Fraktur Ankle
Fraktur Ankle
DISUSUN OLEH:
JURUSAN KEPERAWATAN
2014
FRAKTUR ANKLE
A. Definisi
Fraktur (patah tulang) pada ujung distal fibula dan tibia merupakan istilah
yang digunakan untuk menyatakan fraktur pergelangan kaki (ankle fracture).
Fraktur ini biasanya disebabkan oleh terpuntirnya tubuh ketika kaki sedang
bertumpu di tanah atau akibat salah langkah yang menyebabkan tekanan yang
berlebihan (overstressing) pada sendi pergelangan kaki. Fraktur yang parah
dapat terjadi pada dislokasi pergelangan kaki. Fraktur ankle itu sendiri yang
dimaksudkan adalah fraktur pada maleolus lateralis (fibula) dan/atau maleolus
medialis. Pergelangan kaki merupakan sendi yang kompleks dan penopang
badan dimana talus duduk dan dilindungi oleh maleolus lateralis dan medialis
yang diikat dengan ligament. Dahulu, fraktur sekitar pergelangan kaki disebut
sebagai fraktur Pott. Fraktur pada pergelangan kaki sering terjadi pada penderita
yang mengalami kecelakaan (kecelakaan lalu lintas atau jatuh). Bidang gerak
sendi pergelangan kaki hanya terbatas pada 1 bidang yaitu untuk pergerakan
dorsofleksi dan plantar fleksi. Maka mudah dimengerti bila terjadi gerakan-
gerakan di luar bidang tersebut, dapat menyebabkan fraktur atau fraktur dislokasi
pada daerah pergelangan kaki. Bagian-bagian yang sering menimbulkan fraktur
dan fraktur dislokasi yaitu gaya abduksi, adduksi, endorotasi atau eksorotasi.
B. Epidemiologi
Insidens sering terjadi pada :
1. Fraktur pergelangan kaki menduduki posisi kedua sebagai fraktur yang
sering ditemukan.
2. Fraktur pada anak-anak pada umunya melibatkan lempeng
pertumbuhan.
3. Fraktur pada remaja (Fraktur Tillaux) memiliki pola khusus karena
penutupan parsial pada lempeng pertumbuhan.
4. Angka kejadian fraktur ini lebih tinggi pada kelompok dewasa muda.
C. Etiologi
1. Fraktur pergelangan kaki paling sering terjadi pada trauma akut,
seperti jatuh, salah langkah, atau cedera saat berolahraga
2. Lesi patologis jarang menyebabkan fraktur pergelangan kaki
D. Klasifikasi
Lauge-Hansen (1950) mengklasifikasikan menurut patogenesis terjadinya
pergeseran dari fraktur, yang merupakan pedoman penting untuk tindakan
pengobatan atau manipulasi yang dilakukan.
Klasifikasi yang sering dipakai adalah klasifikasi dari Danis–Weber yang
berdasarkan pada level fraktur fibula. Klasifikasi lainnya adalah dari AO serta
Lange-Hansen yang berdasarkan patogenesanya. Klasifikasi Danis – Weber
adalah sebagai berikut :
1. Weber type A
Fraktur fibula dibawah tibiofibular syndesmosis yang disebabkan
adduksi atau abduksi. Medial maleolus dapat fraktur atau deltoid
ligamen robek.
2. Weber type B
Fraktur oblique dari fibula yang menuju ke garis syndesmosis.
Disebabkan cedera dengan pedis external rotasi syndesmosisnya intak
tapi biasanya struktur dibagikan medial ruptur juga.
3. Weber type C
Fibulanya patah diatas syndesmosis disebut C1 bila 1/3 distal dan C2
bila lebih tinggi lagi. Disebabkan abduksi saja atau kombinasi abduksi
dan external rotasi. Syndsmosis & membrana interosseus robek juga.
E. Patofisiologi
Penyelidikan-penyelidikan mekanisme trauma pada sendi talocrural ini
telah dilakukan sejak lama sekali. Tapi baru setelah tahun 1942 oleh penemuan-
penemuan berdasarkan penyelidikan eksperimentil pada preparat-preparat
anatomik, Lauge Hansen dari Denmark berhasil melakukan pembagian dari
jenis-jenis trauma serta berdasarkan pembagian ini hampir semua fraktur serta
trauma dapat dibagi dalam 5 dasar mekanismenya.
1. Trauma supinasi/Eversi
Dalam jenis ini termasuk lebih dari 60% dari fraktur sekitar sendi
talocrural.
2. Trauma Pronasi/Eversi
Tidak begitu sering, hanya kurang lebih 7 -- 8% fraktur sekitar sendi
talocrural.
3. Trauma Supinasi/Adduksi
Antara 9 -- 15% dari fraktur sendir talocrural termasuk golongan ini.
4. Trauma Pronasi/Abduksi
Sekitar 6 -- 17% fraktur sendi talocrural.
5. Trauma Pronasi/Dorsifleksi
Sangat jarang terjadi tapi perlu disebutkan.
Fraktur maleolus dengan atau tanpa subluksasi dari talus, dapat terjadi
dalam beberapa macam trauma:
1. Trauma abduksi
Tauma abduksi akan menimbulkan fraktur pada maleolus lateralis
yang bersifat oblik, fraktur pada maleolus medialis yang bersifat avulsi
atau robekan pada ligamen bagian medial.
2. Trauma adduksi
Trauma adduksi akan menimbulkan fraktur maleolus medialis yang
bersifat oblik atau avulsi maleolus lateralis atau keduanya. Trauma
adduksi juga bisa hanya menyebabkan strain atau robekan pada
ligamen lateral, tergantung dari beratnya trauma.
3. Trauma rotasi eksterna
Trauma rotasi eksterna biasanya disertai dengan trauma abduksi dan
terjadi fraktur pada fibula di atas sindesmosis yang disertai dengan
robekan ligamen medial atau fraktur avulsi pada maleolus medialis.
Apabila trauma lebih hebat dapat disertai dengan dislokasi talus.
4. Trauma kompresi vertikal
Pada kompresi vertikal dapat terjadi fraktur tibia distal bagian depan
disertai dengan dislokasi talus ke depan atau terjadi fraktur komunitif
disertai dengan robekan diastasis.
F. Manifestasi Klinis
Pada fraktur pergelangan kaki penderita akan mengeluh sakit sekali dan
tak dapat berjalan. Ditemukan adanya pembengkakan pada pergelangan kaki,
kebiruan atau deformitas. Yang penting diperhatikan adalah lokalisasi dari nyeri
tekan apakah pada daerah tulang atau pada ligamen.
Nyeri pada pergelangan kaki dan ketidakmampuan menahan berat tubuh.
Deformitas dapat timbul bersama dengan fraktur/dislokasi. Sering juga
ditemukan pembengkakan dan ekimosis.
G. Komplikasi
1. Vaskuler
Apabila terjadi fraktur subluksasi yang hebat maka dapat terjadi
gangguan pembuluh darah yang segera, sehingga harus dilakukan
reposisi secepatnya.
2. Malunion
Reduksi yang tidak komplit akan menyebabkan posisi persendian yang
tidak akurat yang akan menimbulkan osteoarthritis.
3. Osteoartritis
4. Algodistrofi
Algodistrofi adalah komplikasi dimana penderita mengeluh nyeri,
terdapat pembengkakan dan nyeri tekan di sekitar pergelangan kaki.
Dapat terjadi perubahan trofik dan osteoporosis yang hebat.
5. Kekakuan yang hebat pada sendi
H. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologik perlu dilakukan bilamana dicurigai adanya patah
tulang atau disangka adanya suatu robekan ligamen. Biasanya pemotretan dari
dua sudut, anteroposterior dan lateral sudah akan memberikan jawaban adanya
hal-hal tersebut. Pandangan oblique tidak banyak dapat menambah keterangan
lain. Untuk mendapatkan pandangan yang lebih baik mengenai permukaan sendi
talocrural, suatu pandangan anteroposterior dengan kaki dalam inversi dapat
dilakukan. Suatu stress X-ray dapat dibuat untuk melihat berapa luas robekan
dari ligamen, hal ini terutama berguna untuk ligamenta lateral. Diastasis sendi
(syndesmosis) tibiofibular distal penting sekali untuk dikenali. Tapi tidak ada
suatu cara khusus untuk melihat luasnya diastasis ini. Suatu fraktur fibula diatas
permukaan sendi talocrural (dapat sampai setinggi 1/3 proksimal fibula) secara
tersendiri (tanpa fraktur tibia pada ketinggian yang sama), selalu harus
diperhatikan akan kemungkinan adanya suatu diastasis. Diastasis juga jelas bila
ada subluksasi talus menjauhi malleolus medialis. Tapi bila tidak terdapat
subluksasi ini, belum berarti tidak adanya suatu diastasis.
J. Prognosis
Pada umumnya fraktur pergelangan kaki dapat sembuh tanpa komplikasi
dan pasien dapat kembali beraktivitas sebagaimana biasanya.
1. Pada fraktur yang parah, lepuhan dapat timbul dan menyebabkan
gangguan pada integritas kulit.
2. Lesi tendon peroneal dapat disebabkan oleh plat posterior antiglide.
3. Piranti keras yang menyakitkan harus dilepaskan segera setelah
fraktur sembuh.
4. Sindrom kompartemen.
5. Fraktur terbuka dapat mengalami infeksi dan membutuhkan irigasi dan
deridemen
6. Nonunion,sering membtuhkan operasi fusi.
7. Malunion, kadang-kadang membutuhkan osteotomy korektif
8. Pada pasien tua memiliki tulang osteoporotik, yang menyulitkan proses
operasi.
9. Lebih rentan mengalami kerusakan kulit atau luka, dan membutuhkan
terapi khusus untuk memastikan asupan darah tetap lancar.
10. Artritis pasca-trauma:
a. Terjadi pada 25% pasien yang mengalami fraktur pergelangan kaki
dan membutuhkan fusi pergelangan kaki untuk mengatasinya.
b. Terjadi peningkatan jumlah pasien yang mengalami nyeri
pergelangan kaki dan arthritis yang berbanding lurus dengan
panjangnya masa follow up setelah fraktur.
11. Pengawasan Pasien
Pemeriksaan radiografi harus dilakukan tiap 2-6 minggu, tergantung
pada pola fraktur dan tanda-tanda penyembuhan.
K. Pemeriksaan Fisik
1. Pengkajian primer
a. Airway : Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh
adanya penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuk.
b. Breathing : Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan
napas, timbulnya pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur,
suara nafas terdengar ronchi /aspirasi.
c. Circulation : Tekanan darah dapat normal atau meningkat ,
hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal
pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat,
dingin, sianosis pada tahap lanjut.
2. Pengkajian sekunder
a. Aktivitas/istiraha : Kehilangan fungsi pada bagian yang
terkena dan Keterbatasan mobilitas.
b. Sirkulasi : Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon
nyeri/ansietas), hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah),
tachikardi, penurunan nadi pada bagian distal yang cidera, cailary
refil melambat, pucat pada bagian yang terkena, dan masa
hematoma pada sisi cedera.
c. Neurosensori : Kesemutan, deformitas, krepitasi,
pemendekan, dan kelemahan
d. Kenyamanan :Nyeri tiba-tiba saat cidera dan spasme/
kram otot
e. Keamanan :Laserasi kulit, perdarahan. perubahan
warna dan pembengkakan lokal
Palpasi pada daerah yang terpengaruh dan menginspeksi tiap patahan
pada kulit atau tenting. Memeriksa pulsasi arteri dorsalis pedis dan tibia posterior
dan semua saraf sensoris maupun motoris pada kaki. Cederan inverse pada
pergelangan kaki dapat menyebabkan palsy nervus peroneus. Memeriksa ada
tidaknya pembengkakan yang parah dan kemungkinan terjadinya sindrom
kompartemen pada kaki.
L. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Anamnesa
a. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi,
golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa
nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya
serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang
rasa nyeri klien digunakan:
1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang
menjadi faktor presipitasi nyeri.
2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah
rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit
terjadi.
4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana
tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya
penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan
yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu,
dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa
diketahui luka kecelakaan yang lain
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan
menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang
dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang
sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut
maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses
penyembuhan tulang
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa
keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara
genetic
f. Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta
respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik
dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
g. Pola-Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain
itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti
penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu
metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa
mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan
olahraga atau tidak
2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit.
C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang.
Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu
menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat
terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang
kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga
menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola
eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi
alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini
juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak,
sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur
klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya
tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur
serta penggunaan obat tidur.
5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua
bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien
perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji
adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena
ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya
fraktur dibanding pekerjaan yang lain
6) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap
7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan
akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal,
dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body
image)
8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada
bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul
gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami
gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur
9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan
keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain
itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah
anak, lama perkawinannya
10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya,
yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi
tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak
efektif.
11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan
beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi.
Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak
klien
b. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata)
untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat
(lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada
kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah
yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
1) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
a) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah
tanda-tanda, seperti:
(1) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien.
(2) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan,
sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
(3) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan
baik fungsi maupun bentuk.
b) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(1) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma
meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
(2) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris,
tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
(3) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada
penonjolan, reflek menelan ada.
(4) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi
maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
(5) Mata
Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi
perdarahan)
(6) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi
atau nyeri tekan.
(7) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(8) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa
mulut tidak pucat.
(9) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
(10) Paru
(a) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada
riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
(b) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(c) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(d) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan
lainnya seperti stridor dan ronchi.
(11) Jantung
(a) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(b) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(c) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(12) Abdomen
(a) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(b) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(c) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(d) Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
(13) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada
kesulitan BAB.
2) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler à 5 P yaitu
Pain, Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem
muskuloskeletal adalah:
a) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(3) Fistulae.
b) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari
posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang
memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
(1) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. Capillary
refill time à Normal > 3 detik
(3) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,
tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di
permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status
neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan
permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya,
nyeri atau tidak, dan ukurannya.
2. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi
keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP
atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan
(khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya
superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi
kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan
permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain
tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur
yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
b. Pemeriksaan Laboratorium
c. Pemeriksaan lain-lain
2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas, luka operasi.
2. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan
membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
3. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri,
terapi restriktif (imobilisasi)
4. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen,
kawat, sekrup)
5. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit,
taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
6. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap
informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang
ada
RENCANA KEPERAWATAN
Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3.
EGC. Jakarta
Carpenito, LJ. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 . Jakarta: EGC
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Smeltzer, S.C., 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta.