Abdul Holik-Fuh PDF
Abdul Holik-Fuh PDF
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)
Oleh:
Abdul Holik
NIM: 106033101127
v
KATA PENGANTAR
adalah penelitian saya guna mendapat gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud) di Jurusan
MTM Cirebon, tahun 2002. Waktu itu, bagi saya tulisan Kant agak sulit dipahami.
dst. Susah memahami filsafat Kant. Yang paling mudah diingat adalah kisah
hidupnya; seorang penyendiri yang pandai bergaul dan berwawasan luas, tapi tak
pernah keluar melebihi jarak 48 km., dari rumahnya. Banyak hal yang membuat
saya penasaran untuk menekuni pemikiran tokoh yang sangat disiplin dalam
penelitian ini bisa selesai dengan mudah, meski tak luput dari berbagai kendala
yang harus saya hadapi. Ucapan terima kasih saya haturkan kepada H. Musthofa
dan Hj. Rofiah, atas kesabaran dan keikhlasannya, mendukung dan mendoakan
saya sehingga bisa menyelesaikan kuliah di UIN. Juga terima kasih kepada Ade
Nurhadi, S.Ag., dan Nurlaela S.Ag., atas segenap dukungannya yang tak ternilai.
Di samping itu, saya merasa berhutang budi kepada banyak pihak yang
khusus kepada Dr. Fariz Pari, yang telah mengorbankan waktu untuk memberikan
bimbingan dan bantuan moralnya, serta referensi berharga kepada saya. Terima
kasih saya ucapkan kepada Drs. Agus Darmadji, M.Fils., selaku Ketua Jurusan
vi
AF., atas kebaikannya berkenan meminjamkan referensi yang saya butuhkan. Juga
saya ucapkan terima kasih kepada Drs. Fakhruddin, MA., atas saran-saran, dan
Yang tak kalah pentingnya, ucapan terima kasih saya sampaikan kepada
mahasiswi di FK Gigi Unisyah, terima kasih atas dukungan, dan motivasi selama
atas dorongan semangat mempelajari fenomena alam semesta; kepada para aktivis
di PSU (Pos Solidaritas Umat), terima kasih telah melibatkan saya dalam upaya
penyediaan pendidikan agama bagi kaum subaltern di Ciputat; serta terima kasih
saya ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dengan caranya masing-
masing, selama saya berada di Ciputat dan Jakarta. Jazakumullâh ahsan al-jazâ`.
Kant. The Last but not least, saya sangat mengapresiasi segala masukan, kritik
dan saran dari para pembaca sekalian atas hasil penelitian ini.
Abdul Holik
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERYATAAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . i
PERNYATAAN PERSETUJUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ii
TABEL TRANSLITERASI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iv
ABSTRAKSI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .v
KATA PENGANTAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . vi
BAB I PENDAHULUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
Perumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8
A. Sejarah Epistemologi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 32
B. Rasionalisme . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 40
C. Empirisme . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 49
viii
A. Kritik atas Rasionalisme dan Empirisme . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 59
C.1. Kuantitas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 88
C.2. Kualitas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 89
C.3. Relasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 90
C.4. Modalitas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 92
A. Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 127
B. Saran-Saran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .129
ix
1
BAB I
PENDAHULUAN
Pada tahun 2009, publik Indonesia sempat digemparkan oleh sosok Ponari,
seorang bocah yang secara tiba-tiba mampu mengobati orang sakit. Kiprahnya
batu yang ditemukannya di saat hujan. Sejumlah umat Islam bahkan mengutuk
membuat resah dunia kedokteran. Pasalnya, Ponari menyalahi metode yang sah
dalam praktek pengobatan. Tapi, meskipun menuai protes dari banyak pihak,
sebagian masyarakat tetap percaya dan yakin pada keampuhan batu Ponari:
bahwa di saat ilmu pengetahuan dan teknologi sudah semakin maju, sebagian
bidang medis, tidak mampu membebaskan mentalitas bangsa ini dari perkara
klenik. Dalam hal ini, peristiwa di atas tidaklah terlalu mengherankan, karena pada
sistem filsafat, agaknya cukup beralasan. Zaman yang berubah menciptakan fase
baru dalam kehidupan. Perubahan itu hanya bisa terjadi di suatu masyarakat yang
saintifik yang memuncak di Eropa abad ke-17,2 dan diikuti terjadinya pencerahan
(Aufklärung) abad ke-18, merupakan imbas dari ketekunan dan kerja keras orang-
orang Eropa pada beberapa abad sebelumnya. Sejak masa Renaissance abad ke-14
di Italia, telah dimulai kegiatan yang cukup serius dalam mengkaji kemegahan
warisan peradaban Yunani kuno.3 Dari hasil pembacaan serius dan kritis atas
tradisi klasik, para ahli mampu menghasilkan suatu kemajuan yang cukup
signifikan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan ini dapat
diperoleh lewat peran para sarjana, kalangan terdidik dan peran para pemikir pada
umumnya.
Immanuel Kant adalah salah satu pemikir yang muncul di abad ke-18 dan
pemikirannya tetap menjadi isu yang cukup menarik. Hal ini tidak berlebihan,
filsafatnya, tetapi sebaliknya filsafat mereka juga dapat menentukan lingkungan kehidupannya”.
Bertrand Russel, History of Western Philosophy and Its Connection with Political and Social
Circumstances from the Earliest Times to the Present Day (London: George Allen and Unwin
Ltd., 1961), h. 14
2
Robin Briggs, The Scientific Revolution of the Seventeenth Century (San Francisco:
Harper & Row Publishers, Inc., 1973), h. 3
3
F. Budi Hardiman, Filsafat Barat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta:
Gramedia, 2007), h. 9
3
muncul setelahnya. Bahkan Kant dianggap sebagai filsuf yang paling berpengaruh
dalam lima ratus tahun terakhir.4 Sampai saat ini, pemikiran Kant tetap menjadi
isu perdebatan yang tak kunjung habis dibahas. Apa yang dilakukan Kant adalah
menghadirkan suatu formula baru dalam perumusan sistem filsafat. Filsafat Kant
pengaruh yang dibentuk dalam suatu struktur nalar tertentu. Struktur nalar
dimaksudkan sebagai cara kerja akal dalam bingkai suatu kerangka berpikir, yang
oleh misalnya tradisi, agama, atau kelompok, kemajuan ilmu pengetahuan akan
4
Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan
Revisionisme (Jakarta: Gramedia, 2005), h. 4
5
Di abad ke-20, Michel Foucault menyebut struktur berpikir yang berada dalam suatu
masa dan lingkungan tertentu sebagai epistemé. Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of
Philosophy (London: Penguin Books Ltd., 2000), h. 174
6
Kita bisa merasakan misalnya, perbedaan yang amat jelas antara masa kegelapan dengan
peralihan menuju zaman modern. Pada abad kegelapan orang-orang cenderung mengikat diri
mereka dan berpikir menurut selera kelompok, ras, agama. Pada masa ini pula kegiatan intelektual
seolah mati, karena segala sesuatu harus disesuaikan dengan tuntutan gereja. Tapi hal itu sangat
4
siginifikan, terutama dalam arus kemajuan ilmu pengetahuan hingga dewasa ini.
zamannya. Sistem epistemologi Kant sampai saat ini hadir sebagai salah satu
bermunculan.
Jika dipetakan, proyek filosofis Kant akan berpusat pada tiga persoalan
estetis. Bagian pertama dijabarkan Kant dalam buku, Kritik der Reinen Vernunft
Reason). Bagian ketiga dijelaskan dalam karya, Kritik der Urteilkraft (terjemahan
Inggris: Critique of Judgment). Lewat ketiga karya tersebut, Kant bertujuan untuk
Kant dikenal sebagai orang yang mampu membalik sudut pandang dalam
tradisi pemikiran. Hal-hal yang dulu selalu diterima begitu saja, ternyata
masalah, yang lebih menitikberatkan pada kondisi subjek. Subjek yang dimaksud
adalah manusia sebagai individu yang sadar diri dalam kehidupannya di dunia saat
ini. Kant mempertanyakan peran dan fungsi a priori dalam diri subjek, terkait
berbeda ketika memasuki zaman renaissance berikut masa-masa setelahnya. F. Budi Hardiman,
Filsafat Barat Modern, h. 3-13
5
terlebih dahulu memeriksa fungsi dan mekanisme dalam diri subjek agar dapat
Pencarian asas-asas a priori ini merupakan sesuatu yang baru dalam tradisi filsafat
Barat.
peranan subjek. Mereka menerima kemampuan subjek apa adanya. Mereka tidak
memeriksa terkait peranan subjek ini. Ini dilema bagi Kant. Pada suatu titik
samping tentunya, klaim universalitas masih layak untuk dipertahankan. Jika dulu
para filsuf menggeluti masalah tentang isi pengetahuan, maka proyek filosofis
Kant lebih dicurahkan untuk menguji seberapa jauh data dalam pikiran manusia
adanya dua hal a priori: ruang dan waktu. Dua hal ini menggiring pada
pemahaman bahwa data maupun informasi dari luar, yang diterima kemampuan
manusia, pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari unsur subjektifitas tiap-tiap
individu. Kant pada beberapa hal setuju dengan pandangan kaum empiris bahwa
kemampuan indera. Tapi, dia berbeda dari beberapa pemikir sebelumnya yang
meyakini keotentikan dan objektifitas data maupun informasi yang menjadi objek
pemikiran. Kant justru menganggap bahwa itu semua tidaklah netral. Kedua
fungsi a priori dalam diri subjek mengatur mekanisme penerimaan informasi dari
luar. Oleh karena itu, beragam informasi yang diterima akan ditentukan batas-
batasnya menurut kedua fungsi tersebut. Data yang diperoleh indera adalah
sesuatu yang sudah terpengaruhi oleh unsur subjek, sehingga bukan penampakan
utuh. Dengan begitu, benda-benda dalam dirinya sendiri, menurut Kant berada di
luar jangkauan manusia. Wilayah ini masih bersifat rahasia, dan tidak dapat
diketahui siapapun.
Data yang sudah diperoleh indera lewat intuisi, akan disampaikan kepada
fungsi a priori lain dalam diri subjek, yakni kemampuan untuk membentuk
serta menggolongkan data dalam beragam bentuk kategori dalam diri subjek.
subjek dari kemampuan indera akan diteruskan ke dalam kategori yang menurut
Kant berjumlah dua belas. Konsep dua belas kategori ini merupakan fungsi a
priori, yang bekerja dalam tataran skema yang lebih luas dan rasional.
kemudian diangkat dan dilekatkan pada struktur lain. Struktur yang dimaksud
adalah fungsi a priori yang terakhir dalam diri subjek. Fungsi ini adalah
sebuah kesimpulan. Peran intelek ini berbeda dari fungsi-fungsi a priori lainnya,
7
yang masih berkutat dengan data maupun informasi yang diperoleh dari
kemampuan indera. Peran intelek sama sekali lepas dari unsur-unsur a posteriori
sistem Kant disebut transendental, karena dia melakukan penelitian atas kaidah
murni a priori dalam diri subjek, sebagai batas penetapan validitas pengetahuan.7
Secara garis besar, peneguhan struktur subjek merupakan hal yang tidak terdapat
pada pandangan kaum empiris, dan dalam detailnya begitu berbeda dari kalangan
rasionalis.
pengetahuan. Akan tetapi, data yang didapatkan oleh indera akan bisa menjadi
pengetahuan setelah melewati semacam pengujian dari dalam diri subjek. Kant
sendiri tidak mengakui semua pengetahuan berasal dari indera. Ada pengetahuan
tertentu yang berasal dari kemampuan a priori subjek an sich. Secara keseluruhan
menyajikan sisi kelebihan dari tiap aliran dan membuktikan klaim validitas
tersebut.
7
F. Budi Hardiman, Filsafat Barat Modern, h, 132
8
Immanuel Kant dalam masalah epistemologi. Sebagai pemikir garda depan dalam
bidang filsafat, khususnya di masa pencerahan, Kant sangat layak untuk kembali
B. Perumusan Masalah
Dengan paparan di atas, maka pokok masalah yang akan digali dalam
b) Manfaat Penelitian
D. Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat kepustakaan (library research) dengan
tulisan para komentator dan karya para filsuf sebelum Kant yang berbicara tentang
pemikiran Kant, dengan pemaparan ide dan gagasannya sesuai dengan tulisannya
secara verbatim atau literer. Langkah ini digunakan untuk mengetahui sejauh
mana landasan awal, kerangka pikir Kant terkait sistem epistemologinya. Selain
itu, metode ini akan dengan mudah menemukan gambaran setting sosial dan
masyarakat tempat di mana Kant hidup, mengingat suatu pemikiran tidak bisa
khazanah pemikiran Barat. Berkat pengaruhnya yang cukup besar, Kant justru
menjadi sasaran kritik tiada habisnya. Tapi, di sisi lain dia pun dikagumi dan
dikutip pendapatnya oleh para pemikir sepanjang masa. Dengan metode ini,
pada umumnya.
dalam buku, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi),
yang diterbitkan CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN
E. Sistematika Penulisan
latar belakang seputar studi ini. Dijelaskan pula beberapa hal terkait perubahan
zaman yang dipengaruhi oleh gerak pemikiran filsafat. Namun, begitu pula filsafat
Bab dua menjelaskan latar belakang intelektual Immanuel Kant. Hal ini
dari konteks filsafat Barat sejak masa Yunani kuno, kemudian langsung
pula penjelasan tentang aliran rasionalisme dan empirisme yang berpengaruh pada
kritik yang dilancarkannya atas sistem-sistem yang ada, dalam upaya mengatasi
paparan istilah-istilah teknis yang dibangun Kant. Di sini Kant memiliki rumusan
khas prinsip-prinsip a priori semisal konsep ruang dan waktu sebagai tahap
bentuk analitik transendental. Dalam tahap ini, Kant mengajukan konsep dua
belas putusan, dua belas bentuk kategori, dan deduksi transendental. Kemudian
rumuskan menjadi tiga: paralogisme, antinomi, dan ideal akal murni. Keseluruhan
gagasan ini (secara radikal) tidak lebih dari upaya mempermasalahkan batas-batas
validitas data, untuk bisa menjadi pengetahuan. Setelah itu, sebuah perbandingan
kritis tentang hakekat pengetahuan dalam Islam—yang diwakili oleh al-Imâm al-
Kant dinilai penting, karena kedua tokoh ini memiliki kiprah yang cukup
signifikan dalam sejarah dua peradaban yang berbeda: Islam dan Barat. Meskipun
antara keduanya lebih banyak perbedaan, namun posisi mereka dalam hal kritik
pemikiran Kant sebagai sumber wacana filsafat, belum seutuhnya dapat dibahas
dilakukan.
12
BAB II
suatu gelombang baru dalam babak sejarah Eropa, yakni periode pencerahan.8
Fase ini merupakan arus yang berpengaruh cukup signifikan dalam gerak sejarah
Eropa pada masa-masa berikutnya. Immanuel Kant merupakan figur yang cukup
waktu itu. Mereka tersadar untuk mengejar kebahagiaan hidup, dengan keberanian
bagi pencerahan. Pengejaran kepentingan diri sudah menjadi maklum bagi semua
8
Kata “pencerahan” dalam bahasa Jerman Aufklärung, Les Lumieres (bahasa Prancis),
Enlightenment (bahasa Inggris), Ilustracion (bahasa Spanyol), Iluminismo (bahasa Itali),
Enlightenment (bahasa Inggris). F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai
Nietzsche (Jakarta: Gramedia, 2007), h. 94
9
“Pencerahan adalah keluarnya manusia dari ketidakdewasaan akibat kesalahannya
sendiri. Ketidakdewasaan adalah ketidakmampuan untuk menggunakan pemahamannya sendiri
tanpa petunjuk dari pihak lain. Ketidakdewasaan ini adalah kesalahannya sendiri, ketika sebabnya
bukan karena kurangnya pemahaman, melainkan karena kurangnya ketetapan hati dan keberanian
untuk menggunakan akal tanpa petunjuk dari pihak lain. Sapere Aude! “beranilah menggunakan
pemahamanmu sendiri!”—adalah motto bagi pencerahan.” Immanuel Kant, Perpetual Peace and
Other Essays on Politics, History, and Morals, trans., Ted Humphrey (Indiana Polis: Hackett
Publishing Company Inc., 1983), h. 41
13
cukup penting dalam kehidupan. Kesadaran ini menjadi arah baru yang
menentukan sikap dan mentalitas zaman itu. Pada awalnya, gerakan pencerahan
lebih dahulu di Inggris dan Prancis. Kedua negara ini memainkan peranan
Jumlah peserta dalam forum ini terbatas sebanyak 16 orang. Lembaga ini
aktif dalam pengembangan sains. Lembaga ini memiliki anggota yang tak
bisa dipungkiri bahwa tidak semua penguasa, raja dan pangeran di Eropa pada
10
Robin Briggs, The Scientific Revolution Revolution of the Seventeenth Century (San
Francisco: Harper & Row Publishers, Inc., 1973), h. 67
14
Kedua wilayah tersebut hanya mewakili arus utama kemajuan ilmu yang
berlangsung pada abad ke-17, dan berpengaruh terciptanya fase pencerahan pada
wilayah.
Deisme.11 Istilah ini mengacu pada suatu pandangan bahwa alam semesta berjalan
dengan sendirinya, sesuai dengan kaidah hukum mekanis yang bisa diselidiki
secara ketat dan objektif. Kedudukan Tuhan sebagai pencipta, tidak memiliki
andil apapun dalam segala hal yang terjadi di alam semesta. Dunia terlepas dari
campur tangan Tuhan setelah diciptakan. Pandangan deisme sama sekali tidak
lebih rasional. Pemahaman ini merupakan imbas dari penemuan besar filsafat
alam Newton tentang hukum-hukum fisika, serta terobosan baru filsafat empiris
John Locke. Namun, beberapa tokoh pencerahan kemudian, melangkah lebih jauh
dengan mengritik lembaga gereja, karena sikap agamawan tidak sejalan dengan
penemuan-penemuan ilmiah.
manusia. Justru gereja yang selama ini melegitimasi kesengsaraan, karena tidak
11
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, h. 99
15
beserta isinya, termasuk manusia, memiliki suatu kaidah hukum mekanis yang
selanjutnya tidak saja mengkritik gereja, tetapi kekristenan itu sendiri. Agama
Kristen dipandang sebagai sumber malapetaka. Hal ini merupakan titik balik
sering disuarakan kaum agamawan. Puncak titik balik ini bisa diartikan sebagai
ucapan selamat tinggal pada agama, serta segala hal yang berhubungan
12
Adam Smith (1723-1790) memiliki diktum ekonomi yang sampai saat ini masih sering
dikutip, “invisible hand”: tangan yang tidak kelihatan. Maksudnya bahwa setiap manusia
dikendalikan oleh dorongan nafsu egoistis, yang berusaha mengejar kepentingannya sendiri. Tapi,
pemenuhan kepentingan pribadi itu turut serta memainkan peranan pemenuhan kesejahteraan
umum. Elmer Sprague, “Adam Smith,” in Paul Edwards, ed., The Encyclopedia of Philosophy,
Vol. 7 (New York: Macmillan Publishing Co., Inc., and The Free Press, 1972), h. 463
16
yang lebih tegas, baru kelihatan di masa pencerahan. Sikap individualisme ini
beberapa hal, pencerahan di Prancis nampaknya sedikit berbeda dan lebih ekstrem
pandangan filsafat empiris Inggris, John Locke, dan hukum fisika Isaac Newton. 13
Sepakat dengan gagasan kedua tokoh tersebut, para pemikir Prancis lebih yakin
atas fenomena alam. Fakta-fakta yang berserakan menjadi sumber berharga untuk
partikular, selanjutnya akan dilakukan sintesis, guna didapat suatu kaidah umum
berupa hukum atas fenomena alamiah. Sintesis yang diperoleh lewat observasi
13
Frederick Copleston, A History of Philosophy, vol. 6, Wolff to Kant (Wellwood: Burn
& Oates, 1999), h. 3
17
dekstruktif daripada konstruktif terkait masalah agama. Mereka sama sekali tidak
ini. Sejak semula, para pemikir pencerahan Prancis berupaya menolak agama dan
kebebasan berpikir. Segala bentuk agama, baik Kristen, Yahudi, maupun agama-
agama lainnya, merupakan produk dari kebodohan, ketakutan, dan sangat tidak
sesuai dengan semangat kemajuan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, sudah
selayaknya jika agama ditinggalkan, karena tidak membawa manfaat sama sekali.
gereja Notre Dame dari simbol-simbol keagamaan pada waktu terjadinya revolusi.
menyerang habis-habisan bentuk penindasan atas nama negara. Bahkan raja Louis
XVI, pemimpin negeri mereka sendiri, tak urung menjadi sasaran kritik.
Pemerintahan Louis XVI di Prancis, menurut mereka adalah rezim otoriter yang
kurang berpihak kepada rakyat. Kendati tidak semua tokoh sepakat tentang bentuk
ofensif terhadap segala bentuk tirani, dan menemukan momentumnya yang riil
14
Tokoh yang dikenal menjadi pelopor terjadinya pencerahan di Prancis adalah Pierre
Bayle (1647-1706). Dia memiliki sebuah karya yang cukup terkenal, Dictionaire Historique et
Critique, yang berisi berbagai rumusan ilmu pengetahuan pada masanya, serta penyerangan yang
luar biasa terhadap agama. Dia juga berpendapat bahwa keyakinan terhadap Tuhan berada di luar
batas akal, dan bahwa persoalan etika sudah selayaknya dipisahkan dari masalah agama dan sistem
metafisika tradisional. Frederick Copleston, A History of Philosophy, h. 7-8
18
berdarah oleh rakyat dalam melawan ketidakadilan yang mereka alami. Karena
Jerman ditandai dengan minat yang besar terhadap studi kemanusiaan dan
kebudayaan. Banyak sastrawan besar yang bermunculan pada zaman ini, misalnya
J.W. von Goethe, Johann Gottfried von Herder, dan Gotthold Ephraim Lessing.
serangan begitu tajam dari para filsuf. Kendati demikian, mereka tetap menjaga
jarak dari unsur-unsur relijius mainstream yang dikenal kaku dan membelenggu
kebebasan akal. Selain itu, para pemikir pencerahan Jerman pada umumnya
adalah guru besar di universitas. Hal ini merupakan kondisi yang sangat berbeda
politik pada masa itu. Paruh pertama abad ke-18, di kawasan Jerman penyebaran
adalah gerakan evangelis. Kelompok ini lebih menekankan peranan hati daripada
kehidupan beragama. Sumber penting ajaran mereka dapat dilacak dalam karya
tempat tinggal untuk para yatim piatu. Francke memiliki proyek pendidikan yang
awalnya hanya berkisar di kota Halle, tapi kemudian menyebar ke wilayah lain.
Immanuel Kant, tokoh Puritan yang cukup populer adalah Theodor Gehr dan
Friedericianum di tahun 1703.17 Pada usia delapan sampai enam belas tahun,
Kecondongan raja kepada kaum Puritan sebenarnya tidak lebih dari sekedar
16
Manfred Kuehn, Kant: A Biography (Cambridge: Cambridge University Press, 2002),
h. 35
17
Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 36
20
begitu, tenaga kerja yang diperlukan untuk menggarap tanah para bangsawan
Situasi ini sangat tidak menguntungkan para tuan tanah, yang kebetulan lebih
pendidikan dan memperoleh lapangan pekerjaan yang lebih baik dari orang tua
mereka. Posisi pemilik tanah mulai merosot di mata publik. Mereka tidak hanya
berhadapan dengan penguasa dan raja, tapi kelas masyarakat terdidik lainnya.
lainnya. Reformasi yang dilakukan oleh raja berjalan tenang dan damai, karena
tahun 1740. Pada tahun yang sama, Kant mulai memasuki universitas Königsberg.
para pemikir Prancis yang dinilai subversif dan lari dari negerinya.19
18
Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 35
19
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, h. 122
21
sistem filsafat Prancis daripada Jerman. Baginya, filsafat tidak akan berarti
apapun selama tidak berhubungan dengan dunia riil. Sistem metafisika yang
dibangun para filsuf, sama sekali tidak berguna jika tidak memiliki kontribusi
berharga bagi kehidupan manusia. Nilai guna filsafat terletak pada perannya
pengalaman yang didapat lewat kemampuan indera. Dari sini dapat dilihat bahwa
Tokoh kedua yang berperan cukup penting adalah Christian Wolff (1679-
tentang kehendak bebas.21 Sistem filsafat Wolff sangat berbeda dari Thomasius,
karena penekanan pada metafisika. Perhatian utama Wolff dalam hal ini adalah
Dengan sistem yang dibangunnya, Wolff tetap mempercayai Tuhan. Dia yakin,
Wolff berupaya menemukan asas yang sah tentang Tuhan, berdasarkan rasio.
Pengaruh Wolff cukup luas beredar di Jerman. Hal itu dirasakan saat Kant kuliah.
yang menjadi acuan mengajarnya adalah karya Wolff.23 Situasi ini memberikan
kerajaan Prussia, dekat dengan perbatasan Rusia, dan lebih dekat dengan Polandia
didirikan di kota ini. Kota Königsberg24 berpenduduk sekitar 40.000 jiwa di tahun
1706, meningkat menjadi 50.000 jiwa di tahun 1770, dan terus meningkat menjadi
56.000 jiwa di tahun 1786.25 Kant terlahir dengan nama baptis “Emanuel”, dari
pasangan Johann Georg Kant (1683-1746) dan Anna Regina Kant (1697-1737). Ia
menjadi anak ke-4 dari sembilan bersaudara. Sebagai anak pembuat pelana kuda,
kehidupan Kant sangat jauh dari kemewahan. Kant dibesarkan dalam suasana
kebaikan dan kejujuran. Ini bisa dilihat dalam cara berfilsafat Kant, khususnya
dalam wacana etika yang sangat menekankan kesadaran terhadap kewajiban. Bagi
23
Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 109
24
Kota Königsberg telah berubah nama menjadi Kaliningrad. Sekarang kota itu termasuk
dalam wilayah Polandia. Paul Strathern, 90 Menit Bersama Kant, terj., Franz Kowa (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2001), h. 3
25
Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 56
26
Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 371
23
universitas kota Königsberg pada tahun 1740. Selama kuliah, Kant menjadi
keuntungan lainnya.27 Minat awalnya selama kuliah adalah studi klasik, tapi Kant
mereka berdua hanyalah dosen biasa dan tidak ada hubungan khusus dengan Kant.
sempat ia baca.
perpustakaan pribadi sang dosen. Hal ini bisa disaksikan bahwa dalam catatan
Kant tidak pernah disebut sebagai mahasiswanya. Murid favorit Knutzen adalah
dosen menduduki posisi yang ditinggalkannya. Mahasiswa lain yang lebih penting
dari Kant adalah Johann Friedrich Weitenkampf (1726-1758). Bukti lain bahwa
Kant bukan mahasiswa favorit Knutzen, yakni tidak disebutnya nama Kant
27
Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 61
28
Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 88-89
24
Selama kuliah, Kant bukanlah seorang mahasiswa yang menjadi idola bagi
gadis-gadis Jerman.29 Secara fisik, penampilan Kant kurang menarik. Kulit pucat,
mengenakan sebuah jaket kusam yang harganya kira-kira kurang dari satu
pfennig—satuan terkecil mata uang Jerman. Namun, Kant sama sekali tidak
mempedulikan hal itu. Baginya, belajar adalah lebih penting. Belajar adalah
merasa bahwa selama kuliah, ia baru bisa bebas mempelajari banyak hal yang ia
akhir, Kant terbiasa menjadi tutor bagi beberapa orang mahasiswa yunior yang
mengikuti arah pemikiran Christian Wolff. Hal ini tanpa mengingkari beberapa
(1681-1749). Pemikir seperti Descartes dan Locke adalah tokoh-tokoh yang lebih
banyak diserang.31 Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Kant pada awalnya
gegabah kiranya menganggap Kant adalah tokoh Wolffian semasa muda. Sejak
29
Pada zaman Kant, kehidupan antara laki-laki dan perempuan Jerman terpisahkan secara
gender. Itulah mengapa, ia seperti orang-orang di masanya, jarang bergaul dengan lawan jenis
mereka. Kehidupan perempuan Jerman saat itu, diarahkan pada tiga hal: Kinder, Küche, und
Kirche (anak-anak, dapur, dan gereja). Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 55
30
Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 151
31
Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 67
25
muda, Kant selalu menjaga jarak dari sistem manapun, dan berusaha independen
sebagai guru privat (Hofmeister) bagi ketiga putra pastor Andersch, di kota
Judtschen.32 Kemudian ia menjadi guru bagi ketiga putra tertua von Hülsen,
seorang ksatria Prussia. Selama menjadi guru, Kant menghaluskan sikap dan
perilakunya ketika bergaul dengan keluarga kaya, serta tak lupa meningkatkan
32
Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 96
33
Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 100
26
mereka tidak menyukai Kant. 34 Untuk bisa bertahan hidup, Kant harus banyak
dengan kuliah geografi, dan berikutnya ditambahkan dengan etika. Kant mengajar
sebanyak enam belas sampai dua puluh empat jam seminggu. Buku acuan
Wolff. Ia juga menggunakan, Erste Gründe der Naturlehre, karya Johann Peter
mengekor pada uraian yang diberikan buku tersebut. Kant hanya mengikuti urutan
penjelasan yang tidak disebutkan di dalam buku, dan juga mengoreksi isinya. 35
Jika tidak setuju dengan isi buku tersebut, ia segera beralih pada pemahamannya
sendiri. Ketika mengajar, Kant selalu menekankan bahwa apa yang ia ajarkan
34
Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 107
35
Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 106; Lihat juga, Frederick Copleston, A History
of Philosophy, h. 181
36
“Metode instruksi yang benar dalam filsafat adalah zetetic, sebagaimana disebut oleh
tokoh-tokoh klasik (diturunkan dari kata zetetin). Hal itu adalah pencarian, dan bisa menjadi
dogmatis, yang diputuskan melalui sebuah pengembangan penalaran hanya di dalam beberapa
bagian-bagiannya.” Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 160
27
Periode pra-kritis Kant berakhir sejak 1769, memasuki tahun 1770. Dalam
masa pra-kritis itu, pemikiran Kant terbagi menjadi dua: pertama, berlangsung
sejak 1755-1762, dikenal sebagai periode rasionalis; kedua, antara tahun 1762-
kesepakatan dari pada pengkaji dalam masalah ini.37 Jika orang berbicara tentang
tiga kritik Kant, maka yang dituju adalah periode setelah tahun tersebut, yang
pandangan Leibniz-Wolffian, dan semua sistem-sistem yang ada saat itu. Edisi
pertama Kritik der reinen Vernunft, terbit tahun 1781. Sejak saat itu, karya-karya
“I openly confess, the suggestion of David Hume was the very thing, which
many years ago first interrupted my dogmatic slumber, and gave my
investigation in the field of speculative philosophy quite a new direction. I
was far from following him in the conclusion at which he arrived by
regarding, not the whole of his problem, but a part, which by itself can
give us no information. If we start from well-founded, but undeveloped,
thought, which another has bequeathed to us, we may well hope by
continued reflection to advance farther than acute man, to whom we owe
the first spark of light.”38
37
Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 176-179
38
“Saya secara terus terang mengakui anjuran David Hume, yang selama beberapa tahun
mengganggu tidur dogmatis saya dan memberi arah baru bagi penyelidikan saya dalam filsafat
28
Reinen Vernunft. Karena penjelasan yang sulit, dengan gaya bahasa yang
memahami isi Kritik der Reinen Vernunft, yang kerap mengundang banyak
keluhan.
spekulatif. Saya sama sekali tidak mengikutinya pada kesimpulan yang ia dapatkan berkenaan
dengan keseluruhan masalahnya, tapi sebagian, yang tidak memberikan kita informasi. Jika kita
memulai dari penemuan-berharga, tapi pemikiran yang tidak dikembangkan, yang satu lagi telah
mewariskan kepada kita, kita mungkin berharap dengan baik berdasarkan refleksi berkelanjutan
untuk mengembangkan lebih jauh dari seorang yang teliti, kepadanya kita berhutang percikan
cahaya pertama.” Beryl Logan (ed.), Kant’s Prolegomena to Any Future Metaphysics in Focus
(New York: Routledge, 1996), h. 33
29
f. Was heisst: Sich im Denken orientiren? Ulasan dalam karya ini berisi
merumuskan bahwa kaidah moral tidak semata masalah agama dan hati,
tahun 1788.
h. Kritik der Urteilkraft. Karya ini adalah kritik ketiga Kant, terbit tahun
sebuah esai yang berisi paparan tentang masalah agama dalam batas-batas
j. Das Ende aller Dinge, berisi kritik filsafat politik Kant terhadap situasi
k. Zum ewigen Frieden, sebuah esai yang menjelaskan tentang basis moral,
l. Der Streit der Fakultäten. Esai ini ditulis Kant berkenaan dengan
tentang masalah agama. Esai ini terbit pada musim gugur 1798.
cukup padat dan disiplin. Kegiatan hariannya dilakukan tetap, termasuk jadwal
kunjungannya. Ia terbiasa tidur jam sepuluh malam, dan bangun sebelum jam lima
pagi. Kemudian melakukan refleksi filosofis, mengajar, dan setiap jam setengah
ketika cuaca panas, maupun hujan, ia terbiasa melakukan itu. Konon karena
Kant berjalan-jalan. Mungkin sekali karena terlalu konsisten dan fokus pada
Sejak 1797 ia sudah tidak bisa mengajar lagi, karena usia tua dan sakit. Pikirannya
masih tajam, tapi secara fisik ia sangat lemah. Sejak tahun 1800, Kant mulai
melupakan kejadian-kejadian yang baru saja dilakukannya, dan lupa apa yang
kucing karena sengatan listrik, orang negro Afrika yang sebenarnya berkulit putih,
39
Kant sebenarnya sama seperti laki-laki pada umumnya, memiliki keinginan untuk
berkeluarga. Namun, niat itu tidak bisa dilaksanakan. Setidaknya, ia pernah merencanakan hal itu
dengan seorang janda cantik, dan pernah pula berkeinginan menikahi gadis dari pinggiran
Westphalin. Namun, keduanya tidak terlaksana, karena Kant terlalu lama mengambil keputusan.
Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 117
31
yang terakhir, dua bulan sebelum ulang tahunnya yang ke-80. Nisannya sekarang
ada di kota Kaliningrad. Tapi, nisan itu sudah tidak berisi tulang-belulangnya lagi,
akibat rusak dan dicuri ketika perang.40 Di nisan itu tertulis dua hal yang
practischen Vernunt: “langit yang bertabur bintang di atas saya, dan hukum moral
40
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, h. 132
41
Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, trans., Mary Gregor (Cambridge:
Cambridge University Press, 2001), h. 133
32
BAB III
A. Sejarah Epistemologi
dari segi bahasa, epistemologi merupakan istilah yang berasal dari dua bahasa
pengetahuan diartikan sebagai upaya mencari akar permasalahan terkait ide, dan
batas-batas, dan memberikan kritik berkaitan dengan ciri-ciri umum yang hakiki
ketika berinteraksi dengan lingkungan, alam sekitar, dan terlebih dengan diri
pribadi manusia itu sendiri. Adapun psikologi adalah suatu cabang ilmu yang
42
Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy (London: Penguin
Books Ltd., 2000), h. 174
43
http://en.wikipedia.org/wiki/Epistemology, artikel diakses pada 30 April 2010
33
lebih menitikberatkan pada daya-daya kognisi manusia an sich. Titik tekan ini
kerangka kajian yang mendudukkan ilmu dalam batas-batasnya yang ketat dan
para filsuf, sejak zaman klasik ribuan tahun silam, seolah tidak menemukan
kepastian. Perdebatan itu kiranya menjadi ajang pertarungan ide dan gagasan yang
energi selama ribuan tahun, namun epistemologi bukanlah hal pertama yang dikaji
Thales (645-545 SM.) sebagai tokoh pertama filsafat dalam tradisi Barat,
suatu realitas primordial,46 yang disebutnya αρχή (dibaca archē).47 Karena tidak
sebagai cuplikan dalam karya-karya para penulis yang hidup setelahnya. Perhatian
44
Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 458
45
W. Wildelband, History of Ancient Philosophy, trans., Herbert Ernest Cushman (New
York: Dover Publication Inc., 1956), h. 37
46
Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 37
47
http://en.wikipedia.org/wiki/Archē, artikel diakses pada 01 Mei 2010
34
sebuah penalaran tentang yang ada. Konsep “ada” sebagai sebuah tema menjadi
tren dalam perdebatan pemikiran filosofis berikutnya. Rumusan yang terkenal dari
Perkataan Thales di atas cukup dikenal para sarjana pengkaji filsafat Barat,
yang sebenarnya merupakan kutipan yang tidak utuh. Kalimat yang selengkapnya
berbunyi, “semua adalah air, dan dunia penuh dengan dewa-dewa”.48 Thales
berusaha memecahkan masalah tentang asas penyusun alam semesta, tapi tanpa
bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta terbentuk dari air. Air baginya
menurutnya mengapung di atas air. Partikel-partikel air menjadi asal segala jenis
makhluk hidup, serta menjadi unsur yang menyusun segala sesuatu.49 Beberapa
belakang hari, gagasan Thales tersebut bahkan dikritik dengan pandangan yang
berbeda-beda.
SM. Meskipun sebelum abad ke-5 SM., telah ada rumusan dari dua tokoh:
Parmenides dan Heraklitos, tapi penalaran mendalam terkait masalah ini belum
terbentuk secara utuh. Kendati demikian, mereka memainkan peranan yang cukup
mewakili dua kecenderungan yang saling berlawanan. Parmenides (lahir 540 SM.)
480 SM.), termasuk kelompok empiris. Dua arus inilah yang nantinya saling
manusia itu terbatas atas realitas di luar dirinya, atau tidak. Kedua belah pihak
tidak melakukan pengujian mendalam atas isi atau pun proses mendapatkan
itu tetap terpelihara dan terjamin seutuhnya dalam pola pikir masyarakat Yunani.
Sampai akhirnya di abad ke-5 SM., kemapanan pandangan itu diserang oleh
adalah para guru, dan teladan berilmu. Seni berdebat adalah salah satu yang
kaum Sofis berjasa menyebarluaskan dan memelihara ide-ide besar dalam bidang
saintifik yang sudah ada di Yunani. Mereka dianggap sebagai pembawa pertama
50
D.W. Hamlyn, “Epistemology,” in Paul Edwards, ed., The Encyclopedia of
Philosophy, vol., III (New York: Macmillan Publishing Co., Inc., and The Free Press, 1972), h. 9
51
W. Wildelband, History of Ancient Philosophy, h. 110
52
W. Wildelband, History of Ancient Philosophy, h, 111
36
perdebatan dan pengujian sejumlah tradisi yang sudah taken for granted oleh
pendidikan dan bimbingan dari mereka. Kaum muda banyak yang tertarik dengan
ajaran Sofis. Fokus perhatian kaum Sofis adalah menjadikan masyarakat tersadar
akan kegunaan ilmu pengetahuan. Mereka yang mendapat didikan Sofis bisa
menjadi orator ulung, serta orang yang berbudaya. Hal ini sejalan dengan tugas
utama mereka yakni, menghadirkan sains dan instruksi retorika dalam kehidupan
publik.53 Kata Sofis sendiri dalam bahasa Yunani memiliki arti positif.
sophisma), dari kata σοφίζω (dibaca sophizo), berarti “saya bijaksana.” Kata
σοφιστής (dibaca sophistēs) berarti orang yang melakukan kebijaksanaan, dan kata
σοφός (dibaca sophόs) berarti orang bijak.54 Kaum Sofis di zaman Yunani kuno
adalah sekelompok guru filsafat yang dikenal bijak. Kritik kaum Sofis dalam
setelahnya. Saat ini kata Sofisme telah mengalami perubahan arti menjadi:
argumentasi salah yang kelihatan valid,55 sebuah arti yang sangat berbeda dari
makna asalnya
Ajaran Sofis di belakang hari mendapat celaan dari masyarakat. Hal ini
kebebasan yang mereka suarakan, akhirnya sampai pada titik ekstrem. Meraka
53
W. Wildelband, History of Ancient Philosophy, h. 113
54
http://en.wikipedia.org/wiki/Sophism, artikel diakses pada 01 Mei 2010
55
Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 530
37
alpa untuk memberikan sebuah batasan yang jelas, terkait dengan kebebasan. Apa
yang mereka ajarkan akhirnya hanya berupa kemampuan berdebat tanpa arah dan
tanpa tuntunan mencapai kehidupan yang bermartabat, kontras dengan gelar Sofis
Manusia dijadikan sebagai titik pangkal dan inti segala hal. Kebenaran dan
kesalahan, baik dan buruk, dapat didefinisikan menurut kadar ukuran manusia.
Namun, ia tidak memberikan kejelasan terkait apa yang dimaksud manusia dalam
pemikirannya. Jika yang dikehendaki dari manusia adalah manusia secara umum,
maka cakupannya menjadi sangat luas. Setiap orang akan memiliki sudut pandang
berbeda dalam memahami arti manusia, sehingga ukuran manusia sebagai patokan
segala-galanya akan berbeda satu sama lain. Pandangan semacam ini jelas
tentang pengetahuan.
dan yang relatif. Salah satu contoh ekstrem terlihat misalnya dari Gorgias (483-
375 SM.), yang tidak mengakui bahwa manusia bisa mendapatkan pengetahuan.
Ia beranggapan tiadanya realitas, dan jika pun ada, manusia sama sekali tidak
56
Plato menjelaskan pandangan Protagoras dalam dialog antara Socrates dan Theatetus.
Irwin Edman, (ed.), The Works of Plato, trans., The Jowet Translation (New York: Simon and
Schuster Inc., 1928), h. 494
57
Irwin Edman, (ed.), The Works of Plato, h. 495
38
mampu memahami realitas; jika pun bisa, maka manusia tidak bisa membicarakan
terkenal Protagoras dan Grogias tersebut, sudah menjadi kebiasaan kaum Sofis
adalah sikap mereka yang cenderung tidak konsisten dalam berpendapat. Hari ini
mereka mengatakan bahwa “a” adalah baik, tapi esok ketika ditanya tentang “a”,
jawaban yang diberikan akan berbeda. Seseorang akhirnya tidak bisa memegang
perkataan dan pendirian Sofis, karena bagi mereka sesuatu dapat berubah sesuai
perubahan sepanjang waktu. Kondisi fisik dan batin manusia yang berubah, turut
pula mempengaruhi segalanya. Apa yang didapat hari ini, dapat menjadi baik, tapi
epistemologi pada babak berikutnya dirumuskan lebih jelas oleh Plato (428-347
SM.)—murid Socrates yang paling setia. Plato-lah orang yang pertama kali
kemudian hari, pertanyaan akan jauh lebih kompleks dan rumit. Munculnya
58
D.W. Hamlyn, “Epistemology,” h. 9
59
Robert Ackermann, Theories of Knowledge: A Critical Introduction (New York:
McGraw-Hill Company, 1965), h. 14
39
dibahas Plato dan para filsuf dalam diskursus filosofis di masa-masa berikutnya.
kepada masa tertentu sejak perumusan awalnya, dan langsung dilarikan ke zaman
perdebatan itu begitu ramai ketika Immanuel Kant hidup. Tidak dijelaskannya
masa itu yang kurang memberi ruang pada pengembangan filsafat secara mandiri.
Sebagaimana disebutkan Bertrand Russel, filsafat pada masa itu berada di bawah
kerapkali mengritik hal itu, karena reduksi filsafat sebagai kajian dogmatis tidak
membawa kebaikan sama sekali. Selain itu, alasan filsafat abad pertengahan tidak
Immanuel Kant. Sistem filsafat Kant, tidak menggali sumbernya dari filsafat abad
pertengahan. Tapi, jelas memiliki akar yang kuat dari semangat kebangkitan
60
Bertrand Russel, History of Western Philosophy and Its Connection with Political and
Social Circumstances from the Earliest Times to the Present Day (London: George Allen and
Unwin Ltd., 1961), h. 303-306
40
B. Rasionalisme
menyinggung pandangan semacam ini. Namun, gagasan yang paling jelas dan
dari dunia ide. Alam ide merupakan sumber segala sesuatu. Ia bersifat abadi,
kekal, dan tak dapat diubah. Alam ide bersifat transenden. Segala sesuatu yang
ada di alam semesta, merupakan perwujudan dari alam ide. Pengetahuan yang
dihasilkan manusia, pada dasarnya merupakan penyingkapan atas apa yang ada di
alam ide. Dunia ide adalah alam abadi, tempat segala sesuatu berasal. Ia menjadi
konsep “rumah” sudah terdapat di dunia ide. Yang nampak di dunia adalah
bayang-bayang atas konsep rumah yang abadi di alam ide. Pengetahuan bersifat
universal. Ini berbeda dari keyakinan semata. Bagi Plato, pengetahuan berbeda
dari keyakinan yang benar. Mungkin suatu pengetahuan terdiri dari keyakinan
yang benar. Tapi keyakinan itu harus disertai dasar-dasar (logos),62 meskipun
unsur kebaikan. Plato juga kurang memberikan penilaian positif pada indera.
61
Bernard Williams, “Rationalism,” in Paul Edwards, ed., The Encyclopedia of
Philosophy, vol., VII (New York: Macmillan Publishing Co., Inc., and The Free Press, 1972), h.
69
62
D.W. Hamlyn, “Epistemology,” h. 12
41
Bagi Plato, hasil pencerapan indera hanyalah objek dari opini.63 Opini
tidak dapat dianggap sebagai pengetahuan valid serta universal. Opini tidaklah
yang ada di dunia ide. Untuk dapat mengetahui hakekat sesuatu, maka orang perlu
sebenarnya sudah terlebih dahulu diketahui jiwa. Sesuatu yang inderawi mampu
mengingatkan jiwa atas apa yang pernah diketahui, dan yang tidak diketahui oleh
hakekat segala sesuatu. Plato mencontohkan hal ini dengan kisah para tawanan
tawanan mengira realitas yang sebenarnya adalah apa yang ditangkap oleh indera.
Mereka pikir dunia adalah sejauh yang bisa dicerap indera; mereka tertipu dengan
informasi inderawi. Padahal, dunia yang sebenarnya berada di luar ruang tahanan.
Dunia yang sangat luas, tak terjangkau oleh indera. Plato mengisahkan bahwa
kaget. Ia sadar bahwa dunia yang sebenarnya tidak seperti yang diyakini kawan-
kawannya dalam tahanan. Karena tergerak kata hatinya, ia pun kembali untuk
63
D.W. Hamlyn, “Epistemology”, h. 10
64
Bertrand Russel, History of Western Philosophy, h. 141
42
dirasakan sampai zaman Kant pada abad ke-18. Kelak kritik-kritik Kant terhadap
kuat dan pasti sebagai fondasi bagi ilmu pengetahuan. Sistem Descartes disebut
sebagai makhluk hidup, mungkin sekali tidak nyata. Mungkin kehidupan yang
dialami saat ini hanya mimpi. Mungkin manusia tertipu, misalnya oleh setan yang
sangat jahat.67 Tidak ada yang bisa menjamin bahwa apa yang dialami bebas dari
tipu muslihat. Keraguan Descartes pada titik ini tidak diarahkan menjadi sikap
skeptis terhadap realitas. Keraguan tersebut merupakan sesuatu yang berasal dari
dalam manusia itu sendiri, dan tidak berasal dari luar. Keraguan ini menemukan
legitimasinya dalam kerja pikiran manusia yang sadar. Kesadaran adalah hal
pokok yang mendasari filsafat Barat pada masa ini. Kesadaran dibentuk dalam
skema berpikir. Pikiran manusia diupayakan menemukan suatu asas yang pasti
65
Norman F. Cantor and Peter L. Klein (ed.), Seventeenth-Century Rationalism: Bacon
and Descartes (Waltham: Blaisdell Publishing Company, 1969), h. 20
66
F. Budi Hardiman, Filsafat Barat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche
(Jakarta: Gramedia, 2007), h. 38
67
Norman F. Cantor and Peter L. Klein (ed.), Seventeenth-Century Rationalism, h. 120
43
dan memiliki legitimasi ilmiah yang kokoh. Apa yang disadari adalah kenyataan
yang sebenarnya. Kesangsian adalah hal yang paling mungkin dialami manusia
yang sadar diri. Keraguan adalah hal yang paling tidak mungkin diragukan,
bahkan oleh orang yang paling ragu sekalipun. Keraguan itu dirumuskannya
dalam kalimat, “cogito ergo sum: saya berpikir, maka saya ada”. Dalam karyanya,
dalam dirinya. Dari ide ini kelak muncul sejumlah pengetahuan. Ide tersebut
berjumlah tiga: ide bawaan (innate), ide yang didapat dari luar (adventitious), dan
68
“Jadi, karena indera menipu kita, saya telah mengira-ngira bahwa tak ada yang
dihadirkan sebagaimana adanya oleh indera. Sebagaimana orang-orang membuat kesalahan-
kesalahan dalam penalaran bahkan tentang topik-topik paling sederhana dalam geometri, saya
memutuskan bahwa saya kemungkinan besar salah seperti yang lain dan menolak semua penalaran
palsu yang saya terima sebelumnya sebagai demonstrasi valid. Akhirnya, hal-hal yang dicerap
ketika kita sadar, mungkin hadir kepada kita sama seperti ketika kita tidur. Saya memutuskan
untuk mengira-ngira bahwa tak ada yang memasuki pikiran saya lebih daripada ilusi mimpi-mimpi
saya. Namun, saya segera melihat bahwa ketika saya bermaksud memikirkan segalanya salah, hal
itu cukup benar bahwa saya yang berpikir adalah sesuatu yang ada. Karena kebenaran ini, “saya
berpikir, maka saya ada,” sangat kokoh dan terjamin bahwa orang yang paling luarbiasa skeptis
pun tak mampu menggoyahkannya. Saya menilai bahwa saya dapat menerima hal ini secara aman
sebagai prinsip filsafat pertama yang saya cari.” René Descartes, Discourse on Method and
Meditations, trans., Laurence J. Lafleur (Indianapolis: Bobbs-Merrill Educational Publishing,
1982), h. 24
69
F. Cantor and Peter L. Klein (ed.), Seventeenth-Century Rationalism, h. 130
44
priori dalam diri subjek. Ide kedua merupakan bentuk kesadaran atas benda-benda
yang ada di luar diri subjek, semisal merasakan cuaca, mendengar kegaduhan,
melihat gambaran sesuatu, dan sebagainya. Ide ketiga adalah pemikiran yang
dihasilkan subjek.
tentang substansi. Substansi tersebut terdiri dari Tuhan, pikiran, dan materi.70
Ketiga hal tersebut adalah klasifikasi tentang ide-ide bawaan, dan merupakan
yang pasti dan melekat pada diri manusia sejak lahir. Materi dalam bentuk tubuh
bagian dari ide bawaan, karena ide Tuhan juga tak terbantahkan. Tuhan adalah
titik tolak untuk mencapai kebenaran. Model pembagian seperti ini ditentang
Ide tentang Tuhan, materi, dan pikiran tidak lain adalah satu substansi. Mustahil
berada dalam kuasa Tuhan. Dengan begitu, semuanya adalah satu substansi.
Tuhan tak jauh berbeda dari substansi tunggal, begitu pula alam materi. Tuhan
yang menguasai alam, tidaklah berbeda dari alam yang dikuasainya. Oleh karena
70
Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy (Redland: American Book
Company, 1951), h. 115
71
Monisme diartikan sebagai pandangan yang meyakini adanya kesatuan tunggal, dan
menolak dualisme maupun pluralitas. Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of
Philosophy, h. 362
45
itu, yang ada adalah kesatuan dari substansi. Tuhan tidak lain dari alam, alam
tidak lain dari Tuhan. Spinoza menyebutnya, Deus sive Natura (Tuhan atau
alam).72 Tidak ada perbedaan yang jelas antara Tuhan dan alam. Kedua hal itu
hanya mewakili dua persfektif yang berbeda dalam melihat substansi tersebut.
tahap inderawi, tahap akal budi, dan tahap intuisi. Tahap inderawi memainkan
pandangan yang dihasilkan dari kemampuan inderawi. Namun, opini tidak bisa
Dengan daya akal budi, manusia dapat memilah apa yang dirasa sesuai dengan
arah yang benar, terutama karena rasio membentuk fondasi bagi kaidah
dunia. Setelah itu, taraf intuisi memberikan jaminan terhadap hasil penalaran yang
sudah mencapai tahap kepastian. Dalam taraf intuisi tidak ada kesalahan yang
kerap kali terjadi dalam penalaran. Taraf intuisi bersifat seketika, dan melalui ini
manusia mampu memahami keberadaan Tuhan. Namun, tahap intuisi ini jarang
sedikit sekali aspek-aspek dalam kehidupan yang bisa diketahui melalui tahap
72
F. Budi Hardiman, Filsafat Barat Modern, h. 48
46
yang terakhir ini. 73 Motif Spinoza sama seperti Descartes, mencoba menawarkan
sebelumnya. Bagi Leibniz, konsep tiga substansi yang digagas Descartes, maupun
kesatuan subtansi adalah kurang tepat. Yang terdapat di alam sebenarnya adalah
sesuatu. Substansi di sini merupakan suatu kekuatan primitif, yang tidak dapat
adalah substansi sederhana, yang menjadi penyusun segala sesuatu. Setiap benda
berinteraksi satu sama lain. Monad tidak dapat dilihat dengan mata telanjang,
73
Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy., h. 140
74
“Lebih jauh, tak ada cara menjelaskan bagaimana sebuah Monad dapat diubah dalam
kualitas atau secara internal diubah oleh suatu benda lainnya yang diciptakan; karena tidak
mungkin mengubah tempat sesuatu dalam Monad atau menerima dalam Monad gerakan internal
yang bisa dihasilkan, diarahkan, ditingkatkan atau dikurangi di dalamnya, meskipun semua ini
mungkin dalam kasus campuran, di mana terjadi perubahan di tiap-tiap bagiannya. Monad-monad
tidak memiliki jendela, yang melaluinya sesuatu dapat datang atau pergi. Sifat-sifat tidak dapat
memisahkan diri dari substansi-substansi, tidak juga keluar dari mereka, seperti konsep `spesies
yang diketahui secara inderawi`, yang digunakan kalangan Skolastik. Jadi, tidak substansi maupun
sifat, bisa datang dari luar masuk ke dalam Monad.” Leibniz, The Monadology and Other
Philosophical Writings, trans., Robert Latta (Oxford: Oxford University Press, 1968), h. 219-220
47
kunci pemikiran Leibniz adalah deduksi rasional, dan bukan observasi empiris.
dibentuk dari prinsip-prinsip kepastian, dan kontradiksi. Dua hal itu dapat
pernyataan. Koherensi antar kalimat dengan kalimat menjadi tolok ukur benar
evident). Pengetahuan yang termasuk kategori pertama misalnya ilmu logika dan
antara teori dengan fakta. Yang dicari dalam menentukan benar tidaknya suatu
suatu rumusan ilmiah. Hasil akhir rumusan itu terlepas dari observasi atas fakta
alamiah. Dengan begitu, pengetahuan ini tidak memberikan masukan apapun atas
fenomena alamiah, tapi hanya bisa diterapkan secara sementara pada batas-batas
eksistensial.76
observasi inderawi. Dengan begitu, pengetahuan model kedua ini sangat berbeda
75
Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy, h. 156
76
Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy, h. 155
48
sependapat dengan para rasionalis pada umumnya, tentang ide-ide bawaan. Tapi,
baginya kemampuan indera bukan sama sekali tidak memiliki andil dalam
dan keselarasan. Bagi Leibniz, kebenaran tidak didapat melalui penelusuran dari
ketiadaan. Secara potensial, kebenaran telah tertanam dalam diri manusia. Kerja
semacam ini dimulai dari hal khusus, untuk kemudian dikembangkan kepada hal-
hal yang bersifat umum. Model pemikiran seperti ini sangat menentukan dalam
pengtahuan lainnya. Kelak cara berpikir semacam ini ditentang oleh Kant. Kant
77
Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy, h. 156
49
dianggap sejajar dengan ilmu pengetahuan, dengan cara seperti itu. Tapi, Kant
C. Empirisme
Aristoteles sangat berbeda dari gurunya. Filsuf kelahiran Stagira ini memiliki
pandangan yang justru sangat bertolak belakang dari Plato.79 Aristoteles lebih
Plato dengan alam ide yang transenden adalah sebuah kekeliruan. Konsep alam
ide hanyalah sebuah “omong kosong”. Tidak ada pembuktian memadai tentang
hal itu. Kekeliruan Plato sama persis dengan kekeliruan para pemikir sebelumnya.
78
D.W. Hamlyn, “Empiricism,” in Paul Edwards, ed., The Encyclopedia of Philosophy,
vol., II (New York: Macmillan Publishing Co., Inc., and The Free Press, 1972), h. 498
79
Secara umum karya Aristoteles terbagi menjadi tiga kategori: 1) fragmen-fragmen yang
tidak selesai. Karya-karya ini dihasilkan selama belajar di Akademia Plato; 2) Tulisan kompilasi,
merupakan kaya-karya saintifik ilmiahnya; 3) Karya-karya didaktik yang ditujukan untuk
pengajaran di Lyceum. Dalam kategori pertama, tulisan Aristoteles sangat bernuansa Platonisme,
berbentuk dialog. W. Wildelband, History of Ancient Philosophy, h. 238-244
50
berhubungan dengan sesuatu yang transenden. Ia dapat diperoleh siapa saja, tanpa
berarti mengetahui sesuatu dapat dimasukkan dalam genus, dan secara lebih
spesifik dalam spesies tertentu, serta hal esensial darinya.81 Hal yang esensial ini
adalah sebuah tata tertib (order), yang menjadikannya berbeda dari sesuatu yang
yang mengharuskan adanya sebab akibat (bisa diartikan juga sebagai sebab
material); 3) sebab efisien; 4) tujuan.82 Keempat sebab ini menjadi dasar kokoh
bentuk benda-benda partikular. Jiwa itu sendiri bukanlah sebuah entitas spiritual.
definitif esensi sesuatu.83 Jiwa adalah ke-apa-an yang paling esensial dari sesuatu.
80
McKeon (ed.), Introduction to Aristotle, h. 70
81
D.W. Hamlyn, “Epistemology,” h. 13
82
McKeon (ed.), Introduction to Aristotle, h. 88
83
McKeon (ed.), Introduction to Aristotle, h. 172
51
fakultas yang dimiliki tubuh, misalnya mata. Penglihatan adalah jiwanya, atau
esensi mata, sedangkan wujud mata adalah materi. Mata berkesesuaian dengan
formula yang mengaturnya. Jika tanpa jiwa, maka mata tidak dapat melihat.
Tanpa jiwa, mata hanya menjadi sebuah nama, tanpa kemampuan daya lihat.84
partikular atas bentuk beragam macam benda. Jiwa tidak mungkin berpikir tanpa
munculnya imajinasi ibarat udara yang membatasi pergerakan pupil mata, dalam
suatu cara tertentu dalam penglihatan. Setelah itu pupil mentransmisikan hasil
suatu makna tertentu. Hal yang hampir sama berlaku pada kemampuan indera
Kemampuan indera adalah sebuah aksi potensial organ tubuh. Organ ini
bekerja dengan aturan yang ada dalam tubuh manusia. Setiap indera memiliki
sebuah alat yang tidak memiliki perangkat dan objek yang jelas. Setiap indera
memiliki fungsi tertentu, dengan objek yang berbeda-beda dan pasti. Indera
terhadap objek warna, ukuran dan bentuk. Telinga memiliki kemampuan khusus
yang berkaitan dengan suara, dan begitu seterusnya setiap indera memiliki
kemampuan tersendiri dan objek yang berbeda. Namun, terdapat beberapa indera
84
McKeon (ed.), Introduction to Aristotle, h. 173
85
McKeon (ed.), Introduction to Aristotle, h. 223
52
yang memiliki objek bersama,86 misalnya indera peraba dan indera penglihatan
dapat memperoleh pengertian tentang bentuk dan ukuran. Ada kesamaan atas
kemampuan dan objek dari beberapa indera. Hal itu alamiah. Itu semua
seperangkat aturan yang terpisah dari yang lain, maka pada titik ini akan rentan
antar kemampuan beragam indera yang ada dalam tubuh manusia. Tentunya
dengan ketentuan status indera tertentu yang lebih dominan, dari yang lainnya.
berbeda dari binatang, dalam hal penguasaan seni dan penalaran.87 Penalaran
Pikiran memberikan putusan atas apa yang diperoleh oleh indera terhadap
pikiran. Ia membagi pikiran dalam dua bentuk: pikiran pasif dan pikiran aktif.
dalam tatanan potensialitas. Dalam hal ini, pikiran hanya dapat merasakan suatu
unsur tertentu yang dipahami, bukan sebagai entitas yang dapat dipisahkan,
86
McKeon (ed.), Introduction to Aristotle, h. 188
87
McKeon (ed.), Introduction to Aristotle, h. 324-325
53
misalnya tentang wujud air. Pikiran pasif tidak mampu membedakan antara
potensi air, dengan air yang sudah diaktualkan zatnya. Sedangkan pikiran aktif,
objek. Pikiran dalam hal ini tidak tercampur, dan dapat dipisahkan, berada dalam
antara yang potensial dan aktual. Pengetahuan aktual identik dengan objeknya.
Dalam hal individual, pengetahuan potensial lebih dulu ada secara waktu dari
ruang lingkup alam semesta, sama sekali tidak yang lebih dulu atau pun
terkemudian secara waktu. Pikiran bebas dari unsur waktu. Pikiran menampakkan
sesuatu apa adanya, dan tidak lebih. Ia terus-menerus bekerja, dan tanpanya tak
adalah John Locke (1632-1704). Locke tidak setuju dengan pandangan rasionalis,
misalnya tentang ide-ide bawaan dan daya inderawi yang kurang diperhatikan.
Bagi Locke, pikiran manusia ketika dilahirkan adalah dalam keadaan kosong,
antara si cerdas dan si idiot yang keduanya sejak lahir memiliki kesempatan sama
88
McKeon (ed.), Introduction to Aristotle, h. 220
89
McKeon (ed.), Introduction to Aristotle, h. 221
90
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding in Focus, Garry Fuller, etc.,
ed., (London: Routledge, 2000), h. 50
54
ketika lahir semacam kertas putih, kosong. Pikiran mendapat pengetahuan setelah
“The senses at first let in particular ides, and furnish the yet empty
cabinet: and the mind by degree growing familiar with some of them, they
are lodged in memory, and names got to them. Afterward the mind
proceeding farther, abstracts them, and by degree learns the use of
general names.”92
dari penginderaan yang sangat rumit, bersifat partikular, yang kemudian menjadi
sebuah bentuk kompleks. Ide dengan begitu di bentuk dalam ruang yang berasal
dari faktor eksternal. Menurut Locke, manusia mendapat ide lewat sensasi dan
refleksi. Dengan sensasi manusia bisa mengetahui hal-hal semacam warna, suara,
cuaca, dan sebagainya. Melalui refleksi, manusia dapat menjadi sadar terhadap
itu, manusia dapat menerima ide-ide kesatuan, keteraturan, kesakitan, dan lain-
lain. Hal itu semuanya dibentuk dalam suatu susunan kerja pikiran.
Pikiran bekerja dalam hal menerima dan mengolah informasi apa adanya.
Hasil kerja pikiran disebut ide. Apa yang diterima pikiran, tetap tidak sama
dengan sesuatu yang sebenarnya. Hasil pencerapan indera, menjadi sumber utama
dalam proses pengetahuan. Ide dalam pandangan Locke, terbagi menjadi dua: ide
91
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding in Focus, h. 59-60
92
“Pertama, indera mengambil ide-ide tertentu, dan memenuhi susunan kosong: dan
pikiran meningkat sesuai derajatnya mengenali ide-ide tersebut, yang di tempatkan dalam memori,
dan menamai mereka. Pada kelanjutannya, pikiran berlanjut mengabstraksikan mereka, dan
dengan (sesuai peningkatan) derajat mempelajari kegunaan nama-nama umum tersebut.” John
Locke, An Essay Concerning Human Understanding in Focus, h. 51
93
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding in Focus, h. 67-68
55
sederhana dan ide kompleks.94 Ide sederhana adalah infromasi yang dihasilkan
menjadi sumber bagi suatu skema yang lebih luas, yakni ide kompleks. Ide
terdiri dari kelompok-kelompok, dan tipe yang berbeda-beda. Ada tipe kurus,
gemuk, tinggi dan pendek. Ini disebut fakta-fakta partikular. Dari data itu
manusia secara umum. Hasil terakhir ini disebut ide kompleks. Dalam kinerja
untuk menghasilkan ide, pikiran didorong oleh suatu kekuatan tersembunyi yang
primer merupakan sesuatu yang melekat pada objek, tidak bisa dipisahkan dan
dapat ditangkap subjek. Kualitas primer adalah asas objek, misalnya gerakan,
perluasan, durasi waktu, dan kepadatan. Adapun kualitas sekunder adalah unsur-
unsur subjektif, yang tidak memiliki realitas metafisik. Ia tidak terdapat di dalam
objek. Kualitas sekunder adalah kekuatan yang muncul dalam diri manusia berupa
berbagai macam sensasi, yang dihasilkan oleh kualitas primer.97 Ia bersifat relatif,
misalnya warna, suara, rasa, dan sebagainya. Lewat kualitas sekunder, nyala api
dapat menghasilkan sensasi panas dan membakar. Sensasi ini muncul dalam diri
94
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding in Focus, h. 71
95
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding in Focus, h. 76
96
Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy, h. 185
97
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding in Focus, h. 144
56
manusia. Sensasi api tersebut dihasilkan dari kualitas primer yang berada dalam
Pembagian Locke atas ide dan kualitas, tidak bisa diterima oleh George
pengalaman adalah sama. Tak ada perbedaan antara persepsi, kualitas, ide, dan
indera. Segala bentuk hal-hal metafisik, pada dasarnya tidak berwujud, karena
tidak bisa diketahui lewat indera. Terkenal diktum dari Berkeley: Esse est percipi
karena dapat diterima indera; objek-objek di luar manusia dianggap ada selama
diterima keberadaannya berkat persepsi indera. Sehingga jika persepsi itu tidak
ada, maka objek material tidak ada sama sekali. Kesadaran subjek dalam
Dengan begitu, dunia tidak lebih dari kesan-kesan. Namun, Berkeley menghadapi
dengan mengemukakan adanya pikiran atau roh tak terbatas, yang diidentifikasi
sebagai Tuhan. Tuhan tidak saja diartikan sebagai pencipta segala sesautu. Bagi
mempergunakan inderanya.99
98
Robert Ackermann, Theories of Knowledge, h. 149
99
Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 66
57
Ia sepakat dengan kedua tokoh empiris Inggris terkait tidak adanya ide-ide
diyakini Locke, Hume memandangnya tidak lebih dari sekedar persepsi. Konsep
dan tidak lebih. Objek di luar kesadaran manusia tidak termasuk yang dipikirkan.
Di samping itu, menurut Hume tidak ada hubungan yang jelas antara persepsi
persepsi subjek tidak bisa ditemukan secara jelas. Yang kemudian dijelaskan
dengan benda-benda, misalnya bola billiard berbentuk bulat, merah, dan padat.
Dari situ pikiran menangkap kesatuan konsep tentang bola tersebut. Pada dasarnya
keberadaan substansi bola itu sebatas ada dalam pikiran. Persepsi yang dialami
subjek bersifat khayali. Substansi adalah kumpulan persepsi atas benda. Begitu
bermasalah. Kesadaran hanya dialami ketika keadaan tertentu, yakni saat persepsi-
100
Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy, h. 218
58
persepsi bekerja. Kesadaran hanya keadaan sementara. Ketika tidur, atau setelah
menolak adanya ketetapan standar hukum ini. Baginya mustahil dijelaskan secara
yang terjadi diiringi peristiwa lainnya, tidak bisa langsung disimpulkan ketetapan
hukum universal. Yang justru terjadi adalah keberurutan peristiwa, misalnya api
membakar kertas. Pada peristiwa itu tidak bisa disimpulkan terdapat hukum
bahwa api membakar kertas yang niscaya. Hal itu hanya berada dalam batas
101
David Hume, A Treatise of Human Nature (Middlesex: Penguin Book, 1985), h. 300
102
Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy, h. 220
103
David Hume, A Treatise of Human Nature, h. 131
59
BAB IV
KONSEP TRANSENDENTALISME
ditinggalkan dan tidak terselesaikan dari kedua kutub, baik rasionalisme maupun
yang lebih kuat. Dalam beberapa hal, sebagian kalangan menilainya hanya
proyek filosofis yang disebutnya “filsafat kritis”, yang menandai arah baru upaya
Kant terlebih juga menguji sampai di mana batas-batas yang jelas dari akal, guna
104
Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge: An Analytical Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2004), h. 3
105
F. Budi Hardiman, Filsafat Barat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche
(Jakarta: Gramedia, 2007), h. 133
60
Dalam beberapa hal, Kant sependapat dengan kaum rasionalis. Tapi, tidak
muncul dari pengalaman.106 Kant juga mendukung aspek a priori dari subjek.
klaim atas hal tersebut tidak bisa dibuktikan. Pengetahuan membutuhkan bukti
dan fakta, sehingga tidak hanya konsep abstrak. Pengetahuan berkaitan dengan
data empiris yang bisa diuji. Pengetahuan ilmiah tidak bersifat subjektif, atau
eksklusif, sehingga dapat diamati dengan kaidah tertentu oleh siapa pun.
berguna untuk memberikan arah bagi kehidupan. Bisa jadi bagi sebagian orang,
yang diraih. Sedangkan metafisika, berkaitan dengan sesuatu di luar hal fisik.
106
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans., Paul Guyer and Allen W. Wood
(Cambridge: Cambridge University Press, 2000), h. 127
107
Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 4
108
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 147
61
Dalam posisi ini, kedudukan Kant lebih condong dengan kaum empiris. Kaum
pengetahuan hanya berasal dari persepsi inderawi atau dari kesadaran introspektif.
tersebut tidak menghasilkan pengetahuan metafisis, dan sama sekali lepas dari
unsur-unsur abstrak. Dengan kata lain, konsep sebab akibat misalnya, tidak bisa
abstrak, yang mengacu pada sesuatu yang transenden. Tuhan berada di luar batas
“One has already gained a great deal if one can bring a multitude of
investigations under the formula of a single problem. For one thereby not
only lightens one’s own task, by determining it precisely, but also the
109
Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 4
110
Istilah commonsense sebagai pemahaman yang berasal dari pikiran sehat sehari-hari
yang sudah menjadi kebiasaan, misalnya keniscayaan kausalitas. Hal itu yang mendapat serangan
Hume. Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy (London: Penguin Books
Ltd., 2000), h. 256
111
Salah seorang pengkaji Kant, P.F. Strawson, memiliki pandangan berbeda dari
beberapa komentator lainnya. Ia tidak mereduksi proyek epistemologis Kant pada upaya
menjawab putusan sintetik a priori, melainkan pada pertanyaan: Apa yang bisa kita ketahui
tentang struktur pengalaman yang bisa dipahami oleh kita sendiri? Georges Dicker, Kant’s Theory
of Knowledge, h. 45
62
Secara garis besar, kalangan rasionalis dan empiris setuju terdapat putusan
putusan yang kebenaran dari putusan itu didapatkan dari analisis kata-kata yang
sudah berada di dalam subjek. Putusan ini tidak memberi nilai tambah apa-apa
terhadap realitas di luar subjek. Dengan kata lain, predikat dalam putusan itu
sudah berada dalam subjeknya. Putusan semacam ini disebut juga putusan
(memiliki bentuk dan ukuran). Dalam kalimat ini, kebenaran infomasi sudah
setiap tubuh sudah menjadi keniscayaan memiliki ukuran dan bentuk. Bahkan jika
misalnya tidak ada tubuh sama sekali, putusan tersebut bisa diterima.115 Oleh
112
“Seseorang sudah mendapatkan kemajuan besar, jika ia bisa membawa keragaman
penyelidikan di bawah formula dalam sebuah masalah. Karena dengan begitu, ia tidak hanya
mencerahkan tugasnya sendiri, dengan menentukannya secara tepat, tapi juga putusan dari orang
lain yang menginginkan untuk menguji apakah ia telah memuaskan rencana kita atau tidak.
Problem yang sebenarnya dari akal murni, sekarang terdapat dalam pertanyaan berikut: Bagaimana
putusan sintetik a priori itu mungkin?” Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 146
113
Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 16
114
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 141
115
Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 13
63
mampu menambah sesuatu kebenaran baru pada subjek. Putusan semacam ini
disebut juga putusan amplifikasi.116 Dalam putusan ini, predikat tidak berada
berat). Predikat putusan tersebut, berisi informasi baru yang sebelumnya tidak
subjek. Selain itu, putusan ini mencakup pula semua putusan yang berkaitan
dengan pengalaman. Karena berisi informasi baru, maka realitas empiris ikut
“semua tubuh berat”, dinyatakan dalam ruang yang tidak ada daya gravitasi, maka
dengan kenyataan empiris. Istilah a priori dan a posteriori merupakan dua bentuk
Kant sepakat dengan kaum rasionalis dan empiris mengenai ketiga putusan
di atas. Namun, ia menolak bahwa putusan sintetik a priori tidak mungkin. Kant
adalah hasil penalaran yang tidak diperoleh dari analisis angka 7 dan 5. Jumlah 12
adalah informasi baru. Selain itu, proposisi matematis selalu bersifat a priori,
116
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 141
117
Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 13
118
Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 33
64
karena mereka membawa keniscayaan dalam dirinya, yang tidak didapat dari
aspek empiris.119 Proposisi aritmatika selalu sintetis. Oleh karena itu, selain
priori. Misalnya, proposisi “semua perubahan dalam dunia fisik tidak merubah
kuantitas materi”, atau “semua hubungan efek yang bergerak dan efek yang
berlawanan selalu sama”. Kedua proposisi tersebut, menurut Kant adalah putusan
sintetik a priori. Pada proposisi pertama, konsep “berubah” tidak diperoleh dari
analisis atas konsep materi. Materi dapat dikenali dengan kehadirannya di dalam
pula konsep “sama” dalam proposisi kedua, tidak diperoleh atas analisis semata,
tetapi, melampaui batas konsep yang dituju. Dengan begitu, kedua proposisi
tersebut adalah hasil sintesis. Selain itu, konsep berubah pada proposisi pertama
dan konsep sama dalam proposisi kedua, tidak diperoleh melalui penginderaan
berlaku a priori.120
oleh Tuhan”, “manusia memiliki jiwa”, atau “di dunia ini terdapat kebebasan”.
Bagi Kant, konsep tentang Tuhan, keabadian jiwa, kebebasan, dan sebagainya
adalah sesuatu yang tidak bisa dibuktikan lewat pengalaman, karena abstrak. Kant
119
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 144
120
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 145
65
Tapi, ketiga konsep: Tuhan, jiwa, dan kebebasan, merupakan informasi yang tidak
diperoleh dari pengalaman, dan mampu memberi informasi baru sehingga berupa
berarti sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan bukti-bukti empiris. Konsep
dalam matematika atau pun dalam ilmu alam, kendati a priori namun selalu bisa
diwujudkan dalam realitas empiris. Yang dimaksud a priori di sini adalah dapat
bukan berarti lepas sama sekali dari pengalaman. Mungkin seseorang mengetahui
konsep dalam ilmu alam, atau perhitungan bahwa 2+6 = 8 dari membacanya di
dalam buku, atau mungkin seseorang tahu dan paham pernyataan dalam kaidah
agar konsep-konsep a priori bisa diwujudkan dalam dunia nyata. Bagi Kant,
diterapkan. Kant berkata bahwa pemikiran tanpa isi adalah kosong, dan intuisi
121
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 146
122
George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 7-8
66
tanpa konsep adalah buta.123 Misalnya, seseorang berpikir tentang rumah. Rumah
dalam pikiran orang tersebut adalah sebuah konsep. Agar konsep bisa diketahui,
dan dipahami, harus mampu diwujudkan dalam tataran empiris. Sesuatu bisa
dimulai.124 Kesadaran itu selalu terarah kepada objek. Untuk dapat menangkap
objek melalui suatu cara tertentu. Fungsi sensibiltas hanya menangkap dan tidak
merupakan suatu cara di mana subjek yang mengamati objek. Subjek dengan
objek. Dalam pandangan Kant, yang terjadi adalah sebaliknya. Justru objek yang
123
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 193-194
124
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 136
67
“Hence let us once try whether we do not get farther with the problems of
metaphysics by assuming that the object must conform to our cognition,
which would agree better with the requested possibility of an a priori
cognition of them, which is to establish something about objects before
they are given to us. This would be just like the first thoughts of
Copernicus, who, when he did not make a good progress in the
explanation of the celestial motions if he assumed that the entire celestial
host revolves around the observer, tried to see if he might not have greater
success if he made the observer revolve and left the stars at rest. Now in
metaphysics we can try in a similar way regarding the intuition of objects.
If intuition has to conform to the constitution of objects, then I do not see
how we can know anything of them a priori; but if the object (as an object
of the senses) conforms to the constitution of our faculty of intuition, then I
can very well represent this possibility to myself.”125
dari objek atas kapasitas representasi yang dipengaruhi objek, oleh Kant disebut
sensasi disebut empiris (empirical), dan objek-objek intuisi empiris yang sudah
hadirnya penampakkan, menurut Kant, terdapat dua bentuk fungsi murni intuisi
sebagai prinsip kesadaran a priori: ruang dan waktu.127 Dua hal ini dijelaskan
sebagai bagian dari estetika transendental. Dengan ini, posisi Kant cukup jelas. Ia
125
“Oleh karena itu, mari kita upayakan apakah kita tidak melangkah lebih jauh dengan
problem metafisik dengan mengasumsikan bahwa objek harus menyesuaikan dengan kesadaran
kita, yang lebih baik dengan kemungkinan sebuah kesadaran a priori tentang mereka, yang harus
menyusun sesuatu tentang objek sebelum mereka hadir kepada kita. Ini akan menjadi seperti
pemikiran pertama Kopernikus, ketika ia tidak membuat kemajuan dalam pergerakan benda-benda
langit, jika ia mengasumsikan semua benda-benda langit berevolusi mengitari pengamat (manusia
di bumi), berusaha melihat apakah ia tidak memiliki keberhasilan besar jika membuat pengamat
berevolusi dan membiarkan bintang-bintang tetap diam. Sekarang, dalam metafisik kita bisa
mengusahakan hal yang sama berkenaan dengan intuisi objek. Jika intuisi harus berkesesuaian
dengan susunan objek, saya tidak mengerti bagaimana mengetahui mereka secara a priori; tapi
jika objek (sebagai objek inderawi) menyesuaikan dengan susunan fakultas intuisi kita, maka saya
bisa dengan sangat baik menghadirkan kemungkinan ini kepada diri saya sendiri. ” Immanuel
Kant, Critique of Pure Reason, h. 110
126
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 155, 172
127
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 174
68
dengan lainnya, dalam penampakkan dan bukan dalam benda pada dirinya. Ruang
tidak bersifat diskursif. Tapi, intuisi murni a priori, yang menjadi dasar semua
intuisi luar. Jika tidak ada ruang, maka tidak ada yang bisa hadir kepada subjek.128
Sama seperti ruang, waktu bukan konsep empiris yang didapat dari
Secara tegas Kant menyatakan bahwa waktu adalah sesuatu yang riil, yakni
sebuah bentuk riil dari intuisi terdalam.129 Waktu mendasari kemungkinan prinsip
hubungan apodiktik waktu, atau aksioma secara umum. Dengan waktu, aktualisasi
setiap penampakkan menjadi mungkin. Waktu hanya satu, tidak simultan, tetapi
beruntut. Waktu tidak bisa menentukan batas penampakkan luar, atau bentuk dan
Hubungan antara ruang dan waktu adalah sebagai berikut. Waktu adalah
Sedangkan ruang, sebagai fungsi murni a priori intuisi luar, terbatas sebagai
sebuah kondisi murni dengan intuisi luar. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa
setiap penampakan luar berada di dalam ruang dan ditentukan secara a priori
batas-batasnya oleh ruang. Dalam kaitan ini, semua penampakkan secara umum,
yakni semua objek indera dalam keadaan terdalam berada di dalam waktu, dan
128
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 175
129
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 182
130
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 180
69
secara tepatnya berhubungan dengan waktu.131 Penegasan Kant tentang ruang dan
penampakkan.
Kant tidak sependapat dengan Newton yang menganggap ruang dan waktu
itu riil dan absolut. Bagi Newton, ruang dan waktu dianggap riil karena berada di
dunia nyata dan terlepas dari pikiran manapun, kecuali pikiran Tuhan. Disebut
absolut, karena ruang dan waktu ada secara independen dan melekat pada diri
subjek. Andaikata tidak ada hal-hal empiris pun, maka keduanya tetap ada. Kant
juga tidak sependapat dengan Leibniz yang berpendapat bahwa ruang dan waktu
keduanya adalah ideal dan relatif. Bagi Leibniz, ruang dan waktu hanya berkaitan
dengan penampakan monad, sehingga bersifat ideal dan tidak riil. Namun, Leibniz
tidak beranggapan bahwa ruang dan waktu tidak nyata. Ia hanya menganggap hal
itu relatif.132 Contoh yang biasa ia berikan adalah fenomena pelangi. Bagi Leibniz,
munculnya pelangi merupakan sebuah fenomena yang tidak bisa dikatakan riil.
Hal itu hanya penampakan monad yang bersifat ideal, karena berkaitan secara
Menurut Kant, ruang dan waktu secara empiris riil dan secara
transendental ideal. 133 Disebut riil, karena ruang dan waktu berkaitan dengan
berupa sintesis antara unsur a posteriori dan a priori, namun penampakan adalah
hal yang nyata dan bukan ilusi. Dengan penampakan itu, subjek mendapat
informasi yang akan diteruskan ke dalam struktur a priori lain dalam dirinya.
131
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 181
132
Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 28
133
Frederick Copleston, A History of Philosophy, vol. 6, Wolff to Kant (Wellwood: Burn
& Oates, 1999), h. 241
70
Disebut ideal, karena keduanya berada dalam tatanan a priori subjek. Ruang dan
waktu memberi validitas dan menentukan batas-batas tertentu sejumlah data yang
didapat dari luar. Salah seorang komentator Kant, H.J. Paton, menggambarkan
kedua hal itu seperti kaca mata biru yang dikenakan pada setiap orang.134 Dengan
kaca mata itu, apa pun yang dilihat subjek, akan terlihat dan disesuaikan dengan
kondisi kaca mata yang berwarna biru. Dengan demikian, penampakan sudah
Menurut Kant, pandangan bahwa ruang dan waktu adalah absolut, tidak
“Those, however, who assert the absolute reality of space and time,
whether they assume it to be subsisting or only inhering, must themselves
come into conflict with the principles of experience. For if they decide in
favor of the first (which is generally the position of the mathematical
investigators of nature), then they must assume two eternal and infinite
self-subsisting non-entities (space and time), which exist (yet without there
being anything real) only in order to comprehend everything real within
themselves. If they adopt the second position (as do some metaphysicians
of nature), and hold space and time to be relation of appearance (next to
or successive to one another) that are abstracted from experience though
confusedly represented in this abstraction, then they must dispute the
validity or at least the apodictic certainty of a priori mathematical
doctrines in regard to real things (e.g. in space), since this certainty does
not occur a posteriori, and on this view the a priori concepts of space and
time are only creatures of imagination, the origin of which must really be
sought in experience, out of whose abstracted relations imagination has
made something that, to be sure, contains what is general in them but that
cannot occur without the restrictions that nature has attached to them.”135
134
Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 30
135
“Mereka, bagaimana pun, yang menetapkan realitas absolut tentang ruang dan waktu,
apakah mereka mengasumsikannya untuk menjadi ketetapan atau hanya sesuatu yang melekat,
menyebabkan mereka jatuh dalam konflik dengan prinsip-prinsip pengalaman. Karena jika mereka
memutuskan memilih yang pertama (yang secara umum posisi penyelidik alam matematika), maka
mereka harus mengasumsikan dua non-entitas yang mempertahankan diri, tak terbatas dan abadi
(ruang dan waktu), yang ada (namun tanpa sesuatu yang riil) hanya agar meliputi segala yang riil
dalam diri mereka sendiri. Namun, jika mereka mengadopsi pilihan kedua (sebagaimana yang
dilakukan metafisikus alam), dan menganggap ruang dan waktu menjadi hubungan dari
penampakan (berikut rangkaian dari satu ke yang lain) yang diabtraksikan dari pengalaman,
malahan dihadirkan secara membingungkan dalam abstraksi ini, maka mereka harus membantah
validitas atau setidaknya kepastian apodiktik dari doktrin-doktrin a priori matematika yang
menyesuaikan dengan hal-hal yang riil (misalnya di dalam ruang), karena kepastian ini tidak
terjadi secara aposteriori, dan dalam pandangan ini, konsep-konsep a priori ruang dan waktu
71
Penilaian absolut tentang ruang dan waktu tidak memberi penjelasan yang
prinsip pengalaman. Dengan alasan ini pula, Kant menentang pendapat idealisme
dogmatik. Misalnya, pandangan Berkeley tentang objek dalam ruang yang hanya
dengan sangat tegas mengatakan bahwa realitas yang ditangkap subjek adalah
nyata, bukan ilusi, dan dapat menambah informasi kepada subjek menyangkut
anggapan ruang dan waktu adalah relatif. Argumentasi yang diajukannya semisal
dan a priori. Dalam perhitungan di atas, predikat “jarak terpendek antara dua
titik”, tidak diperoleh dari data inderawi, melainkan a priori. Tidak juga predikat
itu berisi di dalam subjeknya; tidak didapat dari analisis atas subjek. Tapi,
bersifat sintetik. Oleh karena itu, tidak benar bahwa perhitungan geometri didapat
Dengan demikian Kant mampu menghadirkan bukti kokoh bahwa ruang begitu
ideal, dalam arti ia tidak didapat dari objek empiris, dan hanya diperoleh melalui
intuisi subjek.137
hanya bentuk-bentuk majinasi. Asal usul tentangnya harus dicari dalam pengalaman, keluar dari
imajinasi hubungan yang diabstrasikan membuat sesuatu, yakin, berisi apa yang umum dalam
mereka. Tapi, itu tidak bisa terjadi tanpa pembatasan yang secara alamiah telah melekat kepada
mereka. ” Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 184
136
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 145
137
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 176
72
Dengan ruang dan waktu, Kant menganggap segala sesuatu yang diperoleh
daya sensibiltas dari luar, sudah ditentukan batas-batasnya oleh kedua fungsi a
priori tersebut. Dengan begitu, penampakan menjadi sesuatu yang sudah tidak
Fenomena berbeda dari noumena. Wujud benda pada dirinya sendiri adalah
sesuatu yang masih bersifat misteri, dan berada di luar jangkauan manusia.
tersebut, ada hal lain yang harus dipenuhi sebelum bisa menghasilkan
putusan-putusan.
kedua yang harus dilalui untuk munculnya pengetahuan setelah tahap indera
(Sinnlichkeit).
138
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 360
139
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 362
140
F. Budi Hardiman, Filsafat Barat Modern, h. I32
73
lepas dari objek empiris. Namun, tidak setiap kesadaran a priori disebut
baik intuisi atau konsep, dapat diterapkan secara keseluruhan a priori. Bukan
hal tersebut, yang hakikat asal-usulnya tidak diperoleh dari pengalaman, dan
empiris. Oleh karena itu, objek-objek sensibiltas yang berada di dalam ruang
maupun waktu, tidak bisa disebut transendental, melainkan empiris. Tapi, fungsi
ruang dan waktu yang memberi batas terhadap objek-objek tersebut, disebut
yang empiris berkaitan dengan kritik kesadaran, dan tidak berkaitan dengan
hubungan mereka dengan objek-objeknya.141 Dari sini dengan jelas bahwa filsafat
transendental Kant, mengupas aspek-aspek a priori subjek secara lebih tajam dan
dalam.
segala objek hadir dan diterima oleh daya sensibilitas. Melalui yang kedua, segala
disesuaikan dengan pikiran. Intuisi dan konsep adalah dua hal yang menyusun
141
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 196
74
representasi, disebut empiris jika masih tercampur dengan sensasi. Sedangkan jika
sensasi sudah disisihkan dari representasi, maka disebut murni. Hal terakhir ini
membutuhkan intuisi, tapi juga adanya konsep. Intuisi murni hanya berisi bentuk-
pemikiran dari objek secara umum. Kedua hal ini bersifat a priori.
Bagi Kant, jika tidak ada sensibilitas, maka tak ada objek yang bisa hadir.
Sebaliknya, tanpa pemahaman, tidak ada objek yang bisa dipikirkan. Kedua hal
tersebut tidak bisa disamakan, dengan fungsinya masing-masing yang tetap dan
tidak berubah. Pemahaman tidak bisa mengintuisi sesuatu, dan indera tidak bisa
kesadaran bisa muncul.143 Lebih jauh Kant menganggap bahwa fungsi a priori
kedua hal tersebut begitu jelas, tapi perlu kehati-hatian agar tidak bercampur satu
aturan sensibiltas secara umum, yakni estetika, dan pengetahuan tentang aturan-
bahwa ia membagi logika menjadi tiga bentuk: logika umum, logika sebagai
142
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 193
143
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 194
75
umum bisa berbentuk logika murni dan terapan. Melalui yang pertama, kondisi
empiris diuji oleh pemahaman, dari hal-hal seperti pengaruh inderawi, imajinasi,
dengan data empiris atau transendental. Logika umum disebut terapan, jika
objeknya. Singkat kata, logika ini bukan canon pemahaman, bukan juga organon
pemahaman umum.146
Logika yang kedua disebut juga organon, atau logika sebagai alat bagi
tertuju pada bentuk logika yang terakhir, yakni logika transendental, sebagai
144
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 194
145
Kata cathartic merujuk pada kalimat catharsis yang pernah digunakan Aristoteles
mengenai efek emosional yang dihasilkan alunan musik dalam upacara keagamaan. Thomas
Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 89-90
146
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 194-195
76
konsep a priori dalam diri subjek. Logika transendental adalah pengetahuan yang
sejauh kedua hal ini berkaitan dengan objek-objek secara a priori. Logika
transendental tidak seperti halnya logika umum, atau tipe logika kedua yang
empiris maupun kesadaran akal dengan tanpa perbedaan,147 serta bukan menjadi
alat semata. Secara keseluruhan, logika transendental terbagi menjadi dua: analitik
yang tanpanya tak ada objek yang bisa dipikirkan.148 Objek dalam hal ini sudah
terlepas dari unsur luar dan berada dalam wilayah a priori. Kant membandingkan
dengan upaya memisahkan pemahaman dari unsur-unsur luar, dan yang kedua
mengisolasi data inderawi dalam ruang dan waktu dari sensibilitas. Kegunaan
mengenai kesadaran subjek atas pemahaman yang telah diisolasi dari aspek
pemahaman. Di sini kritik diarahkan kepada pemahaman dan akal, yang kerap kali
147
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 196-197
148
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 199
77
mendasarkan perkiraan pada ilusi. Kritik ini bertujuan agar pemahaman lepas dari
pengaruh cara berpikir yang keliru, dengan menemukan kesalahan perkiraan yang
proses terakhir setelah analitik transendental. Pada tahap ini, semua yang sudah
digunakan bersifat murni dan tidak empiris; 2) konsep tersebut bukan berasal dari
konsep elementer dan bisa secara jelas dibedakan dari turunannya, atau dari
konsep ini, pemahaman murni tidak saja memisahkan dirinya dari sesuatu yang
empiris, tapi bahkan dari sensibilitas. Melalui konsep murni, akan didapatkan
149
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 200
150
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 201
78
pemikiran secara langsung terhadap data yang sudah diserap indera. Pemikiran
membuat putusan terhadap data yang sudah didapat dari luar. Selain itu, yang
membedakan intuisi dari konsep a priori, yakni intuisi hanya berhubungan dengan
objek yang diintuisikan. Adapun konsep, selain berhubungan dengan objek yang
objek, tidak serta merta datang secara langsung, tapi diupayakan lewat pemikiran,
dengan banyak hal, termasuk yang hadir tanpa diupayakan (given). Misalnya
151
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 205
152
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 205
79
putusan, “semua tubuh bisa dibagi”. Menurut Kant, konsep bisa dibagi
pada dasarnya sama seperti itu. Contoh lain seperti konsep, “kuda”. Untuk bisa
mengerti tentang kuda, contoh empiris bisa dengan mudah dihadirkan, yakni
berupa bentuk fisik dari kuda, dan penjelasan bahwa kuda adalah hewan
herbivora. Namun, fakta empiris saja tidak cukup. Putusan mengarahkan sejumlah
penyelidikan abstrak, yang mengikat setiap jenis hewan yang menyerupai konsep
kuda. Dalam hal ini, diperlukan penyelidikan secara logis, bahwa jika A adalah B,
representasi, yang memungkinkan adanya representasi hal yang lebih luas atas
hal-hal yang bersifat partikular. Karena kesadaran terhadap objek dimediasi oleh
informasi terkait objek yang hadir melalui intuisi. Menurut Kant, jika kita
mengabstraksikan isi semua putusan secara umum, dan sampai pada bentuk
153
Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 52
154
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 205
80
dikelompokkan ke dalam empat jenis putusan. Tiap jenis putusan membawahi tiga
1.
Putusan Kuantitas
Universal
Partikular
Singular
2. 3.
Putusan Kualitas Putusan Relasi
Affirmative Kategoris
Negative Hipotetis
Ketidakterbatasan (infinite) Disjunktif
4.
Putusan Modalitas
Problematis
Penegasan (Assertotic)
Keniscayaan (Apodictic)
yang pertama putusan universal. Yang kedua disebut partikular. Yang ketiga
pasti mati”. Dalam putusan ini, subjek makhluk mencakup segala sesuatu yang
bernyawa, tanpa pengecualian. Hal ini dapat dipahami secara sederhana. Tapi,
di atas, “semua makhluk hidup pasti mati”. Proposisi ini tidak saja merupakan
155
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 206
156
Paul Guyer, Kant (New York: Routledge, 2007), h. 73
81
contoh di atas diubah menjadi, “manusia pasti mati”. Maksud dalam kalimat ini
hanya berlaku pada jenis makhluk hidup yang disebut manusia, sehingga
bersifat khusus. Selain itu, juga berisi maksud putusan affirmatif, kategoris, dan
apodiktif. Kemudian, ketika subjek putusan itu diubah menjadi nama pribadi
seperti, “Budi pasti mati”, maka predikat dalam putusan ini hanya mencakup
sosok tertentu. Kalimat ini termasuk dalam putusan singular, affrimatif, kategoris,
dan apodiktif.
Bagian kedua adalah putusan kualitas. Putusan ini memiliki tiga bentuk.157
suatu hal, yakni makhluk hidup. Putusan ini dikategorikan affirmatif, karena
“jiwa bukan elemen bagi makhluk hidup”, maka menjadi contoh putusan negatif,
singular, kategoris, dan problematik. Tapi, Kant tidak berhenti dalam wilayah ini.
Baginya, jika suatu kalimat ditarik lebih jauh, maka dapat diketahui bahwa
maknanya berada dalam bentuk yang lebih luas tak terbatas. Misalnya dikatakan,
157
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 207-208
82
“itu bukan makhluk hidup”. Kalimat ini mencakup segala hal yang bukan
makhluk hidup, dan tidak terbatas (infinite). Kalimat tersebut, juga berisi maksud
berbagai proposisi. Hubungan tersebut juga turut menandai kejelasan makna. Hal
ini disebutnya putusan relasi. Kant membaginya menjadi: kategoris, hipotetis, dan
disjunktif. 158 Yang pertama adalah putusan yang terdiri dari subjek dan predikat.
Dua komponen ini membentuk sebuah putusan, tanpa disertai unsur lain dari luar.
Contohnya seperti kalimat yang sudah disebutkan di atas, “manusia pasti mati”.
Putusan ini dibentuk dalam susunan subjek-predikat, dalam bentuk satu proposisi,
serta dapat memberi makna tanpa mengaitkan unsur-unsur lain dari luar. Selain
Yang kedua adalah putusan yang dibentuk oleh dua proposisi. Jika yang
ada hanya satu, maka tidak bisa memberi makna secara sempurna. Artinya,
keniscayaan hubungan kedua proposisi, menjadi unsur luar yang harus ada agar
dipanaskan sampai 100 derajat celcius”. Putusan ini terdiri dari dua proposisi,
dan problematis. Yang ketiga adalah putusan yang dibentuk dari banyak proposisi.
Misalnya putusan, “dunia ada, apakah melalui kesempatan buta, atau melalui
keniscayaan terdalam, atau karena sebab abadi”. Susunan kalimat ini secara
158
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 208-209
83
menurut proposisi pertama, atau menurut proposisi kedua, atau ketiga, tidak ada
kejelasan. Dalam putusan itu, tidak ada kontradiksi, sehingga termasuk jenis
putusan tertentu, yakni yang pertama singular, affrimatif, dan apodiktif; yang
kedua dan seterusnya adalah bentuk putusan singular, affirmatif, dan problematis.
penjelasan tentang isi dari putusan. Putusan modalitas hanya berkenaan dengan
umum.160 Kant mengakui bahwa putusan modalitas tidak selalu dinyatakan dalam
problematik, assertotik, dan apodiktik. Misalnya dapat dilihat dalam kalimat, “jika
ada keadilan sejati, maka iblis jahat harus dihukum”. Dalam putusan ini, informasi
yang dijelaskan berisi suatu maksud yang dikaitkan dengan kondisi subjek. Dalam
selera tertentu dari subjek. Putusan ini hanya berkesesuaian dengan sikap subjek,
tetap bisa diterima. Dalam hal ini, kemungkinan terciptanya keadilan sejati
sehingga iblis jahat bisa dihukum, atau justru sebaliknya tidak ada keadilan sejati,
Kemungkinan apapun bisa terjadi, sejauh dipahami dalam ruang lingkup subjek.
assertotik.
Kant lahir di Königsberg”. Putusan ini membatasi informasi yang berisi fakta
dalam kenyataan. Selain itu, kalimat ini juga termasuk putusan singular, dan
affirmatif. Sedangkan bagian ketiga, yakni apodiktik, adalah putusan yang berisi
keniscayaan. Misalnya dalam kalimat, “manusia pasti mati”. Putusan ini berkaitan
dengan informasi yang bersifat niscaya bahwa manusia pasti mati. Kendati
putusan modalitas terkait dengan kehendak subjek, isi putusan apodiktif diarahkan
rasional. Selain itu berisi apodiktif, kalimat tersebut juga berisi putusan partikular,
upaya menjembatani antara objek dan kesadaran. Tanpa itu, kesadaran terhadap
data yang sudah ditempatkan dalam ruang dan waktu tidak bisa muncul. Dalam
kerjanya, putusan mengarahkan sejumlah representasi objek dari ruang dan waktu
163
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 209
164
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 210
85
dalam satu kesadaran. Keragaman objek diolah dan ditempatkan ke dalam skala
yang lebih sederhana. Fungsi ini menimbulkan sebuah sintesis, antara pelbagai
dan menyatukan mereka dalam bentuk-bentuk tertentu. Bentuk tersebut adalah hal
secara a priori bagi kesadaran atas semua objek adalah keragaman intuisi murni.
Setelah itu, muncul sintesis keragaman, yang diperoleh melalui imajinasi. Namun,
kedua hal itu belum bisa menghasilkan kesadaran secara utuh. Dibutuhkan hal lain
agar kesadaran bisa muncul, yakni konsep yang memberikan kesatuan sintesis
165
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 210
166
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 211
167
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 211
168
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 212
86
1.
Kategori Kuantitas
Kesatuan (Unity)
Pluralitas (Plurality)
Totalitas (Totality)
2. 3.
Kategori Kualitas Kategori Relasi
Realitas Substansi dan Aksidensi (Substantia et Accident)
Negasi Kausalitas dan Ketergantungan
Limitasi Komunitas
4.
Kategori Modalitas
Kemungkinan-Kemustahilan
Eksistensi-Non-Eksistensi
Keniscayaan-Kontingensi
jumlah kategori menurut Kant, berbeda sama sekali. Kategori dalam pengertian
Kant diartikan sebagai elemen dalam semua pengetahuan, dan berjumlah dua
(sejenis predikat), atau kind of being (sejenis wujud), dan berjumlah sepuluh buah,
169
Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 89
87
empat tema utama, bekerja dalam tatanan rasional, dan merupakan turunan
elemen objek. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kategori tersebut, dalam
skala ketat, memberi legitimasi pertimbangan rasional yang terlepas dari unsur a
Ia melanjutkan,
170
Istilah umum dalam logika yang menunjuk pada predikat. Penggunaannya sudah
digunakan sejak Aristoteles dalam lima bentuk: horos, idiom, genos, diaphora, symbebēkos.
Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 442-443
171
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 213
172
“Kategori-kategori adalah konsep-konsep yang menggambarkan hukum a priori
terhadap penampakkan, demikian pula terhadap alam sebagai jumlah total semua penampakkan
(nature materialiter spectata)…” Ia melanjutkan, “…jadi, pada kategori, semua persepsi yang
mungkin, karena segala hal yang bisa mencapai kesadaran empiris, yakni semua penampakkan
alam sejauh perhatian kombinasi mereka, berdiri di bawah kategori-kategori, di mana alam
(dipertimbangkan hanya sebagai alam secara umum) bergantung, sebagai dasar yang asli bagi
keabsahan hukum yang mungkin (sebagai natura formaliter spectata)”. Immanuel Kant, Critique
of Pure Reason, h. 263
88
diketemukan beberapa bentuk kategori. Berikut ini penjelasan satu persatu kedua
C.1. Kuantitas
kuantitas terdiri dari: kesatuan, pluralitas atau kejamakan, dan totalitas. Hubungan
dipahami dalam kesatuan yang tidak dibatasi, tidak beberapa, tapi semua.
adalah marmer”. Dari kalimat tersebut, yang muncul bukanlah kesatuan, tapi
kejamakan. Makna pluralitas hanya mencakup sebagian dari sesuatu hal, dan tidak
melingkupi keseluruhan. Oleh karena itu, objek hanya berkenaan dengan maksud
tertentu. Selain kategori pluralitas, kalimat itu juga berisi kategori realitas,
173
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 286
89
Bagian yang ketiga adalah totalitas (totality). Misalnya kalimat, “batu ini
adalah batu apung”. Kategori totalitas menunjukkan makna pada suatu objek
“batu ini”, adalah tertuju pada batu tertentu, dan meliputi keseluruhan dari aspek
batu tersebut. Tidak hanya mencakup sisi atau ujung tertentu dari batu. Tapi,
maksudnya pada satu objek khusus. Menurut Kant, penjelasan ketiga kategori
tersebut berikut maksud yang dituju didapatkan secara a priori, dan lepas dari
unsur a posteriori.
C.2. Kualitas
maksud pada sesuatu yang disebut meja. Sebuah penjelasan atas benda yang
sebuah realitas yang dijelaskan sebagai meja. Realitas meja diakui sebagai objek.
Selain kategori realitas, kalimat tersebut juga berisi kategori totalitas, dan kategori
174
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 290
90
negatif bahwa objek itu bukan meja. Objek yang dituju tidak diakui sebagai meja.
Selain itu, kalimat tersebut juga berisi kategori totalitas, dan eksistensi-non-
adalah objek yang bukan manusia. Objek-objek selain manusia jumlahnya sangat
banyak, mungkin tidak terbatas. Tapi, justru hal tersebut merupakan pembatasan
pada manusia. Memasukkan sesuatu selain manusia, secara tidak langsung telah
eksistensi.
C.3. Relasi
175
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 295
91
aksidensi dapat dilihat seperti dalam kalimat, “batu itu hitam”. Kata batu
(aksidensi). Pola hubungan ini sangat erat, karena warna sebagai aksiden, melekat
pada substansi dan tidak dapat berdiri dengan sendirinya. Begitu pula benda yang
lain, dari jenisnya yang sama. Kalimat tersebut menunjukkan makna suatu
hipotetis. Dalam kategori ini, informasi menyeluruh ditopang oleh susunan dua
proposisi yang satu sama lain sudah menghasilkan makna. Kedua proposisi itu
saling melengkapi untuk membentuk kebenaran yang utuh dalam pola hubungan
sebab akibat. Selain berupa kategori kausalitas, contoh tersebut juga berisi
dan kemungkinan-kemustahilan.
92
atas kepastian hukum sebab-akibat. Menurut Hume, kaidah kausalitas adalah fakta
empiris, yang berasal dari kondisi mental subjektif dan tidak bisa dipastikan.
Sebaliknya bagi Kant, kausalitas adalah ketetapan logis yang bersifat a priori,
karena tidak didapat dari pengalaman, melainkan dari konsep pemahaman murni.
berlaku objektif.
pernyataan, “jalanan menjadi basah, karena turun hujan, atau truk pengangkut air
Apakah sumber terjadinya jalanan basah didapat dari proposisi pertama atau yang
C.4. Modalitas
176
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 321
93
modalitas, kategori modalitas tidak memberi apa-apa pada isi putusan. Tapi,
kategori ini. Namun, untuk lebih jelasnya bisa dicontohkan seperti proposisi,
ketidakmungkinan terjadinya suatu hal. Dari sudut pandang tertentu, informasi itu
tidak bisa dianggap aktual atau niscaya, kecuali dengan standar penerapannya
secara empiris. Selain itu, kalimat tersebut juga berisi kategori totalitas, dan
seperti, “Aritoteles adalah orang Stageira”. Kalimat ini berisi kategori eksistensi-
non-eksistensi, yakni suatu informasi yang berisi fakta atau kenyataan. Informasi
termasuk dari sudut pandang manapun. Selain itu, kalimat tersebut juga berisi
177
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 322
94
bisa dibuktikan secara ilmiah, dan bergantung pada sikap manusia itu sendiri.
Selain itu, kalimat tersebut berisi kategori totalitas, dan realitas. Kategori
atas, dapat dikelompokkan menjadi dua. Yang pertama adalah kategori matematis,
yakni kategori kuantitas dan kualitas. Sedangkan yang kedua disebut kategori
dalam mengarahkan eksistensi objek-objek tersebut satu sama lain, atau terhadap
pemahaman.178
D. Deduksi Transendental
bahwa fungsi a priori, semisal dua belas kategori memiliki validitas objektif yang
yakni pengetahuan yang berisi komponen a priori atas beragam objek, ketika
menampakkan dirinya kepada subjek. Oleh karena itu, tugas dari kategori tidak
178
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 215
179
Sebastian Gardner, Kant and the Critique of Pure Reason (London: Routledge, 2003),
h.130
180
Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 84
181
Paul Guyer, “The Transcendental Deduction of Categories,” in Paul Guyer, ed., The
Cambridge Companion to Kant (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), h. 131
95
manusia.182
bab tersebut ingin menegaskan dua konsep: substansi dan sebab-akibat.183 Sub-
bab tersebut adalah cara untuk menunjukkan bahwa pengalaman harus bisa
substansi, setiap kondisi dunia sebagai sebuah akibat, dan semua penampakkan
pengalaman adalah hal yang mungkin, dan pengetahuan selalu berkenaan dengan
pengalaman.
sebagai sesuatu yang bersifat tetap dengan ciri yang tidak pernah berubah-ubah.
tertentu, harus bisa dijelaskan dalam skala rasional, yang secara signifikan
182
George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 85
183
George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 85
184
Paul Guyer, “The Transcendental Deduction”, h. 135
96
Mungkin hasilnya akan berbeda-beda, karena selalu terjadi perubahan. Tapi, objek
yang diamati, pada dirinya, bersifat tetap. Hal ini sebagaimana rumusan Kant
tentang substansi.
objek berada.186 Substansi objek pada dirinya adalah tetap. Perubahan yang
nampak terjadi pada objek sebenarnya hanya atribut yang dikenakan padanya.
Semua penampakkan berisi sesuatu yang tetap (substansi), dan segala perubahan
berada pada wilayah penentuan hukum.187 Jadi, yang berubah adalah sifat objek,
Aristoteles. Substansi adalah sesuatu yang bisa menjadi subjek, tapi tidak bisa
menjadi predikat.188 Dengan kata lain, substansi bagi Kant adalah pembawa sifat
(a property-bearer), yang tidak bisa menjadi sifat. 189 Perubahan pada sifat
meliputi objek pada dirinya, bukan waktu dalam pengertian a priori subjek.
Perubahan pada sifat, bisa menyebabkan objek menjadi bentuk yang lain dari
asalnya, atau hanya merubah segelintir saja dari sifatnya. Tapi, menurut Kant,
185
George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 144
186
George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 145
187
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 299
188
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 334
189
George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 151
97
apapun yang terjadi, perubahan itu tidak akan pernah merusak tatanan kesatuan
pengalamannya.
berhubungan dengan objek. Bagi Kant, kesadaran tidak hanya tertuju pada satu
bawah kendali kesadaran diri yang sama, yakni pribadi yang menyadari.
atas pohon B, C, D, dan seterusnya. Tapi, kesadaran itu tetap berada di bawah
kendali kesadaran diri yang sama. Orang yang sadar tersebut tahu bahwa dirinya
menyangkalnya. Jadi, kesadaran atas beragam objek adalah hal yang mungkin.
Kesadaran atas beragam hal dapat disatukan di bawah satu kendali, karena
Hukum tersebut mengatur dan menghubungkan tiap-tiap objek satu sama lain
berdasarkan perangkat hukum yang tetap dan disesuaikan dengan konsep a priori
dalam diri subjek.193 Misalnya orang melihat kursi. Ia pertama melihat bagian
190
George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 162
191
George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 91
192
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 249
193
George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h.103
98
Kesadaran atas bagian kursi itu berbeda-beda, khususnya antara depan, dan
kendali kesadaran diri, karena diatur dan dihubungkan oleh hukum tetap, tak
objek, dan bisa diamati oleh siapa saja yang ingin mengetahuinya.
Lebih jauh Kant mengatakan, agar kesadaran atas beragam objek itu
dari diri mereka sendiri. Jadi, segala representasi harus bisa dipahami berasal dari
kesadaran pribadi bahwa segala representasi yang beragam berasal dari dirinya.
Kesadaran tersebut selalu berkesesuaian dengan waktu. Tidak ada kesadaran yang
bersifat tetap, abadi, dan lepas dari temporalitas. Kesadaran terhadap pengalaman
dialami seseorang. Dengannya, segala pengalaman yang diraih bisa dipahami dan
194
George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 130
195
Gilles Deleuze, Kant’s Critical Philosophy, trans., Hugh Tomlinson and Barbara
Habberjam (London: The Athlone Press, 1995), h. 15
196
George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 106
99
Ketiganya merupakan aspek yang terjadi dalam satu proses, bukan rangkaian
tahapan berjenjang yang harus dilewati. Ketiga sintesis tersebut ada bersama,
ketika seseorang sadar atas sesuatu hal. Sintesis pertama adalah suatu kondisi di
berkesesuaian dengan fungsi a priori ruang dan waktu, yang menentukan batas-
Sintesis kedua adalah reproduksi sejumlah data yang sudah didapat secara
berurutan pada masa lalu, untuk diingat dan dipikirkan pada saat ini. Data lama
yang ada di dalam pikiran dihadirkan kembali sebagai bahan pemikiran. Dari sini
dapat diketahui bahwa sintesis kedua mengaitkan sejumlah objek yang hadir
secara berurutan dalam kurun waktu tertentu, dalam hubungan yang sudah
ditentukan pula dalam masa lalu. Sintesis ini memungkinkan hadirnya objek
menghadirkan data lama dalam pikirannya, data tersebut sama seperti bentuknya
semula. Karena jika tidak demikian, maka data tersebut kemungkinan besar akan
197
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 229
198
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 229-230
100
berubah. Perubahan itu bisa menjadikan data tersebut tidak berguna; tidak valid
sebagai sumber informasi. Sintesis ini merupakan penjelasan Kant, dalam upaya
Aktivitas mental dalam mengolah data, selalu bekerja dengan aturan yang non-
representasi satu sama lain. Hukum yang mengatur bersifat tetap, sehingga bisa
cara dalam memandang waktu. Yang pertama, waktu sebagaimana dipahami dari
sudut pandang subjek. Waktu di sini sangat terkait erat dengan keberadaan subjek
dalam memandang objek. Bisa diartikan jika waktu dalam pengertian ini sangat
subjektif. Yang kedua adalah waktu dalam kaitannya dengan keberadaan objek.
Waktu ini yang menyelimuti objek, dan lepas sama sekali dari unsur subjek.
bahwa waktu itu satu dan hadir secara beruntut. Pada dasarnya, waktu tidak bisa
diterima indera (perceived), karena ia bukan objek. Pembagian atas waktu dinilai
sebagai upaya menjelaskan sudut pandang antara sisi objek dengan subjek. Secara
ontologis, keberadaan waktu bersifat a priori, tetap satu dan tidak terbagi. Namun,
pembagian itu ditujukan untuk mempermudah penjelasan. Oleh karena itu, secara
199
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 230-231
101
subjek adalah sesuatu yang hadir begitu saja (given) pada diri subjek. Sedangkan
waktu dari sudut pandang objek adalah kesesuaian objek dengan aturan a priori.
hanya berupa aktivitas mental yang bersifat subjektif, karena hanya didapat dari
kausalitas yang tidak hanya dalam hubungan konseptual, atau tataran kebenaran
semata, tapi sudah merupakan sintesis. Selain itu, Kant sepakat dengan Hume
bahwa kausalitas tidak bisa ditunjukkan dengan menerapkan konsep umum seperti
Kritik Hume atas kausalitas, sebenarnya diarahkan pada pemikiran bahwa setiap
bukti hukum kausalitas hanya bisa diterapkan pada peristiwa yang bisa nampak
(observable events)201 pada indera. Dengan begitu, setiap kejadian di luar batas-
200
David Hume, A Treatise of Human Nature, h. 131
201
George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 163
102
cara subjek menerima kejadian dalam tempo berurutan, dan perbedaannya dengan
di dalam durasi waktu tertentu secara berurutan, padahal waktu sendiri tidak bisa
dicerap indera. Selain itu, ia mempertanyakan pula kedudukan benda pada dirinya
sendiri, yang tidak bisa diketahui subjek. Di sini, Kant mempermasalahkan cara
hukum yang tetap. Hukum tersebut bekerja pada setiap peristiwa yang nampak
pada subjek, dalam waktu objektif. Waktu objektif yang dituju Kant adalah waktu
kemampuan subjek dalam menangkap objek. Yang dapat ditangkap subjek justru
hanya penampakkannya saja, dan bukan objek pada dirinya. Terlebih karena Kant
subjek adalah sifat-sifat objek dan bukan pengalaman sebagai substansi yang
kaidah a priori, untuk bisa menghasilkan sintesis atas segala hal yang bisa
menampakkan diri kepada subjek. Sintesis itu bersifat a priori, karena lepas dari
103
proses yang harus dilewati suatu peristiwa, untuk mencapai keadaan tertentu.
eksistensi objek dalam ruang di luar diri manusia, diragukan dan tidak mampu
dibuktikan, atau palsu dan tidak mungkin. Idealisme dibagi Kant menjadi dua:
diwakili oleh Descartes, dengan ketetapan hanya satu kepastian empiris, yakni,
sesuatu di dalam ruang hanyalah imajinasi, dan baik ruang maupun objek-objek di
dalamnya tidak terpisahkan dalam dirinya. Idealisme dogmatik sudah dikaji dalam
Objek luar memiliki kaitan mendalam, dan bisa dijelaskan kedudukannya secara
objektif. Misalnya, kesadaran tentang masa lalu, yang bisa hadir kembali
kesadaran tetap berbeda dari subjek. Meskipun Kant mengajukan bahwa ruang
dan waktu bersifat a apriori, tetapi objek di luar diri subjek tetap dianggap nyata.
202
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 326
104
dalam menguji beragam penampakkan. Pada tahap ini, fungsi a priori subjek
objek. Penampakkan tidak berkaitan dengan benar atau salah, sebagaimana intuisi
bekerja dalam tahap penerimaan, karena intuisi tidak memberi penilaian. Penilaian
benar atau salah berada pada tahap putusan.203 Kesalahan terjadi dalam hubungan
pemahaman subjek atas objek yang dipikirkan. Namun, selama cara berpikir
tahap analitik transendental, lalu hasilnya masuk pada tahap terakhir: dialektik
transendental. Pada tahap ini, semua jenis penampakkan yang sudah ditentukan
menyeluruh atas penampakkan objek. Di sini, fungsi a priori subjek tidak lagi
203
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 384
204
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 386
105
Kant dengan jelas membedakan dua kata: Verstand dan Vernunft. Verstand
dengan realitas empiris. Adapun Vernunft merujuk pada fakultas pemikiran, yang
tidak berhubungan langsung dengan realitas empiris. Jadi, Vernunft berbeda dari
sejumlah objek muncul dan menampakkan diri pada subjek. Lalu penampakkan
bahwa kesatuan itu merupakan kegunaan logis dari akal, yang meliputi seperangkat
aturan yang tidak diturunkan dari indera atau pun pemahaman.207 Kant mengatakan
205
Kata Vernunft dalam bahasa Jerman diterjemahkan menjadi akal budi atau intelek, dan
dibedakan dari Verstand (rasio). Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani
Sampai Abad ke-19 (Yogyakarta: Kanisius, 1997), h. 142; Di salah satu kamus, makna dua kata itu
tidak dibedakan. Lih. Adolf Heuken, SJ., Deutsch-Indonesisches Wörterbuch: Kamus Jerman
Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 565, 571; Namun, di kamus yang lain,
Verstand berarti mind (pikiran), dan Vernunft bermakna reason, common sense (akal sehat). Lih.
Veronika Schorr, dkk. (eds.), Collins Gem: German Dictionary (Glasgow: HarperCollins
Publishers, 2003), h. 209, 211; Dua penerjemah Kritik der Reinen Vernunft, Paul Guyer dan Allen
W. Wood, menerjemahkan Vernunft menjadi reason, dan Verstand menjadi understanding. Lih.
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans., Paul Guyer dan Allen W. Wood (Cambridge:
Cambridge University Press, 2000) h. 764
206
Frederick Copleston, A History of Philosophy, vol. 6, Wolff to Kant (Wellwood: Burn
& Oates, 1999), h. 278
207
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 387
106
proses pemahaman, yang ia sebut fakultas aturan-aturan. Adapun yang kedua (the
universal sebagai premis mayor yang berbentuk konsep sesuatu, disertai premis
merupakan kesadaran saat subjek menyadari hal partikular dalam universal melalui
tiga rangkaian sederhana berikut: sebuah proposisi umum sebagai dasar, dan
proposisi lain sebagai konklusi yang didapat dari proposisi sebelumnya, kemudian
kesimpulan (inference) yang berkaitan dan sesuai dengan proposisi pertama. Yang
putusan yang disimpulkan ada pada proposisi pertama, maka konklusi dapat
pemahaman.
208
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 387
209
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 388
210
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 389
107
kesimpulan yang lain. Kesimpulan semacam itu mencakup hal-hal yang affirmatif
(mortal),” sebagai premis mayor. Dalam putusan itu, terkandung makna, “beberapa
makhluk hidup”. Kemudian dari konsep umum bisa dibuat premis minor: “semua
sarjana adalah manusia”. Sarjana adalah predikat yang melekat pada sebagian
adalah makhluk hidup”. Proposisi, “semua sarjana adalah makhluk hidup”, tidak
didapat secara langsung dari kesimpulan pemahaman pada premis mayor. Tapi,
diperoleh lewat premis minor. Dengan begitu, kesimpulan akal hanya bisa
211
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 736
212
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 390
108
Pada contoh tersebut, didapat adanya kesadaran hal partikular, yakni sarjana, dalam
(inference) partikular. Proses yang ketiga dihasilkan oleh fungsi a priori akal, dan
Menurut Kant, akal murni (der reinen Vernunft) bukan hanya berisi
murni meliputi banyak putusan, seperti halnya konsep pemahaman yang berfungsi
salah atau sekedar ilusi. Kant menamakannya konsep yang mengelabui (conceptus
ratiocinantes).214
susunan kategori. Adapun konsep akal murni adalah ide-ide transendental.215 Ide
213
Kant menyebut silogisme sebagai Vernunftschluß, yang secara bahasa berarti an
inference reason. Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 390
214
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 394
215
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 395
109
menurut Kant adalah sesuatu yang merujuk pada konsep non-empiris, tidak dari
Namun, Kant menolak ide menurut Plato. Bagi Kant, Plato telah
memperlakukan konsep ide sebagai sesuatu yang abstrak: semacam pola dasar
(archetype) bagi segala sesuatu di dunia, yang tidak memiliki kaitan dengan realitas
ditentang oleh Aristoteles. 217 Ide tersebut mengalir dari akal tertinggi, dan akal
manusia bekerja dengan mengingat segala sesuatu yang sudah ada sebelumnya,
Meskipun cukup abstrak, menurut Kant, Plato tetap berpegang bahwa hasil
konkret ide berada pada tataran praktis (practical).218 Seperti ide kebebasan,
paparan pengalaman seseorang. Di sisi lain, Kant menolak pandangan Plato bahwa
alam ide adalah bentuk yang sempurna, abadi, dan tidak berubah. Bagi Kant ide
Tetapi, Plato tidak selalu salah. Kant sepakat dengannya terkait bukti-bukti
ide yang tidak hanya berada dalam tataran akal manusia, melainkan sebagai sebab
yang cukup jelas atas beragam aksi dan objeknya di alam.219 Dalam kehidupan
sehari-hari, ide bisa menjadi sebab terjadinya interaksi antara manusia dengan
manusia, dan manusia dengan alam sekitarnya. Interaksi tersebut terjadi karena
pemikiran yang menuntun manusia untuk bertindak. Pikiran sendiri dapat berisi
216
Thomas W. Wartenberg, “Reason and The Practice of Science”, in Paul Guyer, ed.,
The Cambridge Companion to Kant (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), h. 229
217
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 395
218
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 396
219
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 397
110
gambar-gambar atas fenomena alam. Namun, itu hanya sekedar gambar. Untuk bisa
mengetahui bentuk riil objek, caranya dengan melihat bentuk aslinya di dunia,
tempat manusia itu hidup, melalui sensibiltas. Cara ini tidak terlepas dari ketentuan
hukum alam yang melingkupi kehidupan manusia, begitu pula susunan akal pikiran
Bagi Kant, ide atau konsep akal (Jerman: der Vernunftbegriff)220 adalah
konsep yang dibentuk oleh gagasan atau pemikiran, yang melewati kemungkinan
pengalaman. Dengan begitu, bersifat murni a priori. Ide teoretis berlaku seperti
berbeda. Objek penyatuan yang dimaksud adalah pengetahuan empiris, yang sudah
mengalami pengujian pada tahap rasio. Konsep yang membentuk ide, selama tidak
berada dalam kerangka sensibilitas disebut notio. Kant tidak memungkiri bahwa
sumber data pikiran berasal dari luar, dan tidak menolak bahwa akal memiliki
sebagai sebuah modifikasi keadaan, maka disebut sensasi (sensatio). Jika persepsi
tersebut lepas dari pandangan subjektifitas, atau objektif, maka disebut kesadaran
(intuitus vel conceptus). Intuisi berkaitan dengan objek secara langsung, dan
bersifat singular. Sedangkan konsep ditengahi oleh catatan yang berskala umum
pada semua jenis penampakkan.222 Semua struktur dasar ini, akhirnya berperan
220
Immanuel Kant, Kritik der reinen Vernunft, nach der ersten und zweiten Original-
Ausgabe herausgegeben von Raymund Schimdt (Felix Meiner Verlag: Hamburg, 1990), h. 354
221
Thomas W. Wartenberg, “Reason and The Practice of Science”, h. 230
222
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 398-399
111
Universalitas yang dimaksud adalah jarak wilayah yang sempurna dalam suatu
tersebut sebelumnya sudah termasuk bagian premis mayor, di bawah kondisi yang
lebih luas. Kant mencontohkan bahwa kalimat, “Caius adalah makhluk hidup”,
pemahaman sudah mencoba menelusuri secara lebih detail dan luas, paparan yang
berkenaan dengan objek yang dibicarakan, yakni Caius, dengan sesuatu yang lebih
universal, maka didapatlah kata, “manusia”. Lalu dibuat susunan silogisme, “semua
manusia adalah makhluk hidup”, “Caius adalah manusia”, maka “Caius adalah
makhluk hidup”. Susunan silogisme tersebut adalah hasil kinerja fungsi a priori
menyeluruh atas objek yang berada dalam suatu kondisi. Setelah itu, baru
kesimpulannya yang diarahkan berbentuk objek tertentu. Objek tersebut berupa hal
transendental akal tidak lain adalah menemukan totalitas kondisi atas sesuatu yang
Totalitas tersebut adalah konsep akal yang selaras dengan kinerja pemahaman
223
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 399
224
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 400
112
Penelusuran itu dilakukan dalam tiga bentuk: Pertama, sintesis kategoris di dalam
disjunktif dari bagian-bagian dalam sebuah sistem.226 Ketiga bentuk sintesis itu
selaras dengan susunan kategori relasi: substansi, sebab akibat, dan komunitas.
Kant tidak bermaksud menganggap bahwa pengetahuan yang tidak dikondisikan itu
ada. Hal itu hanya sebagai cara menjelaskan bahwa akal selalu bekerja mencari
sintesis atas segala macam pemahaman dalam bentuk kesimpulan tiga macam
Sintesis atas apa yang tidak dikondisikan sebenarnya tidak pernah dianggap sebagai
pengetahuan.
hal abstrak. Kendati tidak berhubungan secara langsung dengan objek, tetapi
konsep akal berisi informasi yang berkenaan dengan realitas empiris. Rumusan ini
sains Newtonian.228
akalnya, maka akan banyak kesimpulan akal yang bermunculan. Hal tersebut
225
Sebenarnya Kant tidak menjelaskan secara eksplisit maksud a conditioned dan an
unconditioned. Tapi, jika menelusuri secara detail, kita bisa mengasumsikan bahwa yang pertama
adalah sesuatu yang memiliki kaitan dengan realitas empiris, kendati sudah dimurnikan.
Sedangkan yang kedua merujuk pada sesuatu yang tidak memiliki dasar empiris. Bandingkan
misalnya, Frederick Copleston, A History of Philosophy, h. 280
226
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 400
227
Frederick Copleston, A History of Philosophy, h. 281
228
Thomas W. Wartenberg, “Reason and The Practice of Science”, in Paul Guyer, ed.,
The Cambridge Companion to Kant (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), h. 228
113
hidup”, “semua sarjana adalah manusia”, maka “semua sarjana adalah makhluk
yang diperoleh akal. Premis mayor, “semua manusia adalah makhluk hidup”,
merupakan kesimpulan dari silogisme yang mencakup objek yang lebih luas:
“semua hewan adalah makhluk hidup”, “manusia adalah hewan,” maka, “semua
manusia adalah makhluk hidup”. Dari sini dapat dipahami bahwa kesimpulan
terakhir silogisme bisa dibentuk kembali menjadi premis mayor, yang mampu
sebelumnya diperoleh dari data yang lebih luas. Akal mampu membuat penyatuan
internal, dan juga valid dalam setiap hubungannya.229 Dengan kata lain, Kant
sesuatu yang tetap dan mungkin pada dirinya. Di sisi lain, setiap kesimpulan itu
memiliki keterkaitan, sehingga bisa dihubungkan satu dengan yang lain. Oleh
karena itu, konsep transendental akal selalu menuntun pada totalitas absolut dalam
sintesis atas kondisi-kondisi objek. Totalitas absolut tersebut bukan konsep yang
229
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 401
114
of understanding).230
sebagai penampakkan, atau objek dalam pemikiran secara umum. Kant mengatakan
bahwa dua hal tersebut dapat diperinci dengan mempertimbangkan ide atas
secara umum.231
Dari ketiga pembagian di atas, akal membuat kesatuan sintetis atas segala
Kendati ujung dari sintetis ini adalah semacam klaim metafisik, Kant tetap
mengakuinya sebagai bagian dari kerja akal. Bagi Kant, ketiga hal tersebut
membawahi ide transendental dalam tiga perincian yang berisi kesatuan absolut
rasionalis), dalam bentuk sintesis kesatuan yang tidak dikondisikan, yakni ego
permanen yang dipahami sebagai substansi. Yang kedua adalah objek kosmologi.
Di sini akal berperan mendukung sains transendental dunia atau kosmologi rasional
(cosmologia rasionalis). Akal membuat sintesis atas keragaman objek, yang terarah
230
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 402
231
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 405
232
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 406
115
spekulatif. Yang ketiga adalah objek teologi, sebagai basis rasional penalaran
teologi (theologia rasionalis). Pada bagian terakhir ini, akal mencari kesatuan yang
tidak dikondisikan dalam bentuk wujud tertinggi atas segala kemungkinan yang
bisa dipikirkan. Di sini konsep Tuhan hadir sebagai penyatu segala sesuatu.
Namun, ketiga ide tersebut tidak ditunjang oleh pemahaman dengan objek
dalam tatanan empiris. Ketiganya menjadi problem akal murni, karena tidak
pengenalan subjektif setiap individu, atas dasar kemampuan alamiah akal.234 Hal
seperti ini tidak bisa dihindari. Dengan ini Kant menjawab seseorang yang
baik bagi pemikiran ilmiah yang berbasis pada premis-premis yang tepat dan akurat
sesuai fakta, sekaligus juga struktur pemikiran yang tidak berpijak pada
Sejalan dengan fungsi akal yang bersifat regulatif, pada sisi lain akal juga
F.1. Paralogisme
silogisme, tanpa perlu melihat lebih jauh informasi yang dikandungnya apakah
salah atau benar.237 Paralogisme hanya berisi sesuatu yang bersifat abstrak, tidak
riil. Kant membagi kecenderungan ini menjadi empat: pertama, ide tentang
persepsi (ideality).238
hal tersebut. Pertama, substansi239 adalah sesuatu yang abstrak, dan tidak ada
dalam realitas.240 Kedua, kendati pemikiran dapat dikaitkan dan dipisah dengan
beragam hal, tetapi jiwa tidak bisa didistribusikan atau dibagi-bagi. Jiwa meliputi
dengan kesadaran subjek dengan penampakkan objek, dan bukan subjek pada
236
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 410
237
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 411
238
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 413
239
Lewat karya-karyanya, proyek filosofis Kant berhasil mereduksi semua fakultas atau
kapasitas jiwa menjadi tiga hal: fakultas untuk mengetahui, fakultas kesenangan dan kesakitan,
dan fakultas keinginan (desire). Immanuel Kant, Critique of Judgment, trans., J.H. Bernard
(Promoteus Books: New York, 2000), h. 14
240
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 417
241
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 419
117
dirinya yang ditentukan secara numerik.242 Keempat, kesadaran atas objek di luar
secara langsung membuktikan bahwa sesuatu di luar subjek adalah nyata berada di
dalam ruang.243 Kedudukannya yang terikat hukum sebab akibat adalah nyata, dan
tidak hanya ketika menampakkan diri pada persepsi subjek. Di sini, Kant secara
tegas menentang pandangan kaum idealis, yang tidak mengakui hukum sebab
akibat pada realitas di luar subjek, selama tidak diketahui persepsi langsung
melalui pengalaman.
F.2. Antinomi
Penjelasannya berkaitan dengan ketiga konsep: Tuhan, jiwa, dan kebebasan. Bagi
Kant, antinomi (antinomy)244 tidak berisi informasi yang bersumber dari data
empiris. Kant mengajukan empat pasang antinomi, berupa tesis sekaligus anti-
dalam waktu dan terbatas secara ruang. Anti-tesisnya berupa penyangkalan dunia
memiliki permulaan waktu, dan tidak terbatas secara ruang. Tesis kedua berupa
pernyataan bahwa semua bentuk benda-benda yang tersusun, berasal dari subtansi
Tesis ketiga berupa pernyataan bahwa segala sesuatu di alam semesta ditentukan
oleh hukum, yang mengikat dan berlaku secara objektif. Anti-tesisnya adalah
pendapat bahwa segala sesuatu memiliki kebebasan, tidak terikat hukum apapun.
Tesis keempat berupa pernyataan bahwa terdapat realitas tertinggi (an absolutely
242
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 423
243
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 429
244
Dalam logika Modern, istilah ini merujuk pada kesimpulan yang tidak mungkin. Tapi,
disusun berdasarkan bukti (proposisi) yang benar. Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary
of Philosophy (London: Penguin Books Ltd., 2000), h. 29
118
realitas tertinggi, baik di dalam maupun di luar dunia. Segala sesuatu ada dengan
bahwa semua tesis adalah pendapat milik kaum rasionalis dogmatik, sedangkan
anti-tesisnya milik kaum empiris.245 Kant tidak sepakat dengan semua tesis,
karena metafisika tidak bisa menjadi pengetahuan. Isi dari pengetahuan hanya bisa
meluas berkenaan dengan pengalaman. Begitu pula ia tak sependapat dengan anti-
Kant, akal manusia memiliki kecenderungan untuk berpikir bebas, bahkan keluar
dari batas-batas pengalaman. Di sini, posisi Kant cukup jelas, yakni menjadikan
Bagian terakhir dari kecenderungan alamiah akal adalah ideal akal murni.
Bagian ini masih memiliki kaitan dengan dua bentuk kecenderungan sebelumnya.
Kant menjelaskan bahwa ideal akal murni berupaya mencari asas-asas rasional
atas problem wujud tertinggi (the highest being, ens summum), sebagai objek di
dalam akal.246 Wujud tertinggi adalah Tuhan, sebagai penguasa alam semesta.
Menurut Kant, selama ini terdapat tiga cara pembuktian mengenai Tuhan:
(the cosmological proof); ketiga, bukti ontologis (the ontological proof).247 Tapi,
kesemua pembuktian itu tidak menguatkan kebenaran adanya Tuhan. Tuhan tetap
sesuatu yang abstrak, dan tidak bisa dianalisis. Tuhan tidak bisa dijadikan alasan
245
Frederick Copleston, A History of Philosophy, vol. 6, Wolff to Kant (Wellwood: Burn
& Oates, 1999), h. 293
246
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 557
247
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 563
119
adanya alam, beserta segala isinya. Hukum-hukum alam jelas menunjukkan arah
yang harus diselidiki akal. Menempatkan kebesaran Tuhan sebagai sumber segala
wilayah noumena. Noumena adalah benda pada dirinya, atau bisa diartikan
sebagai objek kesadaran yang tidak diproduksi oleh pengalaman inderawi.249 Ini
yang mengatur dan bersifat niscaya, yakni hukum sebab akibat. Oleh karena itu,
Tapi, kedudukannya tetap hanya sebuah ilusi. Jika kita meneliti alam dengan
berpegang pada metafisika, maka yang didapat adalah kesia-siaan. 250 Begitu pula
manusia. Ia sendiri tidak diragukan sangat percaya adanya Tuhan, kebebasan, dan
sekali tidak memiliki kesadaran secara ilmiah pada diri subjek.252 Kepercayaan
248
Immanuel Kant, Religion and Rational Theology, trans., ed., Allen W. Wood and
George Di Giovanni (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), h. 344
249
Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 391
250
Beryl Logan (ed.), Kant’s Prolegomena to Any Future Metaphysics in Focus (New
York: Routledge, 1996), h. 122
251
A.C. Ewing, A Short Commentary on Kant’s Critique of Pure Reason (Chicago:
Chicago University Press, 1984), h. 246
252
Allen W. Wood, “Rational Theology, Moral Faithful, and Religion”, in Paul Guyer,
ed., The Cambridge Companion to Kant (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), h. 406
120
pencipta alam semesta. Namun, Kant tetap yakin bahwa tidak ada bukti empiris
Vernunft.255
Ghazâlî dan Kant sangat berbeda, tapi yang dituju di sini adalah kritik dari
penalaran tersebut.
253
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans., Paul Guyer dan Allen W. Wood,
(Cambridge: Cambridge University Press, 2000) h. 570
254
A.C. Ewing, A Short Commentary on Kant’s Critique of Pure Reason, h. 198
255
Dalam karya ini, Kant berusaha menjelaskan bahwa klaim moralitas terkait erat
dengan akal praktis. Yang menarik dari Kant adalah ia sangat mengutamakan aspek kewajiban
sebagai basis kesadaran moral seseorang, yang bertumpu pada maxim-nya. Immanuel Kant,
Critique of Practical Reason, h. 40
256
Pemikiran brilian mengenainya dapat dilihat berkenaan dengan klasifikasi ilmu. Bagi
al-Ghazâlî dan beberapa sarjana Islam lainnya, ilmu bersifat hierarkis; ada yang di atas dan ada
yang di bawah. Namun, dalam rentang sejarah umat Islam, klasifikasi al-Ghazâlî adalah yang
paling bertahan hingga sekarang. Osman Bakar, Hierarki Ilmu: Membangun Rangka Pikir
Islamisasi Ilmu, terj. Purwanto (Bandung: Mizan, 1997), h. 235
121
tidak bisa memuaskan pencariannya tentang kebenaran hakiki. Hal ini karena
secara penuh kebenaran informasi dari hasil tangkapannya. Kelemahan itu bisa
berakibat fatal. Siapapun dapat keliru jika hanya berpegang pada aspek lahiriah
Ghazâlî juga menyerang daya kognitif akal, dan segala bentuk pertimbangan
rasional. Misalnya, menyerang cara berpikir ahli fiqh karena menggunakan konsep
menganggap bahwa kalâm adalah ilmu yang luhur, karena mengupas hal-hal
257
“Darimana kepercayaan kepada indera (muncul), sedangkan yang paling kuat adalah
indera penglihatan? Penglihatan melihat bayang-bayang, maka terlihat bayang-bayang itu diam tak
bergerak. Mata memutuskan tiadanya gerakan. Kemudian dengan pengujian dan penyaksian
sesaat, diketahui bahwa bayang-bayang itu bergerak, dengan pergerakan yang tidak langsung
seketika. Tapi, berangsur-angsur, sehingga tiada waktu untuk diam. Mata melihat pada bintang,
terlihat kecil seukuran dinar. Namun, bukti-bukti ilmu ukur menunjukkan bahwa ukuran bintang
lebih besar dari bumi. Ini dan contoh-contoh semisalnya merupakan hasil penemuan fungsi
inderawi. Hal itu ditolak dan diragukan oleh fungsi akal, sebagai kebohongan yang tidak ada jalan
lain kecuali membantahnya.” Abû Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâlî, Majmû‘
Rasâ`il al-Imam al-Ghazâlî, al-Juz` 7, tahqîq oleh Ahmad Syamsuddîn (Bairût: Dâr Kutub al-
‘Ilmiyyah, 1409 H.,/ 1988 M.), h. 27- 28
258
Abû Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâlî, Majmû‘ Rasâ`il al-Imam al-
Ghazâlî, al-Juz` 3 (Bairût: Dâr Kutub al-‘Ilmiyyah, 1414 H.,/ 1994 M.), h. 58
122
hampir sama seperti halnya kemampuan inderawi; tidak bisa secara total dijadikan
tersusun secara sistematis. Namun, kebenaran itu justru tidak bersifat final. Jika
terdapat argumentasi dengan alur berpikir yang lebih kokoh, maka kebenaran itu
terlihat begitu nyata. Segala sesuatu seolah hadir dan dapat dirasakan, termasuk
rasional yang hadir pada saat terjaga dan ketika bermimpi. Ia menyimpulkan
bahwa kedua keadaan itu tidak bisa dibuktikan jika berpijak pada posisi subjek.
Oleh karena itu, diperlukan hal lain sebagai basis penguat kebenaran hakiki.
khusus kepada para filosof Muslim, seperti al-Fârâbî dan Ibn Sînâ. Al-Ghazâlî
259
Al-Ghazâlî, Majmû‘ Rasâ`il al-Imam al-Ghazâlî, al-Juz` 7, h. 28
260
“….adapun ketika jiwa melihatmu meyakini banyak hal di dalam tidur,
membayangkan keadaan, dan menganggap semua itu tetap dan stabil, sehingga tidak ada keraguan
mengenai keadaan di dalamnya, kemudian kamu terbangun, dan tahu bahwa semua khayalan dan
anggapanmu tidak memiliki dasar serta kemampuan: dengan apa kamu meyakini ketika terbangun,
baik melalui indera maupun akal bahwa hal itu adalah benar (haqq), dengan mengaitkannya pada
keadaanmu di dalamnya? Padahal mungkin sekali keadaan sadarmu datang seketika, sama seperti
keadaan ketika tidur. Dengan begitu, maka sadarmu dinilai tidur dengan mempertimbangkan pada
keadaan tersebut. Maka ketika telah mengetahui keadaan itu, kamu yakin bahwa semua yang di
bayangkan akal adalah khayalan dan tidak ada manfaat darinya.” Al-Ghazâlî, Majmû‘ Rasâ`il al-
Imam al-Ghazâlî, al-Juz` 7, h. 28
123
proses yang terjadi adalah persepsi inderawi menangkap adanya suatu kejadian.
,ﺥCم ا43 ه4م أﺡ43 ورةU I و,ﺥCه وﺝد ا4ورة وﺝد أﺡU G>#,ﺥCا
وا
ت,c 6
>ع اN وا
(ر و,ﺡ"اق و
ء ا
(رV وا,$آC واP6
وا,ب6
ا
ي وا$
261
"f
ا....واء4
ء وﺵب ا6
وا,
اeوﺝ
kayu ketika bertemu api. Pada dasarnya, bukan karena api yang bisa membakar.
Terbakarnya kayu ketika bertemu api, hanya sebuah fenomena alamiah. Hal itu
tidak menunjukkan ketetapan hukum, karena api pada dirinya adalah benda mati
(jamâd). Api tidak bisa berbuat apa-apa pada kayu. Al-Ghazâlî menanggap bahwa
semua sebab kembali pada Allah.262 Dalam setiap kejadian, selalu terdapat
peristiwa alamiah. Kedua hal ini ada bersamaan. Tapi, sebab utama menjadi
penentu dalam setiap peristiwa. Sebab utama berbeda dari sebab perantara. Oleh
karena itu, sebab perantara semisal api, tidak memegang peranan primer.
261
“Pertalian antara sesuatu yang diyakini sebagai sebab, dan sesuatu yang diyakini
sebagai musabab, bukan kepastian bagi saya. Bahkan, dari keduanya bukanlah ini sebab, dan itu
musabab. Adapun ketetapan salah satunya, tidak mengindikasikan ketetapan yang lain. Begitu
pula, ketiadaan salah satunya, tidak mengindikasikan ketiadaan yang lain. Maka tak ada kepastian,
adanya salah satunya, menetapkan adanya yang lain. Begitu juga ketiadaan salah satunya, tidak
memastikan ketiadaan yang lain. Misalnya, (munculnya) rasa segar dengan minum; kenyang
dengan makan; terbakar dengan bertemu api; keluarnya cahaya dengan munculnya mathari;
kematian dengan terputusnya leher; sehat dengan minum obat, dan sebagainya.” Abû Hamid
Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah (Qâhirah: Dâr al-Ma‘ârif, 1392 H.,/
1972 M.), h. 293
262
Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah, h. 240
124
yang hatinya bersih. Pengetahun ini ia sebut ‘ilm ladunî (ilmu yang halus). Ilmu
ini tidak didapat dari penjelajahan pemikiran, sehingga terbebas dari kesalahan.
refleksi pemikiran rasional. Kehalusan ilmu ini sangat menancap di dalam hati
andaikata ada orang yang dapat mengatakan bahwa tiga lebih besar dari sepuluh,
dengan segala argumentasi yang ia miliki, hal itu tidak akan menggoyahkan
keyakinan bahwa sepuluh lebih besar daripada tiga. Yang tersisa di dalam pikiran
tidak lebih dari perasaan takjub dengan kemampuan orang tersebut. Ia berkata:
و ر إن,"!م إ ر#$)ي ' & ا$ ه! ا+,&&$ ا-"$ أن ا+$ 012"
"...7$ ذ09:$ "$<; ا: و,-!ه$ وا5"6$ا
Ia melanjutkan,
"I أ+ أG&$9@?>= ﺏ$ اG ﺏ, :GHI +$ لI !" ,=>?@$ اA 0@ة أآ0$ أن اD#"E إذاF…"
إ, +$ GMP -$ و,+:0 + < ﺏ7 أﺵ-$ ,, 7$ت ذ9 وﺵه,1"I > وM$ه)ا ا
263
".? :#"E #& 7$ اT ,&"E رﺕ9I =&R& آA S:$ا
jenis pengetahuan yang terakhir terbagi dua macam: pertama, berupa wahyu dari
Allah; kedua, berupa pelimpahan ilham. Proses yang pertama hanya berlaku
kepada para Nabi. Mereka menerima ilmu itu tanpa perlu mengamati fakta atau
Adapun proses yang kedua dapat berlaku pada manusia secara umum.264 Siapa
Peranan akal dan indera tetap dianggap penting sebagai basis penyelidikan ilmiah.
Yang hendak ditentang al-Ghazâlî adalah klaim kemutlakan kedua fungsi tersebut
adanya petunjuk dari Allah sebagai pemilik segala kebenaran hakiki. Buku Tahâfut
Ibn Sînâ—yang dinilai sangat arogan, karena memutlakkan peranan rasio. Tapi,
al-Ghazâlî sendiri tidak bermaksud mengritik filsafat sebagai ilmu. Jika yang
(kerancuan para filsuf). Dengan tegas al-Ghazâlî sendiri berkata bahwa filsafat
264
Al-Ghazâlî, Majmû‘ Rasâ`il al-Imam al-Ghazâlî, al-Juz` 3, h. 6970
265
Seyyed H. Nasr dan O. Leaman (ed.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Buku
Pertama (Bandung: Mizan, 1997), h. 331; lihat juga. M.M. Sharif, History of Muslim Philosophy,
vol. I (New Delhi: Low Publication, 1995), h. 622-623
266
Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Ghazâlî,
Mukhtasar Ihyâ` ‘Ulûmuddîn (Bairût : Dâr al-Fikr, 1993 M / 1414 H), h. 24
126
dari sudut pandang objeknya. Hal ini karena setiap ilmu memiliki objek
ilmu keagamaan dan ilmu alam, sangat berbeda kaitannya dengan penyelidikan
dan pembuktian masalah dalam kedua ilmu tersebut. Bagi al-Ghazâlî, ilmu agama
berada di atas ilmu alam dan semua yang tidak berkaitan langsung dengan
problem keagamaan. Oleh karena itu, tidak heran mengapa basis klasifikasi ilmu
yang disusun al-Ghazâlî terbagi antara ilmu sebagai fard kifâyah dan fard ‘ain.267
Pembagian semacam itu hingga saat ini cukup diterima dalam tradisi intelektual
Islam.
267
Osman Bakar, Hierarki Ilmu, h. 234
127
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
pengetahuan harus memiliki pijakan pada tataran empiris. Dengan sistem tersebut,
dalam tiga bidang: matematika, fisika, dan teologi—kendati yang terakhir tidak
sebagai bagian dari pengetahuan, termasuk konsep Tuhan, jiwa dan sebagainya.
Selain itu, Kant juga berhasil meruntuhkan klaim-klaim keliru dan berhasil
mengubah konsepsi yang selama ini dianggap valid, yakni menjadikan manusia
sebagai pengamat yang “diam”. Sebelum Kant, para filsuf menganggap subjek
mendatangi objek. Bagi Kant, yang terjadi adalah sebaliknya: justru objek yang
menampakkan diri kepada subjek. Hal ini bagi Kant, seperti revolusi Copernicus
mengajukan rumusan a priori subjek: konsep ruang dan waktu. Keduanya berada
dan mengatur segala bentuk hasil penerimaan inderawi, posisi di mana objek
menampakkan diri kepada subjek. Kant menyebut tahap ini sebagai tahap indera
128
Pada tahap kedua, Kant menyebut adanya fungsi a priori lain, yakni
putusan dan kategori. Keduanya disebut sebagai unsur a priori yang sangat
berperan dalam proses berpikir. Proses ini disebut tahap analitik transendental,
utuh. Kant menyebut tahap ini sebagai tahap pemahaman (Verstand). Pemahaman
Setelah itu, data yang sudah dimurnikan pada tahap analitik masuk ke
tahap terakhir, yakni dialektik transendental. Ini adalah tahap final, sebagai bagian
Akal tidak berhubungan dengan data empiris secara langsung. Tapi, hanya
Kuno. Kant mengubah dan menambahnya dengan argumentasi yang lebih kuat.
sejumlah kesalahan pemikiran yang hanya berbasis akal tanpa pijakan empiris,
sekaligus bantahan atas mereka yang menolak adanya pemikiran semacam itu.
penalaran tersebut secara empiris. Namun, Kant tidak menolak bentuk pemikiran
semacam itu memiliki dasar pada akal. Kant dengan tegas menyebut metafisika
Menurut Franz Magnis-Suseno, figur Kant dalam wacana filsafat Barat masih
mendapat sorotan tajam dalam lima ratus tahun terakhir. Paling tidak, satu abad
sepeninggalnya pun sudah muncul aliran filsafat yang secara terus terang
“mengikuti” Kant. Mereka disebut Neo-Kantian. Kelompok ini terbagi dua: aliran
Baden dan aliran Marburg. Dalam diskursus filsafat Jerman kontemporer, Jürgen
Kant. Hal ini mengindikasikan bahwa wacana dan perdebatan pemikiran Kant
tidak lekang oleh waktu, dan tetap relevan, bahkan hingga saat ini.
B. Saran-Saran
sejumlah kekurangan. Oleh karena itu, untuk penelitian lanjutan disarankan hal-
seorang filsuf.
130
istilah. Jika tidak bisa, gunakan teks yang diterjemahkan oleh pihak yang
penjelasan poin-poin inti dalam satu masalah. Oleh karena itu, dibutuhkan
DAFTAR PUSTAKA
Deleuze, Gilles, Kant’s Critical Philosophy, trans., Hugh Tomlinson and Barbara
Habberjam, London: The Athlone Press, 1995
Edman, Irwin (ed.), The Works of Plato, trans., The Jowet Translation, New York:
Simon and Schuster Inc., 1928
Gardner, Sebastian, Kant and the Critique of Pure Reason, London: Routledge,
2003
132
---------------------, Critique of Pure Reason, trans., Paul Guyer and Allen Wood,
Cambridge: Cambridge University Press, 2000
--------------------, Kritik der reinen Vernunft, nach der ersten und zweiten
Original-Ausgabe herausgegeben von Raymund Schimdt, Felix
Meiner Verlag: Hamburg, 1990
Leibniz, The Monadology and Other Philosophical Writings, trans., Robert Latta,
Oxford: Oxford University Press, 1968
Logan, Beryl (ed.), Kant’s Prolegomena to Any Future Metaphysics, New York:
Routledge, 1996
McKeon (ed.), Introduction to Aristotle, New York: Random House, Inc., 1947
Nasr, Seyyed H. dan O. Leaman (ed.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Buku
Pertama, Bandung: Mizan, 1997
Ravert, Jerome R., Filsafat Ilmu: Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan, terj., Saut
Pasaribu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
Russel, Bertrand, History of Western Philosophy and Its Connection with Political
and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present
Day, London: George Allen and Unwin Ltd., 1961
Sharif, M.M., History of Muslim Philosophy, vol. I, New Delhi: Low Publication,
1995
Strathern, Paul, 90 Menit Bersama Kant, terj., Franz Kowa, Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2001
Wartenberg, Thomas W., “Reason and The Practice of Science”, in Paul Guyer,
ed., The Cambridge Companion to Kant, Cambridge:
Cambridge University Press, 2006
Wood, Allen W., “Rational Theology, Moral Faithful, and Religion”, in Paul
Guyer, ed., The Cambridge Companion to Kant, Cambridge:
Cambridge University Press, 2006
َ a fathah
ِ i kasrah
ُ u dammah
َ ي ai a dan i
َو au a dan u
َ ا â a dengan topi di atas
ِْ ي î i dengan topi di atas
ُ ْو û u dengan topi di atas
iv