘Involvement’, vol
II, hal 170.

Catatan: Arndt-Gingrich adalah nama-nama dari 2


penulis suatu lexicon / kamus Yunani yang sangat tebal,
dan merupakan lexicon / kamus standard.

 W. E. Vine: “PORNEIA (porneia) is used (a) of illicit sexual


intercourse, ... in Matt. 5:32 and 19:9 it stands for, or
includes, adultery; it is distinguished from it in 15:19 and
Mark 7:21” [= PORNEIA (porneia) digunakan (a) tentang
hubungan sexual yang tidak sah, ... dalam Mat 5:32 dan
19:9 kata itu berarti, atau mencakup, perzinahan; kata itu
dibedakan dari perzinahan dalam (Mat) 15:19 dan Mark
7:21] - ‘An Expository Dictionary of New Testament
Words’, hal 455.

 Knox Chamblin: “The meaning of PORNEIA. The


fundamental meaning of the term is ‘prostitution,’ in keeping
with its nominal counterpart PORNE, ‘prostitute, harlot.’ Yet
it also denotes ‘fornication’ and indeed can be used to
comprehend ‘every kind of unlawful sexual intercourse’ ...
Thus the term is more comprehensive than MOICHEIA,
‘adultery.’” (= Arti dari kata PORNEIA. Arti dasar dari
istilah ini adalah ‘pelacuran’, sesuai dengan kata benda
pasangannya yaitu PORNE, ‘pelacur’. Tetapi kata itu juga
menunjuk pada ‘percabulan’ dan bisa digunakan untuk
mencakup ‘setiap jenis hubungan sex yang tidak sah’ ...
Jadi istilah ini mempunyai arti yang lebih luas dari pada
MOICHEIA, ‘perzinahan’) - hal 150.

 John Stott: “PORNEIA is derived from PORNE, a


prostitute, without specifying whether she (or her client) is
married or unmarried. Further, it is used in the Septuagint
for the unfaithfulness of Israel, Yahweh’s bride, as
exemplified in Hosea’s wife Gomer. It seems, therefore, that
we must agree with R. V. G. Tasker’s conclusion that
PORNEIA is ‘a comprehensive word, including adultery,
fornication and unnatural vice’” [= PORNEIA diturunkan
dari PORNE, ‘seorang pelacur’, tanpa menyatakan apakah
ia (atau langganannya) menikah atau tidak menikah.
Selanjutnya, kata itu digunakan dalam Septuaginta untuk
ketidak-setiaan dari Israel, mempelai perempuan dari
Yahweh, seperti ditunjukkan dalam diri dari istri Hosea
yaitu Gomer. Karena itu, kelihatannya kita harus setuju
dengan kesimpulan dari R. V. G. Tasker bahwa PORNEIA
merupakan kata yang luas / meliputi banyak hal, termasuk
perzinahan, percabulan dan kejahatan sexual yang tidak
alamiah] - ‘The Message of the Sermon on the Mount’,
hal 97.

Catatan: pada footnotenya John Stott menyebutkan


bahwa ayat dalam Hosea yang dimaksudkan adalah:

 Hos 1:2,3 - “Ketika TUHAN mulai berbicara dengan


perantaraan Hosea, berfirmanlah Ia kepada Hosea:
‘Pergilah, kawinilah seorang perempuan sundal dan
peranakkanlah anak-anak sundal, karena negeri ini
bersundal hebat dengan membelakangi TUHAN.’ Maka
pergilah ia dan mengawini Gomer binti Diblaim, lalu
mengandunglah perempuan itu dan melahirkan
baginya seorang anak laki-laki”.

 Hos 2:1,3 - “‘Adukanlah ibumu, adukanlah, sebab dia


bukan isteriKu, dan Aku ini bukan suaminya; biarlah
dijauhkannya sundalnya dari mukanya, dan zinahnya
dari antara buah dadanya, ... Tentang anak-anaknya,
Aku tidak menyayangi mereka, sebab mereka adalah
anak-anak sundal”.

Catatan: dalam Kitab Suci Inggris Hos 2:2,4.

 Kata PORNEIA dan MOICHEIA digunakan


secara interchangeable (= bisa dibolak-balik) dalam
Wah 2:20-22, karena Wah 2:20,21 menggunakan
PORNEIA, sedangkan Wah 2:22 menggunakan
MOICHEIA, padahal semua membicarakan satu hal
yang sama.

Wah 2:20-22 - “(20) Tetapi Aku mencela engkau, karena


engkau membiarkan wanita Izebel, yang menyebut dirinya
nabiah, mengajar dan menyesatkan hamba-hambaKu
supaya berbuat zinah (porneusai / PORNEUSAI) dan
makan persembahan-persembahan berhala. (21) Dan Aku
telah memberikan dia waktu untuk bertobat, tetapi ia
tidak mau bertobat dari zinahnya (porneiaj / PORNEIAS).
(22) Lihatlah, Aku akan melemparkan dia ke atas ranjang
orang sakit dan mereka yang berbuat zinah (moiceuontaj /
MOICHEUONTAS) dengan dia akan Kulemparkan ke
dalam kesukaran besar, jika mereka tidak bertobat dari
perbuatan-perbuatan perempuan itu”.

Kesimpulan: adalah salah untuk memberikan garis pemisah


yang tegas antara PORNEIA dan MOICHEIA, dan
mengartikan PORNEIA sebagai dosa sexual dari orang
yang belum menikah sedangkan MOICHEIA adalah dosa
sexual dari orang yang sudah menikah.

c) Kalimat ini dianggap sebagai suatu perkecualian. Jadi, Yesus


melarang perceraian, kecuali terjadi perzinahan. Ini merupakan
pandangan dari hampir semua penafsir. Jadi, kata-kata banyak
orang bahwa pada umumnya pandangan yang diterima adalah
bahwa orang kristen tidak boleh bercerai, sekalipun terjadi
perzinahan, adalah kata-kata yang salah. Ini akan saya buktikan
nanti dengan memberikan banyak kutipan di bawah.

Tetapi, perzinahan itu haruslah perzinahan fisik, bukan


perzinahan dalam hati seperti dalam Mat 5:28. Mengapa?

 karena kalau cerai diijinkan pada saat terjadi perzinahan


pikiran, maka semua perempuan boleh mencerikan suaminya.
Mana ada orang laki-laki yang tidak pernah melanggar Mat
5:28?

 Mat 19:9 dan Mat 5:31-32 mengatakan ‘perzinahan’ bukan


‘perzinahan dalam hati’ seperti yang dikatakan Mat 5:28.

 perzinahan dalam hati tidak bisa dibuktikan, sehingga tidak


memungkinkan untuk dijadikan dasar untuk menceraikan
pasangannya.

 ada penafsir mengatakan bahwa kata PORNEIA digunakan


karena memang kata itu lebih menekankan sifat fisik dari
perzinahan yang dilakukan dibandingkan dengan kata
MOICHEIA.
Pulpit Commentary tentang Mat 5:32: “‘Fornication.’ The
reference is to sin after marriage. ... The more general word
(porneia) is used, because it lays more stress on the physical
character of the sin than moiceia would have laid” [=
‘Percabulan’. Yang ditunjuk adalah dosa setelah pernikahan. ...
Kata yang lebih umum (porneia - PORNEIA) digunakan, karena
kata itu lebih menekankan sifat fisik dari dosa tersebut dari pada
kata moiceia / MOICHEIA] - hal 164.

John Stott: “PORNEIA means physical sexual immorality; the


reason why Jesus made it the sole permissible ground for divorce
must be that it violates the ‘one flesh’ principle which is
foundational to marriage as divinely ordained and biblically
defined” (= PORNEIA berarti ketidak-bermoralan sexual secara
fisik; alasan mengapa Yesus membuatnya sebagai satu-satunya
dasar yang mengijinkan perceraian haruslah karena hal itu
melanggar prinsip ‘satu daging’ yang merupakan dasar dari
pernikahan sebagai sesuatu yang ditetapkan Allah dan
didefinisikan oleh Alkitab) - ‘Involvement’, vol II, hal 170.

Beberapa penafsir menganggap bahwa tindakan penyimpangan


sexual seperti homosex, lesbianisme, bestiality (= hubungan sex
dengan binatang) juga tercakup di sini, karena kata PORNEIA
memang mencakup hal-hal tersebut.

Mengapa saya mengambil pandangan ini?

1. Arti dan penggunaan kata PORNEIA yang sudah dibahas di


atas.

2. Yer 3:1-8, khususnya ay 8nya, yang berbunyi: “Dilihatnya,


bahwa oleh karena zinahnya Aku telah menceraikan Israel,
perempuan murtad itu, dan memberikan kepadanya surat cerai;
namun Yehuda, saudaranya perempuan yang tidak setia itu tidak
takut, melainkan ia juga pun pergi bersundal”.

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah mempraktekkan prinsip


yang Yesus ajarkan dalam Mat 5:32 dan Mat 19:9 itu. Pada
waktu Israel bersundal / berzinah / tidak setia kepada Allah,
maka Allah menceraikan Israel dan memberikan surat cerai
kepadanya! Memang perzinahan yang dilakukan oleh Israel,
adalah perzinahan rohani, dimana mereka tidak setia kepada
Allah dan lalu menyembah berhala / allah lain, tetapi prinsipnya
sama yaitu: jikalau terjadi perzinahan maka perceraian
diijinkan!
3. 1Kor 6:16 - “Atau tidak tahukah kamu, bahwa siapa yang
mengikatkan dirinya pada perempuan cabul, menjadi satu tubuh
dengan dia? Sebab, demikianlah kata nas: ‘Keduanya akan
menjadi satu daging.’”.

Ini menunjukkan bahwa perzinahan menghancurkan ikatan


pernikahan.

G. I. Williamson: “If a man becomes one flesh with an harlot, it is


hard to see how he can yet be one flesh with his wife. Unless such
be repented of and forgiven, we do not see how it can be denied that
the adultery necessitates the dissolution of the marriage” (= Jika
seorang laki-laki menjadi satu daging dengan seorang pelacur,
sukar untuk melihat bagaimana ia bisa tetap satu daging dengan
istrinya. Kecuali ia bertobat dan diampuni, kami tidak melihat
bagaimana bisa disangkal bahwa perzinahan itu mengharuskan
pembubaran / terputusnya pernikahan) - ‘The Westminster
Confession of Faith’, hal 185.

Banyak orang menyoroti pandangan ini secara negatif, karena


mengijinkan perceraian. Tetapi sebetulnya pandangan ini bisa
disoroti secara positif, karena dengan adanya pandangan ini,
maka orang akan agak takut untuk berzinah.

Keberatan terhadap pandangan ini:

a. Apakah itu berarti tidak ada pengampunan?

Jawab:

Merupakan sesuatu yang menarik bahwa persis sebelum text


dari Mat 19:1-12 terdapat text Mat 18:21-35 (perumpamaan
tentang orang yang berhutang 10.000 talenta) yang
menekankan pengampunan. Karena itu jelas
bahwa ‘menceraikan pasangan yang berzinah’ tidak boleh
diartikan ‘tidak mengampuni’. Orang itu harus diampuni, tetapi
tidak diterima kembali sebagai pasangan hidup! Ini sama
seperti kasus pendeta yang jatuh dalam perzinahan, sehingga
dipecat dari jabatannya. Kalau ia bertobat, ia diampuni, tetapi
tetap tidak diterima kembali sebagai pendeta, karena ia tidak
lagi memenuhi syarat penatua dalam 1Tim 3:7 - ‘mempunyai
nama baik’.

Saya tidak setuju dengan Jay E. Adams (‘Marriage, Divorce,


and Remarriage in the Bible’, hal 56-57) yang mengharuskan
pihak yang tidak bersalah untuk mengampuni dan menerima
kembali pasangan yang berzinah, jika pasangan yang berzinah
tersebut bertobat. Saya berpendapat bahwa ia memang harus
mengampuni pasangannya tersebut tetapi ia tidak harus (tetapi
boleh) menerimanya kembali sebagai pasangan hidup. Ia
berhak menceraikannya dan menikah lagi dengan orang lain.

Pada waktu Yusuf mengira bahwa Maria telah berzinah


dengan laki-laki lain, ia tidak menegur ataupun berusaha
mempertobatkan Maria, supaya ia bisa menerimanya kembali,
tetapi ia berusaha menceraikannya. Dan ia disebut
sebagai ‘seorang yang tulus hati’ (Lit: ‘seorang yang benar’) -
Mat 1:18-19.

b. Mat 19:7-8 - “(7) Kata mereka kepadaNya: ‘Jika demikian,


apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan
surat cerai jika orang menceraikan isterinya?’ (8) Kata Yesus
kepada mereka: ‘Karena ketegaran
hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi
sejak semula tidaklah demikian”.

Kata-kata ‘karena ketegaran hatimu’ disoroti dan ditafsirkan


bahwa perceraian karena perzinahan itupun diijinkan karena
ketegaran hati manusia. Jadi sebetulnya tetap tidak boleh cerai
sekalipun ada perzinahan.

Jawab:

Dalam Mat 19:7 itu orang-orang Farisi menggunakan


istilah ‘memerintahkan’. Sekalipun memang mereka berkata
bahwa ‘Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai’,
tetapi orang bisa menerima secara salah, seolah-olah Musa
memerintahkan perceraian. Karena itu, pada waktu Yesus
menjawab dalam Mat 19:8, Ia tidak mau menggunakan
istilah ‘memerintahkan’, tetapi Ia menggunakan
istilah ‘mengijinkan’.

Padahal, tadi di atas sudah kita lihat bahwa sebetulnya


Ul 24:1-4 tidak mengijinkan perceraian / pernikahan lagi
ataupun memberikan syarat perceraian; lalu mengapa dalam
Mat 19:8 Yesus mengatakan bahwa Musa mengijinkan
perceraian? Ada 2 kemungkinan jawaban:

 Karena Musa tidak melarang perceraian secara tegas,


maka itu dianggap mengijinkan.
 Waktu Yesus berkata ‘Musa mengijinkan’, Ia tidak
memaksudkan Ul 24:1-4, tetapi dalam praktek /
kenyataannya, dimana Musa memang mengijinkan
perceraian.

Itupun tidak berarti bahwa Musa menghalalkan perceraian itu


atau menganggapnya tidak dosa. Karena itu Yesus
berkata ‘karena ketegaran hatimu maka Musa mengijinkan hal
itu’. Jadi, supaya tidak terjadi hal yang lebih buruk seperti istri
dipukuli, tidak diberi makan dsb, maka Musa akhirnya
mengijinkan perceraian. Tetapi perceraian yang dimaksud di
sini bukanlah perceraian yang terjadi karena perzinahan / dosa
sexual yang hebat.

Kata-kata ‘tetapi sejak semula tidaklah demikian’ mungkin


menunjuk pada keadaan ideal (pada saat tidak ada dosa, pada
saat pernikahan itu pertama-tama diadakan oleh Allah).
Memang pernikahan diadakan bukan supaya ada perceraian.

Penafsiran ini tidak bertentangan dengan kontex. Coba


perhatikan: dalam Mat 19:3 orang-orang itu bertanya: ‘Apakah
diperbolehkah orang menceraikan istrinya dengan alasan apa
saja?’. Dalam Mat 19:4-6 Yesus tidak langsung menjawab
pertanyaan mereka, tetapi Ia lebih dulu
membicarakan peraturan umum atau keadaan idealnya, yaitu
orang tidak boleh bercerai. Lalu dalam Mat 19:7 mereka
bertanya: ‘Mengapa Musa menyuruh memberi surat cerai?’.
Dan Yesus menjawab dalam Mat 19:8: ‘Karena ketegaran
hatimu’. Lalu dalam Mat 19:9 Ia menekankan lagi bahwa orang
tidak boleh bercerai, tetapi sekarang ini Ia memberikan
perkecualian, yaitu kalau terjadi perzinahan. Baru dalam
Mat 19:9 ini Ia menjawab pertanyaan mereka dalam Mat 19:3.
Dengan demikian kesimpulan seluruhnya adalah sebagai
berikut: Terhadap pertanyaan: apakah boleh seseorang
menceraikan istrinya dengan alasan apa saja? Yesus
menjawab: Tidak, orang hanya boleh bercerai kalau terjadi
perzinahan!

Komentar-komentar dari para penafsir:

Tasker (Tyndale) tentang Mat 19:3-9: “Their question ‘Is it lawful


for a man to put away his wife for every cause?’ is not immediately or
very directly answered; but the subsequent narrative implies that in
effect the answer of Jesus is ‘If you mean for any cause, My answer is
Yes; if you mean for every cause, My answer is No’” (= Pertanyaan
mereka: ‘Apakah diperbolehkan orang menceraikan istrinya
dengan alasan apa saja?’ tidak dijawab secara langsung; tetapi
cerita selanjutnya secara tidak langsung menunjukkan bahwa
sebetulnya jawaban Yesus adalah: ‘Jika engkau memaksudkan
untuk sesuatu alasan, jawabanKu adalah Ya; jika engkau
memaksudkan untuk setiap alasan / alasan apa saja, jawabanKu
adalah Tidak’) - hal 179.

Tasker (Tyndale): “The word PORNEIA translated ‘fornication’ is a


comprehensive word, including adultery, fornication and unnatural
vice. ... Jesus does not insist that there must be divorce in these cases,
... but that these, and not trivial considerations, are the kind of things
for which divorce may rightly be granted” (= Kata PORNEIA yang
diterjemahkan ‘percabulan’ merupakan suatu kata yang
mempunyai banyak arti, termasuk perzinahan, percabulan, and
kejahatan yang tidak alamiah. ... Yesus tidak berkeras bahwa harus
ada perceraian dalam kasus-kasus ini, ... tetapi bahwa hal-hal ini,
dan bukannya pertimbangan-pertimbangan yang remeh,
merupakan jenis hal-hal untuk mana perceraian bisa diberikan
secara benar) - hal 184.

Knox Chamblin tentang Mat 19:3-9: “It is now to be emphasizes that


Jesus’ ‘except clause in v. 9 does not represent a reversal or even an
exception to the principle enunciated in vv. 4-6. For where PORNEIA
has occurred, the marital union has already been severed. In this case
a divorce does not cause the rift but witnesses to a rift that has already
occurred. Jesus legitimizes ‘a kind of divorce that consists solely in the
formalization of a break that has already occurred through sexual
infidelity’” (= Sekarang harus ditekankan bahwa kalimat
perkecualian Yesus dalam ay 9 tidak menggambarkan suatu
pembalikan atau bahkan suatu perkecualian terhadap prinsip yang
diucapkan dalam ay 4-6. Karena dimana PORNEIA telah terjadi,
persatuan pernikahan telah terpotong / terputus. Dalam kasus ini
perceraian tidak menyebabkan keretakan itu tetapi memberi
kesaksian tentang suatu keretakan yang telah terjadi. Yesus
mengesahkan ‘suatu jenis perceraian yang semata-mata merupakan
peresmian dari suatu keretakan / perpecahan yang sudah terjadi
melalui ketidak-setiaan sexual’) - hal 150.

Barnes’ Notes tentang Mat 5:32: “Our Saviour brought marriage


back to its original institution, and declared that whosoever put away
his wife henceforward should be guilty of adultery. But one offence, he
declared, could justify divorce. ... Nor has any man, or set of men, a
right to interfere and declare that divorces may be granted for any
other cause. Whosoever, therefore, are divorced for any cause except
the single one of adultery, if they marry again, are, according to the
Scriptures, living in adultery” (= Juruselamat kita membawa
pernikahan kembali kepada pendirian orisinilnya, dan menyatakan
bahwa siapapun yang menceraikan istrinya mulai saat itu bersalah
dalam persoalan perzinahan. Tetapi satu pelanggaran, Ia
menyatakan, bisa membenarkan perceraian. ... Tidak ada siapapun,
baik seseorang maupun sekelompok orang, yang berhak untuk
mencampuri dan menyatakan bahwa perceraian diijinkan untuk
alasan lain apapun juga. Karena itu siapapun yang diceraikan
karena alasan lain kecuali perzinahan, jika mereka menikah lagi,
menurut Kitab Suci, hidup dalam perzinahan) - hal 25.

Barnes’ Notes tentang Mat 19:9: “Only one offence was to make
divorce lawful. This is the law of God. And by the same law, all
marriages which take place after divorce, where adultery is not the
cause of divorce, are adulterous. Legislatures have no right to say that
men may put away their wives for any other cause; and where they do,
and where there is marriage afterwards, by the law of God such
marriages are adulterous” (= Hanya satu pelanggaran yang membuat
perceraian menjadi sah. Ini adalah hukum Allah. Dan oleh hukum
yang sama, semua pernikahan yang terjadi setelah perceraian,
dimana perzinahan bukanlah alasan dari perceraian tersebut,
adalah perzinahan. Pembuat undang-undang tidak mempunyai hak
untuk mengatakan bahwa orang boleh menceraikan istri mereka
untuk alasan lain apapaun juga; dan dimana mereka
melakukannya, dan dimana ada pernikahan setelahnya, oleh hukum
Allah pernikahan seperti itu dianggap sebagai perzinahan) - hal 87.

John Murray tentang Mat 5:31-32: “In verse 32 Jesus proceeds to


propound the principle that to put away or dismiss a wife for any
reason but that of sexual infidelity is sin” (= Dalam ay 32 Yesus
melanjutkan dengan mengemukakakan prinsip bahwa menceraikan
atau memecat seorang istri untuk alasan lain selain alasan ketidak-
setiaan sexual adalah dosa) - ‘Divorce’, hal 20.

William Hendriksen tentang Mat 5:31-32: “The exception to which


Jesus refers in Matt. 5:32 (‘except on the ground of infidelity’) permits
divorce only when one of the contracting parties, here the wife, by
means of marital unfaithfulness (‘fornication’) rises in rebellion
against the very essence of the marriage bond” [= Perkecualian yang
ditunjukkan oleh Yesus dalam Mat 5:32 (‘kecuali karena
percabulan’) mengijinkan perceraian hanya pada waktu satu dari
pihak-pihak yang menikah, di sini si istri, oleh ketidak-setiaan
pernikahan (‘percabulan’) memberontak terhadap inti / hakekat
dari ikatan pernikahan] - hal 305.
Matthew Henry tentang Mat 5:32: “divorce is not to be allowed,
except in case of adultery, which breaks the marriage covenant” (=
perceraian tidak diijinkan, kecuali dalam kasus perzinahan, yang
menghancurkan perjanjian pernikahan) - hal 62.

Pulpit Commentary tentang Mat 5:32: “The popular school, that of


Hillel, allowed divorce ‘for every cause’ (ch. 19:3); the Lord allows it
only ‘for the cause of fornication.’” (= Kelompok / aliran yang
poupler, yaitu kelompok / aliran dari Hillel, mengijinkan perceraian
‘karena alasan apa saja’ (pasal 19:3); Tuhan mengijinkannya hanya
‘karena percabulan’) - hal 177.

Calvin (tentang Mat 5:31): “Though the husband and the wife are
united by mutual consent, yet God binds them by an indissoluble tie, so
that they are not afterwards at liberty to separate. An exception is
added, ‘except on account of fornication’: for the woman, who has
basely violated the marriage-vow, is justly cast off; because it was by
her fault that the tie was broken, and the husband set at liberty” (=
Sekalipun suami dan istri idpersatukan oleh persetujuan bersama,
Allah mengikat mereka dengan ikatan yang tidak bisa diputuskan,
sehingga setelah itu mereka tidak bebas untuk berpisah / bercerai.
Suatu perkecualian ditambahkan, ‘kecuali karena percabulan’:
karena perempuan, yang secara hina telah melanggar janji
pernikahan, secara benar dibuang; karena kesalahannya
menyebabkan ikatan itu hancur dan suami itu menjadi bebas) - hal
293.

Calvin tentang Mat 19:9: “But an exception is added; for the woman,
by fornication, cuts herself off, as a rotten member, from her husband,
and sets him at liberty. Those who search for other reasons ought justly
to be set at nought, because they choose to be wise above the heavenly
teacher. ... the husband, who convicts his wife of uncleanness, is here
freed by Christ from the bond” [= Tetapi suatu perkecualian
ditambahkan; karena perempuan itu, oleh percabulan, membuang /
memotong dirinya sendiri, sebagai anggota yang membusuk, dari
suaminya, dan membuat suaminya bebas. Mereka yang mencari
alasan-alasan lain, secara benar harus ditolak, karena mereka
memilih untuk menjadi lebih bijaksana di atas guru surgawi. ... sang
suami, yang membuktikan kenajisan istrinya, di sini dibebaskan
oleh Kristus dari ikatan tersebut] - hal 383,384.

John Murray tentang Mat 5:31-32: “Fornication is unequivocally


stated to be the only legitimate ground for which a man may put away
his wife. The word used here is the more generic term for sexual
uncleanness, namely, fornication (porneia). This term may be used of
all kinds of illicit sexual intercourse and may apply to such on the part
of unmarried persons, in whose case the sin would not be in the
specific sense of adultery. But though it is the generic word that is used
here (cf. also Matt. 19:9), it is not to be supposed that the sense is
perplexed thereby. What Jesus sets in the forefront is the sin of illicit
sexual intercourse. It is, of course, implied that such on the part of a
married woman is not only fornication but also adultery in the specific
sense, for the simple reason that it constitutes sexual infidelity to her
spouse. And this is the only case in which, according to Christ’s
unambiguous assertion, a man may dismiss his wife without being
involved in the sin which Jesus proceeds to characterise as making his
wife to be an adulteress” [= Percabulan dengan tegas dinyatakan
sebagai satu-satunya dasar yang sah dengan mana seorang boleh
menceraikan istrinya. Kata yang digunakan di sini merupakan
istilah yang lebih umum untuk kenajisan sexual, yaitu percabulan
(porneia - PORNEIA). Istilah ini bisa digunakan untuk semua jenis
hubungan sex yang gelap / haram dan bisa diterapkan hal-hal itu
pada orang-orang yang belum menikah, sehingga dosanya bukanlah
perzinahan dalam arti spesifik / khusus. Tetapi sekalipun kata yang
umum yang digunakan di sini (bdk. juga Mat 19:9), tidak boleh
dianggap bahwa dengan demikian artinya dibingungkan /
dikaburkan. Apa yang diajukan oleh Yesus adalah dosa dari
hubungan sex yang haram / gelap. Tentu saja secara tidak langsung
itu menunjuk pada hal-hal dari perempuan yang sudah menikah,
yang bukan hanya merupakan percabulan tetapi juga perzinahan
dalam arti spesifik / khusus, karena alasan yang sederhana bahwa
itu merupakan ketidak-setiaan sexual terhadap pasangannya. Dan
ini adalah satu-satunya kasus dalam mana, menurut penegasan
Kristus yang jelas, seseorang boleh menceraikan istrinya tanpa
terlibat dalam dosa yang Yesus gambarkan sebagai membuat
istrinya menjadi pezinah] - ‘Divorce’, hal 20-21.

John Murray tentang Mat 5:31-32: “the Old Testament law did not
provide for divorce in the case of adultery. The law was more stringent;
it required death for such sexual infidelity. The marriage was indeed
thereby dissolved but this was effected through the death of the guilty
party. The law enunciated by our Lord, on the other hand, institutes
divorce as the means of relief for the husband in the case of adultery
on the part of the wife. Here then is something novel and it implies that
the requirement of death for adultery is abrogated in the economy
Jesus himself inaugurated. ... He abrogated the Mosaic penalty for
adultery and he legitimated divorce for adultery” (= hukum Perjanjian
Lama tidak menyediakan perceraian dalam kasus perzinahan.
Hukumnya lebih keras; hukum itu mengharuskan kematian untuk
ketidak-setiaan sexual seperti itu. Pernikahan itu memang bubar
tetapi ini terjadi melalui kematian dari pihak yang bersalah. Di sisi
lain, hukum yang diucapkan oleh Tuhan kita, menegakkan /
menetapkan perceraian sebagai jalan pembebasan untuk suami
dalam kasus perzinahan yang dilakukan oleh istri. Maka di sini ada
sesuatu yang baru dan secara tidak langsung hal itu menunjukkan
bahwa hukuman mati untuk perzinahan dibatalkan dalam
pengaturan / sistim yang diresmikan oleh Yesus sendiri. ... Ia
membatalkan hukuman dari hukum Taurat Musa untuk perzinahan
dan ia mengesahkan perceraian untuk perzinahan) - ‘Divorce’, hal
27.

A. T. Robertson: “it is plain that Matthew represents Jesus in both


places as allowing divorce for fornication as a general term (porneia)
which is technically adultery (moicheia from moichao or
moicheuo)” [= adalah jelas bahwa Matius menggambarkan Yesus di
kedua tempat sebagai mengijinkan perceraian untuk percabulan
sebagai suatu istilah umum (PORNEIA) yang secara tehnis adalah
perzinahan (MOICHEIA dari MOICHAO atau MOICHEUO)] -
‘Word Pictures in the New Testament’, vol I, hal 155.

John Stott: “Only sexual infidelity could be admitted as a ground for


breaking the marriage bond. This had been clearly recognised in the
Old Testament because it was punishable by death. But the death
sentence for adultery had fallen into disuse, and in any case the
Romans did not permit the Jews to administer it. So when Joseph
suspected Mary of unfaithfulness, he thought of divorce, not death
(Matthew 1:18f). And Jesus refused to be trapped by those who asked if
the woman caught in adultery should be stoned (John 8:3ff). It seems,
then, that he abrogated the death penalty for sexual infidelity, and
made this the only legitimate ground for dissolving the marriage bond,
by divorce not death, and then only as a permission” [= Hanya
ketidak-setiaan sexual bisa diterima sebagai suatu dasar untuk
menghancurkan ikatan pernikahan. Ini telah secara jelas dikenali
dalam Perjanjian Lama karena hal itu dijatuhi dengan hukuman
mati. Tetapi hukuman mati untuk perzinahan telah tidak
digunakan, dan bagaimanapun juga orang Romawi tidak
mengijinkan orang-orang Yahudi untuk melaksanakannya. Jadi
pada saat Yusuf mencurigai Maria tentang ketidak-setiaan, ia
memikirkan perceraian, bukan kematian (Matius 1:18-dst). Dan
Yesus menolak untuk dijebak oleh mereka yang bertanya apakah
perempuan yang tertangkap dalam perzinahan harus dirajam (Yoh
8:3-dst). Jadi kelihatannya Ia membatalkan hukuman mati untuk
ketidak-setiaan sexual, dan membuat hal ini sebagai satu-satunya
dasar yang sah untuk mengancurkan ikatan pernikahan, oleh
perceraian bukan oleh kematian, dan itu hanya merupakan ijin] -
‘Involvement’, vol II, hal 172.

James B. Hurley: “If we take PORNEIA at its common face value, as


illicit intercourse, Jesus’ response rejects both rabbinic views. We can
now see why the disciples were surprised at Jesus’ teaching. He was far
stricter than the rabbis. ... He permitted it only for sexual violations of
the marriage bond, violations which, under the Old Testament, would
have meant a death sentence. According to Jesus only illicit sexual
relations (PORNEIA: adultery, homosexuality, bestiality) provide
reason to terminate a marriage” [= Jika kita menerima PORNEIA
sesuai dengan artinya yang umum, sebagai hubungan gelap / haram,
maka tanggapan Yesus menolak pandangan dari kedua rabbi.
Sekarang kita bisa melihat mengapa murid-murid terkejut
mendengar ajaran Yesus. Ia jauh lebih ketat dari rabbi-rabbi itu. ...
Ia mengijinkannya hanya karena pelanggaran sexual terhadap
ikatan pernikahan, pelanggaran mana, di bawah Perjanjian Lama,
berarti hukuman mati. Menurut Yesus hanya hubungan sexual yang
gelap / haram (PORNEIA: perzinahan, homosex, bestiality /
hubungan sex dengan binatang) memberikan alasan untuk
mengakhiri suatu pernikahan] - ‘Man and Woman in Biblical
Perspective’, hal 103.

Jay E. Adams: “That there is confusion about the word ‘fornication’


is understandable. In American law, the word ‘fornication’ has come
to mean sexual sin by unmarried persons, over against ‘adultery’
which means sexual sin involving a married person. However, that
distinction must not be read back into the Bible as many unwittingly
do. It was not the biblical distinction. Indeed, Scripture writers used the
word ‘fornication’ (PORNEIA) to describe ‘sexual sin in general’, and
in the Bible it referred to cases of incest (1Cor. 5:1), homosexuality
(Jude 7) and even adultery (Jeremiah 3:1,2,6,8 - here a married
adulteress is divorced because of her fornication; cf. vv.2,6 in the LXX)
as fornication” [= Bahwa di sana ada kebingungan tentang kata
‘percabulan’ merupakan sesuatu yang bisa dimengerti. Dalam
hukum Amerika, kata ‘percabulan’ berarti dosa sexual yang
dilakukan oleh orang-orang yang belum menikah, sedangkan
‘perzinahan’ berarti dosa sexual yang menyangkut orang-orang
yang sudah menikah. Tetapi pembedaan itu tidak boleh dimasukkan
ke dalam Alkitab seperti yang dilakukan oleh banyak orang tanpa
disadari. Itu bukan merupakan pembedaan yang alkitabiah. Bahkan
penulis-penulis Kitab Suci menggunakan kata ‘percabulan’
(PORNEIA) untuk menggambarkan ‘dosa sexual secara umum’,
dan dalam Alkitab kata itu menunjuk pada kasus-kasus incest (1Kor
5:1), homosex (Yudas 7) dan bahkan perzinahan (Yeremia 3:1,2,6,8 -
di sini seorang pezinah yang telah menikah diceraikan karena
percabulannya; bdk. ay 2,6 dalam LXX / Septuaginta) sebagai
percabulan] - ‘Marriage, Divorce, and Remarriage in the Bible’, hal
53-54.

Yer 3:1-8 - “(1) FirmanNya: ‘Jika seseorang menceraikan isterinya,


lalu perempuan itu pergi dari padanya dan menjadi isteri orang
lain, akan kembalikah laki-laki yang pertama kepada perempuan
itu? Bukankah negeri itu sudah tetap cemar? Engkau telah berzinah
dengan banyak kekasih, dan mau kembali kepadaKu? demikianlah
firman TUHAN. (2) Layangkanlah matamu ke bukit-bukit gundul
dan lihatlah! Di manakah engkau tidak pernah ditiduri? Di pinggir
jalan-jalan engkau duduk menantikan kekasih, seperti seorang Arab
di padang gurun. Engkau telah mencemarkan negeri dengan
zinahmu dan dengan kejahatanmu. (3) Sebab itu dirus hujan
tertahan dan hujan pada akhir musim tidak datang. Tetapi dahimu
adalah dahi perempuan sundal, engkau tidak mengenal malu. (4)
Bukankah baru saja engkau memanggil Aku: Bapaku! Engkaulah
kawanku sejak kecil! (5) Untuk selama-lamanyakah Ia akan murka
atau menaruh dendam untuk seterusnya? Demikianlah katamu,
namun engkau sedapat-dapatnya melakukan kejahatan.’ (6)
TUHAN berfirman kepadaku dalam zaman raja Yosia: ‘Sudahkah
engkau melihat apa yang dilakukan Israel, perempuan murtad itu,
bagaimana dia naik ke atas setiap bukit yang menjulang dan pergi
ke bawah setiap pohon yang rimbun untuk bersundal di sana? (7)
PikirKu: Sesudah melakukan semuanya ini, ia akan kembali
kepadaKu, tetapi ia tidak kembali. Hal itu telah dilihat oleh Yehuda,
saudaranya perempuan yang tidak setia. (8) Dilihatnya, bahwa oleh
karena zinahnya Aku telah menceraikan Israel, perempuan murtad
itu, dan memberikan kepadanya surat cerai; namun Yehuda,
saudaranya perempuan yang tidak setia itu tidak takut, melainkan
ia juga pun pergi bersundal”.

Jay E. Adams: “fornication covers incest, bestiality, homosexuality


and lesbianism as well as adultery. To speak of adultery only, might
tend to narrow the focus too much” (= percabulan mencakup incest /
perzinahan dalam keluarga, bestiality / hubungan sex dengan
binatang, homosex dan lesbian maupun perzinahan. Hanya
mengatakan perzinahan, bisa cenderung terlalu menyempitkan
fokusnya) - ‘Marriage, Divorce, and Remarriage in the Bible’, hal
54-55.

Matthew Poole: “He (Jesus) here opposeth the Pharisees in two


points. 1. Asserting that all divorces are unlawful except in case of
adultery. 2. Asserting that whosoever married her that was put away
committed adultery” [= di sini Ia (Yesus) menentang orang-orang
Farisi dalam dua hal. 1. Menegaskan bahwa semua perceraian tidak
sah kecuali dalam kasus perzinahan. 2. Menegaskan bahwa
siapapun yang menikahi dia yang diceraikan, melakukan
perzinahan] - hal 24.

Matthew Poole: “it is unlawful in any case but that of adultery, which
dissolves the marriage knot and covenant” [= itu (perceraian) tidak
sah dalam kasus apapun kecuali kasus perzinahan, yang
membubarkan ikatan dan perjanjian pernikahan] - hal 25.

D. Martyn Lloyd-Jones: “There is only one legitimate cause and


reason for divorce - that which is here called ‘fornication’. ... There is
only one cause for divorce. There is one; but there is only one. And
that is unfaithfulness by one party” (= Hanya ada satu sebab dan
alasan yang sah untuk perceraian - yaitu apa yang di sini disebut
‘percabulan’. ... Hanya ada satu alasan untuk perceraian. Ada satu,
tetapi hanya ada satu. Dan itu adalah ketidak-setiaan oleh satu
pihak) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 250.

Matthew Henry tentang Mat 19:9: “He allows divorce, in case of


adultery; the reason of the law against divorce being this, ‘They two
shall be one flesh.’ If the wife play the harlot, and make herself one
flesh with an adulterer, the reason of the law ceases, and so does the
law. By the law of Moses adultery was punished with death, Deut.
22:22. Now our Lord mitigates the rigour of that, and appoints divorce
to be the penalty” (= Ia mengijinkan perceraian, dalam kasus
perzinahan; alasan dari hukum yang menentang perceraian adalah
ini: ‘Keduanya itu menjadi satu daging’ ... Jika sang istri bersundal
dan membuat dirinya sendiri satu daging dengan seorang pezinah,
alasan dari hukum itu berhenti, dan demikian juga dengan
hukumnya. Oleh hukum Taurat Musa perzinahan dihukum dengan
hukuman mati, Ul 22:22. Sekarang Tuhan mengurangi kekerasan
dari hukuman itu, dan menetapkan perceraian sebagai
hukumannya) - hal 270.

Westminster Confession of Faith, chapter XXIV, No 5b - “In the


case of adultery after marriage, it is lawful for the innocent party to
sue out a divorce and, after the divorce, to marry another, as if the
offending party were dead” (= Dalam kasus perzinahan setelah
pernikahan, adalah sah bagi pihak yang tidak bersalah untuk
menuntut suatu perceraian, dan setelah perceraian, untuk menikah
dengan orang lain, seakan-akan pihak yang bersalah itu mati).
Penafsir-penafsir yang termasuk dalam kelompok ke 3 ini (yang
mengijinkan perceraian kalau terjadi perzinahan), terbagi dalam 2
kelompok lagi:

1. Yang tidak mengijinkan pernikahan lagi bahkan bagi pihak


yang tidak bersalah.

Penafsir yang mengambil pandangan ini berpendapat bahwa


‘kalimat perkecualian’ dalam Mat 19:9 itu hanya berlaku untuk
‘perceraian’, tetapi tidak berlaku untuk ‘pernikahan lagi’ (re-
marriage).

Pulpit Commentary tentang Mat 19:9: “Our Lord seems to have


introduced the exceptional clause in order to answer what were
virtually two questions of the Pharisees, viz. whether it was lawful to
‘put away a wife for every cause,’ and whether, when a man had
legally divorced his wife, he might marry again. To the former
Christ replies that separation was allowable only in the case of
fornication; in response to the second, he rules that even in that
case remarriage was wholly barred” (= Tuhan kita kelihatannya
memberikan kalimat perkecualian untuk menjawab apa yang
sebetulnya merupakan dua pertanyaan dari orang-orang Farisi,
yaitu apakah diperbolehkan untuk ‘menceraikan istrinya karena
alasan apa saja’, dan apakah, pada waktu seseorang secara sah
telah menceraikan istrinya, ia boleh menikah lagi. Kepada
pertanyaan yang pertama Kristus menjawab bahwa perpisahan
diijinkan hanya dalam kasus percabulan; dan terhadap
pertanyaan yang kedua, ia memberi peraturan bahwa bahkan
dalam kasus seperti itu pernikahan lagi sepenuhnya dilarang) -
hal 245.

Pulpit Commentary tentang Mat 19:9: “The Lord distinctly


forbids divorce, ‘except it be for fornication.’ He does not sanction
remarriage even in that case” (= Tuhan secara jelas melarang
perceraian, ‘kecuali karena percabulan’. Ia tidak menyetujui
pernikahan lagi bahkan dalam kasus itu) - hal 254.

Sepanjang apa yang saya baca dari buku-buku tafsiran saya,


hanya penafsir ini saja yang tetap melarang pernikahan lagi
sekalipun perceraiannya terjadi karena pasangannya berzinah.

2. Yang mengijinkan pernikahan lagi dari pihak yang tidak


bersalah.
Kelompok kedua ini menganggap bahwa ‘kalimat perkecualian’
dalam Mat 19:9 itu berlaku baik untuk perceraian maupun
untuk pernikahan lagi. Hampir semua penafsir memegang
pandangan ini.

Knox Chamblin: “The ‘except clause’ must be related to both the


divorce and the remarriage” (= ‘Kalimat perkecualian’ harus
dihubungkan baik dengan ‘perceraian’ maupun dengan
‘pernikahan lagi’) - hal 150.

John Murray tentang Mat 19:9: “Matthew informs us of two


things: (a) a man may put away his wife for adultery; (b) he may
marry another when such divorce is consummated” [= Matius
menginformasikan kita dua hal: (a) seseorang boleh menceraikan
istrinya karena perzinahan; (b) ia boleh menikah dengan orang
lain pada waktu perceraian seperti itu terjadi] - ‘Divorce’, hal 52.

William Hendriksen tentang Mat 19:9: “As far as the record goes,
this is the only ground Jesus ever mentioned for giving the innocent
person - in the present case the husband, ... - the right to divorce his
wife and marry again” (= Sejauh terlihat dari catatannya, ini
adalah satu-satunya dasar yang pernah disebutkan oleh Yesus
yang memberikan kepada orang yang tidak bersalah - dalam
kasus ini adalah sang suami, ... - hak untuk menceraikan istrinya
dan menikah lagi) - hal 717.

A. T. Robertson: “Jesus by implication, as in 5:31, does allow


remarriage of the innocent party, but not of the guilty one” (=
Yesus, secara implicit, seperti dalam 5:31, memang mengijinkan
pernikahan lagi, tetapi bukan oleh pihak / orang yang bersalah) -
‘Word Pictures in the New Testament’, vol I, hal 155.

Calvin tentang Mat 19:9: “‘And whosoever shall marry her that is
divorced.’ This clause has been very ill explained by many
commentators; for they have thought that generally, and without
exception, celibacy is enjoined in all cases when a divorce has taken
place; and, therefore, if a husband should put away an adulteress,
both would be lain under the necessity of remaining unmarried. ...
It was therefore a gross error; for, though Christ condemns as an
adulterer the man who shall marry a wife that has been divorced,
this is undoubtedly restricted to unlawful and frivolous divorces” (=
‘Dan siapapun yang menikah dengan ia yang diceraikan’.
Kalimat ini dijelaskan secara buruk oleh banyak penafsir;
karena mereka berpikir secara umum, dan tanpa perkecualian,
bahwa dalam semua kasus dimana terjadi perceraian orangnya
diharuskan hidup celibat / tidak menikah; dan karena itu, jika
seorang suami menceraikan seorang pezinah, keduanya tidak
boleh menikah lagi. ... Karena itu, itu merupakan suatu
kesalahan yang besar / menyolok; karena sekalipun Kristus
mengecam sebagai seorang pezinah orang yang menikahi seorang
istri yang telah diceraikan, tidak diragukan bahwa ini dibatasi
pada perceraian-perceraian yang tidak sah dan sembrono) - hal
384.

Catatan: Mat 19:9 (KJV): - “And I say unto you, Whosoever


shall put away his wife, except it be for fornication, and shall
marry another, committeth adultery: and whoso marrieth her
which is put away doth commit adultery” (= Dan Aku berkata
kepadamu: Siapapun yang menceraikan istrinya, kecuali
karena percabulan, dan menikah dengan orang lain, ia
melakukan perzinahan: dan siapapun menikah dengan
perempuan yang diceraikan, ia melakukan perzinahan).

Terjemahan KJV agak berbeda, karena bagian akhir dari KJV


(yang saya garis-bawahi) tidak ada dalam Kitab Suci yang lain
(mungkin ini dari manuscripts yang berbeda). Dan Calvin
mengomentari bagian ini.

John Stott: “with only one exception, he called all remarriage after
divorce adultery” (= dengan hanya satu perkecualian, Ia
menyebut semua pernikahan lagi setelah perceraian sebagai
perzinahan) - ‘The Message of the Sermon on the Mount’, hal
95.

John Stott: “The only situation in which divorce and remmariage


are possible without breaking the seventh commandment is when it
has already been broken by some serious sexual sin” (= Satu-
satunya situasi dalam mana perceraian dan pernikahan lagi
dimungkinkan tanpa melanggar hukum ketujuh adalah pada
saat pernikahan itu telah dihancurkan oleh dosa sexual yang
serius) - ‘The Message of the Sermon on the Mount’, hal 97-98.

Matthew Poole: “Some have upon these words made a question


whether it be lawful for the husband or the wife separated for
adultery to marry again while each other liveth. As to the offending
party, it may be a question; but as to the innocent person offended,
it is no question, for the adultery of the person offending hath
dissolved the knot of marriage by the Divine law. ... it seemeth
against reason that both persons should have the like liberty to a
second marriage. ... It is unreasonable that she should make an
advantage of her own sin and error. ... But for the innocent person,
it is an unreasonable that he or she should be punished for the sin
of another” (= Beberapa orang berdasarkan kata-kata ini
mempertanyakan apakah diperbolehkan untuk suami atau istri
yang bercerai karena perzinahan untuk menikah lagi sementara
mereka sama-sama masih hidup. Berkenaan dengan pihak yang
bersalah, itu memang merupakan suatu pertanyaan; tetapi
berkenaan dengan pribadi yang tidak bersalah, tidak perlu
dipertanyakan, karena perzinahan dari pihak yang bersalah
telah membubarkan ikatan pernikahan oleh hukum Ilahi. ...
kelihatannya bertentangan dengan akal bahwa kedua orang
mempunyai kebebasan yang sama untuk menikah lagi. ... Adalah
tidak masuk akal bahwa ia mendapatkan keuntungan dari dosa
dan kesalahannya sendiri. ... Tetapi untuk pribadi yang tidak
bersalah, adalah tidak masuk akal bahwa ia harus dihukum
karena kesalahan dari pihak yang lain) - hal 88-89.

D. Martyn Lloyd-Jones: “We can say not only that a person who
thus has divorced his wife because of her adultery is entitled to do
so. We can go further and say that the divorce has ended the
marriage, and that this man is now free and as a free man he is
entitled to re-marriage. ... His relationship to that woman is the
same as if she were dead; and this innocent man is therefore
entitled to re-marriage” (= Kita bisa mengatakan bukan hanya
bahwa seseorang yang telah menceraikan istrinya karena
perzinahannya berhak melakukan hal itu. Kita bisa melanjutkan
dan berkata bahwa perceraian itu telah mengakhiri pernikahan,
dan bahwa orang ini sekarang bebas dan sebagai seorang yang
bebas ia berhak untuk menikah lagi. ... Hubungannya dengan
perempuan itu adalah sama seakan-akan perempuan itu sudah
mati; dan karena itu orang yang tidak bersalah ini berhak untuk
menikah lagi) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 252.

Barclay: “Jesus’s answer was to take things back to the very


beginning, back to the ideal of creation. ... Jesus was laying down
the principle that all divorce is wrong. Thus early we must note that
it is not a law; it is a principle, which is a very different thing. ...
Here, at once, the Pharisees saw a point of attack. ... They could
now say to Jesus, ‘Are you saying Moses was wrong? Are you
seeking to abrogate the divine law which was given to Moses? Are
you setting yourself above Moses as a law-giver?’ Jesus’s answer
was that what Moses said was not in fact a law, but nothing more
than a concession. Moses did not command a divorce; at the best he
only permitted it in order to regulate a situation which would have
become chaotically promiscuous. ... The Mosaic regulation was
only a concession to fallen human nature. ... It is now that we are
face to face with one of the most real and most acute difficulties in
the New Testament. ... The difficulty is - and there is no escaping it
- that Mark and Matthew report the words of Jesus differently. ...
both Mark and Luke make the prohibition of divorce absolute; with
them there are no exceptions whatsoever. But Matthew has one
saving clause - divorce is permitted on the ground of adultery. ... In
the last analysis we must choose between Matthew’s version of this
saying and that of Mark and Luke. We think there is little doubt
that the version of Mark and Luke is right. ... Matthew’s saving
clause is a later interpretation inserted in the light of the practice of
the Church when he wrote” (= Jawaban Yesus membawa semua
kembali pada keadaan semula, kembali pada keadaan ideal dari
penciptaan. ... Yesus sedang menetapkan suatu prinsip bahwa
semua perceraian adalah salah. Kita harus memperhatikan
bahwa ini bukanlah suatu hukum; ini adalah suatu prinsip, yang
merupakan sesuatu yang sangat berbeda. ... Di sini, segera orang-
orang Farisi melihat suatu titik untuk melakukan penyerangan.
... Sekarang mereka bisa berkata kepada Yesus: ‘Apakah Engkau
berkata bahwa Musa itu salah? Apakah Engkau berusaha
membatalkan hukum ilahi yang diberikan kepada Musa?
Apakah Engkau menempatkan diriMu sendiri di atas Musa
sebagai pemberi hukum?’. Jawaban Yesus adalah bahwa apa
yang Musa katakan dalam faktanya bukanlah suatu hukum,
tetapi tidak lebih dari suatu kelonggaran. Musa tidak
memerintahkan perceraian; paling-paling ia hanya
mengijinkannya untuk mengatur suatu keadaan yang bisa
menjadi kacau balau. ... Peraturan Musa hanya merupakan
suatu kelonggaran bagi manusia yang sudah jatuh ke dalam
dosa. ... Sekarang kita berhadapan dengan salah satu dari
kesukaran-kesukaran yang paling nyata dan paling akut dalam
Perjanjian Baru. ... Kesukarannya adalah - dan tidak ada jalan
untuk lolos dari kesukaran ini - bahwa Markus dan Matius
melaporkan kata-kata Yesus secara berbeda. ... Baik Markus
maupun Lukas membuat larangan perceraian itu mutlak; pada
mereka tidak ada perkecualian apapun. Tetapi Matius
mempunyai satu kalimat perkecualian - perceraian diijinkan
dengan alasan perzinahan. ... Pada analisa terakhir kita harus
memilih antara versi Matius dari kata-kata ini dan versi Markus
dan Lukas. Kami berpendapat bahwa tidak diragukan bahwa
versi dari Markus dan Lukaslah yang benar. ... Kalimat
perkecualian Matius merupakan penafsiran belakangan yang
dimasukkan dalam terang dari praktek dari Gereja pada saat ia
menulis) - hal 200-202.
Catatan: ayat dalam Markus adalah Mark 10:11-12; sedangkan
ayat dalam Lukas adalah Luk 16:18.

 Mark 10:11-12 - “Lalu kataNya kepada mereka:


‘Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan
perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap
isterinya itu. Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan
kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah.’”.

 Luk 16:18 - “Setiap orang yang menceraikan isterinya, lalu


kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah; dan
barangsiapa kawin dengan perempuan yang diceraikan
suaminya, ia berbuat zinah.’”.

Barclay: “It would be wrong to leave this matter without some


attempt to see what it actually means for the question of divorce at
the present time. ... What Jesus laid down was a principle and not a
law” (= Adalah salah untuk meninggalkan persoalan ini tanpa
suatu usaha untuk melihat apa arti sebenarnya untuk pertanyaan
tentang perceraian pada jaman sekarang. ... Apa yang Yesus
tetapkan adalah suatu prinsip dan bukan suatu hukum) - hal
208.

Dan ia lalu mengatakan (hal 209) bahwa seandainya ada suatu


pernikahan yang menjadi kacau sehingga menjadi seperti
neraka di dunia, dan seandainya sudah diusahakan semua
cara untuk memperbaikinya tetapi pernikahan tersebut tetap
kacau, apakah dua orang itu harus tetap mempertahankan
pernikahan tersebut?

Barclay: “are then these two people to be for ever fettered together
in a situation which cannot do other than bring a lifetime of misery
to both? It is extremely difficult to see how such reasoning can be
called Christian; it is extremely hard to see Jesus legalistically
condemning two people to any such situation. This is not to say that
divorce should be made easy, but it is to say that when all the
physical and mental and spiritual resources have been brought to
bear on such situation, and the situation remains incurable and
even dangerous, then the situation should be ended” (= maka
apakah kedua orang ini harus diikat bersama-sama selama-
lamanya dalam suatu keadaan yang hanya bisa memberikan
kesengsaraan seumur hidup kepada mereka berdua? Adalah
sangat sukar untuk melihat bagaimana pemikiran /
pertimbangan seperti itu bisa disebut Kristen; adalah sangat
sukar untuk melihat Yesus secara legalistik mengecam /
menghukum dua orang pada keadaan seperti itu. Ini bukan
berarti bahwa perceraian harus dibuat menjadi mudah, tetapi
maksudnya adalah bahwa pada saat semua sumber-sumber fisik,
mental dan rohani telah dibawa untuk diarahkan pada keadaan
itu, dan keadaan itu tetap tidak bisa disembuhkan dan bahkan
berbahaya, maka keadaan itu harus diakhiri) - hal 209.

Catatan: bagi saya seluruh pemikiran Barclay di sini


menunjukkan kesesatannya. Saya tidak mengerti bagaimana ia
memisahkan / membedakan ‘prinsip’ dan ‘hukum’. Juga aneh
bahwa ia menyalahkan Matius karena memberikan kalimat
perkecualian, tetapi pada akhirnya ia tetap mengijinkan
perceraian kalau pernikahan itu memburuk dan memang tidak
bisa diperbaiki lagi.

Saya sendiri mengambil pandangan kedua ini. Saya


beranggapan bahwa kalimat perkecualian dalam Mat 5:32 dan
Mat 19:9 berlaku baik bagi perceraian maupun pernikahan lagi.

Contoh kasus: kalau seorang suami menceraikan istrinya,


sekalipun bukan karena perzinahan, maka mereka berdua
tidak boleh menikah lagi. Tetapi bagaimana kalau suami itu
melanggar larangan tersebut, dan ia menikah lagi? Saya tidak
menemukan buku tafsiran yang membahas kasus seperti ini.
Tetapi saya sendiri berpendapat sebagai berikut: suami itu
sebetulnya tidak berhak menikah lagi. Kalau ia menikah lagi,
maka di hadapan Allah pernikahan itu merupakan perzinahan.
Dengan demikian ditinjau dari sudut istri yang diceraikan,
suaminya berzinah, dan karena itu si istri menjadi berhak
menikah lagi.

3) “Ia menjadikan istrinya berzinah”.

Tentang kata-kata ‘ia menjadikan isterinya berzinah’ dalam ay 32b,


Calvin berkata:

“the man who, unjustly and unlawfully, abandons the wife whom God had
given him, is justly condemned for having prostituted his wife to
others” (= orang yang secara tidak benar dan tidak sah meninggalkan
istri yang telah Allah berikan kepadanya, secara benar dikecam sebagai
telah melacurkan istrinya kepada orang-orang lain) - hal 293.

William Hendriksen: “she is called an adulteresses because she may


easily become one. ... Far better, it would seem to me, is therefore the
translation, ‘Whoever divorces his wife except on the basis of infidelity
exposes her to adultery,’ or something similar. What Jesus is saying, then,
is this: Whoever divorces his wife except on the ground of infidelity must
bear the chief responsibility if as a result she, in her deserted state, should
immediately yield to the temptation of becoming married to someone
else” (= ia disebut sebagai pezinah karena ia dengan mudah menjadi
seorang pezinah. ... Karena itu, bagi saya jauh lebih baik terjemahan:
‘Siapapun menceraikan istrinya kecuali berdasarkan ketidak-setiaan
membukakan dia kepada perzinahan’, atau terjemahan lain yang
serupa. Jadi, apa yang dimaksud oleh Yesus adalah ini: Siapapun
menceraikan istrinya kecuali berdasarkan ketidak-setiaan harus
memikul tanggung jawab utama jika sebagai akibatnya perempuan itu,
dalam keadaan ditinggalkan, menyerah pada pencobaan untuk menjadi
istri dari orang lain) - hal 305,306.

4) “dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat


zinah”.

Ini tentu saja berlaku kalau perceraian itu merupakan perceraian


yang tidak sah.

Penerapan:

Karena itu jangan terlalu cepat berpikir negatif kalau ada janda /
duda yang mau menikah lagi. Kita harus mengetahui lebih dulu apa
sebabnya ia menjadi janda / duda. Kalau itu disebabkan karena
pasangannya mati, atau karena ia menceraikan pasangannya yang
berzinah, maka ia berhak untuk menikah lagi!

-AMIN-

Yakub Susabda menolak istilah ‘KECUALI karena zinah’ karena ia anggap tak
masuk akal, dan bertentangan dengan kagetnya murid-murid mendengar ajaran
Yesus dalam Mat 19:9. Dan ia lalu mengganti kata ‘kecuali’ itu dengan
kata ‘walaupun’ atau ‘bahkan’.

Ada beberapa jawaban dari saya untuk hal ini:


1) Kagetnya para murid-murid bukan hal aneh, dan sama sekali tak bisa dikatakan tak
masuk akal, kalau Yesus mengajar cerai hanya boleh karena zinah. Mengapa
mereka kaget? Karena pada saat itu yang populer adalah pandangan Hillel, yang
mengijinkan cerai untuk alasan apa saja (Mat 19:3). Pada waktu Yesus menjawab
ay 9, itu bahkan lebih keras dari pandangan Shammai. Kalau pandangan Shammai
sudah tak populer, bagaimana bisa Yesus ajar lebih keras dari itu? Ini alasan kaget
mereka, sehingga sama sekali tak ada kebutuhan untuk mengganti terjemahan dari
Mat 19:9 seenaknya sendiri.

2) Yakub Susabda mengganti terjemahan dari ‘kecuali’ menjadi ‘bahkan’ atau


‘walaupun’, bukan saja tanpa dasar kamus apapun, tetapi bahkan menentang arti
dari kamus Yunani.

Dalam Mat 19:9 kata yang diterjemahkan ‘kecuali’ adalah ME, dan ini menurut Bible
Works 8 artinya adalah ‘not’ [= tidak / bukan], atau ‘except’ [= kecuali]. Tak ada arti
‘bahkan’ atau ‘walaupun’!

Dalam Mat 5:32 kata yang diterjemahkan ‘kecuali’ adalah kata Yunani yang
berbeda, yaitu PAREKTOS, dan menurut Bible Works 8 artinya adalah ‘except for’ [=
kecuali untuk], ‘apart from’ [= terpisah dari], ‘outside’ [= di luar]. Dan lagi-lagi tak ada
arti ‘bahkan’ atau ‘walaupun’.

Jadi baik kata Yunani ME maupun PAREKTOS memang bisa berarti ‘kecuali’. Dan
adalah sangat tak masuk akal bahwa kedua kata itu juga bisa berarti ‘bahkan’ atau
‘walaupun’, yang betul-betul merupakan kebalikan dari ‘kecuali’!

Sedangkan kata ‘walaupun’ yang misalnya keluar dalam:


a) Lukas 18:4 berasal dari kata Yunani EI KAI.
Lukas 18:4 - “Beberapa waktu lamanya hakim itu menolak. Tetapi kemudian ia
berkata dalam hatinya: Walaupun aku tidak takut akan Allah dan tidak menghormati
seorangpun,”.
b) Yohanes 11:25 berasal dari kata Yunani KAN.
Yoh 11:25 - “Jawab Yesus: ‘Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya
kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati,”.
c) Markus 14:29 berasal dari kata Yunani EI KAI.
Mark 14:29 - “Kata Petrus kepadaNya: ‘Biarpun mereka semua tergoncang imannya,
aku tidak.’”.
d) Ibrani 4:3 berasal dari kata Yunani KAITOI.
Ibr 4:3 - “Sebab kita yang beriman, akan masuk ke tempat perhentian seperti yang Ia
katakan: ‘Sehingga Aku bersumpah dalam murkaKu: Mereka takkan masuk ke
tempat perhentianKu,’ sekalipun pekerjaanNya sudah selesai sejak dunia dijadikan.”.

Kalau kata ‘kecuali’ boleh diganti dengan ‘walaupun’, maka ini akan mengacaukan
arti semua ayat yang menggunakan kata ‘kecuali’. Saya beri dua contoh saja.

1. Matius 12:4.
Mat 12:4 - “bagaimana ia masuk ke dalam Rumah Allah dan bagaimana mereka
makan roti sajian yang tidak boleh dimakan, baik olehnya maupun oleh mereka yang
mengikutinya, KECUALI oleh imam-imam?”.

Mat 12:4 (‘versi Yakub Susabda’) - “bagaimana ia masuk ke dalam Rumah Allah dan
bagaimana mereka makan roti sajian yang tidak boleh dimakan, baik olehnya maupun
oleh mereka yang mengikutinya, WALAUPUN / BAHKAN oleh imam-imam?”.

Lalu siapa yang makan roti itu?

2. Kis 26:29.
Kis 26:29 - “Kata Paulus: ‘Aku mau berdoa kepada Allah, supaya segera atau lama-
kelamaan bukan hanya engkau saja, tetapi semua orang lain yang hadir di sini dan
yang mendengarkan perkataanku menjadi sama seperti aku, KECUALI belenggu-
belenggu ini.’”.

Kis 26:29 (‘versi Yakub Susabda’) - “Kata Paulus: ‘Aku mau berdoa kepada Allah,
supaya segera atau lama-kelamaan bukan hanya engkau saja, tetapi semua orang lain
yang hadir di sini dan yang mendengarkan perkataanku menjadi sama seperti
aku, BAHKAN belenggu-belenggu ini.’”.

3) Semua Alkitab bahasa Inggris yang saya tahu menterjemahkan ‘except’ / ‘except
for’ / ‘saving’, yang semua berarti sama, yaitu ‘kecuali’.

Matius 5:32

KJV: But I say unto you, That whosoever shall put away his wife, SAVING FOR the
cause of fornication, causeth her to commit adultery: and whosoever shall marry her
that is divorced committeth adultery.
RSV: But I say to you that every one who divorces his wife, EXCEPT ON the ground
of unchastity, makes her an adulteress; and whoever marries a divorced woman
commits adultery.
NIV: But I tell you that anyone who divorces his wife, EXCEPT FOR marital
unfaithfulness, causes her to become an adulteress, and anyone who marries the
divorced woman commits adultery.
NASB: but I say to you that everyone who divorces his wife, EXCEPT FOR the
cause of unchastity, makes her commit adultery; and whoever marries a divorced
woman commits adultery.
NAU: but I say to you that everyone who divorces his wife, EXCEPT FOR the reason
of unchastity, makes her commit adultery; and whoever marries a divorced woman
commits adultery.
ASV: but I say unto you, that every one that putteth away his wife, SAVING FOR the
cause of fornication, maketh her an adulteress: and whosoever shall marry her when
she is put away committeth adultery.
NKJV: ‘But I say to you that whoever divorces his wife for any
reason EXCEPT sexual immorality causes her to commit adultery; and whoever
marries a woman who is divorced commits adultery.
YLT: but I - I say to you, that whoever may put away his wife, SAVE FOR the matter
of whoredom, doth make her to commit adultery; and whoever may marry her who
hath been put away doth commit adultery.
Matius 19:9

KJV: And I say unto you, Whosoever shall put away his wife, EXCEPT it
be FOR fornication, and shall marry another, committeth adultery: and whoso
marrieth her which is put away doth commit adultery.
RSV: And I say to you: whoever divorces his wife, EXCEPT FOR unchastity, and
marries another, commits adultery."
NIV: I tell you that anyone who divorces his wife, EXCEPT FOR marital
unfaithfulness, and marries another woman commits adultery."
NASB: ‘And I say to you, whoever divorces his wife, EXCEPT FOR immorality, and
marries another woman commits adultery."
NAU: ‘And I say to you, whoever divorces his wife, EXCEPT FOR immorality, and
marries another woman commits adultery.’
ASV: And I say unto you, Whosoever shall put away his wife, EXCEPT
FOR fornication, and shall marry another, committeth adultery: and he that marrieth
her when she is put away committeth adultery.
NKJV: ‘And I say to you, whoever divorces his wife, EXCEPT FOR sexual
immorality, and marries another, commits adultery; and whoever marries her who is
divorced commits adultery.’
YLT: ‘And I say to you, that, whoever may put away his wife, IF NOT
FOR whoredom, and may marry another, doth commit adultery; and he who did
marry her that hath been put away, doth commit adultery.’

4) Sebetulnya ada satu Alkitab bahasa Inggris yang menterjemahkan ‘although’ /


‘walaupun’, yaitu GNB (Good News Bible) atau TEV (Today’s English Version), dan
itu diterjemahkan ke dalam terjemahan Indonesia sebagai Kabar Baik masa kini /
BIS. Tetapi ini adalah GNB kuno, terbitan tahun 1978!

Matius 5:32 (GNB kuno - 1978): ‘But now I tell you: if a man divorces his wife, EVEN
THOUGH she has not been unfaithful, then he is guilty of making her commit
adultery if she marries again; and the man who marries her commits adultery also.’
Mat 5:32 (GNB baru): ‘But now I tell you: if a man divorces his wife for any cause
other than her unfaithfulness, then he is guilty of making her commit adultery if she
marries again; and the man who marries her commits adultery also.’

Mat 19:9 (GNB kuno - 1978): ‘I tell you, then, that any man who divorces his
wife, EVEN THOUGH she has not been unfaithful, commits adultery if he marries
some other woman.’’
Mat 19:9 (GNB baru): ‘I tell you, then, that any man who divorces his wife for any
cause other than her unfaithfulness, commits adultery if he marries some other
woman.’’

Jadi rupanya GNB menyadari mereka telah menterjemahkan secara salah, dan
mereka memperbaikinya! Tetapi Yakub Susabda justru mempertahankan yang
salah.

RALAT: setelah wawancara selesai, pada waktu saya menyempurnakan tulisan ini,
saya baru menyadari bahwa saya telah kurang teliti. Terjemahan lama dari
GNB ‘even though she has not been unfaithful’ [= walaupun ia bukannya telah tidak
setia]. Jadi, sekalipun ini terjemahan yang berbeda, dan menggunakan kata ‘even
though’ [= walaupun], tetapi artinya berbeda dengan yang Yakub Susabda katakan,
dan terjemahan ini tidak menunjukkan bahwa cerai dilarang secara mutlak.

PEMBAHASAN KHOTBAH
PDT. YAKUB TRI HANDOKO
Khotbah tertulis Yakub Tri Handoko [http://rec.or.id/article_667_Jangan-Bercerai-
(Matius-5:31-32)]:

Dia katakan ini hanya salah satu pandangan, dan ia akui ini pandangan minoritas.

Yakub Tri mengatakan pemikir Reformed yang tidak setuju perceraian: (Video I,
Menit 23:53).
1. John Piper.
2. Gordon Wenham.
3. Thomas R. Schreiner.

Dia masih berikan sedikitnya 2 nama lain (Video I, menit 25:10), tapi saya tak bisa
menangkap nama-nama itu.

JAWABAN SAYA:

Mari kita bahas 3 orang ini, apakah benar mereka Reformed, dan anti cerai.

1) John Piper adalah seorang Reformed Baptist -


https://en.m.wikipedia.org/wiki/John_Piper_(theologian)

Yakub Tri mengatakan bahwa “John Piper ini orang yang menolak perceraian
dengan alasan apapun”!!! (Video I, menit 23:00).
Benarkah claim Yakub Tri ini? Mari kita lihat kata-kata John Piper sendiri di bawah
ini:

John Piper: “3. Divorce may be permitted when a spouse deserts the relationship, commits
adultery, or is dangerously abusive (1 Cor. 7:15; Matthew 19:9; 1 Cor. 7:11). [7] We are
not here dealing with remarriage (see #4 and #5). We simply acknowledge that there are
times when the Bible permits separation.” [= 3. Perceraian bisa diijinkan pada waktu
seorang pasangan meninggalkan hubungan, melakukan perzinahan, atau melakukan
kekerasan (physical abuse) yang membahayakan (1Kor 7:15; Mat 19:9; 1Kor 7:11). (7)
Kami tidak sedang menangani pernikahan lagi (lihat #4 dan #5). Kami hanya mengakui
bahwa di sana ada saat-saat pada waktu Alkitab mengijinkan perpisahan.] -
https://www.desiringgod.org/articles/a-statement-on-divorce-remarriage-in-the-life-
of-bethlehem-baptist-church
2) Gordon Wenham adalah seorang Anglikan -
https://www.thetimes.co.uk/article/liberal-tolerance-of-gays-in-church-is-just-
paganism-5lwxdwf5k75

Anglikan tidak sama dengan Reformed.

Lihat 3 link di bawah ini:

a) https://www.quora.com/What-are-the-differences-between-Calvinism-and-
Anglicanism

b) https://www.thegospelcoalition.org/article/nine-things-you-should-really-know-about-
anglicanism/

Untuk link yang kedua ini perhatikan point 3, yang mengatakan bahwa Anglikan
terletak di antara Lutheran dan Calvinisme.

c) Juga link ini (dalam bagian ‘definition’) menunjukkan bahwa Anglikan tidak sama
dengan Reformed - https://en.wikipedia.org/wiki/Anglicanism

Ini saya beri sedikit cuplikan:

“Anglicanism, in its structures, theology and forms of worship, is commonly understood as


a distinct Christian tradition representing a middle ground between what are perceived to
be the extremes of the claims of 16th-century Roman Catholicism and
the Lutheran and Reformed varieties of Protestantism of that era. As such, it is often
referred to as being a via media (or ‘middle way’) between these traditions.” [=
Anglikanisme, dalam struktur, theologia dan bentuk ibadahnya, biasanya dimengerti
sebagai suatu tradisi Kristen yang berbeda yang mewakili daerah di tengah-tengah di
antara apa yang dimengerti sebagai extrim-extrim tentang claim-claim dari Roma
Katolik abad 16 dan variasi-variasi Lutheran dan Reformed dari Protestanisme dari
jaman itu. Dalam arti yang persis, itu sering dianggap sebagai suatu kompromi (atau
‘jalan tengah’) di antara tradisi-tradisi ini.].

Bagaimana pandangan Wenham tentang ‘cerai karena zinah’? Ia jelas-jelas setuju,


bahwa kalau ada zinah, orang boleh menceraikan pasangannya! Yang tidak ia
setujui adalah pernikahan lagi / remarriage!

Gordon J. Wenham: “Third, I will look at the teaching in Matthew’s gospel. Matthew
wrote the only gospel that mentions an exception to Jesus’ blanket condemnation of
divorce and remarriage. In Matthew 5:32, divorce is not condemned as adultery in cases
where the divorce is caused by sexual immorality, but other reasons for divorce and any
remarriage after divorce are so condemned; the same ideas are reiterated in Matthew 19.
Some interpreters interpret Matthew 19 to allow remarriage after some divorces (see the
other chapters in this book). I will argue that this makes Jesus contradict himself. The text
makes much better sense if Jesus is understood to prohibit remarriage after divorce in
every case.” [= Ketiga, saya akan melihat pada pengajaran dalam Injil Matius. Matius
menulis satu-satunya injil yang menyebutkan suatu perkecualian pada pengecaman
universal dari Yesus tentang perceraian dan pernikahan lagi / kembali / ulang. Dalam
Mat 5:32, perceraian tidak dikecam / disalahkan sebagai perzinahan dalam kasus-kasus
dimana perceraian itu disebabkan oleh ketidak-bermoralan sexual, tetapi alasan-alasan
lain untuk perceraian dan pernikahan ulang / lagi apapun setelah perceraian dikecam /
disalahkan seperti itu; gagasan yang sama dikatakan lagi dalam Mat 19. Sebagian
penafsir menafsirkan Mat 19 mengijinkan pernikahan lagi setelah perceraian (lihat
pasal-pasal lain dalam buku ini). Saya berargumentasi bahwa ini membuat Yesus
menentang diriNya sendiri. Text itu memberi arti yang lebih baik jika Yesus dimengerti
sebagai melarang pernikahan lagi setelah perceraian dalam setiap kasus.] -
‘REMARRIAGE AFTER DIVORCE IN TODAY’S CHURCH’, hal 22 (Libronix).

Gordon J. Wenham: “So far what I have said is widely accepted. Historians agree that
the early church did not approve of remarriage after divorce. Most biblical scholars
accept that the New Testament, apart from Matthew, also condemned remarriage after
divorce. The idea that Matthew allowed remarriage after divorce in some cases rests on
the interpretation of two short phrases. In 5:32 Jesus declared that ‘everyone who
divorces his wife, EXCEPT ON THE GROUND OF SEXUAL
IMMORALITY (PORNEIA), makes her commit adultery’ (ESV, emphasis added). In
19:9 Jesus noted that ‘whoever divorces his wife, EXCEPT FOR SEXUAL
IMMORALITY (PORNEIA), and marries another, commits adultery’ (ESV, emphasis
added). The early church understood the italicized phrases to allow separation, but not
remarriage, for sexual immorality (PORNEIA). But from the time of Erasmus (1519)
on, many Protestants have held that the exception clauses allow full divorce with the
right to remarry in cases where a spouse is guilty of sexual immorality, typically
adultery. I want to examine which interpretation - the permissive Erasmian view or the
restrictive early church view - makes the best sense within the context of Matthew’s
gospel and the flow of his thought. I’ll look at the two passages in turn.” [= Sejauh ini
apa yang telah saya katakan kebanyakan diterima. Ahli-ahli sejarah setuju bahwa
gereja mula-mula tidak menyetujui pernikahan lagi setelah perceraian. Kebanyakan
sarjana Alkitab menerima bahwa Perjanjian Baru, terpisah dari Matius, juga
mengecam pernikahan lagi setelah perceraian. Gagasan bahwa Matius mengijinkan
pernikahan lagi setelah perceraian dalam beberapa kasus didasarkan pada penafsiran
dari dua ucapan / kata-kata pendek. Dalam 5:32 Yesus menyatakan bahwa ‘setiap
orang yang menceraikan istrinya, KECUALI BERDASARKAN KETIDAK-
BERMORALAN SEX (PORNEIA), membuat ia melakukan perzinahan’ (ESV,
penekanan ditambahkan). Dalam 19:9 Yesus menunjukkan / menyebutkan bahwa
‘siapapun menceraikan istrinya, KECUALI KARENA KETIDAK-BERMORALAN SEX
(PORNEIA), dan menikahi orang lain, melakukan perzinahan’ (ESV, penekanan
ditambahkan). Gereja mula-mula mengerti ucapan / kata-kata yang dicetak miring
untuk mengijinkan perpisahan, tetapi tidak pernikahan lagi, untuk ketidak-bermoralan
sex (PORNEIA). Tetapi sejak jaman Erasmus (1519) dan selanjutnya, banyak orang
Protestan telah mempercayai bahwa anak-anak kalimat perkecualian mengijinkan
perceraian penuh dengan hak untuk menikah lagi dalam kasus-kasus dimana seorang
pasangan bersalah tentang ketidak-bermoralan sex, biasanya perzinahan. Saya ingin
memeriksa penafsiran mana - pandangan Erasmus yang bersifat mengijinkan atau
pandangan yang ketat dari gereja mula-mula - yang membuat arti terbaik di dalam
kontext injil Matius dan aliran pemikirannya. Saya akan melihat pada kedua text
dalam urut-urutan yang tepat.] - ‘REMARRIAGE AFTER DIVORCE IN TODAY’S
CHURCH’, hal 27 (Libronix).
Gordon J. Wenham: “Within this context, the exception clause simply notes that should
a wife have already committed adultery - one type of sexual immorality - her husband
can hardly be said to have made her commit adultery. There is no suggestion here that a
husband gains the right to marry again. The most that permissive interpreters can
claim is that this text leaves open the POSSIBILITY that an innocent husband may
remarry. This text CERTAINLY does not authorize remarriage in such
circumstances.” [= Dalam kontext ini, anak kalimat perkecualian hanya menunjukkan
bahwa kalau seorang istri telah melakukan perzinahan - satu type dari ketidak-
bermoralan sex - suaminya tidak bisa dikatakan telah membuatnya melakukan
perzinahan. Tidak ada petunjuk di sini bahwa seorang suami mendapatkan hak untuk
menikah lagi. Yang paling banyak bisa diclaim oleh penafsir-penafsir yang bersifat
mengijinkan itu adalah bahwa text ini membuka KEMUNGKINAN bahwa seorang
suami yang tak bersalah boleh menikah lagi. Text ini PASTI tidak memberi otoritas
pernikahan lagi dalam keadaan-keadaan seperti itu.] - ‘REMARRIAGE AFTER
DIVORCE IN TODAY’S CHURCH’, hal 28 (Libronix).

Jelas bahwa Wenham menyetujui perceraian karena zinah; yang tidak ia setujui
adalah pernikahan lagi setelah perceraian itu. Jadi, bagaimana bisa Yakub Tri
mengatakan Wenham melarang cerai dalam keadaan apapun?

3) Thomas R. Schreiner adalah seorang Southern Baptist.


Ini bisa dilihat di link ini: - https://en.m.wikipedia.org/wiki/Thomas_R._Schreiner

Dalam bukunya yang berjudul ‘Believer’s Baptism: Sign of the New Covenant in
Christ’ terlihat jelas bahwa dia anti baptisan bayi, dan karena itu jelas bukan
Reformed.

Lihat link ini:


http://d3pi8hptl0qhh4.cloudfront.net/documents/sbjt/sbjt_2002springcomplete.pdf
Di sini ada ‘The Southern Baptist Journal of Theology’.

Dalam Journal itu Schreiner sendiri tidak memberikan pandangannya, tetapi hanya
menyuruh pembacanya membaca dua tulisan selanjutnya, yaitu tulisan William A.
Heth dan Gordon Wenham, dan keduanya mengijinkan cerai. Saya berikan sedikit
cuplikan dari Journal tersebut.

Thomas R. Schreiner: “The scriptures are clear, for example, that divorce is never a good
thing. It is never ideal for marriages to break apart, for the covenant bond between a
husband and wife to be severed.” [= Kitab Suci adalah jelas, sebagai contoh, bahwa
perceraian tidak pernah merupakan suatu hal yang baik. Tidak pernah merupakan
sesuatu yang ideal bagi pernikahan untuk hancur / pecah, bagi ikatan perjanjian antara
seorang suami dan istri untuk dibubarkan / diputuskan.] - hal 2.

Kalau kata-kata ini saya setuju. Memang perceraian itu jelas bukan hal yang ideal,
juga bukan hal yang baik. Tapi coba baca lanjutannya.

Thomas R. Schreiner: “Is divorce ever justified? I have already noted that divorce is
never ideal, but is it in some cases permissible? The church of Jesus Christ has debated
this question throughout history. We have two very fine articles on this question in the
current issue. Gordon Wenham, a well-known Old Testament scholar from England,
argues that divorce is permissible in some instances but never remarriage. William Heth
takes the other position. He maintains that both divorce and remarriage are justified in
some cases.” [= Apakah perceraian pernah dibenarkan? Saya telah menyebutkan
bahwa perceraian tidak pernah merupakan sesuatu yang ideal, tetapi apakah itu dalam
beberapa kasus diijinkan? Gereja Yesus Kristus telah memperdebatkan pertanyaan ini
dalam sepanjang sejarah. Kami mempunyai dua artikel yang sangat bagus tentang
pertanyaan ini dalam pokok saat ini. Gordon Wenham, seorang sarjana Perjanjian
Lama yang terkenal dari Inggris, berargumentasi bahwa perceraian diijinkan dalam
beberapa kejadian tetapi tidak pernah pernikahan ulang diijinkan. William Heth
mengambil posisi yang lain. Ia mempertahankan bahwa baik perceraian dan
pernikahan ulang dibenarkan dalam beberapa kasus.] - hal 2-3.

Lalu dalam Journal itu diberikan tulisan William Heth (hal 4-29) dan tulisan Gordon
Wenham (hal 30-45).

Kalau Schreiner mempercayai bahwa cerai dilarang secara mutlak, mungkinkah ia


tidak memberi pandangannya, dan hanya mendorong para pembacanya pada
tulisan dari Heth dan Wenham, yang keduanya mengijinkan cerai dalam kasus-
kasus tertentu??? Rasanya itu mustahil.

Kesimpulan: data-data yang Yakub Tri berikan atau tidak akurat, atau dipalsukan!
Kalau tidak akurat salah satu, itu bisa diterima. Tetapi memberi tiga, dan ketiganya
tidak akurat, itu tidak masuk akal. Bagi saya ini pemalsuan / penipuan! Mungkin dia
pikir tak ada orang nganggur yang mau mengecek???

Strategi pembahasan Yakub Tri. Beberapa kali ia katakan ‘strategi’. Penggunaan


kata ini saja sudah salah menurut saya. Dalam mencari kebenaran, kita tidak boleh
menggunakan ‘strategi’! Dalam p;erang, perkelahian, kita menggunakan strategi,
yang sangat mungkin mengandung unsur kelicikan.

Yakub Tri mengatakan biasanya orang mulai dengan Matius 19:9 dan Matius 5:32

Yakub Tri berkata, dia selidiki ‘text-text yang lebih jelas’ dulu.

Dan Yakub Tri mengatakan bahwa dalam Hermeneutics, text yang kurang jelas
harus ditafsirkan oleh text-text yang lebih jelas.

Jadi dia bahas text-text yang jelas dulu, baru akan tafsir ulang Matius 5:32 dan
Matius 19:9 (ini ‘strategi’nya dia).

JAWABAN SAYA:

Prinsip Hermeneutics-nya saya setuju. Tetapi cara penerapannya di sini yang saya
tak setuju. Ayat-ayat tentang perceraian ini bukan kelompok ayat sukar vs kelompok
ayat yang jelas / mudah. Tetapi ini adalah dua kelompok ayat YANG
BERBEDA. Yang satu sifatnya umum / universal, yang lain (Mat 5:32 dan Mat 19:9)
sifatnya khusus / perkecualian. Karena itu kita tak bisa memulai dengan melihat
‘ayat-ayat mudah / jelas’ baru membahas ‘ayat-ayat yang bermasalah’!!!
Sebagai contoh, kita mau membahas thema: ‘Apakah Yesus itu manusia berdosa
atau tidak?’

Dalam Alkitab ada banyak ayat yang menyatakan semua manusia itu berdosa.

Roma 3:10-12,23 - “(10) seperti ada tertulis: ‘Tidak ada yang benar, seorangpun tidak.
(11) Tidak ada seorangpun yang berakal budi, tidak ada seorangpun yang mencari
Allah. (12) Semua orang telah menyeleweng, mereka semua tidak berguna, tidak ada
yang berbuat baik, seorangpun tidak. ... (23) Karena semua orang telah berbuat dosa
dan telah kehilangan kemuliaan Allah,”.

Ayub 25:4 - “Bagaimana manusia benar di hadapan Allah, dan bagaimana orang yang
dilahirkan perempuan itu bersih?”.

Pkh 7:20 - “Sesungguhnya, di bumi tidak ada orang yang saleh: yang berbuat baik dan
tak pernah berbuat dosa!”.

Tetapi ada ayat-ayat yang mengecualikan Yesus.

Ibr 4:15 - “Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat
turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah
dicobai, hanya tidak berbuat dosa.”.

2Korintus 5:21 - “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuatNya menjadi dosa karena
kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah.”.

Yoh 8:46a - “Siapakah di antaramu yang membuktikan bahwa Aku berbuat dosa?”.

Cara menafsir Yakub Tri, kalau mau diterapkan pada persoalan ini menjadi sebagai
berikut:

Mari kita tak melihat pada Ibr 4:15 2Kor 5:21 Yoh 8:46a, tetapi kita melihat lebih
dulu pada ayat-ayat yang jelas, yaitu Ro 3:10-12,23 Pkh 7:20 Ayub 25:4. Baru nanti
kita menafsir ulang ayat-ayat Ibrani 4:15 2Kor 5:21 Yoh 8:46a.

Lalu baca dan tafsir Ro 3:10-12,23 Pkh 7:20 Ayub 25:4, dan sudah pasti akan
mendapatkan bahwa semua manusia berdosa, dan karena Yesus adalah manusia,
maka Ia juga berdosa. Ini sekarang jadi tolok ukur untuk menafsir ulang Ibr
4:15 2Kor 5:21 Yoh 8:46a.

Ibr 4:15 Ia tidak berbuat dosa pada waktu dicobai. Tapi ayatnya tidak bilang pada
waktu Ia tak dicobai. 2Kor 5:21 hanya bilang Ia tak mengenal dosa, itu bukan berarti
sama sekali tak berbuat dosa. Yoh 8:46 - memang orang-orang itu tak bisa buktikan
Yesus berbuat dosa, karena mereka tak maha tahu. Tapi Allah yang maha tahu
tentu bisa buktikan.

Kesimpulan akhir: Yesus berdosa. Ini jadi lucu, bukan?

SEMUA JADI KACAU KALAU PAKAI CARA YAKUB TRI MENAFSIR AYAT!!!
Yang benar adalah sebagai berikut:
Ayat-ayat Roma 3:10-12,23 Pkh 7:20 Ayub 25:4 adalah ayat-ayat yang berlaku
umum, semua manusia berdosa. Tetapi ayat-ayat Ibr 4:15 2Kor 5:21 Yoh 8:46a
merupakan ayat-ayat perkecualian. Jadi kesimpulan akhir: semua manusia berdosa,
kecuali Yesus!

Kembali pada soal cerai.


Banyak ayat umum, seperti:

1. Mal 2:16a - “Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel”.
Kelihatannya ini ayat hafalannya Gilbert Lumoindong.

2. Ro 7:2-3 - “(2) Sebab seorang isteri terikat oleh hukum kepada suaminya selama
suaminya itu hidup. Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum
yang mengikatnya kepada suaminya itu. (3) Jadi selama suaminya hidup ia dianggap
berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain; tetapi jika suaminya telah mati, ia bebas
dari hukum, sehingga ia bukanlah berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain.”.

3. 1Kor 7:10-11,39 - “(10) Kepada orang-orang yang telah kawin aku - tidak, bukan aku,
tetapi Tuhan - perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya.
(11) Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan
suaminya. Dan seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya. ... (39) Isteri
terikat selama suaminya hidup. Kalau suaminya telah meninggal, ia bebas untuk kawin
dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu adalah seorang yang percaya.”.

4. Markus 10:11-12 - “(11) Lalu kataNya kepada mereka: ‘Barangsiapa menceraikan


isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap
isterinya itu. (12) Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki
lain, ia berbuat zinah.’”.
5. Lukas 16:18 - “Setiap orang yang menceraikan isterinya, lalu kawin dengan
perempuan lain, ia berbuat zinah; dan barangsiapa kawin dengan perempuan yang
diceraikan suaminya, ia berbuat zinah.’”.

Catatan: untuk no 4 dan mungkin juga no 5, mungkin harus diartikan secara


berbeda, karena keduanya merupakan ayat-ayat paralel dari Mat 19:9. Yang dalam
Markus pasti paralel, karena ada kontextnya, tetapi yang dalam Lukas tidak bisa
dipastikan, karena tidak ada kontextnya.

Tetapi dua ayat dalam Matius, merupakan ayat-ayat perkecualian!


Matius 5:32 - “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan
isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin
dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah.”.
Mat 19:9 - “Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan
isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.’”.

Jadi, membahas ayat-ayat kelompok I dulu, lalu menafsir ulang kelompok II,
merupakan suatu metode yang jelas-jelas salah. Kalau pendekatan / metodenya
(atau ‘strategi’nya) sudah salah, jangan harap bisa mendapatkan kesimpulan yang
benar! Kalau mau membahas topik ‘apakah pada waktu seseorang berzinah,
pasangannya yang tak bersalah boleh menceraikannya?’, maka kita harus langsung
membahas Mat 5:32 dan Mat 19:9 yang memang berkenaan dengan topik itu! Baru
nanti kita menjelaskan ayat-ayat yang lain, dan itu cukup dengan mengatakan
bahwa ayat-ayat itu merupakan ayat-ayat yang berlaku umum (kalau tidak terjadi
zinah).

Markus 10:11-12 - “(11) Lalu kataNya kepada mereka: ‘Barangsiapa menceraikan


isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap
isterinya itu. (12) Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki
lain, ia berbuat zinah.’”.
Lukas 16:18 - “Setiap orang yang menceraikan isterinya, lalu kawin dengan
perempuan lain, ia berbuat zinah; dan barangsiapa kawin dengan perempuan yang
diceraikan suaminya, ia berbuat zinah.’”.

Ini text-text paralel.

Kata-kata ‘kecuali karena zinah’ tidak ada. Padahal ini cerita yang sama.

Apakah Matius yang menambahi atau Markus / Lukas yang mengurangi??

Video I, menit 31:22 - KALAU HANYA LIHAT TEXT-TEXT INI perceraian


diperbolehkan atau tidak??

JAWABAN SAYA:
INI MANIPULASI! Kita tidak boleh menyimpulkan apapun dengan hanya melihat
sebagian ayat dalam Alkitab, padahal ada ayat-ayat lain yang berhubungan!!!

Sebagai contoh, kalau ketemu Saksi-Saksi Yehuwa, dan dia bilang mari kita lihat
ayat-ayat Mat 24:36 dan Yoh 14:28, jangan lihat ayat-ayat lain dulu. Kalau dari dua
ayat ini Yesus itu Allah atau bukan??? Saudara mau terima ‘strategi’ seperti itu???
Itu strategi penipuan!

Lalu Yakub Tri membahas text-text lain:

1Kor 7:39 - “Isteri terikat selama suaminya hidup. Kalau suaminya telah meninggal, ia
bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu adalah
seorang yang percaya.”.

Roma 7:1-3 - “(1) Apakah kamu tidak tahu, saudara-saudara, - sebab aku berbicara
kepada mereka yang mengetahui hukum - bahwa hukum berkuasa atas seseorang
selama orang itu hidup? (2) Sebab seorang isteri terikat oleh hukum kepada
suaminya selama suaminya itu hidup. Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah
ia dari hukum yang mengikatnya kepada suaminya itu. (3) Jadi selama suaminya
hidup ia dianggap berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain; tetapi jika suaminya
telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga ia bukanlah berzinah, kalau ia menjadi isteri
laki-laki lain.”.

Kedua text ini mengatakan nikah itu sampai mati.

Yakub Tri tanya: MENURUT KEDUA AYAT INI cerai boleh atau tidak???

JAWABAN SAYA:
INI LAGI-LAGI MANIPULATIF!

Yakub Tri menggunakan janji pernikahan (video I, menit 32:30-57).

JAWABAN SAYA:
INI MANIPULATIF, dan tidak Alkitabiah! Dasar ajaran kok pakai janji pernikahan itu
bagaimana??? Ini bertentangan dengan judul ‘biblical’ dalam thema yang Yakub Tri
gunakan! Dan ini juga digunakan oleh Eddy Leo dan Gilbert (dalam tulisan). Saya
tak tahu siapa yang nyontek dari siapa. Yang saya tahu mereka menyontek dari
orang yang salah. Orang buta menuntun orang buta? Atau orang buta mengikuti
orang buta?? Pikir sendiri, dan jawab sendiri!

Ini jawaban saya tentang penggunaan ‘janji pernikahan’ itu!

1. Janji pernikahan, sekalipun merupakan sesuatu yang sakral, itu bukan firman
Tuhan!!! Tak ada dalam Alkitab. Bisa-bisanya dijadikan dasar ajaran? Pengakuan
Iman saja (12 Pengakuan Iman Rasuli; Pengakuan Iman Nicea; Westminster
Confession of Faith, dsb) tidak boleh dijadikan dasar ajaran KECUALI ADA AYAT
PENDUKUNG, apalagi hanya janji pernikahan. Orang mengajar pakai dasar janji
pernikahan masih bisa katakan pembahasannya Alkitabiah??
2. Janji pernikahan, sekalipun sakral, tetap berurusan dengan pernikahan, yang
merupakan sesuatu yang romantis. Sama seperti janji pacaran, apakah ada orang
janji: aku akan mencintai engkau, kecuali engkau berzinah / selingkuh??? Semua
janjinya akan cinta sampai mati. Tetapi saya yakin semua orang juga tahu kalau itu
sebetulnya bersyarat. Tetapi kalau syaratnya diucapkan, maka seluruh suasana
romantis akan hancur.
3. Kalau Yakub Tri katakan bahwa tak ada orang mengucapkan janji pernikahan
dengan tambahan ‘kecuali / sampai engkau berzinah’, maka saya juga bisa
mengatakan secara sama bahwa tak ada orang mengatakan janji pernikahan
disertai kata-kata ‘sekalipun engkau berzinah’, atau ‘sekalipun engkau bawa pelacur
ke rumah’, dan sebagainya. Argumentasi konyol saya balas dengan argumentasi
yang konyol juga!
4. Janji pernikahan bunyinya tak selalu seperti yang pada umumnya kita dengar. Ada
yang orangnya masing-masing buat sendiri. Bisa berbeda-beda dan ini menunjukkan
bahwa itu tidak mungkin dijadikan dasar ajaran.
5. Ini yang terpenting: JANJI PERNIKAHAN ITU TIMBAL BALIK. Baik suami maupun
istri berjanji untuk setia. Kalau suami mengingkari janjinya dengan dia berzinah,
apakah istri masih terikat pada janjinya? Hanya orang konyol / bodoh yang berkata
YA.

Efesus 5:22-31, dan Yakub Tri menekankan ay 32 nya. Video I, Menit ke 35.

Yakub Tri bilang kita sering berzinah secara rohani, sering tidak setia kepada
Tuhan. Video I, Menit 37:26.

Nikah itu refleksi / gambaran hubungan Kristus dengan jemaat.

Jawaban saya:

Ef 5:22-32 - “(22) Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, (23)
karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah
yang menyelamatkan tubuh. (24) Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada
Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. (25) Hai suami,
kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan
diriNya baginya (26) untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan
memandikannya dengan air dan firman, (27) supaya dengan demikian Ia menempatkan
jemaat di hadapan diriNya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa
itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela. (28) Demikian juga suami harus
mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi isterinya
mengasihi dirinya sendiri. (29) Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri,
tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat, (30)
karena kita adalah anggota tubuhNya. (31) Sebab itu laki-laki akan meninggalkan
ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu
daging. (32) Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan
jemaat.”.

Saya tidak percaya orang kristen yang sejati bisa berzinah secara rohani, dalam arti
menyembah berhala (itu arti ungkapan itu dalam Perjanjian Lama!).
Yer 3:9 - “Dengan sundalnya yang sembrono itu maka ia mencemarkan negeri
dan berzinah dengan menyembah batu dan kayu.”.

Jadi, zinah secara rohani bukanlah sekedar ‘tidak setia kepada Tuhan’ seperti yang
Yakub Tri katakan. Seadanya dosa adalah ketidak-setiaan kepada Tuhan, dan
karena itu tidak harus disebut sebagai zinah rohani! Zinah rohani adalah
penyembahan berhala!

Adam Clarke (tentang 2Kor 6:15): “An idolater never worships the true God; a Christian
never worships an idol. If ye join in idolatrous rites, it is impossible that ye should be
Christians.” [= Seorang penyembah berhala tidak pernah menyembah Allah yang
benar; seorang Kristen tidak pernah menyembah sebuah berhala. Jika kamu
bergabung dalam upacara-upacara penyembahan berhala, adalah mustahil bahwa
kamu adalah orang Kristen.].
Menyembah berhala yang hanya secara fisik, karena takut / sungkan dsb, itu
memungkinkan. Itu yang dilakukan oleh Salomo dan Naaman. Tetapi betul-betul
menyembah berhala dengan hatinya, menunjukkan secara jelas bahwa hatinya tidak
percaya kepada Yesus! Dan kalau demikian, apakah dalam arti sebenarnya ia
adalah jemaat / gereja? Kalau bukan, maka Ef 5 tadi tak berlaku untuk orang itu!!

Hosea 1-3 (Video I, menit ke 38). dan ini ia sebut text yang jelas!

Istri berzinah, tetapi diterima kembali.

Jawaban saya:

Apakah cerita nabi Hosea menikahi pelacur dsb ini adalah cerita yang sungguh-
sungguh terjadi, atau sekedar suatu perumpamaan / penglihatan, itu menjadi
perdebatan luar biasa.

1) Yang percaya ini vision: Matthew Henry, Calvin, Jamieson, Fausset & Brown.

Calvin (tentang Hos 1:2): “almost all the Hebrews agree in this opinion, that the Prophet
did not actually marry a wife, but that he was bidden to do this in a vision. And we shall see
in the third chapter (Hosea 3:1) almost the same thing described; and yet what is narrated
there could not have been actually done, for the Prophet is bidden to marry a wife who had
violated her conjugal fidelity, and after having bought her, to retain her at home for a time.
This, we know, was not done. ...” [= hampir semua orang-orang Ibrani setuju dengan
pandangan ini, bahwa sang Nabi tidak sungguh-sungguh menikahi seorang istri, tetapi
ia diarahkan / disuruh melakukan ini dalam suatu penglihatan. Dan akan kita lihat
dalam pasal ketiga (Hos 3:1) digambarkan hal yang hampir sama; tetapi apa yang
diceritakan tidak bisa sungguh-sungguh telah terjadi, karena sang Nabi disuruh
menikahi seorang istri yang telah melanggar kesetiaan pernikahan, dan setelah
membelinya, mempertahankannya di rumah untuk suatu waktu. Ini, kami tahu, tidak
dilakukan. ...].

2) Yang percaya ini cerita sungguh-sungguh: Adam Clarke, Albert Barnes, Bible
Knowledge Commentary.

Keil & Delitzsch membingungkan. Entah dia masuk yang mana.

JADI, INI ADALAH TEXT YANG ‘LUAR BIASA BERMASALAH’!!!!


Mengapa Yakub Tri tidak ‘menerapkan prinsip Hermeneutics-nya’, dengan
mengatakan, mari kita kesampingkan dulu text ini, dan kita bahas text-text lain yang
jelas??? Sebaliknya, ia langsung membahas text ini, atau lebih tepat, ia langsung
‘meloncat pada kesimpulan’ (Yakub Tri bahkan tidak membaca ayat-ayat dalam
kitab Hosea!) tentang text ini, seakan-akan text ini tak bermasalah sama sekali!!!

Kalau DIANGGAP bahwa cerita tentang Hosea dan Gomer dsb itu sungguh-
sungguh terjadi, maka bahwa Hosea tidak boleh mencerai istrinya itu karena Tuhan
mau membuat kehidupan Hosea sebagai suatu perumpamaan yang diperagakan! Ini
tak bisa dipakai untuk melarang cerai secara mutlak. Untuk Hosea SAJA, ia tak
boleh menceraikan, karena Tuhan punya tujuan tertentu. Apakah karena ada
cerita Petrus jalan di atas air, kita boleh mencobanya? Apakah karena pemuda
kaya yang datang kepada Yesus disuruh menjual semua hartanya dan
membagikannya kepada orang miskin, maka kita semua harus melakukan hal yang
sama? Tak semua ayat berlaku untuk semua orang. Kontext, dan seluruh bagian
Alkitab yang lain, yang menentukan apakah ayat itu berlaku umum atau tidak!

Pada saat yang sama, cerita Hosea ini menunjukkan bahwa pada saat terjadi
zinahpun, orang tidak harus bercerai. Ini saya katakan untuk menentang pandangan
orang-orang extrim, yang saya jumpai di face book yang mengatakan bahwa kalau
terjadi zinah, maka cerai itu DIHARUSKAN!
Dan bagaimana sikap Tuhan terhadap Israel dalam kitab nabi Hosea? Mengampuni
sekalipun mereka zinah secara rohani??? TIDAK!! Tuhan membuang mereka!!

Hos 1:4-6,8-9 - “(4) Kemudian berfirmanlah TUHAN kepada Hosea: ‘Berilah nama
Yizreel kepada anak itu, sebab sedikit waktu lagi maka Aku akan menghukum
keluarga Yehu karena hutang darah Yizreel dan Aku akan mengakhiri pemerintahan
kaum Israel. (5) Maka pada waktu itu Aku akan mematahkan busur panah Israel di
lembah Yizreel.’ (6) Lalu perempuan itu mengandung lagi dan melahirkan seorang
anak perempuan. Berfirmanlah TUHAN kepada Hosea: ‘Berilah nama Lo-Ruhama
kepada anak itu, sebab Aku tidak akan menyayangi lagi kaum Israel, dan sama sekali
tidak akan mengampuni mereka. ... (8) Sesudah menyapih Lo-Ruhama,
mengandunglah perempuan itu lagi dan melahirkan seorang anak laki-laki. (9) Lalu
berfirmanlah Ia: ‘Berilah nama Lo-Ami kepada anak itu, sebab kamu ini bukanlah
umatKu dan Aku ini bukanlah Allahmu.’”.

Calvin (tentang Hos 1:4): “It is added ‘and I will abolish the kingdom of the house of
Israel.’ The house of Israel he calls that which had separated from the family of David, as
though he said, ‘This is a separated house.’ God had indeed joined the whole people
together, and they became one body. It was torn asunder under Jeroboam. This was God’s
dreadful judgment; for it was the same as if the people, like a torn body, had been cut into
two parts. But God, however, had hitherto preserved these two parts, as though they were
but one body, and would have become the Redeemer of both people, had not a base
defection followed. And the Israelites having become, as it were, putrified, SO AS NOW
TO BE NO PART OF HIS CHOSEN PEOPLE, our Prophet, by way of contempt and
reproach, rightly calls them the house of Israel.” [= Ditambahkan ‘dan Aku akan
mengakhiri kerajaan dari keluarga / kaum Israel’. Ia menyebut ‘kaum Israel’ yang
telah memisahkan diri dari keluarga Daud, seakan-akan Ia berkata, ‘Ini adalah suatu
kaum / keluarga yang terpisah’. Allah memang telah menggabungkan seluruh bangsa
itu bersama-sama / menjadi satu, dan mereka menjadi satu tubuh. Itu disobek sehingga
terpisah di bawah Yerobeam. Ini adalah penghakiman yang menakutkan dari Allah;
karena itu adalah sama seakan-akan bangsa itu, seperti tubuh yang tersobek, telah
dipotong menjadi dua bagian. Tetapi Allah, sampai saat ini telah menjaga kedua bagian
ini, seakan-akan mereka hanyalah satu tubuh, dan akan telah menjadi Penebus dari
kedua bangsa, seandainya suatu pengkhianatan / ketidak-setiaan yang bersifat dasari
tidak terjadi belakangan. Dan bangsa Israel telah menjadi, seakan-akan membusuk,
SEHINGGA SEKARANG TIDAK LAGI MERUPAKAN BAGIAN DARI BANGSA
PILIHANNYA, Nabi kita, dengan cara menghina dan mencela, secara benar menyebut
mereka ‘kaum Israel’.].

Calvin (tentang Hosea 1:6): “The Prophet shows in this verse that things were become
worse and worse in the kingdom of Israel, that they sinned, keeping within no limits, that
they rushed headlong into the extremes of impiety. He has already told us, by calling them
Jezreelites, that they were from the beginning rejected and degenerate; as though he said,
‘Your origin has nothing commendable in it; ye think yourselves to be very eminent,
because ye derive your descent from holy Jacob; but ye are spurious children, born of a
harlot: a brothel is not the house of Abraham, nor is the house of Abraham a brothel. Ye
are then the offspring of debauchery.’ But he now goes farther and says, that as time
advanced, they had ever been falling into a worse state; for this word, Loruchamah, is a
more disgraceful name than Jezreel: and the Lord also denounces here his vengeance
more openly, when he says, ‘I will no more add to pursue with mercy the house of
Israel.’ ‫רחם‬, RECHEM, means to pity, and also to love: but this second meaning is derived
from the other; for ‫רחם‬, RECHEM, is not simply to love, but to show gratuitous favour. By
calling the daughter, then, Lo-ruchamah, God intimates that his favour was now taken
away from the people. We know, indeed, that the people had been freely chosen; for if the
cause of adoption be inquired for, it must be said to have been the mere mercy and
goodness of God. Now then God, in repudiating the people, says, ‘Ye are like a daughter
whom her father casts away and disowns, because he deems her unworthy of his favour.’
We now, then, comprehend the design of the Prophet; for, after having shown the
Israelites to have been from the beginning spurious, and not the true children of Abraham,
he now adds, that, in course of time, they had become so corrupt, that God would now
utterly disown them, and would no longer deem them as his house. He, therefore, charges
them with something more grievous than before, by saying,‘Call this daughter Lo-
ruchamah;’ for she was born after Jezreel. Here he describes by degrees the state of the
people, that it continually degenerated. Though they were at the beginning depraved; but
they were now, after the lapse of some time, utterly unworthy of God’s favour.” [= Dengan
menyebut anak perempuan itu pada saat itu Lo-ruchamah, Allah mengisyaratkan /
menunjukkan secara tak langsung bahwa kebaikanNya sekarang diambil dari bangsa
itu. ... mereka telah menjadi begitu rusak / jahat, sehingga Allah sekarang sama sekali
menolak untuk mengakui mereka, dan tidak lagi menganggap mereka sebagai
keluargaNya. ... Di sini Ia menggambarkan perlahan-lahan keadaan dari bangsa itu,
bahwa itu merosot / memburuk terus menerus. Sekalipun mereka pada mulanya bejat /
jahat; tetapi mereka sekarang, setelah berlalunya beberapa waktu, sama sekali tidak
layak mendapatkan kebaikan Allah.].
Catatan: saya hanya menterjemahkan bagian yang saya garis-bawahi.

Calvin (tentang Hos 1:6): “The Prophet, as we see, evidently intimates that the Israelites
had very long abused the Lord’s mercy, while he spared them, so that now the ripe time of
vengeance had come; for the Lord had, for many years showed his favour to them, though
they never ceased at any time to seek destruction to themselves. Hence we learn, as stated
yesterday, that the Prophet’s vehemence was not hasty: for God had before given warnings,
more than sufficient, to the Israelites; he had also forgiven them many sins; he had borne
with them until the state of things proved that they were altogether incurable. Since, then,
the forbearance of God produced no effect on them, it was necessary to come to this last
remedy, that the Lord should, as it were, with a drawn sword, appear as a judge to take
vengeance.” [= Tuhan telah, untuk banyak tahun / waktu yang lama, menunjukkan
kebaikanNya kepada mereka, ... sampai keadaan dari hal-hal membuktikan bahwa
mereka sama sekali tidak bisa disembuhkan.].
Catatan: saya hanya menterjemahkan bagian yang saya garis-bawahi.

Calvin (tentang Hos 1:8-9): “The reason is added ‘For ye are not my people, and I will
not hereafter be yours.’ This, as I have said, is the final disowning of them. They had been
before called Jezreelites, and then by the name of the daughter God testified that he was
alienated from them; but now the third name is still more grievous, ‘Ye are not my
people;’ for God here abolishes, in a manner, the covenant he made with the holy fathers,
so that the people would cease to have any pre-eminence over other nations. So then the
Israelites were reduced to a condition in which they differed nothing from the profane
Gentiles; and thus God wholly disinherited them.” [= Alasannya ditambahkan ‘Karena
kamu bukanlah umatKu, dan setelah ini Aku bukanlah milikmu’. Ini, seperti telah saya
katakan, merupakan ‘tindakan tidak mengakui’ yang terakhir (final) terhadap mereka.
Sebelumnya mereka telah disebut Yizreel, dan lalu dengan nama anak perempuan itu
Allah memberi kesaksian bahwa Ia telah diasingkan dari mereka; tetapi sekarang
nama ketiga lebih menyedihkan lagi, ‘Kamu bukanlah umatKu’; karena Allah di sini
menghapuskan, dengan suatu cara, perjanjian yang Ia buat dengan bapa-bapa kudus,
sehingga bangsa itu berhenti mempunyai keunggulan apapun atas bangsa-bangsa
lain. Dengan demikian maka bangsa Israel direndahkan pada suatu keadaan dalam
mana mereka tidak berbeda dari bangsa-bangsa non Yahudi yang duniawi; dan dengan
demikian Allah sepenuhnya mencabut hak mereka / mengeluarkan mereka dari
warisan.].

BACA JUGA: DOSA MENGHUJAT ROH KUDUS

Matthew Henry (tentang Hos 1:8-9): “This was fulfilled in Israel when they were ‘utterly
taken away’ into the land of Assyria, and their place knew them no more. They were no
longer God’s people, for they lost the knowledge and worship of him; no prophets were
sent to them, no promises made to them, as were to the two tribes in their captivity; nay,
they were no longer ‘a people,’ but, for aught that appears, were mingled with the nations
into which they were carried, and lost among them.” [= Ini digenapi di Israel pada waktu
mereka ‘seluruhnya dibawa’ ke negeri Asyur, dan tempat mereka tak mengenal mereka
lagi. Mereka bukan lagi umat Allah, karena mereka kehilangan pengetahuan dan
penyembahan tentang Dia; tak ada nabi diutus kepada mereka, tak ada janji dibuat
bagi mereka, seperti yang ada bagi dua suku dalam pembuangan mereka; tidak,
mereka bukan lagi ‘suatu umat’, tetapi karena apapun yang terlihat, bercampur
dengan bangsa-bangsa ke dalam mana mereka dibawa, dan hilang di antara mereka.].
Tetapi Yakub Tri katakan ‘Allah sempat marah kepada mereka, tetapi perhatikan,
setelah Allah marah kepada mereka, yang Allah lakukan adalah mengambil mereka
kembali’ (Video I, menit 38-39). Ini bertentangan dengan apa yang sudah kita bahas
di atas! Allah membuang mereka (Israel, ini bukan bicara tentang Yehuda)!

Tetapi bagaimana dengan ayat-ayat lanjutannya?

Hosea 1:10-11 - “(10) Tetapi kelak, jumlah orang Israel akan seperti pasir laut, yang
tidak dapat ditakar dan tidak dapat dihitung. Dan di tempat di mana dikatakan kepada
mereka: ‘Kamu ini bukanlah umatKu,’ akan dikatakan kepada mereka: ‘Anak-anak
Allah yang hidup.’ (11) Orang Yehuda dan orang Israel akan berkumpul bersama-
sama dan akan mengangkat bagi mereka satu pemimpin, lalu mereka akan menduduki
negeri ini, sebab besar hari Yizreel itu.”.

Apakah Israel diampuni? Mari kita lihat bagaimana Calvin menafsirkan text di atas
ini.

Calvin (tentang Hos 1:10): “I indeed admit that the Prophet here gave hope of salvation
to the faithful; FOR IT IS CERTAIN THAT THERE WERE SOME REMAINING IN
THE KINGDOM OF ISRAEL. Though the whole body had revolted, YET GOD, AS IT
WAS SAID TO ELIJAH, HAD PRESERVED TO HIMSELF SOME SEED. The Prophet
then was unwilling to leave the faithful, who remained among that lost people, without
hope of salvation;” [= Saya memang mengakui bahwa di sini sang Nabi memberikan
pengharapan keselamatan kepada orang-orang yang setia; KARENA ADALAH PASTI
BAHWA DI SANA ADA BEBERAPA / SEBAGIAN ORANG TETAP ADA DALAM
KERAJAAN ISRAEL. Sekalipun seluruh tubuh telah memberontak, TETAPI ALLAH,
SEPERTI DIKATAKAN KEPADA ELIA, TELAH MENJAGA / MEMELIHARA
BAGI DIRINYA SENDIRI BEBERAPA / SEBAGIAN BENIH / KETURUNAN. Jadi,
sang Nabi tidak mau meninggalkan orang-orang yang setia, yang tersisa di antara
bangsa yang terhilang, tanpa pengharapan keselamatan;].
Jadi, janji ini berlaku hanya untuk sisa yang setia!!! Bukan untuk seluruh bangsa!

Calvin (tentang Hos 1:10): “It has been asked, whether this prophecy belongs to the
posterity of those who had been dispersed. This, indeed, would be strange; for so long a
time has passed away since their exile, and dejected and broken, they dwell at this day in
mountains and in other desert places; at least many of them are in the mountains of
Armenia, some are in Media and Chaldea; in short, throughout the whole of the East. And
since there has been no restoration of this people, it is certain that this prophecy ought not
to be restricted to seed according to the flesh. ... THEN HOSEA SPEAKS NOT HERE OF
THE KINGDOM OF ISRAEL, BUT OF THE CHURCH, WHICH WAS TO BE
RESTORED BY A RETURN, COMPOSED BOTH OF JEWS AND OF
GENTILES.” [= Telah ditanyakan, apakah nubuat ini adalah milik dari keturunan dari
mereka yang telah tersebar. Ini, pasti merupakan hal yang aneh; karena waktu yang
begitu lama telah berlalu sejak pembuangan mereka, dan dalam keadaan putus asa dan
hancur / ditundukkan mereka tinggal pada saat ini di gunung-gunung dan di tempat-
tempat lain di padang gurun; setidaknya banyak dari mereka ada di gunung-gunung
Armenia, sebagian ada di Media dan Chaldea; singkatnya, di setiap bagian dari seluruh
daerah Timur. Dan karena di sana tidak pernah ada pemulihan dari bangsa ini, adalah
pasti bahwa nubuat ini tidak seharusnya dibatasi bagi keturunan menurut daging.
... JADI HOSEA DI SINI BUKAN BERBICARA TENTANG KERAJAAN ISRAEL,
TETAPI TENTANG GEREJA, YANG AKAN DIKEMBALIKAN OLEH SUATU
PENGEMBALIAN, TERDIRI DARI BAIK ORANG-ORANG YAHUDI DAN
ORANG-ORANG NON YAHUDI.].

Jadi, Calvin menganggap bahwa nubuat ini berlaku bukan untuk bangsa Israel
secara daging, tetapi bagi gereja! Dan di bawah ini Calvin memberi dasar Alkitab
untuk pandangannya, yaitu kata-kata Paulus dalam Ro 9:24-dan seterusnya.

Calvin (tentang Hos 1:10): “So Paul, a fit interpreter of this passage, reminds us, ‘Whom
he has called, not only of the Jews, but also of the Gentiles; as he says by Hosea, I will call
a people, who were not mine, my people; and her beloved, who was not beloved: and it
shall be, where it had been said to them, Ye are not my people; there shall they be called
the sons of the living God,’(Romans 9:24, etc.) Paul applies this passage, and that rightly,
to the whole body of the faithful, collected without any difference, from the Jews as well as
from the Gentiles: for otherwise, as we have said, the correctness and truth of prophecy
would not be evident: and this view also agrees best with the design of the Prophet which I
have just explained.” [= Jadi Paulus, seorang penafsir yang cocok tentang text ini,
mengingatkan kita, ‘Siapa yang Ia panggil, bukan hanya dari orang-orang Yahudi,
tetapi juga dari orang-orang non Yahudi; seperti Ia katakan oleh HOSEA, Aku akan
memanggil suatu umat, yang bukanlah milikKu, umatKu; dan kekasih, yang bukan
kekasih: dan akan terjadi, dimana dikatakan kepada mereka, Kamu bukanlah
umatKu; disana mereka akan dipanggil anak-anak dari Allah yang hidup’ (Ro 9:24-
dst). Paulus menerapkan text ini, dan itu dengan benar, KEPADA SELURUH TUBUH
DARI ORANG-ORANG PERCAYA / SETIA, dikumpulkan tanpa pembedaan, dari
orang-orang Yahudi maupun dari orang-orang non Yahudi: KARENA KALAU
TIDAK, SEPERTI TELAH KAMI KATAKAN, KETEPATAN DAN KEBENARAN
DARI NUBUAT ITU TIDAK AKAN NYATA: dan pandangan ini juga paling cocok
dengan rancangan dari Nabi yang baru saya jelaskan.].

Roma 9:24-28 - “(24) yaitu kita, yang telah dipanggilNya bukan hanya dari antara
orang Yahudi, tetapi juga dari antara bangsa-bangsa lain, (25) seperti yang
difirmankanNya juga dalam kitab nabi HOSEA: ‘Yang bukan umatKu akan Kusebut:
umatKu dan yang bukan kekasih: kekasih.’ (26) Dan di tempat, di mana akan
dikatakan kepada mereka: ‘Kamu ini bukanlah umatKu,’ di sana akan dikatakan
kepada mereka: ‘Anak-anak Allah yang hidup.’ (27) Dan Yesaya berseru tentang
Israel: ‘Sekalipun jumlah anak Israel seperti pasir di laut, namun hanya sisanya akan
diselamatkan. (28) Sebab apa yang telah difirmankanNya, akan dilakukan Tuhan di
atas bumi, sempurna dan segera.’”.

Bdk. Yes 10:22-23 - “(22) Sebab sekalipun bangsamu, hai Israel, seperti pasir di laut
banyaknya, namun hanya sisanya akan kembali. TUHAN telah memastikan datangnya
kebinasaan dan dari situ timbul keadilan yang meluap-luap. (23) Sungguh, kebinasaan
yang sudah pasti akan dilaksanakan di atas seluruh bumi oleh Tuhan, TUHAN semesta
alam.”.

Mari kita lihat tafsiran dari Matthew Henry.

Matthew Henry (tentang Hos 1:10-11): “II. Of the reduction and restoration of Israel in
the fulness of time. Here, as before, mercy is remembered in the midst of wrath; the
rejection, as it shall not be total, so it shall not be final (v. 10,11): ‘Yet the number of the
children of Israel shall be as the sand of the sea.’ ... It is certain that this promise had its
accomplishment in the setting up of the kingdom of Christ, by the preaching of the gospel,
and the bringing in both of Jews and Gentiles to it, for to this these words are applied by St.
Paul (Rom 9:25,26), and by St. Peter when he writes to the Jews of the dispersion, 1 Peter
2:10. Israel here is the gospel-church, the spiritual Israel (Gal 6:16), all believers who
follow the steps, and inherit the blessing of faithful Abraham, who is the father of all that
believe, whether Jews or Gentiles, Rom 4:11,12.” [= II. Tentang pengurangan /
penurunan / pemotongan dan pemulihan dari Israel dalam seluruh waktu / dalam
waktu yang ditentukan. Di sini, seperti sebelumnya, belas kasihan diingat di tengah-
tengah murka; penolakan tidak akan merupakan penolakan total, dan juga tidak akan
merupakan penolakan terakhir (ay 10,11): ‘Tetapi jumlah dari anak-anak / bangsa
Israel akan seperti pasir / tanah di laut’. ... Adalah pasti bahwa janji ini mendapatkan
penggenapannya dalam pendirian kerajaan Kristus, oleh pemberitaan Injil, dan
masuknya orang-orang Yahudi dan orang-orang non Yahudi ke dalamnya, karena
pada hal ini kata-kata ini diterapkan oleh Santo Paulus (Ro 9:25-26), dan oleh Santo
Petrus pada waktu ia menulis kepada orang-orang Yahudi yang tersebar, 1Pet
2:10. ‘Israel’ di sini adalah gereja-injil, Israel rohani (Gal 6:16), semua orang-orang
percaya yang mengikuti langkah-langkah, dan mewarisi berkat, dari Abraham yang
setia, yang adalah bapa dari semua orang yang percaya, apakah orang-orang Yahudi
atau orang-orang non Yahudi, Ro 4:11,12.].
Ro 9:25-26 - “(25) seperti yang difirmankanNya juga dalam kitab nabi Hosea: ‘Yang
bukan umatKu akan Kusebut: umatKu dan yang bukan kekasih: kekasih.’ (26) Dan di
tempat, di mana akan dikatakan kepada mereka: ‘Kamu ini bukanlah umatKu,’ di
sana akan dikatakan kepada mereka: ‘Anak-anak Allah yang hidup.’”.

1Pet 2:10 - “kamu, yang dahulu bukan umat Allah, tetapi yang sekarang telah menjadi
umatNya, yang dahulu tidak dikasihani tetapi yang sekarang telah beroleh belas
kasihan.”.

Ro 4:11-12 - “(11) Dan tanda sunat itu diterimanya sebagai meterai kebenaran
berdasarkan iman yang ditunjukkannya, sebelum ia bersunat. Demikianlah ia dapat
menjadi bapa semua orang percaya yang tak bersunat, supaya kebenaran
diperhitungkan kepada mereka, (12) dan juga menjadi bapa orang-orang bersunat,
yaitu mereka yang bukan hanya bersunat, tetapi juga mengikuti jejak iman Abraham,
bapa leluhur kita, pada masa ia belum disunat.”.

Matthew Henry: “Though Israel according to the flesh be diminished and made few, the
spiritual Israel shall be numerous, shall be innumerable. In the vast multitudes that by the
preaching of the gospel have been brought to Christ, both in the first ages of Christianity
and ever since, this promise is fulfilled, thousands out of every tribe in Israel, and out of
other nations, ‘a multitude which no man can number,’ Rev 7:4,9; Gal 4:27. In this the
promise made to Abraham, when God called him Abraham the high father of a multitude,
had its full accomplishment (Gen 17:5), ...” [= Sekalipun Israel menurut daging
berkurang dan dijadikan sedikit, Israel rohani akan menjadi banyak, akan menjadi
tidak terhitung. Dalam orang yang sangat banyak yang oleh pemberitaan injil telah
dibawa kepada Kristus, baik dalam abad-abad pertama dari kekristenan dan
selanjutnya, janji ini digenapi, ribuan dari setiap suku di Israel, dan dari bangsa-
bangsa lain, ‘suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung
banyaknya’, Wah 7:4,9; Gal 4:27. Dalam hal ini janji yang dibuat kepada Abraham,
pada waktu Allah memanggilnya Abraham bapa sejumlah besar bangsa, mendapatkan
penggenapannya yang penuh (Kej 17:5), ...].
Jadi, sama seperti Calvin, Matthew Henry berpendapat bahwa nubuat itu (Hos 1:10-
11) tidak berlaku untuk Israel, tetapi untuk Gereja, pada jaman Perjanjian Baru!

Sekarang mari kita lihat ayat lain dalam kitab Hosea, dengan penafsiran tentangnya!

Hos 3:5 - “Sesudah itu orang Israel akan berbalik dan akan mencari TUHAN, Allah
mereka, dan DAUD, raja mereka. Mereka akan datang dengan gementar kepada
TUHAN dan kepada kebaikanNya PADA HARI-HARI YANG TERAKHIR.”.

Calvin (tentang Hos 3:5): “It is indeed true that David was then dead; but Hosea sets
forth here, in the person of one man, that everlasting kingdom, which the Jews knew
would endure as the sun and moon: for well known to them all was this remarkable
promise, ‘As long as the sun and moon shall shine in heaven, they shall be faithful
witnesses to me, that the throne of David shall continue,’ (Psalm 72:5,18.) Hence, after the
death of David, the Prophet shows here that his kingdom would be forever, for he survived
in his children; and, as it evidently appears, they commonly called their Messiah the son of
David. We must now of necessity come to Christ: for Israel could not seek their king,
David, who had been long dead; but were to seek that King whom God had promised from
the posterity of David. This prophecy, then, no doubt extends to Christ: and it is evident
that the only hope of the people being gathered was this, that God had testified that he
would give a Redeemer.” [= Memang benar bahwa pada saat itu Daud sudah mati;
tetapi Hosea menyatakan di sini, dalam diri / pribadi dari satu orang, bahwa kerajaan
kekal, yang orang-orang Yahudi tahu akan bertahan seperti matahari dan bulan:
karena janji menyolok ini mereka tahu dengan baik, ‘Selama matahari dan bulan
bersinar di surga / langit, mereka akan menjadi saksi-saksi yang setia bagi aku, bahwa
takhta Daud akan berlanjut’, (Maz 72:5,18). Maka, setelah kematian Daud, sang Nabi
menunjukkan di sini bahwa kerajaannya akan ada selama-lamanya, karena ia terus
hidup dalam anak-anaknya; dan, seperti terlihat dengan jelas, mereka pada umumnya
menyebut Mesias mereka Anak Daud. Sekarang kita harus datang kepada Kristus:
karena Israel tidak bisa mencari raja mereka, Daud, yang telah lama mati; tetapi harus
mencari Raja itu, yang telah Allah janjikan dari keturunan Daud. Jadi, nubuat ini
meluas kepada Kristus: dan adalah jelas bahwa satu-satunya pengharapan dari
pengumpulan bangsa itu adalah ini, bahwa Allah telah memberikan kesaksian bahwa
Ia akan memberi seorang Penebus.].

Calvin (tentang Hos 3:5): “We now then see what the Prophet had in view: the Israelites
had become degenerate; and, by their perfidy, they ceased to be the true and genuine
people of God, as long as they continued alienated from the family of David. The Prophet,
speaking of their full restoration, now joins David with God; for they could not be restored
to the body of the Church, without uniting with the Jews in honoring one and the same
head. But we must, at the same time, remember, that the king, whom the Prophet mentions,
is not David, who had been long dead, but his son, to whom the perpetuity of his kingdom
had been promised.” [= Maka sekarang kita melihat apa yang sang Nabi
pertimbangkan: bangsa Israel telah menjadi rusak / jahat; dan, oleh ketidak-setiaan
mereka, mereka berhenti menjadi bangsa / umat yang benar dan sejati dari Allah,
selama mereka terus bermusuhan / terpisah dari keluarga Daud. Sang Nabi, berbicara
tentang pemulihan penuh mereka, sekarang menggabungkan Daud dengan Allah;
karena mereka tidak bisa dipulihkan kepada tubuh dari Gereja, tanpa bersatu dengan
orang-orang Yahudi dalam menghormati satu kepala yang sama. Tetapi pada saat yang
sama kita harus mengingat bahwa sang Raja, yang sang Nabi sebutkan, bukanlah
Daud, yang sudah lama mati, tetapi Anaknya, kepada siapa kekekalan dari
kerajaanNya telah dijanjikan.].

Mari kita melihat ayat lain lagi dalam kitab Hosea.

Hos 14:2 - “Bertobatlah, hai Israel, kepada TUHAN, Allahmu, sebab engkau telah
tergelincir karena kesalahanmu.”.
Catatan: dalam Alkitab bahasa Inggris ini Hos 14:1.

Calvin (tentang Hos 14:2): “Here the Prophet exhorts the Israelites to repentance, and
still propounds some hope of mercy. But this may seem inconsistent as he had already
testified that there would be no remedy any more, because they had extremely provoked
God. The Prophet seems in this case to contradict himself. But the solution is ready at
hand, and it is this, - In speaking before of the final destruction of the people, he had
respect to the whole body of the people; but now he directs his discourse to the few, who
had as yet remained faithful. AND THIS DISTINCTION, AS WE HAVE REMINDED
YOU IN OTHER PLACES, OUGHT TO BE CAREFULLY NOTICED; OTHERWISE WE
SHALL FIND OURSELVES PERPLEXED IN MANY PARTS OF SCRIPTURE. We now
then see for what purpose the Prophet annexed this exhortation, after having asserted that
God would be implacable to the people of Israel; for with regard to the whole body, there
was no hope of deliverance; God had now indeed determined to destroy them, and he
wished this to be made known to them by the preaching of Hosea. But yet God had ever
some seed remaining among his chosen people: though the body, as a whole, was putrid
and corrupt; yet some sound members remained, as in a large heap of chaff some grains
may be found concealed. As God then had preserved some (as he is wont always to do,) he
sets forth to them his mercy: and as they had been carried away, as it were by a tempest,
when iniquity so prevailed among the people, that there was nothing sound, the Prophet
addresses them here, because they were not wholly incurable. Let us then know that the
irreclaimable, the whole body of the people, are now dismissed; for they were so obstinate
that the Prophet could address them with no prospect of success. Then his sermon here
ought to be especially applied to the elect of God, who, having fallen away for a time, and
become entangled in the common vices of the age, were yet not altogether incurable.” [= Di
sini sang Nabi mendesak bangsa Israel pada pertobatan, dan tetap mengajukan
pengharapan tentang belas kasihan. TETAPI INI BISA TERLIHAT TIDAK
KONSISTEN KARENA IA TELAH MEMBERI KESAKSIAN BAHWA DI SANA
TAK ADA OBAT LAGI, KARENA MEREKA TELAH MEMPROVOKASI ALLAH
SECARA EXTRIM. SANG NABI KELIHATAN DALAM KASUS INI
BERTENTANGAN DENGAN DIRINYA SENDIRI. Tetapi solusinya sudah siap, dan
itu adalah ini, - Dalam berbicara sebelumnya tentang penghancuran akhir dari bangsa
itu, ia mempertimbangkan seluruh tubuh dari bangsa itu; tetapi sekarang ia
mengarahkan pembicaraannya kepada sedikit orang, yang tetap setia. DAN
PEMBEDAAN INI, SEPERTI TELAH KAMI INGATKAN KEPADA KAMU
DI TEMPAT-TEMPAT LAIN, HARUS DIPERHATIKAN DENGAN SEKSAMA;
KALAU TIDAK KITA AKAN MENDAPATI DIRI KITA SENDIRI KEBINGUNGAN
DI BANYAK BAGIAN DARI KITAB SUCI. Sekarang kita melihat apa tujuan sang
Nabi menambahkan desakan ini, setelah menegaskan bahwa Allah tidak mungkin bisa
diperdamaikan dengan bangsa Israel; karena berkenaan dengan seluruh tubuh, di sana
tidak ada pengharapan tentang pembebasan / keselamatan; sekarang Allah memang
menentukan / memutuskan untuk menghancurkan mereka, dan Ia ingin hal ini
diketahui oleh mereka melalui khotbah / pemberitaan dari Hosea. Tetapi Allah selalu
mempunyai sebagian / beberapa benih tertinggal di antara bangsa pilihanNya:
sekalipun tubuh, secara keseluruhan, membusuk dan rusak; tetapi sebagian / beberapa
anggota-anggota yang sehat tertinggal, seperti dalam suatu timbunan yang besar dari
sekam bisa ditemukan sebagian / beberapa bulir gandum tersembunyi. Karena Allah
pada saat itu telah menjaga / melindungi sebagian / beberapa (seperti yang Ia selalu
biasa lakukan), Ia menyatakan kepada mereka belas kasihanNya: dan karena mereka
telah terseret, seakan-akan oleh suatu badai, pada waktu kejahatan begitu merajalela
di antara bangsa itu, sehingga di sana tidak ada apapun yang sehat, sang Nabi
berbicara kepada mereka di sini, karena mereka bukan seluruhnya tidak bisa
disembuhkan. Maka hendaklah kita mengetahui bahwa orang-orang yang tidak dapat
dibawa / didapatkan kembali, seluruh tubuh dari bangsa itu, sekarang tidak
dipertimbangkan lagi; karena mereka begitu keras kepala sehingga sang Nabi
berbicara kepada mereka tanpa ada kemungkinan dari keberhasilan. Maka
khotbahnya di sini harus secara khusus diterapkan kepada orang-orang pilihan Allah,
yang setelah merosot untuk suatu waktu, dan menjadi terlibat dalam kejahatan-
kejahatan yang umum dari jaman itu, tidak sepenuhnya tidak bisa disembuhkan.].

Intinya: orang-orang Israel yang diajak untuk bertobat ini bukanlah seluruh Israel,
karena secara keseluruhan mereka telah dibuang. Ayat ini ditujukan kepada sedikit
orang, sisa / remnant yang masih setia dari bangsa Israel. Orang-orang ini juga jatuh
ke dalam dosa (kalau tidak, tak perlu disuruh bertobat), tetapi kejatuhan mereka tak
separah seluruh bangsa, sehingga masih ada harapan bagi mereka!
Kesimpulan: mengatakan bahwa seluruh Israel dibuang, lalu seluruhnya diampuni,
seperti yang Yakub Tri katakan, membuat ayat-ayat bertabrakan, bertentangan
dengan sejarah yang menunjukkan mereka tak pernah dipulihkan, juga bertentangan
dengan penafsiran Calvin dan Matthew Henry, dan jelas-jelas salah!

Jadi, bagaimana bisa Yakub Tri menggunakan ini sebagai dasar dari pandangan
bahwa ada zinahpun harus tetap diampuni??

Yakub Tri sebut ayat-ayat di atas sebagai ‘jauh lebih tidak bermasalah’ dari pada
ayat-ayat Matius itu.

Yakub Tri sekarang berusaha menafsir text-text ‘yang bermasalah’: (Video I, menit
41).

Jawaban singkat dari saya:


Belum apa-apa sudah memberikan label ‘bermasalah’ dan ‘tidak bermasalah’. Ini
lagi-lagi MANIPULATIF!

Mat 19:1-12 - “(1) Setelah Yesus selesai dengan pengajaranNya itu, berangkatlah Ia
dari Galilea dan tiba di daerah Yudea yang di seberang sungai Yordan. (2) Orang
banyak berbondong-bondong mengikuti Dia dan Iapun menyembuhkan mereka di
sana. (3) Maka datanglah orang-orang Farisi kepadaNya untuk mencobai Dia. Mereka
bertanya: ‘Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa
saja?’ (4) Jawab Yesus: ‘Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia
sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? (5) Dan firmanNya: Sebab
itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya,
sehingga keduanya itu menjadi satu daging. (6) Demikianlah mereka bukan lagi dua,
melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan
manusia.’ (7) Kata mereka kepadaNya: ‘Jika demikian, apakah sebabnya Musa
memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan isterinya?’ (8)
Kata Yesus kepada mereka: ‘Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu
menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian. (9) Tetapi Aku berkata
kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin
dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.’ (10) Murid-murid itu berkata kepadaNya:
‘Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin.’
(11) Akan tetapi Ia berkata kepada mereka: ‘Tidak semua orang
dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja. (12) Ada orang yang
tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang
yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya
demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang
dapat mengerti hendaklah ia mengerti.’”.

YAKUB TRI katakan bahwa apa yang Yesus sampaikan di sini SULIT
DIMENGERTI karena Yesus katakan ay 11 (Video I, menit 43-44).

Jawaban saya:
Terjemahan ‘mengerti’ itu salah terjemahan, seharusnya ‘menerima’ (bdk.
KJV/RSV/NIV/NASB). Lihat dalam Bible Works. Padahal dalam kata-kata Yakub Tri
di belakang (Video II, menit ke 21), ia tahu itu, tetapi di bagian ini ia tetap
menggunakan kata ‘mengerti’!
Dan kata-kata Yesus dalam ay 11 hanya berhubungan dengan kata-kata para murid-
murid dalam ay 10, bukan dengan ay 9 atau sebelumnya.

Video I, menit 44 - Yakub Tri mengatakan cerai itu tidak Alkitabiah, bahkan sebelum
ia menjelaskan. Ini sudah mengarahkan sebelum memberi penjelasan! INI
MANIPULATIF!

Yakub Tri mengatakan alasan ‘apa saja’ dalam Mat 19:3 itu, mencakup zinah!!!
(Video I, menit 46-47).

JAWABAN SAYA:
Ini salah! Istilah ‘apa saja’ itu jelas mengacu pada pandangan Hillel. Jadi menunjuk
pada alasan-alasan yang remeh, justru bukan menunjuk pada zinah!

Yakub Tri bicara tentang Hillel, Shammai dan Akiba (Video I, menit 45).

Shammai ijinkan cerai hanya kalau ada percabulan. Hillel lebih liberal, apapun boleh
jadi alasan cerai. Lalu ia baca Ul 24:1-4 (dibaca sebagian). ‘Tak senonoh’ itu hal-hal
remeh seperti masak kurang asin dan sebagainya.

Jawaban Yesus tidak boleh, alasannya doktrin penciptaan.

Cerai ada karena dosa ada. Ini Yakub Tri bahas panjang lebar dan saya tak
mengerti apa tujuannya. Memang sudah jelas kalau tak ada dosa tak ada
perceraian, tetapi itu tak menunjukkan bahwa dalam dunia yang berdosa ini
perceraian secara mutlak merupakan suatu dosa!

Lalu Yakub Tri katakan Adam sudah salahkan Hawa, Allah tak ciptakan Hawa yang
baru (Video I, menit 49-50).

JAWABAN SAYA:
Di sini (dalam kasus Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa) tak ada zinah kok bisa
dijadikan contoh???? Contoh yang tidak cocok!

Video I, menit ke 51, pertanyaan ‘bolehkah orang menceraikan istrinya’? Yakub Tri
katakan pertanyaannya sudah salah, karena menceraikan bukan tugas manusia,
tetapi tugas Allah.

JAWABAN SAYA: Kalau Yakub Tri benar, mengapa Yesus tidak mengatakan
seperti kata-kata Yakub Tri?
Seluruh text mempersoalkan boleh atau tidak, BUKAN TUGAS SIAPA!!
Yakub Tri katakan rancangan ideal Allah adalah dalam penciptaan, tak ada cerai.

Ul 24:1-4 dibaca seluruhnya.

Ini yang diingat oleh orang-orang Farisi, mereka lalu tanya mengapa Musa suruh
beri surat cerai?

Jawaban Yesus: itu karena kekerasan hatimu. Jadi walau ada ijin, tetapi itu karena
kekerasan hatimu. Untuk menjaga supaya yang buruk tak menjadi lebih buruk, maka
Allah lalu buat aturan. Tapi tak berarti itu peraturan yang ideal! Lalu Yakub Tri beri
contoh tentang orang boleh membela diri, tetapi aturan itu lalu diterapkan pada
kontext lain.

Jawaban saya:

Contoh tentang orang memukul dsb, sama sekali tak cocok.

Semua hukum (kecuali larangan makan buah di Taman Eden) diberikan dalam
keadaan tidak ideal! Kalau keadaan ideal, tak ada dosa, maka manusia tak butuh
hukum!

Dan ini ingin saya tekankan, yaitu bahwa ‘kekerasan hati’ itu menunjuk pada
perceraian yang ‘diijinkan’ oleh Musa!! Perhatikan kontextnya!!! Istilah itu
tidak menunjuk pada ay 9nya, yang betul-betul merupakan suatu perkecualian!

Yakub Tri kembali ke Mat 19 (Video I, menit 56-57).

Video I, Menit 57:30 - sekalipun orang zinah, lalu diberi ijin cerai, itu tetap
menunjukkan ketegaran hatimu. Dan itu tidak sesuai dengan rancangan awal Allah!

Jawaban saya:
Dia percaya rancangan / rencana Allah bisa tak terjadi atau gagal??? Reformed atau
bukan???

Ay 8b - ‘karena ketegaran hatimu’ - INI MENUNJUK PADA AYAT SEBELUMNYA


(AY 7 - CERAI PADA JAMAN MUSA), BUKAN MENUNJUK PADA AY 9, CERAI
KARENA ZINAH.

Yakub Tri kembali ke Ul 24:4. Video I, Menit 58:15

Yakub Tri membahas kata ‘dicemari’. Video I, menit 58:40.

Mengapa bentuk pasif? Ini penting! Yakub Tri katakan dicemari oleh suami kedua.
Jadi pernikahan ulang = pencemaran, dan karena itu pasti salah.

Jawaban saya:
Ini sebetulnya tak penting karena tentang remarriage / pernikahan ulang / lagi, bukan
tentang divorce / perceraian. Jadi saya jawab singkat saja. Memang pernikahan
ulang menyebabkan pencemaran, tetapi itu hanya dalam perceraian yang tidak sah
(bukan karena zinah). Kalau karena zinah, itu urusan lain.

Adam Clarke (tentang Ul 24:4): “‘She is defiled.’ Does not this refer to her having been
divorced, and married in consequence to another? Though God, for the hardness of their
hearts, suffered them to put away their wives, yet he considered all after-marriages IN
THAT CASE to be pollution and defilement; and it is on this ground that our Lord argues
in the places referred to above, that whoever marries the woman that is put away is an
adulterer: now THIS COULD NOT HAVE BEEN THE CASE if God had allowed the
divorce to be a legal and proper separation of the man from his wife; but in the sight of
God nothing can be a legal cause of separation but adultery on either side.” [= ‘Ia
dicemari’. Apakah ini menunjuk kepada dia yang setelah diceraikan, dan sebagai
akibatnya menikah dengan orang lain? Sekalipun Allah, karena kekerasan hati
mereka, mengijinkan mereka untuk menceraikan istri mereka, tetapi Ia menganggap
semua pernikahan setelahnya DALAM KASUS ITU sebagai polusi dan pencemaran;
dan pada dasar ini Tuhan kita berargumentasi di tempat-tempat yang ditunjukkan di
atas, bahwa siapapun yang menikahi perempuan yang diceraikan adalah seorang
pezinah: tetapi INI TIDAK BISA MERUPAKAN KASUSNYA jika Allah telah
mengijinkan perceraian sebagai suatu perpisahan yang sah dan benar dari seorang
laki-laki dari istrinya; tetapi dalam pandangan Allah tak ada penyebab perpisahan
yang sah kecuali perzinahan di sisi yang manapun (suami atau istri).].

Intinya Clarke mengatakan bahwa ‘dicemari’ itu hanya dalam kasus perceraian yang
tidak sah, tetapi itu tidak berlaku untuk perceraian karena zinah, yang memang
merupakan perceraian yang sah.

================================================================
=======
Yakub Tri balik ke Mat 19.

Ay 9 hanya berlaku untuk pertunangan Yahudi.

Ada 2 x kata berzinah dalam ay 9.

Mat 19:9 - “Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya,


kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.’”.

Zinah 1 - PORNEIA; dan zinah 2 - MOIKHEIA

Ini perbatasan video 1 dan video 2 Yakub Tri.

Lalu Video II, menit 0 ia baca seluruh kalimat dalam bahasa Yunani. Pamer
Yunani? Karena saya tak lihat kebutuhan apapun untuk membaca ayat itu dalam
bahasa Yunani! Mengapa tak dibaca seluruh pasal dalam bahasa Yunani saja
sekalian? Mau memuliakan diri sendiri atau memuliakan Tuhan???
Mat 15:19 - Matius membedakan PORNEIA dan MOIKHEIA.

Mat 15:19 - “Karena dari hati timbul segala pikiran jahat,


pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat.”.

Jawaban saya:
Dua kata itu memang berbeda [sekalipun kadang-kadang digunakan
secara interchangeable {= bisa dibolak balik}]. Jadi, bukan hal yang aneh kalau
keduanya muncul dalam satu ayat.

Yakub Tri melanjutkan.


Video II, Menit 3:26 - Bedanya adalah MOIKHEIA - zinah bagi orang yang sudah
nikah; PORNEIA artinya sangat luas, yang jelas tak sama dengan MOIKHEIA,
karena Matius menggunakan 2 kata berbeda dalam Mat 19:9.

PORNEIA mencakup MOIKHEIA, tetapi dalam Mat 19:9 pasti bukan itu artinya.

Dan dalam Video II, menit ke 6, Yakub Tri memberi contoh tentang suami yang
melihat cewek lain, dan itu PORNEIA, jadi merupakan alasan yang sah untuk
mencerai.

Jawaban saya:

1) Ini argumentasi yang lemah. Kata PORNEIA dalam Mat 19:9 itu bisa berarti
MOIKHEIA! Mengapa Yesus tidak memakai MOIKHEIA? Karena Ia ingin mencakup
hal-hal yang lebih luas dari MOIKHEIA!!!

2) Tentang melirik cewek lain, mari kita lihat ayatnya.


Mat 5:28 - “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan
serta menginginkannya, sudah berzinah (ἤδη ἐμοίχευσεν) dengan dia di dalam
hatinya.”.

Jadi, kata Yunani yang digunakan bukan PORNEIA, tetapi MOIKHEIA. JADI YAKUB
TRI SALAH, karena dia beri cerita tentang melirik cewek lain itu sebagai contoh dari
PORNEIA!

Saya kira ini juga merupakan argumentasi untuk mengatakan bahwa PORNEIA lebih
mengarah pada perzinahan YANG BERSIFAT FISIK!!

Pulpit Commentary (tentang Mat 5:32): “‘Fornication.’ The reference is to sin after
marriage. ... The more general word (PORNEIA) is used, because it lays more stress on the
physical character of the sin than MOICHEIA would have laid.” [= ‘Percabulan’. Yang
ditunjuk adalah dosa setelah pernikahan. ... Kata yang lebih umum (PORNEIA)
digunakan, karena kata itu lebih menekankan SIFAT FISIK dari dosa tersebut dari
pada kata MOICHEIA.] - hal 164.

John Stott: “PORNEIA means physical sexual immorality; the reason why Jesus made it
the sole permissible ground for divorce must be that it violates the ‘one flesh’ principle
which is foundational to marriage as divinely ordained and biblically defined.” [=
PORNEIA berarti ketidak-bermoralan sexual SECARA FISIK; alasan mengapa Yesus
membuatnya sebagai satu-satunya dasar yang mengijinkan perceraian haruslah karena
hal itu melanggar prinsip ‘satu daging’ yang merupakan dasar dari pernikahan sebagai
sesuatu yang ditetapkan Allah dan didefinisikan oleh Alkitab.] - ‘Involvement’, vol II,
hal 170.

================================================================
=======

Yakub Tri berkata, Injil tertua Markus, Matius dan Lukas pakai Markus, dan Q.
Ketiga Injil punya cerita ini. Tapi dalam Markus dan Lukas tak ada anak kalimat
perkecualian.

Kemungkinannya: Markus tidak punya, Lukas ikuti Markus, Matius menambah.

Atau Matius dengar langsung, tahu kalau anak kalimat itu ada, ia berikan. Tetapi
Markus dan Lukas menghilangkan.

Lebih masuk akal yang mana? Video II, Menit 9:40.

Seandainya anak kalimat itu ada, apa alasan Markus dan Lukas menghilangkan?
Supaya tak beri ruang untuk cerai.

Jawaban saya:

Jadi, Yesus beri ruang untuk cerai dan mereka hapuskan ruang itu??? Kok kurang
ajar sekali??? Dan mereka diilhami Roh Kudus??? Roh Kudus juga kurang ajar???
Saya kok mencium bau orang Liberal di sini ya?

Yakub Tri melanjutkan: sebaliknya, anak kalimat itu seharusnya tak ada, Matius
mencoba untuk menambahkan. Memungkinkan? Ya. Matius menambahkan dengan
alasan, berhubungan dengan cerita Yusuf dan Maria.

Mat 1:19 - “Karena Yusuf suaminya, seorang yang tulus hati [KJV ‘a just man’ {=
seorang yang benar}] dan tidak mau mencemarkan nama isterinya di muka umum, ia
bermaksud menceraikannya dengan diam-diam.”.

Budaya Israel tunangan disebut suami / istri.

Yusuf benar karena disebutkan sebagai orang benar / saleh.


Jawaban saya:

1. Kenapa Yakub Tri mempersoalkan Matius menambahkan anak kalimat perkecualian


itu, karena tak ada di Markus dan Lukas, sedangkan Mat 19:10-12, yang juga tak
ada di Markus dan Lukas, ia tak mempersoalkannya?

2. Kalau Matius tak menambahkan anak kalimat ‘kecuali karena zinah’ pun, Matius tak
saling bertentangan, karena Mat 5:32 dan Mat 19:9 itu tentang pernikahan, bukan
tentang pertunangan, sedangkan Yusuf mau mencerai pada masa pertunangan.
Jadi, ‘alasan’ Matius menambahkan anak kalimat perkecualian itu sudah habis!

3. Penulis Alkitab mengurangi (tidak menuliskan) itu banyak contohnya:

a. Mat 19:10-12 tak ada di Markus / Lukas.

b. Kalimat / tulisan di atas kepala Yesus pada saat di salib, keempat kitab Injil
berbeda-beda, sehingga pasti kalimatnya lebih panjang dan masing-masing menulis
sebagian. Jadi semua mengurangi, dan itu tak masalah. Mereka tak wajib menulis
seluruhnya.

Mat 27:37 - ‘Inilah Yesus, raja orang Yahudi.’.


Mark 15:26 - ‘Raja orang Yahudi.’.
Luk 23:38 - ‘Inilah raja orang Yahudi.’.
Yoh 19:19 - ‘Yesus, orang Nazaret, raja orang Yahudi.’.

Ini tidak berarti bahwa keempat penulis Injil ini bertentangan satu sama lain.
Mungkin sekali tulisan lengkapnya berbunyi: ‘Inilah Yesus, orang Nazaret, raja orang
Yahudi.’, sedangkan keempat penulis Kitab Suci itu masing-masing menuliskan
sebagian saja. Jadi, ini bukan kontradiksi, tetapi saling melengkapi.
c. Juga 7 kalimat di atas kayu salib, masing-masing penulis menulis sebagian,
nambahi itu yang pasti salah, kecuali kalau hanya mengartikan (seperti dalam Mat
27:46 / Mark 15:34). Tetapi betul-betul menambahi, itu pasti salah.

(1) Luk 23:34 - “Yesus berkata: ‘Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu
apa yang mereka perbuat.’ Dan mereka membuang undi untuk membagi pakaianNya”.

(2) Luk 23:43 - “Kata Yesus kepadanya: ‘Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini
juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.’”.

(3) Yoh 19:26-27 - “(26) Ketika Yesus melihat ibuNya dan murid yang dikasihiNya di
sampingnya, berkatalah Ia kepada ibuNya: ‘Ibu, inilah, anakmu!’ (27) Kemudian
kataNya kepada muridNya: ‘Inilah ibumu!’ Dan sejak saat itu murid itu menerima dia
di dalam rumahnya”.

(4) Mat 27:46 - “Kira-kira jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: ‘Eli, Eli, lama
sabakhtani?’ Artinya: AllahKu, AllahKu, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”.
Mark 15:34 - “Dan pada jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: ‘Eloi, Eloi,
lama sabakhtani?’, yang berarti: Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan
Aku?”.

(5) Yoh 19:28 - “Sesudah itu, karena Yesus tahu, bahwa segala sesuatu telah selesai,
berkatalah Ia - supaya genaplah yang ada tertulis dalam Kitab Suci -: ‘Aku haus!’”.

(6) Yoh 19:30a - “Sesudah Yesus meminum anggur asam itu, berkatalah Ia: ‘Sudah
selesai.’”.

(7) Luk 23:46a - “Lalu Yesus berseru dengan suara nyaring: ‘Ya Bapa, ke dalam
tanganMu Kuserahkan nyawaKu.’”.
Jadi, dari 7 kalimat, Lukas mencatat 3, Yohanes juga 3, Matius dan Markus
mencatat hanya 1 (dan keduanya mencatat kalimat yang sama). Ini menunjukkan
keempat penulis Injil mengurangi / tidak menuliskan sebagian dari 7 kalimat itu! Tak
ada satupun yang menulis lengkap! TAK ADA SATUPUN YANG MENAMBAHI
LALU MENULIS 8 KALIMAT!!! Jangankan menambahi, menulis lengkap saja tidak
ada! JADI, MENGURANGI / TAK MENULISKAN, ITU BUKAN MASALAH. Mereka
tidak wajib menulis segala sesuatu yang mereka tahu!

Illustrasi: Ini sama seperti kalau saya pergi ke Tretes lalu cerita kepada saudara,
tentu tak semuanya saya ceritakan. Mustahil untuk menceritakan semua (dalam arti
kata yang mutlak) yang saya lihat / alami dalam kepergian saya ke Tretes itu! Tapi
kalau saya menambahkan apa yang sebetulnya tak ada, saya berdusta!

d. Kis 20:35 - “Dalam segala sesuatu telah kuberikan contoh kepada kamu, bahwa
dengan bekerja demikian kita harus membantu orang-orang yang lemah dan harus
mengingat perkataan Tuhan Yesus, sebab Ia sendiri telah mengatakan: Adalah lebih
berbahagia memberi dari pada menerima.’”.

Ini dikatakan oleh Paulus sebagai ucapan dari Yesus. Tetapi tak ada satupun dari
penulis keempat kitab Injil yang menuliskan!!

e. Bahwa penulis Alkitab mengurangi / tak menulis itu banyak, terlihat jelas dari 2 text
ini.

Yoh 20:30-31 - “(30) Memang masih banyak tanda lain yang dibuat Yesus di depan
mata murid-muridNya, yang tidak tercatat dalam kitab ini, (31) tetapi semua yang
tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak
Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam namaNya.”.

Yohanes 21:24-25 - “(24) Dialah murid, yang memberi kesaksian tentang semuanya
ini dan yang telah menuliskannya dan kita tahu, bahwa kesaksiannya itu benar.
(25) Masih banyak hal-hal lain lagi yang diperbuat oleh Yesus, tetapi jikalau semuanya
itu harus dituliskan satu per satu, maka agaknya dunia ini tidak dapat memuat semua
kitab yang harus ditulis itu.”.

Saya bisa beri lebih banyak contoh lagi, tetapi saya kira tidak perlu. Yang saya
berikan sudah jelas menunjukkan, bahwa menghapus / tidak menulis itu pasti
memungkinkan. Sebaliknya, kalau menambahkan apa yang sebetulnya tidak ada, itu
suatu dusta, DAN TAK ADA SATU CONTOHPUN DALAM ALKITAB! Yang bilang
ada, silahkan beri contoh!!!

Sekarang, kalau Markus dan Lukas tidak menuliskan ‘anak kalimat perkecualian’ itu,
apa alasannya?

Komentar-komentar tentang ‘kalimat perkecualian’ dalam Mat 19:9 dan Mat 5:32
yang tidak ada dalam Markus dan Lukas:

Tasker (Tyndale) (tentang Mat 5:32): “There is no manuscripts evidence for the
omission of the exception-clause,” [= Tidak ada bukti manuscripts untuk penghapusan
dari kalimat perkecualian ini,] - hal 96.

John Stott:

1. “Because it does not occur in the parallel sayings in Mark and Luke, many scholars have
been too ready to dismiss it. Some suggest that it was an early scribal interpolation and no
part of Matthew’s original text. But there is no manuscript evidence that it was a gloss;
even the alternative reading of Codex Vaticanus, retained in the RSV margin, does not
omit the clause. Other scholars attribute the clause to Matthew himself, and / or to the
church in which he was writing, but deny that Jesus ever spoke it. But its omission by
Mark and Luke is not in itself a sufficient ground for rejecting it as an editorial invention
or interpretation by the first evangelist. It is perfectly possible to suppose that Matthew
included it for his Jewish readership who were very concerned about the permissible
grounds for divorce, whereas Mark and Luke, writing for Gentile readers, did not have the
same concern. Their silence is not necessarily due to ignorance; it may equally well be that
they took the clause for granted. Pagan cultures regarded adultery as a ground for divorce.
So did both the Jewish schools of Hillel and Shammai, in spite of their disagreements on
other points. This was not in dispute.” [= Karena itu (kalimat perkecualian) tidak ada
dalam kata-kata yang paralel dari Markus dan Lukas, banyak penafsir yang terlalu
siap untuk membuangnya. Sebagian mengusulkan bahwa itu merupakan suatu
penyisipan awal dari penyalin dan bukan bagian dari text orisinil Matius. Tetapi tidak
ada bukti manuscripts bahwa itu merupakan catatan / keterangan; bahkan dalam
pembacaan yang berbeda dari Codex Vaticanus, yang dipertahankan dalam catatan
tepi dari RSV, tidak membuang kalimat itu. Penafsir-penafsir lain menganggap bahwa
kalimat itu berasal dari Matius sendiri, dan / atau dari gereja kepada siapa ia menulis,
tetapi menyangkal bahwa Yesus pernah mengucapkannya. Tetapi tidak adanya kalimat
itu dalam Markus dan Lukas bukan merupakan alasan yang cukup untuk menolaknya
sebagai suatu ciptaan redaksi atau penafsiran oleh penginjil pertama
itu (Matius). Adalah mungkin untuk menganggap bahwa Matius mencakupnya
karena pembaca Yahudinya yang sangat memperhatikan tentang dasar-dasar yang
memungkinkan perceraian, sedangkan Markus dan Lukas, yang menulis
kepada pembaca-pembaca non Yahudi, tidak mempunyai perhatian yang sama.
Diamnya mereka tidak harus disebabkan oleh ketidak-tahuan; juga mungkin bahwa
mereka menganggap kalimat itu sudah jelas / pasti (sehingga tidak perlu ditulis).
Kebudayaan kafir menganggap perzinahan sebagai dasar perceraian. Demikian juga
kedua kelompok / aliran dari Hillel dan Shammai, sekalipun mereka mempunyai
ketidak-cocokan dalam hal-hal lain. Ini tidak diperdebatkan.] - ‘Involvement’, vol II,
hal 169-170.

2. “It seems far more likely that its absence from Mark and Luke is due not to their
ignorance of it but to their acceptance of it as something taken for granted. After all, under
the Mosaic law adultery was punishable by death (although the death penalty for this
offence seems to have fallen into disuse by the time of Jesus); so nobody would have
questioned that marital unfaithfulness was a just ground for divorce. Even the rival Rabbis
Shammai and Hillel were agreed about this.” [= Jauh lebih memungkinkan bahwa tidak
adanya kalimat perkecualian dalam Markus dan Lukas bukan disebabkan karena
ketidak-tahuan mereka tentang hal itu, tetapi karena mereka menerima hal itu sebagai
sesuatu yang sudah pasti / jelas. Dalam jaman Musa, perzinahan dihukum dengan
hukuman mati (sekalipun hukuman mati untuk pelanggaran ini kelihatannya sudah
tidak dilakukan pada jaman Yesus); sehingga tak seorangpun akan mempertanyakan
bahwa ketidak-setiaan pernikahan merupakan alasan yang benar untuk perceraian.
Bahkan Rabbi Shammai dan Hillel yang bersaingan setuju tentang hal ini.] - ‘The
Message of the Sermon on the Mount’, hal 96,97.

================================================================
=======

PORNEIA dalam pertunangan, MOIKHEIA dalam pernikahan.

Jadi, dalam Matius 19:9 dan Mat 5:32 hanya untuk tunangan.

Boleh cerai hanya dalam tahap pertunangan, kalau sudah pernikahan, mutlak tak
boleh. Eddy Leo punya pandangan yang sama dengan Yakub Tri.

Jawaban saya:

Menafsirkan bahwa Matius 19:9 berarti ‘cerai hanya boleh kalau ada zinah PADA
MASA PERTUNANGAN’ MERUPAKAN PENAFSIRAN YANG JELAS-JELAS
MENABRAK SELURUH KONTEXT. Mari kita lihat seluruh kontext.

Mat 19:3-12 - “(3) Maka datanglah orang-orang Farisi kepadaNya untuk mencobai
Dia. Mereka bertanya: ‘Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan
alasan apa saja?’ (4) Jawab Yesus: ‘Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan
manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? (5) Dan
firmanNya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu
dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. (6) Demikianlah mereka
bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak
boleh diceraikan manusia.’ (7) Kata mereka kepadaNya: ‘Jika demikian, apakah
sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan
isterinya?’ (8) Kata Yesus kepada mereka: ‘Karena ketegaran hatimu Musa
mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian. (9)
Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena
zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.’ (10) Murid-murid itu
berkata kepadaNya: ‘Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih
baik jangan kawin.’ (11) Akan tetapi Ia berkata kepada mereka: ‘Tidak semua orang
dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja. (12) Ada orang yang
tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang
yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya
demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat
mengerti hendaklah ia mengerti.’”.

Dalam Matius 19, mulai ay 3,5,6,7,8, lalu ay 10,11,12, semuanya membicarakan


pernikahan, bukan pertunangan. Dan dalam Mat 19, text-text Kitab Suci yang
dipersoalkan, yaitu Ulangan 24:1-4 dan Kejadian 2:24, semua berbicara
tentang PERNIKAHAN, bukan PERTUNANGAN.

Jadi, bagaimana mungkin ay 9 bicara tentang zinah PADA MASA PERTUNANGAN?


Orang-orang Farisi bertanya tentang cerai PADA MASA PERNIKAHAN (ay 3), dan
Yesus menjawab tentang cerai karena zinah PADA MASA PERTUNANGAN????

KONTRADIKSI DALAM PENJELASAN YAKUB TRI!!

Kalau cerai dalam ay 9 itu tetap dikatakan karena kekerasan hati (ay 8b) - Video I,
menit 57:25, ini akan tabrakan dengan cerai pada masa pertunangan, yang menurut
dia memang diijinkan.
Jadi yang mana yang benar menurut Yakub Tri???
================================================================
=======

Tentang penafsiran banyak orang bahwa PORNEIA adalah hubungan sex sebelum
pernikahan, dan MOIKHEIA adalah hubungan sex (dengan orang lain, bukan
istrinya) bagi orang yang sudah menikah, ini sama sekali tidak benar.

Arti dan penggunaan dari kata PORNEIA.

1) Kata PORNEIA tidak hanya menunjuk pada dosa sexual dari orang yang belum
menikah, tetapi kata ini merupakan istilah umum yang artinya luas, dan mencakup
hal-hal seperti:
a) Incest (1Kor 5:1).
b) Homosex (Yudas 7).
c) Perzinahan (Yer 3:2,6 versi LXX).

Jay E. Adams: “That there is confusion about the word ‘fornication’ is understandable.
In American law, the word ‘fornication’ has come to mean sexual sin by unmarried
persons, over against ‘adultery’ which means sexual sin involving a married person.
However, that distinction must not be read back into the Bible as many unwittingly do. It
was not the biblical distinction. Indeed, Scripture writers used the word ‘fornication’
(PORNEIA) to describe ‘sexual sin in general’, and in the Bible it referred to cases of
incest (1Cor. 5:1), homosexuality (Jude 7) and even adultery (Jeremiah 3:1,2,6,8 - here a
married adulteress is divorced because of her fornication; cf. vv.2,6 in the LXX) as
fornication.” [= Bahwa di sana ada kebingungan tentang kata ‘percabulan’ merupakan
sesuatu yang bisa dimengerti. Dalam hukum Amerika, kata ‘percabulan’ berarti dosa
sexual yang dilakukan oleh orang-orang yang belum menikah, sedangkan ‘perzinahan’
berarti dosa sexual yang menyangkut orang-orang yang sudah menikah. Tetapi
pembedaan itu tidak boleh dimasukkan ke dalam Alkitab seperti yang dilakukan oleh
banyak orang tanpa disadari. Itu bukan merupakan pembedaan yang alkitabiah.
Bahkan penulis-penulis Kitab Suci menggunakan kata ‘percabulan’ (PORNEIA) untuk
menggambarkan ‘dosa sexual secara umum’, dan dalam Alkitab kata itu menunjuk
pada kasus-kasus incest (1Kor 5:1), homosex (Yudas 7) dan bahkan perzinahan
(Yer 3:1,2,6,8 - di sini seorang pezinah yang telah menikah diceraikan karena
percabulannya; bdk. ay 2,6 dalam LXX / Septuaginta) sebagai percabulan.] - ‘Marriage,
Divorce, and Remarriage in the Bible’, hal 53-54.

Yer 3:1-8 - “(1) FirmanNya: ‘Jika seseorang menceraikan isterinya, lalu perempuan itu
pergi dari padanya dan menjadi isteri orang lain, akan kembalikah laki-laki yang
pertama kepada perempuan itu? Bukankah negeri itu sudah tetap cemar? Engkau
telah berzinah [LXX: ἐξεπόρνευσας] dengan banyak kekasih, dan mau kembali
kepadaKu? demikianlah firman TUHAN. (2) Layangkanlah matamu ke bukit-bukit
gundul dan lihatlah! Di manakah engkau tidak pernah ditiduri? Di pinggir jalan-jalan
engkau duduk menantikan kekasih, seperti seorang Arab di padang gurun. Engkau
telah mencemarkan negeri dengan zinahmu [LXX: πορνείαις] dan dengan
kejahatanmu. (3) Sebab itu dirus hujan tertahan dan hujan pada akhir musim tidak
datang. Tetapi dahimu adalah dahi perempuan sundal, engkau tidak mengenal malu.
(4) Bukankah baru saja engkau memanggil Aku: Bapaku! Engkaulah kawanku sejak
kecil! (5) Untuk selama-lamanyakah Ia akan murka atau menaruh dendam untuk
seterusnya? Demikianlah katamu, namun engkau sedapat-dapatnya melakukan
kejahatan.’ (6) TUHAN berfirman kepadaku dalam zaman raja Yosia: ‘Sudahkah
engkau melihat apa yang dilakukan Israel, perempuan murtad itu, bagaimana dia naik
ke atas setiap bukit yang menjulang dan pergi ke bawah setiap pohon yang rimbun
untuk bersundal [LXX: ἐπόρνευσαν] di sana? (7) PikirKu: Sesudah melakukan
semuanya ini, ia akan kembali kepadaKu, tetapi ia tidak kembali. Hal itu telah dilihat
oleh Yehuda, saudaranya perempuan yang tidak setia. (8) Dilihatnya, bahwa oleh
karena zinahnya Aku telah menceraikan Israel, perempuan murtad itu, dan
memberikan kepadanya surat cerai; namun Yehuda, saudaranya perempuan yang
tidak setia itu tidak takut, melainkan ia juga pun pergi bersundal [LXX: ἐπόρνευσεν].”.
Jay E. Adams: “fornication covers incest, bestiality, homosexuality and lesbianism as well
as adultery. To speak of adultery only, might tend to narrow the focus too much.” [=
percabulan mencakup incest / perzinahan dalam keluarga, bestiality / hubungan sex
dengan binatang, homosex dan lesbian maupun perzinahan. Hanya mengatakan
perzinahan, bisa cenderung terlalu menyempitkan fokusnya.] - ‘Marriage, Divorce, and
Remarriage in the Bible’, hal 54-55.

2) Ada penafsir mengatakan bahwa kata PORNEIA digunakan dalam Sirakh 23:23
(salah satu kitab dari kitab-kitab Apocrypha / Deuterokanonika) dan menunjuk pada
dosa dari seorang pezinah perempuan, yang jelas-jelas sudah menikah.

Pulpit Commentary (tentang Mat 19:9): “it is not correct to say that PORNEIA denotes
solely the sin of unmarried people. All illicit connection is described by this term, and it
cannot be limited to one particular kind of transgression. In Ecclus. 23:23 it is used
expressly of the sin of an adulteress.” [= tidak benar untuk mengatakan bahwa
PORNEIA hanya menunjuk pada dosa dari orang yang belum menikah. Semua
hubungan gelap / haram digambarkan oleh istilah ini, dan itu tidak bisa dibatasi pada
satu jenis pelanggaran tertentu. Dalam Sirakh 23:23 kata itu digunakan secara jelas /
explicit tentang dosa dari seorang pezinah perempuan.] - hal 244-245.
Catatan:
a) Jangan mencampur-adukkan kitab yang dalam bahasa Inggris
disebut ‘Ecclesiastes’ [= kitab Pengkhotbah] dengan ‘Ecclesiasticus’. Yang terakhir
ini menunjuk kepada salah satu dari kitab-kitab Apocrypha / Deuterokanonika, yang
dalam bahasa Indonesia disebut ‘kitab Sirakh’. Kitab ini ada dalam Alkitab Katolik,
tetapi kita tidak menganggap kitab ini sebagai bagian dari Perjanjian Lama / Alkitab,
tetapi hanya sebagai suatu buku kuno, dan dalam penggunaan bahasa Yunani, itu
bisa dipakai sebagai acuan, sekalipun bukan secara mutlak, karena kitab ini bukan
firman Tuhan.
b) Sirakh 23:22-23 - “(22) Demikianlah halnya seorang istri yang meninggalkan
suaminya dan dari orang lain melahirkan waris. (23) Sebab pertama-tama ia tidak taat
kepada hukum dari Yang Mahatinggi, keduanya ia bersalah terhadap suaminya,
ketiganya ia berzinah dengan melacur, dan akhirnya melahirkan anak dari laki-laki
lain.”.
Sirach 23:2-23 - “(22) Thus shall it go also with the wife that leaveth her husband, and
bringeth in an heir by another. (23) For first, she hath disobeyed the law of the most High;
and secondly, she hath trespassed against her own husband; and thirdly, she hath played
the whore in adultery, and brought children by another man.”. [= ... ia telah melacur
dalam perzinahan, ...] - http://www.ecmarsh.com/lxx/Sirach/index.htm
Catatan: saya hanya menterjemahkan bagian yang saya garis-bawahi.

3) John Stott: “PORNEIA was, in fact, a generic word for sexual infidelity or ‘marital
unfaithfulness’ (NIV) and included, ‘every kind of unlawful sexual intercourse’ (Arndt-
Gingrich).” [= dalam faktanya, PORNEIA merupakan kata umum untuk ketidak-
setiaan sexual atau ‘ketidak-setiaan pernikahan’ (NIV) dan mencakup ‘setiap jenis
hubungan sex yang tidak sah’ (Arndt-Gingrich).] - ‘Involvement’, vol II, hal 170.
Catatan: Arndt-Gingrich adalah nama-nama dari 2 penulis suatu lexicon / kamus
Yunani yang sangat tebal, dan merupakan lexicon / kamus standard.

4) W. E. Vine: “PORNEIA is used (a) of illicit sexual intercourse, ... in Matt. 5:32 and 19:9
it stands for, or includes, adultery; it is distinguished from it in 15:19 and Mark 7:21;” [=
PORNEIA digunakan (a) tentang hubungan sexual yang tidak sah, ... dalam Mat 5:32
dan 19:9 kata itu berarti, atau mencakup, perzinahan; kata itu dibedakan dari
perzinahan dalam (Mat) 15:19 dan Mark 7:21;] - ‘An Expository Dictionary of New
Testament Words’, hal 455.

5) Knox Chamblin (tentang Mat 19:9): “The meaning of PORNEIA. The fundamental
meaning of the term is ‘prostitution,’ in keeping with its nominal counterpart PORNE,
‘prostitute, harlot.’ Yet it also denotes ‘fornication’ and indeed can be used to comprehend
‘every kind of unlawful sexual intercourse’ ... Thus the term is more comprehensive than
MOICHEIA, ‘adultery.’” [= Arti dari kata PORNEIA. Arti dasar dari istilah ini adalah
‘pelacuran’, sesuai dengan kata benda pasangannya yaitu PORNE, ‘pelacur’. Tetapi
kata itu juga menunjuk pada ‘percabulan’ dan bisa digunakan untuk mencakup ‘setiap
jenis hubungan sex yang tidak sah’ ... Jadi istilah ini mempunyai arti yang lebih luas
dari pada MOICHEIA, ‘perzinahan’.] - hal 150.

6) John Stott (tentang Mat 5:32): “PORNEIA is derived from PORNE, a prostitute, without
specifying whether she (or her client) is married or unmarried. Further, it is used in the
Septuagint for the unfaithfulness of Israel, Yahweh’s bride, as exemplified in Hosea’s wife
Gomer. It seems, therefore, that we must agree with R. V. G. Tasker’s conclusion that
PORNEIA is ‘a comprehensive word, including adultery, fornication and unnatural
vice’.” [= PORNEIA diturunkan dari PORNE, ‘seorang pelacur’, tanpa menyatakan
apakah ia (atau langganannya) menikah atau tidak menikah. Selanjutnya, kata itu
digunakan dalam Septuaginta untuk ketidak-setiaan dari Israel, mempelai perempuan
dari Yahweh, seperti ditunjukkan dalam diri dari istri Hosea yaitu Gomer. Karena itu,
kelihatannya kita harus setuju dengan kesimpulan dari R. V. G. Tasker bahwa
PORNEIA merupakan ‘suatu kata yang luas / meliputi banyak hal, termasuk
perzinahan, percabulan dan kejahatan sexual yang tidak alamiah’.] - ‘The Message of
the Sermon on the Mount’, hal 97.

Catatan: pada footnotenya John Stott menyebutkan bahwa ayat dalam Hosea yang
dimaksudkan adalah:
a) Hos 1:2,3 - “(2) Ketika TUHAN mulai berbicara dengan perantaraan Hosea,
berfirmanlah Ia kepada Hosea: ‘Pergilah, kawinilah seorang perempuan sundal dan
peranakkanlah anak-anak sundal, karena negeri ini bersundal hebat dengan
membelakangi TUHAN.’ (3) Maka pergilah ia dan mengawini Gomer binti Diblaim,
lalu mengandunglah perempuan itu dan melahirkan baginya seorang anak laki-laki.”.
b) Hos 2:1,3 - “(1) ‘Adukanlah ibumu, adukanlah, sebab dia bukan isteriKu, dan Aku ini
bukan suaminya; biarlah dijauhkannya sundalnya (PORNEIAN) dari mukanya,
dan zinahnya (MOIKHEIAN) dari antara buah dadanya, ... (3) Tentang anak-anaknya,
Aku tidak menyayangi mereka, sebab mereka adalah anak-anak sundal.”.
Catatan: dalam Kitab Suci Inggris Hos 2:2,4.
Dalam Hos 2:1b jelas bahwa kata PORNEIA dan MOIKHEIA digunakan
secara ‘interchangeable’ [= bisa dibolak-balik].
7) Kata PORNEIA dan MOICHEIA digunakan secara interchangeable [= bisa dibolak-
balik] dalam Wahyu 2:20-22, karena Wah 2:20,21 menggunakan PORNEIA,
sedangkan Wah 2:22 menggunakan MOICHEIA, padahal semua membicarakan
satu hal yang sama.

Wahyu 2:20-22 - “(20) Tetapi Aku mencela engkau, karena engkau


membiarkan wanita Izebel, yang menyebut dirinya nabiah, mengajar dan
menyesatkan hamba-hambaKu supaya berbuat zinah (PORNEUSAI) dan makan
persembahan-persembahan berhala. (21) Dan Aku telah memberikan dia waktu untuk
bertobat, tetapi ia tidak mau bertobat dari zinahnya (PORNEIAS). (22) Lihatlah, Aku
akan melemparkan dia ke atas ranjang orang sakit dan mereka yang berbuat
zinah (MOICHEUONTAS) dengan dia akan Kulemparkan ke dalam kesukaran besar,
jika mereka tidak bertobat dari perbuatan-perbuatan perempuan itu.”.

8) Lihat dalam konkordansi tentang kata ‘percabulan’, maka saudara akan mendapati
ayat-ayat yang akan jadi aneh sekali, kalau artinya adalah dosa sexual dari orang-
orang yang belum menikah.

Kis_15:20 tetapi kita harus menulis surat kepada mereka, supaya mereka menjauhkan
diri dari makanan yang telah dicemarkan berhala-berhala, dari percabulan, dari
daging binatang yang mati dicekik dan dari darah.

Kis_15:29 kamu harus menjauhkan diri dari makanan yang dipersembahkan kepada
berhala, dari darah, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari percabulan.
Jikalau kamu memelihara diri dari hal-hal ini, kamu berbuat baik. Sekianlah,
selamat."

Kis_21:25 Tetapi mengenai bangsa-bangsa lain, yang telah menjadi percaya, sudah
kami tuliskan keputusan-keputusan kami, yaitu mereka harus menjauhkan diri dari
makanan yang dipersembahkan kepada berhala, dari darah, dari daging binatang yang
mati dicekik dan dari percabulan."
Ro_13:13 Marilah kita hidup dengan sopan, seperti pada siang hari, jangan dalam
pesta pora dan kemabukan, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam
perselisihan dan iri hati.

1Kor_6:13 Makanan adalah untuk perut dan perut untuk makanan: tetapi kedua-
duanya akan dibinasakan Allah. Tetapi tubuh bukanlah untuk percabulan, melainkan
untuk Tuhan, dan Tuhan untuk tubuh.

1Kor_6:15 Tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah anggota Kristus? Akan
kuambilkah anggota Kristus untuk menyerahkannya kepada percabulan? Sekali-kali
tidak!

1Kor_6:18 Jauhkanlah dirimu dari percabulan! Setiap dosa lain yang dilakukan
manusia, terjadi di luar dirinya. Tetapi orang yang melakukan percabulan berdosa
terhadap dirinya sendiri.

1Kor_10:8 Janganlah kita melakukan percabulan, seperti yang dilakukan oleh


beberapa orang dari mereka, sehingga pada satu hari telah tewas dua puluh tiga ribu
orang.

2Kor_12:21 Aku kuatir, bahwa apabila aku datang lagi, Allahku akan merendahkan
aku di depan kamu, dan bahwa aku akan berdukacita terhadap banyak orang yang di
masa yang lampau berbuat dosa dan belum lagi bertobat dari
kecemaran, percabulan dan ketidaksopanan yang mereka lakukan.

Galatia_5:19 Perbuatan daging telah nyata, yaitu: percabulan, kecemaran, hawa nafsu,

Efesus_5:3 Tetapi percabulan dan rupa-rupa kecemaran atau keserakahan disebut


sajapun jangan di antara kamu, sebagaimana sepatutnya bagi orang-orang kudus.

Kolose_3:5 Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi,
yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama
dengan penyembahan berhala,

1Tes_4:3 Karena inilah kehendak Allah: pengudusanmu, yaitu supaya kamu


menjauhi percabulan,
Yudas_1:7 sama seperti Sodom dan Gomora dan kota-kota sekitarnya, yang dengan
cara yang sama melakukan percabulan dan mengejar kepuasan-kepuasan yang tak
wajar, telah menanggung siksaan api kekal sebagai peringatan kepada semua orang.

Wah_9:21 dan mereka tidak bertobat dari pada pembunuhan, sihir, percabulan dan
pencurian.

Kalau ayat-ayat di atas ini hanya berhubungan dengan dosa sexual dari orang yang
belum menikah, maka ayatnya jadi aneh. Jadi orang yang sudah menikah tak perlu
pedulikan ayat-ayat itu? Begitu? Mustahil, bukan??

Kesimpulan: adalah salah untuk memberikan garis pemisah yang tegas antara
PORNEIA dan MOICHEIA, dan mengartikan PORNEIA sebagai dosa sexual dari
orang yang belum menikah sedangkan MOICHEIA adalah dosa sexual dari orang
yang sudah menikah.
================================================================
=======
Video II, Menit 18:10 - 20:35 - response murid-murid tentang kata-kata Yesus
‘kecuali karena zinah’.
Matius 19:10 - “Murid-murid itu berkata kepadaNya: ‘Jika demikian halnya
hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin.’”.

Seandainya ada zinah boleh cerai, murid-murid kira-kira response-nya akan


seheboh itu? Dia giring ke arah ‘tidak’. Ini manipulatif.
Saya tak habis pikir bagaimana banyak orang, termasuk Yakub Susabda,
menganggap reaksi murid-murid itu tidak memungkinkan arti bahwa Yesus memberi
perkecualian dalam persoalan cerai.
Tentu bisa muncul reaksi seperti itu, karena yang populer pada saat itu pandangan
Hillel. Ini tak usah mengherankan. Dunia saat itu dikuasai laki-laki, sudah pasti
mayoritas lebih senang pandangan yang boleh cerai untuk alasan apa saja (Mat
19:3). Shammai sudah dianggap terlalu keras. Sekarang Yesus bahkan lebih keras
dari Shammai! Bagi mereka yang sudah punya pandangan bahwa alasan remehpun
boleh menjadi alasan untuk cerai, maka ajaran Yesus itu luar biasa extrim! Dan ini
pasti sangat memungkinkan menyebabkan mereka memberi response seperti itu!

Andaikata Yesus memberi ajaran seperti ajaran orang-orang yang anti cerai secara
mutlak, saya kira para murid tak akan beri response, karena mereka akan pingsan
atau kena serangan jantung!

Matius 19:11 - “Akan tetapi Ia berkata kepada mereka: ‘Tidak semua orang dapat
mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja.”.
Matius 19:11 ia tafsir ‘mengerti’ sebagai ‘menerima’. Padahal ini memang
terjemahan yang benar, ‘menerima’ bukan ‘mengerti’.

Matius 19:12 - “Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian
dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada
orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena
Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti.’”.
Yesus salahkan kata-kata murid-murid, dalam ay 12. Ay 12 menunjukkan orang bisa
tak menikah. Ini diarahkan pada anti remarriage. Orang lain mampu, kamu juga
pasti mampu! Video II, Menit 23.

Jawaban saya:
Ini konyol. Bisa single tak sama dengan larangan kawin lagi.

Video II, Menit 28:10 - Yakub Tri akal budi kristiani kita tak setuju cerai, karena apa
bedanya kita dengan dunia. Lalu ia mengutip Ro 12:2.

Roma 12:2 - “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah
oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak
Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”.
Jawaban saya:
Ini argumentasi lucu. Kalau orang Kristen tak cerai KARENA DILARANG, sedangkan
rumah tangganya penuh dengan geger dan bahkan zinah, apakah itu lebih baik dari
orang dunia?

Video II, Menit 28:40. Dampak perceraian: dampak positif dari cerai apa? Tak
ada, INI MANIPULATIF LAGI, menggiring orang untuk menjawab bahwa ‘tak ada
positif, tetapi sebaliknya, dampak negatif banyak’.

Sebetulnya dampak positif ada, karena kalau misalnya suami buruk sekali, dan tidak
cerai, maka anak-anak bisa kena pengaruh yang buruk dari tingkah laku suami /
zinahnya. Kalau cerai, anak-anak tak lihat lebih jauh, kalau tak cerai, mereka lihat
terus. Dan gegeran hilang, ini dampak positif. Geger terus, juga tak bisa layani
Tuhan. Anak stress dan sebagainya.

Video II, Menit 29. Yakub Tri misalkan ada 2 pasangan. Yang pertama selingkuh lalu
cerai, yang kedua selingkuh tapi bertahan. Saudara lebih mengagumi yang mana?

Jawaban saya:
Ini bukan argumentasi, tetapi pembodohan. Penilaian harus didasarkan pada ajaran
Alkitab / firman Tuhan, bukan pada pemikiran / perasaan kita yang adalah manusia
berdosa ini.
Saya beri contoh bahwa pandangan manusia tak bisa jadi dasar. Saudara lebih malu
anak sudah tertangkap jadi maling atau ketahuan bolos gereja / bekerja pada hari
Minggu??? Pasti yang no 1. Padahal hukum Taurat katakan mencuri hukumannya
denda (Kel 22:1), sedangkan melanggar Sabat hukumannya hukuman mati (Bil
15:32-36).
Jadi, menggunakan penilaian / pemikiran kita yang berdosa ini sebagai patokan,
merupakan sesuatu yang konyol dan tidak Alkitabiah. Tapi themanya pakai kata
‘biblical’!!
Contoh lain dari saya: anak nakal dipukul, ribut, hati jadi sumpek. Anak nakal
dibiarkan, tak geger, tetap damai. Hati / perasaan kita bukan ukuran!!!

Video II, Menit 30:17 - tentang pengampunan. Yakub Tri katakan yang menceraikan
tak ada pengampunan. Kita lebih respek yang ampuni, itu hukum moral dalam hati
kita.

Jawaban saya:
Ini argumentasi umum dari banyak orang yang anti cerai secara mutlak! Mencerai
dianggap tak mengampuni. Menurut saya, mencerai tak berarti tidak mengampuni.
Harus mengampuni, itu saya setuju, tetapi itu berbeda dengan tetap menerima
sebagai istri. Sama seperti pegawai mencuri, suka membolos dari pekerjaan dan
sebagainya. Bolehkah seorang boss kristen memecat dia? Hanya orang gila yang
bilang tak boleh! Jadi bos itu tidak mengampuni? Tentu harus mengampuni, tetapi
itu tidak berarti harus tetap menerima sebagai pegawai.

Yakub Tri katakan: tidak ada pengampunan sama sekali. Walaupun ngomong
hatinya mengampuni, tapi kita perlu mempertanyakan apakah benar pengampunan
diberikan. Kita tak bisa menghakimi lebih lanjut. PADAHAL DIA SUDAH
MENGHAKIMI!!! DAN YANG TETAP MENERIMA SEBAGAI SUAMI
APAKAH NGGAK SAMA SAJA? DARI MANA TAHU KALAU HATINYA NGGAK
DENDAM TERUS, DAN DIA TIDAK CERAI HANYA KARENA TIDAK BOLEH
CERAI???

BAGIAN TANYA JAWAB DALAM KHOTBAH YAKUB TRI:

Video II, Menit ke 54-57. Yakub Tri membedakan secara theologis dan secara
pastoral. Dan Ul 24 katanya sama sekali tak bicarakan tentang perempuan yang
tadinya lakukan tidak senonoh yang lalu bertobat. Ini nambahi firman! Konyol.
Video II, Menit ke 58 - Pernikahan merefleksikan keintiman Tritunggal??? Ini
penafsiran liar!
Dalam Kej 1:26-27 itu sama sekali tak ada pernikahan, lalu dari mana Yakub Tri
tahu-tahu loncat kepada pernikahan??

Kejadian 1:26-27 - “(26) Berfirmanlah Allah: ‘Baiklah Kita menjadikan manusia


menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan
burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala
binatang melata yang merayap di bumi.’ (27) Maka Allah menciptakan manusia itu
menurut gambarNya, menurut gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan
perempuan diciptakanNya mereka.”.

Video II, Menit ke 1.00.00-1.05.00 - lagi-lagi nasehat sebagai sahabat beda dengan
nasehat sebagai pendeta. Ini kompromi.
Dan dalam membahas Mat 19:12 di atas, Yakub Tri bilang orang harus bisa tak
kawin lagi. Ini kata-kata dia: “Orang lain mampu, kamu juga pasti mampu!” (Video II,
menit 23). Sekarang ia bilang dari pada orang itu hangus oleh hawa nafsu lebih baik
kawin lagi. Yang benar yang mana??? Ajaran kontradiksi lagi!

Ayat tentang ‘hangus oleh hawa nafsu’ dalam 1Korintus 7:9 jelas tidak ditujukan
kepada orang yang cerai secara tidak sah.

1Kor 7:8-9 - “(8) Tetapi kepada orang-orang yang tidak kawin dan kepada janda-janda
aku anjurkan, supaya baiklah mereka tinggal dalam keadaan seperti aku. (9) Tetapi
kalau mereka tidak dapat menguasai diri, baiklah mereka kawin. Sebab lebih baik
kawin dari pada hangus karena hawa nafsu.”.

Saya beri 2 argumentasi tambahan:

1) Yer 3:1-8, khususnya ay 8nya, yang berbunyi: “Dilihatnya, bahwa oleh karena
zinahnya Aku telah menceraikan Israel, perempuan murtad itu, dan memberikan
kepadanya surat cerai; namun Yehuda, saudaranya perempuan yang tidak setia itu
tidak takut, melainkan ia juga pun pergi bersundal.”.
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah mempraktekkan prinsip yang Yesus ajarkan
dalam Matius 5:32 dan Matius 19:9 itu. Pada waktu Israel bersundal / berzinah /
tidak setia kepada Allah, maka Allah menceraikan Israel dan memberikan surat cerai
kepadanya! Memang perzinahan yang dilakukan oleh Israel, adalah
perzinahan rohani, dimana mereka tidak setia kepada Allah dan lalu menyembah
berhala / allah lain, tetapi prinsipnya sama yaitu: jikalau terjadi perzinahan maka
perceraian diijinkan!

Mungkin ada yang berargumentasi, bukankah dalam ayat-ayat lanjutannya Tuhan


mengampuni mereka?? Mari kita lihat ayat-ayat itu, dengan penjelasannya.

Yer 3:11-14 - “(11) Dan TUHAN berfirman kepadaku: ‘Israel, perempuan murtad itu,
membuktikan dirinya lebih benar dari pada Yehuda, perempuan yang tidak setia itu.
(12) Pergilah menyerukan perkataan-perkataan ini ke utara, katakanlah: Kembalilah,
hai Israel, perempuan murtad, demikianlah firman TUHAN. MukaKu tidak akan
muram terhadap kamu, sebab Aku ini murah hati, demikianlah firman TUHAN, tidak
akan murka untuk selama-lamanya. (13) Hanya akuilah kesalahanmu, bahwa engkau
telah mendurhaka terhadap TUHAN, Allahmu, telah melampiaskan cinta berahimu
kepada orang-orang asing di bawah setiap pohon yang rimbun, dan tidak
mendengarkan suaraKu, demikianlah firman TUHAN’ (14) Kembalilah, hai anak-anak
yang murtad, demikianlah firman TUHAN, karena Aku telah menjadi tuan atas kamu!
Aku akan mengambil kamu, seorang dari setiap kota dan dua orang dari setiap
keluarga, dan akan membawa kamu ke Sion.”.

Yeremia 3:15-24 - “(15) Aku akan mengangkat bagimu gembala-gembala yang sesuai
dengan hatiKu; mereka akan menggembalakan kamu dengan pengetahuan dan
pengertian. (16) Apabila pada masa itu kamu bertambah banyak dan beranak cucu di
negeri ini, demikianlah firman TUHAN, MAKA ORANG TIDAK LAGI AKAN
BERBICARA TENTANG TABUT PERJANJIAN TUHAN. Itu tidak lagi akan timbul
dalam hati dan tidak lagi akan diingat orang; orang tidak lagi akan mencarinya atau
membuatnya kembali. (17) Pada waktu itu Yerusalem akan disebut takhta TUHAN,
dan SEGALA BANGSA akan berkumpul ke sana, demi nama TUHAN ke Yerusalem,
dan mereka tidak lagi akan bertingkah langkah menurut kedegilan hatinya yang jahat.
(18) Pada masa itu kaum Yehuda akan pergi kepada kaum Israel, dan mereka akan
datang bersama-sama dari negeri utara ke negeri yang telah Kubagikan kepada nenek
moyangmu menjadi milik pusaka. (19) Tadinya pikirKu: ‘Sungguh Aku mau
menempatkan engkau di tengah-tengah anak-anakKu dan memberikan kepadamu
negeri yang indah, milik pusaka yang paling permai dari BANGSA-BANGSA. PikirKu,
engkau akan memanggil Aku: Bapaku, dan tidak akan berbalik dari mengikuti Aku.
(20) Tetapi sesungguhnya, seperti seorang isteri tidak setia terhadap temannya,
demikianlah kamu tidak setia terhadap Aku, hai kaum Israel, demikianlah firman
TUHAN. (21) Dengar! Di atas bukit-bukit gundul kedengaran tangis memohon-mohon
dari anak-anak Israel, sebab mereka telah memilih jalan yang sesat, dan telah
melupakan TUHAN, Allah mereka. (22) Kembalilah, hai anak-anak yang murtad! Aku
akan menyembuhkan engkau dari murtadmu.’ ‘Inilah kami, kami datang kepadaMu,
sebab Engkaulah TUHAN, Allah kami. (23) Sesungguhnya, bukit-bukit pengorbanan
adalah tipu daya, yakni keramaian di atas bukit-bukit itu! Sesungguhnya, hanya pada
TUHAN, Allah kita, ada keselamatan Israel! (24) Tetapi berhala yang memalukan itu
menelan segala hasil jerih lelah nenek moyang kita dari masa muda kita; kambing
domba mereka dan lembu-lembu mereka, anak-anak lelaki dan anak-anak perempuan
mereka. (25) Maka biarlah kita berbaring dengan perasaan malu, dan biarlah noda
kita menyelimuti kita, sebab kita telah berdosa kepada TUHAN, Allah kita, yakni kita
dan nenek moyang kita dari masa muda kita sampai hari ini; dan kita tidak
mendengarkan suara TUHAN, Allah kita.’”.

Barnes’ Notes (tentang Yer 3:14): “‘To Zion.’ To the true Church. The fulfillment of the
promise began with the return to Palestine after the Babylonian exile, but is complete only
in Christianity.” [= ‘Ke Sion’. Ke Gereja yang benar. Penggenapan dari janji ini dimulai
dengan pengembalian ke Palestina setelah pembuangan Babilonia, tetapi lengkap /
selesai hanya dalam kekristenan.].
Matthew Henry: “God’s chosen, scattered all the world over, shall be brought to the
gospel church, that Mount Zion, the heavenly Jerusalem, that holy hill on which Christ
reigns.” [= Orang-orang pilihan Allah, tersebar di seluruh dunia, akan dibawa pada
gereja injil, Bukit Sion itu, Yerusalem surgawi, bukit kudus pada mana Kristus
bertakhta.].

2) 1Korintus 6:16 - “Atau tidak tahukah kamu, bahwa siapa yang mengikatkan dirinya
pada perempuan cabul, menjadi satu tubuh dengan dia? Sebab, demikianlah kata
nas: ‘Keduanya akan menjadi satu daging.’”. Bdk. Kej 2:24.

Ini menunjukkan bahwa perzinahan menghancurkan ikatan pernikahan.

G. I. Williamson: “If a man becomes one flesh with an harlot, it is hard to see how he can
yet be one flesh with his wife. Unless such be repented of and forgiven, we do not see how
it can be denied that the adultery necessitates the dissolution of the marriage.” [= Jika
seorang laki-laki menjadi satu daging dengan seorang pelacur, sukar untuk melihat
bagaimana ia bisa tetap satu daging dengan istrinya. Kecuali orang seperti itu bertobat
dan diampuni, kami tidak melihat bagaimana bisa disangkal bahwa perzinahan itu
menyebabkan pembubaran / terputusnya pernikahan.] - ‘The Westminster Confession
of Faith’, hal 185.

Catatan: saya berpendapat bahwa sekalipun orang itu bertobat dan diampuni, itu
tidak membalikkan pernikahan yang sudah ia bubarkan / hancurkan oleh
perzinahannya itu.

Saya beri tambahan satu penjelasan berkenaan dengan kontext dari Mat 19.

Mat 19:1-9 - “(1) Setelah Yesus selesai dengan pengajaranNya itu, berangkatlah Ia dari
Galilea dan tiba di daerah Yudea yang di seberang sungai Yordan. (2) Orang banyak
berbondong-bondong mengikuti Dia dan Iapun menyembuhkan mereka di
sana. (3) Maka datanglah orang-orang Farisi kepadaNya untuk mencobai Dia. Mereka
bertanya: ‘Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa
saja?’ (4) Jawab Yesus: ‘Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia
sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? (5) Dan firmanNya: Sebab
itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya,
sehingga keduanya itu menjadi satu daging. (6) Demikianlah mereka bukan lagi dua,
melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan
manusia.’ (7) Kata mereka kepadaNya: ‘Jika demikian, apakah sebabnya Musa
memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan isterinya?’ (8)
Kata Yesus kepada mereka: ‘Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu
menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian. (9) Tetapi Aku berkata
kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin
dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.’”.

Banyak orang anti cerai itu yang menekankan ay 6 dan ay 8. Dan itu yang mereka
anggap sebagai kontext, dalam mana ay 9 harus ditafsirkan. Menurut saya, ini salah
secara mutlak!

Ini penjelasan yang benar menurut saya:

Dalam Matius 19:3 orang-orang itu bertanya: ‘Apakah diperbolehkan orang


menceraikan istrinya dengan alasan apa saja?’. Dalam Mat 19:4-6 Yesus tidak
langsung menjawab pertanyaan mereka, tetapi Ia lebih dulu
membicarakan peraturan umum atau keadaan idealnya, yaitu orang tidak boleh
bercerai.

Lalu dalam Matius 19:7 mereka bertanya: ‘Mengapa Musa menyuruh memberi surat
cerai?’. Dan Yesus menjawab dalam Mat 19:8: ‘Karena ketegaran hatimu.’. Jadi,
‘cerai karena ketegaran hati’ itu bukan menunjuk pada ‘cerai karena zinah’
dalam ay 9, tetapi menunjuk pada ‘cerai yang diijinkan oleh Musa’ yang
ditanyakan dalam ay 7!!!
Lalu dalam Matius 19:9 Ia menekankan lagi bahwa orang tidak boleh bercerai, tetapi
sekarang ini Ia memberikan perkecualian, yaitu kalau terjadi perzinahan.

JADI, BARU DALAM MAT 19:9 INI IA MENJAWAB PERTANYAAN MEREKA


DALAM MAT 19:3. Dengan demikian kesimpulan seluruhnya adalah sebagai
berikut: Terhadap pertanyaan: apakah boleh seseorang menceraikan
istrinya DENGAN ALASAN APA SAJA? Yesus menjawab: Tidak, orang hanya
boleh bercerai kalau terjadi perzinahan!

Orang-orang yang ingin lari dari penafsiran ini, bisa MEMAKSAKAN kontext dari
Mat 19:9 untuk membenarkan pandangan salah mereka. Tetapi bagaimana dengan
Mat 5:32???? Dalam ayat itu kontextnya tak bisa mereka PAKSAKAN untuk
membenarkan pandangan mereka.
================================================================
=====
Mengapa di Indonesia pandangan anti cerai secara mutlak ini bisa jadi pandangan
umum? Ini aneh, karena biasanya pandangan umum itu mengikuti apa yang
langsung terlihat dari Alkitab. Misalnya pandangan tentang Trichotomy.
Dalam hal cerai karena zinah, kalau saya pada waktu pertama baca Alkitab begitu
saja, dan saya membaca Mat 5:32 dan Mat 19:9, saya langsung menganggap
bahwa cerai karena zinah itu diijinkan. Tapi di sini, pandangan sepintas itu, juga
tetap benar pada waktu digali sangat mendalam / mendetail.

Beberapa kemungkinan mengapa orang mati-matian pertahankan tak boleh cerai.


1. Supaya tak kehilangan jemaat. Kalau cerai pasti sebagian keluarga atau
seluruhnya, hilang dari gereja.
2. Dia takut dicerai. Entah sudah pernah zinah, atau sebagai ‘tindakan jaga-jaga’
kalau-kalau suatu kali jatuh dalam zinah.
3. Mungkin mereka rasa pandangan itu lebih suci.
4. Gengsi, malu ubah pandangan.
5. Tak belajar buku. Yakub Tri belajar, tetapi membatasi pada buku-buku yang anti
cerai (inipun meragukan, karena buku tafsiran mana yang anti cerai secara
mutlak???)
6. Takut lawan mayoritas.

Anda mungkin juga menyukai