Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Obsetri dan genokologi banyak berhubungan dengan masalah-masalah
kelahiran, reproduksi, penuan (aging), dan juga kematian dimana semuanya
penuh dengan dilema-dilema etik, moral, dan hukum.
Benturan etik, bentural moral, hukum menjadi dilema apabila
berbenturan dengan peradaban, ada benturan nilai, dan ada benturan norma
dalam pengertiannya, dan tidak jarang ada benturan keyakinan pada individu
masing-masing atau sekelompok orang. Peristilahan awam menyebutnya sebagai
benturan budaya. Budaya dalam ikhwal kesisteman, dengan subsistemnya yang
mencakup pengetahuan, organisasi social, sistem ekonomi, system teknologi,
kesenian, system bahasa, dan sitem religi.
Kekuatan-kekuatan yang dimiliki di dalam kesisteman tersebut sangat
luas pengertiannya, yang sangat memahami akan budaya dari individu maupun
berkelompok.
Dimana dibagian jaman sekarang praktik budaya dalam social banyak
melanggar norma-norma dalam social budaya dalam hukum kehidupan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Norma ?
2. Apa yang dimaksud dengan Seks dan Seksualitas ?
3. Apa yang dimaksud dengan Praktik Budaya ?
4. Bagaimana yang dimaksud dengan Norma dan Praktik Budaya dalam
Kehidupan Seksualitas dan Kemampuan Reproduksi ?
5. Bagaimana yang dimaksud dengan Etimologi dan Sejarah Homoseksual ?
6. Apa yang dimaksud dengan Orientasi Seksual, Identitas, Perilaku dalam
Norma dan dalam Ruang Lingkup Kehidupan Bersosial Budaya ?

1
7. Apa yang dimaksud dengan Perkembangan Identitas Seksual di Ruang
Lingkup Budaya Masyarakat ?
8. Bagaimana Konstruksi sosial dan Norma Etika Homoseksual ?
9. Bagaimana cara Pengendalian terhadap Ruang Lingkup Seksual yang
mencangkup Norma-Norma dan Prakik Sosial Budaya ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Norma.
2. Untuk mengetahui pengertian Seks dan Seksualitas.
3. Untuk mengetahui pengertian Praktik Budaya.
4. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Norma dan Praktik Budaya dalam
Kehidupan Seksualitas dan Kemampuan Reproduksi.
5. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Etimologi dan Sejarah
Homoseksual.
6. Untuk mengetahui Apa yang dimaksud dengan Orientasi Seksual, Identitas,
Perilaku dalam Norma dan dalam Ruang Lingkup Kehidupan Bersosial
Budaya.
7. Untuk mengetahui Apa yang dimaksud dengan Perkembangan Identitas
Seksual diRuang Lingkup Budaya Masyarakat.
8. Untuk mngetahui Konstruksi sosial dan Norma Etika Homoseksual.
9. Untuk mengetahui cara Pengendalian terhadap Ruang Lingkup Seksual yang
mencangkup Norma-Norma dan Prakik Sosial Budaya.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Norma
Norma berasal dari bahasa latin, yakni norma, yang berarti penyikut
atau siku-siku, suatu alat perkakas yang digunakan oleh tukang kayu. Dari sini
kita dapat mengartikan norma sebagai pedoman, ukuran, aturan atau kebiasaan.
Jadi norma ialah sesuatu yang dipakai untuk mengatur sesuatu yang lain atau
sebuah ukuran. Dengan norma ini orang dapat menilai kebaikan atau keburukan
suatu perbuatan. Jadi secara terminology kita dapat mengambil kesimpulan
menjadi dua macam. Pertama, Norma menunjuk suatu teknik. Kedua, Makna
tersebut lebih bersifat normative. Norma yang kita perlukan adalah norma yang
brsifat praktis, norma yang dapat diterapkan pada perbuatan konkret.
Dengan tidak adanya norma, kehidupan manusia akan menjadi brutal.
Pernyataan tersebut dilatar belakangi oleh keinginann manusia yang tidak ingin
tingkah laku manusia bersifat senonoh. Dengan demikian, dibutuhkan sebuah
norma yang lebih bersifat praktis. Memang secara bahasa norma agak bersifat
normative tetapi itu tidak menutup kemungkinan pelaksanaannya bersifat
praktis. Adapun Norma dalam kehidupan, yakni :
1. Norma Agama :
a. Berasal dari Tuhan Yang Maha Esa
b. Tercantum dalam kitab suci setiap agama
c. Pelanggaran terhadap norma agama merupakan dosa
d. Agar setiap orang beriman dan bertakwa terhadap Tuhannya
e. Agar tercipta masyarakat yang agamis, tertib, tentram, rukun, damai dan
sejahtera.
2. Norma Masyarakat/sosial :
a. Bersumber dari masyarakat sendiri
b. Pelanggaran atas norma sosial berakibat pengucilan dari masyarakat
c. Tujuan norma sosial supaya tercipta masyarakat yang saling
menghormati dan saling menghargai

3
3. Norma Kesusilaan :
a. Berasal dari setiap manusia
b. Pelanggaran dari norma ini berakibat penyesalan
c. Dalam kehidupan sehari-hari sebaiknya setiap individu berusaha agar
setiap sikap, ucapan dan perilakunya selalu dijiwai oleh nilai-nilai atau
norma agama, kesopanan dan hukum.
4. Norma Hukum :
a. Berasal dari Negara
b. Pelanggran atas norma ini berakibat hukuman sesuai dengan peraturan
c. Pelanggaran norma hukum dalam masyarakat akan memicu berbagai
kerusuhan dan perbuatan amoral yang tidak bertanggung jawab.
B. Pengertian Seks dan Seksualitas
Istilah “seks” secara etimologis, berasal dari bahasa Latin “sexus”
kemudian diturunkan menjadi bahasa Perancis Kuno “sexe”. Istilah ini
merupakan teks bahasa Inggris pertengahan yang bisa dilacak pada periode
1150-1500 M. “Seks” secara leksikal bisa berkedudukan sebagai kata benda
(noun), kata sifat (adjective), maupun kata kerja transitif (verb of transitive):

Secara terminologis seks adalah nafsu syahwat, yaitu suatu kekuatan


pendorong hidup yang biasanya disebut dengan insting/ naluri yang dimiliki oleh
setiap manusia, baik dimiliki laki-laki maupun perempuan yang mempertemukan
mereka guna meneruskan kelanjutan keturunan manusia.

Menurut Ali Akbar, bahwa nafsu syahwat ini telah ada sejak manusia
lahir dan dia mulai menghayati sewaktu dia menemukan kedua bibirnya dengan
puting buah dada ibunya, untuk menyusui karena lapar. Ia menikmati rasa
senang yang bukan rasa kenyang. Dan inilah rasa seks pertama yang dialami
manusia.

Seksualitas merupakan suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang


berkaitan dengan seks. Dalam pengertian ini, ada 2 aspek (segi) dari seksualitas,

4
yaitu seks dalam arti sempit dan seks dalam arti luas. Seks dalam arti yang
sempit berarti kelamin, yang mana dalam pengertian kelamin ini, antara lain:

1. Alat kelamin itu sendiri


2. Anggota tubuh dan ciri badaniyah lainnya yang membedakan antara laki-
laki dan perempuan
3. Kelenjar-kelenjar dan hormon-hormon dalam tubuh yang mempengaruhi
bekerjanya lat-alat kelamin
4. Hubungan kelamin

Segi lain dari seksualitas adalah seks dalam arti yang luas, yaitu segala
hal yang terjadi sebagai akibat (konsekwensi) dari adanya perbedaan jenis
kelamin, antara lain:

1. Pembedaan tingkah laku; kasar, genit, lembut dan lain-lain.


2. Perbedaan atribut; pakaian, nama.
3. Perbedaan peran dan pekerjaan.
4. Hubungan antara pria dan wanita; tata krama pergaulan, percintaan, pacaran,
perkawinan dan lain-lain.

Ada tiga istilah berkaitan dengan seks yang penggunaannya hampir


sama dan bahkan kadang tumpang tindih, yakni seks, gender dan “seksualitas”.
Ketiga istilah ini memang memiliki beberapa kesamaan. Kesamaan yang paling
menonjol adalah bahwa ketiganya membicarakan mengenai "jenis kelamin".
Perbedaannya adalah; seks lebih ditekankan pada keadaan anatomis manusia
yang kemudian memberi "identitas" kepada yang bersangkutan. Jika seks adalah
jenis kelamin fisik, maka gender adalah "jenis kelamin sosial" yang
identifikasinya bukan karena secara kodrati sudah given (terberikan), melainkan
lebih karena konstruksi sosial. Satpam dan sekretaris adalah dua contoh ekstrem
mengenai gender, jenis kelamin sosial akibat dikonstruksi masyarakat.
Seksualitas lebih luas lagi maknanya mencakup tidak hanya seks, tapi
bahkan kadang juga gender. Jika seks mendefinisikan jenis kelamin fisik hanya

5
pada "jenis" laki-laki dan perempuan dengan pendekatan anatomis, maka
seksualitas berbicara lebih jauh lagi, yakni adanya bentuk-bentuk lain di luar itu,
termasuk masalah norma. Jika seks berorientasi fisik-anatomis dan gender
berorientasi sosial, maka seksualitas adalah kompleksitas dari dua jenis orientasi
sebelumnya, mulai dari fisik, emosi, sikap, bahkan moral dan norma-norma
sosial.

Michel Foucault memberikan pengertian seks keluar dari jalur wacana


seksualitas pada umumnya, melainkan pada persoalan metodologis di mana
penulis harus memahami bahasa pemikir yang sedang dikaji, sehingga tidak
kehilangan makna.

Seks (sexe) menurut Michel Foucault, tidak sebagaimana adanya, bukan


wujud real dan tunggal sesuai dengan definisi yang diberikan kepadanya dalam
wacana. Seks bukanlah realitas awal dan seksualitas bukanlah hanya dampak
sekunder, melainkan sebaliknya, seks dibawahi secara historis oleh seksualitas.
Jangan menempatkan seks di sisi realitas dan seksualitas di sisi gagasan kabur
dan ilusi.

Seksualitas adalah figur historis yang sangat real, dan seksualitas-lah


yang menimbulkan pengertian seks sebagai unsur spekulatif yang perlu bagi cara
kerja seksualitas. Michel Foucault kemudian harus mendefinisikan seksualitas
dalam hubungannya dengan sejarah: Seksualitas (sexualit): adalah nama yang
dapat diberikan pada suatu sistem historis: bukan realitas bawahan yang sulit
ditangkap, melainkan jaringan luas di permukaan tempat rangsangan badaniah,
intensifikasi kenikmatan, dorongan terbentuknya wacana, pembentukan
pengetahuan, pengokohan pengawasan dan tentangan, saling berkait sesuai
dengan strategi besar pengetahuan dan kekuasaan".

6
C. Pengertian Praktik Budaya
Praktik budaya menurut pengertiannya secara umum adalah norma-
norma dalam kebudayaan yang harus dihormati oleh seorang individu maupun
berkelompok, dimana salah satu ketika seseorang melanggarnya maka ia akan
menerima sanksi baik itu secara halus maupun secara kasar, contohnya seperti di
kucilkan, bahkan tak di anggap dari kelompok budaya tersebut yang dapat
membuat orang tersebut di keluarkan dari budaya tersebut dan di keluarkan dari
komunitas budaya itu.
Dimana sebagian dari orang sekelompok masyarakat banyak melangar
dari norma aturan dalam kehidupan, antara lain pergaulan bebas, praktik budaya
yang kurang bermutu dimana sebagian orang banyak yang melakukan
penyimpangan seperti saling menyukai sesama jenis dalam norma-norma
kehidupannya yang dalam kenyataan dan kaidahnya melanggar norma dan
hukum agama.

D. Norma dan Praktik Budaya dalam Kehidupan Seksualitas dan


Kemampuan Reproduksi
1. Kehidupan Seksualitas
Norma-norma dan praktik budaya dalam kehidupan seksualitas
dimana seseorang mengalami gangguan dan keterkaitan terhadap suatu
kelainan akibat trauma, sehingga banyaknya jumlah seseorang
meningkatkatkan kehidupan seksual yang kurang di hormati di kalangan
masyarakat,baik itu melalui pergaulan bebas di kalangan remaja,
homoseksualitas, dan bahkan kelainan kelainan seksualitas lainnya yang
banyak di langgar oleh sebagian orang.
Secara norma dan praktik kebudayaannya homoseksualitas adalah
rasa ketertarikan romantis atau seksual dalam perilaku antara individu
berjenis kelamin atau gender yang sama. Sebagai orientasi seksual,
homoseksualitas yang mengacu pada pola berkelanjutan atau disposisi untuk
pengalaman seksual, kasih sayang, atau ketertarikan romantis secara
eksklusif orang dari jenis kelamin yang sama, diamana homoseksualitas

7
juga mengacu pada pandangan individu tentang identitas pribadi dan sosial
berdasarkan pada ketertarikan, perilaku ekspresi, dan keanggotaan dalam
komunitas lain yang berbagi itu.
2. Kemampuan Reproduksi
a. Revolusi seks : seks bebas tidak untuk menghasilkan keturunan. Jika
seks tidak untuk menghasilkan keturunan, maka keturunan tidak harus
didapat dari hubungan seksual. Pemikiran ini mempertajam pemahaman
manusia tentang makna prokreasi dan seksualitas.
b. Gerakan feminisime dan hak gay : jika lelaki dan perempuan tidak
saling melengkapi dan berpengaruh secara generatif, maka bayi tidak
harus hadir melalui persatuan ovum dan sperma. Maka monogami yang
diangggap sebagai tempat ideal terjadinya prokreasi tidak akan terlalu
dipandang dalam norma budaya kita. Untuk itu, kloning akan menjadi
pilihan terakhir: orang tua tunggal. Pemikiran ini mempertajam
pemahaman tentang kesetaraan gender.
c. Melalui kloning dihasilkan anak yang diinginkan. Ini menguji
pemahaman umum bahwa anak yang dilahirkan adalah anak yang
diinginkan. Pemikiran semacam ini digunakan untuk menentang aborsi
dan kontrasepsi.

E. Etimologi dan Sejarah Homoseksual dalam Kehidupan Seksualitas yang


Menyangkut Norma dan Praktik Budaya yang Menyimpang
Kata homoseksual adalah hasil penggabungan bahasa Yunani dan Latin
dengan elemen pertama berasal dari bahasa Yunani homos, 'sama' (tidak terkait
dengan kata Latin homo, 'manusia', seperti dalam Homo sapiens), sehingga
dapat juga berarti tindakan seksual dan kasih sayang antara individu berjenis
kelamin sama, termasuk lesbianisme. Dimana hubungan gay umumnya mengacu
pada homoseksualitas laki-laki, tetapi dapat digunakan secara luas untuk
merujuk kepada semua orang LGBT. Dalam konteks seksualitas, lesbian, hanya
merujuk pada homoseksualitas seseorang.

8
Banyak panduan penulisan modern di Amerika Serikat menyarankan
untuk tidak menggunakan kata homoseksual sebagai kata benda, tapi
menggunakan kata pria gay atau lesbian. Demikian pula, beberapa norma dalam
kehidupan seseorang maupun individu di rekomendasikan untuk sepenuhnya
menghindari penggunaan kata homoseksual karena memiliki sejarah yang buruk
dan karena kata tersebut hanya merujuk pada perilaku seksual seseorang
(berlawanan dengan perasaan romantis) dan dengan demikian memiliki konotasi
negatif.
Kemunculan istilah homoseksual pertama kali ditemukan pada tahun
1869 dalam sebuah pamflet Jerman tulisan novelis kelahiran Austria Karl-Maria
Kertbeny yang diterbitkan secara anonim, berisi perdebatan melawan hukum
anti-sodomi Prusia.Pada tahun 1879, Gustav Jager menggunakan istilah
Kertbeny dalam bukunya, Discovery of The Soul (1880). Pada tahun 1886,
Richard von Krafft-Ebing menggunakan istilah homoseksual dan heteroseksual
dalam bukunya Psychopathia Sexualis. Buku Krafft-Ebing begitu populer di
kalangan baik orang awam dan kedokteran hingga istilah "heteroseksual" dan
"homoseksual" menjadi istilah yang paling luas diterima untuk orientasi seksual.
Dengan demikian, penggunaan istilah tersebut berakar dari tradisi
taksonomi kepribadian abad ke-19 yang lebih luas. Meskipun penulis awal juga
menggunakan kata sifat homoseksual untuk merujuk pada konteks sesama jenis
(seperti sekolah khusus perempuan), sekarang istilah ini digunakan secara
eksklusif dalam referensi untuk daya tarik seksual, aktivitas, dan orientasi.
Istilah homososial sekarang digunakan untuk menggambarkan konteks sesama
jenis yang tidak secara khusus bersifat seksual. Ada juga kata yang mengacu
kepada cinta sesama jenis, homofilia.
Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki atau LSL (digunakan
di kalangan medis ketika secara khusus membahas aktivitas seksual), homoerotis
(mengacu pada karya seni), heterofleksibel (mengacu pada orang yang
mengidentifikasi diri sebagai heteroseksual, tetapi terkadang terlibat dalam
kegiatan seksual sesama jenis), dan metroseksual (merujuk pada pria non-gay
dengan selera stereotipe gay seperti makanan, mode, dan desain). Istilah

9
peyoratif dalam bahasa Inggris termasuk queer, faggot, fairy (peri), poof, dan
homo. Dimulai pada 1990-an, beberapa kata telah direklamasi sebagai kata-kata
positif untuk pria gay dan lesbian, seperti dalam penggunaan studi queer, teori
queer, dan bahkan program televisi populer Amerika Queer Eye for the Straight
Guy. Kata homo muncul dalam banyak bahasa lainnya tanpa konotasi
penghinaan seperti dalam bahasa Inggris. Namun, seperti penghinaan etnis dan
penghinaan rasial, penyalahgunaan istilah-istilah ini masih bisa sangat ofensif,
kisaran penggunaan yang dapat diterima tergantung pada konteks dan
pembicara. Sebaliknya, gay, kata awalnya dipegang oleh pria homoseksual dan
wanita sebagai istilah positif afirmatif (seperti dalam pembebasan gay dan hak-
hak gay), telah meluas dalam penggunaan peyoratif di kalangan muda.

F. Orientasi Seksual, Identitas, Perilaku dalam Norma dan dalam Ruang


Lingkup Kehidupan Bersosial Budaya
American Psychological Association, American Psychiatric
Association, dan National Association of Social Workers menyatakan orientasi
seksual "bukan hanya karakteristik pribadi yang didefinisikan secara tersendiri.
Malahan, orientasi seksual seseorang ditentukan dengan siapa orang tersebut
menemukan hubungan yang memuaskan".
Orientasi seksual umumnya dibahas sebagai karakteristik individu,
seperti jenis kelamin biologis, identitas gender, atau usia. Perspektif ini tidak
lengkap karena orientasi seksual selalu didefinisikan dalam istilah relasional
yang harus melibatkan hubungan dengan orang lain. Tindakan seksual dan
atraksi romantis dikategorikan sebagai homoseksual atau heteroseksual sesuai
dengan jenis kelamin biologis individu yang terlibat di dalamnya dimana
kebanyakan orang dalam ruang lingkup masyarakat umum kebanyalkan kurang
dapat menerima keadaan tersebut di sekitaran mereka, dimana sesama gender
yang sama bersifat relatif satu sama lain.
Memang individu-individu mengungkapkan heteroseksualitas,
homoseksualitas, atau biseksualitas dengan tindakan atau keinginan mereka
terhadap orang lain. Hal ini mencakup tindakan-tindakan sederhana seperti

10
berpegangan tangan atau berciuman. Jadi, orientasi seksual secara integral
terkait dengan hubungan personal seorang individu yang dibentuk dengan
individu lain untuk memenuhi kebutuhan akan cinta, ikatan, dan keintiman tanpa
memikirkan social budaya dan norma – norma hukum di lingkungan mereka.
Selain perilaku seksual, ikatan ini mencakup kasih sayang fisik non-
seksual antara pasangan, tujuan dan nilai-nilai bersama, sikap saling
mendukung, dan komitmen berkelanjutan antara sesama genders walaupun
melangar kaidah dan norma-norma secara agama.

G. Perkembangan identitas seksual Di Ruang Lingkup Budaya Masyarakat


"proses coming-out”

Dimana banyak orang yang merasakan ketertarikan kepada anggota


jenis kelamin sama memiliki fase "coming out" dalam kehidupan mereka.
Umumnya, coming out digambarkan dalam tiga fase. Fase pertama adalah fase
"mengenali diri", dimana muncul kesadaran seseorang untuk terbuka dengan
suatu hubungan bahkan mulai mencoba keluar melalui norma hukum suatu
kebudayaan dengan menggambil suatu rasiko tampa disadari ketika di mana
sebagian orang mencoba hubungan sesama jenis. Fase ini sering digambarkan
sebagai coming out yang bersifat internal. Tahap kedua melibatkan keputusan
untuk terbuka kepada orang lain, misalnya keluarga, teman, atau kolega. Tahap
ketiga mencakup hidup secara terbuka sebagai orang LGBT yang pada
umumnya identitas hubungan yang mereka jalani tidak dapat di terima oleh
masyarakat sekitar, norma yang berlaku bahkan budaya maupun agama yang
mereka anut.

Di Amerika Serikat keadaan seperti ini sering di temui dengan identitas


seksual "come out" di mana, seorang remaja usia sekolah menengah atas atau
kuliah ketika orientasi mereka tidak diterima di masyarakat. Terkadang keluarga
mereka sendiri bahkan tidak diberitahu.

11
H. Konstruksi sosial dan Norma Etika Homoseksual

Orientasi homoseksual bersifat kompleks dan multi-dimensi, beberapa


akademisi dan peneliti, terutama dalam studi Queer, berpendapat bahwa
homoseksual adalah konstruksi sejarah dan sosial. Pada tahun 1976 sejarawan
Michel Foucault berpendapat bahwa homoseksualitas sebagai identitas yang
tidak ada pada abad ke-18. Orang-orang pada masa itu berbicara tentang
"sodomi" yang mengacu kepada tindakan seksual dalam ruang lingkup
merampas hak bela diri seseorang dan moral etika, sehingga sodomi saat itu
merupakan kejahatan yang sering diabaikan oleh beberapa orang yang berprilaku
menyimpang, sehingga mereka terkadang dijatuhi hukuman berat, karena di
anggap orang yang melanggar hukum itu merupakan orang yang berperilaku
menyimpang yang kurang memahami etika, dan peraturan – peraturan terhadap
norma – norma kemanusian dan kurang dapat menghargai struktur ikatan budaya
social yang ada di suatu daerah atau negara tertentu.

I. Pengendalian terhadap Ruang Lingkup Seksual yang mencangkup Norma


– norma dan Prakik Sosial Budaya
1. Membuat norma – norma baru dalam luang kehidupan
Dimana dibuatnya norma – norma atau peraturan bagi setiap
kelompok masyarakat atau individu agar tidak adanya melakukan kejahatan
seksual seperti halnya kekerasan dan juga sodomi hingga menyebabkan
penyelimpanagan sesual sesama jenis semangkin meningkat dari tahun ke
tahun.
2. Memperketat aturan Norma Budaya
Dimana suau budaya memulai menjelaskan mengenai
penyelimpangan-penyelimpangan dan hal apa saja yang akan terjadi apabila
dilakukannya penylimpangan, dan menjelaskan juga mengenai apa yang
dilarang oleh Budaya setempat maupun Agama yang diyakini sehingga
menyadarkan sebagian orang agar menghindari penyelimpangan tersebut.
3. Rehabilitasi bagi para homoseksual

12
Dimana peran masyarakat, keluarga, orang terdekat juga seperti
sahabat maupun teman memberikan support mendalam kepada pelaku
homoseksual agar pelaku menyadari kesalaan yang telah di lakukannya
sedikit demi sedikit dan mencoba membantu menyadarkan agar belajar untuk
kembali menjadi manusia yang normal tampa melakukan adanya
penyimpangan social lagi dalam hubungan yang tidak semestinya, yang
melanggar norma hukum dan melanggar dari social budayayang telah
tertanam kuat di lingkungan atau Negara itu sendiri.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Norma ialah sesuatu yang dipakai untuk mengatur sesuatu yang lain
atau sebuah ukuran. Dengan norma ini orang dapat menilai kebaikan atau
keburukan suatu perbuatan. Dengan tidak adanya norma, kehidupan manusia
akan menjadi brutal.
Seks adalah nafsu syahwat, yaitu suatu kekuatan pendorong hidup yang
biasanya disebut dengan insting/ naluri yang dimiliki oleh setiap manusia, baik
dimiliki laki-laki maupun perempuan yang mempertemukan mereka guna
meneruskan kelanjutan keturunan manusia. Sedangkan, seksualitas lebih luas
lagi maknanya mencakup tidak hanya seks, tapi fisik, emosi, sikap, bahkan
moral dan norma-norma sosial.

Dengan adanya kemampuan reproduksi, teknik cloning tak jarang


dilakukan untuk mendapatkan anak seperti yang diinginkan, pemikiran
semacam ini dilakuakan agar menentang aborsi dan kontrasepsi.

Namun, perkembangan, fungsi dan pola seksualitas dewasa ini banyak


sekali terjadi penyalahgunaan. Contohnya pada kasus Homoseksual, kasus ini
jelas melanggar norma dan kultur adat mengenai hubungan mendasar yang
bersifat normal antara wanita dan pria.
Oleh karena itu, perlu adanya pengendalian terhadap Ruang Lingkup
Seksual yang mencangkup Norma – norma dan Prakik Sosial Budaya. Meliputi,
Membuat norma – norma baru dalam ruang kehidupan, Memperketat aturan
Norma Budaya, dan Rehabilitasi bagi para homoseksual.

14
B. Saran
Dalam makalah ini diharapkan pembaca mampu memahami tentang
Norma dan Praktik Budaya dalam Kehidupan Seksualitas dan kemampuan
Reproduksi. Adanya perkembangan seksualitas yang menyimpang dapat diatasi
dengan meningkatkan komunikasi yang lancar dengan sebutan sharing, karena
dapat membantu sebagian orang homoseksual yang menyimpang untuk dapat
menumbuhkan dan menunjukkan hasrat manusia untuk mengontrol masa
depannya dengan sebaik – baiknya dari kontrol pribadi, sehingga manusia atau
makhluk sosial tersebut tidak mudah untuk kehilangan keterpesonaannya atas
misteri alam dan kehidupan yang dijalaninya.

15
DAFTAR PUSTAKA
Iqbal Mubarak, Wahid. 2010. Ilmu Sosial Budaya Dasar Kebidanan. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Andyni,Putri.2014.Norma dan Praktik Budaya dalam Kehidupan Seksualitas dan


KemampuanReproduksi,http://putriiandynii.blogspot.com/2014/01/makal
ah-isbd-norma-dan-praktik-budaya.html (diakses 13 September 2014).

Lihin,2012.Definisi Seks dan Seksualitas,


http://www.referensimakalah.com/2012/11/definisi-seks-dan-
seksualitas.html (diakses 13 September 2014).

16

Anda mungkin juga menyukai