Anda di halaman 1dari 41

1

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perjanjian Camp David merupakan perjanjian perdamaian antara


Mesir dengan Israel. Perjanjian Camp David terjadi pada tanggal 17 September
1978 dengan bantuan Amerika Serikat. Perjanjian tersebut dinamai Camp David
dikarenakan tempat pelaksanaan perundingan perjanjian Mesir dengan Israel yang
berada ditempat peristirahatan milik para presiden Amerika Serikat bernama
Camp David yang terletak di Frederick County, Meryland.

Penandatanganan perjanjian Camp David dilakukan Anwar Sadat dengan


tujuan untuk mengatasi krisis ekonomi yang terjadi di Mesir. Faktor utama
terjadinya krisis ekonomi di Mesir dikarenakan ikut sertanya Mesir dalam
beberapa perang dengan Israel. Perjanjian damai dengan Israel dipilih oleh Anwar
Sadat untuk mendapatkan kembali semenanjung Sinai yang telah dikuasai oleh
Israel pasca perang 6 hari (1967). Anwar Sadat berasumsi bahwa dengan
kembalinya semenanjung Sinai dapat mengangkat perekonomian Mesir.

Pada November 1977 Anwar Sadat berencana untuk melakukan kunjungan


ke yerusalem (Israel) untuk merintis usaha perdamaian melalui perundingan
langsung dengan Israel. Sejak awal rencana Anwar Sadat untuk berkunjung ke
yerusalem dalam perihal pembahasan mengenai perjanjian perdamaian antara
Mesir-Israel telah mendapat banyak tentangan dari berbagai pihak baik dari
Negarawan, Politikus dan mahasiswa. Negara-negara anggota liga Arab juga tidak
ketinggalan mengemukakan sikap mereka, ada negara yang tidak menentang dan
yang menentang dilakukannya kunjungan kenegaraan tersebut. Hal tersebut
dikarenakan pada waktu itu negara-negara Arab masih berpegang pada semboyan
“no recognition, no negotiation, no piace” terhadap Israel, maka tindakan Anwar
Sadat dengan berkunjung ke yerusalem dapat diartikan bahwa sikap no
recognitoon dan no negotiation sudah tidak berlaku lagi bagi Mesir, tinggal
mengakhiri sikap no piace saat dilakukanya perjanjian damai dengan Israel.
2

Setelah terlaksananya perjanjian Camp David pada tanggal 17 September 1978


kondisi sosial dan ekonomi Mesir tidak kunjung membaik. Kekecewaan
masyarakat terhadap kebijakan yang di ambil oleh Anwar Sadat membuat
kelompok-kelompok radikal mulai bermunculan, hal ini membuat kondisi dalam
negeri Mesir semakin memburuk. Bermunculannya kelompok-kelompok radikal
yang sering mengkritik pemerintahan Mesir memaksa Anwar Sadat untuk
menempuh garis keras dengan jalan penangkapan besar-besaran terhadap gerakan
yang menentang pemerintahan.

Kelompok Ikhwanul muslimin yang pada awalnya mendukung


kepemimpinan Anwar Sadat mulai berani memberikan kritikan terhadap
kebijakan-kebijakan yang di ambil oleh Anwar Sadat. Organisasi-organisasi
mahasiswa yang dipayungi oleh organisasi militan ikhwanul Muslimin dan
Jamaah Islamiah, mereka mengecam Anwar Sadat atas kunjungannya ke Israel,
serta kesediaanya menandatangani perjanjian Camp David. Kebijakan dibidang
ekonomi yaitu kebijakan Infitah (pintu terbuka) juga banyak menuai kritikan
karena di anggap sebagai ketergantungan ekonomi Mesir yang semakin besar
kepada negara-negara barat dan mendorong penetrasi budaya barat dari pakaian,
prilaku hingga televisi, yang menguntungkan kaum elit yang menikmati hak
istimewa dalam ekonomi, dengan demikian mendorong tumbuhnya suatu
masyarakat yang di dalamnya yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin
miskin.

Keberanian Anwar Sadat mengambil keputusan untuk berdamai dengan


Israel membuat Anwar Sadat mendapatkan penghargaan nobel perdamaian. Bagi
dunia barat sosok Anwar Sadat dikenal sebagai tokoh yang mempunyai pemikiran
terbuka dan berprinsip. Selepas pelaksanaan perjanjian damai Camp David, nama
Anwar Sadat selalu dipuji dan menjadi pembicaraan hangat di media masa
Amerika Serikat. Namun kondisi tersebut bertolak belakang dengan di Timur
Tengah Anwar Sadat yang pada awal kepemimpinannya sangat dicintai oleh
rakyatnya kini menjadi tokoh yang sangat dibenci.
3

Dampak perjanjian Camp David juga dirasakan oleh dunia Arab, selepas
perjanjian Camp David beberapa negara arab yang mengalami masalah
perekonomian sama seperti Mesir mulai bersikap netral terhadap Israel dan
Amerika Serikat. Hal tersebut juga berdampak pada kesatuan sikap para anggota
Liga Arab dalam hal penyelesaian masalah Palestina. Munculnya pemahaman
bahwa berkonfrontasi dengan Israel untuk menyelesaikan masalah Palestina
malah membuat kondisi dalam negeri mereka sendiri hancur, maka hal itu
menjadi pilihan rasional bagi beberapa negara Arab seperti Lebanon dan suriah
untuk bersikap netral terhadap Israel.

Terpecahnya dunia Arab membuat Israel semakin leluasa menerapkan


politiknya di wilayah palestina. Hal tersebut juga berdampak pada penyelesaian
masalah palestina yang semakin sulit untuk terselesaikan. Sebenarnya Israel
menerima perjanjian damai dengan Mesir pada 1979 hanya setelah Mesir dan
Amerika Serikat secara mendasar setuju untuk mengabaikan bangsa Palestina.
Disisi lain, Amerika Serikat menjanjikan bantuan untuk Israel sampai $3 milyar
dalam bentuk bantuan ekstra di luar jumlah tahunan yang diterimanya sekitar $2
milyar serta sejumlah besar peralatan militer tambahan untuk modernisasi
angkatan bersenjata termasuk dipercepatnya pengiriman pesawat-pesawat perang
F-16, yang terbaru dari angkatan udara Amerika. Sedangkan Mesir mendapatkan
bantuan Amerika Serikat $ 2.1 milyar setiap tahun. Demikian pula kepentingan
ekonomi-politik Amerika Serikat di Timur tengah menjadi semakin besar dengan
keberadaan negara Israel. Amerika Serikat tidak hanya memandang Israel sebagai
“wakil” Barat di kawasan ini, namun juga berkaitan dengan kenyataan adanya
dominasi ekonomi-politik etnik Yahudi di Amerika Serikat. Oleh karena itu bisa
dipahami pula, jika Mesir dalam kebijakannya didominasi kepentingan Amerika
Serikat, hal ini mengakibatkan ketergantungan Mesir kepada Amerika Serikat
baik secara ekonomi maupun militer.

Amerika Serikat memang sudah sejak lama menaruh perhatian terhadap


wilayah timur tengah, terlebih terlaksananya perjanjian Camp David membuat
terjalinnya hubungan Amerika Serikat dengan Mesir. Hal tersebut membuat
4

semakin kuatnya pengaruh Amerika Serikat di wilayah Timur Tengah.


Ketertarikan Amerika Serikat terhadap wilayah Timur Tengah tidak lain karena
faktor Sumber daya minyak bumi yang sangat melimpah diwilayah tersebut.
Sumber daya minyak sangat dibutuhkan oleh negara-negara maju dan
berkembang diseluruh dunia untuk keperluan industri dan militer, oleh karena itu
Amerika Serikat ingin memastikan sumber daya minyak berhasil dikuasai untuk
kepentingan politik internasionalnya.

Berdasarkan uraian diatas dapat dipahami begitu besarnya dampak


perjanjian Camp David baik bagi Mesir maupun bagi kawasan Timur Tengah
maka penulis ingin membahas lebih dalam dampak perjanjian Camp David bagi
Mesir yang dirumuskan dengan judul “Dampak Perjanjian Camp David
terhadap Hubungan Mesir dengan Negara-Negara Arab pada Masa
Pemerintahan Anwar Sadat”.

1.2 Penegasan Judul

Untuk menghindari salah penafsiran dan pemahaman terhadap judul


penelitian di atas, maka penulis merasa perlu memberikan penegasan terhadap
judul yang penulis gunakan yaitu “Dampak Perjanjian Camp David terhadap
Hubungan Mesir dengan Negara-Negara Arab pada Masa Pemerintahan
Anwar Sadat”.

Dampak secara sederhana bisa diartikan sebagai pengaruh atau


akibat. Dalam setiap keputusan yang diambil oleh se-seorang biasanya
mempunyai dampak tersendiri, baik itu dampak positif maupun dampak negatif.
Dampak menurut KBBI adalah pengaruh kuat yang mendatangkan akibat, baik
negatif maupun positif. Dampak menurut Waralah (2008) adalah sesuatu yang
diakibatkan oleh sesuatu yang dilakukan, bisa positif atau negatif atau pengaruh
kuat yg mendatangkan akibat (baik negatif maupun positif).

Pengertian Dampak secara umum menurut Arif (2009), dalam hal ini
adalah segala sesuatu yang ditimbulkan akibat adanya ‘sesuatu’. Dampak itu
5

sendiri juga bisa berarti, konsekwensi sebelum dan sesudah adanya ‘sesuatu’.
Dampak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dampak perjanjian damai
Camp David yang dilakukan oleh Mesir dan Israel pada tanggal 17 September
1978. Perjanjian yang banyak ditentang oleh dunia Arab karena dengan adanya
perjanjian ini Mesir dianggap secara tidak langsung mengakui eksistensi negara
Israel.
Perjanjian Camp David sendiri merupakan perjanjian perdamaian antara
Mesir dengan Israel yang berlangsung pada tanggal 17 September 1978. Presiden
Amerika Serikat Jimmy Carter memimpin perundingan rahasia yang berlangsung
selama 12 hari antara presiden Anwar Sadat dan Perdana Mentri Israel Menachem
Begin. Perjanjian ini mendapatkan namanya dari tempat peristirahatan milik para
presiden AS, Camp David, di Frederick County, Maryland.

Menurut Moeliono (1989:313) hubungan adalah suatu keadaan dimana


adanya ikatan antara satu sama lain. Hubungan yang ditekankan dalam penelitian
ini adalah hubungan internasional antara Mesir dengan negara-negara Arab
(negara anggota LA) pasca terjadinya perjanjian Camp David. Menurut buku
Rencana Strategi Pelaksanaan Politik Luar Negeri RI (Restra) Hubungan
Internasional diartikan sebagai hubungan antarbangsa dalam segala aspeknya
yang dilakukan oleh suatu negara untuk mencapai kepentingan nasional negara
tersebut.

Berdasarkan pengertian- pengertian diatas, maka maksud dari judul


“Dampak Perjanjian Camp David terhadap Hubungan Mesir dengan Negara-
Negara Arab pada Masa Pemerintahan Anwar Sadat” adalah Pengaruh
pelaksanaan perjanjian Camp David antara Mesir dan Israel pada tanggal 17
September 1978 terhadap hubungan Internasional antara mesir dengan negara-
negara anggota Liga Arab pada masa pemerintahan Anwar Sadat.

1.3 Ruang Lingkup Penelitian


6

Pembatasan ruang lingkup diperlukan agar pembahasan penelitian ini tidak


menyimpang dari fokus permasalahan. Dalam penelitian ini penulis memberi
batasan temporal, spasial, dan materi.

Ruang lingkup temporal penelitian ini adalah pada tanggal 15 Oktober


1970 sampai dengan 6 Oktober 1981, tanggal 15 Oktober 1970 dijadikan batas
awal karena pada tanggal tersebut awal dimulainya kepemimpinan Anwar Sadat
sebagai presiden Mesir. Tanggal 6 Oktober 1981 dijadikan batas akhir dengan
pertimbangan pada tanggal tersebut presiden Anwar Sadat tewas dibunuh saat
parade militer dan diduga akibat dari kebijakan-kebijakan yang telah dia ambil
termasuk kebijakan melakukan perjanjian damai dengan Israel.

Ruang lingkup spasial dalam penelitian ini adalah mesir yang merupakan
negara pelaku perajanjian Camp David. Sedangkan ruang lingkup materi dalam
penelitian ini adalah:

1. Kebijakan politik luar negeri Mesir sebelum perjanjian Camp David (masa
pemerintahan Nasser)
2. Kebijakan politik luar negeri Mesir setelah perjanjian Camp David (masa
pemerintahan Anwar Sadat)
3. Dampak perjanjian Camp David terhadap hubungan Mesir dengan negara-
negara Arab

1.4 Rumusan Masalah

Berdasarka latar belakang dan ruang lingkup yang telah diuraikan diatas
maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apa yang melatarbelakangi Anwar Sadat berdamai dengan Israel tahun


1978?
2. Bagaimanakah Dampak perjanjian Camp David terhadap hubungan Mesir
dengan negara-negara Arab?
7

1.5 Tujuan penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mendeskripsikan secara logis mengenai latarbelakang Anwar Sadat


mau melakukan perjanjian damai dengan Israel pada tahun 1978.
2. Untuk mendeskripsikan dampak perjanjian Camp David tahun 1978
terhadap hubungan Mesir dengan negara-negara Arab

1.6 Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian di atas, maka manfaat


yang di harapkan dalam penelitian ini adalah:

1. bagi peneliti, sebagai latihan dalam penelitian dan penulisan karya ilmiah,
serta memperdalam pengetahuan kita tentang kondisi politik di Timur
Tengah khususnya Mesir pasca perjanjian Camp David,
2. bagi mahasiswa calon guru sejarah, dapat menambah pengetahuan dan
penguasaan materi Sejarah Asia Barat Daya, khususnya negara Mesir,
3. bagi almamater merupakan pelaksanaan salah satu Tri Darma Perguruan
Tinggi yaitu Dharma penelitian.
8

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

Dalam tinjauan pustaka ini akan mengemukakan kajian tentang pendapat


para ahli dan hasil penelitian terdahulu yang berhubungan dengan dampak
perjajian Camp David terhadap hubungan Mesir dengan negara Arab pada masa
pemerintahan Anwar Sadat. Kajian Teori dilakukan oleh peneliti sebelumnya.

Rais (1989) dalam bukunya yang berjudul “Politik Internasional Dewasa


ini”, menjelaskan bahwa hubungan internasional antar negara ada dua macam
yaitu hubungan antar negara bersifat kooperatif dan hubungan antar negara
bersifat kompetitif. Hubungan yang bersifat kooperatif terjadi jika dua atau lebih
negara berusaha bekerjasama untuk mencapai kepentingan bersama baik ditingkat
regional maupun internasional. Sedangkan hubungan kompetitif terjadi jika dua
negara atau lebih saling bersaing dalam mencapai suatu kepentingan tertentu.
Persaingan ini seringkali menyebabkan perang, sehingga perang sering di anggap
sebagai kelanjutan politik antar bangsa dengan menggunakan kekerasan.

Huntington (2001) dalam bukunya yang berjudul “Benturan Antar


Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia” menjelaskan pemikirannya sekurang-
kurangnya ada enam alasan yang dijadikan sebagai dasar yang pakai untuk
menjelaskan mengapa politik dunia ke depan akan sangat dipengaruhi oleh
benturan antar peradaban. Pertama, perbedaan peradaban tidak hanya nyata, tetapi
sangat mendasar. Selama berabad-abad perbedaan antarperadaban telah
menimbulkan konflik paling keras dan paling lama. Kedua, dunia ini sudah
semakin menyempit sehingga interaksi antara orang yang berbeda peradaban
semakin meningkat. Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial
diseluruh dunia telah mengakibatkan carut-marutnya masyarakat dari akar-akar
identitas-identitas lokal yang telah berlangsung lama. Kecenderungan ini
menyisakan ruang kosong yang kemudian diisi oleh identitas agama, seringkali
dalam gerakan berlabelkan “fundamentalisme”. Keempat, dominasi peran Barat
menimbulkan reaksi de-westernisasi di dunia non-Barat. Kelima, perbedaan
9

budaya kurang bisa menyatukan, dibanding perbedaan politik dan


ekonomi. Keenam, kesadaran peradaban regionalisme politik atau ekonomi.

Sihbudi (2007) dalam bukunya “Menyandera Timur Tengah” menjelaskan


bahwa kawasan Timur Tengah mempunya arti penting tersendiri bagi Dunia
Barat, Faktor kekayaan alam khususnya minyak yang sangat melimpah menjadi
daya tarik bagi kekuatan-kekuatan ekstra regional. Keinginan negara-negara barat
khususnya AS untuk menanamkan pengaruhnya menyebabkan kawasan ini rentan
terjadi konflik. Keinginan AS untuk menanamkan pengaruhnya di kawasan ini
berkaitan dengan fakta belum ditemukannya sumber energi alternatif bagi
perindustrian Barat. Kepentingan ekonomi-politik AS di Timur Tengah semakin
besar semenjak berdirinya negara Israel. Amerika Serikat tidak hanya melihat
Israel sebagai “wakil” (secara cultural-historis maupun sosio-politis) Barat di
kawasan ini, namun juga berkaitan dengan kenyataan adanya dominasi ekonomi-
politik etnik Yahudi di AS. Oleh karena itu, tidak mengherankan AS selalu
membela Israel, meskipun Israel sering melanggar hukum Internasional.

Sihbudi (1995) dalam bukunya “Profil Negara-Negara Timur Tengah”


mengemukakan sebagai salah satu penggas berdirinya Liga Arab (LA) Mesir
sangat berpengaruh di kancah perpolitikan Timur Tengah, khususnya yang
berkaitan dengan usaha penyelesaian sengketa Arab-Israel yang berintikan
masalah Palestina. Keterlibatan mesir secara langsung dalam sengketa Arab-
Israel, telah memaksa Mesir banyak berperan sebagai aktor politik penting dalam
lingkaran Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Maka secara tidak langsung
tercatatlah mesir sebagai negara yang memimpin perpolitikan di kawasan Timur
Tengah pada waktu itu.

Sihbudi (1993) dalam bukunya “Konflik dan Diplomasi di Timur Tengah”,


menjelaskan pada Oktober 1973 terjadilah perang Yom Kippur (Perang
Ramadhan) yang di latar belakangi oleh keinginan bangsa Arab untuk membalas
kekalahan mereka pada perang Enam Hari sekaligus merebut kembali wilayah
yang telah dikuasai Israel pasca perang Enam Hari. Dalam perang tersebut nama
10

Anwar Sadat presiden Mesir menjadi perbincangan dalam percaturan politik


Internasional, hal ini dikarenakan keberhasilan Mesir menghancurkan benteng
pertahanan Israel (Lini Bar Lev) yang dibangun sedemikian rupa kuatnya
sehingga dianggap tidak mungkin dapat ditembus serangan musuh. Perang
tersebut telah menelan korban terbesar dipihak Israel (2500 orang) dibandingkan
perang Arab-Israel sebelum-sebelumnya.

Husein (1995) dalam bukunya yang berjudul “Prospek Perdamaian di


Timur Tengah: Sebuah Tilikan Latar Belakang” menjelaskan terjadinya konflik
yang berlarut-larut khususnya masalah Arab-Israel membuat kawasan ini menjadi
perhatian dunia internasional. Suasana perang dingin juga mempengaruhi setiap
langkah internasional yang ditujukan pada penyelesain sengketa di Timur Tengah,
karena setiap tindakan AS akan di hadapi Uni Soviet, keterlibatan kedua negara
ini malah menyulitkan penyelesaian masalah Arab-Israel. Perjanjian Camp David
yang disarankan Amerika Serikat sebagai solusi agar terciptanya perdamaian di
timur tengah diterima oleh Mesir yang sedang mengalami krisis ekonomi, bagi
Mesir perjanjian tersebut dianggap sebagai jalan pintas untuk mengembalikan
kondisi ekonomi Mesir, namun disisi lain hubungan diplomatik Mesir dengan
negara-negara arab merenggang dan Mesir di anggap sebagai penghianat karena
dengan perjanjian tersebut secara tidak langsung Mesir mengakui eksistensi
negara Israel di timur tengah.

Findley (1995) dalam bukunya “Diplomasi Munafik Ala Yahudi:


Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel” menjelaskan berlanjutnya proses
perundingan mengenai masalah-masalah di Timur Tengah terlebih lagi masalah
palestina dan Israel sangat tergantung pada dua hal, pertama adalah kebijakan
politik luar negeri Amerika Serikat sebagai meditor proses perundingan
perdamaian arab – Israel. kedua adanya kesanggupan dan persatuan bangsa Arab.
Tidak adanya persatuan dari bangsa arab sehingga Amerika Serikat dan Israel
terus menekan bangsa palestina untuk terus mengikuti dan mentaati hasil
perundingan perdamaian.
11

Sihbudi (1995) dalam bukunya “Profil Negara-Negara Timur Tengah”


mengemukakan Anwar Sadat berpendapat, bahwa peran utama untuk
menyelesaikan sengketa Arab-Israel harus dilakkan oleh AS, mengingat
keberpihakan AS pada Israel yang nyaris tanpa reserve dan sewaktu-waktu siap
memberikan dukungan militer pada Israel. Maka Sadat lebih cenderung
mendorong AS untuk lebih aktif berperan dalam usaha penyelesaian sengketa
Timur Tengah. Jika AS dan Uni Soviet selalu diikut sertakan maka tidak akan
pernah menemui titik temu, karena kedua kekuatan tersebut sama-sama
mempunyai kepentingan untuk mempertahankan pengaruhnya di wilayah Timur
Tengah, Maka oleh karena itu Sadat lebih cenderung menerima dilakukannya
shuttle diplomacy oleh Henry Kissinger sebagai usaha perintisan jalan menuju
terselenggaranya perundingan perdamaian.

Saikal (2006) dalam bukunya “Islam dan Barat, Konflik atau Kerjasama”
menjelaskan secara garis besar berbagai tindakan dan intervensi Amerika Serikat
di dunia Islam sejak pasca perang dunia II hingga invasinya ke Irak. Semua
tindakan memiliki tujuan untuk memperkuat kepentingan Amerika Serikat di
dunia Islam berupa hegemoni dan sumber daya minyak. Selama perang dingin,
Amerika Serikat memanfaatkan daerah Timur Tengah sebagai sarana untuk
menghentikan pengaruh Uni Soviet yang semakin meluas. Berbagai macam
bantuan ekonomi dan militer diberikan bahkan Amerika Serikat mendirikan
pangkalan militer di setiap negara. Selain itu, tak jarang Amerika Serikat, yang
selalu tampil sebagai pendekar demokrasi, menjadikan penguasa rezim diktator
sebagai “kawan baik” yang saling menguntungkan untuk kepentingannya.
Amerika Serikat tidak peduli siapapun yang menjadi kawan asalkan
kepentingannya terjaga. Melalui kerja sama ini juga Amerika Serikat dan
sekutunya mampu menguasai ladang minyak di Timur Tengah dengan
memasukkan berbagai perusahaan minyak multinasional. Amerika Serikat
mengeruk keuntungan yang besar, sedangkan pemerintah lokal hanya
mendapatkan sedikit saja keuntungan dari penjualan minyaknya.
12

Haekal (1986) dalam bukunya “Anwar Sadat: Kemaru Kemarahan”


menjelaskan kebijakan yang diambil oleh Anwar Sadat untuk melakukan
perjanjian damai dengan Israel di latar belakangi oleh kondisi ekonomi Mesir
yang memburuk. Hal ini disebabkan ikut sertanya Mesir dalam perang Arab-Israel
sejak berdirinya negara tersebut. Kondisi perekonomian Mesir yang memburuk
dan dikuasainya sebagian wilayah milik Mesir oleh Israel membuat seakan-akan
tidak ada jalan bagi Mesir kecuali melakukan perjanjian damai dengan Israel.
Namun jika dilihat kemba li setelah perang Yom Kippur Sadat seharusnya
menyadari besarnya kemenangan yang ada di tangannya. Dia sudah memegang
semua kartu tertinggi, Senjata berupa minya sudah dikuasainya, pendapat
masyarakat baik dikalangan Arab maupun sebagian besar dunia kompak
mendukungnya, serta Uni Soviet masih bersedia membantunya. Tetapi semuanya
disia-siakan. Dia malah memilih membangun kawasan itu bersama kawan
barunya Henry Kissinger (Amerika Serikat). kedekatan Anwar Sadat dengan
Amerika Serikat inilah yang menjadi penjamin bahwa perjanjian perdamaian
Mesir dengan Israel akan benar-benar terjadi.

Findley (1995) dalam buknya “Diplomasi Munafik Ala Yahudi:


Mengungkap Fakta Hubngan AS-Israel”. menjelaskan Anwar Sadat memang
telah membuat sejarah. Perjanjian damai yang dilakukan antara Mesir dan Israel
membuat dirinya menjadi pahlawan di dunia Barat. Namun berbeda halnya
dengan negara-negara anggota Liga Arab yang sejak awal menentang perjanjian
tersebut, mereka menganggap Sadat seorang penghianat. Hal ini wajar karena
karena pada waktu itu negara Arab masih berpegang pada semboyan “no
recognition, no negotiation, no peace” terhadap Israel. Setelah dilaksanakannya
perjanjian Camp David kondisi ekonomi Mesir belum juga membaik, bahkan
gerakan-gerakan radikal mulai bermunculan dan membuat kondisi dalam negeri
semakin tidak kondusif. Pada perhelatan upacara kemiliteran secara tidak diduga
Anwar Sadat tewas terbunuh, disinyalir para pembunuh tersebut adalah orang-
orang dari gerakan radikal.
13

Berdasarkan beberapa sumber dan hasil penelitian mengenai Mesir pada


masa pemerintahan Anwar Sadat, masih belum terdapat kajian yang khusus
mengenai Dampak Perjanjian Camp David Terhadap Hubungan Mesir Dengan
Negara-Negara Arab Pada Masa Pemerintahan Anwar Sadat. Kajian-kajian
sebelumnya hanya terfokus pada perdamaian Mesir-Israel dan pemikiran Anwar
Sadat tentang demokrasi di Mesir. Oleh karena itu, penulis ingin mengkaji
tentang Dampak Perjanjian Camp David Terhadap Hubungan Mesir Dengan
Negara-Negara Arab Pada Masa Pemerintahan Anwar Sadat, yang lebih terfokus
kepada perjanjian damai Camp David antara Mesir dan Israel pada tahun 1979.

Agar mempermudah peneliti dalam melakukan dan mengembangkan


penelitian mengenai “dampak perjanjian Camp David terhadap hubungan Mesir
dengan negara-negara Arab pada masa pemerintahan Anwar Sadat”, maka peneliti
menggunakan pendekatan politik, menurut Budiarjo (2002:8) politik adalah
bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (negara) yang menyangkut
proses penentuan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan
umum, untuk melaksanakan kebijakan tersebut perlu dimiliki kekuasaan (power)
dan kewenangan (authority) yang akan dipakai untuk membina kerjasama
maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin akan timbul. Pendekatan
politik dapakai untuk melihat kebijakan-kebijakan dalam dan luar negeri yang di
ambil oleh Anwar Sadat sebelum perjanjian Camp David dan pasca perjanjian
Camp David.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori Realisme, menurut


Morgethau (dalam Jackson & Sorensen, 2009:54) sifat manusia merupakan dasar
Hubungan Internasional tidak lebih dari hubungan manusia lain manapun, dan
manusia mementingkan diri sendiri serta mengejar kekuasaan, dan itu dapat
dengan mudah mengakibatkan agresi. Giplin (1987,305) mengemukakan ada 4
asumsi dasar dalam realisme, yang pertama adalah pandangan pesimisme, dimana
realisme melihat suatu fenomena berdasarkan sifat dasar manusia. Asumsi yang
kedua mengatakan bahwa hubungan internasional bersifat konfliktual, mengingat
manusia adalah mahluk yang selalu haus akan kekuasaan dan tidak pernah puas.
14

Yang ketiga yaitu negara selalu menjunjung tinggi keamanan nasional dan
survival state. Asumsi yang terakhir berpendapat bahwasanya kemajuan dalam hal
politik internasional merupakan tujuan yang sebenarnya. Teori Realisme peneliti
gunakan untuk melihat bagaimana sepak terjang Anwar sadat dalam mengambil
kebijakan-kebijakannya. Kebijakan politik luar negerinya untuk berdamain
dengan Israel dan menandatangani perjanjian Camp David atas usulan Amerika
Serikat membuat Mesir diasingkan oleh negara-negara Liga Arab.
15

BAB 3. METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sejarah,


metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan
peninggalan masa lampau (Gottschlak, 1983:30), adapun langkah - langkah
penulisan sejarah meliputi: (1) heuristic; (2) kritik; (3) interpretasi; (4)
historiografi.

Langkah pertama dalam penelitian sejarah adalah heuristik. Heuristik


adalah proses mencari untuk menemukan atau mengumpulkan sumber-sumber
sebagai bahan penulisan sejarah. Sumber sejarah dilihat dari penyampaiannya
dibagi menjadi sumber primer dan sumber sekunder. Menurut Gottschalk
(1983:35) sumber primer diperoleh dari kesaksian seseorang yang sejaman dari
peristiwa yang dikisahkannya dan saksi tersebut melihat kejadian dengan mata
kepala sendiri, sedangkan sumber sekunder merupakan kesaksian dari seseorang
yang tidak hadir pada peristiwa yang dikisahkannya. Dalam penelitian ini penulis
menggunakan sumber primer berupa buku karangan Mohamed Heikal seorang
jurnalis dengan judul Anwar Sadat: Kemaru Kemarahan yang diterjemahkan oleh
Arwah Setiawan. Sedangkan sumber sekunder berupa jurnal-jurnal, skripsi, buku,
majalah Koran yang berkaitan dengan perjanjian Camp David.

Untuk mendapatkan data dalam penelitian ini penulis menggunakan studi


literature atau kepustakaan yaitu cara pengumpulan data melalui penelaahan
terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan yang ada
hubungannya dengan masalah yang dipecahkan (Nazir, 1988:111). Pengumpulan
data dilakukan di UPT Perputakaan Universitas Jember, Perputakaan Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah,
dan buku koleksi pribadi.

Langkah selanjutnya dalam metode sejarah adalah kritik sumber. Menurut


Notosusanto (1971:59) mengkritik sumber berarti menetapkan otentitas dari
sumber-sumber yang diuji untuk menghasilkan fakta sejarah. Peneliti melakukan
16

langkah ini untuk memperoleh keabsahan sumber yang digunakan. Untuk itu
dilakukanlah uji keabsahan tentang keaslian sumber yang dilakukan melalui
kritik ekstern dan keabsahan tentang kesahihan sumber (kredibilitas) yang
ditelusuri melalui kritik intern (Abdurrahman, 2007:68)

Menurut Kuntowijoyo (2005:100) Kritik ada dua macam yaitu kritik


ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern adalah kegiatan meneliti keaslian data,
kritik ekstern dalam penelitian ini dilakukan dengan cara melihat bentuk sampul
buku, judul buku, tahun terbit dan nama pengarang yang menyangkut orientasi
ideology penulis. Kritik intern dilakukan peneliti dengan cara membaca semua
buku-buku yang telah sesuai dengan topic kemudian dibandingkan dengan buku
lainnya agar diperoleh data yang valid berupa fakta sejarah.

Langkah yang ketiga yaitu interpretasi. Menurut Kuntowijoyo (2003:18)


interpretasi sejarah sering disebut sebagai analisis sejarah. Pada langkah
interpretasi ini penulis melakukan penafsiran dan pemaknaan fakta-fakta sejarah
dengan memahami maksud dari setiap fakta sejarah berdasarkan pada aspek
bahasan yaitu dampak perjanjian Camp David terhadap hubungan Mesir dengan
negara arab pada masa pemerintahan Anwar Sadat. Kemudian setelah penulis
melakukan penafsiran dan pemaknaan fakta-fakta sejarah, fakta-fakta yang ada
lalu dirangkaikan dan dihubungkan secara kronologis sehingga menjadi satu-
kesatuan yang sistematis, logis dan rasional.

Langkah terakhir yaitu historiografi. Menurut Gottsclak (1983:32)


historiografi adalah kegiatan rekonstruksi yang imajinatif berdasarkan data yang
telah diperoleh dengan menempuh proses metode sejarah. Historiografi dilakukan
untuk menyampaikan hasil rekonstruksi imajinatif dari masa lampau itu sebagai
jejaknya, sehingga merupakan imajinatif ilmiah. Dalam proses ini diperlukan
suatu kemampuan dan kemahiran dari penulis untuk merangkai fakta-fakta sejarah
sehingg menjadi suatu cerita yang kronologi, sistematis, objektif, logis dan
menarik. Dengan demikian, diharapkan dapat, merekonstruksi “Dampak
17

perjanjian Camp David terhadap hubungan Mesir dengan negara Arab pada masa
pemerintahan Anwar Sadat”

Penyajian dari hasil penelitian ini adalah penyusunan kisah sejarah dalam
bentuk karya ilmiah skripsi. Bab 1 pendahuluan berisi tentang latar belakang
ketertarikan penulis untuk mengkaji permasalahan, adanya batasan ruang
lingkup, perumusan masalah serta tujuan dan manfaat penelitian. Sementara bab 2
tinjauan pustaka yang berisi kajian dari hasil penelitian terdahulu tentang dampak
perjanjian Camp David. Sedangkan bab 3 berisi tentang penyajian metode
penelitian sejarah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu heurisik, kritik,
interpretasi, dan hitoriografi. Penjelasan tentang kondisi ekonomi, politik dalam
dan luar negeri, serta kondisi masyarakat Mesir pada masa pemerintahan Anwar
Sadat merupakan isi dari bab 4. Bab 5 menjelaskan mengenai isi perjanjian Camp
David, dan dampak perjanjian camp david terhadap hubungan Mesir dengan
Negara-negara Arab. Bab 6 penutup berisi simpulan dari pembahasan bab-bab
sebelumnya.
18

BAB 4. MESIR PADA MASA PEMERINTAHAN ANWAR SADAT

Bab ini ditujukan untuk menjelaskan kondisi Mesir pada masa


pemerintahan Anwar Sadat, dimana kondisi tersebut akan menjadi faktor
pendorong bagi Anwar Sadat dalam mengambil langkah perdamain dengan Israel
melalui perjanjian Camp David.

4.1 Kondisi Pemerintahan di Mesir


Pada masa pemerintahannya Anwar Sadat memberi sebuah identitas
Islami yang khas pada Mesir dibandingkan masa Nasser. Pada masanya berbagai
mesjid baru dibangun dan orang-orang kaya didorong melalui potongan pajak
untuk menyumbang proyek-proyek pembangunan suci. Hukum Islam
diperkenalkan lagi. Murtad menjadi pelanggaran hukum berat dan muncul
pembicaraaan untuk menerapkan hukum potong tangan bagi pencuri. Penjualan
alkohol dilarang di jalanan dan dibatasi hanya boleh di bar-bar dan klub-klub
khusus. Sebuah stasiun radio Islami menyajikan pembacaan al-Qur'an sepanjang
hari, bahkan adzan pun dikumandangkan di program- program radio Mesir.
Untuk mendorong Islam bangkit, Anwar Sadat ingin mencampurkan
agama ke dalam pemerintahannya. Namun pada kenyataannya adalah bahwa
sistem pemerintahan yang diperbaharui Anwar Sadat mendorong munculnya
radikalisme–revolusioner baru di Mesir. Tentu saja rakyat Mesir bukan satu-
satunya yang menemukan kekuatan Islam pada saat itu. Selama tahun 1970-an,
muncul gerakan Islam yang kuat di Iran. Seharusnya gejala ini bisa membuat
Anwar Sadat waspada terhadap berkembangnya radikalisme di masyarakat(
Amstrong, 2004 : 506).
Pada tahun 1970-an pemerintah Mesir terang-terangan merujuk kepada
Islam. Anwar Sadat banyak sekali menggunakan lambang-lambang dari retrorika
Islam. Anwar Sadat menyebut dirinya sebagai "Presiden Mukmin" karena
menggunakan lambang Islam pada pemerintahannya tersebut. Anwar Sadat
pernah mendorong pembangunan- pembangunan mesjid dalam skala yang belum
pernah ada sebelumnya dan juga pernah melancarkan dan melegitimasi perang
19

Mesir-Israel 1973 sebagai Jihad. Anwar Sadat juga membebaskan angota


Ikhwanul Muslimin dari penjara dan mengijinkan mereka untuk menjalankan
fungsi mereka dalam kehidupan masyarakat, dan mendukung terbentuknya
organisasi-organisasi mahasiswa Islam di kampus-kampus untuk membendung
pengaruh kubu Nasseris dan Kelompok kiri (Eposito & Voll, 1999 :236).
Setelah Anwar Sadat dapat mengembalikan kehormatan Arab, yang telah
dilumpuhkan secara parah pada tahun 1967, masyarakat Mesir tidak perlu lagi
merasa berada dalam situasi bertahan dan dengan sendirinya bersikap memusuhi
dan bersikap negative pada gagasan Perdamaian. Pencapaian perang Oktober
1973 juga meningkatkan gengsi Anwar Sadat di negerinya sendiri. Anwar Sadat
kini dapat menunjukan bahwa bila Nasser telah membuat orang Arab terhina,
maka Anwar Sadat, pada tahun 1973 telah memungkinkan bangsa-bangsa- Arab
untuk sekali lagi mengangkat kepala mereka. Tetapi Anwar Sadat ingin
melangkahkan satu tahap lebih jauh. Anwar Sadat ingin dapat mengatakan bahwa
jika Nasser telah kehilangan Semenanjung Sinai pada tahun 1967, maka dirinya
akan merebutnya kembali untuk Mesir. Kini setelah mengangkat kehormatan
bangsa Arab di Medan tempur dan membuktikan bahwa Mesir adalah sebuah
kekuatan yang harusnya diperhitungkan. Anwar Sadat mengusulkan kepada
Henry Kessinger selama negosiasi-negosiasi setelah perang bahwa Anwar Sadat
sungguh-sungguh memikirkan untuk memperbaharui tawaran damai yang dibuat
pada tahun 1971, yang telah ditolak dengan penuh cercaan oleh perdana Menteri
Golda Meir dan Menteri Pertahanan Moshe Dayan( Amstrong,2004:526).
Setelah Empat tahun berkuasa Anwar Sadat mencoba membangun kembali
kepercayaan orang-orang Mesir. Anwar Sadat berkonsentrasi pada perkembangan
ekonomi Mesir. Pada tanggal 6 Oktober 1973 Anwar Sadat mulai membangun
jembatan, hotel-hotel berbintang, jalan tol dan bangunan megah lainnya. Anwar
Sadat berhasil meyakinkan para investor dari dalam negeri dan negara-negara
teluk untuk membangun kembali Kairo sebagai kota modern.(Misrawi, 2010:106)
Kebijakan Politik dan Ekonomi Anwar Sadat bersikap terbuka
memungkinkan berkembangnya gerakan-gerakan Islam beragam dan bewajah
majemuk. Ikhwanul Muslimin muncul dari penjara dan kini mereka membentuk
20

barisan kembali. Meskipun masih menjadi partai yang tidak sah, Ikhwanul
Muslimin mengerakan kembali penerbitan-penerbitan dan aktivitasnya dan pada
awalnya mendukung pemerintah, meskipun kadang-kadang juga bersikap kritis.
Setelah didera oleh penindasan, pemenjaraaan dan siksaan, Ikhwanul Muslimin
dibawah pimpinan Ommar Tilmassani mengambil sikap tegas dengan menentang
tindakan kekerasan dan menjalankan kebijakan yang jelas untuk berusaha
mengadakan perubahan di dalam sistem.( Eposito dan Voll, 1999:236)
Hubungan baik Ikhwanul Muslimin dan Sadat tidak berlangsung lama,
para tokoh Ikhwanul Muslimin berani mengkritik masa pemerintah Anwar Sadat
dan sistem politik serta kebijakannya.( Rahmat, 2007:37)
Namun inisiatif-inisiatif Islami Anwar Sadat terbukti tidak produktif
ketika Anwar Sadat menemukan kenyataan yang telah diketahui oleh banyak
orang dalam konteks yang berbeda-beda. Organisasi-organisasi mahasiswa yang
didukung pemerintah dengan segera menjadi kekuatan besar di kampus-kampus
dan mulai menyapu bersih hasil pemilihan mahasiswa serta tampil sebagai
organisasi yang mandiri. Semakin lama rezim mendapati dirinya didikte oleh
Ikhwanul Muslimin dan Jamaah Islamiah yang militan sebuah organisasi payung
untuk kelompok mahasiswa.
Mereka mengecam Anwar Sadat atas kunjungannya ke Israel,
kesediaanya menandatangani perjanjian Camp David, dukungannya pada Syah
Iran dan kutukannya terhadap Ayatullah Khoemeini, dan pengesahannya atas
reformasi undang-undang keluarga. Tokoh-tokoh Islam mencemooh dan menolak
reformasi hukum ini karena mereka anggap sebagai hasil pengaruh Barat. Mereka
menyebut undang-undang Jihan, mengacu pada Jihan Sadat, yang ibunya berasal
dari Inggris dan dia sudah terbaratkan.
Kebijakan ekonomi pintu terbuka (infitah) Anwar Sadat dianggap
sebagai ketergantungan ekonomi Mesir yang semakin besar pada barat dan
mendorong penetrasai budaya Barat dari pakaian dan prilaku hingga televisi, musik
dan video yang menguntungkan kaum elite terbaratkan yang menikmati hak
istimewa dalam ekonomi, dengan demikian mendorong tumbunya suatu
masyarakat yang di dalamnya yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin
21

miskin. Meskipun banyak bergantung pada investasi asing, namun kesejahteraan


masyarakat terus- menerus bergantung pada minyak, pada sektor pariwisata, bea
teruzan Suez, dan kiriman uang para pekerja dari luar negeri. Demikianlah hutang
luar negeri Mesir berkembang semakin besar.
Anwar Sadat memperketat kendali atas Ikhwan dan berusaha
menasionalkan masjid-masjid (pribadi), dengan menyatakan pemisahan agama
dan politik. Pada 1970-an, jumlah Masjid pribadi berlipat ganda kira-kira 20.000
menjadi 40.000. Dari 46.000 masjid di Mesir, hanya 6.000 yang dikontrol oleh
Kementrian Wakaf. Presiden Anwar Sadat yang berkuasa antara 1970-1981,
menjalankan "liberalisasi" baik di sektor ekonomi maupun politik. Setelah perang
Oktober 1973, Sadat membawa Mesir lebih pro-Barat.( Sihbudi, 1991:103)

4.2 Kondisi Masyarakat Mesir Masa Anwar Sadat

Pada masa pemerintahan Presiden Anwar Sadat kondisi masyarakatnya


sangat memprihatinkan karena terjadi krisis moneter. Semua harga bahan pokok
melambung tinggi akibat kebijakan terbuka terhadap investasi asing dan
ketergantungan Sadat terhadap bantuan Amerika Serikat. Rezim baru masa
kepemimpinan Anwar Sadat mewarisi kemerosotan ekonomi dan politik yang
ditinggalkan setelah pendahulunya Gammal Abdel Nasser terutama setelah
kekalahan Mesir pada tahun 1967. Hal ini sangat memprihatinkan sekali, karena
pada perang enam hari Mesir melawan Israel telah menghabiskan banyak korban
warga Mesir yang tidak bersalah dan biaya Perang yang dikeluarkan sangat tinggi
hingga Mesir mengalami kerugian yang sangat besar.(Oposito, 1999:235)
Pada tahun 1973 ekonomi Mesir mengalami Krisis Moneter. Selama lima
tahun antara 1968 -1973 Mesir telah mengeluarkan 8 sampai 9 ribu juta dolar
untuk kepentingan peperangan. Bagi rakyat Mesir itu adalah pengorbanan dan
penderitaan yang luar biasa, Presiden Anwar Sadat dianggap gagal melindungi
rakyatnya dari segala hak-hak kehidupannya.
Akibat kebijakan infitahnya terhadap perusahan asing yang masuk, Mesir
mengalami krisis yang sangat buruk. Dalam pemerintahan Anwar Sadat tidak
22

selalu berjalan mulus. Pada masanya terdapat begitu banyak korupsi dan terdapat
perbedaan stratifikasi sosial antara si kaya dan si miskin. Orang-orang yang
diuntungkan dalam kebijakan Infitah hanyalah orang-orang asing dan para
miliuner Mesir, bukan golongan para pebisnis kecil Mesir. Hanya 4 % dari
golongan muda Mesir yang mampu menemukan pekerjaan dengan imbalan baik
dan masa depan yang sukses di Mesir. Selebihnya harus menghadapi pilihan
keras. Jika mereka tinggal di Mesir maka mereka menghadapi masalah
pengangguran atau pekerjaan yang dibayar amat murah serta tidak memiliki
rumah tetap, karena bahkan apartemen kecilpun harganya amat mahal. Akhirnya
rakyat mulai merasa tidak punya harapan dan putus asa. Satu-satunya cara
memperbaiki keadaan adalah dengan emigrasi.(Amstrong, 2004:527)
Para intelektual muda Mesir dan buruh-buruh terampil biasa mendapatkan
banyak uang di negara-negara teluk yang berkembang dan makmur,. Ribuan
orang Mesir pergi meninggalkan negerinya untuk waktu yang lama, disana
mereka menabung uang untuk masa depan mereka. Di negeri asing mereka
bergabung dengan para pengungsi Palestina, yang juga hidup makmur di daerah
teluk dan kemudian bersama-sama membentuk sebuah kelompok elit baru di
dunia arab yang sering kali dibenci dan ditakuti.
Ribuan petani juga meninggalkan Mesir untuk bekerja di negara Arab
lainnya, tempat mereka biasa mendapatkan imbalan sekedar untuk membangun
sebuah rumah atau membeli traktor ketika nantinya mereka pulang kembali
kerumah. Anwar Sadat memaksa banyak rekan senegaranya melakukan hijrah
dari tanah air mereka karena Anwar Sadat telah membuat rakyat kecil mustahil
hidup di Mesir hingga masyarakatpun berpindah. (Amstrong, 2004:529)
Gaya hidup Anwar Sadat berbanding terbalik sekali dengan
Masyarakatnya yang serba kekurangan. Anwar Sadat memiliki 120 rumah
peristirahatan, banyak diantaranya dibangun kembali dengan biaya miliyaran pon
Mesir. Anwar Sadat juga semakin sering bergaul dengan para desainer Barat
bahkan Istrinya Jihan berpakaian seperti pakaian orang Barat begitupula
perilakunya. Penampilan Anwar Sadat dan Istrinya yang kebarat-baratan amat
mengejutkan bagi orang Mesir. Ketika para tamu tiba jihan seringkali mencium
23

pipi mereka, padahal mencium pipi dipandang sebagai perbuatan memalukan


bagi orang-orang Mesir. (Desmon, 2007:628)
Dalam tekanan hidup tersebut banyak kaum muda yang berpaling pada
agama. Kaum Muda bergerombol menuju berbagai asosiasi mahasiswa Islam
{Jama’ah Islamiyyah}, yang mulai mengendalikan kampus setelah perang
Oktober. Dalam kesemrawutan khususnya krisis perekonomian yang dialami
Mesir semakin mambuat kondisi didalam negeri Mesir semakin kacau. Anwar
Sadat didesak untuk mengatasi krisis moneter dengan sesegera mungkin agar
kondisi didalam negeri tidak semakin memanas.

4.3 Kondisi Politik Dalam Dan Luar Negeri Mesir Pada Masa Pemerintahan
Anwar Sadat

4.3.1 Politik Dalam Negeri Mesir


Pada tahun 1970 Nasser secara tiba-tiba meninggal, membuat Anwar
Sadat selaku wakil presiden kemudian menggantikan posisi Nasser sebagai
presiden Mesir. Berdasarkan hasil referendum yang dilakukan pada 15
Oktober1970, rakyat Mesir secara aklamasi memilih Anwar Sadat sebagai
presiden Mesir dengan suara 90,04% (Eposito, 1999:112). Pada tahun 1971 di
bidang konstitusi, Anwar Sadat melakukan amandemen konstitusi yang dikenal
dengan UUD tahun 1971, ditetapkan tanggal 11 September 1971 sebagai
konstitusi permanen di Republik Arab Mesir yang menggantikan UUD sementara
tahun 1964. UUD ini adalah sumber utama sistem konstitusi Mesir dimana
konstitusi ini memiliki akar hukum kasus Inggris dan Napoleon Code (Rahman
2001: 88).
Sedangkan untuk sistem politik, pada dasarnya sistem politik tetap
dipertahankan tetapi toleransi politik pada masa Anwar Sadat menjadi lebih besar
dibandingkan pada masa pemerintahan Nasser. Pada masa pemerintahan Anwar
Sadat mulai diberlakukannya sistem multi partai. Keberadaan partai politik yang
dilarang sejak tahun 1953 mulai diperbolehkan, dalam rangka untuk berpartisipasi
pada pemilu tahun1976 yang akan memilih Dewan Nasional. Selain itu Anwar
Sadat membentuk Partai Demokrasi Nasional atau NDP (National Democratic
24

Party) pada bulan Juli 1978 sebagai alat dukungan politiknya dalam perpolitikan
Mesir dan membuat Anwar Sadat memperoleh kedudukan sebagai ketua NDP
(Rahman, 2001:49). Anwar Sadat mengijinkan pendirian partai-partai, namun
dengan syarat partai tidak boleh dibentuk karena etnis, geografis, atau
diskriminasi yang berdasarkan jenis kelamin. Tidak hanya itu, pembentukan
sampai anggota partai juga tidak boleh melawan isi perjanjian Camp David.
Adapun partai politik selama masa pemerintahan Anwar Sadat yaitu :

1. Egypt Arab Socialist Party (The Nasional Democratic Party) atau NDP
2. The Liberal Socialist Party
3. The National Progresive Unionist Party
4. The Wafd Party
5. The Socialist Labor Party

Meskipun sistem partai yang dijalankan adala sistem multi partai, namun
pada kenyataannya hanya partai NDP yang menguasai dan menjadi kekuatan
besar yang belum mampu diimbangi partai politik yang lain. Hal ini disebabkan
Anwar Sadat mengandalkan pada pola satu patai pemerintahan yang kuat dengan
menguasai dua pertiga parlemen Mesir. Sehingga setiap keputusan yang Anwar
Sadat ambil pasti selalu didukung oleh pemerintahan (Sihbudi,1995:157).

4.3.2 Politik Luar Negeri Mesir


Setelah Anwar Sadat terpilih menjadi presiden, kebijakan-kebijakan yang
dilakuka Anwar Sadat cenderung berlawanan dengan Nasser yang dianggap pro
Uni Soviet. Anwar Sadat mengambil keputusan untuk melakukan kebijakan
infitah (pintu terbuka) sebagai permulaan liberalisasi bidang ekonomi. Anwar
Sadat menganggap bahwa sangat sulit untuk Mesir memperbaiki kondisi ekonomi
dalam negerinya tanpa membuka pintu untuk investasi modal asing. Ternyata
tindakan sadat tersebut mendapat protes keras dari golongan pendukung Nasser.
Tekanan dari dalam negeri yang terus menerus memojokkan Anwar Sadat,
membuat Anwar Sadat terpaksa tetap menjalankan hubungan dengan Uni Soviet
meskipun tidak seerat hubungan pada masa Nasser.
25

Kebijakan Infitah (pintu terbuka) sendiri mendapat banyak tentangan dari


berbagai pihak. Tokoh-tokoh Islam mencemooh dan menolak kebijakan Infitah
yang digadang-gadang sebagai penyelamat perekonomian Mesir. Kebijakan
Ekonomi “pintu terbuka” (Infitah) yang diterapkan oleh Anwar Sadat dianggap
sebagai ketergantungan ekonomi Mesir yang semakin besar pada Investor Barat,
dan mendorong penetrasi budaya Barat, dari pakaian dan prilaku hingga televisi,
musik dan video. Kebijakan Infitah pada dasarnya hanya menguntungkan kaum
elit yang sudah terbaratkan dan mereka menikmati hak istimewa dalam ekonom,
dengan demikian, mendorong tumbuhnya suatu masyarakat yang kaya semakin
kaya dan yang miskin semakin miskin (Elposito & Voll, 1999:238).

Dalam kancah Liga Arab, Mesir masih berperan aktif khususnya dalam
masalah pembebasan wilayah Palestina. Mesir sebagai negara yang sangat
berpengaruh dalam lingkungan Liga Arab. Namun krisis ekonomi yang dialami
Mesir karena keikut sertaan Mesir dalam beberapa perang dengan Israel, membuat
Mesir hanya bersikap normatif atas kasus palestina. Sebagai seseorang yang lahir
diwilayah Timur Tengah tentu Anwar Sadat merasa iba dengan kondisi yang
dialami oleh orang-orang Palestina, namun sebagai presiden Mesir kondisi
masayarakat dan negaranya adalah prioritas utama yang harus didahulukan dari
hal apapun (Hunter, 2001: 67).

Pada tahun 1973 hubungan Mesir dan Israel kembali memburuk dan
perang yang kesekian kalinya tidak dapat terhindarkan. Pada perang Yom Kippur
tahun 1973 Mesir kembali mengalami kekalahan atas Israel. Hal ini disebabkan
karena Israel banyak memobilisasi tentara cadangan yang berasal dari Amerika
Serikat. Terkait dengan kekalah Mesir, Anwar Sadat menyatakan bahwa untuk
menyelesaikan sengketa Arab dengan Israel haruslah diselesaikan oleh Amerika
Serikat. Hal ini dikarenakan Anwar Sadat memiliki anggapan bahwa hanya
Amerika Serikat yang merupakan sekutu Israel yang mampu menekan Israel
supaya Israel dapat mengembalikan wilayah Mesir yang diduduki. Pernyataan
Anwar Sadat tersebut membuat Amerika Serikat semakin intens mendekati Mesir
dimana Amerika Serikat dapat mempengaruhi Mesir agar mau berdamai dengan
26

Israel. Amerika Serikat yang notabene merupakan negara super power sangat
sadar bahwa Mesir merupakan negara yang memiliki kekuatan geopolitik
dikawasan Timur Tengah dan berperan sebagai pusat stabilitas politik (Hunter,
2001:72).
27

BAB 5. PERJANJIAN CAMP DAVID

5.1 Isi Perjanjian Camp David

Perjanjian Perdamaian Camp David merupakan perjanjian yang


diselenggarakan untuk menciptakan perdamaian di Timur Tengah yang
ditandatangani tanggal 17 September 1978 di Gedung Putih Amerika Serikat
antara Presiden Mesir Anwar Sadat dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin.
Perjanjian damai Camp David ini merupakan perundingan rahasia selama 13 hari
yang diprakarsai oleh Presiden Amerika Serikat pada saat itu, Jimmy Carter.
Perjanjian ini memiliki tiga komponen penting yaitu; pengakuan Arab terhadap
Israel dalam perdamaian, penarikan pasukan Israel dari wilayah-wilayah
pendudukan yang diperoleh selama perang serta negara-negara Arab tidak akan
mengamcam keamanan Israel dan tidak akan membagi-bagi Yerusalem kepada
siapapun.

Perjanjian ini diletarbelakangi oleh perang 30 tahun antara Israel dan


Mesir sejak berdirinya negara Israel tahun 1948. Akibat perang berkepanjangan
yang dialaminya, Mesir menyadari bahwa masalah dengan Israel tidak dapat
diselesaikan dengan pertempuran dan upaya diplomatik pun dimulai. Hal ini
dilatarbelakangi juga oleh kerinduan masyarakat Timur Tengah untuk hidup
damai sehingga kerja sama antar negara Timur Tengah dapat terwujud untuk
mengelola sumber daya alam dan manusia yang mereka miliki bisa maksimal dari
pada berperang yang hanya akan menyebabkan kerusakan. Inisiatif Presiden
Mesir Anwar Sadat untuk mengunjungi Yerusalem dan disambut dengan baik
oleh Parlemen, Pemerintah dan Rakyat Isreal yang mungkin juga menginginkan
perdamaian. kunjungan tersebut kemudian dibalas oleh Perdana Menteri Israel,
Mulailah Ismailia. Sambutan positif dari kedua negara ini menciptakan peluang
perdamaian antara ke dua negara.
28

Perjanjian Damai David Camp ini terbagi menjadi tiga perjanjian, yaitu

1) Perjanjian Perdamaian di Tepi Barat dan Gaza


Perjanjian ini terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian pertama berisis
kerangka kerja dalam negosiasi dalam pembentukan otoritas pemerintahan sendiri
otonom di Tepi Barat dan Jalur Gaza dalam melaksanakan SC 242 (Resolusi
Dewan Keamanan PBB) dan prinsip-prinsip Keamanan PBB. Hal ini dilakukan
untuk menjamin dan mengakui otonomi dan hak-hak sah rakyat Palestina dalam
jangka waktu lima tahun. Pembicaraan ini melibatkan negara Israel, Mesir,
Yordania dan Palestina yang dimulai dengan penarikan pasukan Israel dari Tepi
Barat dan Gaza dan pemulihan otoritas pemerintahan di Palestina.

2) Perjanjian Damai Mesir dan Israel


Perjanjian ini menyangkut masa depan Semanjung Sinai yang selama ini
dikuasai oleh Israel akibat menang perang melawan Mesir. Akibat perjanjian ini
Israel menarik pasukannya dari Sinai, mengevaluasi 4.500 penduduk sipil dan
mengembalikan Sinai kepada Mesir serta Israel juga mengembalikan ladang
minyak Abu-Rudeis Mesir di barat Sinai, imbalan Israel bisa membangun
hubungan diplomatik dengan Mesir, menjamin kebebasan lalu lintas melalui
Terusan Suez. Dalam perjanjian ini juga melibatkan Amerika Serikat yang
berkomitmen untuk memberikan beberapa miliar subsidi tahunan kepada Israel
dan Mesir. Contohnya dari tahun 1979 sampai tahun 1997, Mesir menerima
bantuan militer dari US $ 1,3 miliar per tahun, yang juga membantu
memodernisasi militer Mesir. Mesir sekarang menerima persenjataan Amerika
Serikat seperti Tank Abrams M1A1, AH-64 tempur Apache dan F-16 jet tempur.
Sebagai perbandingan, Israel telah menerima $ 3 miliar per tahun sejak tahun
1985 dalam bentuk hibaj dan paket bantuan militer. Hal ini mungkin dilakukan
oleh Amerika Serikat untuk mengamankan posisinya di Timur Tengah sehingga
Amerika Serikat dianggap sebagai pihak yang memprakarsai perdamaian di Timur
Tengah sehingga Timur Tengah berhutang budi kepadanya, Amerika Serikat
29

sangat bergantung pada minyak di Timur Tengah. Selain itu hal ini juga dilakukan
untuk mengamankan posisi sekutunya Israel di Timur Tengah (Husein, 1995:188).

3) Associated Principles
meliputi pengakuan penuh antara Israel dengan tetangga-tetangganya yaitu
Mesir, Yordania, Suriah dan Lebanon, penghapusan boikot ekonomi dan
menjamin bahwa yurisdiksi masing-masing negara akan memberikan
perlindungan terhadap warga asing dari negara–negara tadi.
Isi Perjanjian Perdamaian Camp David pada tahun 1978 antara Mesir dan
Israel terdiri dari dua kerangka kerjasama atau perjanjian yaitu: A Framework for
Peace in Middle East dan A Framework for the Conclusion of a Peace Treaty
between Egypt and Israel. Kerja sama yang kedua mengarah menuju perjanjian
perdamaian Mesir dan Israel yang ditandatangani pada tahun 1979 (Husein,
1995:192)
Perjanjian yang pertama terdiri dari tiga bagian. Bagian yang pertama
adalah kerangka negosiasi untuk membangun otoritas otonomi pemerintahan
sendiri di Tepi Barat dan Jalur Gaza dan untuk sepenuhnya mengaplikasikan
Resolusi Dewan PBB 242. Perjanjannya diadakan untuk mengakui hak-hak sah
bagi warga Palestina dan prosesnya dengan diimplementasikan pemerintahan
sendiri bagi Rakyat Palestina selama lima tahun. Sudah cukup jelas bahwa
perjanjian ini menyanngkut semenanjung Sinai namun rupanya di masa
mendatang diartikan berbeda oleh Israel, Mesir dan AS. Nasib Yerussalem dengan
sengaja tidak dimasukkan dalam perjanjian ini. Bagian kedua adalah mengenai
hubungan antara Mesir dan Israel, yang isi utamanya ada pada perjanjian kedua.
Bagian ketiga adalah “Afisiliasi Prinsip” yang mengemukakan prinsip-
prinsip apa yang harus dipatuhi dalam hubungan antara Israel dan negara tetangga
Arab lainnya. Perjanjian kedua berisi basis bagi perjanjian perdamaian enam
bulan kemudian, yang khususnya menentukan nasib Semenanjung Sinai. Israel
setuju untuk menarik pasukan bersenjatanya dari Sinai, dan mengevakuasi 4500
warga sipilnya dari sana serta menngembalikannya pada mesir sebagai balasan
diplomasi, dan menjamin kebebasan untuk melewati Terusan Suez dan jalur laut
30

lainnya, dan terdapat larangan bagi militer Mesir untuk ditempatkan di


semenanjung Sinai khususnya sejauh 20-40 km dari Israel. Israel juga setuju
untuk membatasi pasukannya sajuh 3 km dari perbatasan Mesir dan menjamin
kebebasan masuk dan keluar antara Mesir dan Yordania. Dengan penarikan
tersebut, Israel juga mengembalikan tambang minyak Mesir di sebelah barat Sinai
dan juga membuat AS mengirimkan subsidi beberapa milyar dolar pertahunnya
bagi kedua negara, Israel dan Mesir dan dikirimkan sebagai hadiah dan paket
bantuan.
Pada kenyataannya perjanjian Camp David hanya menguntungkan tiga
Negara saja yaitu Israel, Mesir, dan Amerika. Bahkan pembahasan mengenai
wilayah dan masadepan Palestina dilakukan tanpa dihadiri oleh perwakilan PLO
atau Palestina. Negara-negara Arab melihat Mesir telah menjadi bawahan
Amerika Serikat, lebih dari itu sikap ketidak pedulian akan nasib dan masa depan
Palestina semakin membuat dunia Arab mengecam perjanjian Camp David.

5.2 Arti Penting Perjanjian Camp David

Jika melihat rekam jejak Mesir yang aktif dalam membangun persatuan
dan kesatuan negara-negara Timur Tengah maka sungguh sangat mengejutkan
pada masa pemerintahan Anwar Sadat Mesir berencana melakukan perjanjian
damai dengan Israel. Pro-kontra terhadap pelaksanaan perjanjian camp david
sudah terlihat sejak rencana awal kunjungan kenegaraan antara mesir dan Israel.
Banyaknya negara-negara di Timur Tengah yang tidak setuju dikarenakan dengan
dilakukannya kunjungan tersebut maka secara tidak langsung Mesir telah
mengakui akan ada dan berdirinya negara Israel di wilayah Palestina.
Disisi lain, terdapat beberapa alasan mengapa Anwar Sadat memilih
melakukan perjanjian tersebut, meskipun banyak pihak yang tidak senang akan
keputusannya. Salah satu alasan utama Anwar Sadat adalah untuk mengatasi
krisis ekonomi dalam negeri Mesir yang sudah terjadi pada masa pemerintahan
Gamal Abdul Nasser. Krisis ekonomi yang diwariskan dari pemerintahan
sebelumnya tidak memberikan banyak pilihan pada Anwar Sadat. Keikut sertaan
31

Mesir dalam bebrapa perang dengan Israel sedikit banyak memberikan dampak
terhadap perekonomian Mesir sendiri. Sejak tahun 1968 – 1973 Mesir telah
mengeluarkan ± 9 ribu juta dollar hanya untuk kepentingan peperangan, hingga
puncaknya pada tahun 1973 Mesir mengalami krisis moneter yang menyebabkan
harga barang pokok melambung tinggi (Elposito & Voll, 1982:242).
Anwar Sadat memilih melakukan perjanjian damai dengan Israel agar
mendapatkan kembali wilayah Semenanjung Sinai yang dikuasai Israel untuk
mengangkat kembali roda perekonomian Mesir. Semenajung Sinai adalah sebuah
dataran strategis yang menghubungkan Benua Afrika dengan Asia Barat Daya dan
Laut Merah dengan Laut Tengah. Keinginan Anwar Sadat untuk mendapatkan
kembali wilayah Semenanjung Sinai dikarenakan Semenanjung Sinai memiliki
posisi yang sangat strategis dilihat dari berbagai segi terutama dalam aspek
geopolitik dan ekonomi internasional. Pasca terbukanya Terusan Suez tahun 1869,
nilai Semenanjung Sinai di mata internasional semakin bertambah besar dan
menggiurkan karena siapapun yang menguasai Semenanjung Sinai maka akan
menguasai jalur perdagangan besar dunia.
Bagi Amerika Serikat perjanjian damai Mesir-Israel sangatlah penting,
apalagi Amerika Serikat memiliki kepentingan di daerah Timur Tengah.
Kepentingan Amerika Serikat diwiliyah Timur Tengah adalah untuk menanamkan
pengaruhnya karena selama beberapa tahun terakhir Uni Soviet telah terlebih
dahulu mempunya kedekatan dengan beberapa negara Arab. Perjanjian damai
Mesir-Israel atau nantinya disebut dengan Perjanjian Camp David adalah
kesempatan emas bagi Amerika Serikat untuk mempunyai kedekatan dengan
salah satu negara yang mempunya pengaruh besar di Timur Tengah yaitu Mesir.
Sumber daya minyak mentah yang melimpah juga menjadi pertimbangan bagi
Amerika Serikat, kebutuhan atas minyak bumi yang begitu penting baik bagi
transportasi masal maupun bagi angkatan bersenjata Amerika Serikat membuat
arti terlaksananya perjanjian Mesir-Israel semakin penting (Amstrong 2004: 93).
Di mata Amerika Serikat, Israel adalah sebuah aset strategis yang secara
dasar-dasar moral harus didukung penuh karena Israel adalah penganut demokrasi
sekuler dengan gaya hidup Barat. Bahkan menduduki posisi-posisi penting dalam
32

sistem pemerintahan di Amerika Serikat seperti Dewan Keamanan Nasional


(NSC), Departemen Luar Negeri, Intelejen bahkan Kongres konsisten
mendukungnya. Oleh karena itu, tidak seorangpun kandidat presiden Amerika
Serikat dalam politik Israel sangat berpengaruh, dalam banyak hal kebijakan
Amerika Serikat di Timur Tengah sangat menggambarkan bagaimana komitmen
Amerika Serikat dalam mempertahankan hubungan dengan Israel dan
menempatkannya sebagai mitra khusus. Dengan status istimewa tersebut, Israel
mendapat dukungan politik, ekonomi, dan militer yang luar biasa dari Amerika
Serikat, saat menghadapi bahaya. Jadi, sudah bisa di pastikan dimana posisi
Amerika Serikat dalam konflik Palestina-Israel adalah Amerika Serikat lebih
cenderung memihak pada sekutunya Israel.
Keterlibatan Amerika Serikat yang terlalu jauh dalam pelaksanaan
perjanjian tersebut membuat dunia Arab curiga atas campur tangan negara
adidaya yang mempunya kedekatan dengan Israel. Israel sendiri menunjukkan
bahwa kesiapan untuk tidak memberi konsesi apa pun atas wilayah-wilayah
pendudukan. Pada tahun 1977, Manachem terpilih sebagai Perdana menteri. Begin
dikenal sebagai orang yang menginginkan perluasan pembangunan Israel dikedua
sisi Yordania. Carter merasa tertekan karena kengganan Begin untuk ikut serta
dalam sebuah pertemuan yang akan menginginkan Israel untuk mengevakuasi
wilayah-wilayah pendudukan sebagai bagian penting dari proses perdamaiaan.
Untuk menarik hati Mesir dan Israel carter memberikan bantuan militer namun
dengan kualitas yang lebih baik kepada Israel. Amerika Serikat juga telah berjanji
kepada Mesir untuk membantu mengatasi masalah Krisis ekonomi di Mesir
selepas pelaksanaan perjanjian damai Mesir dan Israel, Hal tersebut semakin
menambah keyakinan Anwar Sadat bahwa keputusan yang dipilihnya adalah
keputusan terbaik untuk mengatasi krisis ekonomi Mesir(Amstrong 2004:89).
Pada tanggal 9 November 1977, Sadat berpidato kepada para anggota
parlemen mesir dan berjanji pada mereka bahwa siap untuk pergi “pergi ke ujung
dunia demi perdamaian” serta siap pergi sendiri ke Knesset sendiri untuk
berunding. Sadat telah mampu menjadi seorang bintang karena berhasil menarik
perhatian dan simpati. Namun, Bangsa Arab tidak mempercayai inisiatif ini
33

dengan respon sikap diam. Negara-negara Arab sepakat bahwa inisiatif


perdamaian itu sekedar sebuah kekalahan ditangan Israel, yang tidak mempunyai
niat sama sekali untuk mendiskusikan masalah orang Palestina dan tidak punya
tujuan untuk mengembalikan wilayah manapun yang diduduki (Husaini, 1983:46).
Bagi Israel sendiri perjanjian Camp David adalah perjanjian penting
karena perjanjian ini merupakan pengakuan pertama dari sebuah negara Arab.
Secara tidak langsung maka Mesir mengakui eksistensi Israel di wilayah
palestina. Perjanjian damai dengan Mesir akan membuat posisi Israel semakin
kuat di kawasan Timur Tengah. Sementara itu, meski Perjanjian Camp David
didukung sebagian besar warga Israel, tidak demikian dengan warga Mesir.
Perdamaian yang tercipta antara Mesir dan Israel cenderung dingin karena hanya
dianggap perdamaian antara Israel dengan Presiden Anwar Sadat, dan bukan
perdamaian antara-kedua bangsa.
Pada tanggal 14 Desember 1977 Anwar sadat mengadakan konferensi
dengan mengundang Negara-negara Arab di Mesir dengan harapan inisiatifnya
dapat mencapai sebuah perdamaian yang menyeluruh, namun kursi delegasi hanya
kosong. Pada saat itu Anwar Sadat sudah dibutakan oleh janji-janji Amerika
Serikat sehingga hanya memikirkan apa saja yang akan Mesir dapatkan tanpa
memikirkan akibat dari terlaksananya perjanjian Camp David. Namun, disisi lain
tindakan yang diambil oleh Anwar Sadat tidak dapat sepenuhnya disalahkan,
karena sebagai pemimpin negara setiap keputusan yang diambilnya adalah untuk
kepentingan negaranya (Sihbudi 1997:63).

5.3 Dampak Perjanjian Camp David Terhadap Hubungan Mesir dengan


Negara-Negara Arab
Perjanjian Camp David yang ditandatangani pada tanggal 17 September
1978 oleh Mesir dan Israel telah merubah peta perpolitikan ditimur tengah.
Perjanjian Camp David merupakan titik awal perpecahan dunia Arab. Mesir
melakukan perjanjian Camp David untuk mengakhiri peperangan dengan Israel
yang sudah terjadi sejak 30 tahun yang lalu, akibat dari peperangan dengan Israel
kondisi perekonomian Mesir mulai memburuk.
34

Sebenarnya krisis ekonomi yang dialami Mesir sudah terjadi sejak masa
pemerintahan Nasser yang kemudian diwariskan pada masa Anwar Sadat. Sadat
beranggapan bahwa Nasser saat menjabat sebagai presiden Mesir terlalu sibuk
memikirkan masalah Palestina sehingga masalah dalam negeri terabaikan. Nasser
juga terlalu menjaga martabatnya sebagai salah satu tokoh pemimpin dunia Arab,
hal tersebut menjadi penyebab Mesir mengalami krisis ekonomi yang
berkepanjangan. Pada masa pemerintahan Nasser, Mesir menjadi negara yang
mengambil peran besar dalam masalah Palestina dan perpolitikan di Timur
Tengah. Hal tersebut menjadi pertimbangan bagi Nasser untuk melangkah
mundur dalam perang melawan Israel, karena akan mempengaruhi reputasi Mesir
dimata negara-negara Arab.
Dalam mengatasi masalah krisis moneter di Mesir, Anwar Sadat
menerapkan kebijakan Infitah (pintu terbuka). Pada Tahun 1974 diterapkanlah
kebijakan infitah dan membuka pintu bagi investasi asing. Kebijakan baru ini
sejalan dengan persekutuan Anwar Sadat dengan Amerika Serikat dan negara-
negara Arab konservatif. Meski banyak tergantung pada investasi asing, namun
kesejahteraan rakyat terus-menerus bergantung pada ekspor minyak, pada sektor
pariwisata, bea terusan Suez, dan kiriman uang para pekerja di luar negeri.
Demikianlah, hutang Mesir luar negri Mesir berkembang semangkin besar.
Namun demikian, yang menjadi tantangan utama bagi pemerintahan
Mesir ialah pembangunan ekonomi dalam negeri. Sebab sekalipun sudah
mendapat sumber bantuan baru dari luar negeri dan pemutihan hutang luar
negerinya, Mesir masih harus berusaha untuk mencapai secepatnya tahap lepas
landas bagi pertumbuhan prekonomian, dengan memperlancar masuknya modal
asing serta mempercepat penyedian sarana dan prasarana pendukung proses
industrialisasi.
Perjanjian Camp David dilakukan Mesir karena dianggap sebagai jalan
pintas untuk memperbaiki krisis ekonomi Mesir. Anwar Sadat tidak menyadari
akan dampak yang diberikan oleh Perjanjian Camp David. Perjanjian Camp
David tidak hanya berdampak bagi Mesir saja bahkan dunia Arab juga merasakan
dampak yang berkepanjangan hingga saat ini.
35

Selepas terlaksananya perjanjian Camp David kondisi politik luar negeri


Mesir berubah sepenuhnya. Mesir dikeluarkan dari Liga Arab, dan Markas Pusat
Liga Arab dipindahkan dari Kairo ke Tunis. Berbagai sumber bantuan dari
negara-negara Arab dihentikan dan Mesir mulai terkucilkan dari dunia Arab.
Mesir dianggap telah melakukan perjanjian damai tersendiri (separate peace)
yang sangat bertentangan dengan kesepakatan antar negara Arab. Satu hal yang
dikecam atas perjanjian tersebut terkait masalah Palestina yang dianggap tidak
diperhatikan dalam naskah perjanjian Camp David.
Pada bulan Desember 1977 terbentuk suatu kubu garis keras
(steadfastnessn front) dalam suatu pertemuan tersendiri di Tripoli. Terbentuknya
kubu tersebut untuk menentang perjanjian damai yang dilakukan Anwar Sadat.
Kubu tersebut terdiri dari Libya, Aljazair, Syria, Yaman Selatan, dan PLO. Maka
semakin sempit ruang gerak Mesir selepas perjanjian Camp David. Sangat ironi
sekali, negara yang dulunya menjadi pemimpin dunia Arab kini dimusuhi oleh
sebagian besar Negara Arab.
Perjanjian yang dilakukan Mesir dengan Israel dianggap sebagai
penghianatan terhadap negara-negara Arab. Negara-negara Arab yang pada
waktu itu masih berpegang pada semboyan “no recognition, no negotiation, no
peace” terhadap Israel, maka sangat wajar apabila Negara-negara Arab sangat
geram dengan jalan yang dipilih Mesir.
Uni Soviet mengatakan bahwa perjanjian tersebut merupakan bentuk
perwujudan politik imperialismenya Amerika Serikat ke Timur Tengah dan
merupakan usaha untuk memutuskan persahabatan antara Uni Soviet dan dunia
Arab. Syria lebih lanjut mengatakan bahwa perjanjian tersebut bisa meningkatkan
ketegangan di dunia Arab dan jika terjadi perang maka hal itu akan mengarah
menuju perang dunia III. Sementara dari pemerintahan Arab Saudi sendiri
menganggap bahwa perjanjian tersebut mengkhianati umat muslim Palestina,
yang berarti mengakui keberadaan Israel di Palestina, karena seharusnya Israel
menarik diri dari Palestina seluruhnya. Sementara raja Husein dari Yordania
menanggapi perjanjian tersebut dengan merasa terkhianati oleh AS yang
sepertinya telah menyalahi atau menyakiti hati orang Arab (World Reaction,
36

1979: 26).
Perdamaian Sadat dengan Israel mengundang perlawanan sengit
negara-negara Arab baik dari dalam negeri Mesir itu sendiri maupun dari
negara-negara Arab, terutama Yordania, Syria, Iraq dan Lebanon, yang tidak
menerima yang mereka sebut “perdamaian terpisah” itu dengan Israel.
Perlawanan negara-negara Arab mencapai puncak dalam Konferensi Baghdad
pada 2-5 November 1978. Konferensi ini membuat isolasi Mesir dari negara-
negara Arab. Hal ini sudah diperhitungkan Sadat sebelumnya, namun Sadat
berkeyakinan bahwa negara-negara tersebut tidak bisa terlalu lama menjauhi
Mesir. Sadat sangat sadar bahwa Mesir tergolong negara Arab yang berperan
penting sebagai salah satu aktor politik berpengaruh terhadap perkembangan
situasi di Timur Tenga khususnya yang berkaitan dengan usaha penyelesaian
sengketa Arab-Israel (Rahman, 2002:174)
Semenjak dilakukannya perjanjian Camp David hubungan Mesir dengan
negara-negara Arab semakin memburuk. Sumber bantuan yang sedianya diterima
dari beberapa negara petro-dollar Arab telah dibekukan. Sementara itu, kondisi
sosial dan ekonomi dalam negeri Mesir tidak kunjung membaik, malah semakin
memburuk. Kelompok-kelompok radikal mulai bermunculan yang semuanya
menyuarakan ketidak puasan atas Perjanjian Camp David. Masyarakat Mesir
merasa kecewa dengan keputusan yang diambil Anwar Sadat.
Pada parade kemiliteran 6 Oktober 1981 untuk memperingati perang 1967
Anwar Sadat tewas terbunuh. Sampai saat ini tidak ada yang tahu motif
pembunuhan Anwar Sadat. Apakah Anwar Sadat terbunuh karena perjanjian
damai Mesir dengan Israel atau karena krisis ekonomi Mesir yang tak kunjung
membaik, tetapi yang pasti betapapun menguntungkannya perjanjian Camp
David bagi Mesir telah membawa Anwar Sadat dalam kondisi yang sangat sulit.
Beberapa hari setelah terbunuhnya Anwar Sadat, wakil presiden Husni Mubarak
dikukuhkan sebagai presiden Mesir. Meskipun banyak yang menilai buruk
keputusan yang diambil Anwar Sadat dengan menandatangani perjanjian Camp
David, namun satu hal yang harus diakui bahwa Anwar Sadat telah berhasil
mengembalikan wilayah teritorial Mesir (Semenanjung Sinai) yang tadinya
37

dikuasai Israel (Sihbudi,1995:161).


38

BAB 6. PENUTUP

6.1 Simpulan
Dari pemaparan materi diatas
39

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, D. 2007. Metodologi Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ar-Ruzz


Media

Amstrong, K. 2004. Perang Suci: dari Perang Salib Hingga Perang Teluk.
Jakarta: Serambi.

Budiardjo, M. 2003. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia

Chossudovsky, M. 2014. Skenario Perang Dunia III, Jakarta: Zaituna Ufuk


Malik.

Desmon A, A. 2007. Ensiklopedi Peradaban dunia: Sebuah Ensikopedi Praktis


nan Lengkap 4000 peristiwa penting 900 tokoh dunia dan ratusan artikel
menarik. Jakarta: Restu Agung.

ED. James dan Robert, 1986, Beberapa Teori Hubungan Internasional,


terjemahan Amien Rais, Yogyakarta: UGM.

Eposito J. L, dan O. Voll. 1999. Demokrasi Di Negara-Negara Muslim: Problem


dan Prospek. Terj. Rahmani Astuti, Bandung: Mizan.

Findley, P. 1995. Diplomasi Munafik Ala Yahudi: Mengungkap Fakta Hubngan


AS-Israel. Jakarta : Mizan.

Frangkel. 1991. Hubungan Internasional. Jakarta: Bumi Aksara.

Gottschalk, L. 1983. Mengerti Sejarah. Terjemahan: Nugroho Notosusanto.


Jakarta: UI Press.

Haekal, M. 1995. Anwar Sadat: Kemaru Kemarahan. Jakarta: Pustaka Grafitipers.

Houranni, A. 2004. Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim. Terj. Irfan Abu Bakar.


Bandung: Mizan.

Huntington, S. P. 2001. Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik


Dunia. Yogyakarta: Qolam.

Hunter, S.T. 2001. Politik Kebangkitan Islam. Terj. Ajat S.U. Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogni.

Husein. dkk. 1995. Prospek Perdamaian di Timur Tengah: Sebuah Tilikan Latar
Belakang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
40

Jackson, R & Sorensen. 2009. Pengantar Studi Hubungan Internasional.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kuncahyono, T. 2009. Jalur Gaza: Tanah Terjanji, Intifada, dan Pembersihan


Etnis. Jakarta: Kompas.

Lenczowski, G. 1992. Timur Tengah di Kancah Dunia, Bandung: Sinar Baru


Algesindo.

Misrawi. Z. 2010. Al- Azhar: Menara Ilmu, Reformasi dan Kiblat Keulamaan.
Jakarta: Kompas.

Rahmat, M. I. 2007. Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam


Timur Tengah Ke Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Rahman, M. 2002. Jejak – Jejak Juang Palestina.. Jakarta: Kompas.

Rais, M. A. 1986. Demokrasi dan Proses Politik. Jakarta: LP3ES.

Rais, M. A. 1989. Politik Internasional Dewasa ini. Surabaya: Usaha Nasional.

Sadat, A. 1983. Mencari Identitas sebuah Autobiografi, Terj. Drs. Banu Iskandar,
Marwan, dan Dra. Lanny Anggawati. Jakarta; Tiara Pustaka.

Saikal, A. 2006. Islam dan Barat, Konflik atau Kerjasama. Jakarta: Sanabil.

Sihbudi, R, dkk. 1995. Profil Negara-Negara Timur Tengah. Jakarta: Dunia


Pustaka Jaya.

Sihbudi, R. 1993. Konflik dan Diplomasi di Timur Tengah. Bandung: Eresko.

Sihbudi, R. 2007. Menyandera Timur Tengah. Jakarta: Mizan Publika.

Sihbudi, R. 1991. Islam, Dunia Arab, Iran: Bara Timur Tengah. Bandung: Mizan.

1979. World Reaction: Camp David Could Lead to World War III.
Executive Intelligence Review, Volume 6, number 13.

Internet

\Waralah Christo, 2008. Pengertian Dampak, http://www.artikata.com/arti-324325-dampak.html (

25 Februari 2012 )

http://ok-review.com/pengertian-perjanjian-camp-david/
41

Hikmah Arif, 2009, Tentang Pengertian Dampak Menurut Para Ahli,

http://ariefhikmah.com/search/pengertian-dampak-menurut-para-ahli ( 25 Februari

2012 )

Anda mungkin juga menyukai