Anda di halaman 1dari 3

Sagu, Ketahanan Pangan, dan Kearifan Lokal

Oleh: Arifin Muhammad Ade

Sagu yang dihasilkan dari pohon rumbia atau pohon sagu (Metroxylon sagu
Rottb) merupakan salah satu sumber makanan pokok yang banyak dikonsumsi oleh
masyarakat di Indonesia Timur, khususnya masyarakat Kepulauan Maluku dan Papua
yang erat kaitannya dengan budaya masyarakat setempat.
Bagi masyarakat yang mengonsumsi sagu, sagu bukan sekedar urusan perut,
tapi juga soal identitas. Sagu adalah bahan makanan yang memiliki makna penting
bagi masyarakat Maluku dan Papua. Hal ini karena sagu memenuhi kebutuhan sentral
manusia. Yakni, akarnya menjadi penata air, dahannya dapat digunakan sebagai
dinding rumah dan berbagai anyaman serta daunnya dapat dimanfaatkan sebagai atap
rumah.
Selain itu, sagu merupakan satu dari sekian banyak makanan asli nusantara
yang memiliki kualitas tinggi dibanding beras (nasi). Kita semua mungkin sudah
menyadari kekayaan alam kita akan sagu sangat berlimpah, maka semestinya ini
dijadikan sebagai peluang dan bahkan potensi serta solusi untuk persoalan ketahanan
pangan di bangsa ini.
Secara umum pembudidayaan dan pemanfaatan sagu memberikan manfaat
lebih bagi Indonesia, baik pada taraf peningkatan ekonomi masyarakat, kesejahteraan
sosial, penyediaan komoditi pangan nasional, hingga penyediaan lapangan kerja dan
bisnis. Bahkan, sagu secara budaya sudah menjadi bagian intim bangsa ini sebab
keberadaan sagu pada awalnya diperkirakan berasal dari Kepulauan Maluku dan
Papua.
Hasil riset dari Masyarakat Sagu Indonesia (MASSI) tahun 2018, menjelaskan
bahwa sagu dapat membantu menopang persoalan pangan dan energi di Indonesia.
Disamping itu, keberlimpahan sagu bisa dimanfaatkan sebagai salah satu potensi
kekuatan pangan bagi negara Indonesia. Ini antara lain karena luas lahan sagu di
Indonesia mencapai 5,5 juta hektar dari total 6,5 juta hektar luas lahan sagu di dunia.
Bagi masyarakat Kepulauan Maluku dan Papua, pohon sagu bukan sekadar
tumbuhan endemik yang telah menyediakan pasokan pangan alami bagi rakyat
selama beberapa abad. Namun lebih dari itu, sagu juga sudah menjadi ikon budaya,
bahkan merepresentasikan falsafah hidup dan kearifan lokal masyarakat setempat.
Terkait dengan kearifan lokal, sagu menjadi salah satu komoditas masyarakat
yang telah membentuk tradisi/kebudayaan termasuk kuliner khas masyarakat di
wilayah timur Indonesia, bahkan kebutuhan akan sagu juga mempengaruhi pola dan
cara hidup serta pola kerja dari masyarakat setempat.
Kearifan lokal mengkonsumsi sagu tersebut seharusnya ditopang dengan
kebijakan dan strategi serta upaya pemerintah. Sehingga dapat memperkaya cadangan
komoditi pangan nasional, bukan sebaliknya bahkan terkesan diabaikan dan seolah-
olah seluruh rakyat Indonesia harus mengonsumsi beras.
I Ngurah Suryawan (2018) dalam bukunya Ruang-Ruang Hidup Yang Redup,
buku yang mengangkat latar kondisi etnobiologi-linguistik di Merauke menjelaskan
bahwa salah satu tempat sakral yang memiliki arti penting bagi salah satu
perkampungan di Merauke adalah hutan Mese. Hutan Mese adalah wilayah dimana
pohon-pohon sagu tumbuh liar dan besar-besar.
Bagi masyarakat Merauke, sagu mempunyai nilai sakral bagi sebagian marga,
karena ini berhubungan dengan sejarah panjang dari para leluhur tentang pentingnya
sagu dalam kehidupan. Orang Merauke bahkan mempunyai ritual khusus
penghormatan terhadap pohon sagu yang disebut keyangeyu dengan seluruh
rangkaian ritual menggunakan medium sagu dalam bentuk sef (makanan tradisional
dari sagu) (Suryawan, 2018).
Hal yang sama juga berlaku di Provinsi Maluku, dimana terdapat kearifan
lokal Bo Ulan Tawei Suat (pukul sagu pada bulan puasa). Kearifan Lokal Bo Ulan
Tawei Suat merupakan tradisi turun-temurun yang terus dijaga dan dilestarikan oleh
masyarakat setempat, hal ini disebakan karena sagu dimata masyarakat dianggap
sebagai sosok putri gunung atau seorang ibu yang selalu memberikan perlindungan
dan kehidupan kepada mereka (Rumatiga & Pattinama, 2017).
Menghadapi krisis pangan yang melanda bangsa ini, maka mengembangkan
komoditas lokal untuk mengakhiri krisis pangan berkelanjutan perlu digalakan. Sagu
sebagai ikon budaya sekaligus representasi dari falsafah hidup masyarakat setempat
perlu mendapat perhatian utama. Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden
No. 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi
Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal.
***
Memutuskan ketergantungan pada beras bukanlah perkara mudah, karena
lidah masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Maluku dan Papua telah
dimanjakan dengan beras (nasi) sebagai makanan pokok, dan telah menghilangkan
sagu sebagai makanan pokok yang diwariskan para leluhur. Bahkan dikalangan
masyarakat terdapat adagium yang berbunyi “belum kenyang kalau belum makan
nasi”.
Adagium “belum kenyang kalau belum makan nasi” sudah seharusnya diubah
bahasanya menjadi “belum kenyang kalau belum makan papeda”. Hal ini dilakukan
demi memutuskan ketergantungan kita akan beras (nasi) sebagai makanan pokok
yang akhir-akhir ini diselimuti banyak persoalan, salah satunya yaitu semakin
terbatasnya lahan persawahan akibat alih fungsi lahan yang semakin intensif.
Di akhir tulisan ini, dalam menghadapi masalah pangan di Indonesia yang
semakin krusial. Sagu bisa hadir menjadi solusi alternatif bagi ketahanan pangan
nasional, khususnya di daerah-daerah endemik seperti Maluku, Papua dan daerah-
daerah penghasil sagu.
Dengan menjadikan sagu sebagai solusi alternatif guna menjaga ketahanan
pangan nasional. Secara tidak langsung kita juga telah melestarikan dan
memperkenalkan budaya serta kearifan lokal masyarakat penghasil sagu lewat
hidangan-hidangan lezat disetiap meja makan.

Anda mungkin juga menyukai