Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kesehatan merupakan hak dasar manusia dan merupakan salah satu

faktor yang sangat menentukan kualitas Sumber Daya Manusia.Oleh karena

itu kesehatan perlu dipelihara dan ditingkatkan kualitasnya serta dilindungi

dari ancaman yang merugikannya. Derajat Kesehatan dipengaruhi oleh

banyak faktor lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan.

Faktor lingkungan dan perilaku sangat mempengaruhi derajat kesehatan

termasuk lingkungan adalah keadaan pemukiman/perumahan, tempat kerja,

sekolah dan tempat umum, air dan udara bersih, juga teknologi, pendidikan,

sosial dan ekonomi. Sedangkan perilaku tergambar dalam kebiasaan sehari-

hari seperti: pola makan, kebersihan perorangan, gaya hidup, dan perilaku

terhadap upaya kesehatan,(Depkes RI,2009)

Kesehatan sangat di idamkan oleh setiap manusia dengan tidak

membedakan status sosial maupun usia. Kita hendaknya menyadari bahwa

kesehatan adalah sumber dari kesenangan, kenikmatan dan kebahagian.

Untuk mempertahankan kesehatan yang baik kita harus mencegah

banyaknya ancaman yang akan mengganggu kesehatan kita. Ancaman

lainnya terhadap kesehatan adalah pembuangan kotoran (faces dan urina)

yang tidak menurut aturan.Buang Air Besar (BAB) di sembarangan tempat itu

1
berbahaya. Karena itu akan memudahkan terjadinya penyebaran penyakit

lewat lalat, udara dan air,(Winaryanto, 2009)

Perilaku buang air besar (BAB) sembarangan masih terjadi di

Indonesia. Di sejumlah daerah, masyarakat masih BAB sembarangan di kali

atau sungai. Data Joint Monitoring Program WHO/UNICEF 2014, sebanyak

55 juta penduduk di Indonesia masih berperilaku BAB sembarangan. Mereka

pun bisa mandi dan mencuci pakaian di sungai yang sama. Akibatnya,

mereka rentan terkena penyakit diare. Selain diare, balita mudah terserang

pneumonia dari pencemaran tinja melalui udara.

Dampak penyakit yang paling sering terjadi akibat buang air besar

sembarangan ke sungai adalah Escherichia coli. Itu merupakan penyakit yang

membuat orang terkena diare. Setelah itu bisa menjadi dehidrasi, lalu karena

kondisi tubuh turun maka masuklah penyakit-penyakit lain

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2012,

sebanyak 39-40 juta orang yang buang air besar sembarangan, itu termasuk

orang yang mempunyai WC, namun masih membuang kotorannya ke sungai.

Riset yang dilakukan UNICEF dan WHO, juga menyatakan lebih dari 370

balita Indonesia meninggal akibat perilaku buruk BAB sembarangan.

WHO juga mencatat 88 persen angka kematian akibat diare

disebabkan kesulitan mengakses air bersih dan keterbatasan sistem sanitasi.

Hal itu juga diperparah oleh perilaku BAB sembarangan. Selain penyakit

perilaku BAB sembarangan juga memperbesar risiko yang menghambat

pertumbuhan fisik pada anak

2
Untuk menekan angka kematian akibat diare ini, semua pihak harus

sadar dan bersegera membuat sanitasi termasuk toilet yang sehat. Hal ini

selaras dengan kegiatan yang dicanangkan pemerintah dalam bentuk

Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).

Menurut Kepala Balitbangkes, Tjandra Yoga Aditama jumlah Desa

STBM (sanitasi total berbasis masyarakat) termasuk stop BAB sembarangan

pada triwulan 3 tahun 2014 mencapai 19.100 desa dari target 20.000 tahun

2014.

Program STBM diyakini akan membuat anak-anak bisa tumbuh sehat

dan memiliki pola hidup bersih. Namun untuk menjalankan komitmen ini

butuh peran serta masyarakat dan banyak pihak terkait, agar semua cita-cita

menurunkan angka kematian cepat terwujud. Semua orang harus memiliki

jalan pikiran sama menghilangkan budaya BAB sembarangan.

Sanitasi Total Berbasis Masyarakat adalah sebuah pendekatan kepada

masyarakat. Intinya semua adalah masalah bersama. Penyelesaiannya butuh

peran serta semua masyarakat .

Penyediaan air bersih, pembuangan kotoran, pembuangan air limbah

dan pembuangan sampah merupakan syarat rumah sehat.Pembuangan

kotoran atau tinja yang biasa disebut dengan tempat Buang Air Besar (BAB)

merupakan bagian yang sangat penting dalam sanitasi lingkungan.

Pembuangan tinja manusia yang tidak memenuhi syarat sanitasi dapat

menyebabkan terjadinya pencemaran tanah serta penyediaan air bersih, dan

memicu hewan vektor penyakit, misalnya lalat, tikus atau serangga lain untuk

bersarang, berkembang biak serta menyebarkan penyakit. Maka hal tersebut

3
juga tidak jarang dapat menyebabkan timbulnya bau yang tidak sedap. Ada

beberapa hal yang terjadi :

a. Wabah penyakit pada masyarakat akan meluas jika masih terjadi Buang Air

Besar Sembarangan (BABS), misalnya BAB di kebun, sungai dan tempat

lain yang kurang memenuhi syarat jamban sehat.

b. Diare menempati urutan nomor satu, sebesar 72%, prevalensi penyakit

akibat sanitasi buruk.

c. Faktor agent, penjamu (host), lingkungan, pelayanan kesehatan, dan

perilaku merupakan faktor-faktor yang berkaitan dengan kejadian diare pada

balita. Tidak diberikannya ASI (Air Susu Ibu) eksklusif, kurang gizi,

munculnya penyakit infeksius, keturunan, dan imunodefisiensi, menjadi

faktor penjamu yang berakibat terjadinya kerentanan diare. Pembuangan

tinja adalah satu diantara faktor lingkungan yang paling sering

menyebabkan diare, yang kemudian dilanjutkan dengan kurangnya sarana

air bersih, adanya vektor dan penanganan sampah.

Dari hal tersebut di atas menunjukkan bahwa selain faktor pendidikan

dan pengetahuan mengenai sarana sanitasi, terdapat adanya hubungan

yang bermakna antara kepemilikan jamban dengan kejadian diare,

ditambah dengan faktor kondisi lingkungan serta perilaku (kebiasaan)

masyarakat membuang kotoran. Demikian pula dengan peran petugas

kesehatan sebagai penunjang pencegah kejadian diare. Pemanfaatan

jamban adalah peran serta individu dalam memanfaatkan jamban sebagai

tempat buang air besar setiap hari (Faktor-faktor perilaku manusia dari

tingkat kesehatan ditentukan atau terbentuk dari tiga faktor utama, yaitu,

4
faktor pemudah (pengetahuan, sikap, dan karakterisktik individu), faktor

pemungkin (fasilitas, sarana, dan prasarana yang mendukung terjadinya

perilaku kesehatan), dan faktor penguat terwujud dalam sikap dan perilaku

petugas kesehatan atau kelompok lain)

Maka dari itu berbagai metode dibuat para ahli untuk mengatasi

masalah ini seperti Participatory Rural Appraisal (PRA) yaitu sebuah metode

untuk mengawali sebuah program pemberdayaan masyarakat, dalam hal ini

melibatkan masyarakat untuk ikut serta dalam mencari cara terbaik untuk

mengatasi permasalahan mereka sendiri.

Dari hasil monitoring data Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM)

untuk Wilayah kerja puskesmas Kebon Handil Akses jamban untuk wilayah

kelurahan Handil Jaya sebanyak 99.74 %, untuk wilayah kelurahan Kebon

Handil sebesar 98,97 % dan untuk wilayah kelurahan jelutung sebesar

98,64 % untuk akses terendah adalah di kelurahan jelutung sebesar 98,64%

Pengguna Jamban Sehat Semi Permanen ( JSSP) dikelurahan handil

jaya sebesar 1,58 % (1692 kk ), Pengunaan Jamban Semi Permanen ( JSP

) dikelutahan handil jaya sebesar 2,73 % ( 979 kk ) untuk yang Buang Air

Besar Sembarangan ( BABS ) sebanyak 7 kk dan utuk Shering 0 % Untuk

wilayah Kebon Handil pengguna Jamban Sehat Semi Permanen ( JSSP )

sebesar 1,61 % (1747kk) Pengguna Jamban Semi Permanen ( JSP ) di

wilayah kebon handil sebesar 2,69% ( 1047 kk ) dan yang masih Buang Air

Besar Sembaran ( BABS ) sebanyak 29 kk dan untuk Shering 0 %, untuk

wilayah Jelutung pengguna Jamban Sehat Semi Permanen ( JSSP )

sebesar 1,58 % ( 2220 kk ), untuk pengguna Jamban Semi Permanen (JSP)

5
sebesar 2,8 % ( 1260 kk ) dan yang masih Buang Air Besar Sembarangan

Sebanyak 48 kk dan untuk shering 0 % .

Dari data di atas kemungkinan besar yang masih Buang Air Besar

Sembarangan membuang kotorannya di sungai atau di rawa-rawa atau pun

di tempat yang tidak terlihat. Dengan kebiasaan masyarakat tersebut, maka

bukan tidak mungkin suatu saat warga di wilayah ini akan terancam

penyakit menular yang berbasis lingkungan. Membuang air besar

sembarangan tidak dapat dilaksanakan sembarang tempat, namun

kenyataan yang ada di wilayah Puskesmas Kerja Puskesmas Kebon Handil

masih ada yang membuang hajat atau kotoran di sungai, bahkan masih

banyak mereka yang sudah mempunyai jamban keluarga di rumah namun

masih juga buang kotorannya ke sungai dengan alasan karena faktor sudah

terbiasa. Perilaku buruk tersebut berdampak pada munculnya penyakit

akibat lingkungan sanitasi sudah terkontaminasi.

Dari penelusuran petugas Puskesmas Kebon Handil yang khusus

menangani masalah sanitasi, kami mendapati bahwa kesadaran masyarakat

mengenai sanitasi di tempat kami bertugas masih sangat kurang dan apa lagi

di dukung dengan adanya aliran anak sungai asam yang terdapat di sekitar

wilayah tersebut. Tingkat kepemilikan jamban dan akses jamban juga tidak

menunjukkan data yang menggemberikan. Karena itu kami terpanggil untuk

turut memberi analisa dan alternatif solusi guna meningkatkan kesadaran

masyarakat tentang arti penting BAB bagi lingkungan.

Berdasarkan dari penjelasan latar belakang tersebut diatas, maka

peneliti tertarik untuk mengetahui lebih lanjut tentang Gambaran Kondisi

6
Masyarakat Jelutung Yang Masih Buang Air Besar Sembarangan ( BABS )

Kepemilikan Jamban di wilayah Puskesmas Kebon Handil Kecamatan

Jelutung.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam

penelitian adalah Gambaran Kondisi Masyarakat Jelutung Yang Masih Buang

Air Besar Sembarangan ( BABS ) di wilayah Puskesmas Kebon Handil

Kecamatan Jelutung.

1.3 . Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui Kondisi Masyarakat Jelutung yang masih melakukan

Buang Air Besar Sembarangan ( BABS ) di wilayah Puskesmas Kebon Handil

Kecamatan Jelutung.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui kondisi masyarakat akibat buang air besar sembarangan.

b. Mengetahui hubungan tingkat pendidikan yang ada dengan kondisi

masyarakat terkait buang air besar sembarangan

c. Mengetahui hubungan perilaku yang ada dengan kondisi masyarakat

terkait buang air besar sembarangan

7
d. Mengetahui hubungan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat

setempat dengan kodisi masyarakat terkait buang air besar

sembarangan

e. Mengetahui hubungan lingkungan yang ada dengan kondisi

masyarakat terkait buang air besar sembarangan

1.4 . Manfaat Penelitian

1.4.1 Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan ilmiah

atau bahan bacaan bagi seluruh lapisan masyarakat dalam memahami

bahayanya Buang Air Besar Sembarangan ( BABS )

1.4.2 Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu

sumber informasi bagi institusi terkait dalam hal penentu kebijakan

untuk menangani masalah Buang Air Besar Sembarangan ( BABS )

1.4.3 Manfaat bagi peneliti, penelitian ini merupakan pengalaman berharga

dalam upaya menambah wawasan dan ilmu pegetahuan tentang hal-hal

yang berhubungan dengan kepemilikan jamban keluarga dan

bahayanya akibat Buang Air Besar Sembarangan ( BABS ) disamping

sebagai syarat dalam menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh

gelar D.III Kesling

1.5 Ruang Lingkup Masalah

Ruang lingkup penelitian ini dibatasi dengan menggali gambaran

kondisi masyarakat jelutung yang buang air besar sembarangan

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep BABS

2.1.1. Definisi

Perilaku buang air besar sembarangan (BABS/Open defecation)

termasuk salah satu contoh perilaku yang tidak sehat. BABS/Open

defecation adalah suatu tindakan membuang kotoran atau tinja di

ladang, hutan, semak – semak, sungai, pantai atau area terbuka

lainnya dan dibiarkan menyebar mengkontaminasi lingkungan, tanah,

udara dan air.

Kotoran manusia yang dibuang dalam praktek sehari-hari

bercampur dengan air, maka pengolahan kotoran manusia tersebut

pada dasarnya sama dengan pengolahan air limbah. Oleh sebab itu

pengolahan kotoran manusia, demikian pula syarat-syarat yang

dibutuhkan pada dasarnya sama dengan syarat pembuangan air

limbah (Depkes RI, 1985). Menurut Depkes RI (2008) adapun syarat-

syarat yang perlu diperhatikan dalam pembangunan jamban yang

sehat antara lain :

a. Tidak mencemari air minum,letak lubang penampungan paling sedikit

berjarak 10 meter dari sumber air bersih atau air minum,jika keadaan

tanah berkapur atau tanah liat yang retak-retak pada saat musim

kemarau maka di usahakan jarak jamban tidak kurang dari 15 meter.

b. Tidak berbau dan tinja tidak dapat di jamak oleh serangga maupun

9
tikus.

c. Air seni tidak mencemari tanah sekitarnya,untuk lantai jamban harus

cukup luas paling sedikit berukuran 1x1 meter,dan di buat cukup

landas atau miring ke arah lubang jongkok.

d. Mudah dibersihkan dan aman digunakan.

e. Di lengkapi dinding dan atap pelindung,dinding kedap air dan

berwarna terang.

f. Cukup penerangan sehingga tidak mudah berkembangbiak nya

berbagai jenis binatang atau serangga.

g. Ventilasi harus cukup baik sehinga sirkulasi udara dapat membuat

ruang jamban tidak berbau dan pemakai jamban lebih merasa

nyaman.

h. Adanya air dalam jumlah yang cukup dan memiliki alat pembersih

dalam jamban.

2.1.2. Pembuatan Jamban Sehat

Kategori jamban disebut sehat jika pembuangan kotorannya di

penampungan khusus tinja atau septic tank.Kalau buangnya ke sungai, itu

belum termasuk sehat. Kementerian Kesehatan menetapkan tujuh syarat

untuk membuat jamban sehat. Persyaratan tersebut adalah:

1. Tidak mencemari air

Saat menggali tanah untuk lubang kotoran, usahakan agar dasar

lubang kotoran tidak mencapai permukaan air tanah maksimum. Jika

keadaan terpaksa, dinding dan dasar lubang kotoran harus dipadatkan

dengan tanah liat atau diplester. Jarang lubang kotoran ke sumur

10
sekurang-kurangnya 10 meter. Letak lubang kotoran lebih rendah

daripada letak sumur agar air kotor dari lubang kotoran tidak merembes

dan mencemari sumur. Tidak membuang air kotor dan buangan air besar

ke dalam selokan, empang, danau, sungai, dan laut

2. Tidak mencemari tanah permukaan

Tidak buang besar di sembarang tempat, seperti kebun,

pekarangan, dekat sungai, dekat mata air, atau pinggir jalan. Jamban

yang sudah penuh agar segera disedot untuk dikuras kotorannya, atau

dikuras, kemudian kotoran ditimbun di lubang galian.

3. Bebas dari serangga

Jika menggunakan bak air atau penampungan air, sebaiknya

dikuras setiap minggu. Hal ini penting untuk mencegah bersarangnya

nyamuk demam berdarah. Ruangan dalam jamban harus terang.

Bangunan yang gelap dapat menjadi sarang nyamuk. Lantai jamban

diplester rapat agar tidak terdapat celah-celah yang bisa menjadi sarang

kecoa atau serangga lainnya. Lantai jamban harus selalu bersih dan

kering. Lubang jamban, khususnya jamban cemplung, harus tertutup

4. Tidak menimbulkan bau dan nyaman digunakan

Jika menggunakan jamban cemplung, lubang jamban harus ditutup

setiap selesai digunakan. Jika menggunakan jamban leher angsa,

permukaan leher angsa harus tertutup rapat oleh air. Lubang buangan

kotoran sebaiknya dilengkapi dengan pipa ventilasi untuk membuang bau

dari dalam lubang kotoran. Lantan jamban harus kedap air dan

permukaan bowl licin. Pembersihan harus dilakukan secara berkala.

11
5. Aman digunakan oleh pemakainya

Pada tanah yang mudah longsor, perlu ada penguat pada dinding

lubang kotoran dengan pasangan bata atau selongsong anyaman bambu

atau bahan penguat lain yang terdapat di daerah setempat.

6. Mudah dibersihkan dan tak menimbulkan gangguan bagi pemakainya

Lantai jamban rata dan miring ke arah saluran lubang kotoran.

Jangan membuang plastic, puntung rokok, atau benda lain ke saluran

kotoran karena dapat menyumbat saluran. Jangan mengalirkan air cucian

ke saluran atau lubang kotoran karena jamban akan cepat penuh.

Hindarkan cara penyambungan aliran dengan sudut mati. Gunakan pipa

berdiameter minimal 4 inci. Letakkan pipa dengan kemiringan minimal

2:100

7. Tidak menimbulkan pandangan yang kurang sopan

Jamban harus berdinding dan berpintu. Dianjurkan agar bangunan

jamban beratap sehingga pemakainya terhindar dari kehujanan dan

kepanasan.

2.1.3. Macam Perilaku Buang Air Besar

Badan Pusat Statistik (Bps) Mengelompokan Buang Air Besar

Berdasarkan Tempat Yang Digunakan Sebagai Berikut: Buang Air

Besar Di Tangki Septic, Adalah Buang Air Besar Yang Sehat Dan

Dianjurkan Oleh Ahli Kesehatan Yaitu Dengan Membuang Tinja Di

Tangki Septic Yang Digali Di Tanah Dengan Syarat-Syarat Tertentu.

Buang Air Besar Di Tangki Septic Juga Digolongkan Menjadi, Buang

Air Besar Dengan Jamban Leher Angsa, Adalah Buang Air Besar

12
Menggunakan Jamban Model Leher Angsa Yang Aman Dan Tidak

Menimbulkan Penularan Penyakit Akibat Tinja Karena Dengan Model

Leher Angsa Ini Maka Tinja Akan Dibuang Secara Tertutup Dan Tidak

Kontak Dengan Manusia Ataupun Udara.

Buang Air Besar Dengan Jamban Plengsengan, Adalah Buang

Air Besar Dengan Menggunakan Jamban Sederhana Yang Didesain

Miring Sedemikian Rupa Sehingga Kotoran Dapat Jatuh Menuju

Tangki Septic Setelah Dikeluarkan. Tetapi Tangki Septiknya Tidak

Berada Langsung Di Bawah Pengguna Jamban.

Buang Air Besar Dengan Jamban Model Cemplung/Cubluk,

Adalah Buang Air Besar Dengan Menggunakan Jamban Yang Tangki

Septiknya Langsung Berada Di Bawah Jamban. Sehingga Tinja Yang

Keluar Dapat Langsung Jatuh Ke Dalam Tangki Septic. Jamban Ini

Kurang Sehat Karena dapat menimbulkan kontak antara Septic Tank

dengan manusia yang menggunakannya.

Buang Air Besar tidak di Tangki Septic atau tidak menggunakan

jamban. Buang Air Besar tidak di Tangki Septic atau tidak dijamban Ini

adalah Perilaku Buang Air Besar yang tidak sehat. karena dapat

menimbulkan dampak yang berbahaya bagi kesehatan manusia.

Buang Air Besar tidak menggunakan jamban dikelompokkan Sebagai

Berikut:

Buang Air Besar di Sungai atau di laut , Buang Air Besar di

sungai atau di laut dapat menimbulkan pencemaran lingkungan dan

teracuninya biota atau makhluk hidup yang berekosistem di daerah

13
tersebut. Buang Air Besar di Sungai atau di Laut dapat memicu

penyebaran wabah penyakit yang dapat ditularkan melalui Tinja.

Buang Air Besar Di Sawah Atau Di Kolam : Buang Air Besar Di

Sawah Atau Kolam Dapat Menimbulkan Keracunan Pada Padi Karena

Urea Yang Panas Dari Tinja. Hal Ini Akan Menyebakan Padi Tidak

Tumbuh Dengan Baik Dan Dapat Menimbulkan Gagal Panen.

Buang Air Besar di Pantai atau tanah terbuka, Buang Air Besar

di pantai atau tanah terbuka dapat mengundang serangga seperti lalat,

kecoa, kaki seribu, dsb yang dapat menyebarkan penyakit akibat tinja.

pembuangan tinja di tempat terbuka juga dapat menjadi sebab

pencemaran udara sekitar dan mengganggu estetika lingkungan

Sumber Data : Http://Mediakom.Sehatnegeriku.Com/Bab-Sembarangan/

2.2. Pengertian Tinja

Tinja adalah bahan buangan yang dikeluarkan dari tubuh

manusia melalui anus sebagai sisa dari proses pencernaan makanan

di sepanjang sistem saluran pencernaan. Dalam aspek kesehatan

masyarakat, berbagai jenis kotoran manusia yang diutamakan adalah

tinja dan urin karena kedua bahan buangan ini dapat menjadi sumber

penyebab timbulnya penyakit saluran pencernaan.

Manusia mengeluarkan tinja rata – rata seberat 100 - 200 gram

per hari, namun berat tinja yang dikeluarkan tergantung pola makan.

Setiap orang normal diperkirakan menghasilkan tinja rata-rata sehari

sekitar 85 – 140 gram kering perorang/ hari dan perkiraan berat basah

tinja manusia tanpa air seni adalah 135 – 270 gram perorang/hari.

14
Dalam keadaan normal susunan tinja sekitar ¾ merupakan air dan ¼

zat padat terdiri dari 30% bakteri mati, 10 – 20% lemak, 10 – 20% zat

anorganik, 2 – 3% protein dan 30 % sisa – sisa makanan yang tidak

dapat dicerna.

2.3. Permasalahan yang Timbul Akibat BABS

Perilaku buang air besar sembarangan (BABS) yang tidak

menggunakan toilet di Indonesia telah mencapai lebih dari 31 juta

orang terbanyak kedua di dunia, dan tersebar di seluruh pelosok

Indonesia.Kebiasaan ini sudah tertanam sejak kecil. Susahnya

menghapus kebiasaan ini juga dipengaruhi oleh

pengetahuan/pemahaman bahaya BABS, masalah kemiskinan (tidak

mampu membuat toilet), tidak memiliki lahan, tinggal di rumah yang tak

memiliki toilet (walau di daerah perkotaan) serta tidak adanya

kesadaran, sehingga menganggap praktek BABS adalah hal yang

biasa.

Dampak dari praktek BABS ini memengaruhi perkembangan

dan kelangsungan hidup anak-anak yang sudah rentan dan

termarginalisasi. Setiap jam, ada 15 sampai 22 anak di Indonesia yang

meninggal akibat diare.kematian akibat diare berkisar 88% memiliki

hubungan yang kuat dengan fasilitas air dan sanitasi yang tidak layak.

Tak hanya itu, tercemarnya air minum dan makanan akibat perilaku

BABS berakibat tingginya kasus dimana anak tumbuh pendek /

stunting. Sanitasi yang buruk juga menyebabkan Indonesia harus

mengeluarkan uang sekitar 56 triliun rupiah per tahunnya, atau 2,3%

15
dari total PDB negara, dan lebih dari setengahnya dihabiskan untuk

biayakesehatan.Perilaku Buang air besar sembarangan (BABS)

membawa banyak masalah yang terus mengancam Indonesia. Sudah

sepatutnya kita bekerja sama melawan BABS dengan pengetahuan

dan aksi kita sendiri.

2.4. Faktor yang mempengaruhi masyarakat Buang Air Besar

Sembarangan (BABS)

2.4.1. Pendidikan

Pendidikan adalah perubahan sikap dan prilaku serta

penambahan ilmu pengetahuan,pendidikan akan berhasil dengan baik

bila di sertai dengan tujuan,bila tidak maka pendidikan tidak akan terjadi

melalui proses pendidikan pengalaman dan wawasan bagi seseorang

untuk perubahan tingkah laku dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari

(Azwar, 2003). Pendidikan masyarakat tentang penggunaan jamban

keluarga juga diperoleh melalui pendidikan dan pengetahuan serta

berbagai informasi yang digunakan dan di terapkan oleh masyarakat

terhadap kegiatan pengelolaan dan penggunaan jamban dengan baik

dan memenuhi syarat sehat. Semakin tinggi pendidikan masyarakat

maka semakin baik tingkah laku serta bertambah wawasan terhadap

penggunaan jamban keluarga. Tanpa adanya pendidikan maka

masyarakat akan sulit untuk mengelola dan menggunakan jamban

sesuai dengan syarat sehat. Pendidikan kesehatan tentang penggunaan

jamban yang baik perlu di miliki atau diperoleh oleh seseorang sehingga

dalam menjalankan kehidupan sehari-hari mampu memanfaatkan

jamban keluarga dengan baik. Menurut Departemen Kesehatan selama

16
30 tahun terakhir ini anggaran yang dialokasikan untuk perbaikan

sanitasi hanya sekitar 820 juta dollar AS atau setara dengan Rp.

200/orang/tahun. Padahal kebutuhannya mencapai target millennium

Development Goals (MDGs) 2015, dengan 72,5 persen penduduk akan

terlayani oleh fasilitas air bersih dan sanitasi dasar. Dalam Anggaran

Pendapatan Belanja Negara (APBN) tahun 2008, anggaran untuk

sanitasi itu menurut seorang narasumber hanya 1/214 dari anggaran

subsidi bahan bakar minyak (BBM). Selain lemahnya visi menyangkut

pentingnya sanitasi, terlihat pemerintah belum melihat.

2.4.2. Pengetahuan

Menurut Azwar (2003) Pengetahuan seseorang didapatkan dari

pengalaman dan informasi baik melaui penelitian , bimbingan,

pembinaan maupun melalui pengamatan sehingga dapat memberikan

tanggapan atau respon terhadap apa yang diamatinya. Dengan

demikian jelaslah bahwa pengetahuan merupakan faktor penting dalam

upaya peningkatan pengelolaan jamban keluarga,karena dengan

baiknya pengetahuan masyarakat maka semakin memahami dan

mampu melaksanakan upaya pengelolaan jamban keluarga, baik dalam

pemeliharaan atau perbaikan jamban jika rusak atau tersumbat serta

menjaga kebersihan jamban dari berbagai kotoran sehingga

lingkugantempat tinggal bersih dan sehat dan dapat mencegah

terjadinya pencemaran lingkungan. Pengetahuan sangat menentukan

seseorang dalam berperilaku. Menurut Muslih (2004), yang mengutip

pendapat Roger, dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa

tindakan yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng.

17
Penelitian yang dilakukan oleh Widaryoto (2003), menunjukkan bahwa

pengetahuan kesehatan yang baik berbanding lurus dengan perilaku

kesehatan. Hal ini berarti semakin baik pengetahuan seseorang maka

perilakunya pun akan semakin baik pula

2.4.3. Kebiasaan / Prilaku

Menurut Sobaruddin (2012), kebiasaan adalah perbuatan

manuasia yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama.

Dalam hal ini kebiasaan yang dimaksud adalah merupakan kebiasaan

yang ada di masyarakat luas yang masih melakukan praktek Buang Air

Besar (BAB). Kebiasaan tersebut seperti menggunakan jamban

keluarga, wc umum, sungai, parit, dan tempat lain untuk Buang Air

Besar (BAB). Untuk menjaga jamban yang baik maka perlu

menyediakan fasilitas pengelolaan yang mencukupi, karena tanpa

adanya fasilitas maka usaha pengelolaan jamban keluarga tidak dapat

terlaksana, untuk itu perlu di sediakan alat pengelolaan jamban seperti

alat pembersih,saluran pembuangan dan fasilitas lainnya. Dengan

tersedianya fasilitas yang mencukupi maka jamban keluarga dapat

terjaga dengan baik dan selanjutnya selanjutnya lakukuan perawatan

rutin (Munijaya, 1999). Fasilitas merupakan suatu faktor pendukung

pengelolaan jamban keluarga. Oleh karena itu, perlu terjadinya fasilitas

yang mencukupi, karena tanpa adanya fasilitas maka usaha

pengelolaanjmban keluarga tidak dapat di lakukan masyarakat yang

18
telah memiliki fasilitas atau sarana terhadap pengelolaan jamban

menonjang pelaksanaan kegiatan tersebut (Azwar, 2003).

2.4.4. Sikap

Secara teoritis menurut Notoatmodjo (2007), sikap merupakan

reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu

stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya

kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan

sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap

stimulus sosial. Menurut Newcom salah seorang ahli psikologi sosial,

menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan

untuk bertindak dan bukan merupakan kesediaan untuk bertindak dan

bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan

suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi

tindakan dari suatu prilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup,

bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka..

Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di

lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.

2.4.5 Lingkungan

Dalam hal ini lingkungan yang dimaksud adalah dikarenakan

terdapatnya tempat yang memberikan peluang untuk orang ataupun

warga bisa melakukan BABS disekitar lingkungan tersebut. Dalam hal

ini dimaksud yaitu kebiasaan yang ada di masyarakat luas yang masih

melakukan praktek Buang Air Besar (BAB). Kebiasaan tersebut seperti

menggunakan jamban keluarga, wc umum, sungai, parit, dan tempat

19
lain untuk Buang Air Besar (BAB). Hal ini terjadi karena di

adanya aliran anak sungai asam lingkungan sekitar tepatnya wilayah

Kelurahan Jelutung.

a. Lingkungan Fisik

1) Kondisi geografi

Secara tradisional, manusia membuang kotorannya di tempat

terbuka yang jauh dari tempat tinggalnya seperti di ladang, sungai,

pantai dan tempat terbuka lainnya.

2) Adanya aliran sungai

Dalam penelitian kualitatif menjelaskan bahwa masyarakat yang

bertempat tinggal dekat sungai menjadi faktor pendukung buang air

besar di area terbuka. (2) Penelitian lain menyebutkan bahwa

jarak rumah dengan sungai berpengaruh 1,32 kali untuk tidak

memanfaatkan jamban.(33) sedangkan penelitian di Rembang

menyatakan tidak ada hubungan antara jarak rumah dengan sungai

terhadap pemafaatan jamban keluarga.(34)

3) Ketersediaan lahan untuk mambangun jamban.

Sebesar 33,3 % orang berpersepsi bahwa membangun jamban

membutuhkan lahan yang luas dan besar, tetapi hasil analisa statistik

menunjukkan bahwa keterbatasan lahan bukanlah suatu faktor risiko

seseorang untuk melakukan BABS.(22)

20
4) Ketersediaan sarana air bersih

Berdasarkan penelitian terkait menunjukkan bahwa ada

hubungan antara ketersediaan sarana air dengan penggunaan jamban.

Hal ini ditunjukkan dalam hasil penelitian bahwa ketersediaan sarana

air bersih 7,5 X meningkatkan perilaku keluarga dalam menggunakan

jamban.(21) dan kecukupan air penggelontor berpengaruh 9,7 kali

terhadap pemanfaatan jamban keluarga.(33) Penelitian lain

menyatakan bahwa ketersediaan air tidak ada hubungan dengan

perilaku buang air besar (p=0,660) sedangkan sarana air bersih tidak

ada hubungan dengan pemanfaatan jamban (p=0,8).

5) Keberadaan ternak dan kandang ternak

Keberadaan kandang ternak yang dimaksud adalah untuk

memelihara hewan seperti ayam, bebek dan entok. Hewan piaraan

tersebut biasanya mengkonsumsi kotoran salah satunya feces

manusia yang dibuang disembarang tempat, sehingga dapat

berpotensi sebagai sarana penyebaran bakteri dan virus khususnya

E.coli yang dapat menimbulkan kejadian penyakit diare. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa keberadaan kandang ternak disekitar

rumah (< 10 meter) berisiko terhadap kejadian diare sebesar 2,2

b. Lingkungan Biologi

Lingkungan biologis, bersifat biotik (benda hidup) seperti

mikroorganisme, serangga, binatang, jamur, parasit, dan lain-lain yang

dapat berperan sebagai agent penyakit, reservoir infeksi, vektor

penyakit dan hospes intermediat. Hubungannya dengan manusia

bersifat dinamis dan pada keadaan tertentu dimana tidak terjadi

21
keseimbangan diantara hubungan tersebut maka manusia menjadi

sakit. 34

c. Lingkungan Sosial

1) Dukungan sosial ( keluarga, tokoh masyarakat dan tokoh agama )

Penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam

menggunakan jamban juga memberikan kontribusi dalam perubahan

perilaku BAB masyarakat. Hal ini dapat ditunjukkan dalam penelitian

bahwa pembinaan petugas Puskesmas juga memiliki hubungan yang

bermakna dalam penggunaan jamban (p=0,0005).(21)

Dukungan aparat desa, kader posyandu dan LSM

meningkatkakan 2,7 kali masyarakat untuk menggunakan jamban.(21)

demikian juga dalam penelitian lain menunjukkan bahwa dukungan

sosial berhubungan dengan perilaku buang air besar, dalam penelitian

kualitatif dikatakan bahwa salah satu faktor yang memudahkan

seseorang buang air besar di sungai karena melihat orang tua dan

tetangganya melakukan hal yang sama (12) dan keberadaan

community leaders di masyarakat memicu untuk terjadinya perubahan

perilaku.(2) Pendampingan fasilitator paska pemicuan yang kurang

baik berisiko 12,7 kali seseorang untuk BABS dan pendampingan

paska pemicuan yang cukup baik masih berisiko 7,5 kali seseorang

untuk BABS. (22)

Berdasarkan penelitian kualitatif bahwa salah satu faktor yang

berhubungan dengan keberhasilan daerah menjadi Opend Defecation

22
Free setelah dilakukan pemicuan CLTS di Jawa Timur adalah karena

adanya kegiatan sosial kemasyarakatan yang baik : pemimpin yang

terpercaya, adanya gotong – royong dan kebersamaan.

2) Sangsi sosial ( teguran, peringatan dan pengucilan )

Tidak adanya sangsi sosial di masyarakat menjadi salah satu

faktor kegagalan suatu daerah untuk menjadi daerah bebas BABS

serta didukung kurangnya monitoring pasca pemicuan CLTS. (2)

3) Kebudayaan

Kebiasaan BABS yang terjadi dimasyarakat umumnya karena

adanya perasaan bahwa BABS itu lebih mudah dan praktis, BABS

sebagai identitas masyarakat dan budaya turun - temurun dari nenek

moyang sehingga menjadi kebiasaan. (12)

2.5 Kerangka Teori

Variabel Independen Variabel Dependen

- Tingakat Prilaku warga


- Sikap Warga setempat
- Tingkat Pendidikan Warga
- Tingkat Pengetahuan BABS
Warga
- Lingkungan sekitar warga

23
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah survei yang bersifat analitik dengan desain

cross secsional, yang bertujuan untuk menjelaskan karakteristik responden

(tingkat pendidikan dan tingkat penghasilan), tingkat pengetahuan, sikap,

kebiasaan, dan peran petugas kesehatan yang berkaitan dengan Gambaran

Kondisi Masyarakat terkait Buang Air Besar Sembarangan (BABS) di wilayah

Kelurahan Jelutung.

3.2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1. Lokasi Penelitian

Lokasi dalam penelitian ini dilaksanakan di Rt Kelurahan Jelutung.

3.2.2.Waktu Penelitian

Waktu penelitian tanggal……. s.d …..2018 peran petugas kesehatan

dengan kepemilikan jamban keluarga.

3.3 Kerangka Konsep

Setelah dilakukan penelitian pustaka yang mendasari perumusan

masalah yang diajukan pada penelitian ini,selanjutnya dibentuk sebuah model

kerangka konsep penelitian, yang akan digunakan sebagai acuan untuk

pemecahan masalah, kerangka konsep penelitian yang dibangun .

24
Kerangka konsep dalam penelitian ini menggambarkan variabel-

variabel yang akan diukur atau diamati selama penelitian. Tidak semua

variabel dalam kerangka teori dimasukkan ke dalam kerangka konsep, karena

keterbatasan peneliti dalam masalah dana, tenaga dan waktu.

Variabel yang akan diteliti adalah faktor host (umur, tingkat pendidikan,

tingkat ekonomi, tingkat peran serta, pengetahuan tentang jamban sehat,

sikap tentang BAB dijamban), faktor lingkungan sosial (dukungan sosial,

sangsi sosial dan pembinaan petugas) dan faktor lingkungan fisik (jarak

rumah dengan sungai).

Variabel yang tidak diteliti adalah faktor host yaitu jenis kelamin,

pekerjaan dan motivasi. Secara fisiologis bahwa buang air besar termasuk

sistem ekskresi manusia tanpa membedakan jenis kelamin dan pekerjaan

serta motivasi dan niat seseorang untuk melakukan BABS.

Faktor lingkungan fisik adalah ketersediaan air dan ketersediaan lahan,

variabel tersebut tidak diteliti karena di wilayah kecamatan Bayat hampir

semua warga mempunyai lahan untuk membangun jamban dan mempunyai

sarana air bersih baik perpipaan maupun non perpipaan. Faktor lingkungan

budaya yaitu kebiasaan BABS yang turun temurun, variabel ini tidak diteliti

disebabkan untuk menggali faktor budaya yang mempengaruhi perilaku ini

memerlukan pengamatan dalam waktu yang relative lebih lama.

Faktor sarana kesehatan lingkungan yaitu keberadaan WC umum,

tidak diteliti karena di Kecamatan Jelutung tidak mengutamakan kepemilikan

jamban tetapi lebih mengutamakan perubahan prilaku BABS

25
Faktor agent yaitu penggunaan jamban, prioritas kebutuhan sanitasi,

sistem kebijakan sanitasi dan tingkat paparan media. Variabel ini tidak diteliti

karena memerlukan pengamatan yang relative lebih lama.

3.4. Variabel dan Defenisi Operasional

3.4.1 Variabel Penelitian

Adapun variable penelitian ini adalah :

a. Variabel Independen yang berkaitan dengan gambaran kondisi masyarakat

terkait Buang Air Besar Sembarangan (BABS) yaitu Prilaku, Sikap,

Pendidikan, pengetahuan, Lingkungan

b. Variabel Dependen yang yaitu berkaitan dengan perilaku masyarakat terkait

Buang Air Besar Sembarangan (BABS)

Definisi Operasional Variabel

Untuk menyamakan pemahaman terhadap variabel penelitian dan

untuk menghindari terjadinya interpretasi yang berbeda, perlu ditetapkan

definisi operasional masing-masing variabel penelitian. Variabel bebas terdiri

atas 5 variabel. Definisi operasional masing-masing variabel beserta cara

pengukuran, skala variabel dan pengkategorian variabel dapat dilihat pada

tabel dibawah ini.

26
3.4.2. Definisi Operasional

Skala
Alat
No Variabel Defenisi Operasional Pengukur Cara Ukur
Ukur
an

Pembelajaran,

pengetahuan,

keterampilan, serta

kebiasaan sekelompok
Kuesione
1 Pendidikan orang yang diturunkan Likert Wawancara
r
dari satu generasi ke

generasi selanjutnya

melalui pengajaran,

penelitian serta pelatihan.

Sebagai gejala yang

Pengetahua
1. 2 ditemui dan diperoleh Kuesione
Likert Wawancara
2 n manusia melalui r

pengamatan akal.

Suatu hal / kegiatan yang

2. 3 berkembang secara turun


Kuesione
Prilaku 3 menurun (generasi ke Likert Wawancara
r
3. generasi) di lingkungan

masyarakat

27
Kondisi geografi,

Adanya aliran sungai ,

Ketersediaan lahan untuk

mambangun jamban ,

3. Ketersediaan sarana air Kuesione


Lingkungan Likert Wawancara
4. bersih , r

Keberadaan ternak dan

kandang ternak,

Lingkungan Biologi ,

Lingkungan Sosial ,

3.5. Hipotesis

Adapun hipotesis yang dapat diajukan yaitu :

a. Tingkat pendidikan yang ada berpengaruh dengan kondisi

masyarakat terkait buang air besar sembarangan

b. Perilaku yang ada berpengaruh dengan kondisi masyarakat terkait

buang air besar sembarangan

c. Pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat setempat berpengaruh

dengan kodisi masyarakat terkait buang air besar sembarangan

d. Lingkungan yang ada berpengaruh dengan kondisi masyarakat terkait

buang air besar sembarangan

28
3.6. Populasi dan sampel

3.6.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini seluruh KK yang berada di keliling anak

sungai asam yaitu pada dengan jumlah KK 144

3.6.2. Sampel

Tehnik pengambil sampel penelitian ini adalah menggunakan metode

Simple Random Sampling. Analisis data dilakukan untuk melihat

hubungan antara tingkat pendidikan, pengetahuan, prilaku, sikap dan

lingkungan.

3.7. Instrumen Penelitian

Dalam mengumpulkan data responden yang akan diteliti yaitu dengan

menggunakan instrumen berupa survey lapangan, wawancara dan kuisioner

yang telah diuji validitas dan reabiilitas pada populasi.

3.8. Tahapan Penelitian

3.8.1 Membuat surat Izin pengambilan data

3.8.2 Menyiapkan draft wawancara, kuisioner atau instrumen yang dibutuhkan

3.8.3 Melapor kepada pak Rt setempat

3.8.4 Survei ke lapangan

3.8.5 Melakukan wawancara kepada Kepala Keluarga di Kelurahan Jelutung

3.8.6 Membagikan kuisioner kepada Kepala Keluarga secara random.

3.9 Tehnik Pengolahan Data

3.9.1 Data primer, diambil langsung dari responden melalui pengamatan

(observasi) wawancara, dan pengisian kuesioner.

29
3.9.2 Data skunder, diambil dari data STBM

3.9.3 Pengumpulan data

a. Coding adalah suatu usaha memberikan kode/mengenai jawaban

responden atas pertanyaan yang ada di kuesioner dan check list.

b. Editing adalah meneliti kembali apakan isisan kuesioner sudah

lengkap atau belum, sehingga apabila ada kekurangan dapat

segera diperbaiki.

c. Entry adalah memasukkan data-data hasil penelitian ke dalam

table-tabel sesuai dengan criteria.

d. Cleaning adalah untuk melihat apakah data sudah benar-benar

bebas dari kekeliruan.

3.10 Analisis Data

3.10.1 Analisis Kuantitatif

Data dianalisis dan diinterpretasikan dengan melakukan pengujian

terhadap hipotesis, menggunakan program komputer Software SPSS for

Windows dengan tahapan analisis

3.10.2 Analisis Kualitatif

Analisis kualitatif dimaksudkan untuk melengkapi atau memperjelas

analisis data kuantitatif. Pada kajian kualitatif disajikan dalam bentuk narasi

dengan menggunakan metode analisis diskripsi isi hasil dari wawancara

mendalam dengan tahapan pengumpulan data, penyederhanaan data/reduksi

data, penyajian data dan verifikasi simpulan.

30
DAFTAR PUSTAKA

 Depkes RI, 2009, Tentang pola makan, kebersihan perorangan, gaya hidup

dan prilaku terhadap upaya kesehatan.

31
 Dekes RI, 2008, Jamban sehat adalah fasilitas pembuangan tinja yang efektif

memutuskan rantai penularan penyakit

 Hurlock EB. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang

Kehidupan. 5 ed. Jakarta: Erlangga; 1980. p. 6 - 27.

 Winaryanto, 2009 Penyebaran penyakit

 Nataotmodjo, 2007 Kesehatan tentang jamban

 Arif, 2009 Persyaratan pembuatan jamban sehat

 Nataotmodjo, 2005 Metode penelitian kesehatan

 Joko winarn, 2003 Evaluasi pemanfaatanjamban dari berbagai Aspek

Geohidrologi, Sosial Ekonomi dan Sosial Budaya Masyarakat di beberapa

daerah pedesaan Indonesia tahun 2002

 Hastono Sutanto Priyo 2001 Modul Analisis Data, fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Indonesia

 Wahid Iqbal Mubarak, 2009. Ilmu kesehatan Masyarakat.Teori dan Aplikasi.

Salemba Medika. Jakarta

 Juli Soemirat Slamet, 2004, Kesehatan Lingkungan, Gajah Mada, Uneversity

Press

32

Anda mungkin juga menyukai